Anda di halaman 1dari 11

PROGRESS REPORT IX Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-

timur

“KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN TANPA PENANGGUNG JAWAB”

Pendahuluan

Sampai dengan saat ini persidangan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur telah
memutuskan 6 berkas perkara.. Pada tahap pertama, terdakwa Abilio Soares (mantan Gubernur
Timor-timur) telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 3 tahun penjara, sedangkan
terdakwa Brigjend (Pol). Drs. Timbul Silaen (mantan Kapolda Timor-timur) dan terdakwa
Herman Sedyono Dkk (untuk kasus penyerangan terhadap gereja Ave Maria Suai) dinyatakan
tidak bersalah terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor-timur. Dan pada tahap
kedua ini yang sudah diputus yaitu untuk terdakwa Eurico Guterres (mantan wakil Panglima
PPI/Komandan Aitarak) yang dinyatakan bersalah dan dipidana 10 tahun penjara, sedangkan
terdakwa Endar priyanto (mantan Dandim 1627 Dili), Asep Kuswani (mantan Dandim 1638
Liquica), Adios Salova (mantan Kapolres Liquica) dan Leonito Martins ( mantan Bupati
Liquica) dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan yang diajukan oleh jaksa
penuntut umum ad hoc.

Dasar Dan Prinsip-Prinsip Hukum Yang Digunakan Hakim Sebagai Dasar Dalam
Menentukan Putusan

Dengan melihat beberapa putusan pengadilan ini, dimana hanya 2 terdakwa yang dinyatakan
bersalah dimana keduanya berasal dari kalangan sipil (Abilio Soares dan Eurico Gutteres),
semakin meneguhkan asumsi bahwa pengadilan ini secara keseluruhan telah gagal untuk
menentukan siapa yang harus bertanggungjawab atas terjadinya pelanggaran HAM berat yang
terjadi di Timor-timur. Tidak adanya terdakwa dari kalangan TNI dan Polri yang dinyatakan
bersalah dan dijatuhi hukuman telah menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai bagaimana
fakta diungkap di persidangan, bagaimana hakim mengambil fakta hukum atas fakta yang
terungkap di persidangan dan apa yang yang digunakan hakim sebagai dasar pengambilan fakta
hukum, juga bagaimana hakim menerapkan fakta hukum yang telah diambil dengan pasal-pasal
yang didakwakan kepada para terdakwa.

Dalam posisi ini, pertimbangan majelis hakim menjadi sangat penting untuk dapat menjelaskan
dan membuat suatu keputusan yang benar sesuai dengan kedudukannya dimana hakim sebagai
organ pengadilan dianggap memahami hukum. Hakim seharusnya tahu tentang hukum, dalam
konteks pengadilan HAM ini, hakim dianggap. mengetahui hukumnya termasuk jika terdapat
kekosongan hukum ataupun perlu adanya penafsiran hukum. Pengadilan HAM ad Hoc yang
memeriksa dan mengadili perkara kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan pengadilan yang
pertama dalam sejarah peradilan Indonesia. Persoalan-persoalan hukum, baik formal maupun
material seringkali muncul di persidangan sehingga menimbulkan hambatan-hambatan bagi
proses persidangan.
Dalam praktek peradilan, sering terdapat kekosongan hukum yang mengakibatkan semakin
jauhnya pelaksanaan hukum dari keadilan. Pada kondisi tersebut peran pengadilan menjadi
semakin penting untuk menafsirkan hukum, tidak cukup hanya melihat undang-undangnya saja.
Selain itu, ketentuan dalam undang-undangpun harus ditinjau dalam hubungannya dengan
praktek peradilan mengenai hal-hal yang bersangkutan

Dalam praktek peradilan, sering terdapat kekosongan hukum yang mengakibatkan semakin
jauhnya pelaksanaan hukum dari keadilan. Pada kondisi tersebut peran pengadilan menjadi
semakin penting untuk menafsirkan hukum, tidak cukup hanya melihat undang-undangnya saja.
Selain itu, ketentuan dalam undang-undangpun harus ditinjau dalam hubungannya dengan
praktek peradilan mengenai hal-hal yang bersangkutan. Inilah yang akan menunjukkan keadaan
hukum yang sebenarnya, sehingga adanya kesenjangan antara hukum positif dengan hukum yang
berkembang dalam masyarakat dapat dihindari atau di perkecil.

Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM adalah Undang-undang banyak
mengadopsi ketentuan, norma dan prinsip-prinsip hukum internasional. Dari pengamatan selama
proses persidangan pengadilan HAM ad hoc, undang-undang tesebut sangat kurang memadai
dalam sebuah peradilan pelanggaran HAM berat dengan standar hukum internasional. Dari
keterbatasan instrumen hukum nasional ini, maka hakim harus mengacu pada yurisprudensi dan
praktek-praktek peradilan internasional yang relevan, sehingga keputusan yang diambil akan
relevan juga dengan semangat dan tujuan dari dibentuknya undang-undang No.26 Tahun 2000.

Analisa terhadap prinsip atau dasar hukum yang digunakan hakim untuk mengkonstruksi putusan
adalah faktor yang penting, karena akan berimplikasi pada penerapan hukum atas fakta-fakta
yang muncul di persidangan. Hal yang menjadi tolok ukur terpenting adalah prinsip dan dasar
hukum yang digunakan hakim dalam sistem pembuktian untuk mengambil fakta hukum dari alat-
alat bukti yang muncul dipersidangan dan dasar-dasar atau prinsip hukum dalam menguraikan
elemen/unsur dalam pasal-pasal yang didakwakan terhadap para terdakwa.

Sistem Pembuktian Dan Perspektif Hakim Terhadap Kesaksian Korban

Metode pembuktian untuk menyimpulkan fakta hukum pada dasarnya terikat pada pasal 183
KUHAP yang mensyaratkan adanya dua alat bukti yang sah dimana dari dua alat bukti tersebut
hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang
harus mempertanggungjawabkannya. Sedangkan alat bukti adalahsesuai dengan pasal pasal 184
(1) KUHAP, yang jika dikaitkan dengan pasal 183 adalah seseorang terdakwa baru dapat dijatuhi
hukuman pidana jika kesalahannya dapat dibuktikan dengan paling sedikit dengan dua jenis alat
bukti diatas.

Metode pembuktian diatas adalah sistem pembuktian yang biasa dilakukan dalam proses
peradilan pidana biasa, sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan luar
biasa yang seharusnya pula memerlukan sebuah metode atau sistem pembuktian yang berbeda
pula. Praktek-praktek dalam peradilan internasional dapat menjadi acuan yang relevan, termasuk
menempatkan kesaksian para korban terhadap saksi-saksi yang bukan korban.

Dalam putusan terhadap terdakwa Eurico Guterres, majelis hakim banyak menjelaskan atau
menggunakan dasar hukum baik hukum nasional maupun yurisprudensi dalam praktek-praktek
peradilan internasional yang mengadili pelanggaran HAM yang berat. Penentuan atas fakta
hukum dari keterangan saksi dan alat bukti yang lain, majelis hakim menggunakan dasar
ketentuan dalam hukum acara pidana khususnya mengenai pembuktian (lihat tabel), sedangkan
dalam praktek hukum intenasional majelis hakim mengemukakan sebuah kasus dalam yurisdiksi
ICTY yang mengesampingkan “asas satu saksi bukanlah saksi”, karena para saksi khawatir akan
adanya pembalasan. Dalam beberapa pertimbangannya majelis hakim mengambil fakta hukum
dari para saksi yang lebih layak dipercaya, yaitu para saksi korban yang mengalami dan melihat
sendiri kejadian dan satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan bersesuaian.5 Penegasan
dari mejelis hakim yang lebih memparcayai keterangan saksi korban ini berimplikasi dengan
adanya pengambilan fakta hukum dimana terdapat keterlibatan dalam terdakwa perkara tersebut
dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam hal pembiaran terjadinya penyerangan.

Terhadap kasus untuk terdakwa Endar Priyanto, majelis hakim tidak menyatakan secara rinci
pertimbangan dan dasar hukum untuk menyimpulkan suatu fakta hukum. Majelis hakim dalam
kasus ini menggunakan keterangan saksi korban tetapi tidak secara tegas diambil sebagai fakta
hukum dengan masih menjelaskan tentang keterangan saksi yang lainnya.7 Majelis hakim tidak
berani menyimpulkan adanya keterlibatan oknum TNI dalam penyerangan di rumah manuel
carascalau secara tegas.

Terhadap kasus Asep Kuswani, dkk. Majelis hakim dalam mengambil fakta-fakta hukum tidak
berhasil membuktikan adanya keterlibatan anggota TNI dan polisi dalam penyerangan tempat
kediaman pastor Rafael/komplek gereja Liquica. Adanya kesaksian korban yang secara tegas
menyatakan keterlibatan anggota TNI dan polri yang ikut menyerang dan tidak mencegah
penyerangan tersebut tidak dijadikan oleh hukum sebagai fakta hukum.8 Tidak digunakannya
kesaksian ini sebagai fakta hukum karena saksi-saksi yang lain membantah.

Melihat perbandingan ketiga kasus diatas, sistem pembuktian terhadap ketiga kasus ini semuanya
menggunakan sistem pembuktian sesuai dengan KUHAP namun antara majelis hakim
mempunyai pandangan yang berbeda terhadap keterangan saksi korban. Secara teorits sebetulnya
ada peluang untuk menggunakan kesaksian korban, yang biasanya berdiri sendiri karena
jumlanya sedikit, jika hakim dapat menghubungkan keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri
tersebut satu sama lain.

Dasar-Dasar Dan Prinsip Hukum Dalam Menguraikan Elemen / Pasal-Pasal Yang


Didakwakan

Dalam berkas perkara diatas yang telah diputus, dapat dilihat adanya perbedaaan yang sangat
mendasar mengenai pembahasan unsur-unsur dalam pasal yang didakwakan. Perbedaan tersebut
adalah mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjabarkan unsur pasal yang didakwakan
dengan menggunakan yurisprudensi atau norma-norma internasional yang relevan dengan kasus
yang didakwakan.

Kasus Eurico Guterres, majelis hakim memberikan rumusan yang sangat jelas tentang penerapan
unsur-unsur dalam setiap elemen yang didakwakan. Majelis hakim secara tegas mengacu pada
praktek pengadilan Nuremberg dan Tokyo, ICTY dan ICTR dalam hal mengenai tanggung jawab
individu. Elemen lainnya yaitu mengenai tanggung jawab atasan majelis hakim juga
mengunakan ketentuan-ketentuan internasional (lihat tabel). Pertimbangan-pertimbangan dalam
pembahasan tiap elemen yang didakwakan selalu dijelaskan dengan praktek-praktek pengadilan
HAM internasional, doktrin hukum yang berkembang, prinsip-prinsip dan ketentuan ketentuan
hukum internasional. Hakim secara tegas menyatakan adanya relevansi prinsip-prinsip hukum
intenasional dalam kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Kasus Endar Prianto, tidak
banyak kasus-kasus peradilan HAM internasional, doktrin maupun prinsip hukum internasional
yang digunakan dalam pertimbangan untuk penjabaran elemen pasal yang didakwakan untuk
terdakwa. Majelis hakim hanya menggunakan acuan untuk menjelaskan tanggung jawab
komando dengan perbandingan dengan kasus Akayesu dalam ICTR.

Kasus Asep Kuswani dkk, majelis hakim dalam membahas elemen pasal yang didakwakan tidak
mencantumkan sama sekali tentang perbandingan dan ketentuanketentuan hukum internasional.
Konstruksi putusan yang dibangun adalah menggunakan logika hukum pidana biasa tanpa
menjelaskan sumber atau referensi dalam praktek internasional yang cukup memadai untuk
menafsirkan dan membahas elemen pasal demi pasal.

Atas keputusan tiga kasus mesing-masing untuk terdakwa Eurico guterres, Endar Prianto dan
Asep Kuswani dkk, sudah bisa menilai tentang kualitas dari masing-masing putusan tersebut. Hal
yang lebih penting adalah adanya kesadaran dari majelis hakim bahwa intrumen hukum nasional
untuk pengadilan HAM Ad hoc ini kurang memadai sehingga memerlukan penafsiran hukum
karena apabila hukum tidak jelas hakim wajib menafsirkan undang-undang. Dari ketiga kasus
tersebut ternyata terdapat adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan dalam dalam undang-
undang 26 Tahun 2000.

Peristiwa Pelanggaran Ham Berat “Crime Against Humanity” Dalam Putusan Majelis
Hakim

Ketiga putusan terhadap tiga berkas yaitu : Terdakwa Eurico Guterres, Endar Priyanto dan Asep
Kuswani dkk yang mengadili atas kedua kasus pelanggaran HAM Berat yakni penyerangan
kediaman Manuel Viegas Carascalao dan penyerangan kekediaman pastor Rafael menyatakan
bahwa peristiwa tersebut terbukti merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat yang didasarkan
Pasal 9 huruf a dan 9 huruf h UU No 26 tahun 2000 yakni kejahatan terhadap kemanusian dalam
bentuk serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya serangan tersebut ditujukan
kepada penduduk sipil dengan cara pembunuh dan penganiayaan. (lihat tabel).
Peristiwa pelanggaran HAM berat dalam Putusan

KASUS DALAM DAKWAAN JPU PUTUSAN HAKIM


EURICO GUTERRES Perbuatan Crimes against Telah terbukti
Humanity berdasarkan pasal
9a (pembunuhan) dan pasal 9h
untuk penganiayaan UU No
26 tahun 2000
ENDAR PRIYANTO Perbuatan Crimes against Telah terbukti
Humanity berdasarkan pasal
9a (pembunuhan) dan pasal 9h
untuk penganiayaan UU No
26 tahun 2000
ASEP KUSWANI Perbuatan Crimes against Telah terbukti
Humanity berdasarkan pasal
9a (pembunuhan) dan pasal 9h
untuk penganiayaan UU No
26 tahun 2000

Majelis hakim dalam Putusan kasus Eurico Gueteres menyatakan: “ ….bahwa dalam kasus ini
berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan hampir seluruh wilayah TimTim yang terdiri
atas 13 kabupaten terjadi kekerasan, pembunuhan, penganiayaan terhadap masyarakat,
pembumihangusan dengan pola yang sama.”…..…”bahwa kekerasan, pembunuhan,
penganiayaan yang dilakukan oleh pasukan kelompok Pro integrasi adalah bagian dari
perencanaan dan strategi untuk memenangkan kelompok pro integrasi dalam jajak pendapat
dimana hal tersebut sejalan dengan kebjikan pemerintah, yaitu tetap mempertahankan Tim-Tim
sebagai bagian dari negara kesatuan RI.”…..”berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas
maka unsur ini menurut penilaian Majelis hakim telah terpenuhi karenanya terbukti menurut
hukum.

Majelis hakim dalam Putusan kasus Endar priyanto menyatakan: …..”bahwa dengan
berpedoman pada pengertian-pengertian tersebut dengan fakta-fakta hukum yang terungkap
dari keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa maupun upaya bukti lainnya, maka majelis
berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa tanggal 17 April 1999 adalah termasuk pelanggaran
HAM berat dengan alasan sebagai berikut, pertama, serangan tersebut telah menimbulkan
korban, baik korban yang meninggal dunia maupun korban luka-luka yang merupakan
penduduk sipil, kedua, bahwa peristiwa tersebut dilakukan secara sistematik, tampak dari
terorganisirnya kelompok penyerang dan kelompok pro integrasi/otonomi menggunakan senjata
api rakitan, parang, panah yang secara sadar melakukan pembunuhan dan penganiayaan
dengan akibat kematian, luka-luka yang mereka kehendaki terhadap korban. Adanya tenggang
waktu yang cukup bagi kelompok tersebut untuk berkumpul hingga jumlahnya ratusan. Ketiga,
bahwa kelompok tersebut teroroganisir terbukti dari adanya pimpinan kelompok pro
integrasi/otonomi.”
Majelis Hakim dalam Putusan kasus Asep Kuswani menyatakan: ……”berdasarkan
pembahasan diatas menurut pendapat pengadilan……….semua unsur pasal 9a telah
terpenuhi..bahwa dakwaan JPU yang menyebutkan telah terjadi pelanggaran HAM yang berat
berupa pembunuhan telah terpenuhi.”……”oleh karena semua unsur mengenai penganiayaan
telah terpenuhi maka unsur penganiayaan terhadap persamaan paham, etnis, ras, agama jenis
kelamin atau alasan-alasan lainnya telah terpenuhi.

Berdasarkan pendapat majelis hakim di atas terlihat bahwa sampai pada tahap untuk menentukan
telah adanya perbuatan pelanggaran HAM berat yang dimaksud oleh Pasal 9 a dan 9 h UU No 26
Tahun 2000, dan pertimbangan majelis hakim untuk tiga berkas ini sesuai dengan apa yang
didakwakan oleh JPU.

Pelaku Crime Against Humanity Dalam Putusan Majelis Hakim

Di atas telah dijelaskan bahwa untuk tahap menetukan telah terjadinya pelanggaran HAM Berat
berdasarkan Pasal 9a dan 9h UU No 26 tahun 2000 Majelis hakim telah berhasil menetapkan
bahwa peristiwa tersebut merupakan pelanggaran HAM Berat. Namun pada tahap untuk
menentukan siapakah pelaku crime againts humanity tersebut masing-masing Majelis hakim dari
ketiga berkas menunjukkan perbedaan yang mencolok. (lihat tabel).

KASUS DALAM DAKWAAN JPU PUTUSAN HAKIM


EURICO GUTERRES Pelaku adalah pasukan atau Pelaku adalah kelompok milisi
kelompok aitarak dan pasukan aitarak dan besi merah putih.
pejuang intergrasi, bersama Dan anggota TNIdari Maubara
pasukan TNI. yang melakukan penyerangan
setelah apel akbar dihalaman
kantor gubernur Tim-Tim dan
dilakukan pembiaran oleh
aparat keamanan dan
ENDAR PRIYANTO Pelaku adalah kelompok Pelaku adalah kelompok pro
Milisi dan anggota TNI dari Integrasi Besi merah putih,
Dilli dan Liquisa sedangkan pelaku anggota
TNI dari Koramil Maubara
dibantah oleh beberapa saksi
lainnya
ASEP KUSWANI dkk Pelaku adalah kelompok Besi Pelaku adalah kelompok besi
Merah Putih, anggota TNI dan Merah Putih.
anggota Kepolisian RI

Majelis hakim dalam putusan kasus Eurico Guteres menyatakan :……..”bahwa majelis hakim
berkeyakinan dari adanya fakta sebagaimana diuraikan diatas, kelompok massa peserta yang
menyerang para pengungsi adalah sebagian dari anggota Aitarak dan Besi merah putih yang
bangkit emosinya setekah mendengar pidato terdakwa, dan melaksanakan niatnya untuk
membunuh kelompok anti inetgrasi dengan menyerang para pengungsi tersebut.”
Majelis hakim dalam putusan kasus Endar Priyanto menyatakan :……..” bahwa berdasarkan
fakta hukum yang terungkap dipersidangan, nyata dan terbukti bahwa para pelaku penyerangan
yang tergabung dalam kelompok pro integrasi (besi merah putih) dengan menggunakan senjata
api rakitan, parang dan panah terhadap para korban yang berada pada rumah Manuel Viegas
Carascalao pada tanggal 17 April 1999.”…..”bahwa kalaupun JPU dalam dakwaannya
menyebutkan adanya anggota TNI ….dan dari fakta yang terungkap dipersidangan, memang
ada anggota TNI dari Koramil Maubara yang tidak termasuk wilayah kekuasaan Dandim 1627
Dilli, namun dibantah oleh beberapa saksi lainnya.”

Majelis hakim dalam putusan kasus Asep Kuswani menyatakan :……..”Menimbang bahwa
berdasarkan pembahasan diatas, menurut pengadilan peristiwa yang terjadi pada tanggal 6
april 1999 di rumah kediaman pastor Rafael, didalam kompleks gereja Liquisa adalah suatu
penyerangan di satu pihak oleh kelompok BMP terhadap pihak lain yaitu para pengungsi pro
kemerdekaan yang sedang ketakutan mencari tempat perlindungan yang
aman.”………..”berdasarkan hal-hal di atas maka pelaku pelanggaran tersebut adalah
kelompok Besi merah putih.”

Dari ketiga berkas tersebut, hanya dalam kasus Eurico Guterres majelis hakim memutuskan
bahwa pelaku penyerangan adalah anggota TNI sesuai dengan apa yang ada dalam dakwakan
JPU, sedangkan untuk kasus Endar Priyanto dan asep Kuswani Majelis hakim berpendapat tidak
ada bukti yang menunjukkan anggota TNI yang terlibat. Dalam kasus Eurico Guterres Majelis
hakim tidak hanya menyatakan bahwa telah terjadi penyerangan oleh anggota TNI tetapi juga
pembiaran oleh aparat terkait.

Dalam hal ini Majelis hakim yang mengaili Eurico menyatakan : …..”bahwa dari keterangan-
keterangan para saksi yang layak dipercaya kebenarannya, karena satu dengan yang lainnya
saling berhubungan dan bersesuaian kembali majelis hakim mendapat fakta hukum yang
diyakini kebenarannya, yaitu para Milisi yang menyerang rumah Manuel Carrascalao pada
tanggal 17 April 1999, adalah kelompok Milisi pro integrasi yang berasal dari kelompok
Aitarak Dilli dan kelompok Besi Merah Putih serta beberapa oknum TNI yang berasal dari
Maubara yang namanya telah disebutkan oleh para saksi-saksi…….”

….” Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta diatas, maka telah terjadi pembiaran yang
dilakukan oleh terdakwa terhadap bawahannya dala penyerangan terhadap manuel
Carrascalao. Pembiaran mana ternyata tidak saja dilakukan oleh terdakwa tetapi juga oleh
aparat militer, Danrem Tono Suratman, pejabat sipil yang berwenang termasuk gubernur dan
Walikota Dilli, beserta aparat keamanan lain yang juga seharusnya bertanggung jawab.

Pertanggungjawaban Komando “Crimes Against Humanity” Dalam Putusan Majelis


Hakim
Implikasi dari putusan hakim terhadap siapakah pelaku dalam crimes against humanity di atas
kemudian berdampak pula terhadap siapa yang harus bertanggung jawab terhadap kejahatan
yang di dakwakan oleh JPU. (lihat tabel).

KASUS DALAM DAKWAAN JPU PUTUSAN HAKIM


EURICO GUTERRES Yang bertanggung jawab Terdakwa bertanggung jawab
secara pidana adalah terdakwa atas perbuatan bawahanya Di
berdasarkan tanggungjawab samping hakim menyatakan
komandan sipil bahwa Tono Suratman,
Gubernur Tim-Tim, walikota
Dilli, dan aparat TNI lainnya
telah melaklukan pembiaran.
ENDAR PRIYANTO Yang bertanggungjawab Terdakwa tidak dapat
adalah terdakwa dalam posisi dipertanggungjawabkan
tanggungjawab komandan karena tidak terbukti ada anak
militer buah dalam jalur komando
yang melakukan penyerangan
ASEP KUSWANI dkk Asep Kuswani : bertanggung Terdakwa Asep Kuswani tidak
jawab berdasarkan posisinya dapat dipertanggungjawabkan
sebagai komandan militer dan secara pidana karena tidak
sipil. terbukti ada anak buahnya
yang melakukan penyerangan.
Leonito martins : bertanggung Leonito Martin tidak dapat
jawab berdasarkan posisinya dipertanggungjawabkan
sebagai komandan Militer dan karena tidak terbukti adanya
Sipil . hubungan antara pelaku
dengan terdakwa.
Adios salova : bertanggung
jawab berdasarkan posisinya Adios salova tidak dapat
sebagai komandan militer dan dipertanggungjawabkan
Polisi. karena tidak terbukti adanya
hubungan anatara pelaku
dengan terdakwa
Majelis Hakim dalam Putusan kasus Eurico Guterres menyatakan : ……..”Menimbang bahwa
oleh karena telah ada kesalahan dari terdakwa yaitu anggota kelompok Aitarak dan BMP yang
menyerang rumah Manuel Carrascalao yang diakibatkan terdakwa tidak melakukan
pengendalian bawahannya secara patut dan benar, terhadap bawahannya itu, sedangkan
terdakwa mempunyai kemampuan selaku wakil panglima dan komandan aitarak untuk
mencegah perbuatan bawahannya itu, maka adanya kesalahan dari anak buah terdakwa dapat
dimintakan pertanggungjawabannya selaku atasan atau pimpinan PPI.”………..”Menimbang
bahwa berdasarkan fakta-fakta diatas, maka telah terjadi pembiaran yang dilakukan oleh
terdakwa terhadap bawahannya dala penyerangan terhadap manuel Carrascalao. Pembiaran
mana ternyata tidak saja dilakukan oleh terdakwa tetapi juga oleh aparat militer, Danrem Tono
Suratman, pejabat sipil yang berwenang termasuk gubernur dan Walikota Dilli, beserta aparat
keamanan lain yang juga seharusnya bertanggung jawab.”

Majelis Hakim dalam putusan Kasus Endar prianto menyatakan : ……”bahwa dari fakta hukum
yang terungkap dipersidangan ternyata bahwa terdakwa mengetahui adanya pelanggaran HAM
yang berat yang terjadi di kediaman Manuel Viegas Carascalao pada tanggal 17 April 1999
dari laporan saksi Salmon Manafe, akan tetapi ternyata bahwa dalam peristiwa tersebut tidak
terbukti adanya keterlibatan anggota TNI dari Kodim 1627 Dilli”…..”bahwa walaupun di atas
dikatakan bahwa terdakwa telah mengetahui dan telah menerima informasi, tetapi karena
sebagaimana diuraikan diatas ternyata bahwa bawahan terdakwa tidak ada yang terbukti
melakukan pelanggaran HAM yang 10 berat dan lagi pula terdakwa tidak mengabaikan
informasi……..bahwa dengan tidak terbuktinya pelanggaran HAM Berat yang dilakukan oleh
bawahan terdakwa, dihubungkan dengan prinsip tanggungjawab komando, maka majelis
berkesimpulan bahwa terdakwa tidaklah layak dibebani pertanggungjawaban pidana HAM
yang berat yang tidak terbukti dilakukan oleh bawahannya.

Majelis hakim dalam putusan Kasus untuk terdakwa Asep Kuswani menyatakan : ……”
terdakwa I Asep Kuswani tidak mempunyai hubungan hierarkhi garis komando dan
pengendalian yang efektif dengan kelompok BMP yang tergabung dengan kelompok pro
integrasi dan sebaliknya BMP bukan merupakan pasukan yang berada dibawah kekuasaan dan
pengendalian yang efektif dari terdakwa asep Kuswani,…bahwa terdakwa asep kuwani tidak
dapat dipertanggungjawabkan atas terjadinya pelanggaran HAM berat tersebut.

Majelis hakim dalam putusan untuk terdakwa Adios Salova menyatakan :…” antara terdakwa
Adios Salova tidak terdapat dan tidak mempunyai hubungan komando dan tidak mempunyai
pengendalian yang efektif pada kelompok BMP dan sebaliknya kelompok BMP tidak berada
dibawah komando dan pengendalian yang efektif atau dibawah kekuasaan dan pengendalian
yang efektif dari terdakwa”.

Majelis hakim dalam putusan untuk terdakwa Leonito Martins menyatakan :…” tidak terdapat
dan tidak mempunyai hubungan…atasan dan bawahan dalam kekuasaan pengendalian yang
tertib terhadap kelompok BMP dan sebaliknya kelompok BMP adalah bukan merupakan
pasukan yang berada dibawah kekuasaan dan pengendalian yang efektif dari terdakwa”.

Dari ketiga Berkas perkara tersebut, juga hanya dari Majelis hakim untuk terdakwa kasus Eurico
Guterres yang berhasil menunjukkan adanya tanggung jawab komando terhadap perbuatan
bawahannya. Sedangkan majelis Hakim untuk terdakwa Endar priyanto dan Asep Kuswani dkk
gagal untuk menunjukkan adanya pertanggungjawaban komando. Argumentasi hakim adalah
“tidak ada bukti yang menunjukkan adanya hubungan bawahan antara pelaku dengan terdakwa,
sehingga terdakwa terlepas dari tanggungjwab komando”

Hak Kompensasi Bagi Korban Dalam Putusan Majelis


Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi bagi para korban pelanggaran HAM berat di
Tim-Tim seharusnya diumumkan dalam amar putusan hakim, hal ini sesuai dengan PP No 3
Tahun 1999 mengenai Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi bagi korban pengadilan HAM di
Tim-Tim. Namun dalam Kenyataannya Majelis Hakim yang mengadili ketiga berkas ini, tidak
ada satupun yang mencantumkan mengenai hak-hak para korban tersebut. Padahal dalam
pembahasan mengenai peristiwa pelanggaran HAM berat, seluruh majelis hakim telah
memutuskan bahwa telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat. (lihat Tabel).

Hak korban dalam Putusan

KASUS PUTUSAN MAJELIS HAKIM

EURICO GUTERRES Tidak ada dalam amar putusan hakim

ENDAR PRIYANTO Tidak ada dalam amar putusan hakim

ASEP KUSWANI dkk Tidak ada dalam amar putusan hakim

Tidak dicantumkannya Pemberian hak korban atas kompensasi ini sangat mengherankan karena
majelis hakim telah sepakat mengenai adanya peristiwa pelanggaran HAM berat yang
menimbulkan korban. (lihat tabel)

KASUS DALAM DAKWAAN JPU PUTUSAN HAKIM


EURICO GUTERRES 12 meninggal dunia 11 meninggal
3 luka-luka 3 luka-luka
ENDAR PRIYANTO 12 meninggal dunia Ada yang meninggal dan luka-
3 luka-luka luka tapi tidak ditetapkan
berepa jumlahnya
ASEP KUSWANI dkk 22 meninggal dunia 5 meninggal
21 luka-laku 20 luka-luka

Oleh karena itu dengan tidak dicantumkannya hak korban ini dalam amar putusan majelis hakim,
telah menyimpangi dan mematikan hak-hak korban atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
yang seharusnya diterima oleh korban. Menyimpangi PP No 3 Mengenai Kompensasi restitusi
dan rehabilitasi bagi korban, dan menyimpangi prinsip-prinsip Internasional mengenai hak ini
yang tercantum dalam Boven Principle.
Kesimpulan

Putusan Majelis Hakim terhadap tiga berkas ini (kecuali untuk kasus Eurico Gutteres) secara
umum masih menunjukkan bahwa pengadilan HAM ad hoc telah gagal untuk menentukan siapa
yang harus bertanggungjawab atas terjadinya pelanggaran HAM berat di Timor-timur.
Putusan Pengadilan terhadap tiga berkas ini juga menunjukkan pola yang sama dengan putusan
tiga berkas sebelumnya, yaitu adanya indikasi untuk mengorbankan sipil sebagai orang yang
bertanggungjawab atas peristiwa kejahatan kemanusiaan di Timor-timur dan adanya upaya untuk
menyelamatkan orang-orang dari kalangan militer. Pengadilan ini telah gagal untuk memahami
dan mengkaitkan pengertian command responsibility dengan peristiwa yang terjadi dimana
komandan/atasan itu bertanggungjawab atas peristiwa yang terjadi di wilayah Timor-timur,
sehingga pengadilan HAM ad hoc ini tidak akan memberikan preceden yang baik terhadap
proses pengadilan HAM ke depan. Putusan Pengadilan HAM ad hoc ini merupakan ancaman
yang serius bagi penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia dan juga semakin
mengindikasikan bahwa sistem hukum yang dibangun selama ini telah gagal untuk memerangi
dan melawan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan ini juga telah gagal untuk
memberikan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat di Timor-timur dengan tidak
diperhatikannya hak-hak reparasi bagi para korban, yaitu hak kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi dalam putusan pengadilan ini. Kegagalan-kegagalan tersebut juga tidak lepas dari
kegagalan jaksa penuntut umum untuk menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif dalam
membuktikan dakwaannya dan juga menunjukkan ketidakseriusan jaksa penuntut umum dalam
dalam menjalankan tugasnya.

Anda mungkin juga menyukai