WAWASAN BUDAYA
DOSEN PENGAJAR:
OLEH:
Kelas : Kimia A
Nim : 442419041
FAKULTAS MIPA
JURUSAN KIMIA
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta Nabi Muhammad SAW sebagai tauladan bagi
kita umat muslim.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
untuk makalah ini.
Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan serta memberikan manfaat bagi
kita semua. Ucapan terimah kasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada Dosen Wawasan
Budaya Bapak Dr. Lukman AR Laliyo, S.Pd., M.Pd., MM selaku dosen pengajar dalam
mata kuliah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I ................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN................................................................................................................ 1
BAB II.................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN .................................................................................................................. 3
PENUTUP ......................................................................................................................... 17
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................... 17
3.2 Saran.................................................................................................................... 17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kebudayaan di Indonesia
2. Untuk mengetahui konflik sosial di Indonesia
3. Untuk mengetahui solusi kebhinekaan di Indonesia
2
BAB II
PEMBAHASAN
4
2. Sistem Budaya Agama-agama Besar, yang bersumber dari praktek agama-agama
Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan Katolik;
3. Sistem Budaya Indonesia: bahasa Indonesia (dari Melayu), nama Indonesia,
Pancasila dan UUD-RI.
4. Sistem Budaya Asing: budaya-budaya India, Belanda, Arab/Timur Tengah, Cina,
Amerika, Jepang, dsb. Selain itu, dapat ditambah “Sistem Budaya Campuran.”
5
masyarakat tidak mampu dikelola dan diatasi dengan baik maka konflik akan menimbulkan
dampak buruk hingga timbulnya berbagai kerusakan baik itu fisik maupun non fisik, ketidak-
amanan, ketidakharmonisan, dan menciptakan ketidakstabilan, bahkan sampai
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Sebagaimana konflik yang terjadi antara masyarakat,
pemerintah desa dan perusahaan tambang pasir bangunan di Dusun Sungai Samak, Desa
Sungai Samak Kecamatan Badau Kabupaten Belitung.
Konflik dalam kehidupan sehari-hari, tidak selamanya berupa benturan fisik antar
anggota masyarakat. Suatu cara untuk menuju tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan,
tanpa menghiraukan norma dan nilai yang berlaku merupakan bentuk konflik (Ahmadi,
1991: 57). Salah seorang sosiolog yaitu Lewis Coser menyatakan bahwa konflik adalah
pertentangan atau perjuangan yang bersifat langsung dan disadari antara individu atau
kelompok untuk memperoleh pengakuan status, kekuasaan, pengaruh, dan sumber daya. Pada
saat yang sama masing-masing pihak yang bertentangan berusaha melenyapkan pengaruh
pihak lawannya (Coser, 1956: 7).
Poloma (2003) mengatakan bahwa konflik merupakan proses yang bersifat
instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat
menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan
kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak
lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
a. Beberapa Konflik di Indonesia
1. Konflik Aceh
Dua konflik yang sampai sekarang ini masih terus belum terselesaikan adalah
yang tejadi di daerah Aceh dan Irian Jaya. Kedua konflik tersebut mengandung
suasana politik yang didalamnya terkesan ada faktor etnik, dengan demikian
merupakan konflik vertikal, yaitu antara dearh dan pusat, yang kalau diusut pada
bagan bawahnya terdapat faktor etnik. Faktor etnik dapat diusut ke beberapa tahun
sebelum keadaan seperti yang sekarang bermula. Sepanjang tahun 1960-an pernah
menjadi konflik antar etnik di Sinabang di pulau Simeulu. Pada waktu itu terjadi
eksodus penduduk pulau tersebut yang berasal dari Tapanuli. Kemudian faktor etnik
yang melahirkan kecemburuan sosial terjadi di daerah pertambangan di Aceh Timur
yang timbul karena masyarkat setempat merasa “dikucilkan “ dalam penerimaan
tenaga kerja atau karyawan untuk proyek-proyek besar di daerahnya. Selain daripada
6
kadua contoh diatas eksodusnya para transmigran dari beberapa lokasi di Aceh dapat
dilihat sebagai dampak dari ketidakserasian etnik.
2. Konflik Irian Jaya
Apa yang terjadi di Aceh, meskipun banyak pebedaannya ditemukan pula di Irian
Jaya. Masuknya modal besar-besaran melalui pembangunan proyek-proyek raksasa,
seperti Freeport, menimbulkan goncangan-goncangan dalam kahidupan masyarakat.
Loncatan besar yang dimasukkan melalui perusahaan besar tidak dapat diikuti oleh
masyarakt sekitarnya. Kehidupan yang dapat digolongkan dalam zaman batu
diloncatkan langsung ke zaman pasca industri.
3. Kerusuhan Ambon
Konflik yang semula terjadi antara orang-orang Bugis, Buton, dan Makasar
(BBM) yang beragama Islam di satu pihak, dengan orang-orang Ambon di kota
Ambon yang beragama Kristen di pihak lain, telah bergeser menjadi konflik antara
sesama Orang Ambon, yaitu antara Orang Ambon yang beragama Islam dengan yang
beragama Kristen. Akibatnya, kerusuhan yang saat ini terjadi di Ambon adalah
kerusuhan sosial antara orangorang Ambon Kristen lawan Islam. Dari berita terakhir
yang ada di media massa, kita ketahui bahwa kota Ambon dibagi dalam
wilayahwilayah Kristen dan Islam.
7
kearifan lokal. Selain bermanfaat sebagai alternatif penyelesaian konflik, kearifan lokal
juga memelihara dan berpegang teguh pada jati diri bangsa.
Keempat tahap resolusi konflik yang telah diuraikan pada kerangka konseptual, harus
dilihat sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dijalankan secara terpisah. Meskipun tidak
semuanya dapat dilakukan dengan menggunakan kearifan lokal, namun tahap-tahap
tersebut menunjukkan bahwa resolusi konflik menempatkan perdamaian sebagai suatu
proses terbuka yang tidak pernah berakhir. Semua pihak yang terlibat dalam
memanfaatkan kearifan lokal untuk penyelesaian konflik-konflik sosial, bertanggung
jawab baik dalam proses maupun pelaksanaan hasil resolusi tersebut.
Konflik dalam kehidupan manusia memang tidak mungkin untuk dipisahkan. Sebab
untuk memenuhi kebutuhan hidup, umumnya manusia melakukan berbagai usaha yang
dalam pelaksanaannya selalu dihadapkan pada sejumlah hak dan kewajiban. Jika
penempatan hak dan kewajiban tersebut dilakukan dengan baik, maka kemungkinan kecil
akan terjadi konflik dan begitu pula sebaliknya. Terkait dengan hal tersebut, tentunya
setiap wilayah di Indonesia memang memiliki potensi konflik cukup besar.
Kearifan lokal dianggap sebagai salah satu satu alternatif pemecahan masalah dalam
penyelesaian konflik. Kebijakan lokal yang mengakar dan dianggap sakral, menyebabkan
pelaksanaannya dapat lebih efisien dan efektif karena mudah diterima masyarakat.
Kearifan lokal berpotensi untuk mendorong keinginan masyarakat hidup rukun dan
damai. Tradisi dan budaya lokal umumnya memang mengajarkan perdamaian hidup
selaras dengan lingkungan sosialnya. Hal ini selaras dengan pendapat I Ketut Gobyah,
bahwa pada dasarnya memang kearifan lokal itu mentradisi secara turun temurun. Di
dalamnya berisi norma-norma yang mengajarkan kerukunan dan kebersamaan dalam
hidup bermasyarakat.
Pendekatan kearifan lokal memang tidak bisa disamakan antara daerah yang satu
dengan daerah lainnya. Namun kearifan lokal tetap berintikan pada pendekatan budaya,
dengan memanfaatkan nilai dan budaya lokal yang telah dimiliki masyarakat lokal
tersebut. Seperti halnya yang dikemukakan S. Swarsi Geriya, bahwa kearifan lokal
memang terdiri dari nilai-nilai, etika, dan perilaku yang melembaga secara tradisional.
Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat yang hidup bersama dalam tuntunan sebuah
tata nilai, akan saling melengkapi aturan-aturan mereka dengan sejumlah kebijakan lokal
yang membudaya. Tujuannya tentu untuk mengantisipasi berbagai permasalahan yang
disebabkan oleh adanya kesalahpahaman.
8
Kearifan lokal sebagai media paling ampuh untuk menemukan solusi dalam
penyelesaian konflik. Kondisi tersebut dilakukan dengan mengajak masyarakat yang
terlibat konflik untuk berdiskusi dan menegosiasikan keinginan masing-masing terhadap
pihak lainnya. Hal ini akan memberikan pengaruh terhadap bentuk penyelesaian yang
dianggap mungkin dan tepat, serta dapat dijadikan peringatan dini terhadap konflik
(conflict early warning system).
Penerapan kearifan lokal memang tidak mudah, dikarenakan begitu banyak nilai-nilai
dari luar yang saat ini banyak diadospi oleh masyarakat Indonesia. Namun demikian
peluang untuk mengedepankan kearifan lokal sebagai penyelesaian konflik juga masih
ada. Hal ini sesuai dengan pendapat Moendardjito dalam Ayatrohaedi (1986:40-44)
mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai kearifan lokal karena telah
teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Keempat ciri kearifan lokal yang
dicontohkan olehnya merupakan kekuatan yang potensial bagi penyelesaian konflik.
1. Kearifan Lokal Mampu Bertahan terhadap Budaya Luar; Salah satu keunikan kearifan
lokal adalah kekuatannya untuk berhadapan dengan budaya luar. Selain tidak mudah
mendapatkan pengaruh dari budaya luar, kearifan lokal cenderung memelihara dan
menjaga anggota kelompoknya untuk tetap tunduk pada aturan yang berlaku.
Berbagai aturan lokal yang mengikat tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang
mengekang, tetapi menjadi bentuk penghormatan mereka terhadap nilai-nilai luhur
nenek moyang.
2. Kearifan Lokal Memiliki Kemampuan Mengakomodasi Unsur-unsur Budaya Luar;
Kearifan lokal tidak menolak budaya luar, tetapi berupaya untuk mengakomodasinya
agar selaras dengan budaya lokal. Tujuannya tentu untuk menjaga nilai-nilai lokal
agar tetap tumbuh, terutama bagi generasi penerus. Hal ini dilakukan agar generasi
selanjutnya semakin memperkuat kebijakan-kebijakan lokal yang memang ditujukan
untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Hasil akomodasi dari budaya luar
digunakan untuk memperkaya nilai-nilai kearifan lokal yang telah dimiliki.
3. Kearifan Lokal Mempunyai Kemampuan Mengintegrasikan Unsur Budaya Luar ke
dalam Budaya Asli; Budaya luar yang makin lama semakin banyak memasuki
wilayah Indonesia, seharusnya diadaptasikan dalam budaya lokal agar tidak merusak
tatanan hidup Herlina Astri, Penyelesaian Konflik Sosial masyarakat Indonesia.
Kecenderungan yang terjadi banyak sekali kelompok masyarakat yang
mengadopsikannya, padahal akan lebih baik untuk diadaptasikan agar tidak
9
bertentangan dengan budaya lokal sendiri. Sebab adospi dapat diartikan sebagai
sebuah tindakan menerima penuh datangnya budaya luar tersebut, bukan
menyesuaikan dan mengintegrasikannya ke dalam budaya sendiri.
4. Kerifan Lokal Mempunyai Kemampuan Mengendalikan; Kearifan lokal selain
memelihara anggota kelompoknya, juga dapat digunakan untuk mengendalikan
keinginan-keinginan melakukan tindakan destruktif. Pola yang terbentuk dalam
kearifan lokal menunjuk pada nilai kebersamaan, kekeluargaan, kegotong-royongan
dan kemauan untuk menyelesaikan permasalahan dengan jalan musywarah. Pola
tersebut sangat potensial untuk mencegah, mengurangi bahkan mengatasi konflik-
konflik sosial yang terjadi saat ini. Kembali pada kearifan lokal berarti menunjukkan
kekuatan bangsa sendiri dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
5. Kearifan Lokal Mampu Memberi Arah pada Perkembangan Budaya; Kondisi bangsa
Indonesia yang semakin kehilangan jati dirinya, menyebabkan penguatan kearifan
lokal perlu dilakukan. Sebab kearifan lokal mampu mengarahkan kembali jati diri
Indonesia yang sesuai dengan keragaman budayanya. Keberadaan kearifan lokal tidak
hanya dapat digunakan untuk mengatasi konflik, tetapi juga memberikan pengayaan
pada nilai-nilai budaya yang luhur.
Hasil penelitian Latif (2012) menyimpulkan dalam penelitianya yang berjudul
“Strategi Komunikasi dalam Penyelesaian Konflik Buton Utara,” sebagai berikut:
1. Iklim komunikasi yang berlangsung antara pihak pemerintah Kabupaten Buton
Utara dengan masyarakat menunjukan keadaan yang kurang baik karena
penerapan strategi kemunikasi yang tidak tepat. Hali ini terlihat dari (a) komunitas
dan frekuensi komunikasi antara pemerintah dengan masyrakat sangat minim; (b)
suasana komunikasi yang tercipta selalu dalam suasana disharmonis.
2. Resolusi konflik terhadap penetapan Ibukota Kabupaten Buton Utara dilakukan
melalui: (a) pendekatan celling effect dalam rangka mensejajarkan informasi dan
komunikasidi masyarakat; (b) pendekatan narrow casting dalam rangka
merangsang keterlibatan masyarakat secara aktif dalam setiap proses komunikasi;
(c) pemanfaatan saluran tradisional dengan cara melibatkan tokoh masyarakat
kharismatik dan tradisi budaya yang merupakan bagian dari sikap dan perilaku
dalam masyarakat; dan (d) menciptakan mekanisme keikutsertaan khalayak, yaitu
mekanisme komunikasi partisipasi yang dilakukan dengancara mengikutsertakan
(partisipasi) masyarakat/khalayak dalam setiap aktivitas komunikasi. Keseluruhan
10
pendekatan tersebut bertujuan menyelesaikan konflik sehubungan dengan
penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara. Namun dalam praktiknya tidak satu
pun pendekatan resolusi konflik yang diimplementasikan oleh pemerintah
Kabupaten Buton Utara.
Selain itu, syarat utama bagi setiap upaya penanganan konflik sosial agar dapat
menghentikan konflik tersebut, ialah adanya suatu pranata atau organisasi (yang terbaik
adalah polisi) yang dipercaya oleh pihak-pihak yang bermusuhan, dan yang digolongkan
sebagai pihak ketiga, yang artinya tidak mempunyai kepentingan dalam konflik tersebut.
Pihak ketiga itu dipercaya karena keadilan dan kekuatan yang dipunyainya. Bila polisi
juga mempunyai kepentingan dalam konflik atau kerusuhan sosial yang terjadi, maka
polisi tidak dapat berfungsi sebagai penghenti konflik sosial tersebut.
11
cukup hanya diwujudkan dengan kemampuan seseorang untuk mengeluarkan kata-kata bijak
dan menarik bagi para pendengarnya saja, melainkan harus benarbenar diwujudkan dengan
tindakan nyata.
Keanekaragaman suku, budaya, ras dan agama yang ada pada diri bangsa Indonesia
merupakan keunggulan sekaligus tantangan. Kebhinnekaan merupakan kekuatan dan
kekayaan sekaligus juga merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia. Tantangan itu sangat
terasa terutama ketika bangsa Indonesia membutuhkan kebersamaan dan persatuan dalam
rangka menghadapi dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik yang
berasal dari dalam maupun dari luar negeri, seperti dewasa ini kita sedang menghadapi dan
berupaya memecahkan serta mengakhiri krisis multi dimensional dan krisis ekonomi yang
sudah berlangsung cukup lama. Tanpa adanya persatuan dan kesatuan visi dan misi dari
seluruh bangsa Indonesia mustahil kita dapat keluar dari krisis tersebut.
a. Beberapa Cara Mempertahankan Nilai-nilai Kebhinekaan
1. Dalam JURNAL PENDIDIKAN: Riset & Konseptual dengan judul “Pendidikan
Karakter Cinta Tanah Air dan Kebhinekaan Melaui Lomba Kebersihan dan
Keindahan Kelas dengan Tema Adat Nusantara” oleh Utami, M.F. Lestari Budi
(2014: 463-464),
a) Bangga menjadi orang Indonesia Indonesia adalah negara yang terkenal
karena kekayaan dan keindahan alamnya, serta keragaman budayanya, maka
tidak heran jika banyak wisatawan manca negara yang berbondong-bondong
mengunjungi Indonesia. Sebagai warga negara kita harus bangga dan ikut
menjaga kekayaan, keindahan alam serta budaya yang kita miliki.
b) Melestarikan Budaya Wanita India lebih bangga mengenakan Sari mereka dari
pada baju casual sehari-hari. Bahkan trend sari sempat menjamur di Indonesia.
Indonesia sebetulnya sudah memiliki batik yang indah, dan kebaya yang
feminis, tetapi kita sebagai orang Indonesia kadang belum bisa secara total
bengga dengan apa yang kita miliki. Pakaian adat Indonesia hanyalah salah
satu contoh, dan masih banyak contoh yang lain, misalnya tarian daerah, lagu-
lagu daerah, alat musi, upacara tradisional dan lain-lain.
c) Menggunakan produk Lokal Mari kita galakkan penggunaan produk-produk
dalam negeri, mulai dari ponsel, notebook, pakaian, sampai makanan, karena
sebetulnya banyak produk dalam negeri yang kualitasnya bagus. Jika kita
12
menggunakan produk dalam negeri kita bisa menbantu perekonomian dan
mengurangi pengangguran.
Oebaidiliah ( 2018) menumbuhkan pemahaman dan kecintaan budaya nasional
dapat melalui berbagai kegiatan misalnya pertunjukan atau lomba-lomba misalnya
lagu-lagu daerah, pakaian adat atau pakaian daerah, tarian daerah, dan sebagainya
sehingga para pelajar bisa mengenal jati diri bangsa, serta dapat menumbuhkan
cinta tanah air. Selain itu, dengan kebersamaan di kalangan pelajar juga bisa
menumbuhkan sikap saling toleransi satu sama lain, dan menghargai serta
menghormati perbedaan sesama mereka.
Kegiatan lomba-lomba Kebersihan Dan Keindahan Kelas biasanya
dilaksanakan pada bulan Agustus. Di sekolah tempat saya bekerja yaitu di SMP 2
Blitar, kegiatan Lomba Kebersihan Dan Keindahan Kelas dilaksanakan sekitar
pertengahan bulan Agustus, kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka peringatan
HUT kemerdekaan RI dan sekaligus peringatan Dies Natalis SMPN 2 Blitar, yang
juga jatuh pada awal bulan Agustus. Peilaian lomba dilaksanakan beberapa kali
dalam seminggu secara rutin.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, golongan, dan agama ini
sesungguhnya telah merasakan bahwa satu dengan lainnya ada titik temu (persilangan
kategori) dan ada kecocokan satu dengan lainnya (cultural fit). Modal ini sangat penting
dalam mengembangkan persatuan dan identitas bangsa yang di dalamnya mengandung
kebhinnekaan. Diperlukan satu hal penting lagi untuk mengarah ke sana, yaitu akses antar
kelompok (Liebkind, 2003; Padilla & Perez, 2003; Voci, 2006). Adalah tugas negara dan
menjadi kesadaran bersama bahwa menjadi bangsa yang multi kultur berarti harus siap saling
berinteraksi antar budaya.
3.2 Saran
Sebagai masyarakat Indonesia seharusnya kita menjaga persatuan dan kesatuan ditengah
hiruk pikuknya keanekaragaaman yang terus bercampur dengan pengaruh moderen saat ini.
Manfaatkan keanekaragaman budaya yang ada untuk diperkenalkan kepada masyarakat lain
yang memiliki budaya yang berbeda dengan kita. Ciptakan nilai toleransi yang tinggi dalam
diri kita.
17
Daftar Pustaka
Anonim. 2015. https://www.academia.edu/15116981. Diakses pada 20 November 2020
Anonim, 2019. https://www.researchgate.net/publication/336576427_MODEL-
MODEL_PSIKOLOGI_KEBHINNEKATUNGGALIKAAN_DAN_PENERAPANN
YA_DI_INDONESIA. Diakses pada 20 November 2020
Anonim. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/sabda/article/viewFile/13248/10033. Diakses
pada 20 November 2020
Anonim, 2020. https://simposiumjai.ui.ac.id/wp-content/uploads/20/2020/03/2.4.1-Payung-
Bangun.pdf. Diakses pada 20 November 2020
Ahmadi, Abu. 1991. Kamus Lengkap Sosiologi, Solo: CV. Aneka
Akhriani, Novianti dan Riska. 2015. OPTIMALISASI NILAI-NILAI BHINEKA TUNGGAL
IKA DALAM KCB (KOMIK CERMAT BHINEKA) KEPADA SISWA SEKOLAH
DASAR SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN NASIONALISME MENUJU
INDONESIA EMAS 2045. Jurnal PENA. Volume 2, Nomor 1, hal: 279-287.
Amin, M. Ali Syamsuddin. 2017. KOMUNIKASI SEBAGAI PENYEBAB DAN SOLUSI
KONFLIK SOSIAL. Jurnal Common. Volume 1 Nomor 2, hal: 101-108.
Astri, Herlina. 2012. PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL MELALUI PENGUATAN
KEARIFAN LOKAL. Vol. 2No. 2, hal: 151-162.
Bachtiar, Harsya W., Mattulada, Haryati Soebadio. 1985. Budaya dan Manusia Indonesia.
Yogyakarta: Hanindita.
Boediono. 2007. Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia. Pidato Pengukuhan
Guru Besar Pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 24 Februari 2007.
Coser, Lewis A. 1956. The Functions of Social Conflict, New York: The Free Press
Effendi, S. dkk. 2003. Curah Gagas dari Bulaksumur: Meluruskan Jalan Reformasi.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Hakim, Sholihul, dkk. 2020. KTUALISASI KEBINEKAAN ERA NEW NORMAL DI
LINGKUNGAN PENDIDIKAN TINGGI. Jurnal Kalacakra. Volume 01, Nomor 01,
hal: 32-40.
Irwandi, dan Endah R. Chotim. 2017. ANALISIS KONFLIK ANTARA MASYARAKAT,
PEMERINTAH DAN SWASTA (Studi Kasus di Dusun Sungai Samak, Desa Sungai
Samak, Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung). VOL. 7 No. 2, hal: 24-42.
Koentjaraningrat. (1997). Pengantar Antopologi pokok-pokok etnografi II, Jakarta: Rineka
Cipta.
Latif, Fauzn, 2012. “Strategi Komunikasi dalam Penyelesaian Konflik Buton Utara.
Mardawani. 2016. REFLEKSI 71 TAHUN KEMERDEKAAN INDONESIA:
KEBHINEKAAN DAN DEMOKRASI. Jurnal PEKAN. Vol 1 No 2, hal: 120-130.
Melalatoa, M. Junus (Penyunting). 1997. Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: FISIP UI & PT
Pamator
Oebaidillah , Syarief, 2018. Tumbuhkan Cinta Tabah Air melalui Keanekaragaman Budaya.
https://www.mediaindonesia.com. Diakses pada 17 September 2018
Oentoro, Jimmy., 2010, Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa: Membangun
Bhineka Tunggal Ika di Bumi Nusantara, Jakarta: Kompas Gramedia.
Poloma, Margaret M. 1994. Sosiologi Kontemporer, Yogyakarta: Raja Grafindo Persada,
Putra, H. Shri Ahimsa, “Cara-cara Menyelesaikan Sengketa dalam Masyarakat
Pedesaan di Indonesia”, dalam SARA: Potensi atau Konflik ?, Yogyakarta: Jurnal
Ilmu-ilmu Sosial, Unisia No. 40/XXII/IV/1999.
Purwanto, B. (2012).“Merajut Kebhinekaan dan Kearifan Budaya bagi Kemajuan dan
Kesejahteraan Indonesia”. Pidato Ilmiah Dalam Rangka Peringatan Dies Natalis ke-
63.
Rambe, Tappil. 2017. MEMBINGKAI KEBHINEKAAN DAN KEDAULATAN DALAM
BERBANGSA DAN BERNEGARA DARI SUDUT PANDANG SOSIAL POLITIK
NASIONAL. JURNAL GENERASI KAMPUS. VOL 10, NO. 2, hal: 211-233.
Saliyo. 2012. Konsep Diri dalam Budaya Jawa. BULETIN PSIKOLOGI. VOL 20, NO. 1-2,
hal: 26 – 35.
Shofa, Abd Mu’id Aris. 2016. MEMAKNAI KEMBALI MULTIKULTURALISME
INDONESIA DALAM BINGKAI PANCASILA. Jurnal Pancasila dan
Kewarganegaraan. Vol. 1, No. 1, hal: 34-41.
Sulistiyono, S. T. (2015). “Multikulturalisme dalam Perspektif Budaya Pesisir”, Jurnal
Agastya, Vol. 5 (1): 1-18.
Sumartias, Suwandi dan Agus Rahmat. 2013. FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMENGARUHI KONFLIK SOSIAL. Jurnal Penelitian Komunikasi. Vol. 16 No. 1,
hal: 13-20.
Suparlan, Parsudi. 2006. Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya. Vol. 30, No. 2, hal:
138-150.
Susilowati, E., & Masruroh, N. N. (2018). Merawat kebhinekaan menjaga keindonesiaan:
Belajar keberagaman dan kebersatuan dari masyarakat pulau. Jurnal Sejarah Citra
Lekha, 3(1), 13-19.
Teng, H. Muhammad Bahar Akkase. 2017. FILSAFAT KEBUDAYAAN DAN SASTRA
(DALAM PERSPEKTIF SEJARAH). JURNAL ILMU BUDAYA. Volume 5, Nomor
1, hal: 69-74.
Tylor, Edward Burnett. 1871. Primitive Culture. Vol. 1 & Vol. 2. London: John Murray,
1920.
Ummatin, Khoiro. 2017. KONFLIK DAN INTEGRASI UMAT BERAGAMA DALAM
BUDAYA LOKAL DI LOKA MUKSA SRI AJI JOYOBOYO MENANG PAGU
KEDIRI. Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat. Volume 1, Nomor 1, hal: 37-51.
Utami, M.F. Lestari Budi. 2018. Pendidikan Karakter Cinta Tanah Air dan Kebhinekaan
Melaui Lomba Kebersihan dan Keindahan Kelas dengan Tema Adat Nusantara.
JURNAL PENDIDIKAN: Riset & Konseptual. Vol. 2 No. 4, hal: 462-465.
Vickers, A. (2009). Peradaban Pesisir: Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Denpasar:
Pustaka Larasan-Udayana University Press.
Winarni, Luh Nila. 2020. EKSISTENSI PANCASILA DALAM MENGHADAPI
ANCAMAN KEBHINEKAAN. Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan. Volume 8
No. 1, hal: 90-96.