Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

WAWASAN BUDAYA

DOSEN PENGAJAR:

Dr. Lukman AR Laliyo, S.Pd., M.Pd., MM

OLEH:

Nama : Putriani Bua

Kelas : Kimia A

Nim : 442419041

FAKULTAS MIPA

JURUSAN KIMIA

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2020
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta Nabi Muhammad SAW sebagai tauladan bagi
kita umat muslim.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
untuk makalah ini.
Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan serta memberikan manfaat bagi
kita semua. Ucapan terimah kasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada Dosen Wawasan
Budaya Bapak Dr. Lukman AR Laliyo, S.Pd., M.Pd., MM selaku dosen pengajar dalam
mata kuliah ini.

Bunta, 20 November 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii

BAB I ................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN................................................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................. 2

1.3 Tujuan ................................................................................................................... 2

BAB II.................................................................................................................................. 3

PEMBAHASAN .................................................................................................................. 3

2.1 Kebudayaan di Indonesia ..................................................................................... 3

2.2 Konflik Sosial di Indonesia ................................................................................... 5

2.3 Solusi Kebhinekaan di Indonesia ...................................................................... 11

BAB III .............................................................................................................................. 17

PENUTUP ......................................................................................................................... 17

3.1 Kesimpulan.......................................................................................................... 17

3.2 Saran.................................................................................................................... 17

Daftar Pustaka ......................................................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konflik dan kecarutmarutan sosial yang berkembang di negeri ini dapat mengancam
konsensus yang telah diikrarkan dan masih diakui: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.
Permasalahan yang berkembang juga mencabik dasar-dasar kehidupan bersama yang
diagungkan: kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan. Kenyataan ini menunjukkan
kepicikan kita dalam mengelola hidup bersama. Indonesia yang memiliki ragam dan
kekayaan budaya yang sangat banyak seharusnya dapat mengembangkan kearifan yang
tinggi. Indonesia yang juga memiliki sumberdaya melimpah seharusnya tidak menjadi negara
yang masuk dalam kategori miskin, tidak aman, korup, pelanggar HAM dan memiliki
ketidakpastian hukum tinggi, serta ‘perlu dihindari’. Begitu banyak hal negatif yang muncul
di negeri ini sehingga tokoh nasional Sjafii Maarif menyimpulkan bahwa kerusakan di negeri
ini nyaris sempurna (lihat Effendi dkk., 2003). Karenanya, tidaklah salah bila ada orang yang
apatis, tidak lagi ingin mendengar dan melihat apa yang sedang terjadi. Pada sisi lain, banyak
pula orang masih menikmatinya, menunggu-nunggu munculnya kejelekan lainnya, siap
terlibat dalam perkara kejelekan itu, atau menjadi pengobarnya. Ada juga yang optimis
dengan keadaan bangsa ini setelah melakukan analisis secara faktual dan rasional (Boediono,
2007). Para pihak itu merasa benar dengan posisinya.
Susilowati & Masruroh (2018) mengatakan bahwa Negara persatuan Indonesia
merupakan ekspresi dan pendorong semangat kegotongroyongan, untuk mewujudkannya
maka perlu diperkuat dengan budaya gotong royong dalam kehidupan masyarakat sipil dan
politik dengan mengembangkan pendidikan kewargaan dan multikulturalisme yang mampu
membangun rasa keadilan dan kebersamaan. Pembangunan manusia paripurna juga harus
dikawal dengan menginternalisaikan nilai-nilai Pancasila dan menjunjung moral bangsa.
Purwanto (2012) pada saat yang bersamaan, nilai, sikap, kesadaran, kepedulian, dan tanggung
jawab bersama berkembang luas di dalam masyarakat sebagai sebuah gerakan budaya.
Kebhinekaan adalah kodrat. Pada sisi lain, penerimaan dan penilaian terhadap
kebhinnekaan merupakan konstruksi sosial psikologis. Secara sederhana pola penerimaan dan
upaya pengelolaan akan kebhinekaan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu inklusi dan
eksklusi. Dua pola itu sudah ada, memiliki sejarah perkembangan yang panjang, dan akan
terus berlanjut. Pada pola inklusi, penerimaan dan pengelolaan kebhinekaan tampak menjadi
1
sederhana karena menerima perbedaan menjadi bagian dari nilai-nilai dasar yang
dioperasionalisasikan dalam tindakan dan perilaku sehari-hari. Sementara itu, eksklusivitas
berarti membatasi diri agar pihak-pihak yang berbeda tidak masuk dalam lingkupnya. Dengan
kata lain, kesamaan menjadi dasar penerimaan dan pengelolaan relasi yang eksklusif dan
pada waktu yang bersamaan perbedaan menjadi dasar untuk penolakan.
Salah satu hal yang menarik adalah perubahan pada tingkat kelompok, komunitas atau
masyarakat dari satu pola ke pola lainnya. Hal lain yang tidak kalah menariknya adalah
ketidakkonsistenan dan ketidakseragaman pola yang dianut pada level yang berbeda.
Maksudnya, seseorang bisa saja masuk dalam suatu kelompok inklusif tetapi pada waktu
yang bersamaan dia juga menjadi anggota kelompok yang lain lagi yang polanya eksklusif.
Dilihat dari sisi individu, mobilitasnya memang lebih besar. Dari sisi kelompok, persoalannya
adalah permeabilitas yang rendah. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang bersatu dan
merupakan himpunan dari berbagai potensi. Artinya, aneka potensi bersinergi. Untuk
mencapai sinergi ini, pemerintah perlu mengembangkan model relasi antar kelompok (suku,
agama, golongan) yang permeabel. Persoalannya, berbagai potensi yang ada dan tentunya
berbeda-beda, justru sering dianggap sebagai hambatan tanpa melihat sisi positif dari pihak
lain.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana kebudayaan di Indonesia?
2. Bagaimana konflik sosial di Indonesia?
3. Bagaimana solusi kebhinekaan di Indonesia?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kebudayaan di Indonesia
2. Untuk mengetahui konflik sosial di Indonesia
3. Untuk mengetahui solusi kebhinekaan di Indonesia

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kebudayaan di Indonesia


Manusia dan kebudayaan tak terpisahkan, secara bersama-sama menyusun kehidupan.
Manusia menghimpun diri menjadi satuan sosial-budaya, menjadi masyarakat. Masyarakat
manusia melahirkan, menciptakan, menumbuhkan, dan mengembangkan kebudayaan: tak ada
manusia tanpa kebudayaan, dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa manusia; tak ada
masyarakat tanpa kebudayaan, tak ada kebudayaan tanpa masyarakat. Di antara mahluk-
mahluk ciptaan Al-Khaliq, hanya masyarakat manusia yang meniru-niru Sang Pencipta
Agung merekayasa kebudayaan. Kebudayaan adalah reka-cipta manusia dalam
masyarakatnya. Kesadaran manusia terhadap pengalamannya mendorongnya menyusun
rumusan, batasan, definisi, dan teori tentang kegiatan-kegiatan hidupnya yang kemudian
disebut kebudayaan, ke dalam konsepsi tentang kebudayaan. Kesadaran demikian bermula
dari karunia akal, perasaan dan naluri kemanusiaannya, yang tidak dimiliki oleh mahluk lain,
seperti hewan atau binatang. Dalam sementara pemahaman, secara biologis manusia pun
digolongkan sebagai binatang, namun binatang berakal (reasoning animal).
Kebudayaan merupakan hasil interaksi kehidupan bersama. Manusia sebagai anggota
masyarakat senantiasa mengalami perubahan-perubahan. Suatu gerak konjungsi atau
perubahan naik turunnya gelombang kebudayaan suatu masyarakat dalam kurun waktu
tertentu disebut dinamika kebudayaan. Dalam proses perkembangannya, kreativitas dan
tingkat peradaban masyarakat sebagai pemiliknya sehingga kemajuan kebudayaan yang ada
pada suatu masyarakat sesungguhnya merupakan suatu cermin dari kemajuan peradaban
masyarakat tersebut.
Konsep awal kebudayaan yang bersumber dari studi tentang masyarakat-masyarakat
primitif tersebut mengandung sisi praktis, sebagai sumber kekuatan yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi rangkaian gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan moderen. Menyusun suatu
hubungan antara apa yang manusia-manusia purbakala tak-berbudaya pikirkan dan lakukan,
dan apa yang manusia-manusia moderen berbudaya pikirkan dan lakukan, bukanlah masalah
ilmu pengetahuan teoretik yang tak-dapat-diterapkan, karena persoalan ini mengangkat
masalah, seberapa jauh pandangan dan tingkah-laku moderen berdasarkan atas landasan kuat
ilmu pengetahuan moderen yang paling masuk akal (Tylor, 1871: 443-444).
a. Unsur-unsur Kebudayaan
3
Unsur-unsur kebudayaan tersebut bersifat universal, yakni terdapat dalam semua
masyarakat di mana pun di dunia, baik masyarakat “primitif” (underdeveloped society)
dan terpencil (isolated), masyarakat sederhana (less developed society) atau prapertanian
(preagricultural society), maupun masyarakat berkembang (developing society) atau
mengindustri (industrializing society) dan masyarakat maju (developed society) atau
masyarakat industri (industrial society) dan pascaindustri (postindustrial society) yang
sangat rumit dan canggih (highly complicated society). Unsur-unsur tersebut juga
menunjukkan jenis-jenis atau kategori-kategori kegiatan manusia untuk “mengisi” atau
“mengerjakan,” atau “menciptakan” kebudayaan sebagai tugas manusia diturunkan ke
dunia sebagai “utusan” atau khalifah untuk mengelola dunia dan seisinya, memayu
hayuning bawana – tidak hanya melestarikan isi alam semesta melainkan juga merawat,
melestarikan dan membuatnya indah. Unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat dirinci dan
dipelajari dengan kategori-kategori subunsur dan sub-sub unsur, yang saling berkaitan
dalam suatu sistem budaya dan sistem social, yang meliputi (1) Sistem dan organisasi
kemasyarakatan; (2) Sistem religi dan upacara keagamaan; (3) Sistem mata pencaharian;
(4) Sistem (ilmu) pengetahuan; (5) Sistem teknologi dan peralatan; (6) Bahasa; dan (7)
Kesenian (Koentjaraningrat, 1974).
b. Sistem Sosial-Budaya Indonesia
Para ahli kebudayaan memandang tidak mudah menentukan apa yang disebut
kebudayaan Indonesia, antara lain dengan melihat kondisi masyarakat yang majemuk.
Namun 8 secara garis besar, setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) macam kebudayaan, atau
sub-kebudayaan, dalam masyarakat Indonesia, yakni:
1. Kebudayaan Nasional Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 45;
2. Kebudayaan suku-suku bangsa;
3. Kebudayaan umum lokal sebagai wadah yang mengakomodasi lestarinya
perbedaan-perbedaan identitas suku bangsa serta masyarakat-masyarakat yang
saling berbeda kebudayaannya yang hidup dalam satu wilayah, misalnya pasar
atau kota (Melalatoa, 1997: 6).
Sementara itu, Harsya W. Bachtiar (1985: 1-17) menyebut berkembangnya 4 (empat)
sistem budaya di Indonesia, yakni:
1. Sistem Budaya Etnik: bermacam-macam etnik yang masing-masing memiliki
wilayah budaya (18 masyarakat etnik, atau lebih);

4
2. Sistem Budaya Agama-agama Besar, yang bersumber dari praktek agama-agama
Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan Katolik;
3. Sistem Budaya Indonesia: bahasa Indonesia (dari Melayu), nama Indonesia,
Pancasila dan UUD-RI.
4. Sistem Budaya Asing: budaya-budaya India, Belanda, Arab/Timur Tengah, Cina,
Amerika, Jepang, dsb. Selain itu, dapat ditambah “Sistem Budaya Campuran.”

2.2 Konflik Sosial di Indonesia


Sejarah kehidupan bangsa Indonesia sebagai satu bangsa negara menunjukkan seringnya
terjadi konflik internal. Sudah sejak 1948, malah sebelumnya, yaitu 1946, konflik ikut
mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik internal sudah berulang kali terjadi
hingga waktu belakangan ini, malah sejumlah konflik masih berlangsung terus sampai
sekarang.
Konflik pada dasarnya merupakan sebuah hal yang selalu ada dan sulit untuk dipisahkan
dalam kehidupan sosial. Konflik sosial merupakan 24 gambaran tentang perselisihan,
percecokan, ketegangan atau pertentangan sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan yang
muncul dalam kehidupan masyarakat, baik perbedaan yang bersifat individual maupun
perbedaan kelompok. Seperti perbedaan pendapat, pandangan, penafsiran, pemahaman,
kepentingan atau perbedaan lain yang lebih luas dan umum seperti perbedaan agama, ras,
suku, bangsa, bahasa, profesi, golongan politik dan sebagainya.
Konflik tidak muncul begitu saja dengan sendirinya, melainkan ada faktor-faktor yang
melatar belakanginya. Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda, seperti konflik antar
individu (interpersonal conflict), konflik antar kelompok (intergroup conflict), konflik antar
kelompok dengan negara (vertical conflict) dan konflik antar negara (interstate conflict).
Setiap skala memiliki latar belakang dan arah perkembangannya masing-masing. Konflik
sendiri hadir sebagai manifestasi dari ketegangan sosial, politik, ekonomi dan budaya atau
bisa juga disebabkan oleh perasaan ketidakpuasan umum, ketidakpuasan terhadap
komunikasi, ketidakpuasan terhadap simbol-simbol sosial dan ketidakpuasan terhadap
kemungkinan resolusi serta adanya sumber daya mobilisasi.
Konflik merupakan proses disosiatif, namun konflik sebagai salah satu bentuk proses
sosial yang memiliki fungsi positif maupun negatif. Apabila konflik mampu dikelola dan
diatasi dengan baik oleh setiap elemen masyarakat, maka akan berdampak baik bagi
kemajuan dan perubahan masyarakat. Namun sebaliknya, jika konflik yang terjadi ditengah

5
masyarakat tidak mampu dikelola dan diatasi dengan baik maka konflik akan menimbulkan
dampak buruk hingga timbulnya berbagai kerusakan baik itu fisik maupun non fisik, ketidak-
amanan, ketidakharmonisan, dan menciptakan ketidakstabilan, bahkan sampai
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Sebagaimana konflik yang terjadi antara masyarakat,
pemerintah desa dan perusahaan tambang pasir bangunan di Dusun Sungai Samak, Desa
Sungai Samak Kecamatan Badau Kabupaten Belitung.
Konflik dalam kehidupan sehari-hari, tidak selamanya berupa benturan fisik antar
anggota masyarakat. Suatu cara untuk menuju tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan,
tanpa menghiraukan norma dan nilai yang berlaku merupakan bentuk konflik (Ahmadi,
1991: 57). Salah seorang sosiolog yaitu Lewis Coser menyatakan bahwa konflik adalah
pertentangan atau perjuangan yang bersifat langsung dan disadari antara individu atau
kelompok untuk memperoleh pengakuan status, kekuasaan, pengaruh, dan sumber daya. Pada
saat yang sama masing-masing pihak yang bertentangan berusaha melenyapkan pengaruh
pihak lawannya (Coser, 1956: 7).
Poloma (2003) mengatakan bahwa konflik merupakan proses yang bersifat
instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat
menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan
kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak
lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
a. Beberapa Konflik di Indonesia
1. Konflik Aceh
Dua konflik yang sampai sekarang ini masih terus belum terselesaikan adalah
yang tejadi di daerah Aceh dan Irian Jaya. Kedua konflik tersebut mengandung
suasana politik yang didalamnya terkesan ada faktor etnik, dengan demikian
merupakan konflik vertikal, yaitu antara dearh dan pusat, yang kalau diusut pada
bagan bawahnya terdapat faktor etnik. Faktor etnik dapat diusut ke beberapa tahun
sebelum keadaan seperti yang sekarang bermula. Sepanjang tahun 1960-an pernah
menjadi konflik antar etnik di Sinabang di pulau Simeulu. Pada waktu itu terjadi
eksodus penduduk pulau tersebut yang berasal dari Tapanuli. Kemudian faktor etnik
yang melahirkan kecemburuan sosial terjadi di daerah pertambangan di Aceh Timur
yang timbul karena masyarkat setempat merasa “dikucilkan “ dalam penerimaan
tenaga kerja atau karyawan untuk proyek-proyek besar di daerahnya. Selain daripada

6
kadua contoh diatas eksodusnya para transmigran dari beberapa lokasi di Aceh dapat
dilihat sebagai dampak dari ketidakserasian etnik.
2. Konflik Irian Jaya
Apa yang terjadi di Aceh, meskipun banyak pebedaannya ditemukan pula di Irian
Jaya. Masuknya modal besar-besaran melalui pembangunan proyek-proyek raksasa,
seperti Freeport, menimbulkan goncangan-goncangan dalam kahidupan masyarakat.
Loncatan besar yang dimasukkan melalui perusahaan besar tidak dapat diikuti oleh
masyarakt sekitarnya. Kehidupan yang dapat digolongkan dalam zaman batu
diloncatkan langsung ke zaman pasca industri.
3. Kerusuhan Ambon
Konflik yang semula terjadi antara orang-orang Bugis, Buton, dan Makasar
(BBM) yang beragama Islam di satu pihak, dengan orang-orang Ambon di kota
Ambon yang beragama Kristen di pihak lain, telah bergeser menjadi konflik antara
sesama Orang Ambon, yaitu antara Orang Ambon yang beragama Islam dengan yang
beragama Kristen. Akibatnya, kerusuhan yang saat ini terjadi di Ambon adalah
kerusuhan sosial antara orangorang Ambon Kristen lawan Islam. Dari berita terakhir
yang ada di media massa, kita ketahui bahwa kota Ambon dibagi dalam
wilayahwilayah Kristen dan Islam.

Gambar 1. Konflik di Ambon


(Sumber: afandriadya.com)
b. Penyelesaian Konflik Sosial
Sebenarnya sejak dulu Bangsa Indonesia telah memiliki salah satu cara dalam
penyelesaian konflik, yaitu dengan kearifan lokal. Resolusi penyelesaian konflik dengan
kearifan lokal ini dapat dikenalkan dengan mengembangkan wawasan yang berorientasi

7
kearifan lokal. Selain bermanfaat sebagai alternatif penyelesaian konflik, kearifan lokal
juga memelihara dan berpegang teguh pada jati diri bangsa.
Keempat tahap resolusi konflik yang telah diuraikan pada kerangka konseptual, harus
dilihat sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dijalankan secara terpisah. Meskipun tidak
semuanya dapat dilakukan dengan menggunakan kearifan lokal, namun tahap-tahap
tersebut menunjukkan bahwa resolusi konflik menempatkan perdamaian sebagai suatu
proses terbuka yang tidak pernah berakhir. Semua pihak yang terlibat dalam
memanfaatkan kearifan lokal untuk penyelesaian konflik-konflik sosial, bertanggung
jawab baik dalam proses maupun pelaksanaan hasil resolusi tersebut.
Konflik dalam kehidupan manusia memang tidak mungkin untuk dipisahkan. Sebab
untuk memenuhi kebutuhan hidup, umumnya manusia melakukan berbagai usaha yang
dalam pelaksanaannya selalu dihadapkan pada sejumlah hak dan kewajiban. Jika
penempatan hak dan kewajiban tersebut dilakukan dengan baik, maka kemungkinan kecil
akan terjadi konflik dan begitu pula sebaliknya. Terkait dengan hal tersebut, tentunya
setiap wilayah di Indonesia memang memiliki potensi konflik cukup besar.
Kearifan lokal dianggap sebagai salah satu satu alternatif pemecahan masalah dalam
penyelesaian konflik. Kebijakan lokal yang mengakar dan dianggap sakral, menyebabkan
pelaksanaannya dapat lebih efisien dan efektif karena mudah diterima masyarakat.
Kearifan lokal berpotensi untuk mendorong keinginan masyarakat hidup rukun dan
damai. Tradisi dan budaya lokal umumnya memang mengajarkan perdamaian hidup
selaras dengan lingkungan sosialnya. Hal ini selaras dengan pendapat I Ketut Gobyah,
bahwa pada dasarnya memang kearifan lokal itu mentradisi secara turun temurun. Di
dalamnya berisi norma-norma yang mengajarkan kerukunan dan kebersamaan dalam
hidup bermasyarakat.
Pendekatan kearifan lokal memang tidak bisa disamakan antara daerah yang satu
dengan daerah lainnya. Namun kearifan lokal tetap berintikan pada pendekatan budaya,
dengan memanfaatkan nilai dan budaya lokal yang telah dimiliki masyarakat lokal
tersebut. Seperti halnya yang dikemukakan S. Swarsi Geriya, bahwa kearifan lokal
memang terdiri dari nilai-nilai, etika, dan perilaku yang melembaga secara tradisional.
Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat yang hidup bersama dalam tuntunan sebuah
tata nilai, akan saling melengkapi aturan-aturan mereka dengan sejumlah kebijakan lokal
yang membudaya. Tujuannya tentu untuk mengantisipasi berbagai permasalahan yang
disebabkan oleh adanya kesalahpahaman.
8
Kearifan lokal sebagai media paling ampuh untuk menemukan solusi dalam
penyelesaian konflik. Kondisi tersebut dilakukan dengan mengajak masyarakat yang
terlibat konflik untuk berdiskusi dan menegosiasikan keinginan masing-masing terhadap
pihak lainnya. Hal ini akan memberikan pengaruh terhadap bentuk penyelesaian yang
dianggap mungkin dan tepat, serta dapat dijadikan peringatan dini terhadap konflik
(conflict early warning system).
Penerapan kearifan lokal memang tidak mudah, dikarenakan begitu banyak nilai-nilai
dari luar yang saat ini banyak diadospi oleh masyarakat Indonesia. Namun demikian
peluang untuk mengedepankan kearifan lokal sebagai penyelesaian konflik juga masih
ada. Hal ini sesuai dengan pendapat Moendardjito dalam Ayatrohaedi (1986:40-44)
mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai kearifan lokal karena telah
teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Keempat ciri kearifan lokal yang
dicontohkan olehnya merupakan kekuatan yang potensial bagi penyelesaian konflik.
1. Kearifan Lokal Mampu Bertahan terhadap Budaya Luar; Salah satu keunikan kearifan
lokal adalah kekuatannya untuk berhadapan dengan budaya luar. Selain tidak mudah
mendapatkan pengaruh dari budaya luar, kearifan lokal cenderung memelihara dan
menjaga anggota kelompoknya untuk tetap tunduk pada aturan yang berlaku.
Berbagai aturan lokal yang mengikat tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang
mengekang, tetapi menjadi bentuk penghormatan mereka terhadap nilai-nilai luhur
nenek moyang.
2. Kearifan Lokal Memiliki Kemampuan Mengakomodasi Unsur-unsur Budaya Luar;
Kearifan lokal tidak menolak budaya luar, tetapi berupaya untuk mengakomodasinya
agar selaras dengan budaya lokal. Tujuannya tentu untuk menjaga nilai-nilai lokal
agar tetap tumbuh, terutama bagi generasi penerus. Hal ini dilakukan agar generasi
selanjutnya semakin memperkuat kebijakan-kebijakan lokal yang memang ditujukan
untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Hasil akomodasi dari budaya luar
digunakan untuk memperkaya nilai-nilai kearifan lokal yang telah dimiliki.
3. Kearifan Lokal Mempunyai Kemampuan Mengintegrasikan Unsur Budaya Luar ke
dalam Budaya Asli; Budaya luar yang makin lama semakin banyak memasuki
wilayah Indonesia, seharusnya diadaptasikan dalam budaya lokal agar tidak merusak
tatanan hidup Herlina Astri, Penyelesaian Konflik Sosial masyarakat Indonesia.
Kecenderungan yang terjadi banyak sekali kelompok masyarakat yang
mengadopsikannya, padahal akan lebih baik untuk diadaptasikan agar tidak
9
bertentangan dengan budaya lokal sendiri. Sebab adospi dapat diartikan sebagai
sebuah tindakan menerima penuh datangnya budaya luar tersebut, bukan
menyesuaikan dan mengintegrasikannya ke dalam budaya sendiri.
4. Kerifan Lokal Mempunyai Kemampuan Mengendalikan; Kearifan lokal selain
memelihara anggota kelompoknya, juga dapat digunakan untuk mengendalikan
keinginan-keinginan melakukan tindakan destruktif. Pola yang terbentuk dalam
kearifan lokal menunjuk pada nilai kebersamaan, kekeluargaan, kegotong-royongan
dan kemauan untuk menyelesaikan permasalahan dengan jalan musywarah. Pola
tersebut sangat potensial untuk mencegah, mengurangi bahkan mengatasi konflik-
konflik sosial yang terjadi saat ini. Kembali pada kearifan lokal berarti menunjukkan
kekuatan bangsa sendiri dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
5. Kearifan Lokal Mampu Memberi Arah pada Perkembangan Budaya; Kondisi bangsa
Indonesia yang semakin kehilangan jati dirinya, menyebabkan penguatan kearifan
lokal perlu dilakukan. Sebab kearifan lokal mampu mengarahkan kembali jati diri
Indonesia yang sesuai dengan keragaman budayanya. Keberadaan kearifan lokal tidak
hanya dapat digunakan untuk mengatasi konflik, tetapi juga memberikan pengayaan
pada nilai-nilai budaya yang luhur.
Hasil penelitian Latif (2012) menyimpulkan dalam penelitianya yang berjudul
“Strategi Komunikasi dalam Penyelesaian Konflik Buton Utara,” sebagai berikut:
1. Iklim komunikasi yang berlangsung antara pihak pemerintah Kabupaten Buton
Utara dengan masyarakat menunjukan keadaan yang kurang baik karena
penerapan strategi kemunikasi yang tidak tepat. Hali ini terlihat dari (a) komunitas
dan frekuensi komunikasi antara pemerintah dengan masyrakat sangat minim; (b)
suasana komunikasi yang tercipta selalu dalam suasana disharmonis.
2. Resolusi konflik terhadap penetapan Ibukota Kabupaten Buton Utara dilakukan
melalui: (a) pendekatan celling effect dalam rangka mensejajarkan informasi dan
komunikasidi masyarakat; (b) pendekatan narrow casting dalam rangka
merangsang keterlibatan masyarakat secara aktif dalam setiap proses komunikasi;
(c) pemanfaatan saluran tradisional dengan cara melibatkan tokoh masyarakat
kharismatik dan tradisi budaya yang merupakan bagian dari sikap dan perilaku
dalam masyarakat; dan (d) menciptakan mekanisme keikutsertaan khalayak, yaitu
mekanisme komunikasi partisipasi yang dilakukan dengancara mengikutsertakan
(partisipasi) masyarakat/khalayak dalam setiap aktivitas komunikasi. Keseluruhan
10
pendekatan tersebut bertujuan menyelesaikan konflik sehubungan dengan
penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara. Namun dalam praktiknya tidak satu
pun pendekatan resolusi konflik yang diimplementasikan oleh pemerintah
Kabupaten Buton Utara.
Selain itu, syarat utama bagi setiap upaya penanganan konflik sosial agar dapat
menghentikan konflik tersebut, ialah adanya suatu pranata atau organisasi (yang terbaik
adalah polisi) yang dipercaya oleh pihak-pihak yang bermusuhan, dan yang digolongkan
sebagai pihak ketiga, yang artinya tidak mempunyai kepentingan dalam konflik tersebut.
Pihak ketiga itu dipercaya karena keadilan dan kekuatan yang dipunyainya. Bila polisi
juga mempunyai kepentingan dalam konflik atau kerusuhan sosial yang terjadi, maka
polisi tidak dapat berfungsi sebagai penghenti konflik sosial tersebut.

2.3 Solusi Kebhinekaan di Indonesia


Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia berbeda. Perbedaan ini sesungguhnya
sudah disadari keberadaannya jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Bahkan para pendiri
bangsa telah sepakat bahwa perbedaan adalah modal dasar dalam mewujudkan proklamasi
kemerdekaan. Bagi bangsa Indonesia perbedaan itulah yang menjadi kekuatan yang
mempersatukan (Bhineka Tunggal Ika). Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” artinya berbeda-
beda tapi tetapi satu tujuan. Jadi, meskipun masyarakat Indonesia memiliki latar belakang,
pemikiran, prinsip, serta karakter yang berbeda, tapi masyarakat Indonesia ini tetap memiliki
satu tujuan yang sama yaitu menjadikan Indonesia yang merdeka, bersatu, adil, dan makmur.
Kebhinekaan Indonesia merupakan aset yang tidak ternilai harganya. Indonesia dapat
bersatu karena kemajemukan bangsa Indonesia baik suku, etnis, agama, ras, golongan
maupun adat istiadat. Dalam perkembangannya, kebhinekaan justru dijadikan alasan untuk
memecah belah persatuan. Pancasila menghadapi berbagai tantangan di tengah era globalisasi
dan derasnya arus informasi. Kondisi saat ini menunjukkan menurunnya toleransi antarsuku,
antarras, antaragama, dan golongan, serta perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila.
Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai keberagaman atau kebinekaan,
pluralisme, dan juga multikultural, tapi pada paktiknya, di era milenial masih jauh dari nilai
keragaman dan masih menjadikannya sebatas retorika belaka. Padahal semakin banyak
dibutuhkan adalah keberadaan orang-orang bijak yang bisa mengimbangi dengan tindakan
nyata, bukan hanya orang-orang yang pandai beretorika. Sikap atau perilaku bijak tidak

11
cukup hanya diwujudkan dengan kemampuan seseorang untuk mengeluarkan kata-kata bijak
dan menarik bagi para pendengarnya saja, melainkan harus benarbenar diwujudkan dengan
tindakan nyata.
Keanekaragaman suku, budaya, ras dan agama yang ada pada diri bangsa Indonesia
merupakan keunggulan sekaligus tantangan. Kebhinnekaan merupakan kekuatan dan
kekayaan sekaligus juga merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia. Tantangan itu sangat
terasa terutama ketika bangsa Indonesia membutuhkan kebersamaan dan persatuan dalam
rangka menghadapi dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik yang
berasal dari dalam maupun dari luar negeri, seperti dewasa ini kita sedang menghadapi dan
berupaya memecahkan serta mengakhiri krisis multi dimensional dan krisis ekonomi yang
sudah berlangsung cukup lama. Tanpa adanya persatuan dan kesatuan visi dan misi dari
seluruh bangsa Indonesia mustahil kita dapat keluar dari krisis tersebut.
a. Beberapa Cara Mempertahankan Nilai-nilai Kebhinekaan
1. Dalam JURNAL PENDIDIKAN: Riset & Konseptual dengan judul “Pendidikan
Karakter Cinta Tanah Air dan Kebhinekaan Melaui Lomba Kebersihan dan
Keindahan Kelas dengan Tema Adat Nusantara” oleh Utami, M.F. Lestari Budi
(2014: 463-464),
a) Bangga menjadi orang Indonesia Indonesia adalah negara yang terkenal
karena kekayaan dan keindahan alamnya, serta keragaman budayanya, maka
tidak heran jika banyak wisatawan manca negara yang berbondong-bondong
mengunjungi Indonesia. Sebagai warga negara kita harus bangga dan ikut
menjaga kekayaan, keindahan alam serta budaya yang kita miliki.
b) Melestarikan Budaya Wanita India lebih bangga mengenakan Sari mereka dari
pada baju casual sehari-hari. Bahkan trend sari sempat menjamur di Indonesia.
Indonesia sebetulnya sudah memiliki batik yang indah, dan kebaya yang
feminis, tetapi kita sebagai orang Indonesia kadang belum bisa secara total
bengga dengan apa yang kita miliki. Pakaian adat Indonesia hanyalah salah
satu contoh, dan masih banyak contoh yang lain, misalnya tarian daerah, lagu-
lagu daerah, alat musi, upacara tradisional dan lain-lain.
c) Menggunakan produk Lokal Mari kita galakkan penggunaan produk-produk
dalam negeri, mulai dari ponsel, notebook, pakaian, sampai makanan, karena
sebetulnya banyak produk dalam negeri yang kualitasnya bagus. Jika kita

12
menggunakan produk dalam negeri kita bisa menbantu perekonomian dan
mengurangi pengangguran.
Oebaidiliah ( 2018) menumbuhkan pemahaman dan kecintaan budaya nasional
dapat melalui berbagai kegiatan misalnya pertunjukan atau lomba-lomba misalnya
lagu-lagu daerah, pakaian adat atau pakaian daerah, tarian daerah, dan sebagainya
sehingga para pelajar bisa mengenal jati diri bangsa, serta dapat menumbuhkan
cinta tanah air. Selain itu, dengan kebersamaan di kalangan pelajar juga bisa
menumbuhkan sikap saling toleransi satu sama lain, dan menghargai serta
menghormati perbedaan sesama mereka.
Kegiatan lomba-lomba Kebersihan Dan Keindahan Kelas biasanya
dilaksanakan pada bulan Agustus. Di sekolah tempat saya bekerja yaitu di SMP 2
Blitar, kegiatan Lomba Kebersihan Dan Keindahan Kelas dilaksanakan sekitar
pertengahan bulan Agustus, kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka peringatan
HUT kemerdekaan RI dan sekaligus peringatan Dies Natalis SMPN 2 Blitar, yang
juga jatuh pada awal bulan Agustus. Peilaian lomba dilaksanakan beberapa kali
dalam seminggu secara rutin.

Gambar 2. Lomba Kebersihan Kelas


(Sumber: bsd. Pendidikan.id)
Tahun 2018 Lomba kebersihan dan keindahan kelas menambil tema adat
Nusantara. Berdasarka tema ini, tiap kelas mengambil undian untuk menentukan
adat dari daerah mana yang menjadi tanggung jawab kelasnya. Kriteria penilaian
lomba kebersihan dan keindahan kelas dengan tema adat Nusantara meliputi:
kebersihan kelas, kerapian, kelengkapan atribut, seperti gambar pancasila,
presiden dan wakil, bendera merah putih, daftar piket kelas, daftar 7K, organisasi
kelas, journal pembelajaran, tempat sampah, sapu, kain pel, kemucing .
13
2. Dalam Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan dengan judul “MEMAKNAI
KEMBALI MULTIKULTURALISME INDONESIA DALAM BINGKAI
PANCASILA” oleh Shofa, Abd Mu’id Aris (2016: 39-40), Pancasila adalah
common platform sekaligus rasionalitas publik di mana keberagaman dari budaya,
agama, etnis dan ras bertemu dan disana terbentuk suatu negara bangsa. Di dalam
negara bangsa kita identitas kedaerahan, identitas keagamaan semua merasa
terwakili. Tidak berlaku yang namanya mayoritas minoritas atau superior inferior
karena semua tertampung dengan sama. Demokrasi yang berlaku bukanlah
demokrasi mayoritarian tetapi adalah demokrasi Pancasila (Oentoro, 2010). Adat
istiadat yang beragam pun juga dihormati dan di abadikan dalam semangat
Bhineka Tunggal Ika. Pancasila adalah suatu sistem nilai yang digali dari nilai dan
identitas bangsa yang berdasarkan atas kehidupan sosial, kultural, dan religiusitas
yang beragam dan majemuk. Nilai-nilai tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan.
Kerukunan umat beragama, keberagaman etinistas, budaya dan bahasa akan
terjaga apabila kita dapat menjaga konsistensi dan komitmen terhadap nilai-nilai
Pancasila. Fakta kemajemukan dan multikulturalitas dalam masyarakat harus
dihormati, dilestarikan, dan dikembangkan berdasarkan atas nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam sila Pancasila.
3. Dalam Jurnal Sejarah Citra Lekha dengan judul “MERAWAT KEBHINEKAAN
MENJAGA KEINDONESIAAN: BELAJAR DARI NILAI KEBERAGAMAN DAN
KEBERSATUAN MASYARAKAT PULAU” Susilowati, Endang dan Noor Naelil
Masruroh (2018: 18), Terjaganya kerukunan antaretnis dan antaragama seperti
terlihat di Natuna dan Karimunjawa tentu merupakan suatu keniscayaan.
Masyarakat di kedua kepulauan tersebut telah mampu menunjukkan gambaran
rapi tentang aneka budaya yang sebenarnya terpisah-pisah. Menurut Adrian
Vickers, di balik gambaran rapi tentang aneka budaya yang terpisah-pisah itu
bersemayam suatu prinsip interaksi dinamis, atau pergerakan aktif heterogenitas,
yang dapat diringkas dalam istilah peradaban pesisir atau peradaban daerah pantai
(Vickers, 2009: 1). Istilah peradaban pesisir memang digunakan oleh Vickers
dalam konteks masyarakat Asia Tenggara, tetapi kiranya dapat pula diterapkan
dalam konteks masyarakat pulau seperti masyarakat Natuna dan Karimunjawa.
Hal itu tidak lain karena konsep peradaban sebenarnya mencakup apa yang
dipahami sebagai budaya, masyarakat, atau negara. Peradaban juga menerabas
14
definisi-definisi religius, namun memberikan kesadaran tentang sebuah dunia
berwawasan tatanan yang merangkul beragam corak (Vickers, 2009: 1;
Sulistiyono, 2015: 8). Barangkali dalam konteks ini dapat dipahami konsep
kebhinekaan sebagaimana dipraksiskan oleh masyarakat Natuna dan
Karimunjawa. Sikap egaliter, terbuka, toleran, dan mudah menerima kehadiran
orang lain merupakan modal dasar bagi masyarakat pesisir dan pulau dengan
keberagaman di berbagai bidang, untuk membina hubungan sosial, ekonomi, dan
budaya yang harmonis dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Mereka
telah menunjukkan kepada kita bahwa keberagaman dan perbedaan tidak perlu
dipertentangkan, tetapi justru harus dikelola dengan baik sehingga dapat menjadi
kekuatan bersama. Jadi, tidak ada salahnya bila kita mau membuka diri dan
bersedia belajar dari mereka.
4. Dalam Jurnal PENA dengan judul “OPTIMALISASI NILAI-NILAI BHINEKA
TUNGGAL IKA DALAM KCB (KOMIK CERMAT BHINEKA) KEPADA SISWA
SEKOLAH DASAR SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN NASIONALISME
MENUJU INDONESIA EMAS 2045” oleh Akhriani, Noviantidan Riska (2015:
284-285), Komik Cermat Bhineka merupakan sebuah komik yang diciptakan
dengan tujuan untuk mempermudah siswa SD dalam memahami makna dari
Bhineka Tunggal Ika. Hal ini dikarenakan pada saat ini banyaknya
kejadiankejadian dalam kehidupan sehari-hari yang jauh dari pengimplementasian
nilai-nilai kebhinekaan itu sendiri, sehingga butuh sebuah solusi untuk
memperbaiki tatanan landasan kita dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Salah satunya dengan memperkuat landasan yang dimulai dari pembentukan
karakter dari generasi muda yang kelak akan menjadi generasi penerus bangsa.
Komik ini akan mengajarkan manfaat dari keragaman berbangsa dan bernegara,
tujuan berbangsa dan bernegara, serta lebih mengutamakan pembentukan moral
dan karakter anak melalui contoh-contoh yang ada dikehidupan sekitar
masyarakat yang mudah dimengerti dan disajikan melalui gambar- gambar yang
menarik. Penyajian gambar-gambar yang menarik dimaksudkan agar anak lebih
muda mengerti dan tanpa siswa sadari apabila membaca komik ini tidak hanya
manfaat berupa kesenangan saja yang diperoleh tetapi anak-anak juga secara tidak
langsung memperoleh pengetahuan. KCB (Komik Cermat Bhineka) memiliki
konsep desain yang hampir sama dengan konsep desain komik umumnya. Hanya
15
saja, dalam pembuatan dan desain komik ini, konsep cerita memiliki sedikit
perbedaan dengan komik yang umumnya kita jumpai. Komik yang saat ini beredar
dan menjadi kegemaran oleh beberapa orang biasanya bergenre adventures,
romans, horror, heroes, dan lain-lain. KCB mengangkat isu-isu dan masalah sosial
yang dikaitkan dengan nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika. Dalam konsep komiknya,
ceritacerita yang diangkat akan dibawa secara ringan dan mudah dipahami oleh
anak-anak sehingga daya kognitif anak-anak tersebut akan teransang dan secara
tidak sadar lambat laun akan mempengaruhi prilaku dari anak-anak tersebut.
Cerita-cerita yang termuat dalam komik adalah permasalahan yang sering terjadi
yang berkaitan akan perbedaan, dan keanekaragaman Indonesia itu sendiri. Cerita
tersebut juga akan disisipkan sedikit cerita jenaka dalam penggambaran konsep
komik tersebut. Berikut 2 contoh komik yang bisa meningkatkan nilai-nilai
kebhinekaan:

Gambar 3. Komik Cahaya Pahlawan


(Sumber: researchgate.net)

Gambar 4. Gotong Royong Bantu Warga Isolasi


(Sumber: Covid19.co.id)

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, golongan, dan agama ini
sesungguhnya telah merasakan bahwa satu dengan lainnya ada titik temu (persilangan
kategori) dan ada kecocokan satu dengan lainnya (cultural fit). Modal ini sangat penting
dalam mengembangkan persatuan dan identitas bangsa yang di dalamnya mengandung
kebhinnekaan. Diperlukan satu hal penting lagi untuk mengarah ke sana, yaitu akses antar
kelompok (Liebkind, 2003; Padilla & Perez, 2003; Voci, 2006). Adalah tugas negara dan
menjadi kesadaran bersama bahwa menjadi bangsa yang multi kultur berarti harus siap saling
berinteraksi antar budaya.

3.2 Saran
Sebagai masyarakat Indonesia seharusnya kita menjaga persatuan dan kesatuan ditengah
hiruk pikuknya keanekaragaaman yang terus bercampur dengan pengaruh moderen saat ini.
Manfaatkan keanekaragaman budaya yang ada untuk diperkenalkan kepada masyarakat lain
yang memiliki budaya yang berbeda dengan kita. Ciptakan nilai toleransi yang tinggi dalam
diri kita.

17
Daftar Pustaka
Anonim. 2015. https://www.academia.edu/15116981. Diakses pada 20 November 2020
Anonim, 2019. https://www.researchgate.net/publication/336576427_MODEL-
MODEL_PSIKOLOGI_KEBHINNEKATUNGGALIKAAN_DAN_PENERAPANN
YA_DI_INDONESIA. Diakses pada 20 November 2020
Anonim. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/sabda/article/viewFile/13248/10033. Diakses
pada 20 November 2020
Anonim, 2020. https://simposiumjai.ui.ac.id/wp-content/uploads/20/2020/03/2.4.1-Payung-
Bangun.pdf. Diakses pada 20 November 2020
Ahmadi, Abu. 1991. Kamus Lengkap Sosiologi, Solo: CV. Aneka
Akhriani, Novianti dan Riska. 2015. OPTIMALISASI NILAI-NILAI BHINEKA TUNGGAL
IKA DALAM KCB (KOMIK CERMAT BHINEKA) KEPADA SISWA SEKOLAH
DASAR SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN NASIONALISME MENUJU
INDONESIA EMAS 2045. Jurnal PENA. Volume 2, Nomor 1, hal: 279-287.
Amin, M. Ali Syamsuddin. 2017. KOMUNIKASI SEBAGAI PENYEBAB DAN SOLUSI
KONFLIK SOSIAL. Jurnal Common. Volume 1 Nomor 2, hal: 101-108.
Astri, Herlina. 2012. PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL MELALUI PENGUATAN
KEARIFAN LOKAL. Vol. 2No. 2, hal: 151-162.
Bachtiar, Harsya W., Mattulada, Haryati Soebadio. 1985. Budaya dan Manusia Indonesia.
Yogyakarta: Hanindita.
Boediono. 2007. Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia. Pidato Pengukuhan
Guru Besar Pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 24 Februari 2007.
Coser, Lewis A. 1956. The Functions of Social Conflict, New York: The Free Press
Effendi, S. dkk. 2003. Curah Gagas dari Bulaksumur: Meluruskan Jalan Reformasi.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Hakim, Sholihul, dkk. 2020. KTUALISASI KEBINEKAAN ERA NEW NORMAL DI
LINGKUNGAN PENDIDIKAN TINGGI. Jurnal Kalacakra. Volume 01, Nomor 01,
hal: 32-40.
Irwandi, dan Endah R. Chotim. 2017. ANALISIS KONFLIK ANTARA MASYARAKAT,
PEMERINTAH DAN SWASTA (Studi Kasus di Dusun Sungai Samak, Desa Sungai
Samak, Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung). VOL. 7 No. 2, hal: 24-42.
Koentjaraningrat. (1997). Pengantar Antopologi pokok-pokok etnografi II, Jakarta: Rineka
Cipta.
Latif, Fauzn, 2012. “Strategi Komunikasi dalam Penyelesaian Konflik Buton Utara.
Mardawani. 2016. REFLEKSI 71 TAHUN KEMERDEKAAN INDONESIA:
KEBHINEKAAN DAN DEMOKRASI. Jurnal PEKAN. Vol 1 No 2, hal: 120-130.
Melalatoa, M. Junus (Penyunting). 1997. Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: FISIP UI & PT
Pamator
Oebaidillah , Syarief, 2018. Tumbuhkan Cinta Tabah Air melalui Keanekaragaman Budaya.
https://www.mediaindonesia.com. Diakses pada 17 September 2018
Oentoro, Jimmy., 2010, Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa: Membangun
Bhineka Tunggal Ika di Bumi Nusantara, Jakarta: Kompas Gramedia.
Poloma, Margaret M. 1994. Sosiologi Kontemporer, Yogyakarta: Raja Grafindo Persada,
Putra, H. Shri Ahimsa, “Cara-cara Menyelesaikan Sengketa dalam Masyarakat
Pedesaan di Indonesia”, dalam SARA: Potensi atau Konflik ?, Yogyakarta: Jurnal
Ilmu-ilmu Sosial, Unisia No. 40/XXII/IV/1999.
Purwanto, B. (2012).“Merajut Kebhinekaan dan Kearifan Budaya bagi Kemajuan dan
Kesejahteraan Indonesia”. Pidato Ilmiah Dalam Rangka Peringatan Dies Natalis ke-
63.
Rambe, Tappil. 2017. MEMBINGKAI KEBHINEKAAN DAN KEDAULATAN DALAM
BERBANGSA DAN BERNEGARA DARI SUDUT PANDANG SOSIAL POLITIK
NASIONAL. JURNAL GENERASI KAMPUS. VOL 10, NO. 2, hal: 211-233.
Saliyo. 2012. Konsep Diri dalam Budaya Jawa. BULETIN PSIKOLOGI. VOL 20, NO. 1-2,
hal: 26 – 35.
Shofa, Abd Mu’id Aris. 2016. MEMAKNAI KEMBALI MULTIKULTURALISME
INDONESIA DALAM BINGKAI PANCASILA. Jurnal Pancasila dan
Kewarganegaraan. Vol. 1, No. 1, hal: 34-41.
Sulistiyono, S. T. (2015). “Multikulturalisme dalam Perspektif Budaya Pesisir”, Jurnal
Agastya, Vol. 5 (1): 1-18.
Sumartias, Suwandi dan Agus Rahmat. 2013. FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMENGARUHI KONFLIK SOSIAL. Jurnal Penelitian Komunikasi. Vol. 16 No. 1,
hal: 13-20.
Suparlan, Parsudi. 2006. Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya. Vol. 30, No. 2, hal:
138-150.
Susilowati, E., & Masruroh, N. N. (2018). Merawat kebhinekaan menjaga keindonesiaan:
Belajar keberagaman dan kebersatuan dari masyarakat pulau. Jurnal Sejarah Citra
Lekha, 3(1), 13-19.
Teng, H. Muhammad Bahar Akkase. 2017. FILSAFAT KEBUDAYAAN DAN SASTRA
(DALAM PERSPEKTIF SEJARAH). JURNAL ILMU BUDAYA. Volume 5, Nomor
1, hal: 69-74.
Tylor, Edward Burnett. 1871. Primitive Culture. Vol. 1 & Vol. 2. London: John Murray,
1920.
Ummatin, Khoiro. 2017. KONFLIK DAN INTEGRASI UMAT BERAGAMA DALAM
BUDAYA LOKAL DI LOKA MUKSA SRI AJI JOYOBOYO MENANG PAGU
KEDIRI. Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat. Volume 1, Nomor 1, hal: 37-51.
Utami, M.F. Lestari Budi. 2018. Pendidikan Karakter Cinta Tanah Air dan Kebhinekaan
Melaui Lomba Kebersihan dan Keindahan Kelas dengan Tema Adat Nusantara.
JURNAL PENDIDIKAN: Riset & Konseptual. Vol. 2 No. 4, hal: 462-465.
Vickers, A. (2009). Peradaban Pesisir: Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Denpasar:
Pustaka Larasan-Udayana University Press.
Winarni, Luh Nila. 2020. EKSISTENSI PANCASILA DALAM MENGHADAPI
ANCAMAN KEBHINEKAAN. Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan. Volume 8
No. 1, hal: 90-96.

Anda mungkin juga menyukai