Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH KEBUDAYAAN INDONESIA

“KEBUDAYAAN DI PROVENSI BANTEN”

Dosen Pembimbing : washadi,S.Pd, M.M

Disusun Oleh :

Irwan Suryadi NIM : 201010700160

JURUSAN SASTRA INDONESIA

SASMITA JAYA

UNIVERSITAS PAMULANG

Jl. Surya Kencana No.1, Pamulang Bar., Kec. Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten
15417
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap rasa syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan hidayah dan petunjuk kepada sehingga dapat menyelesaikan
penyusunan modul ini tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan modul ini tentu tidak luput dari berbagai kesulitan yang
dihadapi dan tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Dengan rendah hati
penulis menyadari masih banyak kesalahan dalam penyusunan modul ini, baik dari
segi materi maupun dalam penyusunan bahasa.

Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya masukan-masukan berupa


kritik dan saran yang membangun yang dapat penulis jadikan acuan sebagai
perbaikan penulisan serta membangun karakteristik penulis dimasa yang akan datang.

Akhirnya dengan segala kekurangan penulis memohon maaf yang sebesar-


besarnya dan atas dukungan dan partisipasinya, penulis sampaikan terimakasih.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal, Aamiin.

Tigaraksa, 15 Desember 2020

Irwan suryadi
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Selat Malaka dikuasai oleh Portugis (1511), pelabuhan Banten otomatis


menjadi pusat perdagangan internasional untuk beberapa wilayah di Nusantara. Bahkan
dengan berdirinya kesultanan Banten pada tahun 1526, kota ini menjadi pusat penyabaran
Islam yang berperan besar dalam pengislaman daerah Jawa Barat, Jakarta (Sunda Kelapa),
Lampung, Sumatra Selatan dan beberapa daerah lain di sekelilingnya, dari daerah yang di
warnai oleh kebudayaan Hindu dan Animis menjadi daerah yang di warnai oleh agama dan
kebudayaan Islam.

Dalam upaya mengusir  pengaruh pengaruh kolonialisme Belanda, peran Kesultanan Banten
sangatlah besar. Hal ini dapat di pahami karena memang dari Banten-lah Belanda memulai
menghancurkan usaha Belanda itu sejak dari permulaanya.

1. Rumusan masalah

1. Bagaimana Pembentukan awal Banten?


2. Bagaimana Puncak Kejayaan Banten?
3. Apa Penyebab Penurunan Kejayaan Banten?
4. Apa saja kebudayaan yang ada di Banten?

2. Manfaat dan Tujuan

1. Untuk memberikan informasi data-data kepada masyarakat tentang keadaan


Banten pada masa Kesultanan Banten.
2. Untuk memberi informasi penyebab keruntuhan Kesultanan Banten
3. Untuk memberikan informasi tentang kebudayaan Banten

.
BAB II
Pembahasan

A. Sejarah Banten

Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten,
Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke
kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan
kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan. Maulana
Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah
penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan
Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi
kesultanan yang berdiri sendiri.

Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang
luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan
pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan
sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah
melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan
Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol
kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para
Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

B. Pembentukan awal

De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François Valentijn,
Amsterdam, 1726 Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang
merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah
pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga
sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-
Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan
kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun
1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan
penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan
pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda. Selain mulai membangun benteng pertahanan di
Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil
lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga
telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan
Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.

Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana, Banten yang
sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang
mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570
melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan
Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba
menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit
gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan
tersebut. Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama
di Pulau Jawa yang mengambil gelar “Sultan” pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-
Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif
melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu
diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629
kepada Charles

C. Puncak kejayaan

Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam


menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan
penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang
pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut
berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang
Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam,
Filipina, Cina dan Jepang.

Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan
Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh
Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam
mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana
atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661.
Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang
sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.

D. Perang saudara

Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan
kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan
ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan
dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara
dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat
mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk
mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan. Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa
mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28
Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng
bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke
arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap
kemudian ditahan di Batavia.Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan
pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh
Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta
pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel
menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683
mereka berhasil menawan Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran
Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten
Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran
Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem
Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos
pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya
menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684
sampai di Batavia.

E. Penurunan

Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan
kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan
kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin,
Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian
dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh
hak monopoli perdagangan lada di Lampung. Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17
April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada
VOC.Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan
pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti
mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl
Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga
tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul
Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun
ing Nagari Banten.Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan
pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten maupun gejolak
ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten.
Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi
Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa.
Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam
meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal
dari VOC.

F. Penghapusan Kesultanan

Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810,
memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari
serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya
ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan
akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya
Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan.
Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian
dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin
kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels
mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke
dalam wilayah Hindia Belanda.Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh
pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin
Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini
merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.

  1. Kebudayaan Banten

Di Banten terdapat peninggalan warisan leluhur yang sangat dihormati, antara lain Mesjid
Agung Banten Lama, Makam keramat Panjang, Masjid Raya AL-A’zhom dan beberapa
peninggalan historis lainnya yang bernuansa religi. Latar belakang historis ini membuat
mayoritas penduduk Banten  memiliki semangat religius keislaman yang sangat kuat dengan
tingkat toleransi yang tinggi. Sebagian besar masyarakat memang memeluk Islam, tetapi
pemeluk agama lain dapat hidup berdampingan dengan damai. Dalam ukuran tertentu,
Banten bisa menjadi salah satu contoh laboratorium raksasa pluralisme agama di Indonesia.

Kondisi sosial budaya masyarakat Banten diwarnai oleh potensi dan kekhasan budaya
masyarakatnya yang sangat variatif, mulai dari seni bela diri pencak silat, debus, rudat,
umbruk, tari saman, tari topeng, tari cokek, dog-dog, palingtung, dan lojor. Hampir semua
seni tradisionalnya sangat kental diwarnai dengan etika Islam. Ada juga seni tradisional yang
datang dari luar kota Banten, tapi semua itu telah mengalami proses akulturasi budaya
sehingga terkesan sebagai seni tradisional Banten, misalnya seni kuda lumping, tayuban,
gambang kromong dan tari cokek. Bahasa yang digunakan masyarakat Banten khususnya
yang berada di wilayah utara menggunakan bahasa Jawa Serang, sedangkan di wilayah
selatan menggunakan Bahasa Sunda. Namun demikian, masyarakat setempat umumnya lebih
sering menggunakan Bahasa Indonesia.

Provinsi Banten juga terkenal dengan masyarakat tradisonalnya yang masih memegang teguh
adat tradisi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya. Mereka dikenal dengan suku
Baduy yang tinggal di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.
Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran sungai Ciujung  di
pegunungan Kendeng.

  2. Kebudayaan Pencak Silat

Pencak silat merupakan seni beladiri yang berakar dari budaya asli bangsa Indonesia.
Disinyalir dari abad ke 7 Masehi silat sudah menyebar ke pelosok nusantara. Perkembangan
dan penyebaran silat secara historis mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi
oleh kaum Ulama, seiring dengan penyebaran agama Islam pada abad ke15 di Nusantara.
Kala itu pencak silat telah diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama di pesantren-
pesatren dan juga surau-surau. Budaya sholat dan silat menjadi satu keterikatan erat dalam
penyebaran pencak silat. Silat lalu berkembang dari sekedar ilmu beladiri dan seni tari rakyat,
menjadi bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajah. Disamping itu juga
pencak silat menjadi bagian dari latihan spiritual.Banten yang namanya sangat dikenal untuk
ilmu silatnya juga penyebarannya tidak terlepas dari ajaran agama Islam. Tidak heran banyak
nama dari jurus dan gerakan perguruan silat asli Banten diambil dari aksara dan bahasa arab.
Pencak silat Banten mulai dikenal seiring dengan berdirinya kerajaan Islam Banten yang
didirikan pada abad 15 masehi dengan raja pertamanya Sultan Hasanudin. Perkembangan
pencak silat pada saat itu tidak terlepas dari dijadikannya silat sebagai alat untuk
penggemblengan para prajurit kerajaan sebagai bekal ketangkasan bela negara yang diajarkan
oleh para guru silat yang mengusasai berbagai aliran. Silat juga sebagai dasar alat pertahanan
kerajaan dan masyarakat umum Banten dalam memerangi kolonialisme para penjajah.Pada
saat ini pun Banten masih dikenal dan diakui secara luas dengan pendekar dan jawaranya,
sebutan untuk orang-orang yang mahir dalam ilmu silat.

  3. Kebudayaan Debus

Debus merupakan kesenian bela diri dari Banten. Kesenian ini diciptakan pada abad ke-16,
pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570). Debus, suatu kesenian
yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa, kebal senjata tajam, kebal api,
minum air keras, memasukan benda kedalam kelapa utuh, menggoreng telur di kepala dan
lain-lain.
Debus dalam bahasa Arab yang berarti senjata tajam yang terbuat dari besi, mempunyai
ujung yang runcing dan berbentuk sedikit bundar. Dengan alat inilah para pemain debus
dilukai, dan biasanya tidak dapat ditembus walaupun debus itu dipukul berkali kali oleh
orang lain. Atraksi atraksi kekebalan badan ini merupakan variasi lain yang ada
dipertunjukan debus. Antara lain, menusuk perut dengan benda tajam atau tombak, mengiris
tubuh dengan golok sampai terluka maupun tanpa luka, makan bara api, memasukkan jarum
yang panjang ke lidah, kulit, pipi sampai tembus dan tidak terluka. Mengiris anggota tubuh
sampai terluka dan mengeluarkan darah tetapi dapat disembuhkan pada seketika itu juga,
menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang melekat dibadan hancur, mengunyah
beling/serpihan kaca, membakar tubuh. Dan masih banyak lagi atraksi yang mereka lakukan.

Dibanten sendiri kesenian debus atau keahlian melakukan debus menjadi sesuatu yang
lumrah dan banyak perguruan yang mengajarkannya.

  4. Kebudayaan Rudat Banten

Rudat adalah kesenian tradisional khas Banten yang merupakan perpaduan unsur tari, syair
shalawat, dan olah kanuragan yang berpadu dengan tabuhan terbang dan tepuk tangan. Rudat
terdiri dari sejumlah musik perkusi yang dimainkan oleh setidaknya delapan orang penerbang
(pemain musik ) yang mengiringi tujuh hingga dua belas penari.Menurut beberapa tokoh
Rudat, nama Rudat diambil dari nama alat yang dimainkan dalam kesenian ini. Alat musik
tersebut berbentuk bundar yang dimainkan dengan cara dipukul. Seni Rudat mulai ada dan
berkembang pada masa pemerintahan Sinuhun Kesultanan Banten II, Pangeran Surosowan
Panembahan Pakalangan Gede Maulana Yusuf (1570-1580 M).

Tidak banyak yang mengetahui siapa yang menciptakan kesenian ini, karena sekarang
sesepuh yang mengetahui seluk-beluk Rudat sangat sedikit bahkan sebagian sudah
meninggal. Naskah yag berisi sejarah Rudat dan nilai-nilai filosofis tentang rudat pun hanya
dimiliki oleh satu sampai dua orang yang salah satunya merupakan anak dari mendiang
pemilik naskah yang menjadi sesepuh disana.

Meskipun tidak banyak yang mengetahui pencipta kesenian ini, warga Sukalila meyakini
bahwa Rudat sebetulnya jurus silat yang dikembangkan menjadi tarian. Langkah-langkahnya
merupakan langkah-langkah silat yang dikembangkan menjadi tarian dan diiringi musik dan
shalawat.Seni tradisional Banten ini menjadi rangkaiaan utama tatkala Kesultanan Banten
mengadakan hajat besar atau dalam acara penyambutan tamu kehormatan yang berasal dari
mancanegara.

Pasang surut Seni Rudat sangat erat kaitannya dengan sejarah Kesultanan Banten. Saat
kedatangan Belanda, Seni Rudat malah terkubur. Pada zaman Sinuhun Kasultanan Banten IV
Pangeran  Panembahan Maulana Abdulmufakir Mahmudin Abdul Kadir (1596-1651 M) seni
tradisional khas Banten ini benar-benar dilarang Belanda karena dicurigai sebagai ajang
untuk mengumpulkan masa untuk berlatih bela diri dan menghimpun kekuatan untuk
menentang Belanda.

  5. Kebudayaan Tari Dzikir Saman Banten

Dzikir Saman yang ada di Banten berbeda dengan Saman yang ada di Aceh, disini para
pemainnya terdari dari laki-laki dengan membentuk lingkaran. Sambil berputar, sambil
menyebutkan shalawat Nabi Muhammad SAW. Seni Dzikir Saman ini tidak diiringi dengan
perangkat alat musik, hanya nyanyian dengan menyebut asma Allah, alok dan gerakan tubuh
yang berputar-putar. Seni ini sudah ada sejak dahulu, biasanya dalam acara tertentu seperti
Khol Syeh Abdul Khodir Jailani, Rasullan, dan acara keagamaan lainya.

  6. Kebudayaan Ubrug Banten

Istilah ubrug diambil dari bahasa Sunda yaitu saubrug-ubrug yang artinya bercampur baur.
Dalam pelaksanannya, kesenian ubrug ini kegiatannya memang bercampur yaitu antara
pemain/pelaku dengan nayaga yang berada dalam satu tempat atau arena. Namun ada
pendapat bahwa ubrug diambil dari kata sagebrug yang artinya apa yang ada atau seadanya
dicampurkan, maksudnya yaitu antara nayaga dan pemain lainnya bercampur dalam satu
lokasi atau tempat pertunjukan.

Waditra yang digunakan dalam ubrug yaitu kendang besar, kendang kecil, goong kecil,
goong angkeb (dulu disebut katung angkub atau betutut), bonang, rebab, kecrek dan ketuk.
Alat-alat ini dibawa oleh satu orang yang disebut tukang kanco karena alat pemikulnya
bernama kanco yaitu tempat menggantungkan alat-alat tersebut.

Busana yang dipakai yaitu: juru nandung mengenakan pakain tari lengkap dengan kipas
untuk digunakan pada waktu nandung. Pelawak atau bodor pakaiannya disesuaikan dengan
fungsinya sebagai pelawak yang harus membuat geli penonton. Bagi nayaga tidak ada
ketentuan, hanya harus memakai pakaian yang rapi dan sopan dan pakaian pemain
disesuaikan dengan peran yang dibawakannya.

Urutan pertunjukan ubrug yakni sebagai berikut : (1) Tatalu — gamelan ditabuh sedemikian
rupa sehingga kedengaran semarak selama 10-15 menit yang dimulai pada pukul 21.00 WIB.
(2) Lalaguan – Ini kemudian disambung tatalu singkat sekitar 2 menit dilanjutkan dengan
Nandung. (3) Lawakan — lakon atau cerita yang akan disuguhkan. (4) Soder — yaitu
beberapa ronggeng keluar dengan menampilkan goyang pinggulnya. Para pemain
memakaikan kain, baju, topi atau yang lainnya ke tubuh ronggeng. Sambil dipakai, para
ronggeng terus menari beberapa saat dan kemudian barang-barang tadi dikembalikan kepada
pemiliknya dan si pemilik menerima dengan bayaran seadanya. Soder berlangsung + 20-30
menit.

Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu minyak tanah yang bersumbu dua
buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah arena. Lampu blancong ini sama dengan
oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu gembrong atau lampu petromak.

Ubrug dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda seadanya cukup dengan daun
kelapa atau rumbia. Pada saat menyaksikan ubrug, penonton mengelilingi arena. Sekitar
tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan, baik yang tertutup ataupun
terbuka di mana para penonton dapat menyaksikannya dari segala arah.
BAB III

Penutup

Kesimpulan

Pengaruh besar yang diberikan oleh Islam melalui Kesultanan dan para ulama serta
para mubaligh Islam di Banten seperti yang telah disaksikan sekarang ini, menunjukkan
betapa besar arti Islam dan peranan penyebar-penyebarnya baik melalui jalur politik,
pendidikan, kebudayaan dan ekonomi dimasa lampau. Peninggalan sejarah yang amat
berharga ini nampaknya akan selalu menarik untuk di teliti dan di kaji terutama di kalangan
ahli sejarah dan ilmuwan lainnya. Di samping karena sejarah pertumbuhan dan
perkembangan kesultanan Banten, belum banyak diteliti secara tuntas, sehingga masih
banyak hal-hal penting yang perlu di kaji dan di pelajari secara mendalam dam
menyeluruh.Banten sebagai komunitas kutural memang mempunyai kebudayaannya sendiri
yang ditampilkan lewat unsur-unsur kebudayaan. Dilihat dari unsur-unsur kebudayaan itu,
masing-masing unsur berbeda pada tingkat perkembangan dan perubahannya. Karena itu
terhadap unsur-unsur yang niscaya harus berkembang dan bertahan, harus didorong pula bagi
pendukungnya untuk terus menerus belajar (kulturisasi) dalam pemahaman dan penularan
kebudayaan.

Saran

Kalau boleh dikatakan, menangkap deskripsi budaya Banten adalah upaya yang harus
serius, kalau tidak ingin menjadi punah. Kepunahan suatu kebudayaan sama artinya dengan
lenyapnya identitas. Hidup tanpa identitas berarti berpindah pada identitas lain dengan
menyengsarakan identitas semula.
Daftar Pustaka

https://haksablog.wordpress.com/2017/12/17/makalah-kebudayaan-banten/

Bermana, Nana, 1997, Kerajaan Islam, (Bandung: Irene). Djajadiningrat, 1983, Cristische
Beschowing van de Sadjarah Banten, trj, (Jakarta: Jambatan).

Hamka, 1967, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang). Michrob, Halwani, 1981,
Pemugaran dan penelitain Arkeologi Sebagai Sumber Bagan data Bagi Perkembangan Sejar
Kerajaan Islam Banten, (Jakarta: IPPM).

Melalatoa, Junus. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A—K. Jakarta.


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. www.kpsnusantara.com

Nurhadi, 1969, Catatan Tentang Benteng Surosowann Banten, (Jakarta: DPS4P).

Wiryosoeparto, Soetjipto, 1961, Sejarah Nasional Indonesia jilid !!, (Jakarta: P & K)

Anda mungkin juga menyukai