TINJAUAN PUSTAKA
A. Asma
1. Pengertian Asma
Asma merupakan suatu penyakit peradangan kronis pada saluran pernapasan
yang bercirikan serangan sesak napas akut secara berkala, mudah tersengal-
sengal, disertai batuk dan hipersekresi dahak (1).
2. Klasifikasi Asma
Klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahannya, asma dibagi menjadi
empat yaitu : (2)
a. Step 1 (Intermitten)
Gejala perhari ≤ 2x dalam seminggu, nilai PEF normal dalam kondisi
serangan asma. Exacerbasi : bisa berjalan ketika bernapas, bisa mengucapkan
kalimat penuh, Respiratory Rate (RR) meningkat, biasanya tidak ada gejala
retraksi iga ketika bernapas. Gejala malam ≤ 2x dalam sebulan. Fungsi paru
PEF atau PEV1, variabel PEB ≥ 80% atau ≤ 20%.
b. Step 2 (Mild intermitten)
Gejala perhari ≥ 2x dalam seminggu, tapi tidak 1x sehari. Serangan asma
diakibatkan oleh aktivitas. Exacerbasi : membaik ketika duduk, bisa
mengucapkan kalimat frase, Respiratory Rate (RR) meningkat, kadang-
kadang menggunakan retraksi iga ketika bernapas. Gejala malam ≥ 2x dalam
sebulan. Fungsi paru PEF atau PEV1, variabel PEB ≥ 80% atau 20% - 30%.
c. Step 3 (Moderate persistent)
Gejala perhari bisa setiap hari, serangan asma diakibatkan oleh aktivitas.
Exacerbasi : duduk tegak ketika bernapas, hanya dapat mengucapkan kata per
kata, Respiratory Rate (RR) 30x/menit. Biasanya menggunakan retraksi iga
6
ketika bernapas. Gejala malam ≥ 1x dalam seminggu. Fungsi paru PEF atau
PEV1, variabel PEB 60% - 80% atau > 30%.
d. Step 4 (Severe persistent)
Gejala perhari, sering dan aktivitas fisik terbatas. Exacerbasi : abnormal
pergerakan thoracoabdominal, gejala malam sering. Fungsi paru PEF atau
PEV1 variabel PEF ≤ 60% atau > 30%.
3. Etiologi Asma
Ada beberapa hal yang merupakan faktor presdiposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma menurut (12), yaitu :
a. Faktor presdiposisi
Faktor ini berupa faktor genetik dimana yang diturunkan adalah bakat
alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunnya yang jelas.
Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga
yang menderita penyakit alergi. Adanya bakat alergi, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma jika terpapar dengan faktor pencetus, selain itu
hipersensitifitas saluran pernapasan juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
1) Alergen
Alergen dibagi menjadi 3, yaitu :
a) Inhalan yaitu yang masuk melalui saluran pernapasan, misalnya debu,
bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri, dan polusi.
b) Ingestan yaitu yang masuk melalui mulut misalnya makanan dan obat-
obatan.
c) Kontaktan yaitu yang masuk melalui kontak dengan kulit, misalnya
perhiasan, logam, dan jam tangan.
2) Perubahan cuaca
Cuaca yang lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma, kadang-kadang serangan berhubungan
dengan musim, sperti musim hujan, musim kemarau, dan musim bunga.
3) Stress
Stress atau gangguan emosi menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Stress atau
gangguan emosi meningkatkan hormone adrenalin yang mempengaruhi
kejadian serangan asma.
4) Lingkungan kerja
Lingkungan kerja mempengaruhi kejadian asma dikarenakan pada
lingkungan kerja pasti ada alergen yang terdapat didalamnya. Misalnya
8
edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodeling, hyperplasia dan hipertropi
kronik otot polos, vascular, dan hambatan saluran nafas juga bertambah akibat
produksi secret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel-sel goblet dan kelenjar
submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular bronkus dan debris
selular. Inflamasi dicetuskan oleh berbagai faktor termasuk alergen, virus,
aktivitas fisik, dan lain sebagainya yang menimbulkan respon hiperreaktivitas
pada saluran nafas penderita asma.
Asma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan oleh
limfosit T dan B. Asma diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul
IgE yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar alergen yang menimbulkan
asma bersifat airbone. Alergen tersebut harus tersedia dalam jumlah banyak dalam
periode waktu tertentu agar mampu menimbulkan gejala asma.
Obat sering berhubungan dengan induksi fase akut asma adalah aspirin, bahan
pewarna seperti tartazin, antagonis beta-adrenergik dan bahan sulfat. Sindrom
khusus pada sistem pernafasan yang sensitive terhadap aspirin terjadi pada orang
dewasa, namun dapat pula dilihat dari masa kanak-kanak. Masalah ini biasanya
berawal dari rhinitis vasomotor perennial lalu menjadi rhinosinusitis hiperplastik
dengan polip nasal akhirnya diikuti oleh munculnya asma progresif. Pasien yang
sensitif terhadap aspirin dapat dikurangi gejalanya dengan pemberian obat setiap
hari, setelah menjalani bentuk terapi ini akan terbentuk toleransi silang terhadap
agen anti inflamasi nonsteroid. Mekanisme terjadinya bronkuspasme oleh aspirin
ataupun obat lainnya belum diketahui, tetapi mungkin berkaitan dengan
pembentukan leukotrien yang diinduksi secara khusus oleh aspirin (4).
Antagonis beta-adrenergik merupakan hal yang biasanya menyebabkan
obstruksi jalan nafas pada pasien asma, demikian juga dengan pasien yang
mengalami peningkatan reaktifitas jalan nafas. Selain itu, senyawa sulfat yang
secara luas digunakan sebagai agen sanitasi dan pengawet dalam industri makanan
dan farmasi juga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas akut pada pasien yang
sensitive. Senyawa sulfat tersebut adalah kalium metabisulfit, kalium dan natrium
bisulfit, natrium sulfit, dan sulfat klorida. Pada umumnya, tubuh akan terpapar
setelah menelan makanan atau cairan yang mengandung senayawa tersebut,
seperti salad, buah segar, kentang, kerang, dan anggur.
10
6. Pemeriksaan Diagnostik
Berdasarkan gejala klinis dan keluhan penderita, diagnosis asma dapat
ditegakkan. Riwayat adanya asma dalam keluarga dan adanya benda-benda yang
dapat memicu terjadinya reaksi asma penderita memperkuat dugaan adanya
penyakit asma. Pemeriksaan spinometri hanya dapat dilakukan pada penderita
berumur di atas 5 tahun. Jika pemeriksaan spinometri hasilnya baik, perlu
dilakukan beberapa pemeriksaan untuk menetapkan penyebab asma, yaitu : (13)
a. Uji alergi untuk menentukan bahan allergen pemicu asma
b. Pemeriksaan pernafasan dengan peak flow meter setiap hari selama 1-2
minggu
c. Uji fungsi pernafasan waktu melakukan kegiatan fisik
11
7. Penatalaksanaan Asma
a. Terapi Non Farmakologi
1) Menghilangkan obstruksi jalan nafas
2) Mengenali dan menghindarkan faktor yang dapat menimbulkan
serangan asma
3) Memberi penerangan kepada penderita atau keluarga dalam cara
pengobatan atau penanganan penyakit
4) Usahakan agar tubuh tetap hangat pada musim yang dingin dan lembab
b. Terapi Farmakologi
1) Pengobatan dengan obat-obatan
a) Beta agonis (beta adregenik agent)
b) Methylxanlines (enphy bronkodilator)
c) Anti kolenergik (bronkodilator)
d) Kortikosteroid
e) Mast cell inhibitor (inhalasi)
2) Tindakan yang spesifik
a) Pemberian oksigen
b) Pemberian agonis B2 (salbutamol 5 mg atau veneteror 2,5 mg atau
terbutalin 10 mg), inhalasi nebulizer dan pemberiannya dapat
diulangi setiap 30-60 menit
c) Aminofilin bolus IV 5-6 mg/kgBB
d) Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg, digunakan jika tidak ada
respon segera atau klien sedang menggunakan steroid oral atau
dalam serangan yang sangat berat
12
B. Rasionalitas
Rasionalitas obat adalah penggunaan obat sesuai indikasi pada pasien dengan
dosis dan durasi pemberian yang sesuai kondisi pasien secara individual serta
harga yang serendah mungkin. Penggunaan obat yang rasional dapat
meningkatkan kualitas pengobatan dan efektivitas biaya terapi, serta menjamin
bahwa obat hanya digunakan sesuai keperluan.
Pasien yang terlibat dalam penggunaannya benar-benar memahami untuk apa
dan bagaimana obat tersebut digunakan. Penggunaan obat yang rasional
mensyaratkan bahwa pasien menerima obat-obatan yang sesuai kebutuhan klinik
mereka dalam dosis sesuai kebutuhan individu masing-masing untuk suatu
periode waktu yang memadai dan pada harga terendah untuk mereka dan
komunitasnya.
Penggunaan obat (resep) yang rasional menurut kementerian kesehatan RI
tahun 2011 harus memenuhi persyaratan, yaitu : (4)
1. Tepat diagnosis
Jika diagnosis tidak titegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan
terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang
diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi seharusnya.
2. Tepat indikasi
13
Ketepatan indikasi penggunaan obat apabila ada indikasi yang benar (sesuai
dengan diagnosa dokter) untuk penggunaan obat tersebut dan telah terbukti
manfaat terapetiknya.
3. Tepat obat
Tepat obat adalah ketepatan pemilihan obat yang dilakukan dalam proses
pemilihan obat dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti ketepatan
kelas terapi & jenis obat (efek terapi yang diperlukan). Misalnya kemanfaatan
dan keamanan sudah terbukti (risiko efek samping maupun adanya kondisi
kontra indikasi).
4. Tepat dosis
Besar dosis, cara dan frekuensi pemberian umumnya didasarkan pada sifat
Farmakokinetika dan farmakodinami obat serta kondisi pasien. Sedangkan
lama pemberian berdasarkan pada sifat penyakit.
5. Tepat cara pemberian
Obat diberikan dan dikonsumsi sesuai dengan bentuk sediaan yang ada,
misalkan sediaan obat lambung yang harus dikunyah, maka ketika hal
tersebut tidak dilakukan maka ketepatan cara pemberian obat tidak tepat.
6. Tepat interval waktu pemberian
Pemberian hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar mudah
ditaati oleh pasien.
7. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus sesuai dengan penyakitnya masing-masing.
8. Waspada efek samping
Efek samping merupakan efek yang tidak diinginkan terjadi, penggunaan obat
harus memiliki efek samping yang paling minimal yang dapat terjadi.
9. Tepat penilaian kondisi pasien
Pengobatan harus disesuaikan dengan kondisi pasien.
10. Tepat informasi
Informasi yang didapatkan oleh pasien sangat penting dalam menunjang
keberhasilan terapi.
14
C. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah suat kelompok hormone steroid yang dihasilkan
dibagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon
adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh angiotensin II. Hormon ini
berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalkan tanggapan terhadap
usus, sistem kekebalan tubuh (imun), pengaturan inflamasi, metabolism
karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku (1).
D. Rumah Sakit
1. Pengertian Rumah Sakit
Rumah Sakit menurut Permenkes No.72 tahun 2016 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (7).
Rumah Sakit juga dibagi berdasarkan jenis pelayanan yaitu Rumah Sakit
Umum dan Rumah Sakit Khusus.
a. Rumah Sakit Umum dibagi menjadi :
1) Rumah Sakit Umum kelas A
2) Rumah Sakit Umum kelas B
3) Rumah Sakit Umum kelas C
Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Kelas C paling sedikit
meliputi :
a) pelayanan gawat darurat
b) pelayanan medik umum
16
b) dua apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling
sedikit empat orang tenaga teknis kefarmasian;
c) empat orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit
delapan orang tenaga teknis kefarmasian;
d) satu orang apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan
produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik
di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis
kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja
pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.
3) Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat merupakan suatu proses yang menjamin informasi
terkait penggunaan obat yang akurat dan komprehensif dikomunikasikan
secara konsisten setiap kali terjadi pemindahan pemberian layanan
kesehatan seorang pasien.
4) Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi obat, rekomendasi obat yang independen, akurat,
komprehensif, terkini, oleh apoteker kepada pasien, masyarakat,
professional kesehatan lain, dan pihak-pihak yang memerlukan.
5) Konseling
Konseling merupakan proses pemberian kesempatan bagi pasien untuk
mengetahui tentang terapi obatnya dan meningkatkan kesadaran
penggunaan obat dengan tepat.
6) Visite
Visite merupakan kunjungan pasien rawat inap bersama tim dokter dan
tenaga kesehatan lainnya.
7) Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang
mencangkup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif,
dan rasional bagi pasien. Kegiatan ini mengcangkup pengkajian pilihan
obat dosis, cara pemberian obat, respon terapi, reaksi obat yang tidak
dikehendaki (ROTD), dan rekomendasi perubahan terapi pengobatan.
8) Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan suatu kegiatan
monitoring atau pemantauan terhadap efek samping obat yang tidak
diinginkan yang terjadi dalam proses terapi pengobatan pasien.
9) Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan suatu cara mengidentifikasi
dan menganalisis, dalam hal ini membandingkan penggunaan obat antar
satu dengan yang lainnya.
22
E. Penggolongan Usia
Usia menurut Depkes RI tahun 2009, dibagi menjadi : (16)
1. Balita : 0-5 tahun
2. Anak-anak : 5-11 tahun
3. Remaja awal : 12-16 tahun
4. Remaja akhir : 17-25 tahun
5. Dewasa awal : 26-35 tahun
6. Dewasa akhir : 36-45 tahun
7. Lansia awal : 46-55 tahun
8. Lansia akhir : 56-65 tahun
9. Manula : > 65 tahun
medik dapat menjadi sumber data sekunder yang memadai apabila data yang
terekam cukup lengkap, informatif, jelas, dan akurat (17).
Rekam medis antara lain bermanfaat sebagai :
1. Dokumen bagi penderita yang memuat riwayat perjalanan penyakit, terapi
obat maupun non obat dan semua seluk beluknya.
2. Sarana komunikasi antara petugas kesehatan yang terlibat dalam pelayanan
atau perawatan penderita.
3. Sumber informasi untuk kelanjutan pelayanan atau perawatan penderita yang
sering masuk ke rumah sakit bersangkutan.
4. Penyedia data bagi pihak ketiga yang berkepentingan dengan penderita,
seperti asuransi, pengacara, instansi penanggung biaya.
5. Penyedia data bagi kepentingan hukum dalam kasus – kasus tertentu (17).
G. Rancangan Penelitian
1. Prinsip Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan
deskriptif yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan suatu fenomena yang terjadi didalam masyarakat dengan
menggunakan pendekatan secara retrospektif yaitu kegiatan pengumpulan data
24
dimulai dari efek atau akibat yang telah terjadi (18). Pada penelitian ini dilakukan
evaluasi penggunaan kortikosteroid pasien asma yang meliputi tepat interval, tepat
indikasi, tepat obat dan tepat dosis. Penelitian ini dilakukan di RS Pertamina
Bintang Amin Kota Bandar Lampung.
2. Kerangka teori
Faktor-faktor :
1. Alergen
2. Aktivitas fisik Pengobatan
3. Stress ASMA
asma
4. Virus
5. Perubahan cuaca
6. Lingkungan kerja
Farmakologi Non
Farmakologi
Rasional Irasional
Evaluasi Penggunaan
Kortikosteroid berdasarkan :
1. Tepat Indikasi
2. Tepat Obat
3. Tepat Dosis
4. Tepat Interval Pemberian
Obat
4. Definisi operasional
Definisi operasional adalah batasan pada variabel-variabel yang diamati atau
diteliti untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap
variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen atau alat
ukur.
26
Pharmaceutical resep
Care.
N
Rumus Slovin : n= 2
1+ N (d )
Keterangan :
n = besaran sampel minimum
N = jumlah populasi
d = tingkat kepercayaan/ketetapan yang diinginkan (0,1)
6. Kriteria Sampel
29
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap
anggota populasi yang dapat digunakan sebagai sampel (18). Kriteria
inklusi pada penelitian ini sebagai berikut :
1) Pasien yang terdiagnosa penyakit asma pada instalasi farmasi rawat
jalan periode juli-desember tahun 2020.
2) Pasien asma yang berobat pada instalasi farmasi rawat jalan berumur
12-55 tahun (Depkes RI, 2009).
3) Pasien penderita asma dengan atau tanpa penyakit penyerta.
4) Pasien asma yang mendapatkan terapi pengobatan kortikosteroid.
b. Kriteria Ekslusi
Kriteria ekslusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil
sebagai sampel penelitian (18) kriteria ekslusi dalam penelitian ini sebagai
berikut :
1) Data rekam medis yang tidak lengkap.
2) Terapi pada resep tidak terbaca dan tidak terindentifikasi.
3) Tabulasi
Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel atau Lembar
Pengumpulan Data (LPD) yang sesuai dengan tujuan penelitian.
b. Analisa data
Dalam penelitian ini dilakukan analisis secara deskriptif retrospektif untuk
mengetahui penggunaan obat pada pasien yang terdiagnosa asma di
Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Pertamina Bintang Amin Kota Bandar
Lampung. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk persentase dan
kemudian diambil kesimpulan dari data yang disajikan tersebut.