I L M U K E S E H ATA N A N A K
| DR. SEPRIANI | DR. YOLINA | DR. OKTRIAN | DR. REZA | DR. CEMARA |
| DR. AARON | DR. CLARISSA | DR. KAMILA | DR. EDWIN |
Jakarta
Jl. Layur Kompleks Perhubungan VIII No.52 RT.001/007
Kel. Jati, Pulogadung, Jakarta Timur Tlp 021-22475872
WA. 081380385694/081314412212
Medan
Jl. Setiabudi Kompleks Setiabudi Square No. 15 Kel. Tanjung
Sari, Kec. Medan Selayang 20132
WA/Line 082122727364
w w w. o p t i m a p r e p . c o . i d
TO 1
1. Diare pada anak
• Diare akut: berlangsung < 1 • Disentri: diare mengandung
minggu, umumnya karena infeksi lendir dan darah
– Diare akut cair • Diare primer: infeksi memang
– Diare akut berdarah
terjadi pada saluran cerna
(misal: infeksi Salmonella)
• Diare berlanjut: diare infeksi yang • Diare sekunder: diare sebagai
berlanjut > 1 minggu gejala ikutan dari berbagai
• Diare Persisten: Bila diare penyakit sistemik seperti pada
melanjut tidak sembuh dan bronkopnemonia, ensefalitis
melewati 14 hari atau lebih dan lain-lain
• Diare kronik: diare karena sebab
• Diare Berdasarkan
Patofisiologi
apapun yang berlangsung 14 hari
– Osmotic diarrhea
atau lebih – Secretoric diarrhea
– Inflammatoy/ exudative
diarrhea
– Altered motility diarrhea
Gejala dan tanda dehidrasi
Klasifikasi diare
pada anak
Dehidrasi berat
Terapi zinc
Syok hipovolemik
pada anak
• Jika diare sangat massif
sehingga volume loss
sangat tinggi, anak dapat
mengalami syok
hipovolemik
• Tatalaksana syok akibat
diare pada anak tidak
menggunakan rencana
terapi C melainkan
algoritma tatalaksana
syok hipovolemik anak
2. Mumps (Parotitis Epidemica)
• Merupakan infeksi virus
(rubulavirus) yang bersifat akut,
sistemik, dapat sembuh dengan
sendirinya (self-limited)
• Akan terdapat pembesaran satu
atau lebih kelenjar liur, biasanya
paling sering kelenjar parotid
• Sangat infeksius pada orang yang
tidak imun, satu satunya penyebab
epidemic parotitis
• Taksonomi:
– Species: Mumps rubulavirus
– Genus: Rubulavirus
– Family: Paramyxoviridae
– Order: Mononegavirales
Mumps
• Salah satu penyebab parotitis • Penularan terjadi sejak 6 hari
• Satu-satunya penyebab parotitis sebelum timbulnya
yang mengakibatkan pembengkakan parotis sampai 9
“occasional outbreak” hari kemudian.
• Disebabkan oleh paramyxovirus, • Bisa tanpa gejala
dengan predileksi pada kelenjar
dan jaringan syaraf. • Masa inkubasi 12-25 hari, gejala
• Transmisi dari orang ke orang prodromal tidak spesifik ditandai
melalui droplet udara (saluran dengan mialgia, anoreksia,
napas dan saliva), kontak malaise, sakit kepala dan demam
langsung, atau fomite (benda ringan Setelah itu timbul
mati jadi perantara) pembengkakan
• Insidens puncak pada usia 5-9 unilateral/bilateral kelejar parotis.
tahun. • Gejala ini akan berkurang setelah
• Imunisasi dengan live 1 minggu dan biasanya
attenuated vaccine sangat menghilang setelah 10 hari.
berhasil (98%)
Mumps
• Komplikasi : Meningitis/encephalitis, Sensorineural hearing
loss/deafness, Guillain-Barré syndrome, Thyroiditis,
Myocarditis, orchitis (terjadi pada laki-laki usia
postpubertal)
• Sekitar 1/3 pasien laki laki postpubertas bisa mengalami
orkitis unilateral
• Pencegahan : Vaksinasi dengan MMR, Jadwal IDAI 2017:
jika sudah imunisasi campak 9 bulan, MMR diberikan usia
15 bulan (interval minimal 6 bulan); jika belum mendapat
campak 9 bulan, MMR bisa diberikan usia 12 bulan
Tatalaksana mumps
• Konservatif dan penanganan medis suportif
• Tidak perlu pemberian agen antivirus mengingat
mumps penyakit self-limited
• Pastikan asupan cairan cukup
• Hindari konsumsi makanan atau minuman yang
asam
• Simptomatik: pemberian analgesics
(acetaminophen, ibuprofen)
• Kompres hangat atau dingin pada bagian yang
bengkak untuk mengurangi keluhan
3. Proses Hemostasis dan Hemofilia
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5767294/
Hemofilia
• Hemophilia merupakan kelainan hematologi yang
bersifat diturunkan yang paling banyak dijumpai.
• Terdapat 3 tipe:
– Hemophilia A : defisiensi faktor VIII
– Hemophilia B : defisiensi factor IX (christmas disease)
– Hemofilia C : defisiensi factor XI
• Kedua tipe ini diturunkan dengan sifat X linked
resesif (gen faktor VIII/IX berada di distal lengan
panjang (q) dari kromosom X
• Gejala mulai muncul saat pasien sudah bisa
merangkak
• Perempuan hanya sebagai karier/pembawa gen
Epidemiologi
• Insidensi:
- hemophilia A (± 85%) 1 : 5,000 – 10,000 laki-laki
(atau 1 : 10,000 dari laki-laki yang lahir hidup)
- hemophilia B (± 15%) 1 : 23,000 – 30,000 laki-laki
(atau 1 : 50,000 dari laki-laki yang lahir hidup)
• Sekitar 70% penderita hemofilia memiliki riwayat
keluarga yang memiliki penyakit kelainan pada
pembuluh darah
• Manifestasi klinisnya terbagi dalam 3 derajat: mild,
moderate, severe
5-40% (emedicine)
Tatalaksana Hemofilia
4. Diphtheria
• Penyebab: Corynebacterium diphtheria (bakteri
aerob Gram positif yang memproduksi toksin),
ada 3 tipe utama:
– tipe gravis (produksi eksotoksin invasive,
gejala berat)
– tipe intermedius
– tipe mitis Pseudomembran difteri
• Menyebabkan infeksi saluran napas atas (paling
sering), dengan adanya pseudo-membrane.
Pada kasus berat infeksi menyebar ke trakea
hingga sebabkan adenopati servikal yang
mengancam jalan napas.
• Inkubasi: rerata 2-5 hari (rentang 1-10 hari)
• Penularan: droplet respiratorik, kontak langsung
dengan sekret respiratorik atau lesi kulit
https://www.cdc.gov/diphtheria/clinicians.html
Diphteria Classification
• Respiratory diphtheria
– Nasal diphtheria
• Pilek ringan dangan atau tanpa gejala sistemik
• Sekret hidung
• Tampak pseudomembran putih pada septum nasi
– Pharyngeal and tonsillar diphtheria
• nyeri tenggorok
• Bull-neck (bengkak pada leher)
• Pseudomembran purulen berwarna putih keabuan
di faring, tonsil, uvula, palatum
– Laryngeal diphtheria
• Stridor progresif dan suara parau, batuk kering
• Demam tinggi, lemah, sianosis, pembengkakan
KGB leher
• Cutaneous diphtheria
– Any break in the skin, can became infected
with diphteria
– It made ulceration and usually covered by a
gray-brown pseudomembrane
Presentasi klinis • Gejala awal infeksi saluran
napas atas: malaise, nyeri
tenggorokan, pilek, sekret
hidung berdarah, suara serak,
batuk, nyeri menelan, demam,
cutaneous diphtheria, pada
anak anak bisa sulit menelan
liur (drooling)
• Pada kasus berat: suara napas
Cutaneous diphtheria stridor inspiratorik, sesak
napas
• Inspeksi tampak bull neck
(pembengkakan nodus limfatik
servikal), faring hiperemis
• Pseudomembran: membrane
keabuan asimetris, sulit
diangkat dan mudah berdarah
Bull-neck pada difteri
http://4.bp.blogspot.com/
Pemeriksaan penunjang
• Saat KLB tidak rutin dilakukan. Kecuali diagnosis tidak jelas
(pembengkakan leher tanpa pseudomembran), atau dicurigai
adanya resistensi antimikroba
• Bisa lakukan swab tepi lesi mukosa dan masukkan dalam media
transport (Amies atau Stuart), kemudian inokulasi dalam:
– blood agar
– media mengandung tellurit (setelah periode inkubasi 18-24 jam)
– isolasi dalam media Loeffler
• Koloni bisa diperiksa produksi toksinnya menggunakan tes
immunopresipitat Elek (24-48 jam)
• Bila kultur positif dan ditemukan toksin, konfirmasi etiologi
diagnosis
http://www.who.int/immunization/policy/position_papers/wer_31_diphtheria_updated_position_paper.pdf?ua=1
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/68334/1/WHO_V-B_03.01_eng.pdf?ua=1
PPM RSCM Dept IKA 2015
Antitoksin (DAT/ADS)
• ADS atau anti difteria serum adalah equine serum yang jadi
standar baku pengobatan difteri, diberikan segera setelah
ditemukan kasus difteri berdasarkan klinis (tidak perlu tunggu
pemeriksaan laboratorium)
• Pemberian antitoksin hari pertama menurunkan angka
kematian <1%, penundaan lebih dari hari ke 6 menyebabkan
angka kematian meningkat sampai 30%
• Kontraindikasi: wanita hamil, reaksi alergi
• Dosis anak dan dewasa sama
• Uji kulit sebelum pemberian ADS karena bisa terjadi reaksi
anafilaktik, suntikkan 0.1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis
1:1000 intrakutan (positif bila indurasi >10 mm)
http://www.who.int/immunization/policy/position_papers/wer_31_diphtheria_updated_position_paper.pdf?ua=1
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/68334/1/WHO_V-B_03.01_eng.pdf?ua=1
PPM RSCM Dept IKA 2015
Dosis ADS
WHO
5. Malnutrisi Energi Protein
• Malnutrisi: Ketidakseimbangan seluler antara asupan dan kebutuhan
energi dan nutrien tubuh untuk tumbuh dan mempertahankan fungsinya
(WHO)
• Dibagi menjadi 3:
– Overnutrition (overweight, obesitas)
– Undernutrition (gizi kurang, gizi buruk)
– Defisiensi nutrien spesifik
• Malnutrisi energi protein (MEP):
– MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang)
– MEP derajat berat (gizi buruk)
• Malnutrisi energi protein berdasarkan klinis:
– Marasmus
– Kwashiorkor
– Marasmik-kwashiorkor
edema
rambut kemerahan, mudah
dicabut
kurang aktif, rewel/cengeng
pengurusan otot
Kelainan kulit berupa bercak
merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor
• Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan
kwashiorkor secara bersamaan
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk
• Z-score → menggunakan • BB/IBW (Ideal Body Weight)
kurva WHO weight-for- → menggunakan kurva CDC
height • ≥80-90% mild
• <-2 – moderate wasted malnutrition
• <-3 – severe wasted gizi • ≥70-80% moderate
buruk malnutrition
• ≤70% severe
• Lingkar Lengan Atas < 11,5 malnutrition Gizi Buruk
cm
Kwashiorkor
Protein
Serum Albumin
Edema
Marasmus
Karbohidrat
Lemak subkutan
– Observasi kemajuan rehidrasi tiap 30 menit selama 2 jam pertama, lalu tiap 1 jam untuk
6-12 jam selanjutnya. Observasi HR, RR, frekuensi miksi, frekuensi defekasi/muntah
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
Semua anak dengan malnutrisi berat mengalami hipernatremia
5. Obati/cegah infeksi tanda umum infeksi sering tidak dijumpai pada
malnutrisi
Saat rawat inap, berikan secara rutin: antibiotik spektrum luas , vaksinasi campak
jika usia >6 bulan dan belum mendapat imunisasi (tunda jika klinis buruk)
Antibiotik spektrum luas:
6. Koreksi defisiensi mikronutrien
Hari pertama:
– Vit A (usia 0-5 bln 50.000 IU, 6-12 bulan 100.000 IU, >12 bulan 200.000 IU)
– Asam folat 5 mg PO
Pemberian harian selama 2 minggu:
– Multivitamin: Asam folat 1 mg/hari, Zinc 2 mg/kgBB/hari, Copper 0,3 mg/kgBB/hari, Zat Besi 3
mg/kg/hari (pada fase rehabilitasi)
7. Pemberian makan
Fase stabilisasi
– Porsi kecil, osmolaritas rendah, rendah laktosa F75
– Peroral/NGT
– Energi: 80-100 kkal/kgBB/hari, Protein: 1-1,5 g/kgBB/hari, Cairan: 130 mL/kgbb/hari
– Lanjutkan pemberian ASI setelah formula dihabiskan
8. Mencapai kejar-tumbuh
– Target peningkatan berat badan >10 g/kg/hari
Bila kenaikan berat badan <5g/kgBB/hari, lakukan penilaian ulang apakah target
asupan makanan memenuhi kebutuhan dan cek tanda-tanda infeksi
6. Diabetes melitus tipe 1
• Terjadi akibat kerusakan sel beta pancreas defisiensi
insulin absolut
• Meliputi 90% diabetes pada anak dan remaja
• Penyebab:
– Autoimun : cellular mediated autoimmune. Marker
autoimun: islet cell autoantibodies, autoantibodi terhadap
insulin (IAA), autoantibodies to GAD (GAD65), autoantibodi
terhadap tyrosine phosphatases IA-2 dan IA-2β, serta
autoantibodi terhadap zinc transporter 8 (ZnT8)
– Idiopatik
• Tidak termasuk kerusakan beta pancreas akibat kondisi
khusus: defek mitokondria, cystic fibrosis
• Recommendation
– Phenobarbital should be used as the first-line agent
for treatment of neonatal seizures
• Commonly used first-line AEDs for treatment of NS are
phenobarbital and phenytoin.
• Phenobarbital is also cheaper and more easily available than
phenytoin.
• Only about 55% of newborns respond to either of the two
medications.
• Phenobarbital is easier to administer with a one daily dose being
sufficient following attainment of therapeutic levels.
• Phenytoin has more severe adverse effects than phenobarbital
including cardiac side effects and extravasation (although these
have been mitigated by the introduction of fosphenytoin).
• The therapeutic range of phenytoin is very narrow
Terapi kejang neonatus
Setyo Handryastuti: Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan Tatalaksana
8. Poliomyelitis
• Manifestasi
– Inapparent infection/asimptomatik
• Poliomyelitis merupakan (90-95%)
infeksi enterovirus oleh
– 5-10% tipe abortif/minor:
poliovirus (family
• Demam
Picornaviridae)
• Nyeri kepala, nyeri tenggorokan
• Inkubasi : 5-35 hari
• Nyeri tangan dan kaki, letargi
• Transmisi: melalui rute fekal-
• Gangguan saluran cerna
oral through atau menelan
– 1-2% major poliomyelitis:
air yang terkontaminasi
• Non paralytic : Sindrom
• Virus akan bereplikasi dalam meningitis
nasofaring dan saluran cerna • Paralytic
ke jaringan limfoid – Flaccid paresis dengan
penyebaran ke dalam darah kelemahan proksimal asimetris
viremia neurotropik serta arefleksia, terutama di
dan destruksi motor neuron ekstremitas bawah
PPM IDAI pada anterior horn – Paresthesia tanpa hilang
Polio paralitik
• Polio paralitik diklasifikasikan menjadi 3 tipe
berdasarkan derajat keterlibatannya:
– Spinal polio paling umum (melibatkan 79% kasus
paralitik tahun 1969–1979). Terdapat paralisis
asimetrik yang umumnya melibatkan tungkai
– Bulbar polio menyebabkan kelemahan otot yang
dinervasi nervus kranialis (2% kasus tahun 1969-1979)
– Bulbospinal polio gabungan paralisis spinal dan
bulbar (19% kasus tahun 1969-1979)\
– Studi autopsy pada satu pasien menunjukkan adanya
gliosis dan sel inflamatorik CD8+ pada kornu anterior
dengan hilangnya sel kornu anterior (moderate)
http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/polio.pdf | Uptodate 2018
Diagnosis polio
Diagnosis Poliomielitis
Pemeriksaan Penunjang
• Darah:
– Leukosit normal/sedikit meningkat
– Serum antibodi akut dan konvalesens
– Peningkatan titer IgG 4x lipat atau titer anti-IgM (+) pada stadium akut
– PCR
• LCS:
– 20-300 sel, predominan limfosit (lymphocytic pleocytosis), glukosa normal,
protein normal/sedikit meningkat
– PCR (Gold Standard)
• Kultur:
– Dilakukan pemeriksaan kultur virus dari fese dan apus tenggorok, pada pasien
tersangka infeksi poliomyelitis (pasien AFP)
• Histologi:
– Ag spesifik enterovirus dilakukan imumofluresens dan pemeriksaan RNA
melalui PCR
Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html)
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan)
6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster diberikan OPV atau IPV.
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan)
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis
minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan dengan OPV-3
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova-
minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
9. Hipoglikemia pada Neonatus
• Hipoglikemia adalah kondisi bayi • Insulin dalam aliran darah fetus
dengan kadar glukosa darah <45 tidak bergantung dari insulin ibu,
mg/dl (2.6 mmol/L), baik bergejala tetapi dihasilkan sendiri oleh
atau tidak pankreas bayi
• Hipoglikemia berat (<25 mg/dl) dapat
menyebabkan palsi serebral, • Pada Ibu DM terjadi hiperglikemia
retardasi mental, dan lain-lain dalam peredaran darah
• Etiologi uteroplasental bayi
– Peningkatan pemakaian glukosa mengatasinya melalui hiperplasia
(hiperinsulin): Neonatus dari ibu DM, sel B langerhans yang
Besar masa kehamilan, eritroblastosis
fetalis
menghasilkan insulin insulin
– Penurunan produksi/simpanan glukosa: tinggi
Prematur, IUGR, asupan tidak adekuat • Begitu lahir, aliran glukosa yang
– Peningkatan pemakaian glukosa: stres
perinatal (sepsis, syok, asfiksia, menyebabkan hiperglikemia tidak
hipotermia), defek metabolisme ada, sedangkan insulin bayi tetap
karbohidrat, defisiensi endokrin, dsb tinggi hipoglikemia
Perifollicular hemorrhage
Scurvy: Tatalaksana
Vitamin B12 Megaloblastic anemia (pernicious anemia), peripheral neuropathy with impaired proprioception
(cobalamin) and slowed mentation
Folate (Vitamin B9) Megaloblastic anemia
Nonspecific symptoms including altered mental status, myalgia, dysesthesias, anorexia,
Biotin (Vitamin B7)
maculosquamous dermatitis
Nonspecific symptoms including paresthesias, dysesthesias ("burning feet"), anemia,
Pantothenate (Vit. B5)
gastrointestinal symptoms
Vitamin C Scurvy – fatigue, petechiae, ecchymoses, bleeding gums, depression, dry skin, impaired wound
(ascorbate) healing
Fat-soluble vitamins
Vitamin A Night blindness, xerophthalmia, keratomalacia, Bitot spot, follicular hyperkeratosis
Vitamin D Rickets, osteomalacia, craniotabes, rachitic rosary
Vitamin E Sensory and motor neuropathy, ataxia, retinal degeneration, hemolytic anemia
Vitamin K Hemorrhagic disease
11. Syok Anafilaktik pada Anak
• ‘‘Anaphylaxis is a serious allergic reaction that is rapid in onset and may
cause death.’’
• Anafilaksis melibatkan reaksi hipersensitivitas cepat dimediasi IgE
menyebabkan pelepasan mediator kimia poten dari sel mast dan
basophil Hipersensitivitas tipe 1
• Kebanyakan efek melibatkan kulit, saluran napas, kardiovaskular, dan
gastrointestinal
• Resiko anafilaksis lebih tinggi pada anak dengan atopi (asma, eczema,
rhinitis alergi)
• Derajat beratnya reaksi anafilaktik sebelumnya tidak berarti prediksi
derajat reaksi setelahnya, namun individu dengan reaksi anafilaktik
sebelumnya memiliki resiko rekurensi lebih tinggi
Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
• Diagnosis didasarkan atas temuan klinis
• Hati-hati karena 69% anak yg menderita anafilaksis tidak
memiliki riwayat alergi terhadap agen kausatifnya.
• Gejala bisa timbul dalam hitungan detik hingga beberapa jam
(pada anak rata-rata muncul 5-30 menit postexsposure)
• 80% – 90% mengalami gejala kutaneus, termasuk flushing,
pruritus, urtikaria, diaphoresis, sensasi panas, dan
angioedema.
• Gejala pernapasan muncul hingga 94% kasus
• Gejala tersering: rasa tercekik, pruritus, serak, stridor, dada
terasa berat, wheezing, dan hipoksemia.
Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
SYSTEM S I G N S A N D S Y M P TO M S
Fussiness, irritability, drowsiness, lethargy, reduced level of
General/CNS
consciousness, somnolence
Niaudet P. Overview of the pathogenesis and causes of glomerulonephritis in children. UpToDate, 2016
Parmar MS. Acute glomerulonephritis. Emedicine, 2016
Causes of glomerulonephritis in children
PRIMARY GLOMERULONEPHRITIS
Membranous glomerulonephritis
Membranoproliferative glomerulonephritis type I
Membranoproliferative glomerulonephritis type II (dense deposit disease)
IgA nephropathy
Anti-glomerular basement membrane disease
Idiopathic crescentic glomerulonephritis
SECONDARY GLOMERULONEPHRITIS
Post-streptococcal glomerulonephritis
Other post-infectious glomerulonephritis
Henoch-Schönlein purpura nephritis
Systemic lupus erythematosus nephritis
Microscopic polyangiitis
Wegener granulomatosus
Mekanisme GNAPS
• Terdapat 4 mekanisme yang mungkin menimbulkan
GNAPS:
1. Adanya kompleks imun dengan antigen streptokokal
yang bersirkulasi dan kemudian terdeposisi.
2. Deposisi dari antigen streptokokus pada membrane
basal glomerulus yang berikatan dengan antibody
sehingga terbentuk kompleks imun.
3. Adanya antibody terhadap antigen streptokokal yang
bereaksi terhadap komponen glomerulus yang
menyerupai antigen streptokokus (molecular mimicry)
4. Adanya proses autoimun
• Dari keempat mekanisme tersebut, mekanisme kedua
adalah mekanisme pathogenic yang paling banyak
ditemukan.
Patogenesis dan Patofisiologi
Streptococcal infection
Immune injuries
Proliferasi selular
Destruksi membran basal glomerulus
Lumen kapiler menyempit
hematuria
Aliran darah glomerular menurun
oliguria
Retensi air dan natrium
Ikterus baru terlihat bila kadar bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL.
Ikterus pada neonatus merupakan sesuatu yang unik dan membutuhkan
perhatian khusus, karena:
Ikterus Mencapai
Onset
Puncak Menghilang
fisiologis Usia 30-72
Usia 4-5 Usia 7-10 hari
bayi aterm jam
hari
04 05 06
Prolonged Jaundice - Kadar bilirubin direk Feses berwarna
Ikterik menetap >2 >1 mg/dL (17mol/L)4 dempul dan urin
minggu (bayi aterm) berwarna gelap6
dan >3 minggu (bayi
prematur)6
Kramer’s Rule
Zona 1 2 3 4 5
Antibiotic regimen
Late onset (≥7 days): Admitted from the community Ampicillin AND gentamicin
Late onset (≥7 days): Hospitalized since birth Gentamicin AND vancomycin
Special circumstances:
PJB
Asianotik Cyanotic
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/
Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Mosby; 2008.
Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology
Fluid leaks into the interstitial space & Pulmonary edema, tachypnea, chest
alveoly retraction, wheezing
Jacobs, J.P., R.P. Burke, J.A. Quintessenza, and C. Mavroudis, Congenital Heart
Surgery Nomenclature and Database Project: ventricular septal defect. Ann
Thorac Surg, 2000; 69: S25-35
Ventricular Septal Defect
VSD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Pansystolic murmur & thrill
Flow across VSD
over left lower sternum.
https://wikem.org
Patent Foramen Ovale
Atrial Septal Defect VS
Paten Foramen Ovale
ASD PFO
• Tidak terbentuknya septum • Not truly ASD tidak ada
diantara atrium kiri dan septum yang hilang
kanan • Kegagalan penutupan dari
• ASD ukuran kecil sering foramen ovale saat
kelahiran
menutup saat masa anak-
anak, ukuran besar • Paling baik mendiagnosis
dgn Echo
asimptomatik
https://www.heart.org/en/health-topics/congenital-heart-defects/about-
congenital-heart-defects/patent-foramen-ovale-pfo
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
The degree of L-to-R shunting is dependent on:
- the size of the defect,
- the relative compliance of the R and L ventricles, &
- the relative vascular resistance in the pulmonary & systemic circulations
Flow across the septal defect doesn’t produce murmur because the pressure gap
between LA & RA is not significant
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
https://wikem.org
PDA
Common lesions:
Tricuspid atresia, ToF, single ventricle with pulmonary stenosis
https://wikem.org
Tet Spell/ Hypercyanotic Spell
• serangan biru yang terjadi secara mendadak
• Anak tampak lebih biru, pernapasan cepat, gelisah,
kesadaran menurun, kadang-kadang disertai kejang.
• Serangan berlangsung 15-30 menit, biasanya teratasi secara
spontan, tetapi serangan yang hebat dapat berakhir dengan
koma, bahkan kematian
• Biasanya muncul usia 6-12 bulan, tapi bisa muncul usia 2-4
bulan
• ToF yang tipikal biasanya memiliki tekanan pada ventrikel
kiri dan kanan yang sama besar, sehinggan tingkat sianosis
dan terjadinya tet spell ditentukan dari systemic vascular
resistance dan derajat keparahan komponen stenosis
pulmonal.
increased
myocardial
contractility + KEMATIAN
infundibular
stenosis.
Right-to-left shunt meningkat
aliran darah ke
sianosis progresif
paru berkurang
secara tiba-tiba penurunan PO2 dan
peningkatan PCO2 arteri
penurunan pH darah
TET SPELL
Stimulasi pusat pernapasan di
HYPERCYANOTIC SPELL reseptor karotis + nucleus hiperpnoea
batang otak
Tatalaksana Tet Spell
• Knee chest position/ squatting
– Diharapkan aliran darah paru bertambah karena
peningkatan resistensi vaskular sistemik dan afterload
aorta akibat penekukan arteri femoralis
• Morfin sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV
untuk menekan pusat pernapasan dan mengatasi
takipnea
• Natrium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV untuk
mengatasi asidosis. Dosis yang sama dapat
diulang dalam 10-15 menit.
Trunkus Arteriosus
• VSD + Aorta dan Arteri Pulmonal Menyatu.
• Gejala sesak + biru, bunyi Murmur bervariasi/tidak khas, biasa
terdengar mid diastolic mitral flow murmur karena aliran darah
dari pulmonal yang meningkat
• X-Ray akan terlihat kardiomegali dan peningkatan corak vascular
pulmoner
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
17. Sindrom Nefrotik
• Spektrum gejala yang ditandai • Di bawah mikroskop: Minimal
dengan protein loss yang masif dari change nephrotic syndrome
ginjal (MCNS)/Nil Lesions/Nil Disease
• Pada anak sindrom nefrotik (lipoid nephrosis) merupakan
mayoritas bersifat idiopatik, yang penyebab tersering dari sindrom
belum diketahui patofisiologinya nefrotik pada anak, mencakup
secara jelas, namun diperkirakan 90% kasus di bawah 10 tahun dan
terdapat keterlibatan sistem >50% pd anak yg lbh tua.
imunitas tubuh, terutama sel • Faktor risiko kekambuhan:
limfosit-T riwayat atopi, usia saat serangan
• Gejala klasik: proteinuria, edema, pertama, jenis kelamin dan
hiperlipidemia, hipoalbuminemia infeksi saluran pernapasan akut
• Gejala lain : hipertensi, hematuria, akut (ISPA) bagian atas yang
dan penurunan fungsi ginjal menyertai atau mendahului
terjadinya kekambuhan, ISK
Increased capillary
parasitic infection of
pressure (failure of
lymph nodes
venous pumps, (filariasis)
heart failure)
EDEMA
Nefrotik vs Nefritik
Diagnosis
Uptodate. 2019
DIAGNOSIS DIFERENSIAL INFEKSI SSP
MENINGITIS
KLINIS/LAB. ENSEFALITIS MENING.TBC MENING.VIRUS ENSEFALOPATI
BAKTERIAL
Uptodate. 2019
Spesific Therapy Based on Etiology
• Ebstein-Barr virus (EBV) – EBV infection rarely requires more than
supportive therapy.
• Cytomegalovirus (CMV) – CMV infection in immunocompromised children is
treated with ganciclovir. Treatment may also be warranted in
immunocompetent children with serious symptomatic CMV infection;
however, data are limited.
• Arboviruses and Lymphocytic choriomeningitis virus/ LCMV – Most
arboviral and LCMV infections of the CNS are treated symptomatically.
• Influenza – For patients with confirmed or suspected influenza who are
hospitalized or who have severe, complicated, or progressive illness,
antiviral treatment with oseltamivir or zanamivir should be started as soon
as possible after symptom onset.
Uptodate. 2019
19. DEFISIENSI YODIUM
Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
Hyaline Membrane Disease
Derajat I, Bercak retikulogranuler dengan air Derajat II, Bercak retikulogranular menyeluruh dengan
bronchogram air bronchogram
Derajat III, Opasitas lebih jelas, dengan Derajat IV, Seluruh lapangan paru terlihat putih (opak),
airbronchogram lebih jelas meluas kecabang di perifer. Tidak tampak airbronchogram, jantung tak terlihat,
Gambaran jantung menjadi kabur. disebut juga “White lung”
Distres Pernapasan pada Neonatus
Kelainan Gejala
Sindrom aspirasi Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat,
mekonium terdapat staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku,
atau tali pusar. Pada radiologi tampak air trapping dan
hiperinflasi paru, patchy opacity, terkadang atelektasis.
Respiratory distress Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran
syndrome (penyakit SC, gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi
membran hyalin) tampak gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular
appearance, air bronkogram, ekspansi paru jelek.
Transient tachypnea of Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul
newboorn setelah lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir.
Pada radiologi tampak peningkatan corakan perihilar,
hiperinflasi, lapangan paru perifer bersih.
Pneumonia neonatal Terdapat risiko pneumonia (KPD, demam pada ibu, cairan
amnion berbau, dsb). Gejala meliputi gejala distress dan gejala
sepsis. Gambaran radiologis : Diffuse, relatively homogeneous
infiltrates
Asfiksia perinatal (hypoxic Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah,
ischemic encephalopathy) terdapat kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
Meconium Aspiration Syndrome
(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial
dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan
dengan perbaikan klinis.
Pneumonia neonatal
Infiltrat inhomogen pada lapang paru kanan atas. Bila terjadi dalam 72 jam
pertama kehidupan, pneumonia neonatal perlu dipikirkan.
22. Hypoxic Ischemic Encephalopathy
Tampak hiperinflasi dengan diafragma yang mendatar dan opasifikasi pada paru kanan (lingkaran merah)
Tampat atelektasis (lingkaran biru). Obviously, the same changes can be seen in the x-ray of a child with acute asthma. This
is one reason why children with acute asthma are often misdiagnosed as having pneumonia.
Bronchopneumonia
Pneumonia Lobaris
Etiology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negative organisms
Legionella
Tatalaksana
Bronkiolitis
• Penyakit Ringan:
– Terapi simtomatis
• Penyakit sedang-berat:
– Tatalaksana life support O2 dan IVFd
– Etiologi: Terapi antivirus jarang tersedia,
antibiotik bila ternyata etiologinya bakteri
– Terapi simtomatik:
• Bronkodilator kontroversial namun masih bisa
diberikan dengan alasan terjadinya inflamasi serta
bronkospasme dan meningkatkan mukosiler
• Kortikosteroid kontroversial (tidak efektif)
Tatalaksana Bronkiolitis
• Walaupun pemakaian nebulisasi
dengan beta2 agonis sampai saat
ini masih kontroversi, tetapi
masih bisa dianjurkan dengan
alasan:
– Pada bronkiolitis selain terdapat
proses inflamasi akibat infeksi virus
juga ada bronkospasme dibagian
perifer saluran napas (bronkioli)
– Beta agonis dapat meningkatkan
mukosilier
– Sering tidak mudah membedakan
antara bronkiolitis dengan
serangan pertama asma
– Efek samping nebulasi beta agonis
yang minimal dibandingkan
epinefrin.
Sari Pediatri
Dd/ Bronchitis akut
• Kondisi ini merupakan suatu sindroma dengan berbagai macam etiologi, inflamasi
bronkial nonspesifik, namun terutama infeksi virus
• Dikatakan bronchitis akut jika batuk produktif terjadi <3 bulan, sedangkan kronik
jika ≥3 bulan setiap tahun selama ≥2 tahun
• Gejala yang terdapat pada bronchitis akut berupa demam dan malaise, yang terjadi
setelah atau tanpa didahului oleh infeksi saluran napas atas (ISPA).
• Jika diawali oleh ISPA, biasanya setelah 3-4 hari anak akan mulai mengalami batuk
kering yang semakin lama semakin sering dan mulai menjadi produktif (berdahak).
Batuk kemudian akan bertahan selama 1-3 minggu.
• Dahak yang dihasilkan awalnya berwarna keputihan dan lama kelamaan bisa
menjadi purulen. Karena anak cenderung menelan dahaknya, maka seringkali bisa
terjadi emesis.
• Batuk yang semakin sering pada anak juga meningkatkan kerja dari otot-otot dada
sehingga anak seringkali juga mengalami nyeri pada area dada selama 5-10 hari,
namun keluhan ini akan perlahan-lahan hilang apabila batuk juga sudah berkurang.
• Seluruh episode ini biasanya akan hilang setelah 2 minggu, atau bisa bertahan
sampai lebih dari 3 minggu namun <3 bulan.
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
Bronchitis akut
• Pemeriksaan fisik pada beberapa hari pertama dapat tidak ditemukan
kelainan, namun saat sudah semakin berkembang (batuk menjadi
lebih sering dan produktif) dapat ditemukan rhonki maupun
wheezing.
• Pada pemeriksaan radiologi thorax juga tidak spesifik, hanya
menunjukkan peningkatan corakan bronkovaskular
• Hal yang perlu digarisbawahi untuk bronchitis adalah menyingkirkan
kemungkinan lain terlebih dahulu (pneumonia, asma, dll)
• Tatalaksana: tidak ada terapi spesifik, hanya konservatif. Dapat
diberikan antibiotik jika memang terbukti ada infeksi bakteri.
Penggunaan antitusif dapat digunakan namun pertimbangkan
kemungkinan pembentukan supurasi oleh karena pengeluaran
sputum ditekan
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
25. Tertelan Benda Asing (Foreign
Body Ingestions)
• Foreign body ingestions (FBIs) pada anak anak
biasanya tidak sengaja/kecelakaan, melibatka
benda benda umum di rumah misalnya mainan,
koin, perhiasan, magnet, batere
• FBI will be categorized into the following major
groups:
– button batteries (BBs),
– magnets, sharp/pointed objects,
– food impaction, coins/blunt objects, and
superabsorbent objects
Kramer R. Management of Ingested Foreign Bodies in Children: A Clinical Report of the NASPGHAN Endoscopy Committee. JPGN
Volume 60, Number 4, April 2015
Daerah Penyempitan
Esofagus
• Esofagus mempunyai tiga penyempitan
fisiologis yang menyebabkan benda
asing tersangkut di esofagus.
– Daerah setinggi muskulus krikofaringeal
atau setinggi sfingter faringoesofagus,
dimana pertemuan antara serat otot
striata dan otot polos menyebabkan daya
propulsif melemah. (70% kasus)
– Daerah penyempitan kedua disebabkan
oleh persilangan cabang utama bronkus
kiri dan arkus aorta (15% kasus)
– Sekitar 15% di atas sfingter esofagus
bagian bawah atau sfingter esofagogastrik
Ingested Foreign Body
• Symptoms : • Management:
– stridor, pain, – If an object is in the esophagus,
– drooling, fussiness, chest removal is considered
pain, mandatory.
– abdominal pain, fever, – The airway should be protected
– Feeding refusal, with an endotracheal tube
during removal, particularly
– wheezing, and critical if the patient has been
– respiratory distress fasting for <8 hours.
– Depending on the position of the
object and the nil per os (NPO)
status of the patient, removal by
anesthesia with McGill forceps
or by ENT with a rigid scope may
be alternatives to endoscopic
removal
Kramer R. Management of Ingested Foreign Bodies in Children: A Clinical Report of the NASPGHAN Endoscopy Committee. JPGN
Volume 60, Number 4, April 2015
Esophageal Foreign Body
• Plain radiographs are indicated for every patient with a known or suspected
radiopaque foreign body in the oropharynx, esophagus, stomach, or small
intestine.
• Plain radiographs are also mandated for children in whom any ingestion
of a radiopaque foreign body is suspected.
• Keep in mind, however, that in cases of nonradiopaque foreign bodies,
imaging studies rarely have any influence on management, except in
delaying endoscopy or CT scanning.
• In small children, a mouth-to-anus radiograph can be obtained. In older
children and adults, posteroanterior (PA) and lateral chest radiographs
provide better localization.
• Radiopaque objects are easily seen and localized on the radiograph.
• Coins are usually seen in a coronal alignment on anteroposterior (AP), or
frontal, radiographs (examples of a lodged coin are shown in the
radiographs below).
Coin lodged at the level of the
aortic crossover.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5903088/
Endoscopy
• Emergent endoscopy is indicated for patients whose airway
is compromised or who show signs of complications.
• Endoscopy is absolutely indicated for foreign bodies that
are sharp, nonradiopaque, or elongated; for multiple
foreign bodies; or for possible esophageal injuries.
• Endoscopy is the most commonly used technique for active
management of impacted esophageal foreign bodies.
• Endoscopy is indicated for patients with foreign bodies in
the stomach or proximal duodenum if the foreign bodies
are larger than 2 cm in diameter or longer than 5-7 cm or
for oddly shaped foreign bodies such as open safety pins.
26. Pendekatan Anemia pada anak
• Anemia (WHO):
– A hemoglobin (Hb) concentration 2 SDs below the mean Hb
concentration for a normal population of the same gender and
age range
• US National Health and Nutrition Examination Survey (1999 –
2002)→ anemia:
– Hb concentration of less than 11.0 g/dL for both male and female
children aged 12 through 35 months
Robert D. Barker, Frank R. Greer, and The Committee of Nutrition. Diagnosis and Prevention of Iron Defiency and Iron Anemia i n Infants and Young Children (0-3 years of Age.
Pediatrics 2010; 126; 1040.
Pendekatan Anemia pada anak
• idai
Anemia Defisiensi Besi
Etiologi
• Bayi di bawah 1 tahun • Anak umur 2-5 tahun
– Persediaan besi yang – Diet rendah heme
kurang karena BBLR, lahir – Infeksi berulang/menahun
kembarm ASI eksklusif – Perdarahan berlebihan
tanpa suplementasi, susu karena divertikulum
formula rendah besi, meckel
pertumbuhan cepat,
anemia selama kehamilan • Umur 5 tahun – remaja
• Anak umur 1-2 tahun – Poliposis
– Tidak mendapat MPASI – Kehilangan besi karena
– Kebutuhan meningkat perdarahan e.c
karena infeksi berulang parasit/infeksi
– Malabsorbsi • Remaja dewasa
– Menstruasi berlebihan
Manifestasi Klinis
• Anamnesis • Pemeriksaan fisik
– Pucat yang berlangsung – Pucat tanpa tanda – tanda
lama (kronik) perdarahan
– Gejala komplikasi : lemas, – Limpa dapat membesar
sariawan, fagofagia, namun umumnya tidak
penurunan prestasi belajar, teraba
menurunnya daya dahan – Koilonikia, glositis. Dan
tubuh terhadap infeksi dan stomatitis angularis
gangguan perilaku
– Terdapat faktor predisposis
dan faktor penyebab
Pemeriksaan Penunjang
Profil Zat Besi
• Ferritin • Total iron binding capacity
– ferritin : intracellular protein – is a measurement of the maximum
which safely stores excess iron. amount of iron that can be carried.
– Tiny amounts of ferritin can be – Indirect measurement of transferrin.
detected in serum measured
surrogate for body iron stores
– Serum ferritin shows an acute • Transferrin saturation
phase response and can be – The most useful test in assessing iron
elevated in a variety of supply to the tissues
inflammatory, metabolic, hepatic – Transferrin is a glycoprotein synthesised in
and neoplastic disorders
difficult to recognise iron the liver and is responsible for the
deficiency in patients with transportation of iron (Fe3+) in serum
inflammatory disorders – In iron deficiency anaemia the serum iron
– normal range for serum ferritin is level falls. As a result the liver is stimulated
generally regarded as 15- to synthesise more transferrin and the
300μg/l. transferrin saturation falls (usually <15%).
– Transferrin saturation is obtained by the
following formula: serum iron x 100 ÷ TIBC
Normal range 25–50%,
• Serum iron concentration
– is a measurement of circulating iron (Fe³+) bound
to transferrin
– Only 0.1% of total body iron is bound to
transferrin at any one time
Diagnosis
Penatalaksanaan
• Pengobatan harus dimulai pada stadium dini (pada stadium deplesi besi
atau kekurangan besi) untuk mencegah terjadinya ADB
• Tatalaksana etiologi dan terapi preparat zat besi atau bila perlu diberikan
transfusi PRC
• Pemberian Zat Besi :
– Preparat besi diberikan sampai kadar Hb normal dilanjutkan sampai
terpenuhi bentuk fero lebih mudah diserap
• Pemberian parenteral diberikan bila pemberian
oral gagal, misalnya akibat malabsorbsi, atau efek
samping berat pada saluran cerna
• Evaluasi hasil pengobatan periksa Hb,
retikulosit seminggu sekali, SI dan feritin
seminggu sekali
• Terapi diteruskan hingga 2 bulan Hb normal tanpa
pemeriksaan SI dan feritin
• Transfusi hanya diberikan bila Hb<6 g/dL atau
kadar Hb ≥6 g/dl disertai lemah, gagal jantung,
infeksi berat atau akan menjalani operasi
transfusi PRC
Tatalaksana
• Fe oral
– Aman, murah, dan efektif
– Enteric coated iron tablets tidak dianjurkan karena
penyerapan di duodenum dan jejunum
– Beberapa makanan dan obat menghambat penyerapan
o Jangan bersamaan dengan makanan, beberapa antibiotik, teh,
kopi, suplemen kalsium, susu. (besi diminum 1 jam sebelum atau
2 jam setelahnya)
o Konsumsi suplemen besi 2 jam sebelum atau 4 jam setelah
antasida (kondisi lambung yang basa akan menghambat absorbsi
besi)
o Tablet besi paling baik diserap di kondisi asam konsumsi
bersama 250 mg tablet vit C atau jus jeruk meningkatkan
penyerapan
Tatalaksana
PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1
Tatalaksana Awal
• Amankan airway, breathing, • Dehidrasi dianggap lebih dari 10%
circulation: atau berat jika terdapat nadi yang
• Nilai kesadaran menggunakan GCS lemah, hipotensi, dan oliguria.
(Glasgow Coma Scale). • Mengingat derajat dehidrasi dari
• Timbang berat badan pasien klinis sangat subyektif dan
seringkali tidak akurat maka
• Nilai derajat dehidrasi
direkomendasikan bahwa pada
• Dehidrasi dianggap sedang jika KAD sedang dehidrasinya adalah
dehidrasinya mencapai 5%-9%, tanda- 5-7% sedangkan pada KAD berat
tanda dehidrasi meliputi: derajat dehidrasinya adalah 7-
• Capillary refill memanjang, Turgor 10%.
menurun, Hiperpnea, serta adanya
tanda-tanda dehidrasi seperti
membran mukus yang kering, mata
cekung, dan tidak ada air mata.
PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1
Tatalaksana Awal
• Evaluasi klinis apakah terdapat • Pemeriksaan tambahan lain yang
infeksi atau tidak. diperlukan adalah serum kreatinin,
• Ukur kadar glukosa darah dan osmolalitas plasma, serum
kadar beta hidroksi butirat/BOHB albumin, fosfor, dan magnesium.
(atau keton urin) dengan alat • Periksa HbA1c.
bedside. • Lakukan pemeriksaan urinalisis.
• Lakukan pengambilan sampel • Jika terdapat demam atau tanda
darah untuk pemeriksaan infeksi lainnya lakukan kultur
laboratorium (darah,
• setidaknya glukosa plasma, • urin, atau kultur dari spesimen
elektrolit serum (perhitungan lainnya) sebelum pemberian
anion gap), analisis gas darah (pH, antibiotik.
HCO3 dan pCO2) vena, kadar • Lakukan EKG jika hasil
BOHB, dan darah tepi lengkap. pemeriksaan elektrolit tertunda.
Cairan dan elektrolit
• Defisit cairan dan elektrolit harus diganti.
• Apabila terjadi renjatan, berikan NaCl 0,9% atau RL 20
ml/kgBB dan dapat diulangi sampai renjatan teratasi.
• Rehidrasi awal harus segera dimulai dengan cairan
isotonik (NaCl 0,9%) paling tidak selama 4-6 jam.
• Setelah itu, penggantian cairan harus dengan cairan
yang memiliki tonisitas sama atau lebih dari 0,45%
dengan ditambahkan kalium klorida, kalium fosfat atau
kalium asetat.
• Rehidrasi selanjutnya dilakukan dalam kurun waktu 48
jam dengan memperhitungkan sisa de sit cairan
ditambah kebutuhan cairan rumatan untuk 48 jam.
Insulin
• Mulai pemberian insulin 1-2 jam setelah pemberian cairan.
Pemberian insulin sejak awal tata laksana meningkatkan risiko
hipokalemia.
• Jenis insulin yang boleh diberikan adalah short acting atau rapid
acting
• Rute pemberian insulin adalah intravena (IV).
• Dosis insulin yang digunakan: 0,05-0,1 U/kgBB/jam.
• Insulin bolus tidak diperlukan pada tata lakasana KAD pediatrik
• Untuk mencegah penurunan glukosa darah yang terlalu cepat selama
asidosis belum teratasi maka tambahkan cairan Dektrosa 5% dalam
cairan intravena (Dekstrosa 5% ditambahkan pada NaCl 0,9% atau
0,45%) jika kadar glukosa plasma turun menjadi 250-300 mg/dL (14-
17 mmol/L).
Kalium
• Pada pemeriksaan darah, kadar kalium plasma dapat normal, meningkat,
atau menurun meskipun kadar total kalium tubuh menurun.
• Pada semua pasien KAD perlu koreksi kalium, kecuali jika terdapat gagal
ginjal.
• Jika pasien hipokalemia: mulai pemberian kalium saat resusitasi cairan awal
sebelum pemberian insulin atau berikan setelah cairan resusitasi bersamaan
dengan mulai pemberian insulin.
• Jika hiperkalemia (K+>6 mEq/L): tunda pemberian kalium sampai diuresis
normal.
• Kalium dapat diberikan dengan konsentrasi 40 mEq/L Contoh: (kalium fosfat
diberikan 20 mEq/L + kalium klorida juga 20 mEq/L)
• Selanjutnya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan kadar kalium plasma.
PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1
Asidosis
• Teratasi dengan pemberian cairan dan insulin.
• Terapi bikarbonat dapat menyebabkan
asidosis SSP paradoksikal dan meningkatkan
risiko terjadinya hipokalemia.
• Bikarbonat dapat digunakan pada kondisi
hiperkalemia berat atau jika pH darah < 6,8
• Dosisnya adalah 1-2 mEq/kg BB diberikan IV
selama lebih dari 60 menit.
PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1
28. Leukemia
CLL CML ALL AML
The bone marrow makes abnormal leukocyte dont die when they
should crowd out normal leukocytes, erythrocytes, & platelets. This
makes it hard for normal blood cells to do their work.
Prevalence Over 55 y.o. Mainly adults Common in Adults &
children children
Symptoms & Grows slowly may Grows quickly feel sick & go to
Signs asymptomatic, the disease is found their doctor.
during a routine test.
Fever, swollen lymph nodes, frequent infection, weak,
bleeding/bruising easily, hepatomegaly/splenomegaly, weight loss,
bone pain.
Lab Mature Mature granulocyte, Lymphoblas Myeloblast
lymphocyte, dominant myelocyte t >20% >20%, aeur rod
smudge cells & segment may (+)
Therapy Can be delayed if asymptomatic Treated right away
CDC.gov
• More common in AML
Leukemia
– Leukostasis (when blas count
>50.000/uL): occluded
microcirculationheadache,
blurred vision, TIA, CVA,
dyspnea, hypoxia
• Jenis leukemia yang paling – DIC (promyelocitic subtype)
sering terjadi pada anak-anak – Leukemic infiltration of skin,
adalah Acute Lymphoblastic gingiva (monocytic subtype)
Leukemia (ALL) dan Acute – Chloroma: extramedullary
Myelogenous Leukemia tumor, virtually any location.
(AML) • More common in ALL
• ALL merupakan keganasan yg – Bone pain, lymphadenopathy,
paling sering ditemui pada hepatosplenomegaly (also
anak-anak (1/4 total kasus seen in
keganasan pediatrik) – monocytic AML)
• Puncak insidens ALL usia 2-5 – CNS involvement: cranial
tahun neuropathies, nausea,
vomiting, headache, anterior
mediastinal mass (T-cell ALL)
– Tumor lysis syndrome
AML VS ALL
AML ALL
Keterangan 6. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali
Cara membaca kolom umur: misal 2 u berarti mu r 2 bul an (60 har i) sd 2 bul an 29 har i (89 har i) dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januaril 2014 dan dapat diakses pada website IDAI (http : // booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada
idai.or.id/public-artices/kl ini k/i mu ni sasi /j adw al-imunisasi-anak-idai.html) anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2
1. Vaksin hepatit i s B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai
pemberian suntikan vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatit i s B diberikan sebelum umur 16 minggu danatidk melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus
dan imunoglobulin hepatit i s B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatit i s B pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2 dan ke-3, 4-10 minggu;
selanjutnya dapat menggunakan vaksinihepatit Bs mon o valen atau vaksin kombinasi. dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu).
2. Vaksin polio. Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral 8. Vaksin varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur
(OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis
OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. dengan interval minimal 4 minggu.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, a optiml umur 2 bulan. Apabila 9. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang
p setia tahun.
diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak umur kurang dari 9 tahun
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 - < 36 bulan, dosis 0,25 mL.
vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun 10. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin
diberikan vaksin Td, dibooster setia p 10 t ahun. HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan
5. Vaksin campak. Vaksin campak keduaa tidk perlu diberikan pada umur 24 bulan, apabila MMR interval 0,2,6 bulan.
sudah diberikan pada 15 bulan.
30. Atelectasis
• Kondisi bagian parenkim paru yang tidak terisi udara serta kolaps,
menyebabkan berkurangnya volume serta kapasitas paru
• Obstruksi jalan napas instrinsik menjadi penyebab paling sering
atelektasis pada anak
• Etiologi obstruksi jalan napas intrinsic:
– Asma penyebab paling sering
– Bronchiolitis
– Aspirasi karena gangguan menelan
– Tuberkulosis endobronkial
– Aspiration dari refluks gastroesofagus
– Cystic fibrosis
– Peningkatan atau sekresi jalan napas abnormal karena penyebab lain
– Mucus plug
Pozzo et.al. Children with pulmonary atelectasis: clinical outcome and characterization of physical therapy. Maringá, v. 35, n. 2, p. 169-173, July-
Dec., 2013
Atelektasis
Etiology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negative organisms
Legionella
Bronchiolitis
The x-ray shows lung hyperinflation with a flattened diaphragm and opacification in the right lung apex (red circle) and left
lung base (blue circle) from atelectasis. Obviously, the same changes can be seen in the x-ray of a child with acute asthma.
This is one reason why children with acute asthma are often misdiagnosed as having pneumonia.
31. HERNIA DIAFRAGMA
PATHOGENESIS
Pulmonary hypertension vicious cycle of progressive
resulting from these hypoxemia, hypercarbia,
arterial anomalies leads acidosis, and pulmonary
to right-to-left shunting hypertension observed in the
at atrial and ductal neonatal period
levels
+
+ +
http://emedicine.medscape.com/article/925446-treatment#a1156
Gigantisme
Pemeriksaan Tatalaksana
• Laboratorium • Pengobatan
– Growth Hormon – Analog somatostatin
– IGF-I pemeriksaan lab paling
baik karena pengeluaran oleh – Agonis reseptor dopamin
tubuh tidak bersifat pulsatil – Antagonis reseptor GH
• Imaging – Radiasi
– Radiografi • Operasi transphenoidal
– CT Scan
– MRI
• Histologi
– Untuk menemukan adenoma/
karsinoma/ hiperplasia
33. Obat anti diare dan efek samping ileus
paralitik
Hypokalemia Hyperkalemia
PPM IDAI
http://emedicine.medscape.com/article/907757-treatment
36. Skor APGAR
Skor APGAR dievaluasi menit ke-1 dan menit ke-5
Tanda 0 1 2
A Activity (tonus Tidak ada tangan dan kaki aktif
otot) fleksi sedikit
• Tekanan parsial O2
dan CO2 dalam
alveolus dan darah
kapiler paru
ditentukan oleh
ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi
• Bila:
• Ventilasi-perfusi
PO2 darah kapiler
PCO2
Gagal Napas Tipe 1 (Oxygenation Failure)
• Tipe hipoksemik Mekanisme hipoksemia arterial
• Ditandai dengan tekanan parsial O2 • Penurunan tekanan parsial O2 dalam
arteri yang abnormal rendah (PaO2 alveolus
<60) – Hipoventilasi alveolar
• Bisa karena kelainan yang – Penurunan tekanan parsial O2 udara
menyebabkan rendahnya ventilasi inspirasi
perfusi (V-Q mismatch) atau shunting – Underventilated alveolus (areas of low
ventilation-perfusion)
intrapulmoner dari kanan ke kiri
• Penyebab masalah di oksigenasi: V- • Shunting intrapulmoner (areas of
Q mismatch/ Shunt zero ventilation-perfusion)
– Adult respiratory distress syndrome (ARDS) • Penurunan mixed venous O2
– Asthma content (saturasi haemoglobin yang
– Pulmonary oedema rendah)
– Chronic obstructive pulmonary disease – Peningkatan kecepatan metabolisme
(COPD)
– Penurunan cardiac output
– Interstitial fibrosis
– Penurunan arterial O2 content
– Pneumonia
– Pneumothorax
– Pulmonary embolism
– Pulmonary hypertension Neema, Praveen Kumar. Respiratory failure. Indian
J. Anaesth. 2003; 47 (5) : 360-366
Gagal Napas Tipe 2 (Ventilatory Failure)
Penyebab
• Type II or Hypercapnic
(PaCO2 >45): Failure to • Disorders affecting central ventilatory drive
exchange or remove carbon – Brain stem infarction or haemorrhage
dioxide – Brain stem compression from supratentorial mass
• Tekanan parsial CO2 arteri – Drug overdose, Narcotics, Benzodiazepines,
mencerminkan efesiensi Anaesthetic agents etc.
mekanisme ventilasi yang • Disorders affecting signal transmission to the
membuang CO2 dari hasil respiratory muscles
metabolism jaringan. – Myasthenia Gravis
• Disebabkan oleh kelainan – Amyotrophic lateral sclerosis
yang menurunkan central – Gullain-Barrè syndrome
respiratory drive, – Spinal –Cord injury
mempengaruhi tranmisi – Multiple sclerosis
sinyal dari CNS, atau • Disorders of respiratory muscles or chest-wall
hambatan pada otot – Muscular dystrophy
respirasi untuk – Polymyositis
mengembangkan dinding – Flail Chest
dada.
Neema, Praveen Kumar. Respiratory failure. Indian J. Anaesth. 2003; 47 (5) : 360-366
Kriteria gagal napas akut
Bila ada 2 dari 4 kriteria di bawah ini:
1. Terdapat dyspnea/ sesak akut
2. PaO2 < 50 mmHg pada saat bernapas dalam udara
ruangan
3. PaCO2 > 50 mmHg
4. pH darah arteri yang sesuai dengan asidosis respiratorik
(pH≤7,2)
Liamins G. et al. A Review of Drug-Induced Hyponatremia. American Journal of Kidney Diseases, Vol 52, No 1 (July), 2008: pp 144-153
Loop Diuretics
• Lebih jarang menyebabkan hiponatremi
Inhibiting sodium
Reduce the Impair both the
chloride
osmolarity of the renal concentrating
reabsorption in the
medullary and diluting
thick ascending limb
interstitium mechanisms
of the loop of Henle
Liamins G. et al. A Review of Drug-Induced Hyponatremia. American Journal of Kidney Diseases, Vol 52, No 1 (July), 2008: pp 144-153
Thiazide Diuretics
• Diuretik penyebab hiponatremi tersering.
Do not interfere
with urinary
Critical point for the
Acting solely in the concentration and
development of
distal tubules the ability of ADH to
hyponatremia
promote water
retention
Liamins G. et al. A Review of Drug-Induced Hyponatremia. American Journal of Kidney Diseases, Vol 52, No 1 (July), 2008: pp 144-153
Thiazide vs Loop Diuretics
http://www.pbfluids.com/2014_12_01_archive.html
Electrolyte: hyponatremia
• Natrium concentration is influenced by the balance of natrium
& water in the body.
Diagnosis
• Kariotipe pemeriksaan analisis kromosom
• Normal: 23 pasang kromosom total 46 kromosom
• Kromosom seks laki-laki adalah 46XY
sedangkan perempuan 46XX.
• Pada Turner Syndrome, terjadi kehilangan
total/sebagian kromosom X pada beberapa
atau seluruh sel tubuh sehingga individu
tersebut hanya memiliki 45 kromosom (45XO,
O melambangkan kromosom yang hilang
monosomi X)
Turner Syndrome: Pemeriksaan Penunjang
1. Antenatal
• USG (fetomaternal): Tampak lipatan leher berlebih
pada janin dipastikan dengan Amniosentesis
• Chronic Villuos Sampling (CVS): Pengambilan bagian
dari plasenta awal
• Amniosentesis dan CVS chromosomal analysis
2. Postnatal
• Tes darah kariotipe
Turner Syndrome: Tatalaksana
Memicu Pubertas
• Sel indung telur tidak berfungsi terapi pengganti
estrogen, pemberian terapi estrogen tidak boleh ditunda
melewati usia 13.5 tahun bila memungkinkan
• Dosis awal estrogen sekitar 0.5 mg setiap 2 hari dan secara
bertahap ditingkatkan menjadi dosis dewasa 2 mg setiap
hari.
• Menstruasi pertama tambahkan progesteron. Diberikan
setiap bulan, bulan kedua, atau setiap bulan ketiga.
Pemberian progesteron setiap 12-14 hari penting untuk
pembersihan dinding rahim secara sempurna.
Turner Syndrome
• Infective Endocarditis:
Invasion and multiplication of microorganisms on the
endocardial surface, within the endocardium, within
the myocardium, or on prosthetic materials within
and around cardiac structures.
• Acute Endocarditis: • Healed Endocarditis: A surgical
A severe form of infective term indicating an operation
endocarditis. It can become life carried out in the absence of
threatening within days. obvious local cardiac infection.
• Subacute Endocarditis:
A form of infective endocarditis • Native Valve Endocarditis:
that develops subtly over a period Infectious endocarditis involving
of weeks to several months. It a patient’s own (native) heart
may produce symptoms for valve
months before heart valve
damage or emboli make the
diagnosis clear. • Prosthetic Valve Endocarditis:
• Active Endocarditis: Infectious endocarditis involving
a surgically implanted prosthetic
A surgical term indicating an
heart valve
operation carried out in the
presence of obvious local cardiac
infection (< 2 weeks antibiotics
therapy)
Etiologi & sumber infeksi
• Kerusakan endotel
katup
• Pembentukan trombus
fibrin-trombosit
• Perlekatan bakteri pada
plak trombus-trombosit
• Proliferasi bakteri lokal
dengan penyebaran
hematogen
Manifestasi klinis: Endokarditis infektif
http://emedicine.medscape.com/article/216650-overview
Endokarditis Bakterialis
CLINICAL FEATURE & DIAGNOSTIC
European Society of Cardiology 2015 modified criteria
CLINICAL FEATURE
Minor Criteria
https://bestpractice.bmj.com/topics/en-us/93/diagnosis-approach
44. Pubertas Prekoks
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan
Etiologi
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan
Gejala + Tanda
GnRH Dependent Precoccious GnRH Independent Precoccious
Puberty Puberty
• Selalu isoseksual • Isoseksual atau heteroseksual
• perkembangan tanda-tanda (late onset CAH, tumor
pubertas adrenal)
• mengikuti pola stadium • perkembangan seks sekunder
pubertas normal tidak sinkron (volume testes
• gambaran hormonal: tidak sesuai dengan stadium
peningkatan aktivitas pubertas - lebih kecil)
hormonal di seluruh poros • peningkatan kadar seks steroid
tanpa disertai peningkatan
kadar GnRH dan LH/FSH
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan
Gejala Klinis akibat Peningkatan
Hormon Seks Steroid
• Efek estrogen →
– ”tall child but short adult” -
karena penutupan epifisis
tulang dini
– ginekomastia
• Efek testosteron
– hirsutism
– Acne
– male habitus
• Efek umum
– sexual behavior
– agresif
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan
Stadium Tanner
PENDEKATAN PUBERTAS PREKOKS PADA
PEREMPUAN
Anamnesis
Ikterus baru terlihat bila kadar bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL.
Ikterus pada neonatus merupakan sesuatu yang unik dan membutuhkan
perhatian khusus, karena:
↓ ikatan bilirubin
intrahepatosit
↓sekresi bilirubin
↓ekskresi bilirubin
Etiologi
Ikterus Neonatorum
• Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis.
• Ikterus fisiologis:
– Awitan terjadi setelah 24 jam
– Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB)
– Ikterus fisiologis berlebihan → ketika bilirubin serum puncak adalah 7-15
mg/dl pada NCB
• Ikterus non fisiologis:
– Awitan terjadi sebelum usia 24 jam
– Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam
– Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
– Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB
– Tanda penyakit lain
• Gangguan obstruktif menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai
bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total
bilirubin jika bil total >5mg/dL. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista
duktus koledokus.
OBSTRUKSI
Urin warna
teh
Feses warna
Tidak ada bilirubin direk yg menuju usus
Dempul
Kolestasis (Cholestatic Liver Disease)
• Definisi : Keadaan bilirubin direk > 1 mg/dl bila bilirubin total < 5
mg/dl, atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar
bil.total >5 mg/dl
• Kolestasis : Hepatoselular (Sindrom hepatitis neonatal) vs Obstruktif
(Kolestasis ekstrahepatik)
• Sign and Symptom : Jaundice, dark urine and pale stools,
nonspecific poor feeding and sleep disturbances, bleeding and
bruising, seizures
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
Atresia Bilier
• Merupakan penyebab kolestasis tersering dan serius pada bayi yang
terjadi pada 1 per 10.000 kelahiran
• Ditandai dengan adanya obstruksi total aliran empedu karena destruksi
atau hilangnya sebagian atau seluruh duktus biliaris. Merupakan proses
yang bertahap dengan inflamasi progresif dan obliterasi fibrotik saluran
bilier
• Etiologi masih belum diketahui
• Tipe embrional 20% dari seluruh kasus atresia bilier,
– sering muncul bersama anomali kongenital lain seperti polisplenia, vena porta
preduodenum, situs inversus dan juga malrotasi usus.
– Ikterus dan feses akolik sudah timbul pada 3 minggu pertama kehidupan
• Tipe perinatal yang dijumpai pada 80% dari seluruh kasus atresia bilier,
ikterus dan feses akolik baru muncul pada minggu ke-2 sampai minggu ke-
4 kehidupan.
Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007
Pemeriksaan Diagnostik Atresia Bilier
• USG: pembesaran hati, tidak ada dilatasi bilier,
panjang kandung empedu < 1,5 cm, kolaps
tidak berlumen atau tidak terlihat. Selain itu
kontraktilitas kandung empedu rendah atau
tidak ada kontraksi, yang dinilai setelah puasa
4 jam, triangular cord sign
• Kriteria diagnostic: TC sign dengan ketebalan >
4 mm. Selain itu pada atresia biliaris tipe kistik
dapat dilihat adanya kista pada porta hepatis
Pemeriksaan Diagnostik Atresia Bilier
• Biopsi hati
• HIDA Scan (Hepatobiliary
scintigraphy)digunakan untuk menilai fungsi
sistem hepatobilier dan menganalis fungsi dari
keduanya.
• ERCP, PTC
• Gold standard: kolangiografi intraoperatif
Triangular Cord Sign in USG
• The triangular cord sign is a triangular or tubular
echogenic cord of fibrous tissue seen in the porta
hepatis at ultrasonography and is relatively specific in
the diagnosis of biliary atresia.
Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007
46. Tatalaksana Tersedak
Algoritma
penanganan
tersedak anak
https://www.resus.org.uk/resuscitation-guidelines/paediatric-basic-life-
support/#choking
Cricothyroidotomy/ Cricothyrotomy
• Jalan napas buatan dengan
insisi pada membran krikoid
• Diindikasikan pada situasi
dimana usaha lain untuk
mempertahankan jalan
napas gagal
– Trauma yg meliputi daerah
oral, faringeal, atau nasal
– Spasme otot wajah atau
laringospasme
– Stenosis jalan napas atas
– Gigi yg terkatup
– Obstruksi jalan napas: edema
orofaringeal (anafilaksis),
obstruksi benda asing
POSISI KRIKOTIROTOMI
Krikotirotomi VS Trakeostomi
• Cricotirotomi:
– biasa dilakukan pada kasus
emergensi/ darurat krn lbh
mudah utk dilakukan
– Insisi pada membran krikoid
• Trakeostomi:
– untuk jangka waktu lama
– Insisi di antara cincin trakea
POSISI TRAKEOSTOMI
47. Hormon tiroid dan hipotiroid
kongenital
• Thyroid Function:
– normal brain growth and myelination and for normal neuronal
connections.
– The most critical period fis the first few months of life.
• The thyroid arises from the fourth branchial pouches.
• The thyroid gland develops between 4 and 10 weeks' gestation.
• By 10-11 weeks' gestation, the fetal thyroid is capable of producing
thyroid hormone.
• By 18-20 weeks' gestation, blood levels of T4 have reached term levels.
• The fetal pituitary-thyroid axis is believed to function independently of
the maternal pituitary-thyroid axis.
http://emedicine.medscape.com/article/919758-overview#aw2aab6b2b2aa
http://www.montp.inserm.fr/u632/images/TR-CAR1.gif
Hipotiroid Kongenital
• Hipotiroid kongenital adalah kelainan fungsi dari
kelenjar tiroid yang didapat sejak bayi baru lahir.
• Kondisi ini dapat terjadi karena kelainan anatomi
atau gangguan metabolisme pembentukan hormon
tiroid atau defisiensi iodium.
• Thyroid Releasing Hormone (TRH), iodium dan
hormone tiroksin (T4) bisa melewati plasenta
• Namun, antibodi (TSH receptor antibody) dan obat
anti tiroid yang dimakan ibu, juga dapat melewati
plasenta. Akan tetapi TSH dari ibu, tidak bisa
melewati plasenta.
1. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes Foundation. 2009
2. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM tipe-1). RSCM. 2007
Diabetes melitus tipe 1
• Terjadi akibat kerusakan sel beta pancreas defisiensi
insulin absolut
• Meliputi 90% diabetes pada anak dan remaja
• Penyebab:
– Autoimun : cellular mediated autoimmune. Marker
autoimun: islet cell autoantibodies, autoantibodi terhadap
insulin (IAA), autoantibodies to GAD (GAD65), autoantibodi
terhadap tyrosine phosphatases IA-2 dan IA-2β, serta
autoantibodi terhadap zinc transporter 8 (ZnT8)
– Idiopatik
• Tidak termasuk kerusakan beta pancreas akibat kondisi
khusus: defek mitokondria, cystic fibrosis
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
VTP
• Peralatan yang digunakan untuk VTP adalah:
– Self inflating bag (balon mengembang sendiri)
– Flow inflating bag (balon tidak mengembang sendiri)
– T-piece resuscitator
• Dalam 30 detik dilakukan VTP 20-30 kali,
mengikuti pernafasan bayi 40-60x/menit
• Pada permulaan resusitasi, oksigen tidak
dibutuhkan secara rutin. Namun bila terjadi
sianosis selama resusitasi boleh ditambahkan
oksigen
Teknik Ventilasi dan Kompresi
• Kompresi dada
• Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari
60 per menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik.
Untuk neonatus, rasio kompresi: ventilasi = 3:1 (1/2 detik untuk
masing-masing).
• Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai
secara periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai
frekuensi denyut jantung sama atau lebih dari 60 per menit.
• Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman
1/3 dari diameter antero-posterior dada.
• Teknik kompresi: (1) teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari
melingkari dada dan menyokong bagian punggung, (2) teknik kompresi
dengan dua jari dimana tangan lain menahan bagian punggung
• Pada kompresi, dada harus dapat berekspansi penuh sebelum
kompresi berikutnya, namun jari yang melakukan kompresi tidak boleh
meninggalkan posisi di dada.
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
52. DENGUE FEVER (DF) & DENGUE
HEMORRHAGIC FEVER (DHF)
• Disebabkan oleh virus flavivirus dengan 4 serotipe DE-1, DEN-
2, DEN-3, DEN-4 melalui nyamuk aedes aegypti atau aedes
albopictus
• DEN-2 merupakan serotipe yang paling tinggi risiko infeksi
DHF
• Demam akut 2-7 hari dengan 2 atau lebih gejala berikut:
– Nyeri kepala
– Nyeri retroorbita
– Myalgia/arthralgia
– Ruam
– Manifestasi perdarahan
– Leukopenia
Shock
Bleeding
Pemeriksaan Penunjang
Serologi Dengue
• NS1:
– antigen nonstructural untuk replikasi virus yang dapat dideteksi sejak
hari pertama demam.
– Puncak deteksi NS1: hari ke 2-3 (sensitivitas 75%) & mulai tidak
terdeteksi hari ke 5-6.
Premature 120-170 *
0-3 mo 100-150 *
3-6 mo 90-120 http://web.missouri.edu/~proste/lab/vitals-peds.pdf
6-12 mo 80-120
1-3 yr 70-110
3-6 yr 65-110
6-12 yr 60-95
12 > yr 55-85
Kleigman, R.M., et al. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Saunders, 2011. 1Soldin, S.J., Brugnara, C., & Hicks, J.M. (1999). Pediatric
* From Dieckmann R, Brownstein D, Gausche-Hill M (eds): Pediatric Education for Prehospital reference ranges (3rd ed.). Washington, DC: AACC Press.
Professionals. Sudbury, Mass, Jones & Bartlett, American Academy of Pediatrics, 2000, pp 43-45. http://wps.prenhall.com/wps/media/objects/354/36284
† From American Heart Association ECC Guidelines, 2000. 6/London%20App.%20B.pdf
53. Kolera
• Infeksi usus oleh Vibrio cholerae
– Bakteri anaerobik fakultatif,
– batang gram negatif yang melengkung
berbentuk koma,
– tidak membentuk spora
– Memiliki single, sheathed, polar flagellum
• Gejala klinis (sangat cepat (24-48 jam)):
– Diare sekretorik profuse, tidak berbau,
bersifat tidak nyeri, seperti warna air
cucian beras
– Muntah tidak selalu ada
– Dehidrasi berlangsung sangat cepat,
dengan komplikasi gagal ginjal akut, syok,
dan kematian
– Abdominal cramps
V. cholerae
activation of ion
accumulates in increase cAMP
channels
stomach
Reduced susceptibility to
fluoroquinolones has been reported in
Fluoroquinolo 20 mg/kg (single Asia and Africa[2,3]. Not
Ciprofloxacin 1 g (single dose)
nes dose)
recommended for pregnant women
and children less than 18 years.
Guidelines for Cholera Treatment with Antibiotics
RECOMMENDATION DOC ALTERNATE DOC FOR SPECIAL
POPULATIONS
Erythromycin or
azithromycin DOC for
Ab for cholera pregnant women and
patients with Ciprofloxacin children
PAHO Doxycycline Ciprofloxacin &
moderate or severe Azithromycin
dehydration doxycycline as
second-line for
children
Ab for severely Erythromycin
dehydrated patients Cotrimoxazole
MSF Doxycycline Chloramphenico
only
l
54. Diare dan Intoleransi Laktosa
• Klasifikasi diare berdasarkan Patofisiologi
– Osmotic diarrhea
• Bila di lumen usus ada bahan yang secara osmotik aktif & sulit diserap
diare.
• Penyebab: larutan isotonik, air atau bahan yang larut melewati mukosa
usus halus tanpa diabsorbsi diare
– Secretoric diarrhea
• Sekresi air & elektrolit ke usus halus akibat gangguan absorpsi Na+ oleh
vilus saluran cerna, sedangkan sekresi Cl- tetap berlangsung/ meningkat
air & elektrolit keluar dari tubuh sebagai tinja cair
• Penyebab: toksin E.coli atau V.cholera
– Inflammatory/ exudative diarrhea
• Keruskaan enterocyte akibat inflamasi serta banyak eksudat inflamatorik
meningkatkan volume tinja dan frekuensinya, serta ganggu absorpsi
elektrolit dan cairan
• Penyebab: IBD, infeksi invasive seperti shigella, salmonella
– Altered motility diarrhea
Osmotic Diarrhea
IN THE SMALL INTESTINE
Ingestion of non-absorbable solutes
IN THE COLON
Exogenous Endogenous
• Osmotic Laxatives • Congenital
– Specific Malabsorptive Disorders
• Antacids containing MgO or e.g Disaccharidase deficiencies
Mg(OH)2 – Generalized Malabsorptive
• Dietetic foods, candies and Diseases e.g
elixirs Abetalipoproteinemia
• Drugs e.g.: – Pancreatic insufficiency e.g cystic
fibrosis
– Colchicine
– Cholestyramine • Acquired
– Specific Malabsorptive Diseases
– Generalized Malabsorptive
Diseases
– Pancreatic insufficiency
– Celiac disease
– Infections
Intoleransi Laktosa
• Laktosa diproduksi oleh kelenjar payudara dengan kadar yang
bervariasi diantara mamalia.
• Susu sapi mengandung 4% laktosa, sedangkan ASI
mengandung 7% laktosa.
• Laktosa adalah disakarida yang terdiri dari komponen glukosa
dan galaktosa.
• Manusia normal tidak dapat menyerap laktosa, oleh karena itu
laktosa harus dipecah dulu menjadi komponen-komponennya.
• Hidrolisis laktosa memerlukan enzim laktase yang terdapat di
brush border sel epitel usus halus.
• Tidak terdapatnya atau berkurangnya aktivitas laktase akan
menyebabkan terjadinya malabsorpsi laktosa.
Defisiensi Laktase
• Defisiensi laktase dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu defisiensi
laktase primer dan defisiensi laktase sekunder
• Terdapat 3 bentuk defisiensi laktase primer, yaitu
– Developmental lactase deficiency
Terdapat pada bayi prematur dengan usia kehamilan 26-32 minggu. Kelainan
ini terjadi karena aktivitas laktase belum optimal.
– Congenital lactase deficiency
Kelainan dasarnya adalah tidak terdapatnya enzim laktase pada brush border
epitel usus halus. Kelainan ini jarang ditemukan dan menetap seumur hidup
– Genetical lactase deficiency
Kelainan ini timbul secara perlahan-lahan sejak anak berusia 2-5 tahun hingga
dewasa. Kelainan ini umumnya terjadi pada ras yang tidak mengkonsumsi susu
secara rutin dan diturunkan secara autosomal resesif
• Defisiensi laktase sekunder
– Akibat penyakit gastrointestinal yang menyebabkan kerusakan mukosa usus
halus, seperti infeksi saluran cerna.
– umumnya bersifat sementara dan aktivitas laktase akan normal kembali
setelah penyakit dasarnya disembuhkan.
Patogenesis
• Laktosa tidak dapat diabsorpsi sebagai disakarida,
tetapi harus dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa
dengan bantuan enzim laktase di usus halus.
• Bila aktivitas laktase turun atau tidak ada laktosa
tidak diabsorpsi dan mencapai usus bagian distal atau
kolon tekanan osmotik meningkat menarik air
dan elektrolit sehingga akan memperbesar volume di
dalam lumen usus diare osmotik
• Keadaan ini akan merangsang peristaltik usus halus
sehingga waktu singgah dipercepat dan mengganggu
penyerapan.
Patogenesis
• Di kolon, laktosa akan difermentasi oleh bakteri kolon
menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek lainnya
seperti asam asetat, asam butirat, dan asam propionat
Fenomena ini menerangkan feses yang cair, asam, berbusa dan
kemerahan pada kulit di sekitar dubur (eritema natum).
• Fermentasi laktosa oleh bakteri di kolon menghasilkan beberapa
gas seperti hidrogen, metan dan karbondioksida distensi
abdomen, nyeri perut, dan flatus.
• Selanjutnya, 80% dari gas tersebut akan dikeluarkan melalui rektum
dan sisanya akan berdifusi ke dalam sistem portal dan dikeluarkan
melalui sistem pernapasan.
• Feses sering mengapung karena kandungan gas yg tinggi dan juga
berbau busuk.
Gejala Klinis
• Intoleransi laktosa dapat bersifat • Gejala klinis yang diperlihatkan
asimtomatis atau dapat berupa rasa mual,
memperlihatkan berbagai gejala muntah, sakit perut, kembung
klinis dan sering flatus.
• Berat atau ringan gejala klinis • Rasa mual dan muntah
yang diperlihatkan tergantung merupakan gejala yang paling
dari aktivitas laktase di dalam sering ditemukan
usus halus, jumlah laktosa, cara • Pada uji toleransi laktosa rasa
mengkonsumsi laktosa, waktu penuh di perut dan mual timbul
pengosongan lambung, waktu dalam waktu 30 menit,
singgah usus, flora kolon, dan sedangkan nyeri perut, flatus
sensitifitas kolon terhadap dan diare timbul dalam waktu 1-
asidifikasi. 2 jam setelah mengkonsumsi
larutan laktosa
Pemeriksaan Penunjang
• Analisis tinja, prinsipnya ditemukan asam dan bahan pereduksi
dalam tinja setelah makan yg mengandung laktosa, ada 3 metode:
– Metode klini test (detects all reducing substances in stool; of primary
interest are glucose, lactose, fructose, galactose, maltose, and
pentose)
– Kromatografi tinja
– pH tinja tinja bersifat asam
• Uji toleransi laktosa: merupakan uji kuantitatif; memeriksa kadar
gula darah setelah konsumsi laktosa
• Pemeriksaan radiologis lactosa-barium meal
• Ekskresi galaktos pada urin
• Uji hidrogen napas metode pilihan pada intoleransi laktosa
karena bersifat noninvasif, memiliki sensitivitas dan efektivitas yang
tinggi
• Biopsi usus dan pengukuran aktivitas laktase
Clinitest
Method Principle
• Clinitest is a reagent tablet based on • Copper sulfate in Clinitest reacts
the Benedict's copper reduction with reducing substances in
reaction, combining reactive urine/stools converting cupric
ingredients with an integral heat sulfate to cuprous oxide.
generating system. • The resultant color, which varies
• The test is used to determine the with the amount of reducing
amount of reducing substances substances present, ranges from
(generally glucose) in urine/stools. blue through green to orange.
• Clinitest provides clinically useful
information on carbohydrate
metabolism.
Clinitest
• The Clinitest® reaction detects all • Testing for reducing substances in
reducing substances in stool; of stool is used in diagnosing the cause
primary interest are glucose, lactose, of diarrhea in children.
fructose, galactose, maltose, and • Increased reducing substances in
pentose. stool are consistent with primary or
• Reference Range: secondary disaccharidase deficiency
Negative. A result of 0.25% to 0.5% is and intestinal monosaccharide
suspicious for a carbohydrate malabsorption.
absorption abnormality, >= 0.75% is • Similar intestinal absorption
abnormal. deficiencies are associated with short
• Test Limitations: bowel syndrome and necrotizing
Assay results have relevance for enterocolitis.
liquid stool samples; assay results • Stool reducing substances is also
have little relevance for formed stool helpful in diagnosing between
samples. osmotic diarrhea caused by
abnormal excretion of various sugars
as opposed to diarrhea caused by
viruses and parasites.
Intoleransi Laktosa VS Milk Allergy
INTOLERANSI LAKTOSA MILK ALLERGY
o reaksi hipersensitivitas terhadap
o Ketidakmampuan tubuh untuk
protein susu sapi. Dapat melalui 2
mencerna “gula susu/laktosa”
Definisi mekanisme : 1). Diperantarai IgE ; 2).
akibat defisiensi enzim laktase.
Non IgE (rx hipersensitivitas tipe IV)
o reaksi non – imunologis
Β-Thalassemia syndromes
α-Globin Genes Hb A Hb A2 Hb F Transfusions
Transcribed
Normal Homozygous β 97–99% 1–3% <1%
Papadakis MA, McPhee SJ. Current Medical Diangnosis and Treatment.2014. New York : McGraw-Hill Companies
http://elcaminogmi.dnadirect.com/grc
/patient-site/alpha-thalassemia-
Penurunan genetik
thalassemia beta jika kedua
orang tua merupakan
thalassemia trait
NB: need
two genes
(one from
each parent)
to make
enough beta
globin
protein
chains.
Orang tua Orang tua Orang tua Orang tua
Pembawa sifat Pembawa sifat normal
Pembawa sifat
Splenomegaly Ineffective
(pooling, plasma Erythropoiesis
volume
High oxygen expansion)
affinity of red cells
Tissue hypoxia
Anaemia
Erythopoietin
Increased iron
absorption
Bone deformity
Increased metabolic rate
Iron loading
Wasting
Gout
Folate deficiency Endocrine deficiencies
Cirrhosis
Cardiac failure
Death
Modified from Weatherall, DJ
• Pucat kronik
• Hepatosplenomegali
• Ikterik
• Perubahan penulangan
• Perubahan bentuk wajah
facies cooley
• Hiperpigmentasi kulit
akibat penimbunan besi
• Riwayat keluarga +
• Riwayat transfusi
• Ruang traube terisi
• Osteoporosis
• “Hair on end” pd foto
kepala
Hepatosplenomegali & Ikterik
Pucat
Hair on End
– HbF , HbA2 n/, Tidak ditemukan HbA, thalassemia with target cells, hypochromia, Howell-Jolly
bodies, thrombocytosis, and nucleated RBCs.Image from
Hb abnormal (HbE, HbO, dll), Jenis Hb Stanley Schrier@ 2001 in ASH Image Bank 2001;
doi:10.1182/ashimagebank-2001-100208)
kualitatif
Pencil Cell and Target cell
• Pencil cells/cigar cell: a commonly cited
feature of Iron deficiency anemia, but pencil
cells may also be seen less commonly in other
processes, including b-thalassemia minor and
anemia of chronic disease
• Target cells: classically described features of β-
thalassemia minor, but also can be found in
iron deficiency anemia (less common)
Target Cell
• Target Cells (Codocytes) are RBCs that have the
appearance of a shooting target with a bullseye.
• Under light microscope these cells appear to have
a dark center (a central, hemoglobinized area)
surrounded by a white ring (an area of relative
pallor), followed by dark outer (peripheral)
second ring containing a band of hemoglobin.
• Target cells are more resistant to osmotic lysis.
• Hypochromic cells in iron deficiency anemias also
can show a target appearance.
• Target cells are abnormally resistant to saline.
Target cell can be found in:
• Liver disease: Lecithin—cholesterol
acyltransferase (LCAT) activity may be decreased in
obstructive liver disease increases the cholesterol to
phospholipid ratio, producing an absolute increase in
surface area of the red blood cell membranes.
• Iron deficiency: Decrease in hemoglobin content
relative to surface area is probably the reason for the
appearance of target cells.
• Alpha-thalassemia and beta-thalassemia
• Hemoglobin C Disease
• Post-splenectomy
Target Cell
Pencil Cell
• Pencil cells are
hypochromic
variants of
elliptocytes
having long axes
at least triple the
length of the
cell’s short axis
www.studyblue.com
Thalassemia
Tata laksana thalassemia
• Transfusi darah, indikasi pertama kali jika: • Splenektomi jika memenuhi
– Hb<7 g/dL yg diperiksa 2x berurutan dengan kriteria
jarak 2 minggu
– Hb>7 disertai gejala klinis spt facies cooley, • Splenomegali masif
gangguan tumbuh kembang
• Kebutuhan transfusi PRC >
• Medikamentosa
– Asam folat (penting dalam pembentukan sel) 2x
200-220 ml/kg/tahun
1mg/hari • Transplantasi (sumsum tulang,
– Kelasi besi menurunkan kadar Fe bebas dan darah umbilikal)
me<<< deposit hemosiderin). Dilakukan Jika
Ferritin level > 1000 ng/ul, atau 10-20xtransfusi, • Fetal hemoglobin inducer
atau menerima 5 L darah.
– Vitamin E (antioksidan karena banyak
(meningkatkan Hgb F yg
pemecahan eritrosit stress oksidatif >>) membawa O2 lebih baik dari
– Vitamin C (dosis rendah, pada terapi dengan Hgb A2)
deferoxamin)
• Nutrisi: kurangi asupan besi • Terapi gen
• Support psikososial
Indikasi transfusi darah pada
Thalasemia
KOMPLIKASI THALASSEMIA
• Infection
• chronic anemia iron overload deposisi iron pada miokardium
Kardiomiopati bermanifestasi sebagai CHF
• Endokrinopati
– Impaired carbohydrate metabolism
– Pertumbuhan : short stature, slow growth rates
– Delayed puberty & hypogonadism infertility
– Hypothyroidism & hypoparathyroidism
– osteoporosis
• Liver:
– cirrhosis due to infection and iron load
– Bleeding: disturbances of coagulation factors
56. Hipertiroidisme pada Anak
• Hampir 95% kasus hipertiroidisme pada • Manifestasi klinis
anak dan remaja disebabkan oleh – Struma
penyakit Graves • Struma difusia dan kadang dapat
ditemukan bruit
• Penyakit Graves
– hipertioridisme
– Autoimun, lebih sering pada • Tremor
perempuan dibanding laki – laki • Sulit tidur atau gangguan tidur
rasio 6-8:1 • BB turun walau nafsu makan
meningkat
– Insiden puncak pada remaja, namun • Kelemahan otot proksimal
dapat muncul kapan saja • Intoleransi panas
– Prapubertal (terutama <5 tahun) • Sakit kepala
manifestasi klinis lebih berat, butuh • Takikardi dengan tekanan nadi
lebar dan prekordium yang lebar
terapi lebih lama dan angka
• Fatigue, kulit yang lembab
kesembuhan lebih rendah
– Proptosis ringan dengan lid lag
– Patogenesis : dan stare sering ditemukan.
• Adanya antibodi terhadap Oftalmopathy lebih jarang
reseptor TSH yang menyerupai dibanding dewasa
THS hormogenesis dan – Poliuri dan nokturia akibat
peningkatan LFG
hiperplasia tiroid
– Pubertas terlambat dan kadang
disertai amenorea sekunder
• Pemeriksaan Penunjang • Penatalaksanaan
– Fungsi tiroid : kadar TSH dan – Terapi meliputi
fT4 medikamentosa, ablasi
– Antibodi reseptor TSH radioiodine, atau operasi
(throtropin receptor – Medikamenosa masih
antibody/TRAb) merupakan terapi utama di
– Kadar antribodi terhadap Indonesia :
antitiroid peroksidase (anti 1. Methimazole (MMI)
TPO)dan anti tiroglobulin 2. Carbimazole
(ATA) 3. PTU (preparat thionamide)
– USG tiroid 4. Beta bloker propanolol
mengontrol overaktivitas CV
– Scintigrafi tiroid sampai kondisi eutiroid
– Dosis 0,5 -2 mg/kgBB/hari
Overview Of The
Management Of
Graves' Disease In
Children And
Adolescents
This algorithm presents the most
common treatment approaches for
management of Graves' disease in
children and adolescents. Surgery
and radioactive iodine (RAI) generally
are used as second-line options in
patients who develop major side
effects with antithyroid drug
treatment or who fail to enter a
remission off drug treatment, though
some clinicians recommend RAI or
surgery as first-line treatment in
selected cases, as shown by the
Uptodate.2019 dashed lines.
Algorithm Index
• MMI: methimazole; fT4: free thyroxine; T3: triidothyronine; RAI: radioactive iodine; 131-I:
iodine 131; WBC: white blood cell count; TSH: thyroid stimulating hormone.
• * When treating with MMI, initially monitor fT4 and T3 every four to six weeks, and adjust
dose of MMI to normalize these values. Once these values are in the normal range, continue
to monitor fT4, T3, and TSH every three to four months. During any febrile illness, stop MMI
and check WBC, to monitor for development of granulocytopenia.
• ¶ Major side effects of MMI include agranulocytosis, vasculitis (lupus-like syndrome), or
hepatitis. Minor side effects include rash, hives, arthralgias, transient granulocytopenia, or
gastrointestinal symptoms.
• Δ Practice varies regarding the length of time a provider will continue to treat with MMI
after patients have entered remission. We do not recommend a trial off MMI after an
arbitrary period of treatment; we prescribe MMI indefinitely, providing that the antithyroid
drug is the preferred treatment choice of the patient and parents, and that no major side
effects occur. Refer to UpToDate topic text for details.
• ◊ Patient should be off of MMI for at least seven days before RAI treatment. We suggest
using a RAI dose calculated to achieve hypothyroidism.
Treatment (Uptodate.2019)
• Thionamide:
– DOC: Methimazole 0.25 and 1.0 mg/kg/day (given in once daily or in two divided doses),
based on clinical severity, size of goiter, and biochemical severity.
– Propylthiouracil (PTU; 5 to 10 mg/kg per day) is also effective, but has more frequent
and severe side effects, including a small risk of severe hepatotoxicity
• PTU should not be used in pediatric patients unless the patient is allergic to or intolerant of
methimazole
– Carbimazole
• Beta blocker can be given at patients with marked cardiac manifestations of
hyperthyroidism
– DOC: atenolol, for children and adolescents is 1 to 2 mg/kg daily or alternatively
– Propranolol, at a dose of 0.5 to 2.0 mg/kg daily, is divided into three or four doses daily
(has the potential benefit of decreasing T4 to T3 conversion, is preferred by some
clinicians)
• Radioactive iodine treatment: secondary therapy for patients who have recurrent
hyperthyroidism after long-term treatment with an antithyroid drug who request
definitive treatment, and for those who have a major side effect while receiving an
antithyroid drug.
• Surgery usually subtotal thyroidectomy, is an effective therapy for Graves
hyperthyroidism. Surgery is most commonly used as a secondary treatment option
in children.
57. Sindrom Nefrotik
• Spektrum gejala yang ditandai • Di bawah mikroskop: Minimal
dengan protein loss yang masif dari change nephrotic syndrome
ginjal (MCNS)/Nil Lesions/Nil Disease
• Pada anak sindrom nefrotik (lipoid nephrosis) merupakan
mayoritas bersifat idiopatik, yang penyebab tersering dari sindrom
belum diketahui patofisiologinya nefrotik pada anak, mencakup
secara jelas, namun diperkirakan 90% kasus di bawah 10 tahun dan
terdapat keterlibatan sistem >50% pd anak yg lbh tua.
imunitas tubuh, terutama sel • Faktor risiko kekambuhan:
limfosit-T riwayat atopi, usia saat serangan
• Gejala klasik: proteinuria, edema, pertama, jenis kelamin dan
hiperlipidemia, hipoalbuminemia infeksi saluran pernapasan akut
• Gejala lain : hipertensi, hematuria, akut (ISPA) bagian atas yang
dan penurunan fungsi ginjal menyertai atau mendahului
terjadinya kekambuhan, ISK
Sumber: Scully C. Mucosal candidiosis clinical presentation. Emedicine | PPK Perdoski. 2017
Jenis Gambaran klinis
Sumber: Scully C. Mucosal candidiosis clinical presentation. Emedicine | PPK Perdoski. 2017
Candida albicans
Prinsip tatalaksana
Gejala klinis DOC Keterangan
DD: Croup P
• Epiglottis - normal E V
• Vallecula - normal
• Trachea (T) – narrow,
subglottic edema C
• Prevertebral soft tissue -
normal
Ha588
Treatment
• Managing the airway is of utmost importance and should be the
initial action when epiglottitis is suspected
– Patient not able to maintain airway: Bag-valve-mask ventilation; if
Oxygenation not maintained, immediately attempt to place an oral
endotracheal tube while other physicians are assigned to prepare to
establish a surgical airway if needed (i.e cricothyrotomy)
– If the patient is maintaining airway, then administer supplemental
humidified oxygen and assemble available specialists (eg,
anesthesiologist, intensivist, and otolaryngologist)
• Empiric combination therapy with a third-generation
cephalosporin (eg, ceftriaxone or cefotaxime) AND an
antistaphylococcal agent (eg, vancomycin)
• Bronchodilators (racemic epinephrine) and parenteral
glucocorticoids have both been used as adjunctive treatments for
patients with epiglottitis, but these agents are not routinely
necessary.
60. Trauma Lahir Ekstrakranial
8 non- fisiologis
6
4
2
0
hari 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 7
P E N YA K I T KETERANGAN
http://emedicine.medscape.com/article/797150
Tatalaksana Umum Hemolytic Disease
of Neonates
• In infants with hyperbilirubinemia due to alloimmune HDN, monitoring serum
bilirubin levels, oral hydration, and phototherapy are the mainstays of
management.
• For infants who do not respond to these conventional measures, intravenous fluid
supplementation and/or exchange transfusion may be necessary to treat
hyperbilirubinemia. Intravenous immunoglobulin (IVIG) also may be useful in
reducing the need for exchange transfusion.
• Phototherapy — Phototherapy is the most commonly used intervention to treat
and prevent severe hyperbilirubinemia. It is an effective and safe intervention. The
AAP has developed guidelines for the initiation and discontinuation of
phototherapy based upon total serum bilirubin (TSB) values at specific hourly age
of the patient, gestational age, and the presence or absence of risk factors for
hyperbilirubinemia including alloimmune HDN
• Hydration — Phototherapy increases insensible skin losses and as a result the
fluid requirements of infants undergoing phototherapy are increased. In addition,
by-products of phototherapy are eliminated in the urine. If oral hydration is
inadequate, intravenous hydration may be necessary.
• Exchange transfusion — Exchange transfusion is used to treat severe anemia, as
previously discussed, and severe hyperbilirubinemia. Exchange transfusion
removes serum bilirubin and decreases hemolysis by the removal of antibody-
coated neonatal RBCs and unbound maternal antibody.
Tatalaksana Inkompatibilitas Rh
http://emedicine.medscape.com/article/797150
Panduan foto terapi
AAP, 2004
Panduan transfusi tukar
AAP, 2004
62. Keracunan pada Anak
• Curigai keracunan pada anak sehat yang mendadak sakit
dan tidak dapat dijelaskan penyebabnya
2. Extravascular hemolysis
• the removal and destruction of red blood cells with membrane
alterations by the macrophages of the spleen and liver.
• Circulating blood is filtered continuously through thinwalled splenic
cords into the splenic sinusoids (with fenestrated basement
membranes), a spongelike labyrinth of macrophages with long
dendritic processes
Defisiensi Glukosa-6-FosfatDehidrogenase (G6PD)
• Defisiensi (G6PD) merupakan enzimopati terkait kromosom X yang paling
umum diderita manusia.
• Prevalensi tinggi terutama di daerah endemis malaria termasuk Asia
Tenggara Indonesia
• Defisiensi G6PD diturunkan melalui kromosom X
• Gen G6PD terletak pada regio telomerik lengan panjang kromosom X
(band Xq28), dekat dengan gen hemofi lia A, diskeratosis kongenital dan
buta warna
Kurniawan LB. Skrining, Diagnosis dan Aspek Klinis Defi siensi Glukosa-6-FosfatDehidrogenase (G6PD). CDK-222/ vol. 41 no. 11, th. 2014
Patogenesis defisiensi G6PD
• Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) enzim pengkatalisis reaksi
pertama jalur pentosa fosfat dan memberikan efek reduksi pada semua
sel dalam bentuk NADPH
• NADPH memungkinkan sel-sel bertahan dari stres oksidatif yang dapat
dipicu oleh beberapa bahan oksidan dan menyediakan glutathione
dalam bentuk tereduksi
• Eritrosit tidak memiliki mitokondria jalur pentosa fosfat merupakan
satu-satunya sumber NADPH pertahanan terhadap kerusakan
oksidatif tergantung pada G6PD
What happens in G6PD deficiency?
Manifestasi Klinis
• Sebagian besar penderita defisiensi G6PD bersifat asimtomatik
• Gejala muncul bila eritrosit mengalami stres oksidatif dipicu obat,
infeksi, maupun konsumsi kacang fava.
• Manifestasi Klinis berupa anemia hemolitik akut yang diinduksi obat
maupun infeksi, favisme, ikterus neonatorum maupun anemia
hemolitik non-sferosis kronis.
• Beberapa kondisi seperti diabetes, infark miokard, latihan fi sik
berat telah dapat menginduksi hemolisis pada penderita defisiensi
G6PD.
• Hemolisis akut rasa lemah, nyeri punggung, anemia dan ikterus.
Terjadi peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, laktat
dehidrogenase dan retikulositosis.
Anemia Hemolitik Terinduksi Obat
Henna compounds (black and red Egyptian) and related dyes used for hair and tattoos
Fava beans
Some prefer to avoid red wine, legumes, blueberries, soya, and tonic water
Medicines previously considered unsafe, but
PROBABLY SAFE given in usual therapeutic
doses in G6PD deficiency
Analgesics
Acetaminophen (paracetamol)
Aspirin (acetylsalicylic acid)
Aminophenazone and related NSAIDs (dipyrone, metamizole)
Anti-infectives
Antimalarials: chloroquine, mepacrine, quinine
Fluoroquinolones: ciprofloxacin, levofloxacin, nalidixic acid, norfloxacin, ofloxacin
Sulfonamides: co-trimoxazole, sulfacetamide (topical), sulfanilamide, sulfisoxazole, sulfamethoxazole,
trimethoprim-sulfamethoxazole
Other anti-infectives: chloramphenicol, furazolidone, isoniazid, mepacrine
Miscellaneous
Ascorbic acid (vitamin C)
Glyburide (glibenclamide)
Hydroxychloroquine (see chloroquine)
Isosorbide dinitrate
Quinine
Sulfasalazine
Food to avoid in G6PD deficiency
Heinz body pada pewarnaan supravital
presipitat hemoglobin yang terdenaturasi
di dalam eritrosit.
Terbentuk akibat kerusakan komponen
hemoglobin (biasanya akibat radikal
red cells with characteristic bite-like deformity bebas) yang dapat diinduksi oleh obat
(arrows) atau akibat gangguan mutasi sel rusak
Terbentuk akibat proses pembersihan sel yang dan lisis
rusak oleh makrofag di spleen membran Dapat terjadi pada kasus defisiensi
yang rusak dan presipitat (hemoglobin NADPH, defisiensi G6PD, penyakit liver
terdenaturasi) dibuang eritrosit dengan kronis, talasemia terutama alfa.
sebagian selnya terbuang bite cell atau
degmacyte.
Ditemukan pada defisiensi G6PD.
64. Hand-Foot-Mouth Disease
• Etiologi: Coxsackievirus A type 16 (CVA16)
• Menyebabkan:
– Erupsi vesikular di rongga mulut dengan tangan,
kaki, bokong, dan/atau genitalia
– Awal: keluhan nyeri pada mulut dan tenggorok serta
malas makan
– Demam 38-39oC 1-2 hari namun biasanya subfebris
– Malaise, mual, nyeri mulut dan tenggorokan ORAL ENANTHEM
– Gejala khasnya: oral enanthem dan adanya
exanthem, namun bisa tidak muncul salah satunya
– Lesi oral: bagian anterior rongga mulut, biasanya
pada lidah dan mukosa
– Lesi kulit : berupa makula, maculopapular, atau
vesicular
• Lesi oral ini berawal dari macula eritematosavesikel
yang dikelilingi oleh daerah pucat kemudian diluarnya EXANTHEM
lagi dikelilingi eritema (lesi halo)vesikel ruptureulkus
superfisial dengan dasar berwarna kuning keabuan dan
tepi eritema.
Hand-Foot-Mouth Disease
• Tatalaksana:
– Suportif
– Cairan adekuat untuk mencegah dehidrasi
– Makanan pedas dan asam harus dihindari karena
dapat memperparah keluhan nyeri
– Bila terjadi dehidrasi sedang hingga berat
pertimbangkan pemberian hidrasi intravena
– Pemberian asetaminofen atau ibuprofen sebagai
antipiretik dan analgetik.
– Analgetik topikal untuk rongga mulut juga bisa
dipakai berupa obat kumur atau semprot
65. Kernikterus
• “Kernicterus” refers to the neurologic consequences of
the deposition of unconjugated bilirubin in brain tissue
• Serum unconjugated bilirubin level exceeds the binding
capacity of albumin → unbound lipid-soluble bilirubin
crosses the blood-brain barrier
• Albumin-bound bilirubin may also cross the blood-brain
barrier if damage has occurred because of asphyxia,
acidosis, hypoxia, hypoperfusion, hyperosmolality, or
sepsis in the newborn
• The exact bilirubin concentration associated with
kernicterus in the healthy term infant is unpredictable. In
the term newborn with hemolysis, a bilirubin level above
20 mg per dL (342 μ mol per L) is a concern
• Tanda klinis: sesak napas, mengi, & hiperinflasi. Serangan berat: sianosis,
gelisah, sukar bicara, takikardi, penggunaan otot bantu napas.
Diagnosis Diagnosis
Diagnosis
Klasifikasi Derajat
Kerja
kekerapan kendali
• Beberapa pasien memiliki risiko tinggi untuk mengalami serangan asma yang
dapat mengancam nyawa. Resiko tersebut adalah pasien dengan riwayat:
Serangan asma yang mengancam nyawa
Intubasi karena serangan asma
Pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum
Serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama
Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenti)
Kunjungan ke UGD atau perawatan rumah sakit (RS) karena asma dalam
setahun terakhir
Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi
Berkurangnya persepsi tentang sesak napas
Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial.
Alergi makanan
• Untuk pasien dengan risiko tinggi tersebut, steroid sistemik (oral atau
parenteral) perlu diberikan pada awal tata laksana meskipun pada penilaian
awal serangannya masih ringan sedang.
Tatalaksana serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Steroid sistemik
o Pemberian steroid sistemik per oral sama efektifnya dengan
pemberian secara intravena
o Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk
memberikan perbaikan klinis
o Pemberian IVjika pasien tidak bisa menelan obat
o Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan per
oral dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum
sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama
pemberian 3-5 hari tanpa tapperingoff
o Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan
serangan dan mencegah kekambuhan, dan direkomendasikan
untuk diberikan pada semua jenis serangan. Jika memungkinkan,
steroid oral diberikan dalam 1 jam pertama.
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Adrenalin
o Terapi tambahan pada asma yang berhubungan dengan anafilaksis dan
angioedema
o Dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal
500 ug (0.5 ml)
• Magnesium sulfat -->tidak rutin dilakukan
• Steroid inhalasi
– Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 ug budesonide) dapat
digunakan untuk serangan asma (dalam dosis tinggi karena steroid nebulisasi
dosis rendah tidak bermanfaat untuk mengatasi serangan asma)
– terbatas pada pasienHpasien yang memiliki kontraindikasi terhadap steroid
sistemik.
• Mukolitik
• Antibiotik hanya jika terbukti disebabkan infeksi bakteri
• Obat sedasi
• Antihistamin
TO 4
68. Pediatric Aspiration Pneumonia
• TB ringan:
– tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau
kematian, misalnya TB primer tanpa komplikasi,
TB kulit, TB kelenjar
• TB berat:
– TB pada anak yang berisiko menimbulkan
kecacatan berat atau kematian, misalnya TB
meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB
abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru
BTA positif, TB resisten obat, TB HIV.
Regimen OAT pada Anak
• Hasil Negatif
– Tidak ada infeksi TB
– Dalam masa inkubasi
infeksi TB
– Anergi
Pengobatan Profilaksis
TB RO: kontakTB
tersangka resisten
Obat (RO) atau
terbukti resisten Obat
Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid
KETERANGAN
• ILTBInfeksi Laten TB
• Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari
selama 6 bulan.
• Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya gejala
TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera
dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke
regimen terapi TB anak dimulai dari awal
• Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan
pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihentikan.
• Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah
pengobatan profilaksis dengan INH selesai.
70. Cushing Syndrome
• Penyebab:
– Sekresi ACTH berlebih dari hipofisis
anterior (penyakit Cushing).
– ACTH ektopik (C/: ca paru)
– Tumor adrenokortikal
– Glukokorticod eksogen (obat)
Tergantung ACTH
• Sindrom Cushing tergantung Pituitari 65
• Sindrom ACTH ektopik (tumor bronkial, 7
timus, pancreatic carcinoid pankreas,
karsinoma tiroid medulare)
• Sindrom CRH ektopik <1
(Boscaro M, Amaldi G. Approach to the Patient with Possible Cushing’s Syndrome. Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 2009)
PATOFISIOLOGI
• Terjadi sekresi ACTH dan produksi kortisol berlebih.
Wondisford F E. A new medical therapy for Cushing disease? J Clin Invest. 2011)
SDS= standard deviation score
TATALAKSANA
• Penyakit Cushing.
– Pengobatan pilihan : microadenomectomi transsphenoidal
– Jika tidak, 85-90% pasien harus menjalani reseksi hipofisis
• Sindrom kortikotropin dan CRH ektopik
– Inhibitor enzim adrenal, sendiri atau kombinasi
– Mifepristone (dikenal sebagai RU-486) menghambat aksi
kortisol perifer.
• Penyakit adrenal primer
– Adrenalektomi bilateral total ; hiperplasia adrenal bilateral
mikronodular atau makronodular
– Adrenalektomi unilateral; adenoma atau karsinoma adrenal .
– Inhibitor enzim adrenal dapat diberikan untuk mengontrol
• Obat-obatan lain :
– agonis dopamin, analog somatostatin, inhibitor tirosin kinase
pada EGFR (dikenal juga sebagai ErbB1)
71. Leukemia Akut Dan Sindrom Lisis Tumor
CLL CML ALL AML
The bone marrow makes abnormal leukocyte dont die when they
should crowd out normal leukocytes, erythrocytes, & platelets. This
makes it hard for normal blood cells to do their work.
Prevalence Over 55 y.o. Mainly adults Common in Adults &
children children
Symptoms & Grows slowly may Grows quickly feel sick & go to
Signs asymptomatic, the disease is found their doctor.
during a routine test.
Fever, swollen lymph nodes, frequent infection, weak,
bleeding/bruising easily, hepatomegaly/splenomegaly, weight loss,
bone pain.
Lab Mature Mature granulocyte, Lymphoblas Myeloblast
lymphocyte, dominant myelocyte t >20% >20%, aeur rod
smudge cells & segment may (+)
Therapy Can be delayed if asymptomatic Treated right away
CDC.gov
AML VS ALL
AML ALL
• Leukosit ≥ 50.000/uL
• Hiperurisemia > 7 mg/dl
• Hiperkalemia > 6.5 mmol/L
• Hiperfosfatemia > 1.4 mmol/L
• Hipokalsemia <2.12 mmol/L
• Asidosis metabolic
• Hipoksemia
• Gangguan fungsi ginjal (AKI)
• Foto toraks cari ada tidaknya pembesaran
mediastinum, perdarahan paru
• CT scan kepala evaluasi ada tidaknya perdarahan
intrakranial
PPM IDAI 2009
Sindrom lisis tumor: tatalaksana
• Hidrasi NaCl 0.9%:D5% perbandingan 3:1 kecepatan
3000 ml/m3 atau 1 ½ kali kebutuhan rumatan
• Alkalinisasi Natrsium bikarbonat 25-50 mEq/500 ml
untuk pertahankan pH urin 7.5
• Allopurinol 10 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis per oral
• Transfusi TC bila trombosit <20.000/uL
• Transfusi PRC bisa tingkatkan viskositas darah hanya
bila ada gangguan oksigenasi jaringan atau Hb <6 g/dL
(target Hb 8 g/dL)
• Pantau balance diuresis ketat, pemeriksaan urinalisis,
fungsi ginjal, AGD, darah lengkap, asam urat, elektrolit
berkala
PPM IDAI 2009
72. Pankreatitis Akut: Etiologi
• Dosis
– Pencegahan defek pada tube neural: Min. 400 mcg/hari
– Defisiensi asam folat: 250-1000 mcg/hari
– Riwayat kehamilan sebelumnya memiliki komplikasi
defek tube neural atau riwayat anensefali: 4mg/hari
pada sebulan pertama sebelum kehamilan dan diteruskan
hingga 3 bulan setelah konsepsi
Gedzelman E, Meador KJ. Antiepileptic drugs in women with epilepsy during pregnancy. Ther Adv Drug Saf (2012) 3(2) 71–87
Hill DS, Wlodarczyk BJ, Palacios AM, Finnell RF. Teratogenic effects of antiepileptic drugs. Expert Rev Neurother. 2010
Long-Term Effects
• There is accumulating evidence from observational
studies that anticonvulsant treatment during
pregnancy may have deleterious effects on the
cognitive and neurologic function of the offspring that
may manifest later in life
• The evidence for this association is strongest with
valproate, which has been associated with increased
risk for lower cognitive test scores and impaired motor
development as well as an increased risk of autism
spectrum disorders.
Recommendation
• Because there are no clear data indicating that any drug is without risk in
pregnancy, we suggest that patients planning pregnancy should be managed
on the most effective antiseizure drug for their seizures (Grade 2C).
• As an exception, valproate should be avoided if an alternate effective
antiseizure drug regimen can be found (Grade 1B).
• Monotherapy and the lowest possible drug dose may limit risk of
teratogenicity.
• The antiseizure drug regimen should be optimized six months prior to planned
conception.
• We suggest NOT making changes to antiseizure drug regimen for the purpose
of reducing teratogenic risk in established pregnancy (Grade 2C).
• Folic acid supplementation (0.4 to 0.8 mg per day) is recommended for all
women of child bearing potential (Grade 1A).
• Folic acid supplementation prior to conception and during the first trimester
decreases risk for congenital neural tube defects
74. Neonatal Asphyxia
Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
Transient tachypnea of the newborn (TTN)
Mechanism of fetal lung fluid clearance. During maternal labor, epithelial sodium
channels (ENaC) are activated and sodium (Na+) is passively transported into type II
pneumocytes. Na+ then actively moves into the pulmonary interstitium, which is
followed by the movement of chloride (Cl-) and water (H2O). This liquid is ultimately
cleared into the pulmonary vasculature and lymphatics.
Transient Tachypnea of Newborn
(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial
dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan
dengan perbaikan klinis.
Chest radiograph of an infant with transient
tachypnea of the newborn (TTN)
demonstrating prominent perihilar pulmonary
vascular markings in a “sunburst” pattern.
Asfiksia perinatal
Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah, terdapat
(hypoxic ischemic
kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
encephalopathy)
75. Anemia megaloblastik
• Anemia makrositik megaloblastik disebabkan oleh defisiensi vit B12 dan asam
folat. Keduanya memberi gambaran makro-ovalosit dan neutrofil
hipersegmentasi.
• Gejala anemia yang timbul, antara lain cepah lelah dan pucat, kekuningan.
• Gangguan neurologi hanya terjadi pada defisiensi vitamin B12, tidak pada
defisiensi folat. Gejala neurologi yang ditemukan:
– Neuropati perifer: kesemutan, kebas, lemas
– Kehilangan sensasi proprioseptif (posisi) dan getaran
– Gangguan memori, depresi, iritabilitas
– Neuropati optik: penglihatan kabur, gangguan lapang pandang
Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.
Vitamin B12: Cobalamin absorption
• Initially bound to protein in diet,
liberated by acid and pepsin, then
binds to R factors in saliva and
gastric acids
• Freed from R factors by
pancreatic proteases them binds
to Intrinsic Factor secreted by
gastric parietal cells
• Absorbed together (Cbl + IF) in
ileum
• Released from IF in ileal cell then
exocytosed bound to trans-Cbl II
• Cbl bound to transcobalamin II
binds to cell surface receptors
and is endocytosed
• Enterotoxin produces
• Contaminated imported cheese
secretion • Supportive treatment
EIEC • Usually watery diarrhea (some
• Shigalike toxin • No antibiotics
may present with dysentery)
facilitates invasion
• Polymorphonuclear
• Organisms invade
• Potato, egg salad, lettuce, leukocytes (PMNs), blood,
epithelial cells and
vegetables, milk, ice cream, and mucus in stool
produce toxins
and water • Positive stool culture
• Infective dose is 102
• Abrupt onset of bloody • Oral rehydration is mainstay
Shigella -103 organisms
diarrhea, cramps, tenesmus, • Trimethoprim-
• Enterotoxin-
and fever starts 12-30 h after sulfamethoxazole (TMP-
mediated diarrhea
ingestion. SMX) or ampicillin for
followed by invasion
• Usually self-limited in 3-7 d severe cases
(dysentery/colitis)
• No opiates
Bawaan
PJB
Asianotik Cyanotic
Fluid leaks into the interstitial space & Pulmonary edema, tachypnea, chest
alveoly retraction, wheezing
Common lesions:
Tricuspid atresia, ToF, single ventricle with pulmonary stenosis
https://wikem.org
Van Praagh R. The first Stella van Praagh memorial lecture: the history and anatomy of tetralogy of Fallot. Semin Thorac Cardiovasc Surg Pediatr
Card Surg Annu. 2009:19-38.
Tet Spell/ Hypercyanotic Spell
• serangan biru yang terjadi secara mendadak
• Anak tampak lebih biru, pernapasan cepat, gelisah,
kesadaran menurun, kadang-kadang disertai kejang.
• Serangan berlangsung 15-30 menit, biasanya teratasi secara
spontan, tetapi serangan yang hebat dapat berakhir dengan
koma, bahkan kematian
• Biasanya muncul usia 6-12 bulan, tapi bisa muncul usia 2-4
bulan
• ToF yang tipikal biasanya memiliki tekanan pada ventrikel
kiri dan kanan yang sama besar, sehinggan tingkat sianosis
dan terjadinya tet spell ditentukan dari systemic vascular
resistance dan derajat keparahan komponen stenosis
pulmonal.
increased
myocardial
contractility + KEMATIAN
infundibular
stenosis.
Right-to-left shunt meningkat
aliran darah ke
sianosis progresif
paru berkurang
secara tiba-tiba penurunan PO2 dan
peningkatan PCO2 arteri
penurunan pH darah
TET SPELL
Stimulasi pusat pernapasan di
HYPERCYANOTIC SPELL reseptor karotis + nucleus hiperpnoea
batang otak
Tatalaksana Tet Spell
• Knee chest position/ squatting
– Diharapkan aliran darah paru bertambah karena
peningkatan resistensi vaskular sistemik dan afterload
aorta akibat penekukan arteri femoralis
• Morfin sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV
untuk menekan pusat pernapasan dan mengatasi
takipnea
• Natrium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV untuk
mengatasi asidosis. Dosis yang sama dapat
diulang dalam 10-15 menit.
Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and the European
Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN). Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition . 49:498–547
Gastroesophageal Reflux: Management Guidance for the Pediatrician . Jenifer R. Lightdale, David A. Gremse and SECTION ON GASTROENTEROLOGY, HEPATOLOGY, AND NUTRITION. Pediatrics; originally
published online April 29, 2013
Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and the European Society
for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN). Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition . 49:498–547
Gastroesophageal Reflux: Management Guidance for the Pediatrician . Jenifer R. Lightdale, David A. Gremse and SECTION ON GASTROENTEROLOGY, HEPATOLOGY, AND NUTRITION. Pediatrics; originally published
online April 29, 2013
Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical
Practice Guidelines: Joint Recommendations of
the North American Society for Pediatric
Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition
(NASPGHAN) and the European Society for
Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition (ESPGHAN). Journal of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition . 49:498–547
Gastroesophageal Reflux: Management
Guidance for the Pediatrician . Jenifer R.
Lightdale, David A. Gremse and SECTION ON
GASTROENTEROLOGY, HEPATOLOGY, AND
NUTRITION. Pediatrics; originally published
online April 29, 2013
Clinical Features Differentiating GER
and GERD in Infants and Children
GER GERD
Regurgitation with normal Regurgitation with poor weight gain
weight gain
No signs or symptoms of Persistent irritability; pain in infants
esophagitis
Lower chest pain, dysphagia, pyrosis in children
Hematemesis and iron deficiency anemia
No significant respiratory Apnea and cyanosis in infants
symptoms
Wheezing
Aspiration or recurrent pneumonia
Chronic cough
Stridor
No neurobehavioral symptoms Neck tilting in infants (Sandifer's syndrome)
http://www.aafp.org/afp/2001/1201/p1853.html
Diagnosis
• The diagnosis of GERD is often made clinically based on the
bothersome symptoms or signs that may be associated
with GER.
• In infants and toddlers, there is no symptom or symptom
complex that is diagnostic of GERD or predicts response to
therapy.
• In older children and adolescents history and physical
examination may be sufficient to diagnose GERD if the
symptoms are typical.
• The diagnosis of GERD is concluded when tests show
excessive frequency or duration of reflux events,
esophagitis, or a clear association of symptoms and signs
with reflux events in the absence of alternative diagnoses.
Diagnostic Testing
• The strategy of using diagnostic testing to diagnose GERD full of
complexity, because there is no single test that can rule it in or out.
• The diagnostic methods most commonly used to evaluate pediatric
patients with GERD symptoms are
– Upper GI tract contrast radiography series are useful to delineate
anatomy and to occasionally document a motility disorder
– Esophageal pH monitoring and intraluminal esophageal impedance
represent tools to quantify GER.
– Upper endoscopy with esophageal biopsy represents the primary
method to investigate the esophageal mucosa.
• Other tests:
– Motility Studies: Esophageal manometry
Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and the European Society
for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN). Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition . 49:498–547
Gastroesophageal Reflux: Management Guidance for the Pediatrician . Jenifer R. Lightdale, David A. Gremse and SECTION ON GASTROENTEROLOGY, HEPATOLOGY, AND NUTRITION. Pediatrics; originally published
online April 29, 2013
Approch to the infant with regurgitation and vomitting
Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and the European
Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN). Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition . 49:498–547
Gastroesophageal Reflux: Management Guidance for the Pediatrician . Jenifer R. Lightdale, David A. Gremse and SECTION ON GASTROENTEROLOGY, HEPATOLOGY, AND NUTRITION. Pediatrics; originally
published online April 29, 2013
Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and the European Society
for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN). Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition . 49:498–547
Gastroesophageal Reflux: Management Guidance for the Pediatrician . Jenifer R. Lightdale, David A. Gremse and SECTION ON GASTROENTEROLOGY, HEPATOLOGY, AND NUTRITION. Pediatrics; originally published
online April 29, 2013
Management
• Lifestyle changes are emphasized as first-line
therapy in both GER and GERD, whereas
medications are explicitly indicated only for
patients with GERD.
Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition (NASPGHAN) and the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN). Journal of Pediatric Gastroenterology and
Nutrition . 49:498–547
Gastroesophageal Reflux: Management Guidance for the Pediatrician . Jenifer R. Lightdale, David A. Gremse and SECTION ON GASTROENTEROLOGY, HEPATOLOGY,
AND NUTRITION. Pediatrics; originally published online April 29, 2013
Management
Medications
Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and the
European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN). Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition . 49:498–547
Gastroesophageal Reflux: Management Guidance for the Pediatrician . Jenifer R. Lightdale, David A. Gremse and SECTION ON GASTROENTEROLOGY, HEPATOLOGY, AND NUTRITION. Pediatrics; originally
published online April 29, 2013
80. Intoleransi Laktosa
• Laktosa diproduksi oleh kelenjar payudara dengan kadar yang
bervariasi diantara mamalia.
• Susu sapi mengandung 4% laktosa, sedangkan ASI
mengandung 7% laktosa.
• Laktosa adalah disakarida yang terdiri dari komponen glukosa
dan galaktosa.
• Manusia normal tidak dapat menyerap laktosa, oleh karena itu
laktosa harus dipecah dulu menjadi komponen-komponennya.
• Hidrolisis laktosa memerlukan enzim laktase yang terdapat di
brush border sel epitel usus halus.
• Tidak terdapatnya atau berkurangnya aktivitas laktase akan
menyebabkan terjadinya malabsorpsi laktosa.
Defisiensi Laktase
• Defisiensi laktase dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu defisiensi
laktase primer dan defisiensi laktase sekunder
• Terdapat 3 bentuk defisiensi laktase primer, yaitu
– Developmental lactase deficiency
Terdapat pada bayi prematur dengan usia kehamilan 26-32 minggu. Kelainan
ini terjadi karena aktivitas laktase belum optimal.
– Congenital lactase deficiency
Kelainan dasarnya adalah tidak terdapatnya enzim laktase pada brush border
epitel usus halus. Kelainan ini jarang ditemukan dan menetap seumur hidup
– Genetical lactase deficiency
Kelainan ini timbul secara perlahan-lahan sejak anak berusia 2-5 tahun hingga
dewasa. Kelainan ini umumnya terjadi pada ras yang tidak mengkonsumsi susu
secara rutin dan diturunkan secara autosomal resesif
• Defisiensi laktase sekunder
– Akibat penyakit gastrointestinal yang menyebabkan kerusakan mukosa usus
halus, seperti infeksi saluran cerna.
– umumnya bersifat sementara dan aktivitas laktase akan normal kembali
setelah penyakit dasarnya disembuhkan.
Patogenesis
• Laktosa tidak dapat diabsorpsi sebagai disakarida,
tetapi harus dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa
dengan bantuan enzim laktase di usus halus.
• Bila aktivitas laktase turun atau tidak ada laktosa
tidak diabsorpsi dan mencapai usus bagian distal atau
kolon tekanan osmotik meningkat menarik air
dan elektrolit sehingga akan memperbesar volume di
dalam lumen usus diare osmotik
• Keadaan ini akan merangsang peristaltik usus halus
sehingga waktu singgah dipercepat dan mengganggu
penyerapan.
Patogenesis
• Di kolon, laktosa akan difermentasi oleh bakteri kolon
menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek lainnya
seperti asam asetat, asam butirat, dan asam propionat
Fenomena ini menerangkan feses yang cair, asam, berbusa dan
kemerahan pada kulit di sekitar dubur (eritema natum).
• Fermentasi laktosa oleh bakteri di kolon menghasilkan beberapa
gas seperti hidrogen, metan dan karbondioksida distensi
abdomen, nyeri perut, dan flatus.
• Selanjutnya, 80% dari gas tersebut akan dikeluarkan melalui rektum
dan sisanya akan berdifusi ke dalam sistem portal dan dikeluarkan
melalui sistem pernapasan.
• Feses sering mengapung karena kandungan gas yg tinggi dan juga
berbau busuk.
Gejala Klinis
• Intoleransi laktosa dapat bersifat • Gejala klinis yang diperlihatkan
asimtomatis atau dapat berupa rasa mual, muntah,
memperlihatkan berbagai gejala sakit perut, kembung dan sering
klinis flatus.
• Berat atau ringan gejala klinis • Rasa mual dan muntah
yang diperlihatkan tergantung merupakan gejala yang paling
dari aktivitas laktase di dalam sering ditemukan
usus halus, jumlah laktosa, cara • Pada uji toleransi laktosa rasa
mengkonsumsi laktosa, waktu penuh di perut dan mual timbul
pengosongan lambung, waktu dalam waktu 30 menit,
singgah usus, flora kolon, dan sedangkan nyeri perut, flatus dan
sensitifitas kolon terhadap diare timbul dalam waktu 1-2 jam
asidifikasi. setelah mengkonsumsi larutan
laktosa
Pemeriksaan Penunjang
• Analisis tinja, prinsipnya ditemukan asam dan bahan pereduksi
dalam tinja setelah makan yg mengandung laktosa, ada 3 metode:
– Metode klini test (detects all reducing substances in stool; of primary
interest are glucose, lactose, fructose, galactose, maltose, and
pentose)
– Kromatografi tinja
– pH tinja tinja bersifat asam
• Uji toleransi laktosa: merupakan uji kuantitatif; memeriksa kadar
gula darah setelah konsumsi laktosa
• Pemeriksaan radiologis lactosa-barium meal
• Ekskresi galaktos pada urin
• Uji hidrogen napas metode pilihan pada intoleransi laktosa
karena bersifat noninvasif, memiliki sensitivitas dan efektivitas yang
tinggi
• Biopsi usus dan pengukuran aktivitas laktase
Clinitest
Method Principle
• Copper sulfate in Clinitest reacts
• Clinitest is a reagent tablet based on with reducing substances in
the Benedict's copper reduction urine/stools converting cupric
reaction, combining reactive sulfate to cuprous oxide.
ingredients with an integral heat • The resultant color, which varies
generating system. with the amount of reducing
• The test is used to determine the substances present, ranges from
amount of reducing substances blue through green to orange.
(generally glucose) in urine/stools.
• Clinitest provides clinically useful
information on carbohydrate
metabolism.
Clinitest
• The Clinitest® reaction detects all • Testing for reducing substances in
reducing substances in stool; of stool is used in diagnosing the cause
primary interest are glucose, lactose, of diarrhea in children.
fructose, galactose, maltose, and • Increased reducing substances in
pentose. stool are consistent with primary or
• Reference Range: secondary disaccharidase deficiency
Negative. A result of 0.25% to 0.5% is and intestinal monosaccharide
suspicious for a carbohydrate malabsorption.
absorption abnormality, >= 0.75% is • Similar intestinal absorption
abnormal. deficiencies are associated with short
• Test Limitations: bowel syndrome and necrotizing
Assay results have relevance for enterocolitis.
liquid stool samples; assay results • Stool reducing substances is also
have little relevance for formed stool helpful in diagnosing between
samples. osmotic diarrhea caused by
abnormal excretion of various sugars
as opposed to diarrhea caused by
viruses and parasites.
Tatalaksana
• Sebagian besar self limited, cukup menjaga status
hidrasi agar tidak dehidrasi dan menjaga asupan nutrisi
• Pemberian cairan rehidrasi oral (CRO) hipotonik
• Rehidrasi cepat (3-4 jam)
• ASI harus tetap diberikan
• Realimentasi segera dengan makanan sehari-hari
• Susu formula yang diencerkan tidak dianjurkan
• Susu formula khusus diberikan sesuai indikasi
• Antibiotik hanya berdasarkan indikasi kuat.
• Pertimbangan penggantian susu formula selama diare akut
(diare kurang dari 7 hari), sebagai berikut :
• Diare tanpa dehidrasi dan dehidrasi ringan-sedang : susu
formula normal dilanjutkan
• Diare tanpa dehidrasi atau dehidrasi ringan-sedang dengan
gejala klinis intoleransi laktosa yang berat (selain diare)
dapat diberikan susu formula bebas laktosa.
• Diare dengan dehidrasi berat diberikan susu formula bebas
laktosa
• Pemberian susu formula untuk alergi pada anak dengan
diare akut tanpa jelas petanda alerginya adalah tidak
rasional.
81. Asma pada anak
• Steroid sistemik
o Pemberian steroid sistemik per oral sama efektifnya dengan
pemberian secara intravena
o Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk
memberikan perbaikan klinis
o Pemberian IVjika pasien tidak bisa menelan obat
o Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan per
oral dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum
sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama
pemberian 3-5 hari tanpa tapperingoff
o Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan
serangan dan mencegah kekambuhan, dan direkomendasikan
untuk diberikan pada semua jenis serangan. Jika memungkinkan,
steroid oral diberikan dalam 1 jam pertama.
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Adrenalin
o Terapi tambahan pada asma yang berhubungan dengan anafilaksis dan angioedema
o Dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal 500 ug (0.5
ml)
• Magnesium sulfat -->tidak rutin dilakukan
• Steroid inhalasi
– Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 ug budesonide) dapat digunakan
untuk serangan asma (dalam dosis tinggi karena steroid nebulisasi dosis rendah tidak
bermanfaat untuk mengatasi serangan asma)
– terbatas pada pasien-pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap steroid sistemik.
• Mukolitik
• Antibiotik hanya jika terbukti disebabkan infeksi bakteri
• Obat sedasi
• Antihistamin
82. Croup
• Croup (laringotrakeobronkitis viral) adalah
infeksi virus di saluran nafas atas yang
menyebabkan penyumbatan
• Croup generally affects the larynx and trachea,
although this illness may also extend to the
bronchi.
• Merupakan penyebab stridor tersering pada
anak
• Gejala: batuk menggonggong (barking cough),
stridor, demam, suara serak, nafas cepat disertai
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
• Penyebab tersering ialah virus Parainfluenza tipe
1, 2, dan 3
– Paling sering tipe 1 dan 2 (terutama tipe 1) Steeple sign
Pemeriksaan
• Croup is primarily a clinical diagnosis
• Laboratory test results rarely contribute to confirming this
diagnosis. The complete blood cell (CBC) count may suggest a
viral cause with lymphocytosis
• Radiography : verify a presumptive diagnosis or exclude other
disorders causing stridor.
– The anteroposterior (AP) radiograph of the soft tissues of the neck
classically reveals a steeple sign (also known as a pencil-point sign
or wine bottle sign), which signifies subglottic narrowing
– Lateral neck view may reveal a distended hypopharynx (ballooning)
during inspiration
• Laryngoscopy is indicated only in unusual circumstances (eg,
the course of illness is not typical, the child has symptoms that
suggest an underlying anatomic or congenital disorder)
Klasifikasi dan Penatalaksanaan
Ringan Berat
• Gejala: • Gejala:
– Demam – Stridor saat istirahat
– Takipnea
– Suara serak
– Retraksi dinding dada bagian
– Batuk menggonggong bawah
– Stridor bila anak gelisah • Terapi:
• Terapi: – Steroid (dexamethasone) dosis
tunggal (0,6 mg/kg IM/PO)
– Rawat jalan dapat diulang dalam 6-24 jam
– Pemberian cairan oral, – Epinefrin 1:1000 2 mL dalam 2-
ASI/makanan yang sesuai 3 mL NS, nebulisasi selama 20
– Simtomatik menit
WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. WHO; 2008.
83. Down Syndrome
• Down syndrome is a common congenital chromosomal anomaly which is
found worldwide.
• The condition occurs when there is one extra copy of chromosome 21 in
cells in the body (trisomy 21) affect the physical development and
learning abilities of people with Down syndrome.
• A very small percentage of all translocation trisomies are inherited
• Women aged 35 and older have an increased risk of having a child with
Down syndrome, however a baby with Down syndrome can be born to a
parent of any age.
• Types of down syndrome :
– Trisomy 21 (97%) caused by abnormal cell division during the development
of the sperm cell or the egg cell
– Translocation (2% of cases) Down syndrome can also occur when part
ofchromosome 21 becomes attached (translocated) onto another
chromosome, before or at conception
– Mosaic 1% They have a mixture of cells, some with an extra chromosome
21 and some normal cells. This mosaic ofcells is caused by abnormal cell
division after fertilization
Physical characteristic
• Face tends to be round and flat.
• Eyes slant upwards and have an extra
fold of skin on the upper eyelid
epicanthic fold or the epicanthus.
This skin fold covers the inner corner
of the eye next to the nose.
• The mouth cavity is slightly smaller
than average and the tongue slightly
larger causing the person with Down
syndrome to sometimes protrude
his/her tongue.
• The occiput is slightly flattened.
• Nose may be small with a flat and low
bridge.
• Ears may also be small and low-set.
Ears small and low-set the ‘sandal gap’
Sindrom Down
• The neck in new-born babies may have excess skin nuchalfold.
Older children and adults tend to have short broad necks.
• A single crease across the palm of the hand (simian crease)
• Hands tend to be broader and shorter and the little finger can
sometimes curve inwards.
• A bigger than normal space between the first and second toe (the
‘sandal gap’).
• Low muscle tone or ‘hypotonia’ is common among babies and very
young children with Down syndrome. Hypotonia generally improves
over time, and most children with Down syndrome will have
physiotherapy in infancy and childhood to help improve their
hypotonia.
• Babies may have a low birth-weight.
• The average height of a child or adult with Down syndrome is less
than that of the rest of the population.
• Most people with Down syndrome have a slow metabolism and put
on extra weight more easily than their peers (metabolism refers to
how quickly or slowly your body uses up the calories from the food
you have eaten).
Prenatal Diagnosis of Down syndrome
Prenatal Screening* Prenatal Diagnosis
• Triple Screen: • Chorionic Villus Sampling:
– (βhCG, AFP, uE3) ~99.9%
• Quadruple Screen: – (10‐14 weeks, ≤1% spont
termin)
– (βhCG, AFP, uE3, inhibin‐A)
• First‐trimester Combined: • Amniocentesis: ~99.9%
– (after 15thweek; ≤0.25%
– (Ultrasound, βhCG, PAPP‐A)
spont term)
• Integrative Screen:
• Sequential Screen:
– Independent
– Stepwise
– Contingent
Diagnosis postnatal
• Perlu dicurigai jika didapatkan gangguan tumbuh kembang,
khususnya perkembangan
• Jika kecurigaan besar terhadap Down Syndrome maka bisa
dilanjutkan dengan pemeriksaan sitogenik untuk mencari
trisomy 21
OTHER GENETIC DISORDER
Patau Mental retardation, heart defects, CNS abnormalities, microphthalmia, polydachtyly, a
Syndrome cleft lip with or without a cleft palate, coloboma iris, and hypotonia, Clenched hands
Trisomi 13 (with outer fingers on top of the inner fingers), Close-set eyes, Low-set ears, Single
noninherited palmar crease, microcephaly, Small lower jaw (micrognathia), cryptorchidism, Hernia
Many infants with trisomy 13 die within their first days or weeks of life.
It is three times more common in girls than boys. Many individuals with trisomy 18 die
before birth or within their first month.
No unusual physical features, increased risk of learning
disabilities and delayed development of speech and
Jacob Syndrome language skills. Delayed development of motor skills,
47, XYY weak muscle tone (hypotonia), hand tremors or other
involuntary movements (motor tics), and behavioral and
emotional difficulties
Kallmann syndrome Genetic disorder consists of hypogonadotropic
hypogonadism + anosmia
Marfan syndrome Mutasi pada fibrillin (protein pada jaringan ikat tubuh).
3 dari 4 kasus A tall, thin build, Long arms, legs, fingers, and toes and
bersifat diturunkan flexible joints, skoliosis, pektus karinatum/ ekskavatum,
Teeth that are too crowded, Flat feet.
– Atau keduanya
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
Tanda Gagal Jantung
Pemeriksaan Penunjang
Medikamentosa
• Ada 3 jenis obat yang digunakan untuk terapi gagal jantung:
- Inotropik untuk meningkatkan kontraktilitas jantung
- Diuretik untuk mengurangi preload/ volume diastolik akhir
- Vasodilator untuk mengurangi afterload atau tahanan yang dialami saat ejeksi ventrikel
85. TRANSFUSI KOMPONEN DARAH
• Gagal ginjal akut (GGA) ialah penurunan fungsi ginjal mendadak yang
mengakibatkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan
homeostasis
• Terdapat peningkatan kadar kreatinin darah secara progresif 0,5 mg/dL
per hari dan peningkatan ureum sekitar 10-20 mg/dL per hari.
• GGA dapat bersifat oligurik dan non-oligurik.
– Oliguria ialah produksi urin <1 ml/kgBB/ jam untuk neonatus dan <0,8
ml/kgBB/jam untuk bayi dan anak.
• Jenis GGA
– GGA prarenal: dehidrasi, syok, perdarahan, gagal jantung, sepsis
– GGA renal: pielonefritis, glomerulonefritis, nefrotoksisitas karena obat atau
kemoterapi, lupus nefritis, nekrosis tubular akut, SHU, HSP
– GGA pascarenal: keracunan jengkol, batu saluran kemih, obstruksi saluran
kemih, sindrom tumor lisis, buli-buli neurogenik
Acute Renal Failure
Klasifikasi
Patogenesis
Tatalaksana Medikamentosa GGA
• Terapi sesuai penyakit primer • Pemberian diuretik pada GGA
• Bila terdapat infeksi, dosis renal dengan furosemid 1-2
antibiotik disesuaikan dengan mg/kgBB dua kali sehari dan
beratnya penurunan fungsi ginjal dapat dinaikkan secara
• Pemberian cairan disesuaikan bertahap sampai maksimum 10
dengan keadaan hidrasi mg/kgBB/kali. (pastikan
kecukupan sirkulasi dan bukan
• Koreksi gangguan merupakan GGA pascarenal).
ketidakseimbangan cairan
elektrolit • Bila gagal dengan
medikamentosa, maka
• Natrium bikarbonat untuk dilakukan dialisis peritoneal
mengatasi asidosis metabolik atau hemodialisis.
sebanyak 1-2 mEq/kgBB/ hari
sesuai dengan beratnya asidosis
88. Malaria
• Penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit
Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk anopheles. Berdasarkan jenis
plasmodiumnya, infeksi malaria ini dapat
menimbulkan berbagai gejala antara lain:
– Plasmodium vivax malaria tertian benigna/malaria
vivax
– Plasmodium falciparum malaria tertiana maligna/
malaria Tropicana
– Plasmodium malariae malaria kuartana
– Plasmodium ovale malaria tertian benigna ovale
Malaria the disease
• Possible cause:
• Binding of
parasitized red cells
in cerebral capillaries
→ sekuestrasi →
severe malaria
• permeability of the
blood brain barrier
• Excessive induction
ofcytokines
http://www.microbiol.unimelb.edu.au
Penatalaksanaan
Malaria Berat di
Pelayanan Primer dan
Sekunder
PJB
Asianotik Cyanotic
Sumber : Kllegman RM, Staton BF, Schor N,et all. Nelson Texbook of Pediatrics. 19th edition. New York : Saunders; 2011.
Pneumonia
• Tanda utama menurut WHO: fast breathing & lower chest indrawing
• Signs and symptoms :
– Non respiratory: fever, headache, fatigue, anorexia, lethargy, vomiting and
diarrhea, abdominal pain
– Respiratory: cough, chest pain, tachypnea , grunting, nasal flaring,
subcostal retraction (chest indrawing), cyanosis, crackles and rales (ronchi)
Pneumonia. PDPI
Klasifikasi berdasarkan predileksi
• Pneumonia lobaris
– pada satu lobus atau segmen
• Bronkopneumonia.
– Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada
lapangan paru.
– Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus.
Sering pada bayi dan orang tua.
• Pneumonia interstisial
Item Lobar pneumonia Bronchopneumonia
Age Lobar pneumonia Occurs in Extremes of ages
otherwise infants, olds and those
healthy individuals between 30 - 50 suffering
years of age (Young and adults) from chronic debilitating illness
or immuno-suppression.
Organism Mostly pneumococci (strep. Mixed organisms: viral,
Pneumonia) Staphylococci, Streptococci,
H. influenzae, Proteus and
Pseudomonas
Grossly Lobar or segmental consolidation Patchy, bilateral of both
lungs
Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lokasi Anatomis
Manifestasi Klinis
• Infeksi umum demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan
gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner.
• Gangguan respiratori batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air
hunger, merintih, dan sianosis.
Gambaran Radiologis
DISEASE RADIOGRAPHY
Etiology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negative organisms
Legionella
Bronchiolitis
Pneumonia
• Hubungan antara diagnosis klinis dan
Klasifikasi-Pneumonia (MTBS)
Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di
Kabupaten/Kota.
Klasifikasi Pneumonia (WHO) dan kriteria rawat inap
Kriteria rawat inap
Pneumonia Ringan
• Dx disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
• Napas cepat:
• pada anak umur 2 bulan – 11 bulan: ≥ 50 kali/menit
• pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
• Tx rawat jalan, beri antibiotik : Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari
selama 3 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.
Pneumonia Berat
• Dx Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini:
• Kepala terangguk-angguk
• Pernapasan cuping hidung
• Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
• Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi)
• Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
• Napas cepat
• Suara merintih (grunting) pada bayi muda
• Pada auskultasi terdengar : Crackles (ronki), suara pernapasan menurun, suara
pernapasan bronkial
• Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai: Tidak dapat menyusu atau
minum/makan, atau memuntahkan semuanya, Kejang, letargis atau tidak sadar,
sianosis, distres pernapasan berat.
Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di Kabupaten/Kota.
Tatalaksana
Pneumonia Berat
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat
(tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang,
letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan
kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai alternatif, beri
seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari.
Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di Kabupaten/Kota.
91. Disentri
918
Clinical Syndromes (Shigellosis)
• Ranges from asymptomatic infection to severe bacillary
dysentery
• Two-stage disease: watery diarrhea changing to dysentery
with frequent small stools with blood and mucus, tenesmus,
cramps, fever
• Early stage:
– Watery diarrhea attributed to the enterotoxic activity of Shiga
toxin
– Fever attributed to neurotoxic activity of toxin
• Second stage:
– Adherence to and tissue invasion of large intestine
– Typical symptoms of dysentery: loose stools with mucus and blood
– Cytotoxic activity of Shiga toxin increases severity
PENGOBATAN
• Anak dengan disentri harus dicurigai menderita shigellosis.
• Pilihan utama untuk Shigelosis: Kotrimoksazol (trimetoprim 10mg/kbBB/hari
dan sulfametoksazol 50mg/kgBB/hari) dibagi dalam 2 dosis, selama 5 hari.
• Alternatif yang dapat diberikan: Ampisilin 100mg/kgBB/hari/4 dosis, Cefixime
8mg/kgBB/hari/2 dosis, Ceftriaxone 50mg/kgBB/hari, Asam nalidiksat
55mg/kgBB/hari/4 dosis.
• Perbaikan seharusnya tampak dalam 2 hari, misalnya panas turun, sakit dan
darah dalam tinja berkurang, frekuensi BAB berkurang, dll.
• Terapi antiamebik diberikan dengan indikasi :
– Ditemukan trofozoit Entamoeba hystolistica tinja.
– Tinja berdarah menetap setelah terapi dengan 2 antibiotika berturut-turut
(masing-masing diberikan untuk 2 hari), yang biasanya efektif untuk disentri
basiler.
Hoffam RJ.Fleisher & Ludwig’s 5-Minute Pediatric Emergency Medicine Consult. New York : Lippincot ; 2012.
Omphalitis
Pathophysiology Diagnosis
• Kolonisasi bakteri pd jaringan sisa umbilikus. • Adanya inflamasi pada jaringan
• Sisa jaringan umbilikus merupakan medium sekitar umbilikus merah, bengkak,
pertumbuhan bakteri yg dapat menginfeksi jaringan dan nyeri.
sekitar.
• Cairan purulen dan berbau dari
• Pembuluh darah umbilikus terdekat dpt
menyebabkan penyebaran infeksi ke dalam aliran
umbillikus.
darah. • Dapat disertai dgn impetigo bulosa.
• Omfalitis dapat hanya terbatas pada daerah sekitar • Gejala sistemik demam, letargis
umbilikus atau menyebar hingga ke jaringan lunak dan penurunan intake.
dalam.
Etiologi
• Gram positif: Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, groups A and B streptococcus
• Gram negatif: Escherichia coli,Klebsiella
pneumoniae,Proteus mirabilis, Pseudomonas species
• Anaerobes: Clostridium tetani,Clostridium
perfringens, Clostridium difficile, Bacteroides fragilis
Hoffam RJ.Fleisher & Ludwig’s 5-Minute Pediatric Emergency Medicine Consult. New York : Lippincot ; 2012.
Management
Initial Stabilization Medication
Therapy • Parenteral broad-spectrum antibiotics are the mainstay of
• Address airway, breathing, treatment.
and circulation issues. • Antistaphylococcal penicillins and aminoglycoside agents have
• IV access should be promptly typically been the drugs of choice for the treatment and
obtained. prevention of complications in omphalitis:
• Sick neonates are often • Oxacillin, IV: 25 mg/kg t.i.d.–q.i.d.
hypothermic or hypoglycemic, • Gentamycin, IV: 2.5 mg/kg t.i.d.
so temperature and blood • IV cefotaxime (50 mg/kg t.i.d.) may be substituted for the
glucose should be rapidly aminoglycoside.
assessed and treated. • MRSA prevalence IV vancomycin (10 mg/kg t.i.d.)
• In the toxic-appearing infant, • Consider adding anaerobic coverage such as IV metronidazole (15
completion of the sepsis mg/kg b.i.d.) or IV clindamycin (5 mg/kg t.i.d.) in cases of foul-
workup should not delay the smelling drainage, known maternal infection at the time of
immediate administration of delivery, or deep infection such as myonecrosis or necrotizing
broad-spectrum antibiotics. fasciitiscal
• Additional topical Therapy with triple dye, bacitracin, and other
antimicrobials has been suggested in addition to parenteral
antibiotic therapy, but such treatment is unproven.
Galagher PG. Omphalitis Treatment & Management. 2016. Available from http://emedicine.medscape.com/article/975422
Management
Supportive Care
• Provide ventilatory assistance and supplementary oxygen for hypoxemia or
apnea unresponsive to stimulation.
• Administer fluid, vasoactive agents, or both (as indicated) for hypotension.
• Administration of platelets, fresh frozen plasma, or cryoprecipitate for
disseminated intravascular coagulation (DIC) and clinical bleeding is
suggested.
• Treat infants at centers capable of supporting cardiopulmonary function.
Surgical Care
Management of necrotizing fasciitis and myonecrosis.
Galagher PG. Omphalitis Treatment & Management. 2016. Available from http://emedicine.medscape.com/article/975422
93. Anemia Hemolitik Neonatus ec
Inkompatibilitas
Penyakit Keterangan
Inkompatibilitas ABO Aglutinin ibu bersirkulasi di darah anak
terhadap aglutinogen ABO anak. Ibu dengan
golongan darah O, menghasilkan antibodi
IgG Anti-A/B terhadap golongan darah anak
(A atau B). Biasanya terjadi pada anak
pertama.
Pemeriksaan Penunjang
• PRENATAL EMERGENCY CARE
• Tipe Rh ibu
• Rosette screening test atau Kleihauer-Betke acid elution
test, dapat mendeteksi alloimmunization yang
disebabkan oleh fetal hemorrhage
• Amniosentesis
• POSTNATAL EMERGENCY CARE
• Cek tipe ABO, Rh, Hb, Ht, serum bilirubin, apusan darah
dan direct Coombs test (apabila positif antibody-
induced hemolytic anemia)
Inkompatibilitas Rhesus
8. Inkompatibilitas Rh
TATALAKSANA
• Jika ibu hamil Rh- dan belum tersensitisasi human
anti-D immunoglobulin (Rh IgG atau RhoGAM)
• Jika ibu sudah tersensitisasi pemberian Rh IgG tidak
bermanfaat
• Jika bayi lahir dan mengalami inkompatibilitas
transfusi tukar/foto terapi, tergantung bilirubin serum,
rendahnya Ht, dan naiknya RE
TO 5
94 & 95. TORCH
Trias Congenital
Hidrosefalus
Toxoplasmosis
Ventriculomegali
Kalsifikasi
PPM IDAI 2011 Intrakranial Kalsifikasi
Jones J, Lopez A, Wilson M. Congenital
toxoplasmosis. AAFP, 2013
Congenital Toxoplasma Clinical
Presentation
• First Trimester – often results in death
• Second Trimester – classic triad
– Hydrocephalus
– Intracranial calcifications
– Chorioretinitis
• Third Trimester – often asymptomatic at birth
• Symptoms may also include fever, IUGR, microcephaly,
seizure, hearing loss, maculopapular rash, jaundice,
hepatosplenomegaly, anemia, and lymphadenopathy
Among symptomatic neonates, common
clinical findings include:
Pirimetamin/sulfadiazin + leucovorin
Pirimetamin: 100 mg di hari 1 lanjut 25-50 mg/hari
Sulfadiazin: 4 x 1 gram/hari
Leucovorin (asam folat): 7.5 mg/hari selama 4-6 minggu
• Anak
Pirimetamin 1mg/kgBB/12 jam selama 2 hari dilanjutkan tiap hari sampai usia2-6 bulan,
dan 3x/minggu sampai usia 1 tahun.
Sulfadiazin 50mg/kgBB/12jam sampai usia 1 tahun.
Asam folat 10 mg, 3x/minggu sampai 1 minggu setelah pemberian pirimetamin
berhentiuntuk mencegah supresi sumsum tulang.
Prednison 0,5 mg/kgBB/12jam diberikan pada infeksi susunan saraf pusat yang aktif
(protein >1g/dL), korioretinitis aktif, penglihatan yang mengancam
Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV dan T.gondii dapat diberikan terapi bersama
antiretroviral seperti zidovudin.
PPM IDAI 2011
Infeksi Rubella Kongenital
General
Cardiovascular system
Patent ductus arteriosus Common Early May occur with pulmonary artery stenosis
Eye
Skin
Chronic rubelliform rash Uncommon Early Usually generalized; lasts several weeks
Lungs
Generalized; probably immunologically
Interstitial pneumonia Uncommon Delayed
mediated
Liver
Blood
Immune system
Bone
Transient; most common in distal femur
Radiographic lucencies Common Early
and proximal tibia
Large anterior fontanel Uncommon Early ...
Diphteria Classification
• Respiratory diphtheria
– Nasal diphtheria
• Pilek ringan dangan atau tanpa gejala sistemik
• Sekret hidung
• Tampak pseudomembran putih pada septum nasi
– Pharyngeal and tonsillar diphtheria
• nyeri tenggorok
• Bull-neck (bengkak pada leher)
• Pseudomembran purulen berwarna putih keabuan
di faring, tonsil, uvula, palatum
– Laryngeal diphtheria
• Stridor progresif dan suara parau, batuk kering
• Demam tinggi, lemah, sianosis, pembengkakan
KGB leher
• Cutaneous diphtheria
– Any break in the skin, can became infected
with diphteria
– It made ulceration and usually covered by a
gray-brown pseudomembrane
Presentasi klinis • Gejala awal infeksi saluran
napas atas: malaise, nyeri
tenggorokan, pilek, sekret
hidung berdarah, suara serak,
batuk, nyeri menelan, demam,
cutaneous diphtheria, pada
anak anak bisa sulit menelan
liur (drooling)
• Pada kasus berat: suara napas
Cutaneous diphtheria stridor inspiratorik, sesak
napas
• Inspeksi tampak bull neck
(pembengkakan nodus limfatik
servikal), faring hiperemis
• Pseudomembran: membrane
keabuan asimetris, sulit
diangkat dan mudah berdarah
Bull-neck pada difteri
http://4.bp.blogspot.com/
Pemeriksaan penunjang
• Saat KLB tidak rutin dilakukan. Kecuali diagnosis tidak jelas
(pembengkakan leher tanpa pseudomembran), atau dicurigai
adanya resistensi antimikroba
• Bisa lakukan swab tepi lesi mukosa dan masukkan dalam media
transport (Amies atau Stuart), kemudian inokulasi dalam:
– blood agar
– media mengandung tellurit (setelah periode inkubasi 18-24 jam)
– isolasi dalam media Loeffler
• Koloni bisa diperiksa produksi toksinnya menggunakan tes
immunopresipitat Elek (24-48 jam)
• Bila kultur positif dan ditemukan toksin, konfirmasi etiologi
diagnosis
http://www.who.int/immunization/policy/position_papers/wer_31_diphtheria_updated_position_paper.pdf?ua=1
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/68334/1/WHO_V-B_03.01_eng.pdf?ua=1
PPM RSCM Dept IKA 2015
Antitoksin (DAT/ADS)
• ADS atau anti difteria serum adalah equine serum yang jadi
standar baku pengobatan difteri, diberikan segera setelah
ditemukan kasus difteri berdasarkan klinis (tidak perlu tunggu
pemeriksaan laboratorium)
• Pemberian antitoksin hari pertama menurunkan angka
kematian <1%, penundaan lebih dari hari ke 6 menyebabkan
angka kematian meningkat sampai 30%
• Kontraindikasi: wanita hamil, reaksi alergi
• Dosis anak dan dewasa sama
• Uji kulit sebelum pemberian ADS karena bisa terjadi reaksi
anafilaktik, suntikkan 0.1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis
1:1000 intrakutan (positif bila indurasi >10 mm)
http://www.who.int/immunization/policy/position_papers/wer_31_diphtheria_updated_position_paper.pdf?ua=1
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/68334/1/WHO_V-B_03.01_eng.pdf?ua=1
PPM RSCM Dept IKA 2015
Dosis ADS
http://www.who.int/immunization/policy/position_papers/wer_31_diphtheria_updated_position_paper.pdf?ua=1
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/68334/1/WHO_V-B_03.01_eng.pdf?ua=1
PPM RSCM Dept IKA 2015
Komplikasi
• Biasanya karena keterlambatan pemberian antitoksin
• Komplikasi:
– Miokarditis (muncul umumnya minggu ke-2, rerata 1-6 minggu),
takikardia, bunyi jantung 1 menjauh, murmur, aritmia
– Gangguan system saraf neuropati perifer, paralisis palatum molle
– Otitis media
– Gawat napas akibat obstruksi jalan napas atas
• Ringan: batuk menggonggong hilang timbul, stridor (-), retraksi (-)/ringan
• Sedang: batuk menggonggong lebih sering, stridor istirahat, retraksi tanpa
distress napas/agitasi
• Berat: batuk menggonggong lebih sering, stridor inspirasi, retraksi jelas
dengan distress napas dan agitasi signifikan
• Gagal napas terjadi segera: stridor kadang sulit didengar, retraksi, letargi,
penurunan kesadaran, sianosis
Pencegahan
• Pada kondisi KLB, orang yang kontak erat di nilai status vaksinasi
nya. Anaka dapat imunisasi dasar: booster toksoid difteria
• Dapat diberikan vaksin serta antibiotik profilaksis
WHO
97. Vaksin varicella dan imunisasi
• Varicella : vaccine-preventable childhood infectious
disease
• Vaksin varisela: Using live attenuated varicella-zoster
vaccine (Oka strain) to provide immunity for the
prevention of varicella in individuals 12 months and
older
• FDA approved to give as postexposure use and for
outbreak control. The vaccine should be given as soon
as possible after exposure, but when it is given within
three or five days post-exposure, it has shown
effectiveness in preventing or modifying disease
• Pemberian pada usia >12 bulan
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK4419
46/
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 1
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tda
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 b
Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan in
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bula
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 ming
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diber
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan denga
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. U
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan inte
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan M
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberika
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara deng
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis a
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan boo
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Cara membaca kolom usia: misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d 2 bulan 29 hari (89 hari)
aVaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan)
bApabila diberikan pada remaja 10-13 tahun pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12
1. Vaksin Hepatitis B: vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam 12 jam
setelah lahir, didahului pemberian vitamin K, minimal 30 menit sebelumnya, jadwal
pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0, 1 dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg
positif diberikan vaksin HB dan IG hep B (HbIg) pada extremitas berbeda. Apabila
diberikan HB kombinasi dengan DTPw maka jadwal pemberian pada usia 2,3, dan 4
bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa maka jadwal pemberian pada usia 2,
4, dan 6 bulan.
2. Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana
kesehatan OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster
diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan
dengan OPV-3
3. Vaksin BCG: pemberian sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan
usia 3 bulan atau lebih perlu diuji tuberkulin
4. Vaksin DTP: DTP 1 paling cepat usia 6 minggu, dapat diberikan DTPW atau DTPa atau
kombinasi dengan vaksin lain. Apabila DTPa maka interval 2,4,6 bulan. Untuk usia lebih
7 tahundiberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia
10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun
5. Vaksin pneumokokkus (PCV): apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2
kali dengan interval 2 bulan dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir.
Anak diatas 2 tahun PCV cukup 1 kali
6. Vaksin rotavirus. Monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama 6-14 minggu, kedua
diberikan interval minimal 4 minggu, batas akhir pemberian pada 24 minggu.
Pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama 6-14 minggu, dosis kedua dan ketiga interval
4-10 minggu, batas akhir pemberian pada 32 minggu
7. Vaksin influenza: diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk
imunisasi pertama anak kurang dari 9 tahun diberikan dua kali dengan interval minimal
4 minggu. Untuk anak usia 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. untuk anak usia 36 bulan atau
lebih, dosis 0,5 mL
8. Vaksin campak: campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan bila sudah mendapat
MMR
9. MMR/MR: apabila sudah mendapatkan pada usia 9 bulan maka diberikan pada usia
15 bulan (interval minimal 6 bulan). Apabila usia 12 bulan belum vaksin campak,
dapat diberikan MMR/MR
10. Varisela: diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik sebelum masuk SD. Apabila lebih
dari 13 tahun perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu
11. HPV: diberikan mulai usia 10 tahun, bivalen jadwal 3 kali 0,1,6 bulan. Tetravalen 0,2,6
bulan. Bila diberikan usia 10-13 tahun, cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan
12. Japanese Encephalitis: diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemic atau turis
yang akan ke daerah endemic. Perlindungan jangka panjang diberikan booster 1-2
tahun berikutnya
13. Vaksin dengue: diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0,6, dan 12 bulan
KONTRAINDIKASI IMUNISASI
• Berlaku umum untuk semua vaksin
Indikasi Kontra BUKAN Indikasi Kontra
• Reaksi anafilaksis terhadap • Reaksi lokal ringan-sedang (sakit,
vaksin (indikasi kontra kemerahan, bengkak) sesudah suntikan
pemberian vaksin tersebut vaksin
berikutnya) • Demam ringan atau sedang pasca vaksinasi
• Reaksi anafilaksis terhadap sebelumnya
konstituen vaksin • Sakit akut ringan dengan atau tanpa demam
• Sakit sedang atau berat, dengan ringan
atau tanpa demam • Sedang mendapat terapi antibiotik
• Masa konvalesen suatu penyakit
• Prematuritas
• Terpajan terhadap suatu penyakit menular
• Riwayat alergi, atau alergi dalam keluarga
• Kehamilan Ibu
• Penghuni rumah lainnya tidak divaksinasi
Pedoman Imunisasi di Indonesia. Satgas Imunisasi – IDAI. 2008
Kontraindikasi Imunisasi Spesifik
Imunisasi Indikasi Kontra
DTP • Ensefalopati dalam 7 hari pasca DTP sebelumnya
Perhatian khusus :
• Demam >40.5⁰C dan episode hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam pasca
DTP sebelumnya
• Kejang dalam 3 hari pasca DTP sebelumnya
• Sindrom Guillain Barre dalam 6 minggu pasca vaksinasi
Polio Oral • Infeksi HIV atau kontak HIV serumah
• Imunodefisiensi pada pasen atau pada penghuni serumah
Polio Inactivated • Reaksi anafilaksis terhadap neomisin, streptomisin, atau polimiksin-B
MMR • Reaksi anafilaksis terhadap neomisin atau gelatin
• Kehamilan
• Imunodefisiensi dengan imunosupresi berat
Hepatitis B • Reaksi anafilaksis terhadap ragi
Varisela • Reaksi anafilaksis terhadap neomisin dan gelatin
• Kehamilan
• Infeksi HIV
• Imunodefisiensi
98. Methemoglobinemia
• Kompleks heme dalam Hb memiliki ion besi dalam bentuk tereduksi yaitu ferro
(Fe2+).
• Ion besi dalam Fe2+ inilah yang bisa mengikat oksigen menjadi oksihemoglobin.
• Oksihemoglobin kemudian melepas oksigen di jaringan dan kembali ke dalam
bentuk Fe2+.
• Ketika hemoglobin kehilangan salah satu elektronnya dan teroksidasi, Fe2+
berubah menjadi Fe3+ atau bentuk ferri inilah yang disebut methemoglobin
• Methemoglobin kekurangan satu electron untuk bisa mengikat oksigen
• Kadar normal methemoglobin dibawah 1%
• Terdapat mekanisme tubuh untuk mengembalikan Hb yang teroksidasi tersebut
melalui reduksi oleh glutathione, Cytochrome b5 reductase, dan glucose-6-
phosphate dehydrogenase (G6PD)
Etiology
D E S I G N AT I O N EXAMPLES
TB RO: kontakTB
tersangka resisten
Obat (RO) atau
terbukti resisten Obat
Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid
KETERANGAN
• ILTBInfeksi Laten TB
• Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari
selama 6 bulan.
• Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya gejala
TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera
dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke
regimen terapi TB anak dimulai dari awal
• Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan
pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihentikan.
• Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah
pengobatan profilaksis dengan INH selesai.
100. Malnutrisi Energi Protein
• Malnutrisi: Ketidakseimbangan seluler antara asupan dan kebutuhan
energi dan nutrien tubuh untuk tumbuh dan mempertahankan fungsinya
(WHO)
• Dibagi menjadi 3:
– Overnutrition (overweight, obesitas)
– Undernutrition (gizi kurang, gizi buruk)
– Defisiensi nutrien spesifik
• Malnutrisi energi protein (MEP):
– MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang)
– MEP derajat berat (gizi buruk)
• Malnutrisi energi protein berdasarkan klinis:
– Marasmus
– Kwashiorkor
– Marasmik-kwashiorkor
edema
rambut kemerahan, mudah
dicabut
kurang aktif, rewel/cengeng
pengurusan otot
Kelainan kulit berupa bercak
merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor
• Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan
kwashiorkor secara bersamaan
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk
• Z-score → menggunakan • BB/IBW (Ideal Body Weight)
kurva WHO weight-for- → menggunakan kurva CDC
height • ≥80-90% mild
• <-2 – moderate wasted malnutrition
• <-3 – severe wasted gizi • ≥70-80% moderate
buruk malnutrition
• ≤70% severe
• Lingkar Lengan Atas < 11,5 malnutrition Gizi Buruk
cm
Kwashiorkor Marasmus
Karbohidrat
Protein
Serum Albumin
Lemak subkutan
Longstanding
starvation
Emergency Signs in Severe
Malnutrition
• Dibutuhkan tindakan resusitasi
• Tanda gangguan airway and breathing :
– Tanda obstruksi
– Sianosis
– Distress pernapasan
• Tanda dehidrasi berat → rehidrasi secara ORAL.
Dehidrasi berat sulit dinilai pada malnutrisi berat.
Terdapat risiko overhidrasi
• Tanda syok : letargis, penurunan kesadaran
– Berikan rehidrasi parenteral (Resusitasi Cairan)
Cause difference
MARASMUS K WA S H I O R KO R
Marasmus is multi nutritional Kwashiorkor occurs due to the lack of
deficiency proteins in a person's diet
Marasmus usually affects very young Kwashiorkor affects slightly older
children children mainly children who are
weaned away from their mother's
milk
Marasmus is usually the result of a Kwashiorkor can occur rapidly
gradual process
10 Langkah Utama Penatalaksaan Gizi Buruk
No Tindakan Stabilisasi Transisi Rehabilitasi
Tindaklanjut H 1-2 H 3-7 H 8-14 mg
3-6 mg 7-26
1. Atasi/cegah hipoglikemia
2. Atasi/cegah hipotermia
3. Atasi/cegah dehidrasi
5. Obati infeksi
6. Perbaiki def. nutrien mikro tanpa Fe + Fe
8. Makanan Tumb.kejar
9. Stimulasi
– Observasi kemajuan rehidrasi tiap 30 menit selama 2 jam pertama, lalu tiap 1 jam untuk
6-12 jam selanjutnya. Observasi HR, RR, frekuensi miksi, frekuensi defekasi/muntah
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
Semua anak dengan malnutrisi berat mengalami hipernatremia
5. Obati/cegah infeksi tanda umum infeksi sering tidak dijumpai pada
malnutrisi
Saat rawat inap, berikan secara rutin: antibiotik spektrum luas , vaksinasi campak
jika usia >6 bulan dan belum mendapat imunisasi (tunda jika klinis buruk)
Antibiotik spektrum luas:
6. Koreksi defisiensi mikronutrien
Hari pertama:
– Vit A (usia 0-5 bln 50.000 IU, 6-12 bulan 100.000 IU, >12 bulan 200.000 IU)
– Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir, beri vitamin A
dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15.
– Asam folat 5 mg PO
Pemberian harian selama 2 minggu:
– Multivitamin
– Asam folat 1 mg/hari
– Zinc 2 mg/kgBB/hari
– Copper 0,3 mg/kgBB/hari
– Besi 3 mg/kg/hari (pada fase rehabilitasi)
7. Pemberian makan
Fase stabilisasi
– Porsi kecil, osmolaritas rendah, rendah laktosa F75
– Peroral/NGT
– Energi: 80-100 kkal/kgBB/hari
– Protein: 1-1,5 g/kgBB/hari
– Cairan: 130 mL/kgbb/hari
– Lanjutkan pemberian ASI setelah formula dihabiskan
Ketentuan Pemberian Makan Awal
• Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah
osmolaritas serta rendah laktosa
• Berikan secara oral atau melalui NGT, hindari pemberian
parenteral
• Formula awal F-75 diberikan sesuai standar WHO dan
sesuai jadwal makan yang dibuat untuk mencukupi
kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi
• Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan
bahwa jumlah F-75 yang dibutuhkan harus dipenuhi
• Apabila pemberian makan oral tidak mencapai kebutuhan
minimal, berikan sisanya melalui NGT
• Pada fase transisi, secara bertahap ganti F-75 dengan F-
100
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
8. Mencapai kejar-tumbuh
– Target peningkatan berat badan >10 g/kg/hari
Bila kenaikan berat badan <5g/kgBB/hari, lakukan penilaian ulang apakah target
asupan makanan memenuhi kebutuhan dan cek tanda-tanda infeksi
101. Rickets
• Rickets merupakan kelainan yang terjadi akibat gangguan mineralisasi matriks
tulang di lempeng pertumbuhan, dengan pertumbuhan tulang yang terus
berlanjut.
• Mudahnya, tulang terus bertumbuh, namun mineralisasinya kurang sehingga
tulang tidak tebal dan “lembek”.
• Karena “lembek” inilah maka tulang cenderung menjadi membengkok, terutama
pada area weight bearing (ekstremitasi bawah). Bengkok pada tulang ekstremitas
bawah ini dapat menjadi berbentuk O (pediatric genu varum/bow legged) atau X
(pediatric genu valgum/knock knees)
• Selain itu, tulang yang terkena juga tidak hanya pada ekstremitas bawah namun
bisa juga pada area lain
Rickets (Rakitis)
• Rickets: Metabolic disease
of growing bone that is
unique to children
(especially of first 2 years)
and adolescents.
• Caused by failure of osteoid
to calcify in growing bone
• Vitamin D deficiency rickets
occurs when the
metabolites of vitamin D are
deficient.
*Nutritional Vit D Deficiency:
Most common cause of
rickets globally.
Etiologi
• Etilogi utama
berasal dari
defisiensi
vitamin D dan
kurangnya
paparan
terhadap sinar
matahari
• Hal ini
dikarenakan
regulasi kalsium
pada tubuh
dipengaruhi oleh
kedua kondisi ini
Gejala klinis
Nelson Pediatrics
Rickets Clinical Features
• GENERAL:
– Failure to thrive, Unenergetic, Protuding abdomen ,
Muscle weakness (especially proximal), Fractures
• HEAD :
– Craniotabes (Softening of cranial bones. Detected by
applying pressure at the occiput or parietal bones, like
pinpong ball), May be a normal finding in many
newborns, especially near the suture lines, but
disappears within a few months of birth.
– Frontal bossing, Delayed fontanelle closure, Delayed
dentition; caries, Craniosynostosis
Rickets Clinical Features
• CHEST
– Rachitic rosary: Widening of costochondral junctions. Feels like beads
of a rosary as the examiner's fingers move along the costochondral
junctions from rib to rib.
– Harrison groove: Horizontal depression along lower anterior chest.
• Due to pulling of softened ribs by diaphragm during inspiration.
• Softening of ribsimpairs air movement & predisposes to atelectasis.
– Respiratory infections and atelectasis
• BACK
– Scoliosis, Kyphosis, Lordosis
• EXTREMITIES
– Enlargement of wrists and ankles, Valgus or varus deformities,
Anterior bowing of the tibia and femur, Coxa vara, Leg pain
Windswept deformity
Toddlers: Bowed Older children: Knock- (combination of valgus
legs (genu varum) knees deformity of 1 leg with varus
(genu valgum) deformity of the other leg)
Harrison groove
Anterior bowing of
the tibia
Frontal bossing
Suradi R. Tata laksana Bayi dari Ibu pengidap HIV/AIDS. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 4, Maret 2003: 180 – 185
Permenkes RI no. 51 tahun 2013. Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak.
Risiko transmisi vertikal bergantung pada beberapa faktor.
• Usia kehamilan.
– Transmisi vertikal jarang terjadi pada waktu ibu hamil muda, karena
plasenta merupakan barier yang dapat melindungi janin dari infeksi
pada ibu.
– Transmisi terbesar terjadi pada waktu hamil tua dan waktu persalinan.
• Beban virus di dalam darah.
• Kondisi kesehatan ibu .
– Stadium dan progresivitas penyaklit ibu, ada tidaknya komplikasi,
kebiasaan merokok, penggunaan obat-obat terlarang dan defisiensi
vitamin A.
• Faktor yang berhubungan dengan persalinan; seperti masa
kehamilan, lamanya ketuban pecah, dan cara persalinan bayi baru
lahir.
• Pemberian profilaksis obat antiretroviral
• Pemberian ASI, risiko 15-20%, bila ada lecet payudara risiko
membesar hingga 63%
PENCEGAHAN TRANSMISI VERTIKAL
1. Pencegahan primer
– Pendekatan yang paling efektif untuk mencegah transmisi vertikal
pencegahan pada wanita usia subur.
– Konseling sukarela, rahasia, dan pemeriksaan darah adalah cara
mendeteksi pengidap HIV secara dini
2. Pencegahan sekunder
– Pemberian antiretrovirus secara profilaksis
• Pertolongan persalinan pada bayi baru lahir dari ibu yang mengidap
HIV/AIDS seperti pada pertolongan persalinan normal dengan
menerapkan universal precaution.
• Bila ARV tersedia dapat diberikan kepada bayi.
• Obat yang dianjurkan untuk mengurangi transmisi vertikal pada neonatus
adalah Zidovudine selama 6 minggu atau Niverapine sebanyak satu kali
pemberian.
PENCEGAHAN TRANSMISI VERTIKAL
• Pemberian profilaksis ARV dimulai hari pertama setelah lahir
selama 6 minggu. Obat ARV yang diberikan adalah zidovudine (AZT
atau ZDV) 4 mg/kgBB diberikan 2 kali sehari.
• Selanjutnya anak dapat diberikan kotrimoksazol profilaksis mulai
usia 6 minggu dengan dosis 4-6 mg/kgbb, satu kali sehari, setiap
hari sampai usia 1 tahun atau sampai diagnosis HIV ditegakkan.
– Pertolongan persalinan oleh petugas terampil
– Pembersihan jalan lahir
– Persalinan dengan SC
– Menjaga kesehatan ibu menjaga nutrisi cukup terutama
vitamin A, riboflavin dan mikronutrien
Pemberian ASI pada Ibu dengan HIV
2. Pemberian Antiretrovirus
– Ibu dengan HIV yang mengkonsumsi ARV menurunkan
resiko transmisi HIV melalui ASI angka penularan ↓
0,9%
3. Memanaskan ASI
– Bila ingin memberikan ASI, dapat dilakukan dengan
memerah ASI lalu memanaskannya sehingga virus HIV mati
– Metode flash heating ASI ditaruh dalam tempat
kemudian ditaruh di panci kecil berisi air kemudian
dipanaskan mendidih segera diangkat dan dibiarkan
dingin sampai suhu tubuh
– Cara ini tidak mengganggu kadar vitamin A, mnurunkan
kadar vitamin B2 dan B6
Pemberian ASI oleh Ibu HIV
• PILIH SALAH SATU!!: ASI atu SUSU FORMULA
• Pemberian susu formula disarankan hanya pada ibu yang
dapat memenuhi syarat AFASS (affordable, feasible,
acceptable, sustainable, dan safe)
• Ibu dengan bayi dengan status HIV (-) atau tidak diketahui
tetap boleh memberikan ASI jika tidak dapat memenuhi
AFASS
• Pada negara berkembang, WHO menyarankan untuk
dilakukan pemberian ASI dikarenakan kesulitan memenuhi
kriteria AFASS
• Jika kemudian syarat AFASS dapat terpenuhi, untuk
melakukan penghentian ASI, bayi dapat secara total diberi
susu formula, sehingga produksi ASI akan terhenti secara
berangsur (ASI TIDAK diberikan kembali).
Alasan ASI dan Sufor tidak boleh
Selang Seling
• Sangat tidak dianjurkan untuk mencampur ASI
dengan susu formula risiko tertinggi penularan HIV
ke bayi karena susu formula adalah benda asing yang
dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding usus
virus HIV mudah masuk dalam ASI ke darah bayi.
• Jika bayi telah diketahui HIV positif: i) ibu sangat
dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif sampai bayi
berumur enam bulan; ii) mulai usia enam bulan, bayi
diberikan makanan pendamping ASI dan ASI tetap
dilanjutkan sampai anak berumur dua tahun.
PPIA 2015. Depkes
Pemenuhan syarat AFASS ditandai
dengan adanya:
• i) memiliki jaminan atas akses air bersih dan sanitasi
yang baik;
• ii) mampu menyediakan susu formula dalam jumlah
cukup untuk mendukung tumbuh kembang anak;
• iii) mampu menyiapkan susu formula dengan bersih
dan dengan frekuensi yang cukup, sehingga bayi aman
dan terhindar dari diare dan malnutrisi;
• İv) dapat memenuhi kebutuhan susu formula secara
terus-menerus sampai bayi berusia 6 bulan;
• v) keluarga mampu memberikan dukungan dalam
proses pemberian susu formula yang baik; dan
• vi) dapat mengakses pelayanan kesehatan yang
komprehensif bagi bayinya.
ASI Peras yang Dipanaskan
• Alternatif atas indikasi:
– Jika bayi: berat lahir rendah, sakit, atau tidak bisa menyusui.
– Jika ibu sakit, sementara waktu tidak dapat menyusui, atau sedang mengalami
– masalah pada payudara (misalnya mastitis, puting lecet/luka).
– Bayi dalam masa persiapan penyapihan.
– ARV untuk sementara waktu tidak tersedia.
• Ada dua metode sederhana, yaitu:
– Pemanasan ASI dengan cara cepat (flash-heating).
Letakkan ASI perah pada wadah terbuka yang berbahan gelas di dalam panci
yang sudah berisi air dan panaskan panci di atas api sampai air mendidih.
Matikan api bila air sudah mendidih, angkat segera ASI perah dari panci. Tutup
dan biarkan ASI berangsur-angsur menjadi dingin.
– Pasteurisasi cara Pretoria.
Rebus air dalam wadah (panci) sampai mendidih dan angkat panci, matikan
apinya. Letakan ASI perah dalam tempat yang berbahan gelas, tutup,
kemudian letakkan dalam air panas yang sudah dididihkan tersebut selama 20
menit, lalu angkat dan biarkan dingin.
103. KONTRAINDIKASI IMUNISASI
• Berlaku umum untuk semua vaksin
Indikasi Kontra BUKAN Indikasi Kontra
• Reaksi anafilaksis terhadap • Reaksi lokal ringan-sedang (sakit,
vaksin (indikasi kontra kemerahan, bengkak) sesudah suntikan
pemberian vaksin tersebut vaksin
berikutnya) • Demam ringan atau sedang pasca vaksinasi
• Reaksi anafilaksis terhadap sebelumnya
konstituen vaksin • Sakit akut ringan dengan atau tanpa demam
• Sakit sedang atau berat, dengan ringan
atau tanpa demam • Sedang mendapat terapi antibiotik
• Masa konvalesen suatu penyakit
• Prematuritas
• Terpajan terhadap suatu penyakit menular
• Riwayat alergi, atau alergi dalam keluarga
• Kehamilan Ibu
• Penghuni rumah lainnya tidak divaksinasi
Pedoman Imunisasi di Indonesia. Satgas Imunisasi – IDAI. 2008
Kontraindikasi Imunisasi Spesifik
Imunisasi Indikasi Kontra
DTP • Ensefalopati dalam 7 hari pasca DTP sebelumnya
Perhatian khusus :
• Demam >40.5⁰C dan episode hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam pasca
DTP sebelumnya
• Kejang dalam 3 hari pasca DTP sebelumnya
• Sindrom Guillain Barre dalam 6 minggu pasca vaksinasi
Polio Oral • Infeksi HIV atau kontak HIV serumah
• Imunodefisiensi pada pasen atau pada penghuni serumah
Polio Inactivated • Reaksi anafilaksis terhadap neomisin, streptomisin, atau polimiksin-B
MMR • Reaksi anafilaksis terhadap neomisin atau gelatin
• Kehamilan
• Imunodefisiensi dengan imunosupresi berat
Hepatitis B • Reaksi anafilaksis terhadap ragi
Varisela • Reaksi anafilaksis terhadap neomisin dan gelatin
• Kehamilan
• Infeksi HIV
• Imunodefisiensi
Kontraindikasi BCG
• Reaksi uji tuberkulin >5 mm,
• Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV,
• imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat
imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit
keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem
limfe,
• Menderita gizi buruk,
• Menderita demam tinggi,
• Menderita infeksi kulit yang luas,
• Pernah sakit tuberkulosis,
• Kehamilan.
Pertimbangan Pemberian Imunisasi
• Kontra indikasi absolut imunisasi adalah defisiensi imun dan pernah
menderita syok anafilaksis pada imunisasi terdahulu. Sedangkan
demam tinggi atau sedang dirawat karena penyakit berat
merupakan kontra indikasi sementara, sehingga anak tetap harus
diimunisasi apabila telah sembuh.
• Anak dengan batuk-pilek ringan dengan atau tanpa demam boleh
diimunisasi, kecuali bila bayi sangat rewel, imunisasi dapat ditunda
1-2 minggu
• Pengurangan dosis imunisasi menjadi setengahnya, atau membagi
dosis sangat tidak dibenarkan.
• Anak yang sedang minum antibiotik tetap diperbolehkan imunisasi
• Apabila anak sedang minum obat prednison 2 mg/kgbb/hari,
dianjurkan menunda imunisasi 1 bulan setelah selesai pengobatan.
Idai.or.id
Pertimbangan Pemberian Imunisasi
• Pada bayi prematur, vaksin polio sebaiknya diberikan
sesudah bayi prematur berumur 2 bulan atau berat
badan sudah > 2000 gram, demikian pula DPT, hepatitis
B dan Hib.
• Apabila bayi / anak sudah pernah sakit campak, rubela
atau batuk rejan, imunisasi boleh dilakukan untuk
penyakit-penyakit tersebut.
• Vaksinasi bayi / anak dengan riwayat pernah sakit
campak akan meningkatkan kekebalan dan tidak
menimbulkan risiko. Diagnosis campak dan rubella
tanpa konfirmasi laboratorium sangat tidak dapat
dipercaya.
104. Pemberian Tetrasklin pada Anak
• Tetracycline is a broad-spectrum antibiotic that crosses
placental barrier
• Tetrasiklin merupakan salah satu antibotik spektrum luas yang
dapat melintasi sawar darah plasenta
• Antibiotik ini memang tergolong superior, namun memiliki
beberapa efek samping, terutama pada anak-anak
• Sebagian besar efek samping ini terdapat pada organ tubuh
tulang dan juga gigi, karena pada area inilah tetrasiklin dapat
terdeposisi
• Hal ini dibuktikan dengan paparan sinar UV pada gigi milik
pasien yang mengkonsumsi tetrasiklin, yaitu terdapat
fluoresensi yang menjadi ciri khas dari molekul tetrasiklin
Venilla v et.al. Tetracycline-Induced Discoloration of Deciduous Teeth: Case Series. Journal of International Oral Health 2014; 6(3):115-119
• Mekanisme efek samping obat ini hanya terjadi pada gigi anak yang
berusia dibawah 8 tahun
• Mengapa demikian? karena pada prinsipnya selama kalsifikasi pada
anak masih berlangsung maka terjadi pertukaran ion terutama
kation.
• Obat ini akan berikatan dengan kation dan akan terdeposisi dalam
gigi membentuk tetracycline-calcium orthophosphate complex.
• Pada awalnya complex ini hanya menyebabkan diskolorasi, namun
pada penggunaan jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan
gigi.
• Oleh karena itu, penggunaan
obat ini tidak direkomendasikan
pada anak usia <8 tahun dan
untuk penggunaan jangka
panjang
Kline JM, Wietholter JP, Kline VT, Confer J. Pediatric Antibiotic Use: A Focused Review of Fluoroquinolones and Tetracyclines. US
Pharm. 2012;37(8):56-59
• Based on the extent and color of • Prevention of
staining, it is classified into: staining of teeth :
– the first degree (Mild tetracycline – Reducing the dose
staining) teeth with Yellow to of the drug,
grayish staining with no banding and – avoiding the drug in
is spread throughout the tooth the critical period of
uniformly. mineralization of
– Second degree (Moderate teeth.
tetracycline staining) teeth with
Yellow brown to dark grayish
staining,
– Third degree (severe tetracycline
staining) teeth with blue gray or
blackish staining associated with
banding across the tooth and
– fourth degree includes intractable
staining that is so severe that
bleaching is ineffective
105. Enkopresis
• Definisi:
– Pengeluaran feses yang tidak sesuai secara berulang, biasanya
involunter.
– Terjadi minimal 1x/bulan, min. 3 bulan.
– Usia mental atau usia kronologis 4 tahun.
– Eksklusi zat atau kondisi medis sebagai penyebab.
• Klasifikasi:
fungsional (95%)/primary non retentive encopresis
Overflow/organic (5%)
• Anak-anak yang mengalami hal ini (fungsional) terbagi menjadi 4
kelompok
1. Anak-anak yang belum mendapat atau berhasil dalam hal toilet
training
2. Fobia terhadap toilet
3. Untuk memanipulasi keadaan (supaya bisa kabur atau tidak
dimarahi)
4. Yang mengalami IBS
Kriteria Diagnosis Enkopresis (DSM-V-TR)
• Pengeluaran feses pada tempat yang tidak sesuai yang terjadi berulang
(misal pada pakaian atau lantai) baik itu involunter atau disengaja.
• Minimal terjadi 1x/bulan untuk min.3 bulan.
• Usia kronologis min.4 tahun (atau sesuai dengan tahap perkembangan).
• Perilaku ini secara eksklusif tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung
dari suatu zat (seperti laksansia) atau suatu kondisi medis umum, kecuali
melalui suatu mekanisme yang melibatkan konstipasi.
Konstipasi kronik
Berlangsung untuk
jangka waktu lama
Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis pada Anak IDAI 2016
Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis pada Anak IDAI 2016
Pedoman Nasional Sepsis Anak (2016)
• Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan adanya
– (1) infeksi, yang meliputi faktor predisposisi infeksi,
tanda atau bukti infeksi yang sedang berlangsung, dan
respon inflamasi;
– (2) tanda disfugsi / gagal organ kardiovaskular (nadi,
perfusi, tekanan arterial), respirasi (gangguan work of
breathing, sianosis), hematologi, SSP (penurunan
kesadaran), dan hepatik skor pediatric logistic organ
dysfunction 2 (PELOD-2)
– Diagnosis sepsis ditegakkan bila Skor PELOD-2 ≥11 (pada
RS tipe A) atau ≥7 (pada RS tipe B atau C)
Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis pada Anak IDAI 2016
Pedoman Nasional Sepsis Anak (2016)
• Faktor-faktor predisposisi infeksi, meliputi: faktor genetik, usia,
status nutrisi, status imunisasi, komorbiditas (asplenia, penyakit
kronis, transplantasi, keganasan, kelainan bawaan), dan riwayat
terapi (steroid, antibiotika, tindakan invasif)
• Tanda klinis infeksi dinilai dari pemeriksaan klinis dan laboratoris
dengan penanda (biomarker) infeksi, seperti pemeriksaan darah
tepi, morfologi darah tepi, CRP, dan prokalsitonin.
• Pembuktian adanya mikroorganisme yang dapat dilakukan melalui
pemeriksaan apus Gram, kultur, atau(PCR). Pencarian fokus infeksi
lebih lanjut dilakukan dengan pemeriksan analisis urin, feses rutin,
lumbal pungsi, dan pencitraan sesuai indikasi.
Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis Pada Anak. IDAI. 2016.
Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis pada Anak IDAI 2016
Pedoman Nasional Sepsis Anak (2016)
• Respon inflamasi dapat terjadi tidak hanya disebabkan oleh
penyakit infeksi. Secara klinis respon inflamasi dapat berupa:
– Demam (suhu inti >38,5°C atau suhu aksila >37,9°C) atau
hipotermia (suhu inti <36°C)
– Takikardia (peningkatan denyut jantung sesuai usia tanpa adanya
stimulus eksternal, obat kronis, atau nyeri; atau peningkatan
denyut jantung yang tidak dapat dijelaskan lebih dari 0,5 sampai 4
jam).
– Bradikardia (penurunan denyut jantung sesuai usia tanpa adanya
stimulus vagal eksternal, beta-blocker, atau penyakit jantung
kongenital; atau penurunan denyut jantung yang tidak dapat
dijelaskan selama lebih dari 0,5 jam).
– Takipnea: rerata frekuensi nafas di atas normal
Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis Pada Anak. IDAI. 2016.
Kecurigaan Disfungsi Organ (Warning
Signs)
Bila ditemukan salah satu dari 3 tanda klinis:
• penurunan kesadaran (metode AVPU),
• gangguan kardiovaskular (penurunan kualitas
nadi, perfusi perifer, atau tekanan arterial
rerata)
• gangguan respirasi (peningkatan atau
penurunan work of breathing, sianosis)
Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis pada Anak IDAI 2016
Alur Penegakkan Diagnosis Sepsis
Pediatrik
Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis pada Anak IDAI 2016
Skoring Disfungsi Organ (PELOD-2)
• Diagnosis sepsis ditegakkan bila skor ≥11 (atau ≥7 untuk RS tipe B
dan C)
Derajat keparahan penyakit:
• Derajat ringan: skor PELOD2 nilai 0-3 dan kadar PCT 0,5-1,99 ng/ml
• Derajat sedang: skor PELOD2 nilai >3-9 dan kadar PCT 2,0-9,99 ng/ml
• Derajat berat: skor PELOD2 nilai >9 dan kadar PCT 10 ng/ml
Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis pada Anak IDAI 2016
Tatalaksana Sepsis Anak (IDAI 2016)
• Antibiotik empiris dan spesifik jika telah diketahui etiologinya (lihat tabel)
• Pernapasan pembebasan jalan napas dan suplemen oksigen, intubasi
bila gagal napas
• Tata laksana hemodinamik meliputi: akses vaskular secara cepat,
resusitasi cairan, dan pemberian obat-obatan vasoaktif.
– Cairan diberikan dengan bolus sebanyak 20 ml/kg selama 5-10 menit, bisa
diulang berdasarkan respon
– Resusitasi cairan dihentikan bila target resusitasi tercapai atau bila terjadi
refrakter cairan
- Obat vasoaktif (inotropik atau vasopresor) pada kasus refrakter cairan
• Transfusi packed red cell (PRC) diberikan berdasarkan saturasi vena cava
superior (ScvO2) <70% atau Hb <7 g/dL.
• Transfusi:
– PRC pada Hb<7 g/dL
– Konsentrat trombosit pada trombosit <10.000/mm3, <20.000/mm3
dengan risiko perdarahan, atau <100.000/mm3 dengan perdarahan
aktif
– FFP pada pasien dengan DIC atau purpura trombotik
• Kortikosteroid hidrokortison 50 mg/m2/hari untuk pasien syok
refrakter katekolamin atau insufisiensi adrenal
• Kontrol glikemik target 50-180 mg/dL
• Nutrisi enteral adekuat
Pilihan Antibiotik
• Pilihan antibiotik empiris jika etiologi belum
diketahui
– Extended-spectrum penicillin ± aminoglikosida
a
aminoglikosida ± vankomisin
a
Niaudet P. Overview of the pathogenesis and causes of glomerulonephritis in children. UpToDate, 2016
Parmar MS. Acute glomerulonephritis. Emedicine, 2016
Causes of glomerulonephritis in children
PRIMARY GLOMERULONEPHRITIS
Membranous glomerulonephritis
Membranoproliferative glomerulonephritis type I
Membranoproliferative glomerulonephritis type II (dense deposit disease)
IgA nephropathy
Anti-glomerular basement membrane disease
Idiopathic crescentic glomerulonephritis
SECONDARY GLOMERULONEPHRITIS
Post-streptococcal glomerulonephritis
Other post-infectious glomerulonephritis
Henoch-Schönlein purpura nephritis
Systemic lupus erythematosus nephritis
Microscopic polyangiitis
Wegener granulomatosus
Patogenesis dan Patofisiologi
Pencetus: misal Streptococcal infection
Immune injuries
Proliferasi selular
Destruksi membran basal glomerulus
Lumen kapiler menyempit
hematuria
Aliran darah glomerular menurun
oliguria
Retensi air dan natrium
Densitas ropey, kasar, patchy luas menyeluruh pada kedua lapangan paru. Selain itu pada MAS
juga bisa ditemukan
• Hiperaerasi paru pada daerah yang mengalami air-trapping
• Efusi pleura minimal (20%).
• pneumotoraks atau pneumomediastinum spontan.
• atelektasis paru emfisema obstruktif.
Air trapping and
hyperexpansion from
airway obstruction.
ATELEKTASIS
Distres Pernapasan pada Neonatus
KELAINAN GEJALA
Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat, terdapat
Sindrom aspirasi staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku, atau tali pusar.
mekonium Pada radiologi tampak air trapping dan hiperinflasi paru, patchy
opacity, terkadang atelektasis.
Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran SC,
Respiratory distress
gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi tampak
syndrome (penyakit
gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular appearance, air
membran hyalin)
bronkogram, ekspansi paru jelek.
Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul setelah
Transient tachypnea of lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir. Pada radiologi
newboorn tampak peningkatan corakan perihilar, hiperinflasi, lapangan paru
perifer bersih.
Asfiksia perinatal
Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah, terdapat
(hypoxic ischemic
kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
encephalopathy)
113. Methemoglobinemia
• Kompleks heme dalam Hb memiliki ion besi dalam bentuk tereduksi yaitu
ferro (Fe2+).
• Ion besi dalam Fe2+ inilah yang bisa mengikat oksigen menjadi
oksihemoglobin.
• Oksihemoglobin kemudian melepas oksigen di jaringan dan kembali ke
dalam bentuk Fe2+.
• Ketika hemoglobin kehilangan salah satu elektronnya dan teroksidasi, Fe2+
berubah menjadi Fe3+ atau bentuk ferri inilah yang disebut
methemoglobin
• Methemoglobin kekurangan satu electron untuk bisa mengikat oksigen
• Kadar normal methemoglobin dibawah 1%
• Terdapat mekanisme tubuh untuk mengembalikan Hb yang teroksidasi
tersebut melalui reduksi oleh glutathione, Cytochrome b5 reductase, dan
glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD)
Etiology
D E S I G N AT I O N EXAMPLES
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
116. Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology
Fluid leaks into the interstitial space & Pulmonary edema, tachypnea, chest
alveoly retraction, wheezing
• Tindakan Pencegahan :
– Imunisasi Campak pada usia 9 bulan
– Mencegah terjadinya komplikasi berat
Morbili
Species: Measles morbillivirus • Masa infeksius: 1-2 hari
Genus: Morbillivirus
Family: Paramyxoviridae sblm prodromal s.d. 4 hari
Order: Mononegavirales setelah muncul ruam
Single-stranded, negative-sense, enveloped
(non-segmented) RNA virus • Prodromal
– Hari 7-11 setelah eksposure
• Kel yg rentan:
– Demam, batuk,
– Anak usia prasekolah yg blm konjungtivitis,sekret hidung.
divaksinasi (cough, coryza, conjunctivitis
– Anak usia sekolah yang gagal 3C)
imunisasi
• Enanthem ruam
• Musin: akhir musim dingin/ kemerahan
musim semi
• Koplik’s spots muncul 2 hari
• Inkubasi: 8-12 hari sebelum ruam dan
bertahan selama 2 hari.
Morbili
KOMPLIKASI DIAGNOSIS & TERAPI
• Otitis Media (1 dari 10 penderita • Diagnosis:
campak pada anak)
– manifestasi klinis, tanda
• Diare (1 dari 10 penderita
campak) patognomonik bercak Koplik
• Bronchopneumonia (komplikasi – isolasi virus dari darah, urin,
berat; 1 dari 20 anak penderita atau sekret nasofaring
campak) – pemeriksaan serologis: titer
• Encephalitis (komplikasi berat; 1 antibodi 2 minggu setelah
dari 1000 anak penderita timbulnya penyakit
campak)
• Terapi:
• Pericarditis
• Subacute sclerosing – Suportif, pemberian vitamin A
panencephalitis – late sequellae 2 x 200.000 IU dengan
due to persistent infection of the interval 24 jam.
CNS; 7-10 tahun setelahnya; 1:
100,000 orang)
Penatalaksanaan
• Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan
mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis.
• Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan
antipiretik.
• Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
• Suplementasi vitamin A diberikan pada:
– Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis.
– Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai
umur, dilanjutkan dosis ketiga sesuai umur yang diberikan 2-4
minggu kemudian.
Konseling & Edukasi
• Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit
yang menular.
• Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat sembuh
sendiri, sehingga pengobatan bersifat suportif.
• Edukasi pentingnya memperhatikan cairan yang hilang dari
diare/emesis.
• Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan vaksin
campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan.
• Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan
penderita.
• Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan
imun, bayi umur 6 bulan -1 tahun, bayi umur kurang dari 6 bulan
yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil.
Rubella
• Togavirus • Asymptomatik hingga
• Yg rentan: orang dewasa 50%
yang belum divaksinasi • Prodromal
• Musim: akhir musim – Anak-anak: tidak bergejala
dingin/ awal musim semi. s.d. gejala ringan
– Dewasa: demam, malaside,
• Inkubasi 14-21 hari nyeri tenggorokan, mual,
• Masa infeksius: 5-7 hari anoreksia, limfadenitis
sblm ruam s.d. 3-5 hari oksipital yg nyeri.
setelah ruam muncul • Enanthem
– Forschheimer’s spots
petekie pada hard
palate
Rubella - komplikasi
• Arthralgias/arthritis pada
org dewasa
• Peripheral neuritis
• encephalitis
• thrombocytopenic purpura
(jarang)
• Congenital rubella
syndrome
– Infeksi pada trimester
pertama
– IUGR, kelainan mata, tuli,
kelainan jantung, anemia,
trombositopenia, nodul kulit.
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum
• Human Herpes Virus 6 • Demam tinggi 3-4 hari
(and 7) • Demam turun mendadak
• Yg rentan: 6-36 bulan dan mulai timbul ruam
(puncak 6-7 bulan) kulit.
• Musim: sporadik • Kejang yang mungkin
• Inkubasi: 9 hari timbul berkaitan dengan
• Masa infeksius: berada infeksi pada meningens
dalam saliva secara oleh virus.
intermiten sepanjang
hidup; infeksi
asimtomatik persisten.
Scarlet Fever
• Sindrom yang memiliki • Rash : Timbul 12-48 jam
karakteristik: faringitis setelah onset demam. Dimulai
eksudatif, demam, dan rash. dari leher kemudian menyebar
• Disebabkan oleh group Abeta- ke badan dan ekstremitas.
hemolyticstreptococci • Pemeriksaan : Throat culture
(GABHS) positive for group A strep
• Masa inkubasi 1-4 hari. • Tatalaksana : Antibiotik
• Manifestasi pada kulit diawali antistreptokokal minimal 10
oleh infeksi streptokokus hari (Eritromisin atau Penicillin
(umumnya pada G)
tonsillopharynx): nyeri
tenggorokan dan demam
tinggi, disertai nyeri kepala,
mual, muntah, nyeri perut,
myalgia, dan malaise.
Scarlet Fever. http://emedicine.medscape.com/article/1053253-overview
118. Protein intolerance
• Beberapa makanan dapat menjadi antigen bagi manusia, terutama
produk-produk protein
• Beberapa contoh paling sering berdasarkan usia:
1. Masa bayi: susu, soy bean
2. Masa kanak-kanak: protein telur
• Sebagian besar bersifat IgE mediated, dan ada juga yang non-IgE
mediated
• Gejalanya antara lain:
1. Saluran cerna (50%-80%): mual, muntah, nyeri perut, mencret.
Spesifik: oral allergy syndrome, esofagitis eosinofilik, gastritis
eosinofilik, gastroenteritis eosinofilik, konstipasi kronik
2. Cutaneous (20%-40%): urtikaria, dermatitis atopi
3. Respiratori (4%-25%): asma dan rinitis
4. Anafilaksis
MODALITAS PEMERIKSAAN
PEMERIKSAAN INTOLERANSI
• Skin test dengan ekstrak makanan
• Serum immunoassay (ELISA)
• Fecal leukocyte testing
• Atopy patch testing
• Diet eliminasi
• Food challenge test
PEMERIKSAAN LAB
• Total serum IgE
• Basophile meningkat
• Eosinophile meningkat
Intoleransi Laktosa VS Milk Allergy
INTOLERANSI LAKTOSA MILK ALLERGY
o reaksi hipersensitivitas terhadap
o Ketidakmampuan tubuh untuk
protein susu sapi. Dapat melalui 2
mencerna “gula susu/laktosa”
Definisi mekanisme : 1). Diperantarai IgE ; 2).
akibat defisiensi enzim laktase.
Non IgE (rx hipersensitivitas tipe IV)
o reaksi non – imunologis
– Periode 2, persalinan
• Sebagian besar anak terinfeksi HIV pada periode ini
• Infeksi terjadi pada anak yang terpajan darah ibu dan sekresi
servikovaginal di jalan lahir
• Semakin lama anak terpajan darah dan sekret, maka semakin
tinggi resiko terinfeksi
• Bayi prematur dan BBLR beresiko lebih tinggi terinfeksi karena
sistem imun di kulit dan tubuh belum sempurna
– Periode 3, setelah lahir (ASI):
• Lebih sering terjadi pada anak di negara yang
berkembang
• Rekomendasi WHO anak dari ibu dengan HIV yang
memiliki penyakit yang menyebabkan resiko kematian
meningkat (pneumonia, diare, malnutrisi) harus tetap
diberikan ASI eksklusif
• Manfaat ASI > resiko tertular HIV
• Faktor resiko terjadinya transmisi vertikal
– Bayi prematur (34 mgu)
– Jumlah CD4 ibu yang rendah
– BBL <2500 g
– Ketuban pecah >4 jam
– Tidak adanya penggunaan ARV selama kehamilan
• SC dan pemberian zidovudin pada ibu dan anak
resiko transmisi menurun sebanyak 87%
• Direkomendasikan SC jika viral load >1000 kopi/ml
• Bayi dan anak memerlukan tes HIV bila:
– 1. Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV
seperti TB berat atau mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau
pneumonia berulang dan diare kronis atau berulang)
– 2. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan
perlakuan pencegahan penularan dari ibu ke anak
– 3. Untuk mengetahui status bayi/anak kandung dari ibu yang
didiagnosis terinfeksi HIV (pada umur berapa saja)
– 4. Untuk mengetahui status seorang anak setelah salah satu
saudara kandungnya didiagnosis HIV; atau salah satu atau kedua
orangtua meninggal oleh sebab yang tidak diketahui tetapi
masih mungkin karena HIV
– 5. Terpajan atau potensial terkena infeksi HIV melalui jarum
suntik yang terkontaminasi, menerima transfusi berulang dan
sebab lain
– 6. Anak yang mengalami kekerasan seksual
Diagnosis HIV
• Anamnesis • Pemeriksaan fisis
– Ibu atau ayah memiliki risiko – Demam berulang/berkepanjangan
untuk terinfeksi HIV (riwayat – Berat badan turun secara progresif
narkoba suntik, promiskuitas,
– Diare persisten
pasangan dari penderita HIV,
pernah mengalami operasi atau – Kandidosis oral
prosedur transfusi produk darah) – Otitis media kronik
– Riwayat morbiditas yang khas – Gagal tumbuh
maupun yang sering ditemukan – Limfadenopati generalisata
pada penderita HIV. – Kelainan kulit
– Riwayat kelahiran, ASI, – Pembengkakan parotis
pengobatan ibu, dan kondisi
– Infeksi oportunistik yang dapat
neonatal
dijadikan dasar untuk pemeriksaan
laboratorium HIV:
• Tuberkulosis
• Herpes zoster generalisata
• Pneumonia P. Jiroveci
• Pneumonia berat
Manifestasi Klinis
• Infeksi
– Infeksi berulang (bakteremia, meningitis, sepsis)
– OMA, sinusitis, infeksi kulit lebih sering terjadi
– Infeksi oleh patogen yang tidak biasa
• PCP (paling sering pada anak terutama di usia 3-6
bulan, kematian tertinggi pada usia <1 tahun)
– Akut Demam, takipnea, dyspnea, hipoxemia
– Infiltrat interstisial, efusi pleura, lesi nodular, infiltrat lobular
– 1st line TMP-SMZ IV (15–20 mg/kg/hr TMP dan 75–100
mg/kg/hrSMZ tiap 6 jam ) + steroid, jika membaik bisa diganti
oral
– Infeksi jamur berulang seperti kandidiasis yang
tidak respon terhadap pengobatan standar
• Terjadi pasca neonatus, tidak menggunakan obat AB ,
>30 hari atau kambuh walau telah diobati.
• Luas melebihi bagian lidah
– Infeksi virus berulang atau yang jaranga terjadi
seperti herpes simpleks, zooster, CMV retinitis
– Campak lebih berat, namun rash dan gejala
tidak khas
Pemeriksaan HIV pada Anak
• Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak
berumur < 18 bulan.
• Uji serologis:
– Umur <18 bulan – digunakan sebagai uji untuk menentukan ada
tidaknya pajanan HIV
– Umur >18 bulan – digunakan sebagai uji diagnostik konfirmasi
• Diagnosis pada anak > 18 bulan memakai cara yang sama
dengan uji HIV pada orang dewasa (rapid test/ Enzyme
Immunoassay/ Westernblot pada kasus yang sulit)
• Perhatian khusus untuk anak yang masih mendapat ASI
pada saat tes dilakukan, uji HIV baru dapat diinterpretasi
dengan baik bila ASI sudah dihentikan selama > 6 minggu.
Diagnosis HIV pada Bayi
• Uji virologi:
– Dilakukan setelah bayi berumur 6 minggu
– PCR DNA sampel darah lengka atau dried blood spot
– Jika pada pemeriksaan virologi pertaman (+) langsung
diberikan ARV bersamaan pemeriksaan kedua
• Uji Serologi
– <18 bln: menentukan paparan HIV selama kehamilan dan
persalinan; >18 bln: Uji diagnostic
– <18 bln klinis baik, terpapar HIV (+), uji virologi belum
uji serologi usia 9 bl
– <18 bln, gejala HIV (+), uji virologi tidak tersedia
diagnosis presumtif
Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan. Kemenkes. 2015
Skenario
Pemeriksaan
HIV
Alur diagnosis
HIV pada bayi
dan anak
umur kurang
dari 18 bulan
Anak < 5 tahun Inisiasi ARV tanpa melihat stadium klinis WHO dan
berapapun jumlah CD4c
ARV lini pertama untuk anak > 5 tahun dan dewasa, termasuk
wanita hamil dan menyusui, pasien koinfeksi hepatitis B, dan pasien
dengan koinfeksi TB
aJangan memulai dengan TDF jika CCT hitung < 50 ml/menit, atau pada kasus
diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal
bJangan memulai dengan AZT jika Hb < 7 g/dl sebelum terapi
cKombinasi dosis terpadu (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV
a Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama. Namun bila Hb anak < 7,5 g/dl maka dipertimbangkan pemberian
Stavudin(d4T).
b Dengan adanya risiko efek samping pada penggunaan d4T jangka panjang, maka dipertimbangkan mengubah d4T ke
AZT (bila Hb anak > 10 gr/dl) setelah pemakaian 6 – 12 bulan. Bila terdapat efek anemia berulang maka dapat kembali ke
d4T.
c Tenofovir saat ini dapat digunakan pada anak usia di atas 2 tahun.
Selain itu perlu dipertimbangkan efek samping osteoporosis pada tulang anak yang sedang bertumbuh karena
penggunaan ARV diharapkan tidak mengganggu pertumbuhan tinggi badan.
d EFV dapat digunakan pada anak ≥ 3 tahun atau BB ≥ 10 kg, jangan diberikan pada anak dengan gangguan psikiatrik
berat. EFV adalah pilihan pada anak dengan TB.
Jika berat badan anak memungkinkan, sebaiknya gunakan KDT.
120. Asfiksia Neonatal
Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
Transient tachypnea of the newborn
(TTN)
• Transient tachypnea of the newborn (TTN) is a parenchymal lung disorder
characterized by pulmonary edema resulting from delayed resorption and
clearance of fetal alveolar fluid
• TTN develops in infants born prematurely or after cesarean delivery
without labor because mechanisms to reabsorb alveolar fluid have not
been initiated Delivery before completing 39 weeks of gestation
• Other risk factor:
– Male sex
– Large for gestational age
– Small for gestational age
– Perinatal asphyxia
– Maternal asthma
– Maternal gestational diabetes
Patophysiology
• Delayed resorption of fetal lung fluid is thought to be
the underlying cause of TTN.
• Fluid fills the air spaces and moves into the
interstitium, where it pools in perivascular tissues and
interlobar fissures until it is eventually cleared by the
lymphatics or absorbed into small blood vessels.
• The excess lung water in TTN results in decreased
pulmonary compliance.
• Continued perfusion of poorly ventilated alveoli leads
to hypoxemia, and alveolar edema reduces ventilation,
sometimes resulting in hypercapnia.
• As early as 6 weeks of gestation, the fetal lung epithelium begins to secrete alveolar
fluid that is crucial for normal lung growth and contributes to the volume of
amniotic fluid.
• A few days before the onset of spontaneous vaginal delivery, fluid production
decreases.
• With the onset of labor, maternal hormones such as epinephrine and
glucocorticoids stimulate the fetal lungs to begin absorption of alveolar fluid
through activation of an amiloride-sensitive epithelial sodium channel (ENaC).
• Animal studies of α-ENaC knockout mice have shown that when sodium transport
is inactivated, alveolar fluid retention occurs, which leads to respiratory distress
and death.
• The clearance of fetal lung fluid begins with passive sodium transport across ENaC
proteins, which are found on the apical membrane of alveolar type II pneumocytes.
• After sodium enters the type II cell, it is actively transported into the pulmonary
interstitium via a basolateral sodium-potassium (Na+/K+) ATPase pump.
• This creates an osmotic gradient that allows chloride and water to follow and be
absorbed into the pulmonary circulation and lymphatics
• It is through this mechanism that most of the fetal lung fluid is cleared.
• Starling forces and the thoracic “squeeze” through the birth canal contribute
minimally toward fluid elimination.
Mechanism of fetal lung fluid
clearance
Mechanism of fetal lung fluid clearance. During maternal labor, epithelial sodium
channels (ENaC) are activated and sodium (Na+) is passively transported into type II
pneumocytes. Na+ then actively moves into the pulmonary interstitium, which is
followed by the movement of chloride (Cl-) and water (H2O). This liquid is ultimately
cleared into the pulmonary vasculature and lymphatics.
Transient Tachypnea of Newborn
(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial
dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan
dengan perbaikan klinis.
Chest radiograph of an infant with transient
tachypnea of the newborn (TTN)
demonstrating prominent perihilar pulmonary
vascular markings in a “sunburst” pattern.
Asfiksia perinatal
Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah, terdapat
(hypoxic ischemic
kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
encephalopathy)
Tatalaksana
1201
121. Tetanus Neonatorum
Niaudet P. Overview of the pathogenesis and causes of glomerulonephritis in children. UpToDate, 2016
Parmar MS. Acute glomerulonephritis. Emedicine, 2016
Mekanisme GNAPS
• Terdapat 4 mekanisme yang mungkin menimbulkan
GNAPS:
1. Adanya kompleks imun dengan antigen streptokokal
yang bersirkulasi dan kemudian terdeposisi.
2. Deposisi dari antigen streptokokus pada membrane
basal glomerulus yang berikatan dengan antibody
sehingga terbentuk kompleks imun.
3. Adanya antibody terhadap antigen streptokokal yang
bereaksi terhadap komponen glomerulus yang
menyerupai antigen streptokokus (molecular mimicry)
4. Adanya proses autoimun
• Dari keempat mekanisme tersebut, mekanisme kedua
adalah mekanisme pathogenic yang paling banyak
ditemukan.
Pemeriksaan penunjang
• Urinalisis
• Proteinuria, hematuria, dan adanya silinder eritrosit
• Peningkatan ureum dan kreatinin
• GNAPS:
• ASTO meningkat (ASTO: antibodi terhadap streptolysin
O, yang merupakan toxin yang diproduksi oleh kuman
grup A)
• Komplemen C3 menurun pada minggu pertama
• Hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia,
dan hipokalsemia pada komplikasi gagal ginjal akut
Tatalaksana
• Golongan penisilin dapat diberikan untuk eradikasi
kuman, yaitu amoksisilin 50 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis selama 10 hari.
– Jika alergi penisilin, dapat diberikan eritromisin 30
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis.
• Diuretik diberikan untuk mengatai retensi cairan dan
hipertensi loop diuretik furosemide 1 mg/kg/kali,
2-3x/hari
• Jika terdapat hipertensi berikan obat anti hipertensi
CCB atau ACE inhibitor
• Diet nefritis untuk mengurangi retensi cairan dan
meningkatkan fungsi ginjal restriksi garam dan
cairan
Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010
123. Reaksi Hipersensitivitas
Type Prototype Disorder Immune Mechanisms Pathologic Lesions
Vascular dilation, edema,
Anaphylaxis; Production of IgE antibody ➙ immediate
smooth muscle
allergies; bronchial release of vasoactive amines and other
Tipe I Immediate contraction, mucus
asthma (atopic mediators from mast cells; recruitment of
production,
forms) inflammatory cells (late-phase reaction)
inflammation
Systemic lupus
Deposition of antigen-antibody complexes
erythematosus;
Immune ➙ complement activation ➙ recruitment Necrotizing vasculitis
Tipe some forms of
complex of leukocytes by complement products and (fibrinoid necrosis);
III glomerulonephritis;
mediated Fc receptors ➙ release of enzymes and inflammation
serum sickness;
other toxic molecules
Arthus reaction
Contact dermatitis;
multiple sclerosis; Perivascular cellular
Cell- Activated T lymphocytes ➙ i) release of
Tipe type I, diabetes; infiltrates; edema; cell
mediated cytokines and macrophage activation; ii) T
IV transplant destruction; granuloma
(delayed) cell-mediated cytotoxicity
rejection; formation
tuberculosis
Sources: Robbins & Cotran’s Pathologic Basis of Disease. 7th ed. 2005.
Fase Dini/ Initial Response
Terjadi beberapa menit setelah terpapar alergen yang sama untuk kedua
kalinya
puncaknya 15-20 menit pasca paparan
berakhir 60 menit kemudian
Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
• Diagnosis didasarkan atas temuan klinis
• Hati-hati karena 69% anak yg menderita anafilaksis tidak
memiliki riwayat alergi terhadap agen kausatifnya.
• Gejala bisa timbul dalam hitungan detik hingga beberapa jam
(pada anak rata-rata muncul 5-30 menit postexsposure)
• 80% – 90% mengalami gejala kutaneus, termasuk flushing,
pruritus, urtikaria, diaphoresis, sensasi panas, dan
angioedema.
• Gejala pernapasan muncul hingga 94% kasus
• Gejala tersering: rasa tercekik, pruritus, serak, stridor, dada
terasa berat, wheezing, dan hipoksemia.
Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
SYSTEM S I G N S A N D S Y M P TO M S
Fussiness, irritability, drowsiness, lethargy, reduced level of
General/CNS
consciousness, somnolence
~70 x 45 m ~55 m
(up to 200 m)
Balantidiasis: Gejala
• Biasanya asimptomatik
• Kista atau trofozoit dalam feses
• Gejala umum
– Diare kronik, disentri, mual, napas berbau, kolitis, nyeri perut
http://www.cdc.gov/dpdx/balantidiasis/tx.html
125. Hemofilia
• Hemophilia merupakan kelainan hematologi yang
bersifat diturunkan yang paling banyak dijumpai.
• Terdapat 3 tipe:
– Hemophilia A : defisiensi faktor VIII (tersering)
– Hemophilia B : defisiensi factor IX (christmas disease)
– Hemophilia C : defisiensi faktor XI
• Penyakit ini diturunkan dengan sifat X linked resesif
(gen faktor VIII/IX berada di distal lengan panjang (q)
dari kromosom X
• Gejala mulai muncul saat pasien sudah bisa
merangkak
• Perempuan hanya sebagai karier/pembawa gen
Epidemiologi
• Insidensi:
- hemophilia A (± 85%) 1 : 5,000 – 10,000 laki-laki
(atau 1 : 10,000 dari laki-laki yang lahir hidup)
- hemophilia B (± 15%) 1 : 23,000 – 30,000 laki-laki
(atau 1 : 50,000 dari laki-laki yang lahir hidup)
• Sekitar 70% penderita hemofilia memiliki riwayat
keluarga yang memiliki penyakit kelainan pada
pembuluh darah
• Manifestasi klinisnya terbagi dalam 3 derajat: mild,
moderate, severe
5-40% (emedicine)
126. Keracunan Sianida
• Indikasi EEG
– Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI
apabila bangkitan bersifat fokal untuk menentukan adanya fokus
kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Faktor resiko berulangnya KD
• Faktor risiko :
– Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
– Usia kurang dari 12 bulan
– Suhu tubuh kurang dari 39oC saat kejang
– Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan
terjadinya kejang.
– Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam
kompleks.
• Semua faktor risiko ada, kemungkinan berulang 80%
• Tidak ada faktor risiko kemungkinan berulang 10-15%
Tatalaksana
• Saat kejang : algoritme tatalaksana kejang akut dan SE
• Setelah kejang berhenti :
– Profilaksis atau tidak
– Profilaksis intermiten atau kontinyu
• Antipiretik:
– Tidak mengurangi risiko berulangnya kejang
– Memberikan rasa nyaman bagi pasien
– Mengurangi kekhawatiran orangtua
– Kesimpulan: dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik
tetap dapat diberikan.
– Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6
jam.
– Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Tatalaksana Saat Kejang
• Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4
menit) dan pada waktu pasien datang, kejang sudah
berhenti.
• Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam intravena.
• Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg
perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau
dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
• Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti
algoritma kejang pada umumnya.
Tatalaksana Saat Kejang
• Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital)adalah diazepam rektal.
– Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih
dari 12 kg.
• Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit.
• Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit.
• Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena.
• Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus.
• Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari
indikasi terapi antikonvulsan pro laksis.
Profilaksis Intermiten
• Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.
• Indikasi (salah satu dari):
– Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
– Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
– Usia <6 bulan
– Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
– Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh
meningkat dengan cepat.
• Obat diazepam oral 0,3 mg/kgBB/kali, maksimum 7,5 mg/kali (3
kali sehari) ATAU rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan
<12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg) 3 kali sehari
• Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam.
• ES dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.
Profilaksis Kontinyu/ Rumatan
• Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya
dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang
tidak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan
terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek
• Indikasi pengobatan rumat:
– Kejang fokal
– Kejang lama >15 menit
– Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis. (Pada anak dengan
kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk pemberian
terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak berhasil/orangtua
khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat)
Profilaksis Kontinyu/ Rumatan
• Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang
• Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.
• Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
• Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2
tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
• Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis,
dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
• Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan
rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off ,
namun dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.
DIAGNOSIS DIFERENSIAL INFEKSI SSP
MENINGITIS
KLINIS/LAB. ENSEFALITIS MENING.TBC MENING.VIRUS ENSEFALOPATI
BAKTERIAL
Gejala klinis yang timbul dapat terjadi kapan saja, saat ini terjadi oleh
Provokasi vaksin
karena provokasi vaksin. Contoh: Kejang demam pasca imunisasi yang
(vaccine potentiated)
terjadi pada anak yang mempunyai predisposisi kejang
KIPI jarang terjadi, segera setelah imunisasi dapat timbul : demam, tidak
Hepatitis B tinggi, kemerahan pada tempat penyuntikan, pembengkakan, nyeri rasa
mual dan nyeri sendi.
tidak nyaman pada tempat suntikan. 5-12 hari setelah penyuntikan yaitu
MMR demam tidak tinggi, erupsi kulit halu/tipis yang berlangsung kurang dari
48 jam. Pembengkakan KGB postaurikula 3 minggu post penyuntikan
DTP
• Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6
minggu.
• Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi
dengan vaksin lain.
• Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengiku
rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan.
• Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau
Tdap.
• Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12
tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun.
DTP Kombinasi
Wilms tumor
Histopatology : Blastemal, epithelial, dan
stromal element, tanpa anaplasia
Wilms tumor
Congenital HD
Acyanotic Cyanotic
Fluid leaks into the interstitial space & Pulmonary edema, tachypnea, chest
alveoly retraction, wheezing
Flow across the septal defect doesn’t produce murmur because the pressure gap
between LA & RA is not significant
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Tanda Tanda
Sadap Medikamentosa PVD (-) PVD (+)
jantung
Sadap
FR < 1.5 FR > 1.5 Gagal Berhasil jantung