Sistem ekonomi liberal mulai dilaksanakan di Hindia Belanda (nama Indonesia ketika masih dijajah Belanda) setelah pemerintah kolonial Belanda menghentikan pelaksanaan ”Cultuur Stelseel” (sistem tanam paksa). Sejak saat ini para penanam modal/usahawan Belanda berlomba menginvestasikan dananya ke Hindia Belanda. Bidang-bidang yang menarik bagi mereka untuk dikembangkan seperti perkebunan, perdagangan dan transportasi dan lain-lain. Dari sinilah praktik penindasan, pemerasan dan pemerkosaan hak tanpa prikemanusiaan makin berlangsung ganas, sehingga kemudian kehidupan sebagian besar rakyat di bawah batas kelayakan. E. Sieburgh (pejabat tertinggi/kepala daerah di Purwokerto) dan De Wolf van Westerrede (pengganti Sieburgh) merupakan orang Belanda yang banyak kaitannya dengan perintisan koperasi. Masalahnya di dahului oleh Raden Aria Wirjaatmadja (patih purwokerto) sebagai seorang yang rasa sosialnya tebal. Dengan mendapat bantuan moril atau dorongan-dorongan dari E. Sieburgh pada tahun 1891 didirikan Bank penolong dan Penyimpanan di Purwokerto, yang maksud utamanya membebaskan para pegawai dari segala tekanan utang. Pada tahun 1898 E. Sieburgh digantikan oleh De Wolf van Westerrede yang mengharapkan terbentuknya koperasi simpan pinjam. Langkah pertama yang dlakukan yaitu memperluas bidang kerja Bank Penolong dan penyimpanan sehingga meliputi pula pertolongan bagi para petani di daerahnya. Untuk menyerasikan nama dan tugasnya, bank tersebut mendapatkan perubahan nama menjadi Purwokerto Hulp Spaar En Landbouwcrediet atau bank penolong, penyimpanan dan kredit pertanian, yang dapat dikatakan sebagai pelopor berdirinya bank rakyat di kemudian hari. Menurut De Wolf van Westerrede kebiasaaan-kebiasaan yang telah mendarah daging pada para petani Indonesia (gotong royong, kerja sama) merupakan dasar yang paling baik untuk berdirinya dengan subur koperasi kredit yang menjadi cita-citanya. Cita-cita De Wolf sebagai lanjutan dari perintisan pembentukan koperasi kredit oleh R. Aria Atmadja, untuk mendirikan koperasi kredit model Raiffeisen memang belum dapat terwujud, akan tetapi sedikit banyak usahanya telah tampak pada bank-bank desa, lumbung-lumbung desa dan rumah-rumah gadai yang sempat didirikannya di tanah air kita, yang kesemuanya memang mengembangkan usaha pemberian kredit kepada para petani dan kaum ekonomi lemah bangsa kita. Selain dari kegiatan lumbung, bank desa dan bank rakyat yang menyalurkan pinjaman-pinjaman bentuk padi dan uang kepada petani dan mereka yang ekonomi lemah, aktivitas penerangan tentang perlunya pembentukan koperasi kepada para petani dilakukan Departemen Pertanian atau Departemen Pertanian-Kerajinan dan Perdagangan, mulai tahun 1935 oleh Departemen Perekonomian.
2.2 Perjuangan Pembentukan Koperasi pada Zaman Penjajahan
Pada zaman penjajahan banyak rakyat Indonesia yang hidup menderita, tertindas, dan terlilit hutang dengan para rentenir. Karena hal tersebut pada tahun 1896, patih purwokerto yang bernama R. Aria Wiriaatmadja mendirikan koperasi kredit untuk membantu para rakyat yang terlilit hutang. Lalu pada tahun 1908, perkumpulan Budi Utomo memperbaiki kesejahteraan rakyat melalui koperasi dan pendidikan dengan mendirikan koperasi rumah tangga, yang dipelopori oleh Dr.Sutomo dan Gunawan Mangunkusumo. Upaya pemerintah kolonial belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia ternyata tidak sebatas pada bidang politik saja,tapi kesemua bidang termasuk perkoperasian. Hal ini terbukti dengan adanya undang-undang koperasi pada tahun 1915, yang disebut “Verordening op de Cooperative Vereenigingen” yakni undang-undang tentang perkumpulan koperasi yang berlaku untuk segala bangsa, jadi bukan khusus untuk Indonesia saja. Undang-undang koperasi tersebut sama dengan undang-undang koperasi di Nederland pada tahun 1876 (kemudian diubah pada tahun 1925), dengan perubahan ini maka peraturan koperasi di indonesia juga diubah menjadi peraturan koperasi tahun 1933 LN nomor 108. Di samping itu pada tahun 1927 di Indonesia juga mengeluarkan undang-undang nomor 23 tentang peraturan-peraturan koperasi, namun pemerintah Belanda tidak mencabut undang-undang tersebut, sehingga terjadi dualisme dalam bidang pembinaan perkoperasian di Indonesia. Pada tahun 1929 Partai Nasionalis Indonesia (PNI) di bawah pimpinan Ir.Soekarno mengobarkan semangat berkoperasi kepada kalangan pemuda. Pada periode ini sudah terdaftar 43 koperasi di Indonesia. Pada tahun 1930, dibentuk bagian urusan koperasi pada Kementrian Dalam Negeri nama tokoh yang terkenal masa itu adalah R.M.Margono Djojohadikusumo. Lalu pada tahun 1939, dibentuk Jawatan Koperasi dan Perdagangan Dalam Negeri oleh pemerintah. Dan pada tahun 1940, di Indonesia sudah ada sekitar 656 koperasi, sebanyak 574 koperasi merupakan koperasi kredit yang bergerak di pedesaan maupun di perkotaan. Setelah itu pada tahun 1942, pada masa kedudukan Jepang keadaan perkoperasian di Indonesia mengalami kerugian yang besar bagi pertumbuhan koperasi di Indonesia, hal ini disebabkan pemerintah Jepang mencabut undang-undang nomor 23 dan menggantikannya dengan kumiai (koperasi model Jepang) yang hanya merupakan alat mereka untuk mengumpulkan hasil bumi dan barang-barang kebutuhan Jepang.