Paradigma konsep desentralisasi berorientasi terhadap perbaikan pendidikan,
efisiensi administrasi, efisiensi keuangan, pencapaian tujuan politik, dan terwujudnya
pemerataan. Pendek kata tujuan dari pada desentralisasi pendidikan adalah untuk mencapai efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan manajemen pendidikan, yang selama ini menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, setelah desentralisasi ada sebagian dari tanggung jawab itu diserahkan kepada pemerintah daerah. Peningkatan sumber pembelajaran dapat dicapai disebabkan pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan cepat (cukup ditingkat lokal) dan karena meningkatnya semangat guru maupun mengelola pendidikan di daerah untuk melakukan tugasnya dengan baik.
Maddick dalam Hasbullah (2006, hlm. 11) mengemukakan bahwa
desentralisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah dan memperoleh informasi yang lebih baik mengenai keadaan daerah, untuk menyusun program-program daerah secara lebih responsif dan untuk mengantisipasi secara cepat manakala persoalanpersoalan timbul. Sehingga dengan demikian, daerah dapat mengambil keputusan cepat tanpa harus menunggu instruksi dari pusat.
Berbicara tentang desentralisai pendidikan berarti terkait juga dengan otonomi
sekolah. Otonomi diartikan sebagai kewenangan atau kemandirian, yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri dan tidak tergantung kepada pihak lain. Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah. Istilah otonomi juga sama dengan istilah ”swa”, misalnya swasembada, swakelola, swadaya, swakarya, dan swalayan. Jadi, otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku (Hasbullah, 2007, hlm.76). Puncak agenda penting dari setiap organisasi adalah meningkatkan mutu. Meski banyak orang memandang bahwa mutu adalah konsep yang membingungkan karena sulit didefinisikan atau diukur. Bahkan para ahli pun sering mempunyai pandangan yang berbeda tentang mutu. Namun dapat dirasakan bahwa mutu dapat membedakan hal-hal yang ada, misalnya dalam pendidikan mutulah yang membedakan keberhasilan dan kegagalan, oleh karena itu perlu diketahui sumber mutu (Wasliman 2000, hlm. 94). Agar produk jasa pendidikan dikatakan bermutu, maka perlu ada pernyataan bahwa produk jasa pendidikan yang dihasilkan terjamin mutunya.
Dengan demikian, tuntutan akan pengembangan penjaminan mutu di
lingkungan pendidikan merupakan gejala wajar, karena penyelenggaraan pendidikan bermutu merupakan bagian dari pertanggung jawaban publik (public accountability). Setiap komponen stakeholders pendidikan, baik orangtua, masyarakat, dunia kerja, maupun pemerintah dalam peranan dan kapasitasnya masing-masing memiliki kepentingan terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu (Satori 2000, hlm. 88).