Anda di halaman 1dari 3

Proteksionisme Dagang adalah Kebodohan Ekonomi

Perekonomian dunia saat ini sedang dilanda demam. Sebuah demam yang populer di
antara orang-orang yang dirugikan oleh globalisasi. Popularitasnya dimanfaatkan oleh
politisi-politisi populis untuk menggapai kekuasaan di berbagai demokrasi. Mulai dari
Trump di Amerika Serikat sampai Modi di India.
Apa demam tersebut? Demam itu adalah proteksionisme. Ia adalah kebijakan
pemerintah yang membatasi perdagangan internasional demi keuntungan
perekonomian domestik (Investopedia.com, 2019). Keuntungan itu terwujud dalam
harga barang impor yang lebih mahal karena tarif, bea, dan lain sebagainya.
Dampaknya, produk domestik memiliki harga yang kompetitif di pasar.
Ketika harga produk domestik lebih kompetitif, konsumen akan membeli lebih banyak
produk domestik. Ketika permintaan produk domestik meningkat, penerimaan produsen
domestik ikut meningkat. Konsekuensinya, industri domestik menerima laba yang lebih
besar. Laba yang lebih besar ini adalah modal untuk ekspansi industri dalam negeri.
Ekspansi inilah yang diperlukan untuk bertumbuh.
Penjelasan di atas adalah legitimasi ekonomi proteksionisme. Sekarang, para
pengambil kebijakan sudah melangkah lebih jauh. Mereka memberikan sebuah
legitimasi patriotis untuk proteksionisme. Artinya, proteksionisme diberlakukan sebagai
wujud kecintaan terhadap bangsa dan negara.
Bagi para "proteksionis baru", proteksionisme adalah instrumen untuk mengukuhkan
industri dalam negeri. Industri yang berasal dari jerih payah dan keringat anak bangsa
sendiri. Ia adalah bagian dari identitas bangsa yang harus dicintai dan dijunjung tinggi.
Maka, ia harus dilindungi dan diberikan prioritas dari persaingan perusahaan asing,
agar bisa eksis selama mungkin.
Lebih jauh lagi, proteksionisme dipandang sebagai upaya menanamkan slogan
nasionalisme dalam ekonomi. Trump menggambarkannya dalam "America First".
Sukarno menggambarkannya dalam "Berdikari dalam ekonomi". Dalam bidang
ekonomi, produk dalam negeri harus didahulukan dan diprioritaskan secara absolut
dalam konsumsi dan kebijakan publik. No compromise.
Ketika keduanya digabung, terbentuk sebuah peluru politik yang sangat tajam.
Legitimasi patriotis menjadi ujung peluru yang akan menghujam segenap hati anak
bangsa. Sementara, legitimasi ekonomi menjadi rationale yang memberikan dasar pada
kebijakan tersebut. Akhirnya, kelompok politik atau pemerintahan menjadi lebih populer
dalam jangka pendek.
Tetapi, bagaimana dengan dampak jangka panjang? Disinilah ketika popularitas
berubah menjadi petaka. Dalam jangka panjang, proteksionisme
adalah kebodohan ekonomi dan tidak patriotis. Mengapa demikian?
Mari kita mulai dari keburukan ekonomi proteksionisme. Tidak perlu pengetahuan
ekonomi yang tinggi-tinggi amat untuk mengetahuinya. Seperti kebijakan ekonomi
lainnya, proteksionisme adalah sebuah pedang bermata dua. Masalahnya, pedang
yang menusuk ke dalam jauh lebih tajam dibandingkan yang ke luar.
Pedang yang menusuk ke luar menyakiti kompetitifitas harga produk impor. Produk-
produk luar dengan harga pasar lebih rendah menjadi naik karena bea, tarif, pajak, dan
lain sebagainya. Dengan ini, produsen di dalam negeri diuntungkan untuk sementara
waktu. Namun, konsumen dalam negeri yang menanggung kerugiannya. Mereka tidak
bisa membeli produk impor dengan harga yang lebih rendah.
Disinilah pedang yang menusuk ke dalam dimulai. Proteksionisme menyakiti
kompetitifitas produsen, akses pasar bagi produsen, dan konsumen. Akibat
proteksionisme, produsen menjadi bergantung pada halangan perdagangan untuk
menjadi kompetitif. Selain itu, kurungan proteksionisme juga menghalangi produsen
untuk mendapatkan bahan baku dan konsumen dari luar negeri.
Ketika produsen tidak kompetitif secara riil dan tidak memiliki akses luas terhadap
bahan baku murah dan konsumen asing, harga output mereka pasti meningkat.
Ditambah dengan produk impor yang sengaja dibuat mahal, harga output secara makro
semakin tinggi. Akhirnya, terjadi inflationary spiral dalam perekonomian yang
mengurangi daya beli konsumen secara drastis.
Proteksionisme menciptakan dependensi produsen domestik terhadap tarif. Ia
menyunat akses produsen terhadap bahan baku impor dan pasar luar negeri yang
kompetitif. Both nurtures corporate welfare. Paling parahnya, proteksionisme
mengurangi daya beli konsumen di dalam negeri. Maka, menerapkan proteksionisme
dagang adalah kebijakan ekonomi yang bodoh.
Apakah itu tindakan yang patriotis? Jelas tidak! Dependensi terhadap pemerintah dan
berkurangnya akses produsen terhadap foreign markets menjadikan produsen dalam
negeri terisolasi. Ia bak katak dalam tempurung. Output nya hanya mampu terjual
secara kompetitif pada konsumen domestik. Sementara, mereka tidak memiliki pilihan
input yang kompetitif dari pasar luar negeri.
Akhirnya, produsen domestik menjadi seperti judul lagu Tetty Kadi, layu sebelum
berkembang. Sungguh berbanding terbalik dengan legitimasi patriotisme di awal.
Apalagi mengurangi daya beli konsumen domestik. Ini sama saja dengan membuat
hidup rakyat semakin susah. Ketika daya beli berkurang, angka kemiskinan bertambah
karena banyak orang yang mendekati garis kemiskinan mengalami kejatuhan daya beli.
Selain itu, semakin sedikit pendapatan masyarakat yang bisa dialokasikan untuk
tabungan dan investasi. Padahal, keduanya adalah kunci pertumbuhan ekonomi.
Jadi, mengaku nasionalis-patriot? Jangan pernah mendukung kebijakan proteksionisme
dagang. Ia adalah kebodohan ekonomi yang tidak patriotis. Justru, dukunglah
kebijakan perdagangan bebas. Tunjukkanlah bahwa Indonesia adalah bangsa yang
optimis, outward-looking, dan percaya akan kekuatannya untuk berkompetisi di ranah
ekonomi dunia.
SUMBER
https://www.investopedia.com/terms/p/protectionism.asp. Diakses pada 2 Agustus
2019.
https://www.kompasiana.com/rdp123/5d43d8c30d82302b98231256/proteksionisme-
dagang-patriotisme-atau-kebodohan-ekonomi?page=all

Anda mungkin juga menyukai