Anda di halaman 1dari 20

BAB 1.

DEFINISI

A. DEFINISI
Pengertian dasar restrain adalah membatasi gerak atau membatasi
kebebasan . Pengertian secara internasional, restrain adalah suatu
metode/cara pembatasan/retriksi yang disengaja terhadap terhadap
gerakan/perilaku seseorang . Dalam hal ini perilaku yang dimaksudkan
adalah tindakan yang direncanakan , bukan suatu tindakan yang
disadari/tidak sengaja/sebagai suatu reflex.
Pengertian lainnya, restrain adalah suatu tindakan untuk
menghambat/mencegah seseorang melakukan sesuatu yang diinginkan.
Definisi restrain ini berlaku untuk semua penggunaan restrain di rumah
sakit. Pada umumnya, jika pasien dapat melepaskan suatu alat yang
dengan mudah, maka alat tersebut tidak dianggap sebagai suatu restrain.

Isolasi/pengasingann adalah suatu tindakan pengasingan terhadap pasien di


dalam suatu ruangan dimana pasien tinggal sendiri dan di cegah secara
fisik untuk meninggalkan ruangan tersebut. Isolasi hanya digunakan untuk
tujuan penanganan tindakan yang membahayakan diri sendiri dan/atau
orang lain. Ruang isolasi ini harus di pastikan untuk selalu terkunci.
Seorang pasien yang dipisahkan sendiri dalam suatu ruangan yang tidak di
kunci tidak tergolong sebagai isolasi. Pengasingan pasien di suatu ruang
rawat yang dikunci bersama-sama dengan pasien lainnya juga tidak
tergolong isolasi.

Jika suatu tindakan tidak memenuhi definisi restrain, hal ini tidak secara
otomatis dianggap salah/tidak dapat diterima. Penggunaaan restrain secara
berlebihan dapat terjadi, tetapi pengambilan keputusan untuk
mengaplikasikan restrain bukanlah suatu hal yang mudah. Suatu diskusi
yang mendalam mengenai aspek etik, hokum, praktik, dan profesionalisme
dilakukan untuk membantu tenaga kesehatan (misalnya perawat)
memahami perbedaan antara pengguna restrain yang salah/tidak dapat
ditolerir dengan kondisi yang memang memerlukan tindakan restrain.
Jenis-jenis restrain:
1. Pembatasan fisik
a. Melibatkan satu atau lebih staf untuk memegangi pasien,
menggerakkan pasien, atau mencegah pergerakan pasien.
b. Jika pasien dapat dengan mudah meloloskan diri/melepaskan diri
dari pegangan staf, maka hal ini tidak di anggap sebagai suatu
restrain.
c. Pemegangan fisik : biasanya staf memegangi pasien dengan tujuan
untuk melakukan suatu pemeriksaan fisik/tes rutin. Namun, pasien
berhak untuk menolak prosedur ini.
 Memegangi pasien dengan tujuan untuk membatasi
pergerakan pasien dan berlawanan dengan keinginan pasien
termasuk suatu bentuk restrain.
 Pemegangan pasien secara paksa saat melakukan prosedur
pemberian obat (melawan keinginan pasien) dianggap suatu
restrain. Sebaiknya, kalaupun terpaksa memberikan obat
tanpa persetujuan pasien. Dipilih metode yang paling
kurang bersifat restriktif/sesedikit mungkin menggunakan
pemaksaan.
 Pada beberapa keadaan , dimana pasien setuju untuk
menjalani prosedur/medikasi tetapi tidak dapat berdiam
diri/tenang untuk disuntik/menjalani prosedur/pemberian
medikasi berjalan memegangi pasien dengan tujuan
prosedur/pemberian medikasi berjalan dengan lancer dan
aman. Hal ini bukan merupakan restrain.
 Pemegangan pasien, biasanya anak/bayi, dengan tujuan
untuk menenangkan/member kenyamanan kepada pasien
tidak dianggap sebagi suatu restrain.
2. Pembatasan mekanis
a. Melibatkan penggunaan suatu alat
b. Misalnya :
i. Penggunaan tali khusus di ruang rawat inap, ruang
perawatan intensif (instalasi perawatan intensif).
ii. Peralatan sehari-hari : ikat pinggang atau sabuk untuk
mencegah pasien jatuh dari kursi, penggunaan pembatas di
sisi kiri dan kanan tempat tidur (bedrails) untuk mencegah
pasien jatuh/turun dari tempat tidur.
 Penggunaan side rails di anggap beresiko ,
te3rutama untuk pasien geriatric dan disorientasi.
Pasien geriatric yang rentan beresiko terjebak di
antara kasur dan side rails . paisen disorientasi
dapat menganggap side rails sebagai penghalang
untuk dipanjati dan dapat bergerak ke ujung tempat
tidur untuk turun dari tempat tidur dengan
menggunakan segala cara, pasien beresiko terjebak,
tersangkut, atau jatuh dari tempat tidur dengan
kemungkinan mengalami cedera yang lebih berat
dibandingkan tanpa menggunakan side rails.
 Penggunaan side rails harus mempunyai
keuntungan yang melebihi risikonya.
 Namun, jika pasien secara fisik tidak mampu turun
dari tempat tidur, penggunaan side rails tidak
berdampak pada kebebasan bergerak pasien.
 Penggunaan restrain pada pasien yang memerlukan
mobilisasi rutin (untuk melancarkan sirkulasi dan
mencegah ulkus dekubitus ) merupakan suatu
intervensi untuk melindungi pasien dari risiko jatuh
dan hal ini tidak dianggap sebagai restrain.
 Penggunaan side rails pada pasien kejang untuk
mencegah pasien jatuh/cedera tidak dianggap
sebagai restrain.
iii. Pengontrolan kebebasan gerak pasien : penggunaan kunci,
penyekat, tombol pengatur dan sebagainnya.

c. Berikut adalah alat dan metode yang tidak termasuk restrain.


Metode/alat ini sering digunakan pada perawatan medis atau
bedah.
1) Penggunaan papan fiksasi infuse di tangan pasien, bertujuan
untuk stabilisasi jalur intravena (IV). Namun jika papan fiksasi
ini diikat ketempat tidur atau keseluruhan lengan pasien
dimobilisasi sehingga pasien tidak dapat mengakses bagian
tubuhnya secara bebas, maka penggunaan papan ini dianggap
sebagai restrain.
2) Penggunaan alat pendukung mekanis untuk memperoleh posisi
tubuh tertentu pada pasien, membantu
keseimbangan/kesegarisan sehingga mempermudah mobilitas
pasien. Misalnya : penyangga kaki.leher,kepala atau punggung.
3) Alat untuk memposisikan atau mengamankan posisi
pasien,membatasi pergerakan pasien atau secara temporer
mengimobilisasi pasien selama menjalani prosedur medis, gigi,
diagnostik, atau bedah.
4) Pemulihan dari pengaruh anestesia yang terjadi saat pasien
berada dalam perawatan pasca anestesi dianggap sebagai bagian
dari prosedur pembedahan sehingga penggunaan alat seperti
bedrails untuk kondisi pasien tidak dianggap bukan suatu
restrain.
5) Beragam jenis sarung tangan untuk pasien tidak dianggap
sebagai suatu restrain. Namun jika sarung tangan ini
diikat/ditempelkan ke tempat tidur/ menggunakan fiksator
pergelangan tangan bersamaan dengan sarung tangan dapat di
anggap sebagai suatu restrain. Jika sarung tangan tersebut
dipakai dengan cukup ketat/kencang hingga menyebabkan
tangan/jari pasien tidak dapat bergerak, hal ini dapat dianggap
sebagai restrain. Penggunaan sarung tangan yang tebal/besar
juga dianggap sebagai restrain jika menghambat pasien dalam
menggunakan tangannya.
3. Survailans teknologi
a. Teknologi yang digunakan dapat berupa : balut tekan (pressure
pads), gelang pengenal, televisi sirkuit tertutup, atau alrm pada
pintu. Kesemuannya ini sering digunakan oleh staf untuk
meningkatkan kewaspadaan terhadap pasien yang mencoba untuk
keluar/kabur atau untuk memantau pergerakan pasien.
b. Metode ini sering diterapkan dalam program perencanaan
keperawatan pasien, yang disesuaikan dengan kebijakan organisasi
dan mempunyai asesmen risiko serta panduan jelas.
4. Pembatasan kimia
a. Melibatkan penggunaan obat-obatan untuk membatasi pasien.
b. Obat –obatan dianggap sebagai suatu restrain hanya jika
penggunaan obat-obatan tersebut tidak sesuai dengan standar terapi
pasien dan penggunaan obat-obatan ini hanya ditujukan untuk
mengontrol perilaku pasien/membatasi kebebasan bergerak pasien.
c. Obat –obatan ini dapat merupakan obat-obatan secara rutin
diresepkan, termasuk obat yang dijual bebas.
d. Pemberian obat-obatan sebagai bagian dari tatalaksana pasien tidak
dianggap sebagai restrain. Misalnya : obat-obatan psikotik untuk
pasien psikiatri, obat sedasi untuk pasien dengan insomnia, obat
anti-ansietas untuk pasien dengan gangguan cemas, atau analgesik
untuk mengatasi nyeri.
e. Kriteria untuk menentukan suatu penggunaan obat dan
kombinasinya tidak tergolong restrain adalah :
1) Obat –obatan tersebut diberikan dalam dosis yang sesuai dan
telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) dan
sesuai dengan indikasinya.
2) Penggunaan obat mengikuti/sesuai dengan standar paraktik
kedokteran yang berlaku.
3) Penggunaan obat untuk mengobati kondisi medis tertentu pasien
di dasarkan pada gejala pasien, keadaan umum pasien , dan
pengetahuan klinisi/dokter yang merawat pasien.
4) Penggunaan obat tersebut diharapkan dapat membantu pasien
mencapai kondisi fungsionalnya secara efektif dan efisien.
5) Jika secara keseluruhan efek obat tersebut menurunkan
kemampuan pasien untuk berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya secara efektif, maka obat tersebut tidak digunakan
sebagai terapi standar untuk pasien.
6) Tidak diperbolehkan menggunakan ‘pembatasan kimia’ (obat
sebagai restrain) untuk tujuan kenyamanan staf, untuk
mendisiplinkan pasien, atau sebagai metode untuk pembalasan
dendam.
7) Efek samping penggunaan obat haruslah dipantau secara rutin dan
ketat.
Contoh kasus : seorang pasien menjalani program detoksifikasi.
Selama terapi ini, pasien menjadi agresif dan agiatif. Staf
meresepkan oabat yang bersifat pro re nata (lakau perlu) untuk
mengatasi perilaku agitasi pasien. Penggunaan obat ini membantu
pasien untuk berinteraksi dengan orang lain dan berfungsi dengan
lebih efektif. Obat untuk mengatasi perilaku agitasi pasien ini
merupakan standar terapi untuk menangani kondisi medis pasien (
misalnya : gejala withdrawal akibat alkohol/narkotika). Dalam
kasus ini, penggunaan obat tidak dianggap sebagai restrain.
5. Pembatasan psikologis
a. Dapat meliputi : pemberitahuan secara konstan/terus menerus
kepada pasien mengenai hal-hal yang tidak boleh dilakukan atau
memberitahukan bahwa pasien tidak diperbolehkan melakukan hal-
hal yang mereka inginkan karena tindakan tersebut berbahaya.
b. Pembatasan ini dapat juga berupa pembatasan pilihan gaya hidup
pasien, seperti : memberitahukan kepada pasien mengenai waktu
tidur dan waktu bangunnya.
c. Contoh lainnya : pembatasan benda-benda / peralatan milik
pasien , seperti : mengambil alat bantu jalan pasien , kacamata,
pakaian sehari-hari atau mewajibkan pasien menggunakan seragam
rumah sakit dengan tujuan mencegah pasien untuk kabur/keluar.
 Jika suatu tindakan tidak memenuhi definisi restrain hal ini tidak secara
otomatis dianggap salah/tidak sapat diterima. Penggunaan restrain
secaraotomatis dianggap salah/tidak diterima. Penggunaan restrain secara
berlebihan dapat terjadi, tetapi pengambilan keputusan untuk
mengaplikasikan restrain bukanlah suatu hal yang mudah. Suatu diskusi
yang mendalam mengenai aspek etik, hukum, praktek, dan
profesionalisme dilakukan untuk membantu tenaga kesehatan (misalnya
perawat) memahami perbedaan antara pengguna restrain yang salah ?tidak
dapat ditolerir dengan kondisi yang memang memerlukan tindakan
restrain.
 Tidaklah memungkinkan untuk membuat suatu daftar mengenai jenis
restrain apa saja yang dapat diterapkan kepada pasien dikarenakan
pengaplikasiannya bergantung pada kondisi pasien saat itu.
 Suatu pembatasan fidik/mekanis/kimia dapat diterapkan pada suatu
kondisi tertentu, tetapi tidak pada kondisi lainnya. Berikut adalah beberapa
contoh perbandingan antara restrain dan buka restrain.
No Contoh Kasus Restrain / Bukan
.
1 Saat dirawat di rumah sakit Bukan Restrain karena sedasi
karena penyakit jantungnya, tersebut deberikan untuk mengobati
pasien tersebut mengalami penyakitnya , bukan untuk
hipertensi emergensi. Sebagai mengontrol/membatasi
bagian dari terapinya, pasien perilakunya.
disedasi berat dan dirawat di
ICU.
2 Saat dirawat di RS karena Dapat dianggap sebagai restrain
penyakit jantung, pasien juga karena sedasi diberikan untuk
diketahui mengidap demensia mengontrol perilaku pasien.
dan sering berkeliaran di RS.
Setelah 2 malam kurang tidur,
kaki pasien mengalami edema
yang cukup luas dan terdapat
kekhawatiran bahwa
pergerakan konstan tersebut
dapat mengeksaserbasi
penyakit jantungnya sehingga
pasien diberi sedasi.
3 Pasien geriatri dirawat di panti Sedasi dapat didefinisikan sebagai
jompo dan mengalami susah restrain karena ditujukan untuk
tidur. Pasien sering mengontrol perilaku pasien.
berkeliaran di rumah untuk
mencari istrinya. Staf meminta
dokter untuk memberikan
sedasi.
4 Pasien geriatri dengan riwayat Bukanlah restrain karena bedrails
stroke berulang butuh bantuan tidak mengontrol perilaku pasien
untuk turun dari tempat tidur atau mencegah pasien untuk
dan melakukan aktivitas melakukan sesuatu yang
sehari-hari. Pasien juga tidak diinginkan.
mampu untuk
mengkomunikasikan
kebutuhannya. Pasien gelisah
saat malam, mengalami
spasme otot, dan beresiko
jayuh dari tempat tidur.
Perawat memutuskan untuk
menggunakan bedrails untuk
mengurangi risiko jatuh.
5 Pasien geriatri dirawat di panti Dapat dianggap restrain karena
jompo setelah mengalami mencegah keinginan pasien untuk
fraktur panggul. Pasien tidak turundari tempat tidur.
stabil saat bergerak dan sering
lupa menggunakan alat bantu
jalnnya. Keluarga sangat
khawatir terjadi fraktur
panggul berulang dan
meminta perawat untuk
menggunalan bedrails untuk
mencegah pasien turun
sendirian dari tempat tidur di
malam hari.
BAB 2. RUANG LINGKUP

Indikasi restrain adalah sebagai berikut :

1. Pasien menunjukkan perilaku yang beresiko membahayakan dirinya sendiri


dan atau orang lain.
2. Alasan medis tertentu, misalnya pasien yang membutuhkan tat laksana
emergensi (segera) yang berhubungan dengan kelangsungan hidup pasien.
3. Pasien menunjukkan perilaku destruktif.
4. Tahanan pemerintah (yang legal?sah secara hukum ) yang dirawat di rumah
sakit.
5. Restrain atau isolasi digunakan jika intervensi lainnya yang lebih tidak
restriktif tidak berhasil/tidak efektif untuk melindungi pasien,staf atau orang
lain dari ancaman bahaya.
Indikasi ini tidak spesifik terhadap prosedur medis tertentu, namun disesuiakan
dengan setiap perilaku individu dimana terdapat pertimbangan mengenai
perlunya menggunakan restrain atau tidak. Penggunaan restrain di sesuiakan
dengan kebutuhan pasien, kondisi medis,riwayat penyakit, faktor lingkungan
dan preferensi pasien.
Tidak terdapat kriteria mengenai perilaku apa saja yang dianggap
membahayakan. Keputusan mengenai perilaku berbahaya ini dibuat
berdasarkan penilaian oleh dokter (clinical judgement).

Indikasi ini diaplikasikan untuk :

1. Instalasi Rawat Inap, Instalasi Rawat Jalan, Instalasi perawat Intensif (IPI),
Instalasi Gawat Darurat (IGD), Instalasi Bedah Sentral (IBS), Instalasi
Penunjang dan lain-lain.
2. Semua pasien dirumah sakit, tanpa melihat usia, yang memenuhi indikasi.
BAB 3. TATA LAKSANA

Panduan Pengaplikasian Restrain terhadap Pasien :


A. Yang berwenang untuk membuat keputusan mengenai penggunaan restrain
adalah Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP).
1. Jika DPJP tidak dapat hadir disaat dibutuhkan instruksi, maka tanggung
jawab ini didelegasikan kepada dokter jaga. Kemudian dokter jaga tersebut
mengkonsultasikan pasien kepada DPJP melalui telepon sesuia dengan
prosedur yang berlaku.
2. Pada kondisi emergensi dimana penggunaan restrain diperlukan segera
sehingga akan terlaku lama jika menunggu intruksi/izin dari DPJP terlebih
dahulu, maka dokter jaga dapat langsung memutuskan digunakan restrain.
Selanjutnya dokter jaga harus tetap mengkomunikasikan penggunaan
restrain tersebut kepada DPJP selama atau setelah restrain diaplikasikan.
B. Setiap pasien harus dilakukan asesmen sehingga intervensi yang diberikan
sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan pasien.
1. Asesmen ini digunakan untuk menentukan apakah penggunaan metode yang
kurang restriktif memiliki resiko yang lebih besar daripada risiko akibat
penggunaan restrain.
2. Untuk menentukan perlu atau tidaknya menggunakan restrain, diperlukan
suatu asesmen pada setiap individu secara komprehensif untuk menentukan
kebutuhan akan restrain dan jenis testrain yang dipilih. Asesmen yang
dilakukan minimal meliputi pertanyaan di bawah ini :
a) Apakah terdapat intervensi/tindakan pencegahan yang aman (selain
restrain) yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko pasien
mengalami cedera atau berada dalam kondisi yang ‘membahayakan’
(misalnya : terpeleset, tersandung atau jatuh jika pasien turun dari tempat
tidur) ?
b) Apakah terdapat cara yang memungkinkan pasien untuk dapat bergerak
dengan aman?
c) Apakah terdapat alat bantu yang dapat meningkatkan kemampuan pasien
untuk mandiri?
d) Apakah terdapat kondisi atau obat-obatan pada pasien yang
menyebabkan ketidakseimbangan berjalan ?
e) Apakah pasien bersedia untuk berjalan sambil dipapah/ditemani oleh
staf?
f) Dapatkan pasien ditempatkan di kamar yang lebih dekat dengan pos
perawat (nurse station ) dimana pasien tersebut dapat di observasi
dengan lebih baik?
3. Dampak negatif penggunaan restrain, antara lain :
a) Dampak fisik : atrofi otot, hilangnya/berkurangnya densitas tulang, ulkus
dekubitus, infeksi nosokomial, strangulasi, penurunan fungsional tubuh,
stres kardiak, inkontinensia.
b) Dampak psikologis : depredi, penurunan fungdi kognitif, isolasi
emosional, kebingungan (confusion) dan agitasi.
4. Cara untuk menghindari penggunaan restrain adalah dengan menyediakan
lingkungan perawatan yang berkesan positif, antara lain :
a) Perawatan yang berpusat pada pasien, terutama yang mempunyai
kebutuhan dukungan psikologis, misalnya menemani pasien langsung.
b) Tingkat kebebasan dan resiko perawatan di rumah, misalnya dilakukan
reorientasi rutin terhadap lingkungan sekitar.
c) Pemeriksaan berkala mengenai kondisi pasien, kenyamanan, keluahan
asupan makanan pasien.
d) Pencegahan kekerasan dan agresi, pencegahan ide/tindakan bunuh diri
dan melukai diri sendiri.
e) Pengalaman pasie di ruang rawat intensif (instalasi perawatan
intensif/IPI).
f) Pemenuhan kebutuhan pasien demensia ri ruang rawat rumah sakit.
g) Pencegahan dan penanganan delirium.
h) Menjaga harga diri dan martabat pasien selama asuha keperawatan.
i) Pencegahan risiko jatuh.
j) Mengubah atau mengganti terapi yang berpotensi menimbulkan
perubahan perilaku yang mengarah pada kebutuhan restrain.
C. Jika telah di putuskan bahwa restrain diperlukan , dokter harus menentukan
jenis restrain apa yang akan dipilih dan dapat memenuhi kebutuhan pasien
dengan resiko yang paling kecil dan pilihan yang paling menguntungkan untuk
pasien. Jenis restrain: pembatasan fisik, pembatasan mekanis, survailans
teknologi, pembatasan kimia, pembatasan psikologis.
D. Penggunaan restrain ahrus dengan persetuuan dari pasien dan /keluara pasien.
Persetujuan merupakan salah satu hukum yang legal dimana seseorag
memberikan kekuasaan yang ah terhadap tat laksana tindakan medis atau
tindakan keperawatan. Hal ini dapat mencakup memberikan persetujuan
terhadap suatu bentuk restrain. Dasar persetujuan yang sah identik dengan
persyaratan profesional bahwa suatu persetujuan diperlukan sebelum
melakukan suatu tindakan/prosedur. Terdapat tiga persyaratan yang harus
dipenuhi sebelum pernyataan persetujuan oleh individu dapat diterima secara
sah, yaitu :
1. Persetujuan harus diberikan oleh seseorang yang kompeten dala segi
mental/kejiwaan.
2. Individu yang membuat persetujuan harus memperoleh informasi
yangmemadai mengenai kondisinya,risiko dan implikasi penggunaan
restrain.
3. Persetujuan ini harus dibuat tanpa adanya paksaan.
4. Mengaplikasikan restrain pada pasien sesuai dengan asesmen dan kebutuhan
pasien serta atas persetujuan pasien dan atau keluarga pasien.
5. Staf yang mengaplikasikan restrain atau isolasi, staf yang bertugas menilai
dan memantau pengaplikasian restrain terhadap pasien harus berlatih yaiyu
memiliki pengetahuan dan ketrampilan sebagai berikut :
a. Teknik untuk mengidentifikasi perilaku pasien, faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi dan kejadian-kejadian yang mebutuhkan restrain atau
isolasi.
b. Cara untuk memilih intervensi apa yang paling tidak bersifat restriktif
tetpai efektif, berdasarkan pada asesmen kondisi medis atau perilaku
pasien.
c. Cara mengaplikasikan restrain dengan aman.
d. Cara mengidentifikasi perubahan perilaku spesifik yang mengindikasikan
bahwa restrain tidak lagi di perlukan.
e. Pemantauan kondisi fisik dan psikologis pasien yang mengalami restrain
atau diisolasi, termasuk status respirasi dan sirkulasi, integritas kulit da
tanda vital.
f. Teknik melakukan resusitasi jantung paru.
6. Staf melakukan prosedur sebelum aplikasi restrain, yaitu : inspeksi tempat
tidur, tempat duduk, restrain dan peralatan lainnya yang akan digunakan
selama proses restrain mengenai keamanan penggunaannya, semua
objek/benda yang berpotensi membahayakan (seperti sepatu, perhiasan,
selendang, ikat pinggang, tali sepatu, korek api) harus di singkirkan sebelum
restrain diaplikasikan.
E. Melakukan monitoring dan evaluasi aplikasi restrain.
F. Staf harus menilai dan memantau kondisi pasien secara berkala untuk
memastikan bahwa pasien dapat dibebaskan dari restrain pada waktu yang
sedini mungkin.
G. Asuhan keperawatan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Monitoring dan evaluasi setiap 2 jam.
2. Memeriksa tanda-tanda vital pasien.
3. Menilai ulang dan re-evaluasi pasien
4. Melepaskan/melonggarkan restrain setiap 2 jam selama 15 menit atau
melakukan pijatan bertekan lembut setiap 2 jam selama 15 menit oleh
perawat yang bertugas,
5. Menawarkan asupan makanan dan minuman serta penggunaan kamar
mandi.
6. Jika di dpatkan perubahan kondisi pasien yang signifikan maka segera
melaporkan ke DPJP atau dokter jaga.
H. Untuk kasus aplikasi restrain pada pasien dengan perilaku destruktif :
1. Pasien dievaluasi secara langsung. (tatap muka) dalam waktu 1 jam setelah
diberlakukannya instruksi restrain. Evaluasi dilakukan oleh dokter jaga dan
atau perawat jaga yang bertugas.
2. Lakukan observasi secara terus menerus setiap 15 menit dan di catat.
3. Jka restrain atau isolasi berlangsung lebih dari 12 jam atau terdapat 2
episode restrain atau isolasi dalam 12 jam, laporkan ke DPJP.
4. DPJP harus menemui pasien secara langsung (tatap muka) dan melakukan
asesmen dan evaluasi terhadap pasien sebelum menulis instruksi baru
mengenai penggunaan restrain (dalam 24jam). Evaluasi ini berupa.
a. Anamnesa : keluhan pasien saat ini, reaksi/respon pasien terhadap
restrain, perilaku pasien, keluahan terkait obat-obatan yang di dapatkan
selama perawatan di rumah sakit.
b. Pemeriksaan fisik : kondisi umum, tanda-tanda vital, dan pemeriksaan
fisik mulai head to toe.
c. Pemeriksaan penunjang : jika dilakukan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan laboratorium pemeriksaan radiologi.
5. Evaluasi ini dilakukan untuk menentukan apakah restrain perlu dilanjutkan
atau tidak, faktor-faktor apa saja yang berkontribusi terhadap perilaku
destruktif pasien (misalnya interaksi obat, ketidakseimbangan elektrolit,
hipoksia, sepsis ) dan apakah aplikasi restrain ini telah sesuai dengan
indikasi.
6. Jika dalam suatu kondisi, DPJP tidak dapat hadir untuk melakukan evaluasi,
maka evaluasi ini dapat dilakukan oleh dokter jaga. Setelah evaluasi
dilakukan, dokter jaga harus segera menghubungi DPJP melalui telepon.
Pelaporan ini harus meliputi (minimal):
a. Hasil evaluasi pasien, terutama temuan-temuan terbaru mengenai kondisi
pasien.
b. Diskusi mengenai perlu atau tidaknya untuk melanjutkan aplikasi
restrain.
c. Diskusi mengenai perlunya intervensi/tata laksana lainnya.

I. Batas waktu restrain.


1. Dalam mengaplikasikan restrain, terdapat beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi, yaitu : penggunan restrain harus mempunyai batas
waktu pemberlakuannya (maksimal 24jam)
2. Apabila batas waktu berlakunya instruksi restrain hampir berakhir ,
perawat yang bertugas harus menghubungi DPJP untuk melaporkan
mengenai keadaan / kondisi kinis serta hasil asesmen dan evaluasi
terkini pasien, sekaligus menanyakan apakah instruksi restrain ini akan
dilanjutkan atau tidak (diperbaharui).
J. Penghentian restrain
1. Keputusan untuk menghentikan restrain harus berdasarkan pada
pertimbangan :
a) Kondisi yang membahayakan sudah teratasi.
b) Pasien tidak berpotensi membahayakan diri sendiri, staf atau orang
lain.
c) Restrain tidak lagi di butuhkan atau kebutuhan pasien dapat dipenuhi
dengan metode yang kurang restriktif atau intervensi alternatif.
 Apabila batas waktu berlakunya instruksi restrain hampir
berakhir, perawat yang bertugas harus menghubungi DPJP
untuk melaporkan mengenai keadaan/ kondisi klinis serta hasil
asesmen dan evaluasi terkini pasien, sekaligus menanyakan
apakah instruksi restrain ini akan dilanjutkan atau tidak
(diperbaharui).
 Pembebasan restrain sementara merupakan pembebasan restrain
yang diawasi secara langsung oleh staf dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan pasien (seperti pergi ke kamar mandi,
makan atau latihan gerak tubuh) . selama pasien berada dalam
pengawasan langsung oleh staf, tidaklah dianggap sebagai
pemberhentian restrain karena pengawasan staf secara langsung
dianggap memiliki tujuan serupa dengan penggunaan restrain.

K. Re –aplikasi restrain
1. Jika pasien yang baru dibebaskan dari penggunaan restrain dan
kemudian menunjukkan perilaku yang membahayakan dan hanya dapat
diatasi oleh re-aplikasi restrain, diperlukan instruksi baru untuk
melakukan re-aplikasi.
2. Staf tidak memberhentikan penggunaan restrain dan kemudian
mereaplikasikannya kembali di bawah instruksi yang sama
(sebelumnya).
3. Instruksi penggunaan restrain tidak boleh diberlakukan sebagai
instruksi pro nata (jika perlu ). Setiap episode penggunaan restrain
harus dilakukan asesmen dan dievaluasi serta berdasarkan instruksi
intruksi dokter.
4. Pengecualian :
a. Penggunaan side rails yang diindikasikan di rekam medis pasien.
Jika status pasien memerlukan penggunaan keempat side rails
selama pasien di tempat tidur, tidak di perlukan instruksi pro re nata.
Tidak diperlukan instruksi baru setiap kali pasien keluar/kembali ke
tempat tidurnya.
b. Perilaku membahayakan diri sendiri. Jika pasien mengalami kondisi
medis dan psikiatri kronis, seperti sindrom Lesch-Nyham, dimana
pasien menunjukkan perilaku membahayakan diri sendiri, suatu
instruksi penggunaan restrain tidak perlu di perbaharui setiap
kalinya. Tujuan penggunaan restrain ini adalah untuk mencegah
cedera/bahaya pada diri sendiri.
Aplikasi Restrain dan Isolasi secar Bersamaan :

1. Hanya diperbolehkan jika pasiendipantau secara terus-menerus oleh :


a. Staf bertugas yang berpengalaman dan terlatih.
b. Staf terlatih dan digunakan pemantauan dengan video dan audio atau
observasi secara langsung. Alat pantau ini harus berjarak dekat dengan
pasien.
2. Harus ada dokumentasi tertulis yang jelas mengenai alasan penggunaanya.
Evaluasi Panduan/Kebijakan
1. Evaluasi kebijakan restrain dilakukan untuk melihat apakah setidaknya
hal-hal dibawah ini terlaksana denagn baik :
a. Siapa yang berwenang untuk menghentikan penggunaan restrain.
b. Kondisi dimana restrain harus dihentikan.
2. Peninjauan terhadap rekam medis pasien yang menjalani restrain dengan
tujuan untuk mengontrol perilaku yang membahayakan diri sendiri atau
orang lain mencakup hal-hal berikut :
a. Pasien yang pernah atau saat ini menggunakan restrain selama dirawat
di rumah sakit.
b. Alasan-alasan sehingga penggunaan restrain disepakati,dan
pertimbangan apa yang ada untuk memutuskan bahwa cara/metode
lain yang lebih tidak restriktif kurang efektif dibandingkan restrain.
c. Wawancara staf yang terlibat secara langsung dengan pasien untuk
mengetahui sejauh apa mereka ketahui dan pahami mengenai
kebijakan restrain. Jika terdapat pasien yang saat itu menggunakan
restrain, pastikan bahwa telah sesui indikasi. Tanyakan juga mengenai
kapan pasien dimonitor dan diperiksa terakhir kali.
d. Evaluasi mengenai laporan insiden yang terjadi di rumah sakit untuk
menentukan apakah cedera yang di alami oleh pasien terjadi sebelum
atau selama restrain di gunakan. Apakah insiden tersebut lebih sering
pada pasien yang dilakukan restrain ?
e. Jika suatu tinjauan ulang terhadap rekam medis mengindikasikan
bahwa pasien yang menerima restrain mengalami cedera, tentukan apa
yang telah dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah terjadinya
cedera berulang atau berikutnya. Tentukan apakah rumah sakit telah
melakukan modifikasi terhadap kebijakan restrain.
BAB 4. DOKUMENTASI

 Dokumentasikan aplikasi restrain di formulir aplikasi restrain dalam status


rekam medis pasien.
 Dokumentasi meliputi antara lain : hasil asesmen pasien (kondisi medis
pasien,perilaku pasien ), indikasi pengaplikasian restrain (alasan dan jenis
penggunaan restrain ), evaluasi kondisi medis dan perilaku pasien setelah
pengaplikasian restrain, intervensi alternatif/yang bersifat kurang restriktif
yang telah dilakukan, respon pasien terhadap intervensi yang digunakan,
termasuk rasionalisasi penggunaan restrain.

Anda mungkin juga menyukai