Ergonomik berasal dari Bahasa Yunani, yaitu Ergon dan Nomos. Ergon memiliki arti kerja dan Nomos
memiliki arti hukum; jadi pengertian Ergonomik itu sendiri secara garis besar adalah “Studi tentang
manusia untuk menciptakan sistem kerja yang lebih sehat, aman dan nyaman”. Seorang praktisi
dibidang kesehatan khususnya kedokteran gigi harus memahami tujuan mempelajari ergonomik
karena dengan memahami tujuan ergonomik dalam lingkungan kerja, sehingga praktisi kesehatan
akan terhindar dari musculoskeletal disorders (MSDs) dan tentu efek jangka panjangnya adalah
praktisi dapat bekerja lebih lama tanpa mengganggu produktifitas dalam bekerja.
- Untuk mendapatkan hasil yang optimal pada pekerjaan dokter gigi, hal ini dapat dicapai
dengan menguasai pengetahuan dan teknik kerja.
- Menghemat waktu. Dengan menguasai urutan kerja dan prosedur, dokter gigi dapat
berkerja secara efektif dan cepat tanpa ragu-ragu dan ini dapat menghematkan waktu dalam
perawatan.
- Untuk bekerja secara efisien. Efisiensi kerja dapat ditingkatkan dengan cara meletakkan
peralatan dan bahan disusun secara berurutan dengan tahap prosedur kerja yang dilakukan.
- Supaya dokter gigi dapat bekerja dengan nyaman. Hal ini dapat dicapai dengan cara
meletakkan dental chair, meja peralatan, dental lamp, serta posisi operator dan asistennya.
- Untuk mendapatkan kepercayaan dari pasien. Kerja yang efisien dan kenyamanan pasien
akan memberikan rasa kepercayaan pasien kepada dokter gigi dan membina hubungan yang
positif antara pasien dengan dokter gigi.
2. Kekuatan (Force)
3. Mechanical stresses
4. Postur tubuh
5. Getaran
6. Temperatur
Saat melakukan prosedur pemakaian alat pelindung diri (APD), perlu ada seorang petugas
terlatih yang melakukan supervisi prosedur sesuai protokol dan juga seorang asisten yang
membantu memakaikan atribut tertentu. Berikut ini prosedur penggunaan (donning) APD:
1. Sebelum menggunakan alat pelindung diri, petugas melepaskan seluruh perhiasan
yang dikenakan termasuk jam tangan. Petugas yang berambut panjang harus mengikat
rambut. Petugas yang berkacamata harus melekatkan kacamata supaya tidak jatuh
2. Inspeksi kondisi alat pelindung diri, memastikan ukurannya sesuai dengan tubuh
petugas dan tidak ada kerusakan pada alat
3. Lakukan cuci tangan (hand hygiene)
4. Kenakan sepatu Lalu, pasang boot cover, ikat tali yang melingkari boot
cover. Usahakan tangan tidak menyentuh lantai. Tahap ini sebaiknya dikerjakan dalam posisi
duduk
5. Kenakan sarung tangan/handscoon bagian dalam
6. Kenakan baju pelindung dan buat agar lengan baju menutupi pergelangan handscoon
bagian dalam. Pastikan semua bagian lengan handscoon masuk di bawah lengan baju
pelindung. Pakaikan plester di pergelangan tangan apabila masih ada celah antara baju
dengan sarung tangan
7. Kenakan masker (untuk era pandemi sebaiknya menggunakan masker N95). Pastikan
seluruh bagian tepi menyesuaikan bentuk wajah sehingga tidak ada celah.
8. Kenakan hood, pastikan bagian telinga dan leher tertutup dan tidak ada rambut yang
keluar. Bagian bawah hood harus menutupi kedua bahu. Asisten dapat membantu proses
pemakaian
9. Kenakan apron apabila menangani pasien dengan gejala muntah dan diare
10. Kenakan sarung tangan/handscoon bagian luar yang biasanya memiliki pergelangan
lebih panjang. Tarik bagian lengan handscoon hingga menutupi bagian lengan baju
pelindung. Penggunaan handscoon luar yang berbeda warna dengan handscoon bagian dalam
dapat membantu identifikasi
Mengacu pada Petunjuk Teknis Penggunaan APD Kementerian Kesehatan, maka penggunaan
coverall diutamakan sebagai perluasan area perlindungan petugas dalam masa wabah
COVID-19. Bahan gaun yang digunakan kembali (reusable) terbuat dari polyester atau kain
katunpolyester. Gaun yang terbuat dari kain ini dapat dicuci dengan aman sesuai prosedur
rutin dan digunakan kembali. Prosedur pencucian yang direkomendasikan adalah pencucian
dilakukan menggunakan desinfektan klorin konsentrasi 1:99 pada suhu 57,2 oC – 71oC selama
minimal 25 menit. Perawatan harus diambil untuk memastikan bahwa tenaga medis tidak
menyentuh permukaan luar gaun selama perawatan.
3. Dampak apabila kita tidak menerapkan sistem K3 (manajemen resiko dokter gigi)
Potensi bahaya akan selalu timbul pada saat seseorang melakukan pekerjaan. Potensi
bahaya tersebut dapat berasal dari sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja, mesin yang
digunakan oleh pekerja, lingkungan kerja dari pekerja, proses produksi, dan cara kerja
pekerja. Untuk meminimalkan terjadinya potensi bahaya tersebut, adalah dengan
menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah upaya perlindungan untuk tenaga kerja dan
orang lain yang berada di tempat kerja agar dapat terhindar dari potensi yang dapat
menimbulkan bahaya, sehingga tenaga kerja tersebut selalu dalam kondisi selamat dan
sehat.
UU Nomor 23 Pasal 23 Tahun 2003 tentang kesehatan menyebutkan bahwa semua tempat kerja
yang mudah terjangkit penyakit, tempat kerja yang memiliki risiko bahaya kesehatan, dan tempat
kerja yang memiliki karyawan paling sedikit 10 orang, wajib menerapkan upaya keselamatan dan
kesehatan kerja (K3). Rumah sakit, balai kesehatan, klinik perusahaan, puskesmas, laboratorium
merupakan tempat kerja yang termasuk dalam kategori yang disebutkan dalam UU Nomor 23 Tahun
2003 tersebut, dikarenakan dalam tempat tersebut terdapat bahaya yang dapat mengganggu
kesehatan tenaga kerja yang bekerja disana.
Bukan hanya tenaga kerja yang bekerja di tempat tersebut saja yang dapat terancam kesehatannya,
namun pasien dan pengunjung tempat tersebut juga dapat terkena dari ancaman bahaya kesehatan.
Tempat tersebut wajib menerapkan upaya-upaya keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit.
Rumah sakit juga tidak hanya memiliki potensi bahaya seperti penyakit infeksi tetapi memiliki
potensi bahaya yang lain seperti penerapan ergonomi yang kurang tepat, kebakaran, kecelakaan
yang bersumber dari instalasi listrik, radiasi, gas anestesi, serta bahan kimia berbahaya (Departemen
Kesehatan RI, 2006).
Data yang diperoleh dari The National Safety Countil (NSC) tahun 2004 melaporkan bahwa sebanyak
41% petugas medis mengalami kecelakaan dan terkena penyakit sehingga menyebabkan petugas
medis tersebut tidak masuk bekerja, dan jika dibanding dengan industri lain jumlah pada petugas
medis lebih besar. Kecelakaan akibat kerja (KAK) yang sering terjadi pada petugas medis yakni:
- tertusuk jarum suntik atau biasa disebut dengan needle stick injuries
- data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2009, sebanyak 2 juta tenaga kerja terkena virus
hepatitis B, sebanyak 0,9 juta tenaga kerja terkena virus hepatitis C, sebanyak 170.000
tenaga kerja terkena virus HIV/AIDS, dan sebanyak 8-12% tenaga kerja di rumah sakit sensitif
terhadap bahan yang biasa digunakan pada sarung tangan yakni bahan lateks
- Menurut Depkes RI 2005, 40,5% pekerja di Indonesia mempunyai keluhan gangguan
kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaannya dan diantaranya adalah gangguan
musculoskeletal sebanyak 16% (Lusianawaty, 2009).
- risiko lain yang dapat menyerang tenaga medis yaitu risiko gangguan muskuloskeletal. Hal
tersebut dikarenakan sikap kerja yang sering dilakukan oleh praktisi kesehatan adalah sikap
kerja yang tidak ergonomis. Sikap kerja tersebut juga dilakukan dalam waktu yang lama dan
dilakukan berulangulang. Praktisi kesehatan yang paling berisiko mengalami gangguan
musculoskeletal yakni dokter gigi (Andayasari, 2012). Literatur menunjukkan tingginya
prevalensi gangguan muskuloskeletal pada dokter gigi.
Mia Rhosita Sawitri, Mulyono. 2019. Analisis Resiko Pada Pekerjaan Dokter Gigi di Kabupaten dan
Kota Probolinggo. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 8, No. 1 Jan-Apr
2019: 29–37.