Kuliah
Kuliah
I. PENDAHULUAN
2. Di dalam UU No.51/2009 :
- Dibentuknya pengadilan khusus dan Hakim Ad-Hoc di lingkungan
Peratun (Pasal 9-A) ;
- Perubahan/penambahan tentang tata cara eksekusi dan upaya paksa
terhadap Pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan Peratun,
diajukan kepada Presiden dan lembaga perwakilan rakyat untuk
menjalankan fungsi pengawasan ( Pasal 116 ayat 6) ;
2
b. Tergugat
Tergugat dalam sengketa TUN adalah Badan/Pejabat TUN yang
mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya
atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan
hukum perdata (Pasal 1 butir 3). Sedangkan yang dimaksud dengan
Badan/Pejabat TUN menurut Pasal 1 butir (2) adalah : “ Badan atau
Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
5. Kuasa Substitusi.
Kuasa Substitusi adalah kuasa pengganti (limpahan) dari seorang
penerima kuasa pertama kepada penerima kuasa yg baru (1803 KUH
Perd). Kuasa substitusi dapat diberikan untuk seterusnya (permanen)
atau hanya untuk waktu tertentu saja (temporer), hal ini harus secara
jelas dicantumkan di dalam surat kuasa.
5
3). Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang
(bevoegdheids-gebreken). Ketidakwenangan ini dapat berupa :
a). Ketidakwenangan materi (onbevoegdheid ratione materiale).
Yaitu apabila materi/substansi KTUN itu bukan menjadi wewenang
dari Badan/Pejabat TUN yang menerbitkannya (kompetensi
absolut).
b). Ketidakwenangan tempat/wilayah (onbevoegdheid ratione loci).
Yaitu apabila kewenangan untuk menerbitkan KTUN itu bukan
termasuk dalam wilayah hukum dari Badan/Pejabat TUN yang
menerbitkannya, melainkan termasuk kewenangan Badan/Pejabat
TUN di wilayah lain (kompetensi relatif).
c). Ketidakwenangan tentang waktu (onbevoegdheid ratione
tempori).
Yaitu apabila keputusan TUN itu diterbitkan belum atau telah lewat
waktu (kedaluarsa) dari yang ditentukan menurut peraturan yang
berlaku.
d). Ketidakwenangan Courum (onbevoegdheid ratione courum).
Yaitu apabila badan atau Pejabat Tata Usaha negara yang
berwenang terdiri dari beberapa orang dan secara hukum
diharuskan mengambil putusan secara kolektif kolegial dengan
suara musyawarah/suara terbanyak.
AUPB sebagai suatu doktrin adalah bersifat universal yang sudah diakui
dan diterapkan di banyak negara, dimana ada yang dirumuskan
(dikodifikasikan) secara resmi dan ada pula yang tidak dikodifikasikan.
Pada intinya, fungsi dari AUPB adalah :
1). Sebagai pedoman atau kode etik bagi Badan/ Pejabat TUN dalam
melaksanakan urusan pemerintahan (dalam rangka menerbitkan
keputusan TUN), yang tujuan akhirnya adalah demi terwujudnya
pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance) ;
2). Sebagai tolok ukur dan sekaligus alasan (beroepsgronden) bagi pihak
yang merasa dirugikan kepentingannya oleh keputusan Badan/
Pejabat TUN untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan
tersebut ;
3). Sebagai dasar atau kriteria pengujian (toetsingsgronden) bagi
pengadilan atau hakim TUN untuk menilai apakah keputusan yang
diterbitkan oleh Badan/Pejabat TUN itu telah sesuai atau tidak
dengan norma hukum dan keadilan, sehingga dapat diputuskan sah
atau tidaknya keputusan tersebut.
adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggung-
jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Putusan Sela :
a). Putusan Sela tentang berwenang atau tidak berwenangnya Hakim
untuk mengadili perkara yang bersangkutan, dalam hal ada eksepsi
Tergugat mengenai kewenangan absolut atau relatif (pasal 77 ) ;
b). Putusan Sela tentang dikabulkannya atau ditolaknya permohonan
intervensi dari pihak ketiga untuk menjadi pihak dalam perkara
tersebut ( pasal 83 ) ;
3. Putusan Akhir :
Putusan akhir yang dijatuhkan oleh Pengadilan TUN dapat berupa :
a). Gugatan Ditolak.
Yaitu dalam hal syarat-syarat material gugatan tidak terpenuhi/tidak
terbukti;
b). Gugatan Dikabulkan.
Yaitu dalam hal syarat-syarat material gugatan terpenuhi/terbukti,
yang amarnya membebankan kewajiban kepada Tergugat yang
dapat berupa :
l). Pencabutan Keputusan TUN yang disengketakan ; atau
2).Pencabutan Keputusan TUN yang disengketakan dan penerbitan
Keputusan TUN yang baru ; atau
3).Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pasal 3.
c). Gugatan Tidak Diterima ( Niet Ontvankelijke Verklaard / N.O.)
Yaitu dalam hal syarat-syarat formal gugatan tidak terpenuhi.
d). Gugatan Gugur.
Yaitu dalam hal Penggugat atau Kuasanya tidak hadir di persidangan
pada hari pertama dan kedua tanpa alasan yang sah, meskipun telah
dipanggil secara patut, dimana pokok perkara belum diperiksa (pasal
71 ayat 1) ;
11
X. UPAYA HUKUM
Seperti halnya di lingkungan peradilan lain, terhadap putusan PTUN
(tingkat pertama) dapat diajukan upaya hukum Banding (pasal 122 s/d
130), Kasasi (pasal 131) dan Peninjauan Kembali/ P.K. (pasal 132 UU
No.5/1986 jo pasal 66-76 UU No.l4/l985 jo UU No.5/2004).
Khusus mengenai kasasi putusan Peratun, dengan berlakunya UU
Mahkamah Agung yang baru yaitu UU No.5 Tahun 2004 (perubahan UU
No.14/1985), terdapat ketentuan baru yang membatasi upaya kasasi untuk
perkara2 TUN tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 45-A UU
No.5/2004 yang berbunyi sbb :
(1). Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang
memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh
Undang-Undang ini dibatasi pengajuannya ;
(2). Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas :
c). perkara Tata Usaha Negara yang obyek gugatannya berupa
keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di
wilayah daerah yang bersangkutan.
(3). Permohonan kasasi terhadap perkara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) atau permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat2 formal,
dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan ketua pengadilan
tingkat pertama dan berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah
Agung.
(4). Penetapan ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak dapat diajukan upaya hukum.
(5). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
Dari ketentuan Pasal 116 ayat (4) dan (5) UU No.51/2009 tersebut di
atas, berarti terdapat 3 (tiga) macam sanksi yang dapat diterapkan
terhadap Pejabat TUN selaku Tergugat dalam hal tidak bersedia
mentaati atau tidak melaksanakan putusan Peratun yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, yaitu : Pembayaran Uang Paksa
(astreinte, dwangsom), Sanksi Administratif, dan Diumumkan di
Media Massa. Namun mengingat bahwa prosedur serta tatacara dari
ketiga jenis upaya paksa tersebut belum diatur dalam UU No.51/2009,
maka untuk penerapannya masih memerlukan peraturan pelaksanaan
lebih lanjut.
Pasal 4 :
(1) Ruang lingkup pengaturan administrasi pemerintahan dalam
undang-undang ini meliputi semua aktivitas Badan atau Pejabat
Pemerintahan yang menyelenggarakan pemerintahan baik di pusat
maupun di daerah yang berbentuk Keputusan dan/atau Tindakan
berdasarkan wewenang pemerintahan dan akibat hukum yang
ditimbulkan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan ;
(2) Pengaturan administrasi pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mencakup tentang asas-asas umum pemerintahan
yang baik, kewenangan pemerintahan, diskresi, larangan
penyalahgunaan wewenang, penyelenggaraan administrasi
pemerintahan, prosedur administrasi pemerintahan, keputusan,
upaya administrative, ganti rugi, pembinaan dan pengembangan
administrasi pemerintahan, sanksi administratif.
XIII. P E N U T U P
BAHAN BACAAN :
12. S.F. Marbun : Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, 1988.
13. --------------- : Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi Di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1997.
14. Utrecht, E : Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Penerbitan dan Balai Buku
Indonesia, Jakarta, 1957.
15. Van Der Burg dan Burken : Administratieve Rechtspraak in Indonesie ( terj. Indroharto),
dalam Buku Kumpulan Hasil Terjemahan Bidang Peradilan Tata Usaha, Mahkamah
Agung RI, 1995.
MATERI KULIAH
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Di Fakultas Syariah & Hukum
Universitas Islam Negeri “Alauddin”
Makassar
Oleh :
Priyatmanto Abdoellah, SH.MH.
MAKASSAR
2010
18