Anda di halaman 1dari 1

UU Cipta Kerja

Pada tanggal 5 Oktober 2020, DPR RI mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi
undang-undang. Pengesahan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan I
2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Menurut Presiden Joko Widodo, tujuan dari
dibentuknya undang-undang ini adalah untuk menciptakan iklim usaha dan investasi yang
berkualitas bagi para pelaku bisnis, termasuk UMKM dan investor asing. Meskipun diklaim
memiliki tujuan yang baik, undang-undang ini mendapat penolakan dari berbagai elemen
masyarakat karena dinilai akan membawa dampak yang buruk bagi buruh. Berkaitan dengan
Pancasila, menurut kami UU Cipta Kerja belum sesuai dengan Pancasila karena undang-undang
ini dinilai tidak memiliki nilai urgensi dan kepentingan di tengah pandemi yang melanda.
Kemudian pembahasannya juga membutuhkan waktu yang lebih panjang sehingga tak bisa
dibahas dalam tempo yang singkat. Undang-undang ini memang dapat mendorong investasi
masuk dan menggerakkan perekonomian nasional akan tetapi hak-hak pekerja menjadi
terabaikan.
Salah satu pasal dalam UU Cipta Kerja tentang ketenagakerjaan yang banyak
diperbincangkan karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila adalah pasal 88D. Di
dalam pasal ini menyebutkan bahwa tingkat inflasi tidak lagi menjadi pertimbangan dalam
menetapkan upah minimum. Seperti yang kita ketahui bahwa inflasi setiap tahunnya selalu
mengalami kenaikan yang cukup signifikan, dengan demikian posisi keuangan pekerja pada
setiap tahun akan mengalami penyusutan akibat inflasi dan kurs rupiah. Dalam PP Nomor 78
tahun 2015 yang dianggap memiliki sistem pengupahan yang parah karena tidak
mempertimbangkan kurs rupiah semakin diperparah dengan pola pengupahan sistem RUU Cipta
Kerja. Akibatnya, hak pekerja atas standar hidup yang layak akan terdampak. Situasi ini
bertentangan dengan standar HAM internasional. Selanjutnya, perubahan yang terdapat pada
RUU Cipta Kerja juga merenggut hak pekerja dan mengancam kesejahteraan pekerja, yakni
menghapus tripartite, UMK, kebebasan berserikat, serta ancaman PHK setiap saat. Selain itu,
RUU ini tidak sesuai dengan undang-undang otonomi daerah yang memberikan keleluasaan pada
daerah untuk mengelola bidang ketenagakerjaan. Dengan hilangnya demokrasi politik pekerja di
dalam hubungan industrial, secara nyata pemerintah dan DPR RI telah membuat suatu
undang-undang yang tidak berkesesuaian dengan Pancasila sila kedua dan kelima.
UU Cipta Kerja juga menuai kontroversi mengenai masalah pendidikan, sebagaimana ada
di dalam pasal 65 yang berbunyi "Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan
melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini," pada ayat (1), dan
"Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah," pada ayat (2). Kata-kata “perizinan
berusaha” dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahpahaman bagi masyarakat, karena izin usaha
meliputi semua aspek kegiatan ekonomi sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 huruf d UU No.3
Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Di dalamnya jelas dinyatakan, usaha adalah setiap
tindakan, perbuatan, atau kegiatan apa pun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh
setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan atau laba. Hal ini dikatakan dapat
menimbulkan kesenjangan kualitas pendidikan meskipun hanya pada KEK (Kawasan Ekonomi
Khusus). Jika diterapkan, hal ini malah akan melanggengkan kesenjangan kualitas pendidikan
dimana yang ‘miskin’ tidak diperbolehkan sekolah karena sekolah menjadi barang dagangan dan
mahal. Seperti yang kita tahu, setiap insan manusia Warga Negara Indonesia memiliki hak untuk
mendapatkan pendidikan dan menurut kami ini bertentangan dengan sila ke-5 yaitu Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai