Oleh :
Kelompok 2
Dosen Pengampu :
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah tentang “ Kesadaran Religius dan Kajian Ilmiah
dalam Sejarah Islam ”. Sholawat beriring salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada junjungan besar kita nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada
kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi
anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Islam dan Ilmu pengetahua. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR
PUSTAKA ..................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai sebuah tradisi religius yang utuh, yang mencakup semua aspek
kehidupan manusia, Islam tidak hanya membahas apa yang wajib dan yang dilarang
untuk dilakukan manusia, tetapi juga membahas apa yang perlu diketahuinya. Dengan
kata lain, Islam adalah sebuah cara berbuat dan melakukan sesuatu sekaligus sebuah
cara untuk mengetahui. Dari kedua jalan itu, aspek mengetahui adalah yang lebih
penting. Hal ini karena secara esensial Islam adalah agama pengetahuan. Islam
memandang pengetahuan sebagai cara yang utama bagi penyelamatan jiwa dan
pencapaian kebahagiaan serta kesejahteraan manusia dalam kehidupan kini dan nanti.
Bagian pertama dari kesaksian iman Islam, la ilaaha illallah, Tiada tuhan selain
Allah, adalah sebuah pernyataan pengetahuan tentang realitas. Orang Islam
memandang berbagai sains, ilmu alam, ilmu sosial, dan yang lainnya sebagai beragam
bukti yang menunjuk pada kebenaran bagi pernyataan yang paling fundamental dalam
Islam ini. Kalimat ini adalah pernyataan yang secara populer dikenal dalam Islam
sebagai prinsip tauhid atau keesaan Tuhan.
Kesadaran beragama orang Islam pada dasarnya adalah kesadaran akan keesaan
Tuhan. Semangat ilmiah tidak bertentangan dengan kesadaran religius, karena ia
merupakan bagian yang terpadu dengan keesaan Tuhan itu. Memiliki kesadaran akan
keesaan Tuhan berarti meneguhkan kebenaran bahwa Tuhan adalah Satu dalam
Esensi-Nya, dalam nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, dan dalam perbuatan-Nya. Satu
konsekuensi penting dari pengukuhan kebenaran ini adalah bahwa orang harus
menerima realitas objektif kesatuan alam semesta. Sebagai sebuah sumber
pengetahuan, agama bersifat empatik ketika mengatakan bahwa segala sesuatu di
alam semesta ini saling berkaitan dalam jaringan kesatuan alam melalui hukum-
hukum yang mengatur.
Semangat ilmiah para ilmuwan dan sarjana
1 Muslim pada kenyataannya mengalir
dari kesadaran mereka akan tauhid. Tak diragukan bahwa, secara religius dan historis,
asal-usul dan perkembangan semangat ilmiah dalam Islam berbeda dari asal-usul dan
perkembangan hal yang sama di Barat. Tak ada yang lebih baik dalam
mengilustrasikan sumber religius semangat ilmiah dalam Islam ini daripada fakta
bahwa semangat ini pertama kali terlihat dalam ilmu-ilmu agama.
Orang Islam mulai menaruh perhatian pada ilmu-ilmu alam secara serius pada abad
ke-3 H/9 M. Tetapi pada saat itu mereka telah memiliki sikap ilmiah dan kerangka
berpikir ilmiah, yang mereka warisi dari ilmu-ilmu agama. Semangat untuk mencari
kebenaran dan objektivitas, penghormatan pada bukti empiris yang memiliki dasar
yang kuat, dan pikiran yang terampil dalam pengklassifikasian merupakan sebagian
ciri yang amat luar biasa dari para ilmuwan Muslim awal sebagaimana yang dapat
dilihat dengan jelas dalam kajian-kajian mereka tentang jurisprudensi (fiqh) dan hadis
Nabi saw.
1.2 Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
Ilmu (atau ilmu pengetahuan) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan
dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang
pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan
kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Kata ilmu dalam bahasa Arab "ilm" yang berarti memahami, mengerti, atau
mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti
memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-
masalah sosial, dan lain sebagainya.
Sejarah ilmu pada dasarnya merupakan sejarah pikiran umat manusia terlepas
dari asal usul kebangsaan maupun asal mula negara, dan pembagian lintasan sejarah
ilmu yang paling tepat adalah menurut urutan waktu dan bukan berdasarkan
pembagian negara, lintasan sejarah ilmu terbaik mengikuti pembagian kurun waktu
3
dari satu zaman yang terdahulu ke zaman berikutnya, zaman tertua dari pertumbuhan
ilmu adalah zaman kuno yang merentang antra tahun kurang lebih 4000 SM-400M.
Zaman kuno ini dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
1. ± 4000- 6000 SM : Masa Mesir dan Babilon
2. 600-30 SM : Masa Yunani Kuno
3. 30 SM-400 M : Masa Romawi
Di mesir mulai tumbuh berbagai gagasan ilmiah dari pengetahuan arsitektur, ilmu
gaya, ilmu hitung, ilmu ukur. Semua ilmu ini penting untuk keperluan membangun
berbagai kuil, istana, dan piramid. Ilmu bedah dan ilmu kedokteran juga mulai
dikembangkan di Mesir, di Babilonia dikembangkan berbagai gagasan ilmiah dari
ilmu bintang dan ilmu pasti. Suatu hal lain yang perlu diketahui bahwa masih melekat
pada pertumbuan ilmu pada masa yang pertama ini adalah adanya penjelasan
penjelasan yang persifat gaib. Pada masa berikutnya di Yunani Kuno antara tahun
600-30 S.M mengenal siapa para pengembang ilmu serta tempat dan tahun
kelahirannya.
Ada dua jenis ilmu yang dipelajari yang pada waktu itu mendekati
kematangannya, pertama, ilmu kedokteran, praktek yang setidaknya mencoba
menerapkan metode yang berdisiplin dalam pengamatan dan penarikan kesimpulan,
dan kedua, geometri, yang sedang mengumpulkan setumpukan hasil di seputar
hubungan-hubungan antara ilmu hitung yang disusun secara khusus dan sedang
mendekati masalah-masalah struktur logis serta masalah-masalah definisi. Imuwan-
ilmuwan yang terkemuka pada waktu itu di antaranya adalahThales (±525-654 s.M.)
merupakan ilmuwan yang pertama di dunia karena ia memplopori tumbuhnya Ilmu
Bintang, Ilmu Cuaca, Ilmu Pelayaran, dan Ilmu Ukur dengan berbagai ciptaaan dan
penemuan penting. Ilmuwan Yunani Kuno kedua adalah Pythagoras (578?-510 s.M.)
merupakan ahli Ilmu Pasti. Ilmuwan Yunani Kuno yang ketiga adalah Democritus
(±470-±400 s.M.), gagasan ilmiahnya yang terkenal ialah tentang atom.
Perkembangan ilmu pada Masa berikutnya adalah Masa Romawi yang merupakan
masa terakhir dari pertumbahan ilmu pada Zaman Kuno dan merupakan masa yang
paling sedikit memberikan sumbangsih pada seajarah ilmu dalam Zaman Kuno.
Namun bangsa Romawi memiliki kemahiran dalam kemampuan keinsinyuran dan
4
keterampilan ketatalaksanaan serta mengatuur hukum dan pemerintahan. Bangsa ini
tidak menekankan soal-soal praktis dan mengabaikan teori ilmiah, sehingga pada
masa ini tidak muncul ilmuwan yang terkemuka. Perkembangan berikutnya pada
zaman pertengahan, ribuan naskah pengetahuan dari Zaman Yunani Kuno yang
terselamatkan dan diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh cendekiawan Muslim dan
sebagian ditambahi catatan ulasan, abad VII dan VIII Kaum Muslim meguasai
wilayah-wilayah Asia Kecil sampai Mesir dan Spanyol. Kota-kota yang merupakan
pusat-pusat kebudayaannya ialah Bagdad, Damaskus, Kairo, Kordoba, dan Toledo.
Ilmuwan-ilmuwan Muslim yang terkenal seperti Al-Razi (865-925) dan Ibnu Sina
(980-1037) adalah ahli ilmu Kedokteran, Jabir ibn Hayyan (±721-±815) dalam
Pengetahuan Kimia dan obat-obatan, serta dalam Ilmu Penglihatan oleh Ibn al-
Haytham (965-1038).
1. Objektif, yaitu ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu
golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun
bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena
masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah
kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, dan karenanya disebut
kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek
penunjang penelitian.
2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi
kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran.
Konsekuensi dari upaya ini adalah harus terdapat cara tertentu untuk
menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari kata Yunani “Metodos”
yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang
digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3. Sistematis yaitu dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan
suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur
dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh,
menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat
menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam
rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
4. Universal yaitu kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal
yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut
180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan
ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya
berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia.
Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus
tersedia konteks dan tertentu pula.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal adalah daya pikir untuk
memahami sesuatu atau kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungannya.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan akal adalah gabungan dari dua
pengertian di atas, yang disampaikan oleh ibn Taimiyah dan menurut kamus, yakni
daya pikir untuk memahami sesuatu, yang di dalamnya terdapat kemungkinan bahwa
pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah atau bisa benar.
Akal secara bahasa dari mashdar Ya’qilu, ‘Aqala, ‘Aqlaa, jika dia menahan
dan memegang erat apa yang dia ketahui. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
‘Kata akal, menahan, mengekang, menjaga dan semacamnya adalah lawan dari kata
melepas, membiarkan, menelantarkan, dan semacamnya. Keduanya nampak pada
jisim yang nampak untuk jisim yang nampak, dan terdapat pada hati untuk ilmu batin,
maka akal adalah menahan dan memegang erat ilmu, yang mengharuskan untuk
mengikutinya. Karena inilah maka lafadz akal dimuthlakkan pada berakal dengan
ilmu.
8
Al Imam Abul Qosim Al Ashbahany berkata, ”akal ada dua macam yaitu :
thabi’i dan diusahakan. Yang thabi’i adalah yang datang bersamaan dengan yang
kelahiran, seperti kemampuan untuk menyusu, makan, tertawa bila senang, dan
menangis bila tidak senang. Kemudian seorang anak akan mendapat tambahan akal di
fase kehidupannya hingga usia 40 tahun. Saat itulah sempurna akalnya, kemudian
sesudah itu berkurang akalnya sampai ada yang menjadi pikun. Tambahan ini adalah
akal yang diusahakan. Adapun ilmu maka setiap hari juga bertambah, batas akhir
menuntut ilmu adalah batas akhir umur manusia, maka seorang manusia akan selalu
butuh kepada tambahan ilmu selama masih bernyawa, dan kadang dia tidak butuh
tambahan akal jika sudah sampai puncaknya. Hal ini menunjukan bahwa akal lebih
lemah dibanding ilmu, dan bahwasanya agama tidak bisa dijangkau dengan akal,
tetapi agama dijangkau dengan ilmu.
Firman Allah dalam QS. Ali Imran : 110, “Kamu adalah umat yang paling
baik (khaira ummah, umat pilihan), yang dilahirkan untuk kepentingan manusia;
menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang membuat salah, serta beriman
kepada Allah. Sekranya orang-orang keturunan Kitab itu beriman, sesungguhnya itu
baik untuk mereka. Sebahagian mereka beriman, tetapi kebanyakannya orang-orang
yang jahat”.
Sebenarnya umat yang menjadi pengamal wahyu Allah (Islam) memiliki identitas
(ciri, sibghah) yang jelas di antaranya menguasai ilmu pengetahuan. Dalam
mewujudkan keberadaannya ditengah masyarakat mereka menjadi innovator dan
memiliki daya saing serta memiliki imajinasi yang kuat disamping kreatif dan
memiliki pula inisiatif serta teguh dalam prinsip (istiqamah, consern), bahkan
senantiasa berfikir objektif dan mempunyai akal budi.
Wahyu sendiri dalam al-Qur’an disebut dengan kata al-wahy yang memiliki
beberapa arti seperti kecepatan dan bisikan. Wahyu adalah nama bagi sesuatu yang
dituangkan dengan cara cepat dari Allah ke dalam dada nabi-nabiNya, sebagaimana
dipergunakan juga untuk lafadz al-Qur’an.
Wahyu adalah petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para nabi dan
rasul melalui mimpi dan sebagainya. Wahyu adalah sesuatu yang dimanifestasikan,
diungkapkan. Ia adalah pencerahan, sebuah bukti atas realitas dan penegasan atas
kebenaran. Setiap gagasan yang di dalamnya
11 ditemukan kebenaran ilahi adalah
wahyu, karena ia memperkaya pengetahuan sebagai petunjuk bagi manusia. Allah
sendiri telah memberikan gambaran yang jelas mengenai wahyu ialah seperti yang
digambarkan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 16 yaitu: “Dengan Kitab Itulah
Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan,
dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita
kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke
jalan yang lurus”.
Akal dan wahyu kalau diletakkan secara fungsionalis, maka keduanya saling
memiliki fungsi. Akal memiliki fungsi untuk memahami wahyu, karena wahyu ditulis
dengan bahasa Arab, dan tidak setiap orang dapat memahami teks Arab. Wahyu (Al
Qur’an sebagai hudan, untuk memahami hudan diperlukan akal. Wahyu memiliki
fungsi mengarahkan kerja akal dan memberikan informasi kandungan wahyu yang
memerlukan bukti empiris, bahkan dengan observasi, eksperimen, penyelidikan dan
penelitian, yang ini semua dikerjakan dengan akal pikiran.
Sabda Nabi : "Mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang Islam laki-laki dan
perempuan" (HR. Ibnu Abdil Bar). Dimanapun ilmu berada, Islam memerintahkan
untuk mencarinya. Sabda Nabi : "Carilah ilmu meskipun di negeri Cina" (HR Ibnu
'Adi dan Baihaqi). Menuntut ilmu dalam Islam tidak berhenti pada batas usia tertentu,
melainkan dilaksanakan seumur hidup. tegasya dalam hal menuntut ilmu tidak ada
istilah "sudah tua". Selama hayat masih dikandung badan, manusia wajib menuntut
ilmu. Hanya caranya saja hendaklah disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan
masing-masing. Perintah menuntut ilmu sepanjang masa ini diterangkan dalam Hadits
Nabi SAW. "Carilah ilmu sejak buaian sampai ke liang lahad".
Menurut hadits tersebut diatas, tempat-tempat majlis ilmu itu dinaungi malaikat,
diberikan ketenangan (sakinah), disirami rahmat dan dikenang Allah di singgasana-
Nya. Begitulah penghormatan yang diberikan kepada orang-orang yang menuntut
ilmu pengetahuan itu.
Ilmu atasar dan pengaruhnya tetap abadi dan lestari selama masih ada orang yang
memanfaatkannya, meskipun sudah beberapa ribu tahun. Tetapi orang yang
melakukan shalat, puasa, zakat, haji, bertasbih, bertakbir dll tetap diberi pahala oleh
Allah SWT, akan tetapi semua ini segera berakhir dengan berakhirnya pelaksanaan
dan kegiatan.
Menurut Surat Ali Imran 191-194, seorang ilmuwan atau intelektual Muslim harus
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
Terdapat tiga alasan pokok, mengapa kita perlu menguasai iptek, yaitu :
1. Ilmu pengetahuan yg berasal dari dunia Islam sudah diboyong oleh negara-
negara barat.
2. Negara-negara barat berupaya mencegah terjadinya pengembangan IPTEK di
negara-negara Islam. 15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesadaran beragama orang Islam pada dasarnya adalah kesadaran akan keesaan
Tuhan. Semangat ilmiah tidak bertentangan dengan kesadaran religius, karena ia
merupakan bagian yang terpadu dengan keesaan Tuhan itu. Memiliki kesadaran akan
keesaan Tuhan berarti meneguhkan kebenaran bahwa Tuhan adalah Satu dalam
Esensi-Nya, dalam nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, dan dalam perbuatan-Nya. Satu
konsekuensi penting dari pengukuhan kebenaran ini adalah bahwa orang harus
menerima realitas objektif kesatuan alam semesta. Sebagai sebuah sumber
pengetahuan, agama bersifat empatik ketika mengatakan bahwa segala sesuatu di
alam semesta ini saling berkaitan dalam jaringan kesatuan alam melalui hukum-
hukum yang mengatur.
16
DAFTAR PUSTAKA
Raverts, Jerome R.2007. Filsafat Ilmu : Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan.
Firdani Aldy. 2014. Makalah agama islam dan ilmu pengetahuan. http://aldy-
firdani.blogspot.com/2014/01/makalah-agama-islam-dan-ilmu-pengetahuan.html,
17