Anda di halaman 1dari 13

XII.

SUMBERDAYA PERIKANAN LAUT

PENDAHULUAN

Perikanan laut Indonesia dicirikan oleh terjadinya dualisme dalam lokasi dan
bentuk perusahaan perikanan. Dualisme tersebut dalam kondisi antara usaha yang bersifat
komersial besar yang pada umumnya berlokasi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang
hidup berdampingan dengan nelayan kecil yang umumnya berada di Kawasan Barat
Indonesia (KBI). Bentuk dualisme ini tidak hanya terbatas pada kekayaan
sumberdayanya, tetapi juga ukuran skala operasinya yang ditentukan oleh tingkat
teknologi, intensitas modal yang digunakan, penyerapan tenaga kerja dan bentuk
kepemilikannya.
Luas laut Indonesia sekitar 5,8 juta km2 yang terdiri dari laut teritorial sebesar 0,3
juta km2, laut Nusantara sebesar 2,8 juta km2 dan laut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI) sebesar 2,7 juta km2. Panjang garis pantai dari Sabang sampai Merauke sepanjang
80.790 km atau sekitar 14 persen panjang garis pantai dunia dan merupakan negara
kepulauan terbesar di dunia. Luas Laut sebesar 5,8 juta km2 tersebut diperkirakan
memiliki potensi lestari sumberdaya hayati (maximum sustainable yield/ MSY) perikanan
laut sebesar 6,7 juta ton per tahun. Sebesar 4,4 juta ton per tahun berasal dari perairan
Nusantara dan 2,3 juta ton per tahun berasal dari perairan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI). Dari jumlah potensi tersebut diperkirakan 32 persen telah dieksploitasi.
Pemanfaatan potensi sumberdaya lautan tidak terlepas dari sifat sumberdaya yang
bersangkutan dimana mempunyai ciri common property resource yang tak mengenal
batas hak-hak wewenang individual bagi siapa saja yang memanfaatkannya. Oleh karena
sifatnya itulah pemanfaatan sumberdaya ini mengarah kepada terjadinya misalokasi
sumberdaya (missallocation of resources) dan mengarah pada pengurasan kekayaan alam
tersebut (tindakan deplesi).
Tujuan Instruksional Khusus:
• Menjelaskan sifat sumberdaya perikanan laut.
• Menganalisis prinsip penangkapan/penggunaan dan pengelolaan sumberdaya
perikanan laut.
11.1. Sifat Sumberdaya Perikanan Laut.

Salah satu sifat dasar dari sumberdaya perikanan adalah merupakan sumberdaya
milik bersama/milik umum (common property resource ). Seperti sumberdaya lainnya
misalnya udara, matahari dan lain-lain, semua itu dapat digunakan pada waktu bersamaan
oleh lebih dari seorang individu sehingga tak seorangpun mempunyai hak khusus untuk
menggunakan sumberdaya itu dan tak seorangpun dapat melarang orang lain untuk
memanfaatkannya. Ada 2 syarat yang mencirikan sumberdaya milik umum yaitu:
• tidak terbatasnya cara-cara pengambilan.
• Terdapat interaksi di antara para pemakai sumberdaya itu, sehingga terjadi
saling berebut satu sama lain dan terjadi eksternalitas dalam biaya yang
sifatnya disekonomis.

Karena sumberdaya itu milik semua orang maka justru karena itu tidak seorangpun yang
memilikinya. Berbeda dengan sumberdaya yang sifat kepemilikannya pribadi, pada ciri
pertama sumberdaya milik umum, orang atau perusahaan bebas masuk mengambil
manfaat sedang pada ciri kedua dengan adanya orang atau perusahaan yang berdesakan
karena bebas masuk, maka terjadi interaksi yang tidak menguntungkan yang secara
kuantitatif berupa biaya tambahan yang harus diderita oleh masing-masing pengusaha
sebagai akibat keadaan yang “berdesakan” itu. Pada prinsipnya sumberdaya alam milik
umum yang dicirikan sebagaimana di atas itu akan menimbulkan kecenderungan
pengelolaan ke arah deplesi.
Salah satu alasan yang penting mengapa sumberdaya ini digolongkan sebagai milik
bersama adalah:
• Menyangkut biaya perorangan, dimana biaya untuk memperoleh dan
mempertahankan hak menggunakannya secara khusus dirasa lebih tinggi dari
pendapatan tambahan yang mungkin didapat dari pemilikan sumberdaya itu.
• Menyangkut biaya sosial, bahwa semua orang mempunyai hak yang sama
untuk berburu atau menangkap ikan.
11.2. Pemanfaatan Sumberdaya Secara Optimal

Pada awalnya sumberdaya perikanan belum dimanfaatkan, sumberdaya tersebut


memberikan daya tarik bagi perusahaan perikanan maupun nelayan, karena memberikan
keuntungan surplus berupa rent yang maksimal (Emax rent).Tetapi dengan melihat
keuntungan besar yang berupa rent tersebut, maka para penangkap ikan lain berbondong-
bondong memasuki usaha ini untuk mengadu nasib di sektor kegiatan tersebut. Tetapi
karena kriteria keputusan individual nelayan bertujuan untuk memaksimumkan share
keuntungan dari rent hasil tangkapannya, maka besarnya rent sumberdaya tersebut
semakin lama semakin mengecil, sampai pada keadaan E akses-terbuka , dimana nilai
rent pada akhirnya habis atau hilang karena terlalu banyak usaha-usaha tangkapan,
akhirnya pada keadaan keseimbangan akses terbuka (open access equilibrium) (EAT),
sumberdaya tersebut sudah bukan merupakan sumberdaya lagi karena sumberdaya
tersebut tidak lagi memberikan keuntungan bagi masyarakat.
Pada keadaan EAT ternyata terlalu banyak sumberdaya dialokasikan pada
sektor penangkapan ikan, sehingga akibatnya sumberdaya digunakan secara mubazir,
atau tidak efisien. Data empirik dari pengalaman sumberdaya perikanan yang open
access selamanya mengalami penyusutan sehingga pada tingkatan yang kritis banyak
jenis-jenis ikan mengalami kepunahan. Keadaan ketidak efisienan alokasi sumberdaya
pada keadaan EAT, dapat dilihat pada Gambar 1. di bawah ini.
Gambar 1. Hubungan Penyusutan Rent dengan Kerugian Masyarakat pada
Keadaan Akses Terbuka

Rp/unit effort
Maks. Hasil Garis TC
(total biaya)

Maks. Rent Garis Total Penerimaan


Sumberdaya (TR)

E/t
E Maks E Maks E AT
Rent Hasil (akses terbuka)

Resource
Rent

Kurva AR

P Titik pada
AC=MC=AR
Kurva MR

Kerugian yg
diderita masyarakat

Sumber: Anwar, 1994.

Dari gambar di atas terlihat bahwa nilai hasil ekonomi bersih (rent) mencapai
maksimum pada titik Emaks. Sedangkan pada tingkat effort yang berhubungan dengan
kaadaan ini nilai MR = MC (sesuai dengan teori usaha yang memaksimumkan
keuntungan).
Setiap manajer usaha penangkapan ikan yang rasional akan terus memperluas
usahanya selama Emaks masih mencapai nilai hasil tangkapan ikan lebih besar dari biaya
tangkap, sehingga manajer tersebut akan terus menangkap ikan. Tetapi setelah usaha
tangkapan melampaui titik Emaks maka biaya marginalnya akan semakin besar jika
dibanding tambahan nilai usahanya. Oleh karena itu Emaks merupakan maximum
economic yield.
Jika usaha tangkapan harus dikendalikan untuk mencegah semakin hilangnya
economic rent atau untuk mengurangi penyusutan rent ke arah yang lebih baik, maka
timbul pertanyaan pada tingkat usaha yang bagaimana yang merupakan tingkat usaha
tangkapan yang optimal?. Sehingga kita dapat menganjurkan operasi perikanan yang
lebih baik. Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, tingkat tangkapan ikan optimal adalah
suatu tingkatan dimana economic rent mencapai maksimum, yaitu tingkat usaha yang
dapat memberikan hasil ekonomi yang maksimal (maximum economic yield, MEY),
dimana keuntungan yang diperoleh dari sumberdaya atau faktor produksi yang paling
langka yaitu ikan masih memberikan manfaat pada masyarakat.
Tingkat tangkapan pada MEY lebih disukai dari pada MSY, sebagai tujuan
pengelolaan perikanan, karena pada tingkatan itu selain menguntungkan secara ekonomi
juga karena secara ekologi dapat mempertahankan diversitas yang lebih besar. Tetapi
pada keadaan open access yang tanpa pengaturan maka tingkat MEY tak dapat
dipertahankan , pada keadaan yang tidak ada property right yang jelas seperti ini dan
dalam pemakaian sumberdaya yang bebas dan disertai adanya surplus keuntungan pada
tingkat MEY maka keadaan ini akan mendorong seseorang nelayan untuk memperbesar
terus tingkat tangkapannya guna mencapai share keuntungan bagi dirinya; dan
berlangsung terus sampai surplus keuntungan menjadi semakin berkurang hingga
akhirnya lenyap, pada keadaan ini dimana tingkat EAT surplus keuntungan atau resource
rent menjadi nol.
Titik EAT dikenal sebagai titik keseimbangan bio-ekonomi karena pada keadaan
ini stock ikan dan industri mencapai keseimbangan. Pada keadaan ini telah terjadi
eksploitasi ikan yang mengarah kepada pengurasan ikan-ikan masih muda dan akan
timbul resiko terjadinya eksploitasi dari cadangan ikan tua serta dalam proses peremajaan
juga terjadi pengurasan yang disebut recruitment overfishing.
Mengamati sifat sumberdaya perikanan terutama perikanan laut pada dasarnya
mempunyai sifat spesifik yaitu aksesnya bersifat terbuka, yang memberi anggapan bahwa
setiap orang atau individu merasa memiliki sumberdaya tersebut secara bersama
(common property), oleh karena sifatnya tersebut maka semua individu, baik nelayan
maupun pengusaha perikanan laut akan merasa mempunyai hak untuk mengeksploitasi
sumberdaya tersebut sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Sebaliknya tidak
satupun pihak yang merasa berkewajiban untuk menjaga kelestariannnya. Di satu pihak
masing-masing akan berusaha untuk memaksimumkan hasil tangkapan, di lain pihak
masing-masing tidak mempunyai insentif untuk mempertahankan ataupun meningkatkan
kelestarian sumberdaya yang pada akhirnya tetap merugikan nelayan yang lemah capital
yang kebanyakan penduduk setempat, yang justru juga tidak mendapatkan manfaat dari
kekayaan sumberdaya wilayahnya sendiri. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya
harus memperhatikan keberlanjutan agar dimasa yang akan datang tetap memberi
manfaat yang sama, maka pemanfaatan sumberdaya tidak hanya sekedar terfokuskan
kepada masalah-masalah ekonomi saja, ia menyangkut masalah-masalah lain seperti
teknis, sosial dan budaya.
Tingkat pemanfaatan sumberdaya optimal dapat didekati melalui pendekatan
MSY dan MEY. Pendekatan MSY (maximum sustainable yield) akan memberi hasil
lestari secara fisik, namun demikian didalam pengelolaan sumberdaya perikanan tingkat
tangkapan MEY (maximum economic yield) akan lebih baik karena selain memberi
keuntungan secara ekonomi juga memberi keuntungan secara ekologi yang dapat
mempertahankan diversitas yang lebih besar.
Analisis Fungsi Penangkapan
Dalam memahami model ekonomi perikanan sangat berkait dengan aspek
biologinya, kesetimbangan populasi ikan tergantung dari stok, tingkat pertumbuhan,
mortalitas dan lain-lain. Stok dapat berkurang karena mortalitas alami maupun mortalitas
karena penangkapan, mortalitas karena penangkapan inilah yang disebut dengan yield.
Diantara beberapa usaha yang dilakukan dalam perikanan ialah menentukan penangkapan
yang seimbang tetapi maksimum atau maximum sustainable yield (MSY).
Kesetimbangan stok akan terganggu bila penangkapan melampaui batas stok yang dapat
digunakan, apalagi secara terus menerus. Menurut Schaefer, untuk mengembalikan
populasi menjadi setimbang bisa terjadi bila : (a) recruitment dalam jumlah besar, (b)
kecepatan pertumbuhan yang besar serta (c) mortalitas alami yang sangat kurang. Agar
dapat memberi dugaan yield yang seimbang dan menghitung nilai maksimumnya, maka
variasi dari ketiga hal tersebut di atas harus diperhatikan sehubungan dengan besarnya
populasi. Ada beberapa model yang dapat digunakan untuk menerangkan pengaruh
penangkapan ini yang berkaitan dengan sistem biologi perikanan dalam bentuk
sederhana, antara lain dibangun melalui model pertumbuhan dari Milner Schaefer yang
disusun berdasarkan kondisi perikanan beriklim sejuk. Bentuk kurva pertumbuhan
tersebut didasarkan kepada hipotesa Schaefer tentang pertumbuhan sekelompok ikan
mengikuti kurva logistik. Dalam model logistik dianalisa usaha penangkapan dengan
yield dalam satu periode waktu yang cukup untuk mengembangkan dugaan usaha
penangkapan yang dapat mengukur MSY. Oleh Fox, pendekatan ini dinamakan surplus
yield model, dimana pengaruh-pengaruh dari recruitment, pertumbuhan dan mortalitas
alami dikombinasikan menjadi fungsi yang umum dari besarnya populasi rata-rata
(kecepatan alamiah populasi bertambah). Sehingga dengan model ini data yang
diperlukan hanya data penangkapan dan data usaha tangkap. Keuntungan dari model ini
adalah apabila kita tidak mempunyai pendugaan yang baik terhadap pertumbuhan,
mortalitas dan recruitment atau kalau parameter tersebut diduga tidak konstan.
Andaikata pertumbuhan populasi ikan belum dipengaruhi oleh manusia, dalam
arti belum ada usaha penangkapan, maka stok ikan akan tumbuh menurut fungsi
pertumbuhan logistik sebagai berikut:
N*
Nt = ----------------- ........................................................................... (1).
1 + b e-at

dimana:

Nt = populasi ikan pada waktu t


N* = populasi ikan maksimum
a, b = konstanta
e = bilangan natural
t = waktu/periode
Diasumsikan hanya satu jenis ikan, walaupun kenyataan di perairan tropis
berjenis banyak dengan demikian pertumbuhan harus didekati dengan bio-massa. Bila
rumus pertumbuhan logistik di atas (persamaan 1) diderivasi, maka diperoleh hubungan
pertumbuhan dengan besarnya stok:
dNt ( 1 + b e-at ) d N*/dt - N* d ( 1 + be-at )/dt
-------- = -- --------------------------------------------------------
dt ( 1 + be-at )2

Nt
= a Nt ( 1 - --------- ) ...................................................... ( 2)
N*

a Nt2
= a Nt - ----------- , yang merupakan fungsi parabola.
N*
Dengan demikian nilai maksimum fungsi di atas adalah N*/2.
Bila persamaan (2) di atas dikalikan dengan N-1, maka akan diperoleh reit perubahan
populasi (rate of change) sebesar, persen per tahun:
dNt Nt
-------- = a ( 1 - -------- ) ..…............................................... (3)
dt Nt N*

Dalam kondisi alamiah tidak ada penangkapan F(E) = 0


Selanjutnya bila ada penangkapan maka :
dNt Nt
----------- = a ( 1 - --------- ) - F (E) ........................................ (4)
dt Nt N*
total reit reit pertumbuhan reit perubahan stok karena
perubahan alami usaha penangkapan, dimana:
stok F (E) = k Et ..... ..................... (5)
k = konstanta
Et = unit usaha tangkap pada
waktu t

Pada keadaan steady state yaitu keadaan dimana kondisi pertumbuhan populasi mencapai
maksimum ( ekuilibrium ), maka :
dNt Nt
--------- = 0 , sehingga a (1 - ----- ) - k Et = 0 .......... (6).
dt Nt N*
Jika dihipotesakan hasil tangkapan ikan tergantung pada intensitas tangkapan dan
besarnya ukuran stok ikan, maka persamaan (5) dapat dibentuk fungsi hasil perikanan
laut sebagai berikut:
Qt = k Et Nt .............................................................................. (7)

dimana Qt = volume/jumlah unit stok ikan yang dipanen pada waktu t.


Persamaan (7) di atas pada dasarnya memberikan pemahaman bahwa hasil tangkapan
(Qt)
tergantung pada jumlah usaha penangkapan (Et) dan ukuran stok populasinya (Nt).
Bila persamaan (6) dan persamaan (7) disubstitusikan maka diperoleh:

a ( 1 - Nt / N* ) = k Et

Qt / k Et
a ( 1 - ----------- ) = k Et
N*

Qt
a - a ---------- = k Et
k Et N*

Qt
a -------------- = k Et
k Et N*

( - k Et + a ) ( k Et N* )
Qt = ------------------------------------
a

- k2 Et2 N* + a k Et N*
Qt = -------------------------------------
a
N* k2
Qt = k N* Et - (----------- ) Et2 ....................................................... (8)
a

Dan bila dimisalkan bahwa A = k N* dan B = N* k2/a

Maka persamaan (8) dapat diubah menjadi :


Qt = A Et - B Et2 ............................................................................. (9)
Persamaan (9) diatas pada dasarnya berbentuk parabola, yang menunjukkan hubungan
antara jumlah tangkapan pada waktu t (Qt) dengan usaha tangkap pada waktu t (Et).
Persamaan ini dikenal dengan Fungsi Hasil Lestari (sustainable yield function,MSY) dari
Milner Schaefer yang merupakan model produksi surplus linier. Usaha tangkap
maksimum dapat diperoleh dengan menderivasinya, sehingga:
QMSY (Milner Schaefer) = A ( A/2B) - B (A/2B)2 = A2 / 4B

EMSY (MS) = Qt ’ = 0 → A / 2B

CPUE pada MSY (MS) = QMSY/ EMSY = A/2

Pendekatan model Fox hampir sama dengan fungsi Milner Schaefer, yaitu merupakan
model produksi surplus tetapi non linier (eksponensial), yang mengasumsikan bahwa
populasi tumbuh mengikuti model pertumbuhan Gompertz sebagai berikut:
Qt = A Et e -BEt

dimana A dan B = konstanta, sedangkan e = bilangan natural


Sehingga diperoleh MSY dan usaha tangkap maksimum pada tingkat:
QMSY (Fox) = A (1/B) e -B (1/B) = A/B e -1

EMSY (Fox) = Qt’ = 0 → A Et e-BEt . -B + A e-BEt = 1/B

CPUE pada MSY (Fox) = Q MSY/ EMSY = A e -1

Secara teoritis, upaya untuk menghindari hilangnya economic rent dari


sumberdaya perikanan harus ada upaya pengendalian atau dengan cara mengurangi usaha
penangkapan jika hal tersebut dapat dilaksanakan. Pada tingkat usaha tangkap yang mana
agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara optimal.
Secara ekonomi tingkat tangkapan optimal tersebut terletak pada tingkatan
dimana economic rent nya berada pada tingkat maksimum yaitu pada tingkat usaha
tangkap yang menghasilkan MEY yang merupakan manfaat dari faktor produksi yang
paling langka, dalam hal ini faktor produksi tersebut adalah stok ikan.
Fungsi Penangkapan Schaefer

Qt = AEt - BEt2

Qt / Et = A - BEt atau CPUE


Usaha tangkap (E) pada MSY diperoleh dengan membuat turunan fungsi sustainable

yield yaitu:

dQt / dEt = A - 2 BEt = 0

sehingga 2 BEt = A

Dengan demikian usaha tangkap (E) pada MSY atau EMSY = A /2B

Dan tangkapan (Q) pada MSY adalah:

QMSY = A (A / 2B) - B (B / 2B)2

= A2 / 2B - A2 / 4B

= A2 / 4B

Selanjutnya fungsi penerimaan (pada harga tetap) adalah :

TR = p (AE - BE2)

MR = p ( A - 2BE)

AR = p (A - BE).

Dengan asumsi harga tetap maka:

TC = c E

MC = AC = c

Dengan demikian tingkat optimum dari usaha tangkapan secara ekonomi diperoleh
dengan mempersamakan MR dengan MC yaitu:
p (A - 2 BE MEY) = c, dan

EMEY = (p A - c) / 2Bp = A / 2B - c / (2Bp).

Atau dengan membandingkan pada keadaan optimum biologi (MSY) dengan keadaan
optimum ekonomi (MEY), maka diperoleh bahwa :
EMEY = EMSY - c / (2Bp)
Fungsi Penangkapan Fox

Qt = A Et e -BEt

Usaha tangkap (E) pada MSY diperoleh dengan membuat turunan fungsi sustainable
yield yaitu:
dQt/dEt = 0, sehingga diperoleh hasil sebagai berikut:

E MSY = A e -BEt - A B Et e -BEt = 1/B

Q MSY = A (1/B) e -B (1/B) = A/B e -1

Selanjutnya fungsi penerimaan (pada harga tetap) adalah:

TR = p ( A E e -BE )

MR = p ( A e -BE - AB E e -BE )

AR = p ( A e -BE )

Dengan asumsi harga tetap maka:

TC = c E

MC = AC = c

Dengan demikian tingkat optimum dari usaha tangkapan secara ekonomi diperoleh
dengan mempersamakan MR dengan MC yaitu:
p ( A e -BEMEY - A B EMEY e -BEMEY) = c

EMEY = (p A e -BEMEY - c) / p A B e-BEMEY

EMEY = 1/B - c / ( p A B e-BEMEY)

Dengan membandingkan pada keadaan optimum biologi (MSY) dan optimum ekonomi
maka diperoleh:
EMEY = EMSY - c/ (pAB e-BEMEY)
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, L.G., 1982. The Role of Management in Fisheries in Development, Working


Paper No 18. Center for Resource Policy Studies School of Natural Resources
College Agricultural and Life Sciences University of Wisconsin. Madison.

Gulland, J.A., 1983. Fish Stock Assessment: A Manual of Basic Methods. John Wiley
and Sons. Singapura.

Suparmoko, M., 1994. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Suatu Pendekatan
Teoritis. BPFE. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai