Anda di halaman 1dari 3

bagaimana pengaruh sistem kekeluargaan thd sistem perkawinan dan sistem pewarisan menurut hukum

adat Bali?

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penunjang_dir/e26b0c1611d19967daac7acea1945d39.pdf

https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58876/Davisa%20Aulia.pdf;sequence=1

intro

Sistem kekeluargaan yang berlaku (patrilineal, matrilineal dn pengangkatan anak) di Bali sangatlah
terhubung dengan sistem perkawinan dan sistem pewarisan yang diterapkan dalam Hukum Adat Bali.
Berikut adalah hubungan dari ketiga sistem diatas:

(-)Hubungan Sistem kekeluargaan (patrilineal/purusa) dengan sistem perkawinan (jujur/ biasa) dan
sistem pewarisan.

Masyarakat hukum adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal sehingga anak yang lahir dari
suatu perkawinan adalah mengikuti keluarga bapaknya. Sistem kekeluargaan patrilineal di Bali, sangat
berpengaruh pada bentuk perkawinannya, yakni bentuk perkawinan jujur/biasa. Dalam perkawinan
yang dilakukan maka pihak laki-laki akan menyerahkan pemberian kepada keluarga perempuan (dalam
bahasa Bali disebut dengan pebaang) yakni berupa seperangkat pakaian atau bentuk simbolis lain.
Tujuan pemberian ini adalah sebagai bentuk penukar dalam asas keseimbangan yang dikenal dalam
hukum adat berupa memberian sebagai simbol keluarnya mempelai perempuan dari rumah orang
tuanya (asal) untuk masuk secara penuh ke dalam keluarga mempelai laki-laki sebagai suaminya. Maka
si wanita sesudahnya kawin, keluar meninggalkan rumah asalnya (kawin keluar = kawin tanpa keceburin)
untuk kemudian tinggal pada suaminya dan hubungan perempuan dengan keluarga asalnya akan
dilepaskan secara hukum namun untuk hubungan sosial dan moral dengan keluarganya masih tetap ada.

Dengan perpindahan ini maka anak yang dilahirkan dari perkawinan akan mengikuti garis keturunan
bapaknya. Dalam Sistem pewarisannya di patrilineal, laki-laki lah yang mewarisi semua ditarik dari garis
silsilah bapak (ayah) dan hanya anak laki-laki yang akan menjadi penerus keturunan ayahnya. Karena
pancar laki-lakilah maka yang pertama-tama mewarisi adalah si anak dan sianak akan menuruti kasta
bapaknya dan ia masuk dadia bapaknya.

(-) Hubungan Sistem kekeluargaan (matrilineal/pradana) dengan sistem perkawinan


(nyeburin/nyentana) dan sistem pewarisan.

Ada kalanya dalam suatu keluarga di Bali yang tidak memiliki anak laki-laki padahal anak laki-laki
dibutuhkan sebagai salah satunya dipercaya dpt membukakan jalan ke surga untuk arwah orang
tuanya/leluhurnya. Dalam keadaan yang demikian, orang tua dapat menetapkan salah seorang anak
perempuannya untuk diangkat sebagai sentana rajeg dan menjadikan anak perempuan tsb memiliki
status, hak, kewajiban dan mewarisi sebagai anak laki-laki. Dalam perkawinannya, pihak perempuan
sebagai sentana rajeg ini melakukan lamaran kepada laki-laki yang akan dijadikan suaminya. Laki-laki
tersebut dalam perkawinannya akan keluar dari keluarga orang tuanya (asal) untuk masuk kedalam
keluarga perempuan sebagai istrinya.

ampaknya sistem ini bertentangan dengan azas patriachaat (patrilineal) dalam hukum kekeluargaan di
Bali, tetapi menurut Gde Panetje jika ditinjau lebih mendalam tidaklah demikian karena jika diingat
bahwa si wanita yang kawin nyeburin secara di atas, memperoleh hak-hak dan berstatus sebagai laki-
laki/suami (meawak muani) juga dalam hal pewarisan, sedang hak si suami yang demikian sama dengan
hak dan berstatus sebagai perempuan/isteri (meawak luh). Sehingga anak perempuan yang kawin tanpa
nyeburin (kawin keluar meninggalkan rumah asalnya) harus melepaskan hak atas warisan orang tuanya
untuk keuntungan ahli waris lainnya dan hanya dapat sebagai penerima harta warisan sebagai hadiah
untuk dibawa sebagai harta bawaan ke dalam perkawinannya yang mengikuti pihak suami.

Selanjutnya anak yang lahir dalam perkawinan ini adalah mengikuti keturunan ibunya (matrilineal).
Dalam sistem pewarisan oleh anak dalam arti kandung sendiri adalah anak laki-laki dan perempuan yang
lahir dari perkawinan yang sah, dimana anak laki-laki adalah berstatus sama dengan anak sentana rajeg
sedang anak perempuan adalah anak yang tidak mewaris.

(-) Tambahan: Hubungan Sistem kekeluargaan dengan Sistem pewarisan menurut Adat Bali

Menurut Iman Sudiyat dalam bukunya Hukum Adat Sketsa Asas, hukum adat waris meliputi aturan-
aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan
peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan non-materiil dari generasi ke generasi. Pewarisan
dalam hukum adat Bali adalah dimana matinya atau meninggalnya seseorang (pewaris) bukan
merupakan hal yang utama dalam proses tersebut, oleh karena proses pewarisan harta dapat berjalan
baik ketika pewaris masih hidup ataupun ketika si pewaris telah lama meninggal dunia. Dalam hukum
adat Bali, yang beralih bukan saja harta benda yang berupa materi, akan tetapi juga kewajiban-
kewajiban pewaris, baik kewajiban dalam keluarga, desa, maupun kepada pihak ketiga. Anak perempuan
dan janda adalah bukan termasuk sebagai ahli waris, oleh karena anak perempuan dan janda adalah
bukan penerus keturunan. Terkecuali anak perempuan yang berkedudukan sebagai sentana rajeg adalah
ahli waris oleh karena telah ditetapkan sebagai penerus keturunan.

Ada tiga sistem kewarisan yang dikenal dalam hukum adat, yakni:

(a) sistem kewarisan individual. Dianutnya sistem pewarisan individual ini dapat dilihat dari dapat
dibaginya harta warisan secara individual oleh para ahli waris sesuai dengan bagiannya masing-masing.

(b) sistem pewarisan kolektif. Sistem ini berlaku pada harta benda materiil maupun immateriil yang akan
dinikmati secara bersama oleh para ahli waris, dimana mereka itu hanya mempunyai hak pakai saja
(bukan memiliki). Harta warisan yang dinikmati secara kolektif ini dapat dilihat pada penerusan benda-
benda suci keagamaan, tempat persembahyangan, maupun tanah-tanah yang dinikmati secara bersama
oleh seluruh keluarga dalam rangka kelanjutan keturunan dari pewaris yang bersangkutan.

(c) sistem pewarisan mayorat adalah bahwa harta peninggalan diwarisi secara keseluruhan atau
sebagian besar oleh seorang anak saja. walaupun tidak secara keseluruhan masyarakat hukum adat Bali
menerapkan sistem mayorat ini. Hak mayorat ini diberikan kepada salah seorang ahli waris adalah
disertai dengan tanggung awab yang lebih besar dibandingkan ahli waris yang lainnya. Pada masyarakat
dari keturunan bangsawan, hak mayorat ini ada pada anak tertua. Sedangkan pada masyarakat biasa
hak mayorat biasanya ada pada anak terkecil.
Dikumpul hard copy pakai dobel folio ya (ingat tulis identitas nama dan nim)

http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:JqxuXup5emUJ:jurnal.stahnmpukuturan.ac.id/index.php/pariksa/article/view/636/517+
&cd=7&hl=id&ct=clnk&gl=id
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat
penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam
suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang
lingkup kehidupan manusia.  hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan
akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban
seseorang yang meninggal dunia itu

Anda mungkin juga menyukai