Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asma
1. Pengertian Asma
Asma merupakan suatu penyakit peradangan kronis pada saluran pernapasan
yang bercirikan serangan sesak napas akut secara berkala, mudah tersengal-
sengal, disertai batuk dan hipersekresi dahak (1).

2. Klasifikasi Asma
Klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahannya, asma dibagi menjadi
empat yaitu : (2)
a. Step 1 (Intermitten)
Gejala perhari ≤ 2x dalam seminggu, nilai PEF normal dalam kondisi
serangan asma. Exacerbasi : bisa berjalan ketika bernapas, bisa mengucapkan
kalimat penuh, Respiratory Rate (RR) meningkat, biasanya tidak ada gejala
retraksi iga ketika bernapas. Gejala malam ≤ 2x dalam sebulan. Fungsi paru
PEF atau PEV1, variabel PEB ≥ 80% atau ≤ 20%.
b. Step 2 (Mild intermitten)
Gejala perhari ≥ 2x dalam seminggu, tapi tidak 1x sehari. Serangan asma
diakibatkan oleh aktivitas. Exacerbasi : membaik ketika duduk, bisa
mengucapkan kalimat frase, Respiratory Rate (RR) meningkat, kadang-
kadang menggunakan retraksi iga ketika bernapas. Gejala malam ≥ 2x dalam
sebulan. Fungsi paru PEF atau PEV1, variabel PEB ≥ 80% atau 20% - 30%.
c. Step 3 (Moderate persistent)
Gejala perhari bisa setiap hari, serangan asma diakibatkan oleh aktivitas.
Exacerbasi : duduk tegak ketika bernapas, hanya dapat mengucapkan kata per
kata, Respiratory Rate (RR) 30x/menit. Biasanya menggunakan retraksi iga
6

ketika bernapas. Gejala malam ≥ 1x dalam seminggu. Fungsi paru PEF atau
PEV1, variabel PEB 60% - 80% atau > 30%.
d. Step 4 (Severe persistent)
Gejala perhari, sering dan aktivitas fisik terbatas. Exacerbasi : abnormal
pergerakan thoracoabdominal, gejala malam sering. Fungsi paru PEF atau
PEV1 variabel PEF ≤ 60% atau > 30%.

Sedangkan menurut (11), asma sering dirincikan sebagai berikut :


a. Asma alergik
Asma jenis ini disebabkan oleh alergen atau alergen-alergen yang dikenal
(missal : serbuk sari, binatang, amarah, dan jamur). Kebanyakan alergen
terdapat di udara dan musiman. Pasien dengan asma alergik biasanya memiliki
riwayat keluarga yang alergik dan riwayat masa lalu eczema atau rhinitis
alergik, pejanan terhadap allergen pencetus asma.
b. Asma idiopatik atau nonalergik
Asma jenis ini tidak ada hubungan dengan alergen spesifik. Faktor-faktor
yang menyebabkan yaitu command cold, infeksi traktus respiratorius, latihan,
emosi, dan polutan lingkungan yang dapat mencetuskan rangsangan. Agen
farmakologis seperti aspirin dan alergen anti inflamasi non steroid lainnya,
pewarna rambut dan agen sulfit (pengawet makanan juga menjadi faktor).
Serangan asma idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan sering
sejalan dengan berlalunya waktu dapat berkembang menjadi bronchitis kronis
dan empizema.
c. Asma gabungan
Asma gabungan merupakan asma yang paling umum, dimana asma jenis ini
memiliki karakteristik dari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau
nonalergik.
7

3. Etiologi Asma
Ada beberapa hal yang merupakan faktor presdiposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma menurut (12), yaitu :
a. Faktor presdiposisi
Faktor ini berupa faktor genetik dimana yang diturunkan adalah bakat
alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunnya yang jelas.
Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga
yang menderita penyakit alergi. Adanya bakat alergi, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma jika terpapar dengan faktor pencetus, selain itu
hipersensitifitas saluran pernapasan juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
1) Alergen
Alergen dibagi menjadi 3, yaitu :
a) Inhalan yaitu yang masuk melalui saluran pernapasan, misalnya debu,
bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri, dan polusi.
b) Ingestan yaitu yang masuk melalui mulut misalnya makanan dan obat-
obatan.
c) Kontaktan yaitu yang masuk melalui kontak dengan kulit, misalnya
perhiasan, logam, dan jam tangan.
2) Perubahan cuaca
Cuaca yang lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma, kadang-kadang serangan berhubungan
dengan musim, sperti musim hujan, musim kemarau, dan musim bunga.
3) Stress
Stress atau gangguan emosi menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Stress atau
gangguan emosi meningkatkan hormone adrenalin yang mempengaruhi
kejadian serangan asma.
4) Lingkungan kerja
Lingkungan kerja mempengaruhi kejadian asma dikarenakan pada
lingkungan kerja pasti ada alergen yang terdapat didalamnya. Misalnya
8

orang yang bekerja di laboratorium hewan, industry tekstil, pabrik asbes


atau polisi lalu lintas. Gejala asma yang disebabkan karena lingkungan
kerja akan membaik jika pada waktu libur atau cuti.
5) Olahraga atau aktivitas yang berat
Sebagian penderita asma akan kambuh jika melakukan olahraga atau
aktivitas yang terlalu berat. Misalkan melakukan lari cepat, hal ini dapat
meningkatkan RR, sehingga akan memicu rasa sesak pada dada dan saat
bernapas.

Menurut (13), etiologi asma sebagai berikut :


a. Kegiatan fisik, misalkan olahraga yang berlebihan dan aktivitas fisik yang
berat
b. Kontak dengan alergen dan iritan
c. Akibat terjadinya infeksi virus
d. Penyebab lainnya, seperti obat-obatan, bahan kimia, atau lingkungan kerja

4. Patofisiologi Penyakit Asma


Obstruksi saluran nafas merupakan suatu gejala inflamasi saluran nafas pada
pasien asma yang mendasari terjadinya gangguan fungsi paru. Obstruksi saluran
nafas menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali baik secara
spontan maupun setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang terjadi
berhubungan dengan gejala khas pada asma yaitu batuk, sesak wheezing/mengi,
dan hiperreaktivitas saluran nafas terhadap berbagai rangsangan. Gejala batuk
disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran nafas oleh mediator
inflamasi. Pada anak, batuk berulang dapat menjadi salah satu gejala asma yang
sering ditemukan.
Penyempitan saluran jalan nafas pada asma dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu kontraksi otot polos bronkus yang diperkuat oelh adanya pelepasan agonis
dari sel-sel inflamasi. Macam-macam agonis adalah histamine, triptase,
prostaglandin D2, dan leukotrien C4 dari sel mast, neuropeptida dari saraf aferen
setempat, dan asetilkolin dari saraf eferen postganglionik. Kontraksi otot polos
saluran napas diperkuat oleh adanya penebalan dinding saluran nafas akibat
9

edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodeling, hyperplasia dan hipertropi
kronik otot polos, vascular, dan hambatan saluran nafas juga bertambah akibat
produksi secret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel-sel goblet dan kelenjar
submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular bronkus dan debris
selular. Inflamasi dicetuskan oleh berbagai faktor termasuk alergen, virus,
aktivitas fisik, dan lain sebagainya yang menimbulkan respon hiperreaktivitas
pada saluran nafas penderita asma.
Asma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan oleh
limfosit T dan B. Asma diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul
IgE yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar alergen yang menimbulkan
asma bersifat airbone. Alergen tersebut harus tersedia dalam jumlah banyak dalam
periode waktu tertentu agar mampu menimbulkan gejala asma.
Obat sering berhubungan dengan induksi fase akut asma adalah aspirin, bahan
pewarna seperti tartazin, antagonis beta-adrenergik dan bahan sulfat. Sindrom
khusus pada sistem pernafasan yang sensitive terhadap aspirin terjadi pada orang
dewasa, namun dapat pula dilihat dari masa kanak-kanak. Masalah ini biasanya
berawal dari rhinitis vasomotor perennial lalu menjadi rhinosinusitis hiperplastik
dengan polip nasal akhirnya diikuti oleh munculnya asma progresif. Pasien yang
sensitif terhadap aspirin dapat dikurangi gejalanya dengan pemberian obat setiap
hari, setelah menjalani bentuk terapi ini akan terbentuk toleransi silang terhadap
agen anti inflamasi nonsteroid. Mekanisme terjadinya bronkuspasme oleh aspirin
ataupun obat lainnya belum diketahui, tetapi mungkin berkaitan dengan
pembentukan leukotrien yang diinduksi secara khusus oleh aspirin (4).
Antagonis beta-adrenergik merupakan hal yang biasanya menyebabkan
obstruksi jalan nafas pada pasien asma, demikian juga dengan pasien yang
mengalami peningkatan reaktifitas jalan nafas. Selain itu, senyawa sulfat yang
secara luas digunakan sebagai agen sanitasi dan pengawet dalam industri makanan
dan farmasi juga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas akut pada pasien yang
sensitive. Senyawa sulfat tersebut adalah kalium metabisulfit, kalium dan natrium
bisulfit, natrium sulfit, dan sulfat klorida. Pada umumnya, tubuh akan terpapar
setelah menelan makanan atau cairan yang mengandung senayawa tersebut,
seperti salad, buah segar, kentang, kerang, dan anggur.
10

Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas ditambah dengan sebab internal


pasien akan mengakibatkan reaksi antigen dan antibodi. Reaksi tersebut
menyebabkan dikeluarkannya substansi pereda alergi yang merupakan mekanisme
tubuh dalam menghadapi serangan, yaitu dikeluarkannya histamine, brakinin, dan
anafilatoksin. Sekresi zat-zat tersebut menimbulkan gejala seperti berkontraksinya
otot polos, peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan sekresi mukus.
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis diperiksa dengan memberikan stimulus
aerosol histamine atau metakolin yang dosisnya dinaikkan secara progresif,
kemudian perubahan fungsi paru (PFR atau FEV1) diukur. Dikatakan hiperreaktif
bila dengan cara pemberian histamine didapatkan penurunan FEV1 20% pada
konsentrasi histamine kurang dari 8 mg%.

5. Tanda dan Gejala Asma


Tanda dan gejala yang muncul yaitu batuk, hiperventilasi, dyspnea, wheezing,
pusing-pusing, sakit kepala, nausea, peningkatan nafas pendek, kecemasan,
diaphoresis, dan kelelahan. Hiperventilasi adalah salah satu gejala awal dari asma,
kemudian sesak nafas parah dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing (di
apeks dan hilus). Gejala utama yang sering muncul adalah dipsnea, batuk dan
mengi. Mengi sering dianggap sebagai salah satu gejala yang harus ada bila
serangan asma muncul.

6. Pemeriksaan Diagnostik
Berdasarkan gejala klinis dan keluhan penderita, diagnosis asma dapat
ditegakkan. Riwayat adanya asma dalam keluarga dan adanya benda-benda yang
dapat memicu terjadinya reaksi asma penderita memperkuat dugaan adanya
penyakit asma. Pemeriksaan spinometri hanya dapat dilakukan pada penderita
berumur di atas 5 tahun. Jika pemeriksaan spinometri hasilnya baik, perlu
dilakukan beberapa pemeriksaan untuk menetapkan penyebab asma, yaitu : (13)
a. Uji alergi untuk menentukan bahan allergen pemicu asma
b. Pemeriksaan pernafasan dengan peak flow meter setiap hari selama 1-2
minggu
c. Uji fungsi pernafasan waktu melakukan kegiatan fisik
11

d. Pemeriksaan untuk mengetahui adanya gastroesophageal reflux disease


e. Pemeriksaan untuk mengetahui adanya penyakit sinus
f. Pemeriksaan sinar-X thorax dan elektrokardiogram untuk menemukan
penyakit paru, jantung, atau adanya benda asing pada jalan nafas penderita.

7. Penatalaksanaan Asma
a. Terapi Non Farmakologi
1) Menghilangkan obstruksi jalan nafas
2) Mengenali dan menghindarkan faktor yang dapat menimbulkan
serangan asma
3) Memberi penerangan kepada penderita atau keluarga dalam cara
pengobatan atau penanganan penyakit
4) Usahakan agar tubuh tetap hangat pada musim yang dingin dan lembab

b. Terapi Farmakologi
1) Pengobatan dengan obat-obatan
a) Beta agonis (beta adregenik agent)
b) Methylxanlines (enphy bronkodilator)
c) Anti kolenergik (bronkodilator)
d) Kortikosteroid
e) Mast cell inhibitor (inhalasi)
2) Tindakan yang spesifik
a) Pemberian oksigen
b) Pemberian agonis B2 (salbutamol 5 mg atau veneteror 2,5 mg atau
terbutalin 10 mg), inhalasi nebulizer dan pemberiannya dapat
diulangi setiap 30-60 menit
c) Aminofilin bolus IV 5-6 mg/kgBB
d) Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg, digunakan jika tidak ada
respon segera atau klien sedang menggunakan steroid oral atau
dalam serangan yang sangat berat
12

Gambar 2.1 Algoritma pengobatan asma (2)

B. Rasionalitas
Rasionalitas obat adalah penggunaan obat sesuai indikasi pada pasien dengan
dosis dan durasi pemberian yang sesuai kondisi pasien secara individual serta
harga yang serendah mungkin. Penggunaan obat yang rasional dapat
meningkatkan kualitas pengobatan dan efektivitas biaya terapi, serta menjamin
bahwa obat hanya digunakan sesuai keperluan.
Pasien yang terlibat dalam penggunaannya benar-benar memahami untuk apa
dan bagaimana obat tersebut digunakan. Penggunaan obat yang rasional
mensyaratkan bahwa pasien menerima obat-obatan yang sesuai kebutuhan klinik
mereka dalam dosis sesuai kebutuhan individu masing-masing untuk suatu
periode waktu yang memadai dan pada harga terendah untuk mereka dan
komunitasnya.
Penggunaan obat (resep) yang rasional menurut kementerian kesehatan RI
tahun 2011 harus memenuhi persyaratan, yaitu : (4)
1. Tepat diagnosis
Jika diagnosis tidak titegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan
terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang
diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi seharusnya.
2. Tepat indikasi
13

Ketepatan indikasi penggunaan obat apabila ada indikasi yang benar (sesuai
dengan diagnosa dokter) untuk penggunaan obat tersebut dan telah terbukti
manfaat terapetiknya.
3. Tepat obat
Tepat obat adalah ketepatan pemilihan obat yang dilakukan dalam proses
pemilihan obat dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti ketepatan
kelas terapi & jenis obat (efek terapi yang diperlukan). Misalnya kemanfaatan
dan keamanan sudah terbukti (risiko efek samping maupun adanya kondisi
kontra indikasi).
4. Tepat dosis
Besar dosis, cara dan frekuensi pemberian umumnya didasarkan pada sifat
Farmakokinetika dan farmakodinami obat serta kondisi pasien. Sedangkan
lama pemberian berdasarkan pada sifat penyakit.
5. Tepat cara pemberian
Obat diberikan dan dikonsumsi sesuai dengan bentuk sediaan yang ada,
misalkan sediaan obat lambung yang harus dikunyah, maka ketika hal
tersebut tidak dilakukan maka ketepatan cara pemberian obat tidak tepat.
6. Tepat interval waktu pemberian
Pemberian hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar mudah
ditaati oleh pasien.
7. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus sesuai dengan penyakitnya masing-masing.
8. Waspada efek samping
Efek samping merupakan efek yang tidak diinginkan terjadi, penggunaan obat
harus memiliki efek samping yang paling minimal yang dapat terjadi.
9. Tepat penilaian kondisi pasien
Pengobatan harus disesuaikan dengan kondisi pasien.
10. Tepat informasi
Informasi yang didapatkan oleh pasien sangat penting dalam menunjang
keberhasilan terapi.
14

11. Tepat tindak lanjut (follow up)


Penerapan pengobatan lebih lanjut hingga mendapat hasil yang diinginkan,
jika pengobatan awal belum mendapatkan hasil.
12. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penyiapan obat yang disiapkan sesuai dengan permintaan resep dan
diserahkan kepada pasien disertai dengan informasi obat yang baik dan benar.
13. Tepat pasien
Obat yang diberikan benar untuk pasien tersebut.

C. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah suat kelompok hormone steroid yang dihasilkan
dibagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh angiotensin II. Hormon ini
berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalkan tanggapan terhadap
usus, sistem kekebalan tubuh (imun), pengaturan inflamasi, metabolism
karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku (1).

Klasifikasi kortikosteroid, dibagi menjadi 2 yaitu :


1. Berdasarkan aktivitas biologis (berperan mengendalikan metabolism
karbohidrat, lemak, dan protein serta bersifat antiinflamasi.
2. Kelompok lain kortikosteroid adalah mineralkortikoid (contohnya aldosteron)
sebagai pengatur kadar elektrolit dan air dengan cara penahanan garam di
ginjal.

Efek samping kortikosteroid :


1. Kortikosteroid inhalasi (kandidiasis orofaring, disfonia, kadang batuk).
2. Kortikosteroid oral (osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal,
katarak, glaucoma, obesity, peipisan kulit, dan tukak lambung.
15

D. Rumah Sakit
1. Pengertian Rumah Sakit
Rumah Sakit menurut Permenkes No.72 tahun 2016 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (7).

2. Klasifikasi Rumah Sakit


Berdasarkan bentuknya, Rumah Sakit dibedakan menjadi Rumah Sakit
menetap, Rumah Sakit bergerak dan Rumah Sakit lapangan.
a. Rumah Sakit menetap merupakan rumah sakit yang didirikan secara permanen
untuk jangka waktu lama untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perseorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalan dan gawat darurat (14).
b. Rumah Sakit bergerak merupakan Rumah Sakit yang siap guna dan bersifat
sementara dalam jangka waktu tertentu dan dapat dipindahan dari satu lokasi
ke lokasi lain . Rumah Sakit bergerak dapat berbentuk bus, kapal laut, gerbong
kereta api, atau container (14).
c. Rumah Sakit lapangan merupakan Rumah Sakit yang didirikan di lokasi
tertentu selama kondisi darurat dalam pelaksanaan kegiatan tertentu yang
berpotensi bencana atau selama masa tanggap darurat bencana (14).

Rumah Sakit juga dibagi berdasarkan jenis pelayanan yaitu Rumah Sakit
Umum dan Rumah Sakit Khusus.
a. Rumah Sakit Umum dibagi menjadi :
1) Rumah Sakit Umum kelas A
2) Rumah Sakit Umum kelas B
3) Rumah Sakit Umum kelas C
Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Kelas C paling sedikit
meliputi :
a) pelayanan gawat darurat
b) pelayanan medik umum
16

c) pelayanan medik spesialis dasar


d) pelayanan medik spesialis penunjang
e) pelayanan medik spesialis lain
f) pelayanan medik subspesialis, dan
g) pelayanan medik spesialis gigi dan mulut.
Pelayanan rawat inap pada Rumah Sakit Kelas C harus dilengkapi dengan
fasilitas sebagai berikut (14) :
a) jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% dari seluruh
tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah;
b) jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% dari seluruh
tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Swasta;
c) jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% dari seluruh
tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah Sakit
milik swasta.
Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas C terdiri atas :
a) tenaga medis;
b) tenaga kefarmasian;
c) tenaga keperawatan;
d) tenaga kesehatan lain;
e) tenaga nonkesehatan.

Tenaga medis yang dimaksud paling sedikit terdiri atas :


a) sembilan dokter umum untuk pelayanan medik dasar;
b) dua dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut;
c) satu dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
penunjang, dan
d) satu dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
gigi mulut.

Tenaga kefarmasian paling sedikit terdiri atas :


a) satu orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;
17

b) dua apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling
sedikit empat orang tenaga teknis kefarmasian;
c) empat orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit
delapan orang tenaga teknis kefarmasian;
d) satu orang apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan
produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik
di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis
kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja
pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.

4) Rumah Sakit Umum kelas D.


Rumah Sakit Umum kelas D diklasifikasikan menjadi:
a) Rumah Sakit Umum Kelas D, dan
b) Rumah Sakit Umum Kelas D pratama

b. Rumah Sakit Khusus diklasifikasikan menjadi :


1) Rumah Sakit Khusus Kelas A
2) Rumah Sakit Khusus Kelas B, dan
3) Rumah Sakit Khusus Kelas C

3. Fungsi Rumah Sakit


Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 44 tahun 2009 fungsi
rumah sakit adalah sebagai berikut (15):
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui kesehatan yang
paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan kesehatan dengan memperhatikan
etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
18

4. Instalasi Farmasi Rumah Sakit


a. Pengertian Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Instalasi farmasi rumah sakit adalah suatu unit di rumah sakit yang
merupakan fasilitas penyelenggaraan kefarmasian di bawah pimpinan
seorang apoteker dan memenuhi persyaratan secara hukum untuk
mengadakan, menyediakan, dan mengelola seluruh aspek penyedia
perbekalan kesehatan di rumah sakit (6).

b. Tugas dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit


1) Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal.
2) Menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi professional
berdasarkan prosedur kefarmasian dan etik profesi.
3) Melaksanakan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE).
4) Memberi pelayanan bermutu melalui analisa, dan evaluasi untuk
meningkatkan mutu pelayanan farmasi.
5) Melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.
6) Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang farmasi.
7) Mengadakan penelitian dan pengembangan di bidang farmasi.
8) Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
formularium rumah sakit.

c. Pembagian Instalasi Farmasi Rumah Sakit (15)


1) Rawat Jalan
Rawat jalan merupakan pelayanan pasien untuk observasi, diagnosis,
pengobatan, rehabilitas medis, dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa
menginap dirumah sakit.
2) Rawat Inap
Rawat inap merupakan pemeliharaan kesehatan rumah sakit dimana
penderita tinggal mondok sedikitnya satu hari berdasarkan rujukan dari
pelaksanaan pelayanan kesehatan atau rumah sakit pelaksanaan
pelayanan kesehatan lain.
19

3) Unit Gawat Darurat (UGD)


Unit Gawat Darurat (UGD) merupakan salah satu unit dalam rumah
sakit yang menyediakan penanganan awal pasien, sesuai dengan
tingkat kegawatannya.

5. Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit


Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi. Standar Pelayanan
Kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga
kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian (7).
Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit harus
didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit dilaksanakan pada unit pelayanan berupa ruang
farmasi, yang dipimpin oleh seorang apoteker yang memiliki kompetensi dan
kewenangan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai penanggung jawab
(7).
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit bertujuan untuk:
a. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian.
b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian.
c. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety), dengan maksud mencapai
hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

6. Ruang Lingkup Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit


Ruang lingkup pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit adalah :
a. Kegiatan yang bersifat manajerial yang berupa kegiatan pengelolaan obat dan
bahan medis habis pakai
Adapun kegiatan tersebut meliputi :
1) Pemilihan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai.
2) Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai.
20

3) Pengadaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai.


4) Penerimaan obat dan bahan medis habis pakai.
5) Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai.
6) Pendistribusian kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai.
7) Pemusnahan dan penarikan obat dan bahan medis habis pakai.
8) Pengendalian obat dan bahan medis habis pakai.
b. Kegiatan pelayanan farmasi klinis
Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian yang
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan obat dan
bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Kegiatan yang dilakukan dalam pelayanan farmasi klinik meliputi:


1) Pengkajian Resep dan Pelayanan Resep
Kegiatan pengkajian resep meliputi kajian administratif, kesesuaian
farmasetik dan pertimbangan klinis. Berikut penjabarannya :
a) Kajian administratif, meliputi kelengkapan penulisan resep terhadap
nama pasien, umur, jenis kelamin, berat badan dan alamat pasien,
nama dokter, No.SIP, alamat dan nomer telepon dokter serta tanggal
penulisan resep.
b) Kajian kesesuaian farmasetik, meliputi bentuk dan kekuatan sediaan
obat, stabilitas obat dan kompatibilitas (ketercampuran obat) serta
jumlah permintaan obat.
c) Kajian pertimbangan klinis, meliputi kajian interaksi obat, efek
samping obat serta alergi terhadap obat.
2) Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Penelusuran riwayat penggunaan obat dilakukan untuk mengetahui
riwayat penggunaan obat sebelumnya, untuk menyesuaikan terapi
pengobatan agar rasional. Riwayat penggunaan obat dapat diketahui dari
wawancara langsung teradap pasien ataupun dengan melihat rekam medik
pasien.
21

3) Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat merupakan suatu proses yang menjamin informasi
terkait penggunaan obat yang akurat dan komprehensif dikomunikasikan
secara konsisten setiap kali terjadi pemindahan pemberian layanan
kesehatan seorang pasien.
4) Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi obat, rekomendasi obat yang independen, akurat,
komprehensif, terkini, oleh apoteker kepada pasien, masyarakat,
professional kesehatan lain, dan pihak-pihak yang memerlukan.
5) Konseling
Konseling merupakan proses pemberian kesempatan bagi pasien untuk
mengetahui tentang terapi obatnya dan meningkatkan kesadaran
penggunaan obat dengan tepat.
6) Visite
Visite merupakan kunjungan pasien rawat inap bersama tim dokter dan
tenaga kesehatan lainnya.
7) Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang
mencangkup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif,
dan rasional bagi pasien. Kegiatan ini mengcangkup pengkajian pilihan
obat dosis, cara pemberian obat, respon terapi, reaksi obat yang tidak
dikehendaki (ROTD), dan rekomendasi perubahan terapi pengobatan.
8) Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan suatu kegiatan
monitoring atau pemantauan terhadap efek samping obat yang tidak
diinginkan yang terjadi dalam proses terapi pengobatan pasien.
9) Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan suatu cara mengidentifikasi
dan menganalisis, dalam hal ini membandingkan penggunaan obat antar
satu dengan yang lainnya.
22

10) Dispensing Sediaan Steril


Dispensing sediaan steril merupakan rangkaian perubahan bentuk obat dari
kondisi semula menjadi produk baru dengan proses pelarutan atau
penambahan bahan lain yang dilakukan secara aseptis oleh apoteker di
sarana pelayanan kesehatan terutama rumah sakit.
11) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan kegiatan
pengukuran kadar obat dalam darah atau plasma pasien pada waktu yang
ditentukan untuk memberikan panduan tentang rejimen dosis yang
diperlukan untuk mempertahankan kadar rentang terapi obat.

E. Penggolongan Usia
Usia menurut Depkes RI tahun 2009, dibagi menjadi : (16)
1. Balita : 0-5 tahun
2. Anak-anak : 5-11 tahun
3. Remaja awal : 12-16 tahun
4. Remaja akhir : 17-25 tahun
5. Dewasa awal : 26-35 tahun
6. Dewasa akhir : 36-45 tahun
7. Lansia awal : 46-55 tahun
8. Lansia akhir : 56-65 tahun
9. Manula : > 65 tahun

F. Rekam Medik (Medical Record)


Rekam medik adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen antara lain
identitas pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan, serta
tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (17).
Beberapa informasi yang seharusnya tertera pada rekam medik antara lain
demografi, hasil pemeriksaan fisik, diagnosis, hasil pemeriksaan penunjang medik
atau diagnostik, lama perawatan, nama dan paraf dokter yang merawat. Rekam
23

medik dapat menjadi sumber data sekunder yang memadai apabila data yang
terekam cukup lengkap, informatif, jelas, dan akurat (17).
Rekam medis antara lain bermanfaat sebagai :
1. Dokumen bagi penderita yang memuat riwayat perjalanan penyakit, terapi
obat maupun non obat dan semua seluk beluknya.
2. Sarana komunikasi antara petugas kesehatan yang terlibat dalam pelayanan
atau perawatan penderita.
3. Sumber informasi untuk kelanjutan pelayanan atau perawatan penderita yang
sering masuk ke rumah sakit bersangkutan.
4. Penyedia data bagi pihak ketiga yang berkepentingan dengan penderita,
seperti asuransi, pengacara, instansi penanggung biaya.
5. Penyedia data bagi kepentingan hukum dalam kasus – kasus tertentu (17).

Rekam medis dianggap bersifat informatif bila memuat informasi berikut:


1. Karakter atau demografi penderita (identitas, usia, jenis kelamin, pekerjaan
dan sebagainya).
2. Tanggal kunjungan, tanggal rawat atau selesai rawat.
3. Catatan penyakit dan pengobatan sebelumnya.
4. Catatan anamnesis, gejala klinis yang diobservasi, hasil pemeriksaan
penunjang (analisis laboratorium, radiologi dan sebagainya), pemeriksaan
fisik (tekanan darah, denyut nadi, suhu, dan sebagainya).
5. Catatan penatalaksanaan penderita, tindakan terapi obat (nama obat, regimen
dosis), tindakan terapi non obat.
6. Nama dan paraf dokter yang menangani, diagnosa pengobatan dan rekam data
(17).

G. Rancangan Penelitian
1. Prinsip Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan
deskriptif yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan suatu fenomena yang terjadi didalam masyarakat dengan
menggunakan pendekatan secara retrospektif yaitu kegiatan pengumpulan data
24

dimulai dari efek atau akibat yang telah terjadi (18). Pada penelitian ini dilakukan
evaluasi penggunaan kortikosteroid pasien asma yang meliputi tepat interval, tepat
indikasi, tepat obat dan tepat dosis. Penelitian ini dilakukan di RS Pertamina
Bintang Amin Kota Bandar Lampung.

2. Kerangka teori

Faktor-faktor :
1. Alergen
2. Aktivitas fisik Pengobatan
3. Stress ASMA
asma
4. Virus
5. Perubahan cuaca
6. Lingkungan kerja

Farmakologi Non
Farmakologi

Rasional Irasional

Gambar 2.2 Kerangka teori


25

3. Kerangka konsep penelitian

Pasien dengan diagnosa penyakit asma

Rekam Medik dan Resep

Data Pasien : Terapi Pasien :


Obat yang digunakan
1. Usia (jenis kortikosteroid)
2. Jenis Kelamin
3. Berat Badan
4. Diagnosa
5. Pekerjaan

Evaluasi Penggunaan
Kortikosteroid berdasarkan :

1. Tepat Indikasi
2. Tepat Obat
3. Tepat Dosis
4. Tepat Interval Pemberian
Obat

Gambar 2.3 Kerangka konsep penelitian

4. Definisi operasional
Definisi operasional adalah batasan pada variabel-variabel yang diamati atau
diteliti untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap
variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen atau alat
ukur.
26

Tabel 2.1 Definisi operasional dan variabel penelitian


Definisi Cara Alat Skala
Variabel Hasil Ukur
Operasional Ukur Ukur Ukur
a. Jenis Sifat jasmani atau Observasi Rekam 1 = Pria Nominal
rohani yang
Kelamin Medik 2 = Perempuan
membedakan dua
makhluk sebagai
betina dan jantan
atau wanita dan
pria (KBBI)

b. Usia Usia merupakan Observasi Rekam 1 = 12-16 Nominal


umur individu yang
Medik tahun
terhitung mulai saat
dilahirkan sampai 2 = 17-25
berulang tahun
tahun
(Notoadmojo,
2014) 3 = 26-45
tahun
4 = 46-55
tahun

c. Pekerjaan Pekerjaan Observasi Rekam 1 = Bekerja Nominal


merupakan
Medik 2 = Tidak
aktivitas yang
dilakukan oleh Bekerja
manusia baik itu
secara individu
maupun kelompok,
baik terbuka
maupun tertutup
yang menghasilkan
produk barang atau
jasa
d. Tepat Ketepatan Observasi Checklist 1. Tepat Nominal
Indikasi pemberian obat rekam 2. Tidak
sesuai kebutuhan medik dan Tepat
pasien berdasarkan resep
pada diagnosis dan
gejala yang tertera
pada rekam medik
pasien.
e. Tepat Pemilihan obat Obeservas Checklist 1. Tepat Nominal
Obat sesuai dengan Drug i rekam 2. Tidak
of Choice pada medik dan Tepat
standar
27

Pharmaceutical resep
Care.

f. Tepat Ketepatan pada Observasi Checklist 1. Tepat Nominal


Dosis pemberian dosis rekam 2. Tidak
obat disesuaikan medik dan Tepat
dengan usia dan resep
kondisi kebutuhan
pasien.
g. Tepat Ketepatan interval Observasi Checklist 1. Tepat Nominal
Interval pemberian obat rekam 2. Tidak
harus dibuat medis dan Tepat
sesederhana resep
mungkin, agar
dapatditaati oleh
pasien, selain itu
bertujuan untuk
menjaga
konsentrasi obat
dalam tubuh
sehinggadapat
memberikan efek.
Tepat Interval
pemberian obat
disesuaikan dengan
pedoman
Pharmaceutical
Care untuk
penyakit infeksi
saluran pernapasan
2005.

5. Evaluasi Evaluasi Observasi Checklist 1. Tepat Nominal


rasionalit kerasionalan rekam 2. Tidak tepat
as penggunaan medis dan
pengguna kortikosteroid resep
an berdasarkan
kortikoste parameter: tepat
roid pasien, tepat
28

indikasi, tepat obat


dan tepat dosis
(Parameter
rasionalitas
penggunaan obat
oleh WHO)

5. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel


a. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien asma yang datang berobat
pada periode juli-desember tahun 2020.
b. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien asma yang memenuhi kriteria
inklusi.
c. Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling.
d. Metode pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu
pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu
yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi
yang sudah diketahui sebelumnya (14), yang telah memenuhi kriteria
inklusi.
Setelah didapatkan data populasi, maka besaran sampel dihitung
dengan rumus sebagai berikut :

N
Rumus Slovin : n= 2
1+ N (d )

Keterangan :
n = besaran sampel minimum
N = jumlah populasi
d = tingkat kepercayaan/ketetapan yang diinginkan (0,1)

6. Kriteria Sampel
29

a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap
anggota populasi yang dapat digunakan sebagai sampel (18). Kriteria
inklusi pada penelitian ini sebagai berikut :
1) Pasien yang terdiagnosa penyakit asma pada instalasi farmasi rawat
jalan periode juli-desember tahun 2020.
2) Pasien asma yang berobat pada instalasi farmasi rawat jalan berumur
12-55 tahun (Depkes RI, 2009).
3) Pasien penderita asma dengan atau tanpa penyakit penyerta.
4) Pasien asma yang mendapatkan terapi pengobatan kortikosteroid.
b. Kriteria Ekslusi
Kriteria ekslusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil
sebagai sampel penelitian (18) kriteria ekslusi dalam penelitian ini sebagai
berikut :
1) Data rekam medis yang tidak lengkap.
2) Terapi pada resep tidak terbaca dan tidak terindentifikasi.

7. Teknik pengumpulan dan analisis data


a. Pengumpulan data
Teknis pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
penelitian survei dengan pendekatan retrospektif. Pada penelitian ini
dipilih metode pengumpulan data dengan rekam medis dan resep pasien
usia 12-55 tahun yang berobat pada instalasi farmasi rawat jalan RS
pertamina bintang amin tahun 2020.
Beberapa teknik yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain :
1) Pemeriksaan Data (Editing)
Hasil data yang diperoleh dikumpulkan kemudian dilakukan proses
editing yaitu pengecekan hasil penelitian yang sesuai dengan variabel
2) Coding
Setelah semua data diedit selanjutnya dilakukan coding, yakni
mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi angka atau
bilangan.
30

3) Tabulasi
Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel atau Lembar
Pengumpulan Data (LPD) yang sesuai dengan tujuan penelitian.
b. Analisa data
Dalam penelitian ini dilakukan analisis secara deskriptif retrospektif untuk
mengetahui penggunaan obat pada pasien yang terdiagnosa asma di
Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Pertamina Bintang Amin Kota Bandar
Lampung. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk persentase dan
kemudian diambil kesimpulan dari data yang disajikan tersebut.

8. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di instalasi farmasi rawat jalan RS pertamina bintang
amin pada Mei 2021.

Anda mungkin juga menyukai