Anda di halaman 1dari 4

PEMBUKAAN DATA PASIEN YANG TERTULAR INFEKSI COVID-19

M.Nasser
Dewan Pakar PB.IDI/Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia/
Staf Ahli Ketua Gugus Tugas Percepatan Pengendalian Covid 19

Selang dua bulan terakhir ini ada beberapa komentar publik terutama di media sosial
yang terkait pembukaan data medik pasien yang terinfeksi virus Corona (Covid 19). Banyak
orang mempersoalkan bahwa merahasiakan nama pasien yang terinfeksi virus Covid-19
justeru menghambat menelusuri otrang yang pernah memiliki kontak dekat dengan pasien
tersebut. Pemerintah selama ini berkilah bahwa hal ini merupakan rahasia pasien yang perlu
dijaga dan tidak bisa dibuka. Namun penyampaian informasi bahwa Menteri Perhubungan
kita tertular infeksi Covid -19 sangat bertentangan dengan kebijakan yang menutup nama
pasien yang tertular

Apa itu kerahasiaan medik ?

Sebenarnya kerahasiaan medik telah diatur dalam UU Lex Spesialis, bahkan tidak
tanggung2 pasal-pasal kerahasiaan medik ini diatur dalam 4 undang2 yakni pasal 48, UU No
29/2004 tentang Praktek Kedokteran, pasal 57 UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,
pasal 38 UU No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan pasal 73, UU No 36/2014 tentang
Tenaga Kesehatan. Secara materil isi pasal –pasal ini tidak berbeda jauh atau berulang satu
sama lain. Dengan adanya empat undang-undang lex-spesialis ini maka kita memegang azaz
hukum : Lex specialis derogate lex generalis. Sehingga tidak ada alasan untuk menggunakan
ayat (1) pasal 322 KUHP yang berbunyi sbb :

……….Barang siapa dengan sengaja membuka sesuatu rahasia, yang menurut jabatannya atau
pekerjaannya, baik yang sekarang maupun dahul, ia diajibkan menyimpannya, dihukum
penjra selama-lamanya sembilan bulan …….

Pasal ini sesuai peruntukkan KUHP, sangat bersifat umum, untuk pidana umum
sehingga lebih banyak digunakan untuk pengungkapan pidana yang terkait pembukaan
rahasia jabatan yang melawan hukum.
Dalam kajian Hukum Kesehatan, Rahasia medik pasien adalah serangkaian informasi yang
terdiri atas

a. Informasi yang disampaikan pasien pada dokter atau rumah sakit tentang hal-hal yang
terkait dengan apa yang dirasakan dan dideritanya sebagai penyakit
b. Hasil pemeriksaan atau hasil temuan serta seeluruh rangkaian tata laksana penyakit
yang diderita seseorang termasuk rejim pengobatannya
c. Prognosa atau perkiraan masa depan penyakit dan kemungkinan risiko kesehatan
pasien kedepan.

Berbeda dengan rahasia pada pidana umum, rahasia medik hanyalah tiga hal diatas,
ditambah dengan identitas pasien bila peyakit ini mendatangkan risiko stigmatisasi dan
diskriminasi dalam kehidupan panjang kedepan.
Saya kutipkan salah satu pasal UU Lex spesialis yakni pasal 57 (2) UU Kesehatan, sbb :
Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
e. kepentingan orang tersebut.
Pemaknaan terhadap kepentingan masyarakat dalam pasal 57 UU Kesehatan dalam
perspektif Hukum Kesehatan Masyarakat harus menjadi perhatian para ahli hukum ditanah
air agar tidak ada pihak-pihak yang salah mengartikan kerahasiaan medik hanya dengan
mengambil contoh negara lain, misalnya mengikuti cara Singapore hanya memberi nomor
atau metodologi yang dijalankan di Jepang yang hanya diberi tahu ke keluarga dan
lingkungan sekitarnya. Tentu saja mereka memiliki dasar hukum sendiri2.Tidak bisa kita
secara serampangan mengutip dengan mudah ketentuan disebuah negara. Dan jangan
dengan mudah menjadikan hal tersebut sebagai referesnsi satu2nya. Karena cantolan
hukumnya berbeda.

Infeksi Virus Corona tidak menyebabkan stigmatisasi


Bila kita lihat penyakit2 yang menyebabkan diskriminasi dan stigmatisasi adalah pada
umumnya penyakit yang dianggap ( secara keliru) diperoleh karena perilaku menyimpang
seperti penyakit AIDS dan penyakit2 infeksi menular seksual atau penyakit2 lama yang
sukar diobati dan memberikan gambaran yang ekstrem. Penyakit seperti ini seringkali
disembunyikan karena dianggap memunculkan diskriminasi, seperti penyakit kusta atau
Morbus Hansen. Stigmatisasi pada contoh2 penyakit diatas tidak terjadi pada seseorang
yang terInfeksi Corona Virus. Seperti diketahui salah satu model penularan infeksi Covid 19,
melalui droplet infection bahkan sangat mungkin bone infection apalagi aerosol yang
memberi kemungkinan semua orang bisa berisiko tertular. Pada hakekatnya manifestasi
klinis tergantung pada daya tahan tubuh mereka yang tertular, artinya mereka yang tertular
hanya apes atau sial saja, saat virus melintas dan masuk ketubuhnya saat mana daya tahan
tubuhnya tidak optimal. Uraian diatas dapat dimaknai bahwa seseorang yang terinfeksi virus
Corona bukanlah sesuatu yang menimbulkan rasa malu karena melakukan hal yang tercela.
Bila infeksi virus Corona tidak menyebabkan seseorang terstigma maka seharusnya tidak
ada alasan formil-materil untuk menutup identitas diri pasien.

Rahasia medik menurut undang-undang


Menurut empat undang-undang lex-specialis, rahasia medik seeseorang dapat dibuka
bila berhadapan dengan kepentingan kesehatan public Menyembunyikan identitas pasien
infeksi virus Corona hanyalah akan mndukung penyebaran rasa takut pada masyarakat.
Sebaliknya orang yang sembuh harus didukung juga untuk bebas dari rasa bersalah dan
beban psikologis akibat terinfeksi virus ini.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa membuka nama dan alamat penderita
infeksi Virus Corona bukanlah termasuk tindakan membuka rahasia medik, apalagi
dikaitkan dengan pasal-pasal pidana. Contoh pembukaan nama Menteri Perhubungan telah
mnimbulkan simpati mendalam rakyat Indonesia disatu pihak menimbulkan awarenss yang
luar biasa dari segenap kawan dan handai tolan yang merasa berkomunikasi dekat dengan
beliau dalam 2-3 hari terakhir sebelum beliau masuk rumah sakit.
Pandangan ahli lain menyatakan bahwa data pasien terinfeksi juga perlu dibuka untuk
memudahkan contact-tracing dengan kata lain meningkatkan efektifitas dan efisiensi upaya
penanggulangan . Kita semua yakin bahwa data identitas pasien infeksi Covid-19 , bukanlah
sesuatu yang memalukan atau berpotensi menimbulkan stigmatiasi apalagi diskriminasi
dalam lingkungan kebersamaan bahkan justru membangkitkan kewaspadaan dan
solidaritas masyarakat. Sebagai penutup dikutip petuah penting….. the disclosure of medical
data should begin with considering and balancing between patient rights and public interest
( Profesor John Blum: Institute of Health Law-Loyola University of Chicago).

Anda mungkin juga menyukai