Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hiperplasia prostatis benigna (BPH) adalah pembesaran prostat yang


mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria (Nursalam, M & Batticaca, 2011).
Seiring dengan bertambahnya umur, maka akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron dan estrogen karena produksi testoteron menurun dan
akan terjadi konversi testosteron menjadi esterogen pada jaringan adiposa di
perifer. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah
dapat dittemukan pada umur 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus
berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomik. Pada laki-laki umur 50
tahun, angka kejadiannya sekitar 50% dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar
50% dari angka tersebut di atas akan menyebabkan gejala dan tanda klinis. Karena
proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahandan efek dari
perubahannya juga terjadi perlahan-lahan (Sjamsuhidajat, R & Jong, 2004).
Di wilayah Amerika Serikat, terdapat lebih dari setengah (50%) pada jenis
kelamin laki-laki berusia 60-70 tahun yang mengalami gejala-gejala Benigna
Prostat Hiperplasi (BPH) dan antara usia 70-90 tahun sebanyak 90% mengalami
gejala-gejala Benigna Prostat Hiperplasi (BPH). Hasil riset mengatakan bahwa
laki-laki yang hidup di daerah pedesaan sangat rendah terkenan Benigna Prostat
Hiperplasi (BPH) dibandingkan dengan laki-laki yang hidup di daerah perkotaan.
Ini terkait dengan gaya hidup seseorang. Laki-laki yang bergaya hidup modern
cenderung lebih besar terkena Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) dibandingkan
dengan laki-laki di daerah pedesaan (Suharyanto, 2009).
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) terjadi pada usia yang semakin tua (>45
tahun) dimana saat keadaan fungsi testis menurun. Penurunan yang diakibatkan
oleh fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon testosteron dan
dehidrotesteosteron sehingga memicu pertumbuhan atau pembesaran prostat.
(Rendi, M. Clevo, 2012).
Karakteristik pasien Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) pada penelitian
yang dilaksanakan di RS Bhayangkara Mataram pada bulan April sampai dengan
Juni 2015 untuk usia terbanyak ada pada kelompok usai 61-70 tahun (38,2 %)
dengan rata-rata usia 65,75. Usia paling muda yaitu 46 tahun dan usia paling tua
adalah 86 tahun (Mahendrakrisna et al., 2016).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Instalasi Rekam Medik
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado selama periode Januari 2014 hingga Juli
2017, didapatkan 61 pasien dengan diagnosis utama Benigna Prostat Hiperplasi
(BPH) tetapi data pasien yang tersedia dan lengkap hanya 39 kasus. Dari tahun
2014-2017 jumlah kasus paling tertinggi yaitu tahun 2016 dengan pasien 15
(38,46%) dan terendah pada tahun 2015 dengan 3 pasien (7,69%). Menurut hasil
studi pendahuluan kabupaten Gianyar berada di wilayah keduan setelah kabupaten
Tabanan yang memiliki kejadiah BPH tertinggi yaitu 30% dari 284 pasien pada
tahun 2015 dan tahun 2016 jumlah kasus BPH di RSUD Sanjiwani Gianyar
sebanyak 200 kasus.
Penyebab terjadinya kasus BPH sampai saat ini belum diketahui pasti,
namun beberapa hipotesis mengatakan bahwa BPH erat berkaitan dengan
peningkatan kadar dihidrotesteron (DHT) dan proses aging (penuaan) (Purnomo,
2003).
Pembesaran prostat mengakibatkan rangsangan pada kandung kemih atau
vesika, maka dari itu vesika sering berkontraksi walaupun belum penuh.
Meskipun vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada
akhir dari miksi akan dietmukan sisa urin di dalam kandung kemih. Karena sering
terdapat sisa urin, akibatnya terbentuk bantu endapan di dalam kandung kemih
atau Vesicolithhiasis (Sjamsuhidajat, R & Jong, 2004). Jika sumbatan urin parah,
maka akan dilakukan pembedahan Transurethral Reseksi Prostatectomy (TURP)
(Corwin, 2009). Transurethral Reseksi Prostatectomy (TURP) merupakan
prosedur yang paling umum dan dapat dilakukan melalui endoskopi (Price, A.
Syilvia, 2005). Transurethral Reseksi Prostatectomy (TURP) merupakan suatu
pembedahan yang dilakukan pada BPH dan mempunyai tingkat keberhasilan 80-
90%. (Suharyanto, 2009).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Peters, dkk (2010) Angka
kejadian nyeri setelah operasi dalam sampel 1490 klien rawat inap bedah,
didapatkan hasil nyeri sedang atau berat, dilaporkan 41% klien pada hari 0, 30%
pada hari 1 dan 19%, 16% dan 14% pada hari 2,3 dan 4. Nyeri adalah salah satu
keluhan yang terjadi pada pasien setelah mengalami tindakan pembedahan.
Pembedahan adalah peristiwa yang bersifat bifasik terhadap tubuh manusia yang
berimplikasi pada pengelolaan nyeri (Potter & Perry, 2006).
Nyeri adalah kondisi tidak menyenangkan yang bersifat sangat subjektif
karena perasaaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau
tingkatannya, dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan atau
mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya.(Hidayat, A. A, A, 2014).
Nyeri akut biasanya mempunyai penyebab yang jelas, misalkan trauma
operasi, intensitas nyeri dapat diukur melalui skala numerik dari angka 0-10, dengan
kriteria 0 tidak nyeri, kriteria 1-3 nyeri ringan, kriteria 4-6 nyeri sedang, kriteria 7-9
nyeri berat dan kriteria 10 nyeri sudah tidak dapat ditoleransi. Nyeri akut biasanya
berkurang berhubungan dengan terjadinya penyembuhan. (Smeltzer & Bare, 2002).
Dampak dan nyeri terhadap hal-hal yang lebih spesifik seperti pola tidur
terganggu, selera makan berkurang ,aktivitas keseharian terganggu, hubungan dengan
sesame manusia lebih mudah tersinggung, atau bahkan terhadap mood (sering
menangis dan marah), kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaan atau pembicaraan dan
sebagainya (Setiyohadi, dkk, 2006).
Berdasarkan uraian diatas peneliti menilai memerlukan dilakukannya asuhan
keperawatan komperhensif pada post operasi benigna prostat hyperplasia dengan nyeri
akut yang dituangkan dalam karya tulis ilmiah yang berjudul “Asuhan keperawatan
Pada Tn.P yang mengalami Benigna Prostat Hiperplasia”.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menggambarkan analisis asuhan keperawatan Tn.P yang
mengalami BPH (benign prostatic hyperplasia) di IGD RSUD Tarakan
2. Tujuan Khusus
Mampu menjelaskan aanalisis setiap tahap proses keperawatan yaitu :
a. Pengkajian pada Tn.P yang mengalami BPH (benign prostatic hyperplasia) di
IGD RSUD Tarakan
b. Penetapan diagnosis keperawatan pada Tn.P yang mengalami BPH (benign
prostatic hyperplasia) di IGD RSUD Tarakan
c. Perencanaan untuk memecahkan masalah yang ditemukan pada Tn.P yang
mengalami yang mengalami BPH (benign prostatic hyperplasia) di IGD RSUD
Tarakan
d. Implementasi keperawatan pada Tn.P yang mengalami yang mengalami BHP
(benign prostatic hyperplasia) di IGD RSUD Tarakan
e. Evaluasi keperawatan pada Tn.P yang mengalami yang mengalami BPH (benign
prostatic hyperplasia) di IGD RSUD Tarakan
C. Manfaat Penulisan

Penyusunan karya tulis ilmiah bagi pengembangan praktik keperawatan dan pemecahan
masalah khususnya dalam kompetensi lulusan. Manfaat ditujukan untuk :

1. Mahasiswa
Karya tulis ilmiah diharapkan dapat menambah wawasan dan keterampilan kepada
siswa dalam hal indicator BPH (benign prostatic hyperplasia) , dan menjadi suatu
kesempatan bagi siswa untuk dapat mengaplikasikan ilmu yang telah diproleh selama
masa kuliah.
2. Institusi Pendidikan
Karya tulis ilmiah dapat memberikan penilaian terhadap kemampuan mahasiswa
yang mendapatkan pengetahuan dan kemampuan yang diberikan oleh dosen.
3. Rumah Sakit
Memberikan informasi tentang BPH (benign prostatic hyperplasia) pada klien
sehingga dapat meniadi baru dalam memberikan asuhan keperawatan dan
memberikan Pendidikan kesehatan untuk pasien BHP (benign prostatic hyperplasia)
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Benign Prostatic Hyperplasia-BPH


1. Hiperplasia prostat benigna (Benign Prostatic Hyperplasia-BPH) adalah
pembesaran prostat yang mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria (Muttaqin
dkk, 2012 ). Hiperplasia prostat benigna adalah pertumbuhan prostat yang cukup
mengobstruksi (menghambat) jalan keluar uretra, yang menyebabkan gejala
LUTS yang mengganggu, ISK, dan hematuria. (Black, 2014).
Prostat Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang
disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun
keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat
pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.

2. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui secara
pasti tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dihidrotestoteron (DHT) dan proses penuaan.
Selain faktor tersebut ada beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat, yaitu sebagai berikut.
1. Dihydrotestoteron, peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
2. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testoteron dan estrogen pada
usia lanjut. Pada proses penuaan pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testoteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Peran faktor pertumbuhan sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
4. Berkurangnya sel yang mati. Estrogen yang meningkat menyebabkan
peningkatan lama hidup stoma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi
berlebihan (Nursalam dkk, 2011).
3. MANEFESTASI KLINIS
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
1. Gejala obstruktif
2. Hesistansi (sulit memulai miksi).
3. Pancaran miksi lemah.
4. Intermiten (miksi berhenti dan memancar lagi.
5. Miksi tidak puas.
6. Menetes setelah miksi (Black, 2014).
7. Gejala iritasi
8. Frekuensi meningkat.
9. Nokturia (miksi di malam hari).
10. Urgensi (miksi yang mendesak)
11. Disuria (terasa panas dan nyeri saat miksi) (Black, 2014).

Gejala pada saluran kemih bagian atas


1. Obstruksi
2. Nyeri pinggang
3. Terdapat benjolan di pinggang yang merupakan tanda dari hidronefrosis.
4. Demam tanda infeksi atau urosepsis (Black, 2014).
Untuk menilai tingkat keparahan dilakukan sistem skoring secara subjektif yang
diisi oleh pasien sendiri. Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO Timbulnya
dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh beberapa faktor pencetus, seperti:
Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan berkemih
terlalu lama, mengonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum
(alkohol dan kopi) dan minum air dalam jumlah berlebihan.
1. Massa prostat tiba-tiba membesar, mengalami infeksi prostat akut.
2. Setelah mengonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot
destruksor atau yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain golongan
antikolinergik atau alfa adrenergik (Muttaqin, 2012).

4. Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia
(pembesaran). Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra
prostatika dan akan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan tekanan
intrevesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
guna melawan tahanan ini. Kontraksi secara terus-menerus menyebabkan perubahan
anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sakula, dan di ventrikel buli-buli (Black, 2014).
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary track symtom (LUTS) yang dulu
dikenal dengan gejala prostatismus (Muttaqin dkk, 2012).
Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureterini akan
menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluksvesiko-
ureter. Jika keadaan ini berlangsung terus, dapat mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, dan gagal ginjal. (Muttaqin dkk, 2012).

Patofisologi dari hematuria yang disebabkan oleh BPH todak sepenuhnya


dimengerti. Diketahui bahwa angiogenesis (pertumbuhan pembuluh darah) adalah
bagian dari hiperplasia dan bahwa pembuluh darah ini rentan terhdapat kerusakan dan
pembedaan. Perbedaan yang berkepenjangan juga dapat terjadi setelah katerissasi,
sistoskopi, atau bedah prostat transurental. Insiden hematuria pada laki – laki dengan
BPH tidak diketahui, namun tercactat bahwa hematuria adalah indikasi utama
pembedahan transsuretral pada BPH pembedahan transurentral pada BPH pada 12 %
pria yang terdiagnosis BPH (Black, 2014).
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia
(pembesaran). Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan luEAmen uretra
prostatika dan akan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan tekanan
intrevesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
guna melawan tahanan ini. Kontraksi secara terus-menerus menyebabkan perubahan
anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sakula, dan di ventrikel buli-buli (Black, 2014).
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary track symtom (LUTS) yang dulu
dikenal dengan gejala prostatismus (Muttaqin dkk, 2012).
Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureterini akan
menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluksvesiko-
ureter. Jika keadaan ini berlangsung terus, dapat mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, dan gagal ginjal. (Muttaqin dkk, 2012).
Patofisologi dari hematuria yang disebabkan oleh BPH todak sepenuhnya
dimengerti. Diketahui bahwa angiogenesis (pertumbuhan pembuluh darah) adalah
bagian dari hiperplasia dan bahwa pembuluh darah ini rentan terhdapat kerusakan dan
pembedaan. Perbedaan yang berkepenjangan juga dapat terjadi setelah katerissasi,
sistoskopi, atau bedah prostat transurental. Insiden hematuria pada laki – laki dengan
BPH tidak diketahui, namun tercactat bahwa hematuria adalah indikasi utama
pembedahan transsuretral pada BPH pembedahan transurentral pada BPH pada 12 %
pria yang terdiagnosis BPH (Black, 2014).

5. Pemeriksaan Penunjang Dan Laboraterium


a. Laboratorium
Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna untuk mengetahui
kuman penyebab infeksi dan sensivitas kuman terhadap beberapa anti mikroba yang
diujikan (Muttaqin, 2012)
b. Pemeriksaan faal ginjal untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang
mengenai saluran kemih bagian atas (Muttaqin, 2012)
c. Pemeriksaan gula darah untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya penyakit
diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli
(Muttaqin, 2012)
d. Pencitraan
Foto polos abdomen, untuk menilai adanya batu saluran kemih. Adanya batu /
kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh dengan urine sebagai
tanda retensi urine (Black, 2014)
e. Pemeriksaan uroflowmetri (Black, 2014)
f. Pemeriksaan IVP, untuk menilai danya komplikasi pada ureter dan ginjal, seperti
hidroureter atau hidronefrosis; memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang
ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar
prostat) atau ureter di bagian distal yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish) ;
penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel, atau sakulasi
buli-buli (Muttaqin, 2012)
g. Pemeriksaan USG transektal untuk mengetahui: besar atau volume kelenjar prostat,
menentukan jumlah residual urine, dan mencari kelainan lain yang mungkin ada
dalam buli-buli (Muttaqin, 2012)

Pemeriksaan lain
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan mengukur :

1. Residual urine, yaitu jumlah sisa urine setelah miksi. Sisa urine ini dapat
dihitung dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi (Muttaqin, 2012).
2. Pancaran urine (flow rate) atau dengan alat urofometri yang menyajikan
gambaran grafik pancaran urine (Muttaqin, 2012).Pemeriksaan serum
3. Kreatinin dan BUN untuk mengevaluasi fungsi ginjal (Muttaqin, 2012)
4. Serum PSA untuk mengetahui adanya kanker tetapi mungkin terdapat
peningkatan pada BPH.
B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Airway
Adanya sumbatan atau obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat
kelemahan refleks batuk. Jika ada obstruksi maka lakukan :
a. Chin lift atau jaw trust
b. Suction atau hisap
c. Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral
2. Breathing
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu
apas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien
meningitis disertai adanya gangguan pada sistem pernapasan. Palpasi thoraks hanya
dilakukan apabila terdapat deformitas pada tulang dada pada klien dengan efusi pleura
masif (jarang terjadi pada klien dengan meningitis). Auskultasi bunyi napas tambahan
seperti ronkhi pada klien dengan meningitis tuberkulosa dengan penyebaran primer di
paru.
3. Circulationtekanan darah dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi disritmia,
kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.
4. Dissability
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau
sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS.
5. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera yang
mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang, maka imobilisasi
in line harus dikerjakan (Muttaqin, 2010).

A. Pengkajian Sekunder
1. Demografi
Kebanyakan menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit hitam memiliki
resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status social ekonomi memili
peranan penting dalam terbentuknya fasilitas kesehatan yang baik. Pekerjaan memiliki
pengaruh terserang penyakit ini, orang yang pekerjaanya mengangkat barang-barang
berat memiliki resiko lebih tinggi.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia, urgensi,
disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, hesistensi ( sulit memulai
miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan waktu miksi memanjang dan
akhirnya menjadi retensi urine.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit
BPH.
4. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum
Keadaan penyakit, kesadaran, suara bicara, status/ habitus, pernafasan, tekanan
darah, suhu tubuh, nadi.
b. Kulit
Apakah tampak pucat, bagaimana permukaannya, adakah kelainan pigmentasi,
bagaimana keadaan rambut dan kuku klien ,
c. Kepala
Bentuk bagaimana, simetris atau tidak, adakah penonjolan, nyeri kepala atau
trauma pada kepala.
d. Muka
Bentuk simetris atau tidak adakah odema, otot rahang bagaimana keadaannya,
begitu pula bagaimana otot mukanya.

c. Mata
Bagainama keadaan alis mata, kelopak mata odema atau tidak. Pada konjungtiva
terdapat atau tidak hiperemi dan perdarahan. Sclera tampak ikterus atau tidak.
d. Telinga
Ada atau tidak keluar secret, serumen atau benda asing. Bagaimana bentuknya, apa
ada gangguan pendengaran.
e. Hidung
Bentuknya bagaimana, adakah pengeluaran secret, apa ada obstruksi atau polip,
apakah hidung berbau dan adakah pernafasan cuping hidung.
f. Mulut dan faring
caries gigi, bagaimana keadaan gusi apakah ada perdarahan atau ulkus. Lidah
tremor ,parese atau tidak. Adakah pembesaran tonsil.
g. Leher
Bentuknya bagaimana, adakah kaku kuduk, pembesaran kelenjar limphe.
h. Thoraks Betuknya bagaimana, adakah gynecomasti.
i. Paru
Bentuk bagaimana, apakah ada pencembungan atau penarikan. Pergerakan
bagaimana, suara nafasnya. Apakah ada suara nafas tambahan seperti ronchi ,
wheezing atau egofoni.
j. Jantung
Bagaimana pulsasi jantung (tampak atau tidak).Bagaimana dengan iktus atau
getarannya.
k. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi umumnya ada
penonjolan kandung kemih pada supra pubik. Apakah ada nyeri tekan, turgornya
bagaimana. Pada klien biasanya terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal
teraba atau tidak. Peristaklit usus menurun atau meningkat.

l. Genitalia dan anus


Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat teraba pada saat
rectal touché. Pada klien yang terjadi retensi urine, apakah trpasang kateter,
Bagaimana bentuk scrotum dan testisnya. Pada anus biasanya ada haemorhoid.
m. Ekstrimitas dan tulang belakang
Apakah ada pembengkakan pada sendi. Jari – jari tremor apa tidak. Apakah ada
infus pada tangan. Pada sekitar pemasangan infus ada tanda – tanda infeksi seperti
merah atau bengkak atau nyeri tekan. Bentuk tulang belakang bagaimana.
Laboratorium
Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi
atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna untuk
mengetahui kuman penyebab infeksi dan sensivitas kuman terhadap beberapa
anti mikroba yang diujikan (Muttaqin, 2012)
1. Pemeriksaan faal ginjal untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang
mengenai saluran kemih bagian atas (Muttaqin, 2012)
2. Pemeriksaan gula darah untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya penyakit
diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli
(Muttaqin, 2012)
3. Pencitraan
Foto polos abdomen, untuk menilai adanya batu saluran kemih. Adanya batu /
kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh dengan urine
sebagai tanda retensi urine (Black, 2014)
4. Pemeriksaan uroflowmetri (Black, 2014)
5. Pemeriksaan IVP, untuk menilai danya komplikasi pada ureter dan ginjal, seperti
hidroureter atau hidronefrosis; memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang
ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar
prostat) atau ureter di bagian distal yang berbentuk seperti mata kail (hooked
fish) ; penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel,
atau sakulasi buli-buli (Muttaqin, 2012)
6. Pemeriksaan USG transektal untuk mengetahui: besar atau volume kelenjar
prostat, menentukan jumlah residual urine, dan mencari kelainan lain yang
mungkin ada dalam buli-buli (Muttaqin, 2012)

B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan Agen injuri fisik (kerusakan jaringan)

2. Gangguan Mobilitas Fisik b/d Nyeri saat bergerak

3. Kerusakan Integritas jaringan b/d faktor mekanik dan gesekan

4. Resiko Infeksi faktor resiko


No Diagnosa Noc Nic
1. Nyeri akut b/d NOC : NIC :
berhubungan dengan -Pain Level, 1. Lakukan pengkajian nyeri
Agen injuri fisik -Pain control, secara komprehensif
Ds: Setelah dilakukan termasuk lokasi,
Laporan secara verbal tinfakan keperawatan karakteristik, durasi,
DO: selama …. Pasien tidak frekuensi, kualitas dan
-Posisi untuk menahan mengalami nyeri, faktor presipitasi
nyeri dengan kriteria hasil: 2. Observasi reaksi nonverbal
-Tingkah laku berhati- -Mampu mengontrol dari ketidaknyamanan
hati nyeri (tahu penyebab 3. Bantu pasien dan keluarga
-Gangguan tidur (mata nyeri, mampu untuk mencari dan
sayu, tampak capek, menggunakan tehnik menemukan dukungan
sulit atau gerakan nonfarmakologi untuk 4. Kontrol lingkungan yang
kacau, menyeringai) mengurangi nyeri, dapat mempengaruhi nyeri
mencari bantuan) seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
5. Kurangi faktor presipitasi
nyeri
6. Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan
intervensi

2. Gangguan mobilitas NOC NIC


fisik b/d tidak nyaman -Joint Movement : Exercise therapy : ambulation
nyeri kerusakan Active 1.Monitoring vital sign
muskuloskeletal dan -Mobility Level Sebelum / sesudah latihan dan
neuromuskuler ditandai Setelah dilakukan lihat respon pasien saat latihan
DS tindakan keperawatan 2.Konsultasikan dengan terapi
- Gangguan selama….gangguan fisik tentang rencana ambulasi
metabolisme sel mobilitas fisik teratasi sesuai dengan kebutuhan
- Keterlembatan pe dengan kriteria hasil : 3.Bantu klien untuk
rkembangan - Klien meningkat dalam menggunakan tongkat saat
- Pengobatan aktivitas fisik berjalan dan cegah terhadap
- Kurang support -Mengerti tujuan dari cedera
lingkungan peningkatan mobilitas 4.Ajarkan pasien atau tenaga
DO : kesehatan lain tentang teknik
-Penurunan waktu ambulasi
reaksi 5.Kaji kemampuan pasien
dalam mobilisasi
-Kesulitan merubah
posisi
-Perubahan gerakan
(penurunan untuk
berjalan, kecepatan,
kesulitan memulai
3. langkah pendek) NOC : NIC :
-Immune Status 1.Pertahankan teknik aseptif
-Knowledge : Infection 2.Batasi pengunjung bila perlu
Risiko tinggi Faktor- control 3.Cuci tangan setiap sebelum
faktor risiko prosedur NIC: dan sesudah tindakan
infasif, kerusakan Setelah dilakukan keperawatan
jaringan dan tindakan keperawatan 4.Gunakan baju, sarung tangan
peningkatan paparan selama…… pasien tidak sebagai alat pelindung
lingkungan ditandai mengalami infeksi 5.Ganti letak IV perifer dan
dengan kriteria hasil: dressing sesuai dengan
-Prosedur Infasif -Klien bebas dari tanda petunjuk umum
-Kerusakan jaringan dan gejala infeksi 6.Gunakan kateter intermiten
dan peningkatan untuk menurunkan infeksi
paparan lingkungan kandung kencing
-Malnutrisi 7.Tingkatkan intake nutrisi

4. Noc : Nic : Pressure Management


-Tissue Integrity : Skin 1.Anjurkan pasien untuk
and Mucous Membranes menggunakan pakaian yang
-Wound Healing : longgar
Kerusakan integritas primer dan sekunder 2.Hindari kerutan pada tempat
jaringan yang Setelah dilakukan tidur
berhubungan ditandai tindakan keperawatan 3.Jaga kebersihan kulit agar
Hipertermia atau selama….. kerusakan tetap bersihdan kering
hipotermia, integritas kulit pasien 4.Mobilisasi pasien (ubah
kelembaban, faktor teratasi dengan kriteria posisi pasien) setiap dua jam
mekanik (misalnya : hasil: sekal
alat yang dapat -Integritas kulit yang 5.Monitor kulit akan adanya
menimbulkan luka, baik bisa dipertahankan kemerahan
tekanan, restraint) (sensasi, elastisitas, 6.Oleskan lotion atau
DO: temperatur, hidrasi, minyak/baby oil pada derah
-Gangguan pada bagian pigmentasi) yang tertekan
tubuh 7.Monitor aktivitas dan
-Kerusakan lapisa kulit mobilisasi pasien
( dermis)
-Gangguan permukaan
kulit (epidermis)

Anda mungkin juga menyukai