Anda di halaman 1dari 1296

C B T O P T I M A B AT C H N O V E M B E R 2 0 1 9

I L M U K E S E H ATA N A N A K
| DR. SEPRIANI | DR. YOLINA | DR. OKTRIAN | DR. REZA | DR. CEMARA |
| DR. AARON | DR. CLARISSA | DR. KAMILA | DR. EDWIN |
Jakarta
Jl. Layur Kompleks Perhubungan VIII No.52 RT.001/007
Kel. Jati, Pulogadung, Jakarta Timur Tlp 021-22475872
WA. 081380385694/081314412212

Medan
Jl. Setiabudi Kompleks Setiabudi Square No. 15 Kel. Tanjung
Sari, Kec. Medan Selayang 20132
WA/Line 082122727364

w w w. o p t i m a p r e p . c o . i d
TO 1
1. Diare pada anak
• Diare akut: berlangsung < 1 • Disentri: diare mengandung
minggu, umumnya karena infeksi lendir dan darah
– Diare akut cair • Diare primer: infeksi memang
– Diare akut berdarah
terjadi pada saluran cerna
(misal: infeksi Salmonella)
• Diare berlanjut: diare infeksi yang • Diare sekunder: diare sebagai
berlanjut > 1 minggu gejala ikutan dari berbagai
• Diare Persisten: Bila diare penyakit sistemik seperti pada
melanjut tidak sembuh dan bronkopnemonia, ensefalitis
melewati 14 hari atau lebih dan lain-lain
• Diare kronik: diare karena sebab
• Diare Berdasarkan
Patofisiologi
apapun yang berlangsung 14 hari
– Osmotic diarrhea
atau lebih – Secretoric diarrhea
– Inflammatoy/ exudative
diarrhea
– Altered motility diarrhea
Gejala dan tanda dehidrasi
Klasifikasi diare
pada anak
Dehidrasi berat

Terapi zinc
Syok hipovolemik
pada anak
• Jika diare sangat massif
sehingga volume loss
sangat tinggi, anak dapat
mengalami syok
hipovolemik
• Tatalaksana syok akibat
diare pada anak tidak
menggunakan rencana
terapi C melainkan
algoritma tatalaksana
syok hipovolemik anak
2. Mumps (Parotitis Epidemica)
• Merupakan infeksi virus
(rubulavirus) yang bersifat akut,
sistemik, dapat sembuh dengan
sendirinya (self-limited)
• Akan terdapat pembesaran satu
atau lebih kelenjar liur, biasanya
paling sering kelenjar parotid
• Sangat infeksius pada orang yang
tidak imun, satu satunya penyebab
epidemic parotitis
• Taksonomi:
– Species: Mumps rubulavirus
– Genus: Rubulavirus
– Family: Paramyxoviridae
– Order: Mononegavirales
Mumps
• Salah satu penyebab parotitis • Penularan terjadi sejak 6 hari
• Satu-satunya penyebab parotitis sebelum timbulnya
yang mengakibatkan pembengkakan parotis sampai 9
“occasional outbreak” hari kemudian.
• Disebabkan oleh paramyxovirus, • Bisa tanpa gejala
dengan predileksi pada kelenjar
dan jaringan syaraf. • Masa inkubasi 12-25 hari, gejala
• Transmisi dari orang ke orang prodromal tidak spesifik ditandai
melalui droplet udara (saluran dengan mialgia, anoreksia,
napas dan saliva), kontak malaise, sakit kepala dan demam
langsung, atau fomite (benda ringan  Setelah itu timbul
mati jadi perantara) pembengkakan
• Insidens puncak pada usia 5-9 unilateral/bilateral kelejar parotis.
tahun. • Gejala ini akan berkurang setelah
• Imunisasi dengan live 1 minggu dan biasanya
attenuated vaccine sangat menghilang setelah 10 hari.
berhasil (98%)
Mumps
• Komplikasi : Meningitis/encephalitis, Sensorineural hearing
loss/deafness, Guillain-Barré syndrome, Thyroiditis,
Myocarditis, orchitis (terjadi pada laki-laki usia
postpubertal)
• Sekitar 1/3 pasien laki laki postpubertas bisa mengalami
orkitis unilateral
• Pencegahan : Vaksinasi dengan MMR, Jadwal IDAI 2017:
jika sudah imunisasi campak 9 bulan, MMR diberikan usia
15 bulan (interval minimal 6 bulan); jika belum mendapat
campak 9 bulan, MMR bisa diberikan usia 12 bulan
Tatalaksana mumps
• Konservatif dan penanganan medis suportif
• Tidak perlu pemberian agen antivirus mengingat
mumps penyakit self-limited
• Pastikan asupan cairan cukup
• Hindari konsumsi makanan atau minuman yang
asam
• Simptomatik: pemberian analgesics
(acetaminophen, ibuprofen)
• Kompres hangat atau dingin pada bagian yang
bengkak untuk mengurangi keluhan
3. Proses Hemostasis dan Hemofilia

Proses hemostasis primer:


– Berupa respon pembentukan sumbat platelet pada luka untuk hentikan perdarahan di awal
(setelah vasokonstriksi)
– Ketika ada luka atau trauma  adhesi platelet pada lokasi trauma dimediasi oleh reseptor platelet,
platelet-derived adhesive proteins and plasma-derived adhesive proteins. Aktivasi platelet picu
perubahan bentuk platelet dengan pelepasan granul sekretorik mengandung platelet-derived
agonists (ADP atau adenosine diphosphate, serotonin, TXA2 atau thromboxane A2)  rekrutmen
platelet tambahan untuk bentuk sumbat platelet
– Selanjutnya akan ada agregasi platelet dan pembentukan deposisi fibrin dipicu oleh kaskade
koagulasi lebih lanjut.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5767294/
Hemostasis
– Agregasi platelet dimulai setelah
platelet diaktivasi  picu reseptor
GpIIbIIIa yang melekat ke vWF atau
Fib  setiap platelet yang teraktivasi
jadi clumping dan agregasi 
ditambah pembentukan thrombin
melalui mekanisme hemostasis untuk
perkuat sumbat platelet
– Tissue factor (TF) atau factor III and
thromboplastin(membrane-bound
procoagulant) bersama dengan factor
VII sebagai insiator in vivo kaskade
koagulasi menghasilkan thrombin
– Thrombin melekat dengan fibrinogen
mengubahnya menjadi bentuk fibrin
insoluble yang membentuk jaringan
fibrin untuk perkuat sumbat platelet

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5767294/
Hemofilia
• Hemophilia merupakan kelainan hematologi yang
bersifat diturunkan yang paling banyak dijumpai.
• Terdapat 3 tipe:
– Hemophilia A : defisiensi faktor VIII
– Hemophilia B : defisiensi factor IX (christmas disease)
– Hemofilia C : defisiensi factor XI
• Kedua tipe ini diturunkan dengan sifat X linked
resesif (gen faktor VIII/IX berada di distal lengan
panjang (q) dari kromosom X
• Gejala mulai muncul saat pasien sudah bisa
merangkak
• Perempuan hanya sebagai karier/pembawa gen
Epidemiologi
• Insidensi:
- hemophilia A (± 85%)  1 : 5,000 – 10,000 laki-laki
(atau 1 : 10,000 dari laki-laki yang lahir hidup)
- hemophilia B (± 15%)  1 : 23,000 – 30,000 laki-laki
(atau 1 : 50,000 dari laki-laki yang lahir hidup)
• Sekitar 70% penderita hemofilia memiliki riwayat
keluarga yang memiliki penyakit kelainan pada
pembuluh darah
• Manifestasi klinisnya terbagi dalam 3 derajat: mild,
moderate, severe

Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.


http://www.cdc.gov/ncbddd/hemophilia/inheritance-pattern.html
Clinical manifestation
• Bleeding:
• usually deep (hematoma, hemarthrosis)
• spontaneous or following mild trauma
• Type:
 Hemarthrosis
 Hematoma
 Intracranial hemorrhage
 Hematuria
 Epistaxis
 Bleeding of the frenulum (baby)
Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.
Diagnosis
 history of abnormal bleeding in a boy
 normal platelet count
 bleeding time usually normal
 clotting time: prolonged
 prothrombin time usually normal
 partial thromboplastin time prolonged
 decreased antihemophilic factor
Antenatal diagnosis
 antihemophilic factor level
 F-VIII/F-IX gene identification (DNA analysis)
Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.
Classification of Hemophilia A & B
• The classification of the severity of hemophilia has been based on
either clinical bleeding symptoms or on plasma procoagulant levels; the
latter are the most widely used criteria.
• Classification according to plasma procoagulant levels is as follows:
– Severe hemophilia – FVIII/FIX level less than 1% of normal (< 0.01 IU/mL)
– Moderate hemophilia – FVIII/FIX level 1-5% of normal (0.01-0.05 IU/mL)
– Mild hemophilia – FVIII/FIX level more than 5% but less than 40% of
normal (>0.05 to < 0.40 IU/mL)
• Severe disease presents in children younger than 1 year
• Moderate disease presents in children aged 1-2 years
• Mild disease presents in children older than 2 years
Classification of Hemophilia A & B

5-40% (emedicine)
Tatalaksana Hemofilia
4. Diphtheria
• Penyebab: Corynebacterium diphtheria (bakteri
aerob Gram positif yang memproduksi toksin),
ada 3 tipe utama:
– tipe gravis (produksi eksotoksin invasive,
gejala berat)
– tipe intermedius
– tipe mitis Pseudomembran difteri
• Menyebabkan infeksi saluran napas atas (paling
sering), dengan adanya pseudo-membrane.
Pada kasus berat infeksi menyebar ke trakea
hingga sebabkan adenopati servikal yang
mengancam jalan napas.
• Inkubasi: rerata 2-5 hari (rentang 1-10 hari)
• Penularan: droplet respiratorik, kontak langsung
dengan sekret respiratorik atau lesi kulit
https://www.cdc.gov/diphtheria/clinicians.html

Diphteria Classification
• Respiratory diphtheria
– Nasal diphtheria
• Pilek ringan dangan atau tanpa gejala sistemik
• Sekret hidung
• Tampak pseudomembran putih pada septum nasi
– Pharyngeal and tonsillar diphtheria
• nyeri tenggorok
• Bull-neck (bengkak pada leher)
• Pseudomembran purulen berwarna putih keabuan
di faring, tonsil, uvula, palatum
– Laryngeal diphtheria
• Stridor progresif dan suara parau, batuk kering
• Demam tinggi, lemah, sianosis, pembengkakan
KGB leher
• Cutaneous diphtheria
– Any break in the skin, can became infected
with diphteria
– It made ulceration and usually covered by a
gray-brown pseudomembrane
Presentasi klinis • Gejala awal infeksi saluran
napas atas: malaise, nyeri
tenggorokan, pilek, sekret
hidung berdarah, suara serak,
batuk, nyeri menelan, demam,
cutaneous diphtheria, pada
anak anak bisa sulit menelan
liur (drooling)
• Pada kasus berat: suara napas
Cutaneous diphtheria stridor inspiratorik, sesak
napas
• Inspeksi tampak bull neck
(pembengkakan nodus limfatik
servikal), faring hiperemis
• Pseudomembran: membrane
keabuan asimetris, sulit
diangkat dan mudah berdarah
Bull-neck pada difteri
http://4.bp.blogspot.com/
Pemeriksaan penunjang
• Saat KLB tidak rutin dilakukan. Kecuali diagnosis tidak jelas
(pembengkakan leher tanpa pseudomembran), atau dicurigai
adanya resistensi antimikroba
• Bisa lakukan swab tepi lesi mukosa dan masukkan dalam media
transport (Amies atau Stuart), kemudian inokulasi dalam:
– blood agar
– media mengandung tellurit (setelah periode inkubasi 18-24 jam)
– isolasi dalam media Loeffler
• Koloni bisa diperiksa produksi toksinnya menggunakan tes
immunopresipitat Elek (24-48 jam)
• Bila kultur positif dan ditemukan toksin, konfirmasi etiologi
diagnosis

WHO: Operational protocol for clinical management of Diphtheria, 2017


Manajemen klinis awal untuk semua
kasus probable
1. Tempatkan segera di ruang isolasi dan lakukan pencegahan standar
(isolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapus tenggorok
negatif 2x berturut)
2. Berikan segera Diphtheria Antitoxin (DAT)
3. Berikan segera antibiotic (penisilin, eritromisin, atau azitromisin)
4. Monitor ketat hemodinamik dan berikan terapi suportif untuk
komplikasi berat (airway management, cardiac, neurologic, and
renal failure).
1. Hindari oksigen kecuali jika terjadi obstruksi saluran repirasi
(Pemberian oksigen dengan nasal prongs dapat membuat anak tidak
nyaman dan mencetuskan obstruksi)
2. Bila pasien gelisah, iritabel atau terdapat gangguan pernapasan
yang progresif dilakukan krikotiroidotomi hingga trakeostomi
5. Vaksinasi dengan vaksin difteri toksoid sesuai usia

http://www.who.int/immunization/policy/position_papers/wer_31_diphtheria_updated_position_paper.pdf?ua=1
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/68334/1/WHO_V-B_03.01_eng.pdf?ua=1
PPM RSCM Dept IKA 2015
Antitoksin (DAT/ADS)
• ADS atau anti difteria serum adalah equine serum yang jadi
standar baku pengobatan difteri, diberikan segera setelah
ditemukan kasus difteri berdasarkan klinis (tidak perlu tunggu
pemeriksaan laboratorium)
• Pemberian antitoksin hari pertama menurunkan angka
kematian <1%, penundaan lebih dari hari ke 6 menyebabkan
angka kematian meningkat sampai 30%
• Kontraindikasi: wanita hamil, reaksi alergi
• Dosis anak dan dewasa sama
• Uji kulit sebelum pemberian ADS karena bisa terjadi reaksi
anafilaktik, suntikkan 0.1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis
1:1000 intrakutan (positif bila indurasi >10 mm)
http://www.who.int/immunization/policy/position_papers/wer_31_diphtheria_updated_position_paper.pdf?ua=1
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/68334/1/WHO_V-B_03.01_eng.pdf?ua=1
PPM RSCM Dept IKA 2015
Dosis ADS

PPM RSCM Dept IKA 2015


Antibiotik
• Harus diberikan
segera pada kasus
dicurigai atau
terkonfirmasi untuk
eradikasi kuman
difteri
– 1st: Penicillin
prokain
– 2nd Eritromisin
(bila
hipersensitif
terhadap
penisilin)
• Umumnya kondisi
tidak menular setelah
48 jam pemberian
antibiotic adekuat
http://www.who.int/immunization/policy/position_papers/wer_31_diphtheria_updated_position_paper.pdf?ua=1
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/68334/1/WHO_V-B_03.01_eng.pdf?ua=1
PPM RSCM Dept IKA 2015
Komplikasi
• Biasanya karena keterlambatan pemberian antitoksin
• Komplikasi:
– Miokarditis (muncul umumnya minggu ke-2, rerata 1-6 minggu),
takikardia, bunyi jantung 1 menjauh, murmur, aritmia
– Gangguan system saraf  neuropati perifer, paralisis palatum molle
– Otitis media
– Gawat napas akibat obstruksi jalan napas atas
• Ringan: batuk menggonggong hilang timbul, stridor (-), retraksi (-)/ringan
• Sedang: batuk menggonggong lebih sering, stridor istirahat, retraksi tanpa
distress napas/agitasi
• Berat: batuk menggonggong lebih sering, stridor inspirasi, retraksi jelas
dengan distress napas dan agitasi signifikan
• Gagal napas terjadi segera: stridor kadang sulit didengar, retraksi, letargi,
penurunan kesadaran, sianosis
Pencegahan
• Pada kondisi KLB, orang yang kontak erat di nilai status vaksinasi
nya. Anaka dapat imunisasi dasar: booster toksoid difteria
• Dapat diberikan vaksin serta antibiotik profilaksis

WHO
5. Malnutrisi Energi Protein
• Malnutrisi: Ketidakseimbangan seluler antara asupan dan kebutuhan
energi dan nutrien tubuh untuk tumbuh dan mempertahankan fungsinya
(WHO)
• Dibagi menjadi 3:
– Overnutrition (overweight, obesitas)
– Undernutrition (gizi kurang, gizi buruk)
– Defisiensi nutrien spesifik
• Malnutrisi energi protein (MEP):
– MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang)
– MEP derajat berat (gizi buruk)
• Malnutrisi energi protein berdasarkan klinis:
– Marasmus
– Kwashiorkor
– Marasmik-kwashiorkor

Sjarif DR. Nutrition management of well infant, children, and


adolescents.
Scheinfeld NS. Protein-energy malnutrition.
http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview
Marasmus

 wajah seperti orang tua


 kulit terlihat longgar
 tulang rusuk tampak
terlihat jelas
 kulit paha berkeriput
 terlihat tulang belakang
lebih menonjol dan kulit
di pantat berkeriput
( baggy pant )
Kwashiorkor

 edema
 rambut kemerahan, mudah
dicabut
 kurang aktif, rewel/cengeng
 pengurusan otot
 Kelainan kulit berupa bercak
merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor
• Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan
kwashiorkor secara bersamaan
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk
• Z-score → menggunakan • BB/IBW (Ideal Body Weight)
kurva WHO weight-for- → menggunakan kurva CDC
height • ≥80-90%  mild
• <-2 – moderate wasted malnutrition
• <-3 – severe wasted  gizi • ≥70-80%  moderate
buruk malnutrition
• ≤70%  severe
• Lingkar Lengan Atas < 11,5 malnutrition  Gizi Buruk
cm
Kwashiorkor
Protein 

Serum Albumin 

Tekanan osmotik koloid serum 

Edema
Marasmus
Karbohidrat 

Pemecahan lemah + pemecahan protein

Lemak subkutan 

Muscle wasting, kulit keriput

Turgor kulit berkurang


Emergency Signs in Severe
Malnutrition
• Dibutuhkan tindakan resusitasi
• Tanda gangguan airway and breathing :
– Tanda obstruksi
– Sianosis
– Distress pernapasan
• Tanda dehidrasi berat → rehidrasi secara ORAL.
Dehidrasi berat sulit dinilai pada malnutrisi berat.
Terdapat risiko overhidrasi
• Tanda syok : letargis, penurunan kesadaran
– Berikan rehidrasi parenteral (Resusitasi Cairan)
Cause difference
Marasmus Kwashiorkor
Marasmus is multi nutritional Kwashiorkor occurs due to the lack of
deficiency proteins in a person's diet
Marasmus usually affects very young Kwashiorkor affects slightly older
children children mainly children who are
weaned away from their mother's
milk
Marasmus is usually the result of a Kwashiorkor can occur rapidly
gradual process
10 Langkah Tatalaksana MEP berat

PPM IDAI 2009


Penatalaksanaan
1. Atasi/cegah hipoglikemia (<54 mg/dL)

– Monitor kadar gula darah setelah 2 jam


– Pencegahan dengan pemberian makanan F-75 tiap 2 jam, selalu berikan makanan pada
malam hari
2. Atasi/cegah hipotermia:

– Monitor suhu tiap 30 menit hingga mencapai suhu >36,5 C


– Tutupi anak dari paparan langsung dengan udara, jaga agar anak tetap kering
3. Atasi/cegah dehidrasi  asumsikan dehidrasi pada setiap anak dengan
diare cair.

– Observasi kemajuan rehidrasi tiap 30 menit selama 2 jam pertama, lalu tiap 1 jam untuk
6-12 jam selanjutnya. Observasi HR, RR, frekuensi miksi, frekuensi defekasi/muntah
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
Semua anak dengan malnutrisi berat mengalami hipernatremia
5. Obati/cegah infeksi  tanda umum infeksi sering tidak dijumpai pada
malnutrisi
Saat rawat inap, berikan secara rutin: antibiotik spektrum luas , vaksinasi campak
jika usia >6 bulan dan belum mendapat imunisasi (tunda jika klinis buruk)
Antibiotik spektrum luas:
6. Koreksi defisiensi mikronutrien
Hari pertama:
– Vit A (usia 0-5 bln 50.000 IU, 6-12 bulan 100.000 IU, >12 bulan 200.000 IU)
– Asam folat 5 mg PO
Pemberian harian selama 2 minggu:
– Multivitamin: Asam folat 1 mg/hari, Zinc 2 mg/kgBB/hari, Copper 0,3 mg/kgBB/hari, Zat Besi 3
mg/kg/hari (pada fase rehabilitasi)

7. Pemberian makan
Fase stabilisasi
– Porsi kecil, osmolaritas rendah, rendah laktosa  F75
– Peroral/NGT
– Energi: 80-100 kkal/kgBB/hari, Protein: 1-1,5 g/kgBB/hari, Cairan: 130 mL/kgbb/hari
– Lanjutkan pemberian ASI setelah formula dihabiskan
8. Mencapai kejar-tumbuh
– Target peningkatan berat badan >10 g/kg/hari

Bila kenaikan berat badan <5g/kgBB/hari, lakukan penilaian ulang apakah target
asupan makanan memenuhi kebutuhan dan cek tanda-tanda infeksi
6. Diabetes melitus tipe 1
• Terjadi akibat kerusakan sel beta pancreas  defisiensi
insulin absolut
• Meliputi 90% diabetes pada anak dan remaja
• Penyebab:
– Autoimun : cellular mediated autoimmune. Marker
autoimun: islet cell autoantibodies, autoantibodi terhadap
insulin (IAA), autoantibodies to GAD (GAD65), autoantibodi
terhadap tyrosine phosphatases IA-2 dan IA-2β, serta
autoantibodi terhadap zinc transporter 8 (ZnT8)
– Idiopatik
• Tidak termasuk kerusakan beta pancreas akibat kondisi
khusus: defek mitokondria, cystic fibrosis

PPM IDAI 2009


Pola gambaran klinis saat onset
• Klasik
– Polidipsi, poliuri, polifagi, penurunan berat badan nyata
dalam 2-6 minggu, mudah Lelah
– Irritable, penurunan prestasi sekolah, infeksi kulit berulang,
kandidiasis vagina pada anak prepubertas wanita, gagal
tumbuh, kurus (berbeda dengan DM tipe 2 biasanya gemuk)
• Silent diabetes
– Jarang dijumpai, biasanya ditemukan saat skrining atau
pemeriksaan khusus karena ada anggota keluarga penderita
dengan DM tipe 1
• Ketoasidosis diabetic
– Awitan gejala klasik cepat dalam beberapa hari
– Tampak sesak napas (napas kussmaul), letargi, nyeri perut,
muntah berulang, dehidrasi, napas bau aseton, tanda syok,
poliuri meski dehidrasi
Perjalanan alamiah DM tipe 1
• Bisa ada honeymoon periode
• Yakni periode remisi (parsial/total) akibat
berfungsi kembali jaringan residual pancreas
sehingga kembali sekresikan insulin  berakhir
bila pancreas sudah habiskan seluruh sisa insulin
• Curigai bila ada penderita baru DM tipe 1 sering
alami serangan hipoglikemia sehingga kebutuhan
insulin harus dikurangi untuk cegah hipoglikemia
• Remisi parsial: dosis insulin <0.5 U/kg/hari, dan
HbA1c <7%
Konsensus Nasional Pengelolaan DM tipe 1 IDAI 2015.
Pemeriksaan penunjang
• Kadar GDS ≥200 mg/dl
• Kadar GDP ≥126 mg/dl (puasa: tidak ada asupan kalori
selama 8 jam)
• Kadar gula darah 2 jam pasca toleransi glukosa ≥200
mg/dl
• Kadar C-peptide (lihat fungsi sel beta residu yang masih
produksi insulin, digunakan bila sulit bedakan DM tipe
1 dan 2)
• HbA1c setiap 3 bulan rutin, menilai perubahan terapi
8-12 minggu sebelumnya dan kendali gula darah
• Marker autoantibodi, hanya 70-80% memberikan hasil
posited (ICA, IAA)
Konsensus Nasional Pengelolaan DM tipe 1 IDAI 2015.
Kriteria diagnosis (1)
1. Ditemukan gejala klinis klasik (polyuria,
polydipsia, nocturia, enuresis, penurunan berat
badan, polifagia), dan kadar GDS ≥200 mg/dl,
atau
2. Kadar GDP ≥126 mg/dl, atau
3. Kadar gula darah ≥200 mg/dl pada jam ke-2
TTGO, atau
4. HbA1c >6.5% (standar NGSP dan DCCT)
5. Pada penderita asimptomatis dengan GDS ≥200
mg/dl, harus konfirmasi dengan GDP atau TTGO
terganggu.
Konsensus Nasional Pengelolaan DM tipe 1 IDAI 2015.
Kriteria diagnosis (2)
Curigai sebagai DM tipe 2
• Obesitas
• Usia remaja >10 tahun
• Ada riwayat keluarga DM tipe 2
• Penanda autoantibodi negative
• Kadar C peptide normal atau tinggi
Tatalaksana
• Pemberian insulin
– Dosis anak prepubertas:
0.7-1 Unit/kg/hari
– Dosis pubertas: 1.2-2
Unit/kg/hari
– Dosis fase remisi sering
<0.5 unit/kg/hari
– Dosis berkurang sedikit
pada saat remisi dan
meningkat kembali saat
pubertas
Konsensus Nasional Pengelolaan DM tipe 1 IDAI 2015.
Pemberian insulin
• Kenali adanya kondisi mengakibatkan
hiperglikemia di pagi hari
– Efek Somogyi  kompensasi tubuh akibat
hipoglikemia terjadi sebelumnya (rebound effect),
yaitu pemberian insulin berlebih yang sebabkan
hipoglikemia malam hari pk 02-03, menyebabkan
sekresi hormone glikogen yang timbulkan
hiperglikemik  atasi dengan penambahan makanan
kecil sebelum tidur atau kurangi dosis insulin malam
hari
– Efek Subuh atau Dawn effect  akibat kerja hormone
glikogen dominan di malam hari  atasi dengan
tambah dosis insulin malam hari
Konsensus Nasional Pengelolaan DM tipe 1 IDAI 2015.
Tatalaksana
• Pengaturan makan
– Kontrol metabolik, cukupi kebutuhan kalori untuk metabolisme
basal, pertumbuhan, pubertas, dan aktivitas
– Jumlah kalori: [1000+(usia dlm tahun x 100)] kalori per hari
– 60-65% karbohidrat, 25% protein, <30% lemak
• Olahraga
– Paling sedikit 3x seminggu dan dilakukan pada waktu sama
untuk mudahkan pemberian insulin dan pengaturan makan
– Pantau kemungkinan hipoglikemia atau hiperglikemia saat atau
pasca olahraga
• Edukasi
– Kondisi lifelong disease, motivasi patuh pengobatan
• Pemantauan mandiri di rumah

Konsensus Nasional Pengelolaan DM tipe 1 IDAI 2015.


7. Kejang pada Neonatus
• Kejang pada neonatus adalah • Kejang pada neonatus
perubahan paroksimal dari – Kejang yang terjadi pada 28
fungsi neurologik misalnya hari pertama kehidupan (bayi
perilaku, sensorik, motorik dan cukup bulan)
fungsi autonom sistem saraf. – Atau 44 minggu masa konsepsi
(usia kronologis + usia gestasi
• Angka kejadian kejang di pada saat lahir) pada bayi
negara maju berkisar antara prematur
0,8-1,2 setiap 1000 neonatus • Angka kematian berkisar 21-
per tahun. 58%, sebanyak 30% yang
• Kejang merupakan keadaan berhasil hidup menderita
kegawatan, karena dapat kelainan neurologis.
mengakibatkan hipoksia otak • Penyebab
yang berbahaya bagi
kelangsungan hidup bayi atau – Hipoksik-iskemik-ensefalopati
(38-48%),
dapat mengakibatkan gejala
– Hipoglikemia (3-7.5%)
sisa di kemudian hari.
– Hipokalsemia 2.3-9%
– Infeksi SSP 5.5-10.3%
WHO neonatal seizure 2011
Setyo Handryastuti: Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan Tatalaksana
Cause of Neonatal seizure
WHO Recommendations for Neonatal Seizure

• Recommendation
– Phenobarbital should be used as the first-line agent
for treatment of neonatal seizures
• Commonly used first-line AEDs for treatment of NS are
phenobarbital and phenytoin.
• Phenobarbital is also cheaper and more easily available than
phenytoin.
• Only about 55% of newborns respond to either of the two
medications.
• Phenobarbital is easier to administer with a one daily dose being
sufficient following attainment of therapeutic levels.
• Phenytoin has more severe adverse effects than phenobarbital
including cardiac side effects and extravasation (although these
have been mitigated by the introduction of fosphenytoin).
• The therapeutic range of phenytoin is very narrow
Terapi kejang neonatus

Setyo Handryastuti: Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan Tatalaksana
8. Poliomyelitis
• Manifestasi
– Inapparent infection/asimptomatik
• Poliomyelitis merupakan (90-95%)
infeksi enterovirus oleh
– 5-10% tipe abortif/minor:
poliovirus (family
• Demam
Picornaviridae)
• Nyeri kepala, nyeri tenggorokan
• Inkubasi : 5-35 hari
• Nyeri tangan dan kaki, letargi
• Transmisi: melalui rute fekal-
• Gangguan saluran cerna
oral through atau menelan
– 1-2% major poliomyelitis:
air yang terkontaminasi
• Non paralytic : Sindrom
• Virus akan bereplikasi dalam meningitis
nasofaring dan saluran cerna • Paralytic
 ke jaringan limfoid  – Flaccid paresis dengan
penyebaran ke dalam darah kelemahan proksimal asimetris
 viremia  neurotropik serta arefleksia, terutama di
dan destruksi motor neuron ekstremitas bawah
PPM IDAI pada anterior horn – Paresthesia tanpa hilang
Polio paralitik
• Polio paralitik diklasifikasikan menjadi 3 tipe
berdasarkan derajat keterlibatannya:
– Spinal polio  paling umum (melibatkan 79% kasus
paralitik tahun 1969–1979). Terdapat paralisis
asimetrik yang umumnya melibatkan tungkai
– Bulbar polio  menyebabkan kelemahan otot yang
dinervasi nervus kranialis (2% kasus tahun 1969-1979)
– Bulbospinal polio  gabungan paralisis spinal dan
bulbar (19% kasus tahun 1969-1979)\
– Studi autopsy pada satu pasien menunjukkan adanya
gliosis dan sel inflamatorik CD8+ pada kornu anterior
dengan hilangnya sel kornu anterior (moderate)
http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/polio.pdf | Uptodate 2018
Diagnosis polio
Diagnosis Poliomielitis
Pemeriksaan Penunjang
• Darah:
– Leukosit normal/sedikit meningkat
– Serum antibodi akut dan konvalesens
– Peningkatan titer IgG 4x lipat atau titer anti-IgM (+) pada stadium akut
– PCR
• LCS:
– 20-300 sel, predominan limfosit (lymphocytic pleocytosis), glukosa normal,
protein normal/sedikit meningkat
– PCR (Gold Standard)
• Kultur:
– Dilakukan pemeriksaan kultur virus dari fese dan apus tenggorok, pada pasien
tersangka infeksi poliomyelitis (pasien AFP)
• Histologi:
– Ag spesifik enterovirus dilakukan imumofluresens dan pemeriksaan RNA
melalui PCR

PPM IDAI | Uptodate


Pemeriksaan Penunjang
• The diagnosis of poliomyelitis is suspected based on the clinical
presentation and cerebrospinal fluid findings.
• The gold standard for confirming the diagnosis is polymerase chain
reaction (PCR) amplification of poliovirus RNA from the
cerebrospinal fluid.
• Alternatively, the diagnosis can be confirmed by virus isolation, but
this method is less sensitive than PCR.
• Poliovirus can be isolated from throat secretions in the first week of
illness and from feces for several weeks.
• It rarely can be isolated from cerebrospinal fluid.
• The diagnosis can also be made serologically, by comparing viral
titers in acute and convalescent sera, but this method is slow and
often hard to accomplish with the large number of enteroviruses
PPM IDAI | Uptodate
TATALAKSANA PARALYTIC POLIOMYELITIS
• Medikamentosa
– Tidak ada antivirus untuk terapi infeksi virus polio
• Suportif
– Antipiretik/Analgetik bila ada keluhan nyeri kepala, nyeri otot, atau demam
– Ventilasi mekanik seringkali perlu pada pasien paralisis bulbar
– Trakeostomi dan perawatannya bila pasien butuh support ventilasi mekanik jangka
Panjang
– Rehabilitasi medis untuk cegah decubitus, pneumonia karena tirah baring lama, latihan
aktif serta pasof untuk cegah kontratur
– Laksatif untuk konstipasi dan pemasangan kateter urin
• Bedah
– Bila sekuele mengakibatkan dysplasia atau kontraktur
• Diit
– Diet tinggi serat untuk cegah konstipasi
– Hindari aspirasi
• Indikasi rawat inap  bila ada acute flaccid paraliysis untuk pantau timbulnya
distress napas, gangguan berkemih, hingga sentral (ensefalopati hipertensif)
• PENCEGAHAN: VAKSINASI (penting!)
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html)
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan)
6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster diberikan OPV atau IPV.
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan)
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis
minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan dengan OPV-3
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova-
minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
9. Hipoglikemia pada Neonatus
• Hipoglikemia adalah kondisi bayi • Insulin dalam aliran darah fetus
dengan kadar glukosa darah <45 tidak bergantung dari insulin ibu,
mg/dl (2.6 mmol/L), baik bergejala tetapi dihasilkan sendiri oleh
atau tidak pankreas bayi
• Hipoglikemia berat (<25 mg/dl) dapat
menyebabkan palsi serebral, • Pada Ibu DM terjadi hiperglikemia
retardasi mental, dan lain-lain dalam peredaran darah
• Etiologi uteroplasental bayi
– Peningkatan pemakaian glukosa mengatasinya melalui hiperplasia
(hiperinsulin): Neonatus dari ibu DM, sel B langerhans yang
Besar masa kehamilan, eritroblastosis
fetalis
menghasilkan insulin  insulin
– Penurunan produksi/simpanan glukosa: tinggi
Prematur, IUGR, asupan tidak adekuat • Begitu lahir, aliran glukosa yang
– Peningkatan pemakaian glukosa: stres
perinatal (sepsis, syok, asfiksia, menyebabkan hiperglikemia tidak
hipotermia), defek metabolisme ada, sedangkan insulin bayi tetap
karbohidrat, defisiensi endokrin, dsb tinggi  hipoglikemia

Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010


Hipoglikemia
• Diagnosis
– Anamnesis: tremor, iritabilitas, kejang/koma, letargi/apatis, sulit menyusui,
apneu, sianosis, menangis lemah/melengking
– PF: BBL >4000 gram, lemas/letargi/kejang beberapa saat sesudah lahir
– Penunjang: Pemeriksaan glukosa darah baik strip maupun darah vena, reduksi
urin, elektrolit darah
• Penatalaksanaan
– Bolus 200 mg/kg dengan dextrosa 10% IV selama 5 menit
– Hitung Glucose Infusion Rate (GIR), 6-8 mg/kgBB/menit untuk mencapai GD
maksimal. Dapat dinaikkan sampai maksimal 12mg/kgBB/menit
– Cek GD per 6 jam
– Bila hasil GD 36-47 mg/dl 2 kali berturut-turut + Infus dextrosa 10%
– Bila GD >47 mg/dl setelah 24 jam terapi, infus diturunkan bertahap
2mg/kgBB/menit setiap jam
– Tingkatkan asupan oral
Pemantauan dan Skrining
Hipoglikemia
PPM IDAI jilid 1
10. Scurvy

• Diakibatkan oleh defisiensi vitamin C


• Vit. C  Redox agent  mereduksi ion metal dan
membuang radikal bebas  memproteksi DNA,
protein, dan pembuluh darah dari radikal bebas
• Vit. C  triple helix formation dari kolagen 
defisiensi vit. C  gangguan sintesis kolagen
• Sintesis kolagen terganggu  poor wound healing
 area yang terkena: dentin, kulit, kartilago,
osteoid, dan pembuluh darah kapiler
Scurvy: Gejala Klinis
- follicular hyperkeratosis and - Cardiorespiratory symptoms,
perifollicular hemorrhage, with including dyspnea, hypotension,
petechiae and coiled hairs and sudden death have been
- Generalized systemic symptoms reported
are weakness, malaise, joint - Characteristic findings on
swelling, arthralgias, anorexia, magnetic resonance imaging
depression, neuropathy, and (MRI) are sclerotic and lucent
vasomotor instability metaphyseal bands, with
- Anemia periosteal reaction and adjacent
- impaired wound healing soft-tissue edema
- Ptekiae & ecchymoses
- gingivitis (with bleeding and
receding gums and dental
caries)
The gingival swelling and dusky color just above
two of the teeth indicate hemorrhage into the
gums of this patient with poor dentition. The
gingival abnormalities of scurvy occur only in the
presence of teeth, which presumably provide
portals of entry for microbes into the gums. One
hypothesis suggests that vitamin C deficiency
impairs neutrophil-mediated killing of bacteria,
leading to chronic gingivitis, which is then
complicated by bleeding from the fragile vessels
characteristic of scurvy.

Periodontal images of the patient


taken before periodontal treatment.
Extensive gingival overgrowth with
severe periodontal inflammation was
observed in the maxillary and
mandibular arches at the first visit
(July, 2008). Image from open access
article Omori K, Hanayama Y, Naruishi
K, Akiyama K, Maeda
Hair shaft abnormalities in scurvy. Some hairs are
bent in one or more places, creating the “swan-
neck” deformity. Some are coiled into
“corkscrew” hairs. These abnormalities probably
result from increased disulfide cross-linking of
hair keratins.

Anteroposterior radiograph of the lower


extremities shows ground-glass osteopenia, a
characteristic of scurvy.
In this example, the perifollicular
hyperkeratotic papules are quite
prominent, with surrounding
hemorrhage. These lesions have
been misinterpreted as "palpable
purpura," leading to the mistaken
clinical diagnosis of vasculitis.

Perifollicular hemorrhage
Scurvy: Tatalaksana

- Jus jeruk setiap hari selama 7 hari


- Asam askorbat 3-5x100 mg/ hari sampai tercapai
dosis total 4 gram
- Asam askorbat sekali minum hanya boleh 100 mg
karena kemampuan usus dalam menyerap hanya
100 mg dalam satu waktu
- Diet dengan kandungan vitamin C yang cukup
 Bayi 0-6 bulan: 40 mg/hari
 Bayi 7-12 bulan: 50 mg/hari
 Anak 1-3 tahun: 15 mg/hari
 Anak 4-8 tahun 25 mg/hari
Vitamin Deficiency syndrome
Water-soluble vitamins
Vitamin B1 Beriberi – Congestive heart failure (wet beriberi), aphonia, peripheral neuropathy, Wernicke
(thiamine) encephalopathy (nystagmus, ophthalmoplegia, ataxia), confusion, or coma
Vitamin B2 Nonspecific symptoms including edema of mucous membranes, angular stomatitis, glossitis, and
(riboflavin) seborrheic dermatitis (eg, nose, scrotum)
Pellagra – Dermatitis on areas exposed to sunlight; diarrhea with vomiting, dysphagia, mouth
Vitamin B3
inflammation (glossitis, angular stomatitis, cheilitis); headache, dementia, peripheral
(Niacin)
neuropathy, loss of memory, psychosis, delirium, catatonia

Anemia, weakness, insomnia, difficulty walking, nasolabial seborrheic dermatitis, cheilosis,


Vitamin B6 (pyridoxine) stomatitis

Vitamin B12 Megaloblastic anemia (pernicious anemia), peripheral neuropathy with impaired proprioception
(cobalamin) and slowed mentation
Folate (Vitamin B9) Megaloblastic anemia
Nonspecific symptoms including altered mental status, myalgia, dysesthesias, anorexia,
Biotin (Vitamin B7)
maculosquamous dermatitis
Nonspecific symptoms including paresthesias, dysesthesias ("burning feet"), anemia,
Pantothenate (Vit. B5)
gastrointestinal symptoms
Vitamin C Scurvy – fatigue, petechiae, ecchymoses, bleeding gums, depression, dry skin, impaired wound
(ascorbate) healing
Fat-soluble vitamins
Vitamin A Night blindness, xerophthalmia, keratomalacia, Bitot spot, follicular hyperkeratosis
Vitamin D Rickets, osteomalacia, craniotabes, rachitic rosary
Vitamin E Sensory and motor neuropathy, ataxia, retinal degeneration, hemolytic anemia
Vitamin K Hemorrhagic disease
11. Syok Anafilaktik pada Anak
• ‘‘Anaphylaxis is a serious allergic reaction that is rapid in onset and may
cause death.’’
• Anafilaksis melibatkan reaksi hipersensitivitas cepat dimediasi IgE
menyebabkan pelepasan mediator kimia poten dari sel mast dan
basophil  Hipersensitivitas tipe 1
• Kebanyakan efek melibatkan kulit, saluran napas, kardiovaskular, dan
gastrointestinal
• Resiko anafilaksis lebih tinggi pada anak dengan atopi (asma, eczema,
rhinitis alergi)
• Derajat beratnya reaksi anafilaktik sebelumnya tidak berarti prediksi
derajat reaksi setelahnya, namun individu dengan reaksi anafilaktik
sebelumnya memiliki resiko rekurensi lebih tinggi

Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
• Diagnosis didasarkan atas temuan klinis
• Hati-hati karena 69% anak yg menderita anafilaksis tidak
memiliki riwayat alergi terhadap agen kausatifnya.
• Gejala bisa timbul dalam hitungan detik hingga beberapa jam
(pada anak rata-rata muncul 5-30 menit postexsposure)
• 80% – 90% mengalami gejala kutaneus, termasuk flushing,
pruritus, urtikaria, diaphoresis, sensasi panas, dan
angioedema.
• Gejala pernapasan muncul hingga 94% kasus
• Gejala tersering: rasa tercekik, pruritus, serak, stridor, dada
terasa berat, wheezing, dan hipoksemia.

Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
SYSTEM S I G N S A N D S Y M P TO M S
Fussiness, irritability, drowsiness, lethargy, reduced level of
General/CNS
consciousness, somnolence

Skin Urticaria, pruritus, angioedema, flushing

Stridor, hoarseness, oropharyngeal or laryngeal edema, uvular


Upper airway edema, swollen lips/tongue, sneezing, rhinorrhea, upper airway
obstruction

Lower airway Coughing, dyspnea, bronchospasm, tachypnea, respiratory arrest

Tachycardia, hypotension, dizziness, syncope, arrhythmias,


Cardiovascular
diaphoresis, pallor, cyanosis, cardiac arrest

Gastrointestinal Nausea, vomiting, diarrhea, abdominal pain


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3043023/
Syok Anafilaksis
Diutamakan penggunaan
antihistamine terlebih
dahulu setelah resusitasi
cairan
Pharmacological management of anaphylaxis
DRUG AND ROUTE OF FREQUENCY OF PA E D I AT R I C D O S I N G
A D M I N I S T R AT I O N A D M I N I S T R AT I O N (MAXIMUM DOSE)
Immediately, then every 5–15 min as
Epinephrine (1:1000) IM 0.01 mg/kg (0.5 mg)
required
6 months to <2 years: 2.5 mg OD
Cetirizine PO Single daily dose 2–5 years: 2.5–5 mg OD
>5 years: 5–10 mg OD
Every 4–6 h as required for cutaneous
Diphenhydramine IM/IV 1 mg/kg/dose (50 mg)
manifestations
Every 8 h as required for cutaneous
Ranitidine PO/IV 1 mg/kg/dose (50 mg)
manifestations
Corticosteroids: prednisone PO
Every 6 h as required 1 mg/kg PO (75 mg) or 1 mg/kg IV (125 mg)
or methylprednisolone IV
Every 20 min or continuous for
5–10 puffs using MDI or 2.5–5 mg by
Salbutamol respiratory symptoms (wheezing or
nebulization
shortness of breath)
Every 20 min to 1 h for symptoms of
Nebulized epinephrine (1:1000) 2.5–5 mL by nebulization
upper airway obstruction (stridor)
Continuous infusion for hypotension –
Epinephrine IV (infusion) 0.1–1 μg/kg/min (maximum 10 μg/min)
titrate to effect
Bolus followed by continuous infusion – 20–30 μg/kg bolus (maximum 1 mg), then
Glucagon IV
titrate to effect infusion at 5–15 μg/min
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3043023/
Children doses for anaphylactic drug

• Continuous infusion of epinephrine (1:10,000) starting at 0.1 mg/kg per


minute up to 1 mg/kg per minute.
• Because of the risk of potentially lethal dysrhythmias, IV/IO epinephrine
(1:10,000) should be reserved for the patient with uncompensated shock.
• Other vasopressors to consider: dopamine, vasopressin, and norepinephrine.
• Glucagon should be given to the hypotensive patient who is taking b-blockers
(The intravenous dose for children weighing 20 kg or less is 0.02 to 0.03 mg/kg
up to 0.5 mg/dose; for children weighing greater than 20 kg give 1 mg/dose)
• Diphenhydramine is the intravenous H1 antihistamine of choice.
• Ranitidine (0.5 – 1 mg/kg up to 50 mg per dose) is an H2 antihistamine that
can be given intravenously with established pediatric use.
• Methylprednisolone succinate is the preferred intravenous corticosteroid and
can be given as 1 to 2 mg/kg, up to a maximum of 125 mg.
12. Glomerulonefritis akut
• Glomerulonefritis akut kondisi yang ditandai dengan edema, hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (sindrom nefritik) di mana terjadi
inflamasi pada glomerulus
• Glomerulonefritis disebabkan oleh beberapa macam kelainan yang
memiliki karakteristik berupa kerusakan glomerulus akibat inflamasi
• Glomerulonefritis akut post streptococcal merupakan salah satu bentuk
tersering dari glomerulonefritis akut
• Gejala klinis:
 Gross hematuria: urin berwarna seperti the atau coca-cola
 Oliguria
 Edema
 Nyeri kepala, merupakan gejala sekunder akibat hipertensi
 Dyspneabisa akibat edema paru atau gagal jantung yang mungkin terjadi
 Hipertensi

Niaudet P. Overview of the pathogenesis and causes of glomerulonephritis in children. UpToDate, 2016
Parmar MS. Acute glomerulonephritis. Emedicine, 2016
Causes of glomerulonephritis in children
PRIMARY GLOMERULONEPHRITIS
Membranous glomerulonephritis
Membranoproliferative glomerulonephritis type I
Membranoproliferative glomerulonephritis type II (dense deposit disease)
IgA nephropathy
Anti-glomerular basement membrane disease
Idiopathic crescentic glomerulonephritis
SECONDARY GLOMERULONEPHRITIS
Post-streptococcal glomerulonephritis
Other post-infectious glomerulonephritis
Henoch-Schönlein purpura nephritis
Systemic lupus erythematosus nephritis
Microscopic polyangiitis
Wegener granulomatosus
Mekanisme GNAPS
• Terdapat 4 mekanisme yang mungkin menimbulkan
GNAPS:
1. Adanya kompleks imun dengan antigen streptokokal
yang bersirkulasi dan kemudian terdeposisi.
2. Deposisi dari antigen streptokokus pada membrane
basal glomerulus yang berikatan dengan antibody
sehingga terbentuk kompleks imun.
3. Adanya antibody terhadap antigen streptokokal yang
bereaksi terhadap komponen glomerulus yang
menyerupai antigen streptokokus (molecular mimicry)
4. Adanya proses autoimun
• Dari keempat mekanisme tersebut, mekanisme kedua
adalah mekanisme pathogenic yang paling banyak
ditemukan.
Patogenesis dan Patofisiologi
Streptococcal infection

Aktivasi komplemen Komplemen serum turun

Immune injuries
Proliferasi selular
Destruksi membran basal glomerulus
Lumen kapiler menyempit
hematuria
Aliran darah glomerular menurun

GFR turun Reabsorbsi natrium distal

oliguria
Retensi air dan natrium

Volume darah meningkat

Edema dan hipertensi


Sindrom Nefritik Akut
Pemeriksaan penunjang
• Urinalisis
• Proteinuria, hematuria, dan adanya silinder eritrosit
• Peningkatan ureum dan kreatinin
• GNAPS:
• ASTO meningkat (ASTO: antibodi terhadap streptolysin
O, yang merupakan toxin yang diproduksi oleh kuman
grup A)
• Komplemen C3 menurun pada minggu pertama
• Hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia,
dan hipokalsemia pada komplikasi gagal ginjal akut
Tatalaksana GNAPS
• Golongan penisilin dapat diberikan untuk eradikasi
kuman, yaitu amoksisilin 50 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis selama 10 hari.
– Jika alergi penisilin, dapat diberikan eritromisin 30
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis.
• Diuretik diberikan untuk mengatai retensi cairan dan
hipertensi  loop diuretik  furosemide 1 mg/kg/kali,
2-3x/hari
• Jika terdapat hipertensi berikan obat anti hipertensi 
CCB atau ACE inhibitor
• Diet nefritis untuk mengurangi retensi cairan dan
meningkatkan fungsi ginjal  restriksi garam dan
cairan
Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010
Therapy in Pediatric GNAPS
• The major goal is to control edema and blood pressure
• Management of edema:
– Sodium and fluid restriction
• A sodium-restricted diet is tailored to provide the child with approximately 2 to 3 mEq of
sodium/kg per day (23-46 mg/kg), the amount of sodium required for a growing child.
• maximum sodium intake of 2000 mg/day
• Fluid restriction can be considered in patients with generalized edema in poststrep GN
– Diuretic therapy
• If significant edema or hypertension develops
• Loop diuretics (eg, (Furosemide 1-2 mg/kg/kali IV per 6-12 jam; Oral: 2 mg/kg once daily)
• Management of Hypertension
– For hypertension not controlled by diuretics, usually calcium channel blockers,
angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEIs), or angiotensin receptor blockers
(ARBs) are useful
• Specific therapy:
– Strep Inf. (+): Treat with oral penicillin V (250 mg qid for 7-10 d for children ≤27 kg) or with
erythromycin (250 mg qid for 7-10 d) for patients allergic to penicillin
– This helps prevent nephritis in carriers and helps prevent the spread of nephritogenic strains to
others
• Indications for dialysis include life-threatening hyperkalemia and clinical
manifestations of uremia
• Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari.
Gambar 8. metabolisme bilirubin dalam tubuh.
Perhatikan fungsi hepatosit yang melakukan
konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk.
Adanya ikterik merupakan manifestasi gangguan di
prehepatik, intrahepatik atau ekstrahepatik.
(Chandrasoma P, Taylor CR. Concise Pathology.
3rd edition. McGrawHill.
http://www.accessmedicine.com diunduh tanggal 25
Juli 2013)

13. IKTERUS DAN


METABOLISME
BILIRUBIN
Ikterus Neonatorum
• Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis.
• Ikterus fisiologis:
– Awitan terjadi setelah 24 jam
– Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB)
– Ikterus fisiologis berlebihan → ketika bilirubin serum puncak adalah 7-15
mg/dl pada NCB
• Ikterus non fisiologis:
– Awitan terjadi sebelum usia 24 jam
– Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam
– Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
– Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB > 14 hari pada NKB
– Tanda penyakit lain
• Gangguan obstruktif menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai
bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total
bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista duktus koledokus.

Indrasanto E. Hiperbilirubinemia pada neonatus.


Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Bayi Baru Lahir

Ikterus atau Hiperbilirubinemia :


menunjukkan pewarnaan pada kulit, sklera atau membran mukosa sebagai akibat
penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan.

Ikterus baru terlihat bila kadar bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL.
Ikterus pada neonatus merupakan sesuatu yang unik dan membutuhkan
perhatian khusus, karena:

Neonatus sedang mengalami Bilirubin indirek dapat Penyakit herediter mungkin


proses maturasi yang mungkin mencapai kadar toksik menunjukkan manifestasi
akan mempengaruhi perjalanan (kernikterus) sehingga klinisnya pada periode usia
penyakit harus didiagnosis dini ini
Ikterus Fisiologis

Pada neonatus – bedakan ikterus fisiologis atau patologis.5

Ikterus Mencapai
Onset
Puncak Menghilang
fisiologis Usia 30-72
Usia 4-5 Usia 7-10 hari
bayi aterm jam
hari

Nilai bilirubin tidak melebihi 12 mg/dL


Ikterus
fisiologis Onset Usia Mencapai
di atas 24 Puncak Menghilang
bayi jam lebih Usia 5-6 Usia 8-14 hari
preterm dini hari

Nilai bilirubin tidak melebihi 15 mg/dL


Ikterus Patologis

Kondisi yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut karena kecurigaan adanya


proses patologis, apabila kondisi ikterus pada bayi disertai dengan kondisi:
03
01 02
Kadar bilirubin serum
Ikterus pada 24 jam Ikterus pada bayi yang
meningkat dengan
pertama kehidupan terlihat sakit.
cepat

04 05 06
Prolonged Jaundice - Kadar bilirubin direk Feses berwarna
Ikterik menetap >2 >1 mg/dL (17mol/L)4 dempul dan urin
minggu (bayi aterm) berwarna gelap6
dan >3 minggu (bayi
prematur)6
Kramer’s Rule
Zona 1 2 3 4 5

Definisi Kepala Kulit Kulit tubuh Lengan Telapak


dan leher tubuh di di bawah dan tangan
atas pusar pusar dan tungkai dan kaki
paha

Kadar bilirubin 4-8 5 - 12 8 - 16 11 – 18 >1 5


serum (mg/dL)

Ikterus biasanya mulai terlihat di wajah lalu menyebar dengan arah


cephalocaudal ke tubuh dan akhirnya ekstrimitas.

Ikterus pada Neonatus perlu dievaluasi lebih lanjut bila:


1. Ikterus timbul saat lahir atau pada hari pertama kehidupan
2. Kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat (>5 mg/Dl/hari)
3. Kadar bilirubin serum > 12 mg/Dl pada bayi cukup bulan dan 10-14
mg/dL/24 jam pada bayi preterm
4. Ikterus menetap pada usia 2 minggu atau lebih
5. Peningkatan bilirubin direk > 2 mg/ dL
Ikterus yang Berhubungan dengan ASI
(Fisiologis)
Breast Feeding Jaundice (BFJ) Breast Milk Jaundice (BMJ)
• Disebabkan oleh kurangnya • Berhubungan dengan pemberian ASI
dari ibu tertentu dan bergantung
asupan ASI sehingga sirkulasi pada kemampuan bayi
enterohepatik meningkat mengkonjugasi bilirubin indirek
(pada hari ke-2 atau 3 saat ASI • Kadar bilirubin meningkat pada hari
4-7
belum banyak)
• Dapat berlangsung 3-12 minggu
• Timbul pada hari ke-2 atau ke- tanpa penyabab ikterus lainnya
3 • Penyebab: 3 hipotesis
– Inhibisi glukuronil transferase
• Penyebab: asupan ASI kurang oleh hasil metabolisme
 cairan & kalori kurang  progesteron yang ada dalam ASI
penurunan frekuensi gerakan – Inhibisi glukuronil transferase
usus  ekskresi bilirubin oleh asam lemak bebas
– Peningkatan sirkulasi
menurun enterohepatik
Indikator BFJ BMJ
Awitan Usia 2-5 hari Usia 5-10 hari
Lama 10 hari >30 hari
Volume ASI asupan ASI kurang  cairan & Tidak tergantung dari volume ASI
kalori kurang  penurunan
frekuensi gerakan usus 
ekskresi bilirubin menurun
BAB Tertunda atau jarang Normal
Kadar Bilirubin Tertinggi 15 mg/dl Bisa mencapai >20 mg/dl
Pengobatan Tidak ada, sangat jarang Fototerapi, Hentikan ASI jika kadar
fototerapi Teruskan ASI bilirubin > 16 mg/dl selama lebih
disertai monitor dan evaluasi dari 24 jam (untuk diagnostik)
pemberian ASI AAP merekomendasikan
pemberian ASI terus menerus dan
tidak menghentikan
Gartner & Auerbach
merekomendasikan penghentian
ASI pada sebagian kasus
Tatalaksana breastfeeding jaundice
• Pantau jumlah ASI yang diberikan, apakah sudah mencukupi atau
belum
• Pemberian ASI sejak lahir minimal 8 kali sehari
• Pemberian air putih, air gula, dan formula pengganti tidak
diperlukan
• Pemantauan kenaikan berat badan serta frekuensi buang air kecil
dan buang air besar
• Jika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, perlu dilakukan
penambahan volume cairan dan stimulasi produksi ASI dengan
melakukan pemerasan payudara.
• Pemeriksaan komponen ASI dilakukan bila hiperbilirubinemia
menetap >6 hari, kadar bilirubin >20 mg/dL, atau riwayat terjadi
breastfeeding jaundice pada anak sebelumnya.
14. Sepsis Neonatorum

• Sindrom klinik penyakit sistemik akibat infeksi


yang terjadi pada 28 hari pertama kehidupan.
Mortalitas mencapai 13-25%
• Ditandai dengan adanya tanda sistemik
berupa infeksi dan bakteri patogen dalam
darah.
• Hingga saat ini konsensus pasti masih kurang
jumlahnya
• Tanda awal sepsis pada bayi baru lahir tidak
spesifik → diperlukan skrining dan pengelolaan
faktor risiko
Sepsis Neonatal. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010.
Neonatal Sepsis. 2019. Uptodate.
Klasifikasi berdasarkan onset
– Early Onset  awitan sebelum 7 hari. Beberapa ahli
masih berpendapat terjadi dalam 72 jam pertama.
• Biasanya akibat transmisi infeksi vertikal via cairan amnion
terkontaminasi atau selama persalinan pervaginam dari bakteri
traktus genital bawah.
• Awitan tiba-tiba, cepat berkembang menjadi syok septik (Group
B Streptococcus (GBS)).
– Late Onset  awitan usia ≥7 hari, ada juga pendapat
awitan >72 jam.
• Dapat akibat transmisi vertikal (bermula dari kolonisasi bakteri
yang kemudian menjadi infeksi di kemudian hari) atau horisontal
(kontak dengan orang lain atau lingkungan).
• Faktor risiko seperti hipoksia, asidosis, hipotermia, atau
gangguan metabolisme  ganggu pertahanan neonatus.
• Ada fokus infeksi, sering disertai meningitis (Coagulase-negative
Staphylococcus)
Neonatal Sepsis. 2019. Uptodate.
Sepsis Neonatal. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010.
Faktor resiko dan gejala klinis
• Faktor risiko sepsis maternal:
– Korioamnionitis
– Suhu intrapartum ≥38 C
– Persalinan dengan usia gestasi <37 minggu
– Kolonisasi Group B Streptococcus
– Ketuban pecah ≥18 jam.
• Gejala klinis: Variatif, dari gejala ringan hingga syok septik
– Distres neonatus saat persalinan merupakan indikator sepsis neonatus:
• Takikardia fetal intrapartum
• Cairan amnion dengan mekonium
• APGAR ≤6
– Instabilitas suhu (khususnya demam)
– Tanda neurologis  Iritabel, Letargis, sulit minum, kejang
– Tanda gangguan respirasi  takipnea, merintih, penggunaan otot bantu nafas,
hipoksia, apnea
– Tanda kardiovaskular  Takikardia, Perfusi buruk, Hipotensi
– Ikterik dengan atau tanpa hepatomegali

Neonatal Sepsis. 2019. Uptodate.


Sepsis Neonatal. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010.
Kriteria SIRS Neonatorum (2005)
Evaluasi dan Manajemen Awal
• Neonatus dengan tanda dan gejala sepsis 
evaluasi lanjutan dan inisiasi terapi antibiotik
– Tes lab  kultur darah atau aspirasi trakea, pungsi
lumbal, darah perifer lengkap, Ro Toraks, CRP
dan/atau prokalsitonin
• Neonatus yang tampak sehat dengan riwayat
faktor risiko sepsis  observasi minimal 48 jam
• Rekomendasi AAP dan CDC:
– Early Onset Sepsis (EOS)  Evaluasi kehamilan,
persalinan, penggunaan profilaksis antibiotik
intrapartum  penggunaan EOS Risk Calculator
– Late Onset Sepsis (LOS)  evaluasi lengkap dan terapi
antibiotik empiris dengan tes tambahan berupa kultur
urin dan fokus infeksi potensial lain
Neonatal Sepsis. 2019. Uptodate.
Evaluasi dan Manajemen Awal (2)
• Indikasi terapi antibiotik empirik  agen
terhadap GBS dan organisme lain seperi E Coli
dan patogen gram negatif (ampisilin+gentamisin
atau ampisilin+sefalosproin generasi 3)
– Pasien tampak sakit
– Tanda dan gejala sepsis
– Gambaran CSF pleositosis (leukosit >20-30 sel)
– Ibu korioamnionitis
– Risiko estimasi sepsis tinggi
• Diagnosis sepsis neonatal hanya bisa ditegakkan
bila kultur darah positif  masih dikembangkan
metode validasi dan stratifikasi sepsis neonatal.
Neonatal Sepsis. 2019. Uptodate.
Tatalaksana Terapi Empiris Sepsis Neonatal
Uptodate. 2019

Antibiotic regimen

Early onset (<7 days) Ampicillin AND gentamicin

Late onset (≥7 days): Admitted from the community Ampicillin AND gentamicin

Late onset (≥7 days): Hospitalized since birth Gentamicin AND vancomycin

Special circumstances:

Suspected meningitis - early onset Ampicillin AND gentamicin


Suspected meningitis - late onset, admitted from the
Ampicillin, gentamicin, AND cefotaxime
community
Suspected meningitis - late onset, hospitalized since birth Gentamicin, vancomycin, AND cefotaxime
Ampicillin AND gentamicin
Alternatives:
Suspected pneumonia ▪ Ampicillin AND cefotaxime, OR
▪ Vancomycin AND cefotaxime, OR
▪ Vancomycin AND gentamicin
Suspected infection of soft tissues, skin, joints, or bones (S.
Vancomycin or vancomycin AND nafcillin
aureus is a likely pathogen)
Suspected intravascular catheter-related infection Vancomycin AND gentamicin
Ampicillin, gentamicin, AND clindamycin
Suspected infection due to organisms found in the Alternatives:
gastrointestinal tract (eg, anaerobic bacteria) ▪ Ampicillin, gentamicin, AND metronidazole OR
▪ Piperacillin-tazobactam AND gentamicin
Tatalaksana
• Respirasi
– Jaga patensi jalan napas dan berikan oksigen untuk cegah
hipoksia
– Pertimbangkan beri ventilasi tekanan positif (CPAP atau
ventilator mekanik)
• Kardiovaskular
– Pasang IV line dan beri cairan dosis rumatan
– Gangguan perfusi  volume ekspander sebanyak 10
cc/kgBB dalam 30 menit, ulangi 1-2 kali
– Monitor balance cairan dan tanda vital
– Pertimbangkan pemberian inotropic pada kondisi tertentu
• Hematologi
– Transfusi komponen tertentu bila perlu
• Tunjangan nutrisi adekuat PPM IDAI
Tekanan di dalam Jantung

15. Penyakit Jantung


Bawaan

PJB

Asianotik Cyanotic

↓ aliran darah ↑ aliran darah


↑ volume: pulmonal: pulmonal:
↑ pressure:
- ASD - ToF - Transposition
- Valve stenosis
- VSD - Atresia of the great
- Coarctation of pulmonal vessels
- PDA aorta
- Atresia - Truncus
- Valve
tricuspid arteriosus
regurgitation

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
Klasifikasi PJB
• Asianotik • Cyanosis
– Normal pulmonary blood • Normal pulmonary
flow blood flow
• Pulmonary Stenosis (PS) • TGA without PS
• Increased pulmonary
• Aortic Stenosis (AS) blood flow
• Coarctatio Aorta (CoA) • TGA with VSD
– Increased pulmonary blood • Truncus arteriosus
flow • Total anomaly
• Patent Ductus Arteriosus pulmonary vein
(PDA) drainage
• Decreased pulmonary
• Atrial Septal Defect (ASD) blood flow
• Ventricular Septal Defect • ToF
(VSD) • Pulmonary atresia
• Ticuspid atresia
Penyakit jantung kongenital
• Asianotik: L-R shunt
– ASD: fixed splitting S2,
murmur ejeksi sistolik
– VSD: murmur pansistolik
– PDA: continuous murmur
• Sianotik: R-L shunt
– TOF: PS, VSD, overriding
aorta, RVH. Boot like heart
pada radiografi
– TGA

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/
Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Mosby; 2008.
Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology

With ↑ volume load Clinical Findings


The most common: left to right e.g. ASD, VSD, PDA
shunting

Blood back into the lungs ↓ compliance & ↑ work of breathing

Fluid leaks into the interstitial space & Pulmonary edema, tachypnea, chest
alveoly retraction, wheezing

↑ Heart rate & stroke volume


High level of ventricular output -> ↑Oxygen consumption -> sweating,
↑sympathetic nervous system irritability, FTT
Remodelling: dilatation & hypertrophy

If left untreated, ↑ volume load will Eventually leads to Eisenmenger


increase pulmonary vascular resistance Syndrome

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology
With ↑ pressure load Clinical Findings

Obstruction to normal blood Murmur PS & PS: systolic


flow: pulmonic stenosis, aortic
stenosis, coarctation of aorta. murmur;

Hypertrophy & dilatation of


Dilatation happened in the later
ventricular wall
stage

Severe pulmonic stenosis in newborn


Defect location determine  right-sided HF (hepatomegaly,
the symptoms peripheral edema)

Severe aortic stenosis  left-sided


(pumonary edema, poor perfusion)
& right-sided HF
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
Ventricular Septal Defect

• VSD merupakan hubungan


abnormal pada septum
ventrikular sehingga terjadi
pirau dari kiri ke kanan

• Terdapat 4 klasifikasi VSD :


1. Infundibular
2. Perimembran (80%)
3. Inlet AV canal
4. Muskular

Jacobs, J.P., R.P. Burke, J.A. Quintessenza, and C. Mavroudis, Congenital Heart
Surgery Nomenclature and Database Project: ventricular septal defect. Ann
Thorac Surg, 2000; 69: S25-35
Ventricular Septal Defect
VSD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Pansystolic murmur & thrill
Flow across VSD
over left lower sternum.

If defect is large  3rd heart sound


Over flow across mitral valve
& mid diastolic rumble at the apex.

ECG: Left ventricular hypertrophy or


biventricular hypertrophy,
LA, LV, RV volume overload peaked/notched P wave
Ro: gross cardiomegaly

Dyspnea, feeding difficulties, poor


High systolic pressure & high growth, profuse perspiration,
pneumonia, heart failure.
flow to the lungs 
pulmonary hypertension Duskiness during crying or infection
Ph/: increased of 2nd heart sound

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


VSD
• Darah yang terdesaturasi
masuk ke atrium kanan dari
vena cava dan mengalir
melewati katup trkuspid,
bercampur dengan sejumlah
darah lainnya yang melewati
VSD dan curah darah yang
mengalir ke paru akan
meningkat.
• Curah darah ini akan kembali
ke atrium kiri dan ventrikel kiri
dan hanya setengahnya yang
akan lewat dari aorta,
setengahnya kembali ke jalur
VSD

Nelson’s textbook of pediatrics. 19th ed


Ventricular Septal Defect
Ventricular Septal Defect
Ventricular Septal Defect
• Treatment :
 Small VSD - no surgical
intervention, no
physical restrictions, just
reassurance and
periodic follow-up and
endocarditis prophylaxis.

 Symptomatic VSD - Medical


treatment
initially with afterload reducers &
diuretics.

 Indications for Surgical Closure:


Large VSD w/ medically uncontrolled
symptomatology & continued FTT.

Ages 6-12 mo w/ large VSD & Pulm.


HTN

Age > 24 mo w/ Qp:Qs ratio > 2:1.


Scully, B.B., D.L. Morales, F. Zafar, E.D. McKenzie, C.D. Fraser, Jr., and J.S. Heinle, Current
expectations for surgical repair of isolated ventricular septal defects.Ann Thorac Surg; 2010;
89: 544-549; discussion 550-541
Atrial Septal Defect
Atrial Septal Defect

https://wikem.org
Patent Foramen Ovale
Atrial Septal Defect VS
Paten Foramen Ovale
ASD PFO
• Tidak terbentuknya septum • Not truly ASD  tidak ada
diantara atrium kiri dan septum yang hilang
kanan • Kegagalan penutupan dari
• ASD ukuran kecil sering foramen ovale saat
kelahiran
menutup saat masa anak-
anak, ukuran besar  • Paling baik mendiagnosis
dgn Echo
asimptomatik

https://www.heart.org/en/health-topics/congenital-heart-defects/about-
congenital-heart-defects/patent-foramen-ovale-pfo
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
The degree of L-to-R shunting is dependent on:
- the size of the defect,
- the relative compliance of the R and L ventricles, &
- the relative vascular resistance in the pulmonary & systemic circulations

Infant has thick & less compliant RV  minimal symptoms


As children grow older: subtle failure to thrive, fatigue, dyspneu on effort,
recurrent respiratory tract infection

Enlargement of the RA & RV


Overflow in the right side of Dilatation of the pulmonary artery
heart The LA may be enlarged

Pulmonary vascular resistance may begin to increase in adulthood 


reversal of the shunt & cyanosis
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Ro:
Increased flow into right side of - enlargement of RV, RA, &
the heart & lungs pulmonary artery
- increased vasvular marking

Constant increased of Wide, fixed 2nd heart sound


ventricular diastolic volume splitting

Increased flow across tricuspid Mid-diastolic murmur at the lower


valve left sternal border

Increased flow across Thrill & systolic ejection murmur, best


heard at left middle & upper sternal
pulmonary valve border

Flow across the septal defect doesn’t produce murmur because the pressure gap
between LA & RA is not significant
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings

•  size of the main


pulmonary artery
•  size of the right atrium
•  size of the right ventricle
(seen best on the lateral
view as soft tissue filling in
the lower & middle
retrosternal space).
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
2. Essentials of Radiology. 2nd ed.
ASD
Patent Ductus Arteriosus
Patent Ductus Arteriosus

https://wikem.org
PDA

The heart is slightly enlarged, the main


pulmonary artery convex, and the aortic arch
prominent above the MPA. There are
increased pulmonary vascular markings
Koarktasio Aorta
Pemeriksaan fisik:
• Auskultasi dapat normal
bisa koarktasio ringan
• Bising ejeksi sistolik dan
ejection systolic click yang
berasal dari katup aortik
bikuspid, dengan
pungtum maksimum di
apeks atau batas sternal
kiri.
• Murmur kontinu juga
dapat terjadi apabila
terdapat kolateral
pembuluh besar di sekitar
koarktasio.
Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↓ pulmonary blood flow must include both:
an obstruction to pulmonary blood flow & a shunt from R to L

Common lesions:
Tricuspid atresia, ToF, single ventricle with pulmonary stenosis

The degree of cyanosis depends on:


the degree of obstruction to pulmonary blood flow

If the obstruction is mild:


Cyanosis may be absent at rest
These patient may have hypercyanotic spells during condition of stress

If the obstruction is severe:


Pulmonary blood flow may be dependent on patency of the ductus arteriosus.
When the ductus closes  hypoxemia & shock
Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↑ pulmonary blood flow is not associated
with obstruction to pulmonary blood flow

Cyanosis is caused by:


Total mixing of systemic venous &
Abnormal ventricular-arterial pulmonary venous within the heart:
connections: - Common atrium or ventricle
- Total anomolous pulmonary venous
- TGA return
- Truncus arteriosus

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Penyakit Jantung Kongenital
Sianotik: R-L shunt
TOF (Tetralogy of Fallot):
• Stenosis Katup Pulmonal, VSD, overriding aorta, RVH.
• Boot like heart pada foto radiografi.
• Gejala klinis Sesak + Sianotik, gangguan pertumbuhan,
dengan TET Spell (Berjongkok bila sesak untuk
meningkatkan aliran darah ke paru)
• Murmur bersifat Systolic ejection murmur di area
kanan atas border sternal karena Stenosis katup
pulmonal

Nelson’s textbook of pediatrics. 19th ed


Tetralogi Fallot
Tetralogy of Fallot

https://wikem.org
Tet Spell/ Hypercyanotic Spell
• serangan biru yang terjadi secara mendadak
• Anak tampak lebih biru, pernapasan cepat, gelisah,
kesadaran menurun, kadang-kadang disertai kejang.
• Serangan berlangsung 15-30 menit, biasanya teratasi secara
spontan, tetapi serangan yang hebat dapat berakhir dengan
koma, bahkan kematian
• Biasanya muncul usia 6-12 bulan, tapi bisa muncul usia 2-4
bulan
• ToF yang tipikal biasanya memiliki tekanan pada ventrikel
kiri dan kanan yang sama besar, sehinggan tingkat sianosis
dan terjadinya tet spell ditentukan dari systemic vascular
resistance dan derajat keparahan komponen stenosis
pulmonal.

PPM IDAI Jilid I


Pelepasan menangis, BAB, demam, VICIOUS
CYCLE
katekolamine aktivitas yg meningkat

takikardia aliran balik vena sistemik meningkat shg resistensi


vaskular pulmonal meningkat (afterload pulmonal
meningkat) + resistensi vaskular sistemik rendah

increased
myocardial
contractility + KEMATIAN
infundibular
stenosis.
Right-to-left shunt meningkat

aliran darah ke
sianosis progresif
paru berkurang
secara tiba-tiba penurunan PO2 dan
peningkatan PCO2 arteri 
penurunan pH darah

TET SPELL
Stimulasi pusat pernapasan di
HYPERCYANOTIC SPELL reseptor karotis + nucleus hiperpnoea
batang otak
Tatalaksana Tet Spell
• Knee chest position/ squatting
– Diharapkan aliran darah paru bertambah karena
peningkatan resistensi vaskular sistemik dan afterload
aorta akibat penekukan arteri femoralis
• Morfin sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV
untuk menekan pusat pernapasan dan mengatasi
takipnea
• Natrium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV untuk
mengatasi asidosis. Dosis yang sama dapat
diulang dalam 10-15 menit.

PPM IDAI Jilid I


ToF
Penyakit Jantung Kongenital
TGA (Transposition of Great Arteries)
• Kelainan dimana Ventrikel Kanan berhubungan dengan aorta dan
ventrikel kiri dengan arteri pulmonal
• Gejala sesak + Biru akan langsung muncul hari awal kelahiran
• Murmur sama seperti PDA (Continous murmur) karena biasa
terdapat PDA pada TGA
• Perlu penanganan operasi langsung

Trunkus Arteriosus
• VSD + Aorta dan Arteri Pulmonal Menyatu.
• Gejala sesak + biru, bunyi Murmur bervariasi/tidak khas, biasa
terdengar mid diastolic mitral flow murmur karena aliran darah
dari pulmonal yang meningkat
• X-Ray akan terlihat kardiomegali dan peningkatan corak vascular
pulmoner

Nelson’s textbook of pediatrics. 19th ed


Trunkus Arteriosus
TO 2
16. EKSANTEMA AKUT
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum
• Human Herpes Virus 6 (and 7)
• Yg rentan: 6-36 bulan (puncak
6-7 bulan)
• Musim: sporadik
• Inkubasi: 9 hari
• Masa infeksius: berada dalam
saliva secara intermiten
sepanjang hidup; infeksi
asimtomatik persisten. Demam
tinggi 3-4 hari
• Demam turun mendadak dan
mulai timbul ruam kulit.
• Kejang yang mungkin timbul
berkaitan dengan infeksi pada
meningens oleh virus.
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum

• Roseola infantum atau disebut juga exanthema subitum penyakit akut


yang bersifat self limited pada bayi dan anak-anak
• Gejala utamanya berupa demam tinggi dan mendadak, yang biasanya
akan turun mendadak juga setelah 72 jam.
• Begitu demam turun, ruam kulit muncul dengan karakteristik eritematosa
berukuran morbiliformis, tidak gatal, dan predileksi terutama di batang
tubuh.
• Ruam-ruam ini akan menghilang dengan sendirinya setelah 1-3 hari, dan
bisa menyebar ke perifer tubuh
• Pada beberapa kasus dapat disertai gejala lain berupa eritema pada faring,
injeksi konjungtiva, eritema pada membran timpani, atau pembesaran
KGB
• Pada populasi Asia dapat muncul ulkus di uvulopalatoglassal junction (
Nagayama spots )

Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
17. Sindrom Nefrotik
• Spektrum gejala yang ditandai • Di bawah mikroskop: Minimal
dengan protein loss yang masif dari change nephrotic syndrome
ginjal (MCNS)/Nil Lesions/Nil Disease
• Pada anak sindrom nefrotik (lipoid nephrosis) merupakan
mayoritas bersifat idiopatik, yang penyebab tersering dari sindrom
belum diketahui patofisiologinya nefrotik pada anak, mencakup
secara jelas, namun diperkirakan 90% kasus di bawah 10 tahun dan
terdapat keterlibatan sistem >50% pd anak yg lbh tua.
imunitas tubuh, terutama sel • Faktor risiko kekambuhan:
limfosit-T riwayat atopi, usia saat serangan
• Gejala klasik: proteinuria, edema, pertama, jenis kelamin dan
hiperlipidemia, hipoalbuminemia infeksi saluran pernapasan akut
• Gejala lain : hipertensi, hematuria, akut (ISPA) bagian atas yang
dan penurunan fungsi ginjal menyertai atau mendahului
terjadinya kekambuhan, ISK

Lane JC. Pediatric nephrotic syndrome. http://emedicine.medscape.com/article/982920-overview


Sindrom Nefrotik

• Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik


dengan gejala:
– Proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau
dipstik ≥ 2+)
– Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL
– Edema
– Dapat disertai hiperkolesterolemia
• Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik,
dan sekunder (mengikuti penyakit sistemik antara lain
lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch
Schonlein)

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Starling’s Law of the Capillary

Pc = hydrostatic pressure of capillary


πc = protein (oncotic) pressure of capillary
Pi = hydrostatic pressure of interstitial fluid
πi = protein osmotic (oncotic) pressure of the interstitial fluid

Net movement out of capillary into interstitium (ml/min)

FLOWnet = (Pc – Pi) – (πc – πi)

Basically, movement is governed by (hydrostatic pressure – protein (oncotic) pressure)


• Capillary endothelium is permeable to
water
• Water, ions, small molecules diffuse across A Pc πc V
• Capillaries are relatively impermeable to
proteins
• Plasma protein remains in vascular system
to exert oncotic pressure
• The oncotic pressure tends to cause fluid
to move from interstitial fluid to plasma Pi πi
• Capillary pressure tends to cause fluid to Filtration Absorption
move from plasma to interstitial fluid
• Edema : Accumulation of fluid in interstitial space (due to filtration out of the capillaries)
• Usually caused by a disruption in Starling forces, that exceeds the ability of lymphatic
system to return it to the circulation
Decreased plasma protein Increased capillary protein
osmotic pressure (severe permeability (due to release of
liver failure, nephrotic vasoactive substances) (e.g.
syndrome) burns, trauma, infection)

Increased capillary
parasitic infection of
pressure (failure of
lymph nodes
venous pumps, (filariasis)
heart failure)
EDEMA
Nefrotik vs Nefritik
Diagnosis

• Anamnesis : Bengkak di kedua kelopak mata, perut,


tungkai atau seluruh tubuh. Penurunan jumlah urin.
Urin dapat keruh/kemerahan
• Pemeriksaan Fisik : Edema palpebra, tungkai, ascites,
edema skrotum/labia. Terkadang ditemukan hipertensi
• Pemeriksaan Penunjang : Proteinuria masif ≥ 2+, rasio
albumin kreatinin urin > 2, dapat disertai hematuria.
Hipoalbumin (<2.5g/dl), hiperkolesterolemia (>200
mg/dl). Penurunan fungsi ginjal dapat ditemukan.
Oval Fat Bodies
• Oval fat bodies are cells with birefringent fat droplets within
their cytoplasm.
• Two Possibilities:
– the cell is an oval renal proximal tubular cell with a fat droplets
filled cytoplasm (Schumann)
– macrophages also known as foam cells (Stamey)
• Under low power magnification, oval fat bodies are often
seen as large brown spots (sometimes almost black). This
coloration is due to the yellowish brown pigmented fat
making the droplets.
• These cells are usually seen in a context of heavy
proteinuria.
• Oval fat bodies, in a high proteinuria context, are associated
with the nephrotic syndrome (nephrosis), although oval fat
bodies are not specific to the nephrotic syndrome.
• These cells are sometime seen in specimens with a normal
proteinuria.
Protein Esbach
• Terdapat berbagai metode untuk menilai kadar Albumin di
dalam urin, salah satunya metode Esbach (uji kuantitatif)
• Metode ini tidak terlalu akurat, namun sederhana, dan
tidak memerlukan peralatan yang rumit
• Prinsip : presipitasi protein (albumin) pada urin dengan
menggunakan larutan asam pikrat (Reagen Esbach) di
dalam wadah yang disebut tabung albuminometer
• Urin yang digunakan harus urin tampung selama 24 jam,
dan urin dengan BJ di atas 1,010 harus dilarutkan terlebih
dahulu  meningkatkan kesalahan penilaian
• Komposisi Reagen Esbach :
– 10 g Asam pikrat, 20 g asam sitrat, dilarutkan dalam 1000 ml air
Definisi pada Sindrom Nefrotik

• Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4


mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
• Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2
LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
• Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6
bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4
kali per tahun pengamatan
• Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali
dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau ≥ 4
kali dalam periode 1 tahun
Definisi pada Sindrom Nefrotik

• Dependen steroid : relaps terjadi pada saat


dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari
setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini
terjadi 2 kali berturut-turut
• Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada
pengobatan prednison dosis penuh (full dose)
2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Tatalaksana

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Diuretik pada SN Anak
• Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat.
• Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila
perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron,
diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
• Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
• Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi
karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam
untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan
pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb.
• Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk
memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan.
Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan, dapat
dilakukan punksi asites berulang
18. Meningitis
• Meningitis
– Meningitis bakterial: E. coli, Streptococcus grup B (bulan pertama
kehidupan); Streptococcus pneumoniae, H. influenzae, N. meningitidis
(anak lebih besar)
– Meningitis viral: paling sering pada anak usia < 1 tahun. Penyebab
tersering: enterovirus
– Meningitis fungal: pada imunokompromais
– Gejala klasik: demam, sakit kepala hebat, tanda rangsang meningeal
(+).
– Gejala tambahan: iritabel, letargi, muntah, fotofobia, gejala
neurologis fokal, kejang
• Ensefalitis: inflamasi pada parenkim otak
– Penyebab tersering: ensefalitis viral
– Gejala: demam, sakit kepala, penurunan kesadaran, dan defisit
neurologis lainnya (gejala fokal, kejang)

Hom J. Pediatric meningitis and encephalitis.


http://emedicine.medscape.com/article/802760-overview
Meningitis aseptik
• Merupakan berbagai jenis inflamasi pada
meninges selain yang disebabkan organisme
penghasil pus
• Umumnya bersifat lebih ringan
• Penyebab meningitis aseptic: berbagai infeksi
baik virus maupun non virus, obat-obatan,
keganasan, hingga penyakit sistemik
• Penyebab paling sering: infeksi virus dan
enterovirus - Coxsackie and ECHO viruses (lebih
dari ½ kejadian kasus)
Kumar R. Aseptic Meningitis : Diagnosis and Treatment. [Indian J Pediatr 2005; 72 (1) : 57-63]
Meningitis Virus
• The most common symptoms
– headache, fever, myalgias, malaise, chills, sore throat,
abdominal pain, nausea, vomiting, photophobia, stiff neck
and drowsiness.
– Occasionally the child may exhibit altered consciousness in
the form of confusion, drowsiness or visual hallucinations.
• Physical Examination :
– Meningeal signs in the form of neck stiffness, Kernig's or
Brudzinsky's signs.
– Severe meningeal irritation may result in the patient
assuming the tripod position with the knees and hips flexed,
neck extended and arms brought back to support the
thorax.
Viral Meningitis Diagnosis
• Viral meningitis may be suspected on the basis of
epidemiologic data, clinical features, and initial
cerebrospinal (CSF) studies, but clinical features
cannot reliably differentiate viral from bacterial
meningitis; the CSF profiles of bacterial and viral
meningitis overlap considerably.
• The diagnosis of viral meningitis requires negative
CSF culture for routine bacterial pathogens and
positive identification of a viral pathogen in the
CSF or other patient samples.

Uptodate. 2019
DIAGNOSIS DIFERENSIAL INFEKSI SSP
MENINGITIS
KLINIS/LAB. ENSEFALITIS MENING.TBC MENING.VIRUS ENSEFALOPATI
BAKTERIAL

Onset Akut Akut Kronik Akut Akut/kronik


Demam < 7 hari < 7 hari > 7 hari < 7 hari </> 7 hari/(-)
Umum/foka
Kejang Umum Umum Umum Umum
l
Penurunan Somnolen- Variasi, apatis -
Apatis CM - Apatis Apatis - Somnolen
kesadaran sopor sopor
Paresis +/- +/- ++/- - -
Perbaikan
Lambat Cepat Lambat Cepat Cepat/Lambat
kesadaran
Tidak dpt
Etiologi diidentifikas ++/- TBC/riw. kontak - Ekstra SSP
i
Simpt/antivi Atasi penyakit
Terapi Antibiotik Tuberkulostatik Simpt.
ral primer
Cairan serebrospinal pada infeksi SSP

Bact.men Viral men TBC men Encephali Encephal


tis opathy
Tekanan  Normal/   

Makros. Keruh Jernih Xantokrom Jernih Jernih

Lekosit > 1000 10-1000 500-1000 10-500 < 10

PMN (%) +++ + + + +

MN (%) + +++ +++ ++ -

Protein  Normal/  Normal Normal

Glukosa  Normal  Normal Normal

Gram Positif Negatif Negatif Negatif Negatif


/Rapid T.
Nilai normal analisis CSF
• Total volume: 150 mL
• Warna: Jernih seperti air
• Opening pressure - 90-180 mm H 2O (pasien dalam posisi miring ke
samping)
• Glukosa: 45-80 mg/dL
• Proteins: 20-40 mg/dL
• Hitung eritrosit:
 Newborn: 0-675/mm3
 Adult: 0-10/mm3
• Hitung leukosit:
 Anak <1 tahun: 0-30/mm3
 Usia 1-4 tahun: 0-20/mm3
 Usia 5 tahun sampai pubertas: 0-10/mm3
Pediatric Viral Meningitis Treatment
• Supportive Therapy
– Rest in a quiet, dimly lit room
– Acetaminophen for headache, pain, and fever; aspirin should be avoided because of its
association with Reye syndrome
– Intravenous fluid therapy if prolonged emesis has resulted in hypovolemia.
• Antiviral Empiric Therapy
– Most cases of viral meningitis are treated symptomatically.
– Depending upon the clinical scenario and severity of illness, empiric treatment with
antiviral therapy (Acyclovir IV) may be warranted for certain patients, such as:
• Children with CSF pleocytosis who have encephalitis, or focal findings on examination, imaging, or
electroencephalography.
– Acyclovir also may be warranted when HSV or varicella-zoster virus (VZV) are possible
etiologies in an immunocompromised patient.
– In patients who are clinically improved, empiric acyclovir may be discontinued when
HSV PCR and cultures are negative or an alternative diagnosis is made (eg, by enteroviral
PCR).
Uptodate. 2019
Spesific Therapy Based on Etiology
• Most cases of viral meningitis are treated symptomatically.
• Selected antiviral agents have been tried against some of the viral
pathogens.
• Enteroviruses (EV) – Therapeutic options for serious EV infection
are limited. Intravenous immunoglobulin (IVIG) is often
administered despite a lack of convincing evidence for efficacy.
• Herpes simplex virus (HSV) – Although the outcome of HSV
meningitis without encephalitis is usually excellent even without
antiviral therapy, acyclovir can be used to hasten recovery
• Varicella-zoster virus (VZV) – Treatment with acyclovir may
improve outcomes, although data are limited in pediatric patients.

Uptodate. 2019
Spesific Therapy Based on Etiology
• Ebstein-Barr virus (EBV) – EBV infection rarely requires more than
supportive therapy.
• Cytomegalovirus (CMV) – CMV infection in immunocompromised children is
treated with ganciclovir. Treatment may also be warranted in
immunocompetent children with serious symptomatic CMV infection;
however, data are limited.
• Arboviruses and Lymphocytic choriomeningitis virus/ LCMV – Most
arboviral and LCMV infections of the CNS are treated symptomatically.
• Influenza – For patients with confirmed or suspected influenza who are
hospitalized or who have severe, complicated, or progressive illness,
antiviral treatment with oseltamivir or zanamivir should be started as soon
as possible after symptom onset.

Uptodate. 2019
19. DEFISIENSI YODIUM

• Defisiensi yodium yang • Manifestasi klinis:


parah berpengaruh pada – Endemic goiter
sintesis hormon tiroid – Hipotiroid: fatigue, weight
dan/atau pembesaran gain, cold intolerance, dry
tiroid. skin, constipation, or
depression
• Spektrum Iodine deficiency – Kretinism
disorders (IDDs): endemic – Retardasi mental
goiter, hypothyroidism,
• Tx: yodium 150 mcg/day (pd
cretinism, decreased
ps. Yg tdk hamil),
fertility rate, increased
levotiroksin, radioactive
infant mortality, and mental
iodine, bedah (jika
retardation
kompresif)
PATOFISIOLOGI
• Saat pertama terjadi defisiensi iodium  pembesaran
tiroid sbg proses adaptif (goiter)  benjolan difus
lama kelamaan nodular  beberapa nodul menjadi
autonomous & mensekresikan hormon tirod yg tidak
bergantung pada TSH  hormon tiroid yg disekresikan
oleh kelenjar normal berkurang untuk menjaga
euthyroidism sedangkan kelenjar yang autonomous
bisa menyebabkan hyperthyroidism
• Ketika defisiensi iodium semakin parah  produksi
hormon tiroid jauh berkurang  pasien mengalami
hipotiroid
DEFISIENSI YODIUM
• Recommended daily • defisiensi iodium postnatal
allowance (RDA) menurut pada bayi dan anak bisa
WHO: mengganggu perkembangan
– Adults and adolescents > 12 mental dan psikomotorik (
years - 150 mcg/day terutama kemampuan memori
– Pregnant women & Lactating dan bahasa)
women - 200 mcg/day • Retardasi mental yang
– Children aged 7-12 years - 120 disebabkan karena kekurangan
mcg/day iodium posnatal bisa bersifat
– Children aged 2-6 years – 90 reversible dengan terapi
mcg/day hormon tiroid.
– Infants – 50 mcg/day
• Retardasi mental karena
kekuraan iodium prenatal
bersifat ireversibel
Endemic Goiter
• A goiter is an enlargement of
the thyroid gland. Persons with
enlarged thyroids may have
– normal function of the gland
(euthyroidism),
– thyroid deficiency
(hypothyroidism),or
– overproduction of the
hormones
(hyperthyroidism).
• An endemic goiter is the most common preventable cause of mental
retardation
• Iodine and thyroid hormones are indispensable for somatic growth and
development of several organs and systems in the fetus and infant.
• Thyroid hormone primary is involved in myelination and neuronal-glial cell
differentiation, brain maturation, and is crucial in the development and
maintenance of normal physiological processes
• Etiologi :
– Insufficient dietary iodine intake is the most important etiological factor of
disorders caused by iodine deficiency,
– goitrogens (perchlorates, thiocyanates),
– physiological periods with high requirement of iodine (puberty, pregnancy,
lactating period),
– Increased urinary iodine excretion (nephrosis syndrome),
– high thyroxine binding globuline level (hyperestrogenism, oral contraceptives),
– lack of selenium,
– latent thyroid enzyme defects
– autoimmune thyroid processes may contribute as well
Therapy
• Iodine deficiency is a global public health problem and, in combating it, emphasis
should be placed on diagnosis and correction at the level of the community rather
than the individual.
• Community:
– Iodization of salt is the preferred method of increasing iodine intake in a community
– The usual "dose" is between 10 and 50 mg of iodine/kg salt (sodium chloride) as potassium iodide
or iodate
– Other options: iodized oil (Lipiodol), iodized water, and iodine tablets or drops
• Individual:
– Correction of iodine deficiency at the level of the community rather than the individual is preferred.
– Methods of iodide administration for the individual include oral administration of potassium iodide
solution every two to four weeks and daily administration of tablets containing from 100 to 300
mcg potassium iodide.
– Lipiodol, developed as a radiographic contrast agent, contains 480 mg iodine/mL. A single oral dose
of 0.5 to 1 mL provides an adequate amount of iodine for six months to one year; intramuscular
administration of the same dose provides an adequate amount for two to three years
20. Laringomalasia
• Laringomalasia adalah kelainan
kongenital dimana epiglotis lemah
• Akibat epiglotis yang jatuh, akan
menimbulkan stridor kronik, yang
diperparah dengan gravitasi
(berbaring).
• Pada pemeriksaan dapat terlihat
laring berbentuk omega
• Laringomalasia biasanya terjadi
pada anak dibawah 2 tahun,
dimulai dari usia 4-6 minggu,
memuncak pada usia 6 bulan dan
menghilang di usia 2 tahun.
• Sebagian besar kasus tidak
memerlukan tatalaksana.
Laringoskopi
• Indirect laryngoscopy uses mirrors, glass prisms, fiberoptic
glass rods, or microchip cameras to view the larynx and
hypopharynx with the patient’s head and neck in a neutral
position. The image obtained from indirect laryngoscopy is
viewed after it has been reflected and/ or transmitted by
one of the previously mentioned systems.
• Direct laryngoscopy, on the other hand, is performed with
the neck flexed forward while the head is extended on the
atlanto-occipital joint. The tongue is displaced either
laterally or anteriorly. This position affords a direct line-of-
sight for visualization through an open mouth to the larynx.
Laringoskopi
Nasoendoskopi

• Nasal endoscopy involves evaluation of


the nasal and sinus passages with
direct vision using a magnified high-
quality view. It is a commonly
performed procedure in the
otolaryngologist’s office and serves as
an objective diagnostic tool in the
evaluation of nasal mucosa, sinonasal
anatomy, and nasal pathology.
• Nasal endoscopy may be accomplished
with either a flexible fiberoptic
endoscope or a rigid endoscope
Nasofaringoskopi
Nasofaringoskopi kaku (Rigid nasopharyngoscopy)
• Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan
sudut bervariasi yaitu 0, 30, dan 70 derajat
dengan tang biopsi.
• Nasofaringoskopi dapat dilakukan dengan cara
– Transnasal, teleskop dimasukkan melalui hidung
– Transoral, teleskop dimasukkan melalui rongga
mulut

Nasofaringoskopi lentur (Flexible


nasopharyngoscopy )
• Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya yang
dilengkapi alat biopsi. Endoskopi fleksibel
memungkinkan pemeriksaan yang lebih
menyeluruh terhadap nasofaring, meskipun
masuknya hanya melalui satu sisi kavum nasi.
Biopsi massa tumor dapat dilakukan dengan
melihat langsung sasaran.
Esofagoskopi
• Prosedur endoskopi fleksibel
 masuk melalui mulut atau
lubang hidung hingga ke
esofagus
• Salah satu prosedur bagian
dari endoskopi atas
(gastroskopi,
esofagogastroduodenodskopi)
• Indikasi:
– Impaksi benda asing/ bolus
makanan
– Evaluasi dan manajemen GERD
– Evaluasi dan manajemen
disfagia, odinofagia
– Skrining dan surveillance Baret
esophagus
21. Asfiksia neonatal dan HMD

• “Deprivation of oxygen to a newborn infant that


lasts long enough during the birth process to
cause physical harm, usually to the brain”
• Etiology:
– Intrauterine hypoxia
– Infant respiratory distress syndrome
– Transient tachypnea of the newborn
– Meconium aspiration syndrome
– Pleural disease (Pneumothorax,
Pneumomediastinum)
– Bronchopulmonary dysplasia
Asfiksia Neonatal

Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
Hyaline Membrane Disease

• gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan


defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia
gestasi<34 minggu atau berat lahir <1500 gram
• Gejala Klinis
– Sesak, merintih, takipnea, retraksi interkostal dan
subkostal, napas cuping hidung, dan sianosis yang terjadi
dalam beberapa jam pertama kehidupan.
– Bila gejala tidak timbul dalam 8 jam pertama kehidupan,
adanya PMH dapat disingkirkan.
• Lung immaturity  salah satu penyebab Chronic Lung Disease
(bronchopulmonary dysplasia)
• Penyakit membran hialin RESPIRATORY DISTRESS
(PMH) merupakan gangguan SYNDROME (Hyaline
pernapasan yang disebabkan membrane disease)
imaturitas paru dan defisiensi
surfaktan, terutama terjadi
pada neonatus usia gestasi <34
minggu atau berat lahir <1500
gram
• Etiology:
– Defisiensi surfaktan (produksi
dan sekresi menurun)
• Surfactant
– Berperan untuk pengembangan
alveolus
– Komposis utama surfaktan :
• dipalmitoyl phosphatidylcholine
(lecithin)
• Phosphatidylglycerol
• apoproteins (surfactant proteins
SP-A, -B, -C, -D)
• Cholesterol

Hyaline Membrane Disease (Respiratory Distress Syndrome). Nelson Textbook of http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/010/102


Pediatrics 91-0550x0475.jpg
Patomekanisme
HMD
Pathogenesis of hyaline membrane disease
(HMD). Vascular disruption causes leakage of
plasma into the alveolar spaces and layering of
fibrin and necrotic cells arise from type II
pneumocytes (“hyaline membranes”) along the
surface of alveolar ducts and respiratory
bronchioles partially denuded of their normal
cell lining.
Pneumosit sebagai Penghasil
Surfaktan
• Pada dinding alveolus dibedakan atas 2
macam sel:
– sel epitel gepeng ( squamous pulmonary epitheal
atau sel alveolar kecil atau pneumosit tipeI).
– sel kuboid yang disebut sel septal atau alveolar
besar atau pneumosit tipe II.
• Menghasilkan surfaktan untuk menurunkan tegangan
permukaan dan mempertahankan bentuk dan besar
alveolus
Komplikasi
– Septicemia
– Bronchopulmonary dysplasia (BPD)
– Patent ductus arteriosus (PDA)
– Pulmonary hemorrhage
– Apnea/bradycardia
– Necrotizing enterocolitis (NEC)
– Retinopathy of prematurity (ROP)
– Hypertension
– Failure to thrive
– Intraventricular hemorrhage (IVH)
Tatalaksana HMD
• Endotracheal (ET) tube
• Continuous positive airway pressure (CPAP)
• Surfactant replacement
• Broad spectrum antibiotic (Ampicillin) stop if there is no proof of
infection
• Corticosteroid  reduced overall incidence of death or chronic lung disease
– Early Postnatal Corticosteroids (<96 hours)  not suggested because risk>
benefit (CP, development delay, Hyperglicemia, hypertension, GI bleeding)
– Moderately Early Postnatal Corticosteroids (7-14 days)  not suggested
because risk> benefit
– Delayed Postnatal Corticosteroids (> 3 weeks)  can be used for ventilator
dependant infants in whom it is felt that steroids are essential to facilitate
extubation.
KLASIFIKASI HMD

Derajat I, Bercak retikulogranuler dengan air Derajat II, Bercak retikulogranular menyeluruh dengan
bronchogram air bronchogram

Derajat III, Opasitas lebih jelas, dengan Derajat IV, Seluruh lapangan paru terlihat putih (opak),
airbronchogram lebih jelas meluas kecabang di perifer. Tidak tampak airbronchogram, jantung tak terlihat,
Gambaran jantung menjadi kabur. disebut juga “White lung”
Distres Pernapasan pada Neonatus
Kelainan Gejala
Sindrom aspirasi Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat,
mekonium terdapat staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku,
atau tali pusar. Pada radiologi tampak air trapping dan
hiperinflasi paru, patchy opacity, terkadang atelektasis.
Respiratory distress Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran
syndrome (penyakit SC, gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi
membran hyalin) tampak gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular
appearance, air bronkogram, ekspansi paru jelek.
Transient tachypnea of Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul
newboorn setelah lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir.
Pada radiologi tampak peningkatan corakan perihilar,
hiperinflasi, lapangan paru perifer bersih.
Pneumonia neonatal Terdapat risiko pneumonia (KPD, demam pada ibu, cairan
amnion berbau, dsb). Gejala meliputi gejala distress dan gejala
sepsis. Gambaran radiologis : Diffuse, relatively homogeneous
infiltrates
Asfiksia perinatal (hypoxic Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah,
ischemic encephalopathy) terdapat kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
Meconium Aspiration Syndrome

Densitas ropey, kasar, patchy luas menyeluruh pada kedua


lapangan paru. Selain itu pada MAS juga bisa ditemukan
• Hiperaerasi paru pada daerah yang mengalami air-trapping
• Efusi pleura minimal (20%).
• pneumotoraks atau pneumomediastinum spontan.
• atelektasis paru emfisema obstruktif.
Transient Tachypnea of Newborn

(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial
dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan
dengan perbaikan klinis.
Pneumonia neonatal

Infiltrat inhomogen pada lapang paru kanan atas. Bila terjadi dalam 72 jam
pertama kehidupan, pneumonia neonatal perlu dipikirkan.
22. Hypoxic Ischemic Encephalopathy

• Merupakan kondisi disfungsi • Kriteria diagnosis


otak (neurologis) akibat otak – Asidosis metabolic dengan pH<7
tidak cukup memperoleh (umbilical cord atau darah janin)
oksigen (hipoksia) serta – Base deficit -12
menurunnya aliran darah – APGAR score 5 pada usia 10
(iskemik)  ada bukti klinis dan menit dengan terus dibutuhkan
laboratorium mendukung resusitasi
kerusakan otak akibat asfiksia – Adanya gagal multi organ
– Bukti klinis ensefalopati:
• Efek jangka pendek  kematian hypotonia, gerak oculomotor dan
• Efek jangka panjang sering sulit pupil abnormal, reflex hisap
dinilai lemah atau tidak ada, apnea,
hyperpnea, atau kejang
– Disabling cerebral palsy (30%)
– Temuan neurologi tidak
– Epilepsy (16%) berhubungan dengan sebab lain:
– Kebutaan 14-17% inborn error of metabolism,
– Gangguan pendengaran berat 6% genetic disorder, congenital
neurologic disorder
Krakauer GM, Gowen Jr. Birth asphyxia. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430782/
Cerebral Palsy
• Cerebral palsy pada dasarnya adalah gangguan terhadap pergerakan dan
postur tubuh; yang mencakup gangguan pengontrolan gerakan akibat
adanya lesi atau kelainan terhadap perkembangan otak di awal tahap
kehidupan dengan latar belakang penyakit yang tidak progresif.
• Definisi dari cerebral palsy terdiri dari beberapa kondisi, yaitu: lokasi lesi
terdapat di otak, lesi permanen dan tidak progresif meski gambaran
kliniknya dapat berubah seiring waktu, lesi muncul di awal kehidupan dan
mengganggu perkembangan otak yang normal, gambaran kliniknya di
dominasi oleh gangguan gerak dan postur dan gangguan kemampuan
pasien untuk menggunakan ototnya secara sadar.
• Mungkin juga diiringi komplikasi lain dari gangguan neurologis dan tanda
maupun gejala mental.
• CP is caused by a broad group of developmental, genetic, metabolic,
ischemic, infectious, and other acquired etiologies that produce a common
group of neurologic phenotypes
Cerebral Palsy Risk factor
Clinical Manifestation
• CP is generally divided into several major motor syndromes
that differ according to the pattern of neurologic involvement,
neuropathology, and etiology
Clinical Manifestation
• Spastic hemiplegia: decreased spontaneous movements on the affected
side, the arm is often more involved than the leg. Spasticity is apparent in
the affected extremities, particularly the ankle, causing an equinovarus
deformity of the foot
• Spastic diplegia is bilateral spasticity of the legs greater than in the arms.
Examination: spasticity in the legs with brisk reflexes, ankle clonus, and a
bilateral Babinski sign. When the child is suspended by the axillae, a
scissoring posture of the lower extremities is maintained
• Spastic quadriplegia is the most severe form of CP because of marked
motor impairment of all extremities and the high association with mental
retardation and seizures
• Athetoid CP, also called choreoathetoid or extrapyramidal CP, is less
common than spastic cerebral palsy. Affected infants are characteristically
hypotonic with poor head control and marked head lag
Tujuan Terapi Cerebral Palsy
• Tujuan terapi pasien cerebral palsy adalah membantu pasien dan
keluarganya memperbaiki fungsi motorik dan mencegah deformitas
serta penyesuaian emosional dan pendidikan sehingga penderita
sesedikit mungkin memerlukan pertolongan orang lain dan
diharapkan penderita bisa mandiri dalam melakukan aktivitas
kehidupannya di kemudian hari.
• Diperlukan tatalaksana terpadu/multi disipliner mengingat masalah
yang dihadapi sangat kompleks, dan merupakan suatu tim antara
dokter anak, dokter saraf, dokter jiwa, dokter mata, dokter THT,
dokter ortopedi, psikolog, rehabilitasi medik, pekerja sosial, guru
sekolah luar biasa dan orang tua penderita.
• Jenis rehabilitasi medik yang diperlukan pada CP: fisioterapi, terapi
wicara, okupasional (termasuk rekreasional di dalamnya), dan
ortotik protese
23. Vaksin BCG (Bacille Calmette-
Guerin)
• Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang
dibuat dari Mycobacterium bovis yang dibiak berulang
selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak
virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas.
• Vaksinasi BCG tidak mencegah infeksi tuberkulosis
tetapi mengurangi risiko terjadi tuberkulosis berat
seperti meningitis TB dan tuberkulosis milier.
• Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus
disimpan pada suhu 2-8° C, tidak boleh beku.
• Vaksin yang telah diencerkan harus dipergunakan
dalam waktu 8 jam.
Vaksin BCG
• Vaksin BCG diberikan pada umur <3 bulan, sebaiknya pada
anak dengan uji Mantoux (tuberkulin) negatif.
• Efek proteksi timbul 8–12 minggu setelah penyuntikan.
• Vaksin BCG diberikan secara intradermal 0,10 ml untuk
anak, 0,05 ml untuk bayi baru lahir.
• VaksinBCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan
kanan atas pada insersio M.deltoideus sesuai anjuran WHO,
tidak di tempat lain (bokong, paha).
• Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif pada
umur lebih dari 3 bulan.
• Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan
bakteri tahan asam (BTA) +3 sebaiknya diberikan INH
profilaksis dulu, apabila pasien kontak sudah tenang bayi
dapat diberi BCG.
KIPI BCG
• Penyuntikan BCG secara • Limfadenitis
intradermal akan – Limfadenitis supuratif di aksila
menimbulkan ulkus lokal yang atau di leher kadang-kadang
superfisial 3 (2-6) minggu dijumpai setelah penyuntikan
setelah penyuntikan. BCG.
– Limfadenitis akan sembuh
• Ulkus tertutup krusta, akan sendiri, jadi tidak perlu diobati.
sembuh dalam 2-3 bulan, dan – Apabila limfadenitis melekat
meninggalkan parut bulat pada kulit atau timbul fistula
dengan diameter 4-8 mm. maka lakukan drainase dan
• Apabila dosis terlalu tinggi diberikan OAT
maka ulkus yang timbul lebih • BCG-itis diseminasi
besar, namun apabila (Disseminated BCG Disease)
penyuntikan terlalu dalam – berhubungan dengan
maka parut yang terjadi imunodefisiensi berat.
tertarik ke dalam (retracted). – diobati dengan kombinasi obat
anti tuberkulosis.
Kontraindikasi BCG
• Reaksi uji tuberkulin >5 mm,
• Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV,
• imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat
imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit
keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem
limfe,
• Menderita gizi buruk,
• Menderita demam tinggi,
• Menderita infeksi kulit yang luas,
• Pernah sakit tuberkulosis,
• Kehamilan.
24. Bronkiolitis
• Infeksi pada bronchioli
akibat infeksi virus yang
menyerang anak di bawah
usia 2 tahun, terutama
usia 2-6 bulan.
• Etiologi:
– Respiratory syncytial virus
(RSV)  tersering
– Virus influenza
– Virus parainfluenza
– Adenovirus
• Difficult to differentiate
with pneumonia and
asthma
Patofisiologi
Bronkiolitis
Bronkiolitis
Bronkiolitis
Gambaran Radiologis
DISEASE RADIOGRAPHY

Characteristically, there is homogenous opacification in a lobar pattern. The


Pneumonia opacification can be sharply defined at the fissures, although more commonly
lobaris there is segmental consolidation. The non-opacified bronchus within a
consolidated lobe will result in the appearance of air bronchograms.

Pneumonia associated with suppurative peribronchiolar inflammation and subsequent


lobularis/ patchy consolidation of one or more secondary lobules of a lung in response
bronko to a bacterial pneumoniAssociated a: multiple small nodular or
pneumonia reticulonodular opacities which tend to be patchy and/or confluent.

pulmonary hyperinflation Increased Bronchial wall markings (most


characteristic)  Associated with thicker Bronchial wall, inflammation
Flattening of diaphragm (with chronic inflammation or Associated with
Asthma
accessory muscle use)
Hyperinflation (variably present)
Patchy infiltrates (variably present) from Atelectasis
Hyperexpansion (showed by diaphragm flattening), hyperluscent,
bronkiolitis Peribronchial thickening
Variable infiltrates or Viral Pneumonia
Bronchiolitis

Tampak hiperinflasi dengan diafragma yang mendatar dan opasifikasi pada paru kanan (lingkaran merah)
Tampat atelektasis (lingkaran biru). Obviously, the same changes can be seen in the x-ray of a child with acute asthma. This
is one reason why children with acute asthma are often misdiagnosed as having pneumonia.
Bronchopneumonia
Pneumonia Lobaris

Etiology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negative organisms
Legionella
Tatalaksana
Bronkiolitis
• Penyakit Ringan:
– Terapi simtomatis
• Penyakit sedang-berat:
– Tatalaksana life support  O2 dan IVFd
– Etiologi: Terapi antivirus jarang tersedia,
antibiotik bila ternyata etiologinya bakteri
– Terapi simtomatik:
• Bronkodilator  kontroversial namun masih bisa
diberikan dengan alasan terjadinya inflamasi serta
bronkospasme dan meningkatkan mukosiler
• Kortikosteroid  kontroversial (tidak efektif)
Tatalaksana Bronkiolitis
• Walaupun pemakaian nebulisasi
dengan beta2 agonis sampai saat
ini masih kontroversi, tetapi
masih bisa dianjurkan dengan
alasan:
– Pada bronkiolitis selain terdapat
proses inflamasi akibat infeksi virus
juga ada bronkospasme dibagian
perifer saluran napas (bronkioli)
– Beta agonis dapat meningkatkan
mukosilier
– Sering tidak mudah membedakan
antara bronkiolitis dengan
serangan pertama asma
– Efek samping nebulasi beta agonis
yang minimal dibandingkan
epinefrin.

Sari Pediatri
Dd/ Bronchitis akut
• Kondisi ini merupakan suatu sindroma dengan berbagai macam etiologi, inflamasi
bronkial nonspesifik, namun terutama infeksi virus
• Dikatakan bronchitis akut jika batuk produktif terjadi <3 bulan, sedangkan kronik
jika ≥3 bulan setiap tahun selama ≥2 tahun
• Gejala yang terdapat pada bronchitis akut berupa demam dan malaise, yang terjadi
setelah atau tanpa didahului oleh infeksi saluran napas atas (ISPA).
• Jika diawali oleh ISPA, biasanya setelah 3-4 hari anak akan mulai mengalami batuk
kering yang semakin lama semakin sering dan mulai menjadi produktif (berdahak).
Batuk kemudian akan bertahan selama 1-3 minggu.
• Dahak yang dihasilkan awalnya berwarna keputihan dan lama kelamaan bisa
menjadi purulen. Karena anak cenderung menelan dahaknya, maka seringkali bisa
terjadi emesis.
• Batuk yang semakin sering pada anak juga meningkatkan kerja dari otot-otot dada
sehingga anak seringkali juga mengalami nyeri pada area dada selama 5-10 hari,
namun keluhan ini akan perlahan-lahan hilang apabila batuk juga sudah berkurang.
• Seluruh episode ini biasanya akan hilang setelah 2 minggu, atau bisa bertahan
sampai lebih dari 3 minggu namun <3 bulan.
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
Bronchitis akut
• Pemeriksaan fisik pada beberapa hari pertama dapat tidak ditemukan
kelainan, namun saat sudah semakin berkembang (batuk menjadi
lebih sering dan produktif) dapat ditemukan rhonki maupun
wheezing.
• Pada pemeriksaan radiologi thorax juga tidak spesifik, hanya
menunjukkan peningkatan corakan bronkovaskular
• Hal yang perlu digarisbawahi untuk bronchitis adalah menyingkirkan
kemungkinan lain terlebih dahulu (pneumonia, asma, dll)
• Tatalaksana: tidak ada terapi spesifik, hanya konservatif. Dapat
diberikan antibiotik jika memang terbukti ada infeksi bakteri.
Penggunaan antitusif dapat digunakan namun pertimbangkan
kemungkinan pembentukan supurasi oleh karena pengeluaran
sputum ditekan

Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
25. Tertelan Benda Asing (Foreign
Body Ingestions)
• Foreign body ingestions (FBIs) pada anak anak
biasanya tidak sengaja/kecelakaan, melibatka
benda benda umum di rumah misalnya mainan,
koin, perhiasan, magnet, batere
• FBI will be categorized into the following major
groups:
– button batteries (BBs),
– magnets, sharp/pointed objects,
– food impaction, coins/blunt objects, and
superabsorbent objects
Kramer R. Management of Ingested Foreign Bodies in Children: A Clinical Report of the NASPGHAN Endoscopy Committee. JPGN
Volume 60, Number 4, April 2015
Daerah Penyempitan
Esofagus
• Esofagus mempunyai tiga penyempitan
fisiologis yang menyebabkan benda
asing tersangkut di esofagus.
– Daerah setinggi muskulus krikofaringeal
atau setinggi sfingter faringoesofagus,
dimana pertemuan antara serat otot
striata dan otot polos menyebabkan daya
propulsif melemah. (70% kasus)
– Daerah penyempitan kedua disebabkan
oleh persilangan cabang utama bronkus
kiri dan arkus aorta (15% kasus)
– Sekitar 15% di atas sfingter esofagus
bagian bawah atau sfingter esofagogastrik
Ingested Foreign Body
• Symptoms : • Management:
– stridor, pain, – If an object is in the esophagus,
– drooling, fussiness, chest removal is considered
pain, mandatory.
– abdominal pain, fever, – The airway should be protected
– Feeding refusal, with an endotracheal tube
during removal, particularly
– wheezing, and critical if the patient has been
– respiratory distress fasting for <8 hours.
– Depending on the position of the
object and the nil per os (NPO)
status of the patient, removal by
anesthesia with McGill forceps
or by ENT with a rigid scope may
be alternatives to endoscopic
removal

Kramer R. Management of Ingested Foreign Bodies in Children: A Clinical Report of the NASPGHAN Endoscopy Committee. JPGN
Volume 60, Number 4, April 2015
Esophageal Foreign Body
• Plain radiographs are indicated for every patient with a known or suspected
radiopaque foreign body in the oropharynx, esophagus, stomach, or small
intestine.
• Plain radiographs are also mandated for children in whom any ingestion
of a radiopaque foreign body is suspected.
• Keep in mind, however, that in cases of nonradiopaque foreign bodies,
imaging studies rarely have any influence on management, except in
delaying endoscopy or CT scanning.
• In small children, a mouth-to-anus radiograph can be obtained. In older
children and adults, posteroanterior (PA) and lateral chest radiographs
provide better localization.
• Radiopaque objects are easily seen and localized on the radiograph.
• Coins are usually seen in a coronal alignment on anteroposterior (AP), or
frontal, radiographs (examples of a lodged coin are shown in the
radiographs below).
Coin lodged at the level of the
aortic crossover.

Coin (quarter) lodged at the level of the


cricopharyngeus muscle.
Algoritma penanganan menelan koin

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5903088/
Endoscopy
• Emergent endoscopy is indicated for patients whose airway
is compromised or who show signs of complications.
• Endoscopy is absolutely indicated for foreign bodies that
are sharp, nonradiopaque, or elongated; for multiple
foreign bodies; or for possible esophageal injuries.
• Endoscopy is the most commonly used technique for active
management of impacted esophageal foreign bodies.
• Endoscopy is indicated for patients with foreign bodies in
the stomach or proximal duodenum if the foreign bodies
are larger than 2 cm in diameter or longer than 5-7 cm or
for oddly shaped foreign bodies such as open safety pins.
26. Pendekatan Anemia pada anak

• Anemia (WHO):
– A hemoglobin (Hb) concentration 2 SDs below the mean Hb
concentration for a normal population of the same gender and
age range
• US National Health and Nutrition Examination Survey (1999 –
2002)→ anemia:
– Hb concentration of less than 11.0 g/dL for both male and female
children aged 12 through 35 months

Robert D. Barker, Frank R. Greer, and The Committee of Nutrition. Diagnosis and Prevention of Iron Defiency and Iron Anemia i n Infants and Young Children (0-3 years of Age.
Pediatrics 2010; 126; 1040.
Pendekatan Anemia pada anak
• idai
Anemia Defisiensi Besi
Etiologi
• Bayi di bawah 1 tahun • Anak umur 2-5 tahun
– Persediaan besi yang – Diet rendah heme
kurang karena BBLR, lahir – Infeksi berulang/menahun
kembarm ASI eksklusif – Perdarahan berlebihan
tanpa suplementasi, susu karena divertikulum
formula rendah besi, meckel
pertumbuhan cepat,
anemia selama kehamilan • Umur 5 tahun – remaja
• Anak umur 1-2 tahun – Poliposis
– Tidak mendapat MPASI – Kehilangan besi karena
– Kebutuhan meningkat perdarahan e.c
karena infeksi berulang parasit/infeksi
– Malabsorbsi • Remaja dewasa
– Menstruasi berlebihan
Manifestasi Klinis
• Anamnesis • Pemeriksaan fisik
– Pucat yang berlangsung – Pucat tanpa tanda – tanda
lama (kronik) perdarahan
– Gejala komplikasi : lemas, – Limpa dapat membesar
sariawan, fagofagia, namun umumnya tidak
penurunan prestasi belajar, teraba
menurunnya daya dahan – Koilonikia, glositis. Dan
tubuh terhadap infeksi dan stomatitis angularis
gangguan perilaku
– Terdapat faktor predisposis
dan faktor penyebab
Pemeriksaan Penunjang
Profil Zat Besi
• Ferritin • Total iron binding capacity
– ferritin : intracellular protein – is a measurement of the maximum
which safely stores excess iron. amount of iron that can be carried.
– Tiny amounts of ferritin can be – Indirect measurement of transferrin.
detected in serum  measured
surrogate for body iron stores
– Serum ferritin shows an acute • Transferrin saturation
phase response and can be – The most useful test in assessing iron
elevated in a variety of supply to the tissues
inflammatory, metabolic, hepatic – Transferrin is a glycoprotein synthesised in
and neoplastic disorders 
difficult to recognise iron the liver and is responsible for the
deficiency in patients with transportation of iron (Fe3+) in serum
inflammatory disorders – In iron deficiency anaemia the serum iron
– normal range for serum ferritin is level falls. As a result the liver is stimulated
generally regarded as 15- to synthesise more transferrin and the
300μg/l. transferrin saturation falls (usually <15%).
– Transferrin saturation is obtained by the
following formula: serum iron x 100 ÷ TIBC
 Normal range 25–50%,
• Serum iron concentration
– is a measurement of circulating iron (Fe³+) bound
to transferrin
– Only 0.1% of total body iron is bound to
transferrin at any one time
Diagnosis
Penatalaksanaan
• Pengobatan harus dimulai pada stadium dini (pada stadium deplesi besi
atau kekurangan besi) untuk mencegah terjadinya ADB
• Tatalaksana etiologi dan terapi preparat zat besi atau bila perlu diberikan
transfusi PRC
• Pemberian Zat Besi :
– Preparat besi diberikan sampai kadar Hb normal dilanjutkan sampai
terpenuhi  bentuk fero lebih mudah diserap
• Pemberian parenteral diberikan bila pemberian
oral gagal, misalnya akibat malabsorbsi, atau efek
samping berat pada saluran cerna
• Evaluasi hasil pengobatan  periksa Hb,
retikulosit seminggu sekali, SI dan feritin
seminggu sekali
• Terapi diteruskan hingga 2 bulan Hb normal tanpa
pemeriksaan SI dan feritin
• Transfusi hanya diberikan bila Hb<6 g/dL atau
kadar Hb ≥6 g/dl disertai lemah, gagal jantung,
infeksi berat atau akan menjalani operasi 
transfusi PRC
Tatalaksana
• Fe oral
– Aman, murah, dan efektif
– Enteric coated iron tablets  tidak dianjurkan karena
penyerapan di duodenum dan jejunum
– Beberapa makanan dan obat menghambat penyerapan
o Jangan bersamaan dengan makanan, beberapa antibiotik, teh,
kopi, suplemen kalsium, susu. (besi diminum 1 jam sebelum atau
2 jam setelahnya)
o Konsumsi suplemen besi 2 jam sebelum atau 4 jam setelah
antasida (kondisi lambung yang basa akan menghambat absorbsi
besi)
o Tablet besi paling baik diserap di kondisi asam  konsumsi
bersama 250 mg tablet vit C atau jus jeruk meningkatkan
penyerapan
Tatalaksana

– Absorbsi besi yang terbaik adalah pada saat


lambung kosong,
– Jika terjadi efek samping GI, pemberian besi dapat
dilakukan pada saat makan atau segera setelah
makan meskipun akan mengurangi absorbsi obat
sekitar 40%-50%
– Efek samping:
• Mual, muntah, konstipasi, nyeri lambung
• Warna feses menjadi hitam, gigi menghitam (reversibel)
Suplemen Besi

Rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia


27. Ketoasidosis Diabetikum
Ketoasidosis Diabetikum
• Diagnosis ketoasidosis diabetik • Manifestasi klinis
ditegakkan jika terdapat: • Gejala klasik DM berupa
– Hiperglikemia yaitu kadar glukosa darah poliuria, polidipsi, serta
>200 mg/dL (>11 mmol/L) penurunan berat badan.
– Asidosis yaitu pH <7,3 dan/atau HCO3- <15
• Dehidrasi, dengan derajat
mEq/L, dan
yang bervariasi.
– Ketonemia dan ketonuria.
• Mual, muntah, nyeri perut,
• Klasifkasi ketoasidosis diabetik
takikardi, hipotensi, turgor
– KAD ringan: pH < 7,3 atau HCO3 < 15 mEq/L
kulit menurun, dan syok.
– KAD sedang: pH < 7,2 atau HCO3 < 10 mEq/L
– KAD berat: pH < 7,1 atau HCO3 < 5 mEq/L
• Perubahan kesadaran
dengan derajat yang
bervariasi, mulai dari
bingung sampai koma.
• Pola napas Kussmaul.
PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri
pada Diabetes Melitus Tipe-1
Prinsip Tatalaksana KAD
• Tujuan utama adalah menghentikan proses
asidosis bukan hanya menurunkan kadar glukosa.
• Prinsip tata laksana KAD meliputi:
– terapi cairan untuk mengkoreksi dehidrasi dan
menstabilkan fungsi sirkulasi
– pemberian insulin untuk menghentikan produksi
badan keton yang berlebihan
– mengatasi gangguan keseimbangan elektrolit,
– mengatasi penyakit yang mendasari KAD serta
monitor komplikasi terapi.

PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1
Tatalaksana Awal
• Amankan airway, breathing, • Dehidrasi dianggap lebih dari 10%
circulation: atau berat jika terdapat nadi yang
• Nilai kesadaran menggunakan GCS lemah, hipotensi, dan oliguria.
(Glasgow Coma Scale). • Mengingat derajat dehidrasi dari
• Timbang berat badan pasien klinis sangat subyektif dan
seringkali tidak akurat maka
• Nilai derajat dehidrasi
direkomendasikan bahwa pada
• Dehidrasi dianggap sedang jika KAD sedang dehidrasinya adalah
dehidrasinya mencapai 5%-9%, tanda- 5-7% sedangkan pada KAD berat
tanda dehidrasi meliputi: derajat dehidrasinya adalah 7-
• Capillary refill memanjang, Turgor 10%.
menurun, Hiperpnea, serta adanya
tanda-tanda dehidrasi seperti
membran mukus yang kering, mata
cekung, dan tidak ada air mata.
PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1
Tatalaksana Awal
• Evaluasi klinis apakah terdapat • Pemeriksaan tambahan lain yang
infeksi atau tidak. diperlukan adalah serum kreatinin,
• Ukur kadar glukosa darah dan osmolalitas plasma, serum
kadar beta hidroksi butirat/BOHB albumin, fosfor, dan magnesium.
(atau keton urin) dengan alat • Periksa HbA1c.
bedside. • Lakukan pemeriksaan urinalisis.
• Lakukan pengambilan sampel • Jika terdapat demam atau tanda
darah untuk pemeriksaan infeksi lainnya lakukan kultur
laboratorium (darah,
• setidaknya glukosa plasma, • urin, atau kultur dari spesimen
elektrolit serum (perhitungan lainnya) sebelum pemberian
anion gap), analisis gas darah (pH, antibiotik.
HCO3 dan pCO2) vena, kadar • Lakukan EKG jika hasil
BOHB, dan darah tepi lengkap. pemeriksaan elektrolit tertunda.
Cairan dan elektrolit
• Defisit cairan dan elektrolit harus diganti.
• Apabila terjadi renjatan, berikan NaCl 0,9% atau RL 20
ml/kgBB dan dapat diulangi sampai renjatan teratasi.
• Rehidrasi awal harus segera dimulai dengan cairan
isotonik (NaCl 0,9%) paling tidak selama 4-6 jam.
• Setelah itu, penggantian cairan harus dengan cairan
yang memiliki tonisitas sama atau lebih dari 0,45%
dengan ditambahkan kalium klorida, kalium fosfat atau
kalium asetat.
• Rehidrasi selanjutnya dilakukan dalam kurun waktu 48
jam dengan memperhitungkan sisa de sit cairan
ditambah kebutuhan cairan rumatan untuk 48 jam.
Insulin
• Mulai pemberian insulin 1-2 jam setelah pemberian cairan.
Pemberian insulin sejak awal tata laksana meningkatkan risiko
hipokalemia.
• Jenis insulin yang boleh diberikan adalah short acting atau rapid
acting
• Rute pemberian insulin adalah intravena (IV).
• Dosis insulin yang digunakan: 0,05-0,1 U/kgBB/jam.
• Insulin bolus tidak diperlukan pada tata lakasana KAD pediatrik
• Untuk mencegah penurunan glukosa darah yang terlalu cepat selama
asidosis belum teratasi maka tambahkan cairan Dektrosa 5% dalam
cairan intravena (Dekstrosa 5% ditambahkan pada NaCl 0,9% atau
0,45%) jika kadar glukosa plasma turun menjadi 250-300 mg/dL (14-
17 mmol/L).
Kalium
• Pada pemeriksaan darah, kadar kalium plasma dapat normal, meningkat,
atau menurun meskipun kadar total kalium tubuh menurun.
• Pada semua pasien KAD perlu koreksi kalium, kecuali jika terdapat gagal
ginjal.
• Jika pasien hipokalemia: mulai pemberian kalium saat resusitasi cairan awal
sebelum pemberian insulin atau berikan setelah cairan resusitasi bersamaan
dengan mulai pemberian insulin.
• Jika hiperkalemia (K+>6 mEq/L): tunda pemberian kalium sampai diuresis
normal.
• Kalium dapat diberikan dengan konsentrasi 40 mEq/L Contoh: (kalium fosfat
diberikan 20 mEq/L + kalium klorida juga 20 mEq/L)
• Selanjutnya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan kadar kalium plasma.

PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1
Asidosis
• Teratasi dengan pemberian cairan dan insulin.
• Terapi bikarbonat dapat menyebabkan
asidosis SSP paradoksikal dan meningkatkan
risiko terjadinya hipokalemia.
• Bikarbonat dapat digunakan pada kondisi
hiperkalemia berat atau jika pH darah < 6,8
• Dosisnya adalah 1-2 mEq/kg BB diberikan IV
selama lebih dari 60 menit.
PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1
28. Leukemia
CLL CML ALL AML
The bone marrow makes abnormal leukocyte  dont die when they
should  crowd out normal leukocytes, erythrocytes, & platelets. This
makes it hard for normal blood cells to do their work.
Prevalence Over 55 y.o. Mainly adults Common in Adults &
children children
Symptoms & Grows slowly  may Grows quickly  feel sick & go to
Signs asymptomatic, the disease is found their doctor.
during a routine test.
Fever, swollen lymph nodes, frequent infection, weak,
bleeding/bruising easily, hepatomegaly/splenomegaly, weight loss,
bone pain.
Lab Mature Mature granulocyte, Lymphoblas Myeloblast
lymphocyte, dominant myelocyte t >20% >20%, aeur rod
smudge cells & segment may (+)
Therapy Can be delayed if asymptomatic Treated right away
CDC.gov
• More common in AML
Leukemia
– Leukostasis (when blas count
>50.000/uL): occluded
microcirculationheadache,
blurred vision, TIA, CVA,
dyspnea, hypoxia
• Jenis leukemia yang paling – DIC (promyelocitic subtype)
sering terjadi pada anak-anak – Leukemic infiltration of skin,
adalah Acute Lymphoblastic gingiva (monocytic subtype)
Leukemia (ALL) dan Acute – Chloroma: extramedullary
Myelogenous Leukemia tumor, virtually any location.
(AML) • More common in ALL
• ALL merupakan keganasan yg – Bone pain, lymphadenopathy,
paling sering ditemui pada hepatosplenomegaly (also
anak-anak (1/4 total kasus seen in
keganasan pediatrik) – monocytic AML)
• Puncak insidens ALL usia 2-5 – CNS involvement: cranial
tahun neuropathies, nausea,
vomiting, headache, anterior
mediastinal mass (T-cell ALL)
– Tumor lysis syndrome
AML VS ALL
AML ALL

Epidemiologi Lebih banyak pada dewasa Lebih banyak pada anak-anak

Sel mieloblas imatur, terdapat


Morfologi Limfoblas
auer rod
• Mieloperoksidase (+)
• Mieloperoksidase (-)
• Terminal deoxynucleotidyl
• Terminal deoxynucleotidyl
transferase (TdT) (-)
Sitokimia transferase (TdT) (+)
• LDH & serum uric acid
• LDH & serum uric acid elevated 
elevated  tumor lysis
tumor lysis syndrome
syndrome

• B-precursor ALL (70% ALL subtype in


Immuno Children)  CD10, CD19, CD20,
phenotyping, CD13, CD14, CD15, and CD33 CD22, CD24
Cytogenetics & (>90% of leukemic cells) • T-cell ALL (16% ALL Subtype in
Molecular testing children)  CD2, CD3, CD4, CD5,
CD7, CD8
CML VS CLL
CML CLL
Lansia (>65 tahun), tapi bisa juga
Epidemiologi Dewasa (50-60 tahun)
ditemukan pada usia lbh muda
• Sel mieloid • Limfosit B matur
• Basofilia, eosinofilia • Smudge cell/basket cell
Morfologi
• Anemia, • Neutropenia, anemia, and
Trombositosis/normal thrombocytopenia
• Mature granulocytes have
decreased apoptosis
Sitokimia accumulation of long-lived
cells with low or absent
alkaline phosphatase (ALP).
• Circulating clonal B-lymphocytes
expressing CD19, CD20, and CD23
Immuno
Philadelphia chromosome, the and expression of the T cell
phenotyping,
BCR-ABL1 fusion gene, or the associated antigen CD5
Cytogenetics &
BCR-ABL1 fusion mRNA • Cytogenetics: trisomy 12 (16%), and
Molecular testing
deletions of chromosomal regions
13q (55%), 11q (18%), and 17p (7%)
Sel blas dengan Auer rod pada leukemia Leukemia mielositik kronik
mieloblastik akut

Limfosit matur & smudge cell


Sel blas pada leukemia limfoblastik akut pada leukemia limfositik kronik
ALL AML
epidemiologi ALL merupakan keganasan yg paling 15% dari leukemia pada pediatri, juga
sering ditemui pada anak-anak (1/4 ditemukan pada dewasa
total kasus keganasan pediatrik)
Puncak insidens usia 2-5 tahun
etiologi Penyebab tidak diketahui Cause unknown. Risk factors: benzene
exposure, radiation exposure, prior
treatment with alkylating agents
Gejala dan Gejala dan tanda sesuai dengan Pucat, mudah lelah, memar, peteki,
tanda infiltrasi sumsum tulang dan/atau epistaksis, demam, hiperplasia gingiva,
gejala ekstrameduler: konjungtiva chloroma, hepatosplenomegali
pucat, petekie dan memar akibat
trombositopenia; limfadenopati,
hepatosplenomegali.Terkadang ada
keterlibatan SSP (papil edem, canial
nerve palsy); unilateral painless
testicular enlargement.
Lab Anemia, Trombositopenia, Trombositopenia,
Leukopeni/Hiperleukositosis/normal, leukopenia/leukositosis, primitif
Dominasi Limfosit, Sel Blas (+) granulocyte/monocyte, auer rods (hin,
needle-shaped, eosinophilic cytoplasmic
inclusions)
Terapi kemoterapi kemoterapi
29. Hepatitis Viral Akut
• Hepatitis viral: Suatu proses • Virus hepatitis merupakan infeksi
peradangan pada hati atau sistemik yang dominan menyerang
kerusakan dan nekrosis sel hepar. Hepatitis jenis ini paling
hepatosit akibat virus sering disebabkan oleh virus
hepatotropik. Dapat akut/kronik. hepatotropik (virus Hepatitis A, B,
Kronik → jika berlangsung lebih C, D, E).
dari 6 bulan
• Incubation periods for hepatitis A
• Perjalanan klasik hepatitis virus range from 15–45 days (mean, 4
akut weeks), for hepatitis B and D from
– Fase inkubasi 30–180 days (mean, 8–12 weeks),
– Stadium prodromal/ preikterik: for hepatitis C from 15–160 days
flu like syndrome, (mean, 7 weeks), and for hepatitis
– Stadium ikterik: gejala-gejala E from 14–60 days (mean, 5–6
pada stadium prodromal weeks). • .

berkurang disertai munculnya


ikterus, urin kuning tua
– Stadium Pedoman Pelayanan Medis IDAI
konvalesens/penyembuhan Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Hepatitis
Hepatitis Jenis virus Antigen Antibodi Keterangan
HAV RNA HAV Anti-HAV Ditularkan
secara fekal-
oral
HBV DNA HBsAg Anti-HBs •Ditularkan
HBcAg Anti-HBc lewat darah
HBeAg Anti-HBe •Karier
HCV RNA HCV Anti-HCV Ditularkan
C100-3 lewat darah
C33c
C22-3
NS5
HDV RNA HBsAg Anti-HBs Membutuhkan
HDV antigen Anti-HDV perantara HBV
(hepadnavirus)
HEV RNA HEV antigen Anti-HEV Ditularkan
secara fekal-
oral
Penanda
Serologis
Hepatitis
Hepatitis A
• Virus RNA (Picornavirus)
ukuran 27 nm
• Kebanyakan kasus pada usia
<5 tahun asimtomatik atau
gejala nonspesifik
• Rute penyebaran: fekal oral;
transmisi dari orang-orang
dengan memakan makanan
atau
minumanterkontaminasi,
kontak langsung.
• Inkubasi: 2-6 minggu (rata-
rata 28 hari)

Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.


Hepatitis A
• Self limited disease dan • Diagnosis
tidak menjadi infeksi kronis – Deteksi antibodi IgM di darah
• Gejala: – Peningkatan ALT (enzim hati
– Fatique Alanine Transferase)
– Demam • Pencegahan:
– Mual – Vaksinasi
– Nafsu makan hilang – Kebersihan yang baik
– Jaundice  karena – Sanitasi yang baik
hiperbilirubin • Tatalaksana:
– Bile keluar dari peredaran – Simptomatik
darah dan dieksresikan ke
urin  warna urin gelap – Istirahat, hindari makanan
berlemak dan alkohol
– Feses warna dempul (clay-
coloured) – Hidrasi yang baik
– Diet
Profilaksis Hepatitis A
• Imunoglobulin yang diberikan sebelum pajanan atau sewaktu masa
inkubasi awal efektif mencegah timbulnya gejala klinis hepatitis A.

• Untuk profilaksis pascaterpajan orang dekat dengan hepatitis A (tinggal


serumah, pasangan seks), imunoglobulin segera diberikan dengan dosis
0,02 mL/kg.

• Ig masih efektif bila diberikan paling lambat 2 minggu setelah terpajan.

• Imunoglobulin profilaksis tidak diberikan untuk:


– Orang yang sudah vaksin hepatitis A,
– Kontak kasual di tempat kerja, sekolah, rumah sakit,
– Lansia yang kemungkinan besar sudah imun,
– Orang yang sudah anti-HAV (+).

Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed.


Profilaksis Hepatitis A

• Vaksin diberikan dengan injeksi IM.


• Proteksi anti-HAV pascavaksin mulai timbul 4 minggu setelah pemberian pertama.
• Proteksi bertahan hingga 20 tahun.

Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed.


Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 – 18 tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Tahun 2014
Umur pemberian vaksin
Jenis vaksin Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 10 12 18
Hepatit
i s B 1 2 3
Polio 0 1 2 3 4 5
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td) 7(Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus
e 1 2 3
Influ nza Ulangan 1 kaliptia tpahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan tia 3 t ahun
Hepatit
i s A 2 kali, interval 6-12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 3 kali

Keterangan 6. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali
Cara membaca kolom umur: misal 2 u berarti mu r 2 bul an (60 har i) sd 2 bul an 29 har i (89 har i) dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januaril 2014 dan dapat diakses pada website IDAI (http : // booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada
idai.or.id/public-artices/kl ini k/i mu ni sasi /j adw al-imunisasi-anak-idai.html) anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2
1. Vaksin hepatit i s B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai
pemberian suntikan vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatit i s B diberikan sebelum umur 16 minggu danatidk melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus
dan imunoglobulin hepatit i s B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatit i s B pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2 dan ke-3, 4-10 minggu;
selanjutnya dapat menggunakan vaksinihepatit Bs mon o valen atau vaksin kombinasi. dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu).
2. Vaksin polio. Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral 8. Vaksin varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur
(OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis
OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. dengan interval minimal 4 minggu.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, a optiml umur 2 bulan. Apabila 9. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang
p setia tahun.
diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak umur kurang dari 9 tahun
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 - < 36 bulan, dosis 0,25 mL.
vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun 10. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin
diberikan vaksin Td, dibooster setia p 10 t ahun. HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan
5. Vaksin campak. Vaksin campak keduaa tidk perlu diberikan pada umur 24 bulan, apabila MMR interval 0,2,6 bulan.
sudah diberikan pada 15 bulan.
30. Atelectasis
• Kondisi bagian parenkim paru yang tidak terisi udara serta kolaps,
menyebabkan berkurangnya volume serta kapasitas paru
• Obstruksi jalan napas instrinsik menjadi penyebab paling sering
atelektasis pada anak
• Etiologi obstruksi jalan napas intrinsic:
– Asma  penyebab paling sering
– Bronchiolitis
– Aspirasi karena gangguan menelan
– Tuberkulosis endobronkial
– Aspiration dari refluks gastroesofagus
– Cystic fibrosis
– Peningkatan atau sekresi jalan napas abnormal karena penyebab lain
– Mucus plug

Pozzo et.al. Children with pulmonary atelectasis: clinical outcome and characterization of physical therapy. Maringá, v. 35, n. 2, p. 169-173, July-
Dec., 2013
Atelektasis

• Kompresi ekstrinsik jalan napas bisa berasal


dari :
– Penekanan dari pembesaran kelenjar getah bening
– Limfoma atau tumor dada lainnya
– Pembesaran jantung yang kompresi bronkus kiri
utama atau cabang bronkus kiri lobus paru bawah
– Left to right intracadiac shunts  meningkatkan
aliran darah melalui arteri pulmoner
Atelectasis
• Classification of
Ateletacsis :
– Obstructive ateletacsis
– Resorptive ateletacsis
– Compressive ateletacsis
– Relaxation atelectasis
• The right middle lobe
orrifice is the narrowest
of the lobar orifices and
because it surounded by
lymphoid tissue  most
common lobe to become
ateletactic
Obstructive atelectasis Resorptive atelectasis
• The most common type of • Resorptive atelectResorptive
atelectasis, due to complete atelectasis results from an
or partial large airway alveolar space-filling lesion,
obstruction. typically pneumonia.
• It is especially common in
• Obstructive atelectasis can
patients with neuromuscular
be further classified on the
weakness who lack the ability
basis of anatomy as to reinflate the collapsed area
intraluminal, intrinsic to the of lung.
airway wall, or extramural. • It differs from post-obstructive
• Examples of intraluminal atelectasis in that the primary
causes of atelectasis include lesion is at the level of the
airway foreign body, blood alveolar space rather than the
clot, mucus plug (most airway.
common), and tumor
Compressive atelectasis Relaxation atelectasis
• is caused by space- • develops when contact
occupying masses within between the parietal and
the chest. visceral pleurae is
• Examples include large cysts eliminated by a pleural
or overinflated lobes that effusion or pneumothorax
can compress and collapse
adjacent lung tissue.
• Cardiomegaly is another
common cause of
compressive atelectasis.
AT E L E C TA S I S
Chest radiographs and CT scans may
demonstrate direct and indirect signs of
lobar collapse.
Direct signs include displacement of
fissures and opacification of the collapsed
lobe.
Indirect signs include
• displacement of the hilum,
• mediastinal shift toward the side
of collapse,
• loss of volume on ipsilateral
hemithorax,
• elevation of ipsilateral diaphragm,
• crowding of the ribs,
• compensatory hyperlucency of
the remaining lobes,
• silhouetting of the diaphragm or
the heart border.
Gambaran Radiologis
DISEASE RADIOGRAPHY

Characteristically, there is homogenous opacification in a lobar pattern. The


Pneumonia opacification can be sharply defined at the fissures, although more commonly
lobaris there is segmental consolidation. The non-opacified bronchus within a
consolidated lobe will result in the appearance of air bronchograms.

Pneumonia associated with suppurative peribronchiolar inflammation and subsequent


lobularis/ patchy consolidation of one or more secondary lobules of a lung in response
bronko to a bacterial pneumoniAssociated a: multiple small nodular or
pneumonia reticulonodular opacities which tend to be patchy and/or confluent.

pulmonary hyperinflation Increased Bronchial wall markings (most


characteristic)  Associated with thicker Bronchial wall, inflammation
Flattening of diaphragm (with chronic inflammation or Associated with
Asthma
accessory muscle use)
Hyperinflation (variably present)
Patchy infiltrates (variably present) from Atelectasis
Hyperexpansion (showed by diaphragm flattening), hyperluscent,
bronkiolitis Peribronchial thickening
Variable infiltrates or Viral Pneumonia
Bronchopneumonia
Pneumonia Lobaris

Etiology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negative organisms
Legionella
Bronchiolitis

The x-ray shows lung hyperinflation with a flattened diaphragm and opacification in the right lung apex (red circle) and left
lung base (blue circle) from atelectasis. Obviously, the same changes can be seen in the x-ray of a child with acute asthma.
This is one reason why children with acute asthma are often misdiagnosed as having pneumonia.
31. HERNIA DIAFRAGMA

Photograph of a one-day-old infant with congenital diaphragmatic hernia. Note the


scaphoid abdomen. This occurs if significant visceral herniation into the chest is
present.
http://emedicine.medscape.com/article/934824-overview
Because of bowel Development of the
Because airspace pulmonary arterial system
herniation into the chest
development follows airway
during crucial stages of parallels development of the
development, alveolarization
lung development, airway bronchial tree, and, therefore,
is similarly reduced
divisions are limited fewer arterial branches

PATHOGENESIS
Pulmonary hypertension vicious cycle of progressive
resulting from these hypoxemia, hypercarbia,
arterial anomalies leads acidosis, and pulmonary
to right-to-left shunting hypertension observed in the
at atrial and ductal neonatal period
levels

The pathophysiology of congenital diaphragmatic hernia involves pulmonary hypoplasia, pulmonary


hypertension, pulmonary immaturity, and potential deficiencies in the surfactant and antioxidant
enzyme system
http://emedicine.medscape.com/article/934824-overview#a0104
Type
• Bochdalek Hernia
– most common fetal congenital
diaphragmatic hernia
– commoner on the left: 75-90%
– posterolateral
– large and associated with poorer
outcome
– presents earlier
– mnemonic: BBBBB (Bochdalek, big,
back and medial, usually on the Bochdalek Morgagni
left side, baby, bad (associated hernia: 98%: hernia: 2% :
with pulmonary hypoplasia) Posterolateral Anteriomedial
• Morgagni hernia defect defect
– less common
– anterior
– presents later
Bochdalek Hernia
Morgagni Hernia
Management
• Immediately following delivery, the infant is intubated (bag and
mask ventilation is avoided).
• A nasogastric tube is passed to decompress the stomach and to
avoid visceral distention.
• Adequate assessment involves continuous cardiac monitoring, ABG
and systemic pressure measurements
• Urinary catheterization to monitor fluid resuscitation,
• preductal (radial artery) and postductal (umbilical artery) oximetry.
• Surfactant
• Surgery: With a better understanding of the pathophysiology and
variation in the degree of pulmonary impairment, the timing of
surgery has shifted from early surgical intervention to delaying
surgical correction until the patient has been stabilized medically
http://emedicine.medscape.com/article/934824-overview#a0104
32. Growth Hormone dan Gigantisme
• Dikenal juga sebagai
somatotropin
• Sintesis GH dan pelepasannya
dikontrol oleh hormone lain
seperti GHRH, somatostatin,
ghrelin, IGF-1, hormone tiroid,
dan glukokortikoid
• Growth hormone (GH) di
sekresikan pulsatil (after
infancy).
• Sekresi meningkat pada saat
pubertas dan menurun
setelahnya
http://physrev.physiology.org/content/physrev/92/1/1/F1.large.jpg
GROWTH HORMONE

indirect effects direct effects

+
+ +

Insulin-like Growth Factor


lipolysis in fat cells carbohydrate
metabolism

fat cells muscle

Increases FFA, glycerol, and sugars


chondrocytes
in circulation
lipogenesis Protein synthesis
makes energy available for growth
cartilage formation
Gigantisme
• Pertumbuhan linear yang abnormal karena
kerja insulin like growth factor I (IGF-I) yang
berlebihan ketika masa kanak-kanak dimana
epiphyseal growth plates masih terbuka
• Acromegaly merupakan kelainan yang sama
tetapi terjadi setelah lempeng epifise
tertutup.
• Gigantisme biasa muncul saat kanak-kanak
atau remaja muda.
Normal Growth Hormone Normal Control of Growth
Physiology Hormone Production
• Disekresikan oleh hipofisis anterior secara • Hipotalamus mengontrol jumlah
pulsatil. GH yang dikeluarkan oleh
– Oleh karena itu memeriksa kadar GH hipofisis dengan mengeluarkan
secara random tidak berguna
neuropeptida growth hormone
– GH turun secara drastis setelah gula
masuk ke dalam tubuh (hal ini tidak releasing hormone (GHRH).
terjadi pada akromegali/gigantisme • Neuropeptida utama yang
yang tidak mengalami penurunan GH menghambat pelepasan GH
setelah diberi tes toleransi glukosa)
disebut somatostatin
• GH mempunyai efek langsung pada tubuh,
tetapi juga berefek pada sel kelenjar untuk
melepaskan hormon lainnya:
– GH bekerja pada sel khusus di hepar
melepaskan hormon yang
disebutInsulin-like Growth Factor (IGF-
1) (atau disebut juga Somatomedin-C)
– Karena IGF-1 dilepaskan dengan kadar
yg relatif spontan, maka lebih bagus
digunakan untuk memeriksa
akromegali/ gigantisme
Etiologi
• Causes of excess IGF-I • Gigantism is a form of
action can be divided into familial pituitary
adenomas, and may run in
the following 3 categories: some families due to a
– Release of primary GH genetic mutation.
excess from the pituitary • Gigantism can also be
– Increased GHRH secretion associated with other
conditions, including:
or hypothalamic
– Carney complex
dysregulation – McCune-Albright syndrome
– Hypothetically, the excessive (MAS)
production of IGF-binding – Multiple endocrine
neoplasia type 1 (MEN-1)
protein, which prolongs the
– Neurofibromatosis
half-life of circulating IGF-I
Gejala dan Tanda Gigantisme
• Tall stature • Frontal bossing
• Mild to moderate obesity • Prognathism
(common) • Hyperhidrosis
• Macrocephaly (may precede • Osteoarthritis (a late
linear growth) feature of IGF-I excess)
• Headaches • Peripheral neuropathies
• Visual changes (eg, carpel tunnel
• Hypopituitarism syndrome)
• Soft tissue hypertrophy • Cardiovascular disease
• Exaggerated growth of the • Benign tumors
hands and feet, with thick • Endocrinopathies
fingers and toes
• Coarse facial features

http://emedicine.medscape.com/article/925446-treatment#a1156
Gigantisme
Pemeriksaan Tatalaksana
• Laboratorium • Pengobatan
– Growth Hormon – Analog somatostatin
– IGF-I  pemeriksaan lab paling
baik karena pengeluaran oleh – Agonis reseptor dopamin
tubuh tidak bersifat pulsatil – Antagonis reseptor GH
• Imaging – Radiasi
– Radiografi • Operasi transphenoidal
– CT Scan
– MRI
• Histologi
– Untuk menemukan adenoma/
karsinoma/ hiperplasia
33. Obat anti diare dan efek samping ileus
paralitik

Kaolin Gastrointestinal adsorbent: adsorbs water, toxins and bacteria,


contributing to firmer stools, reducing fluid loss from diarrhea.
Pektin Gastrointestinal adsorbent
Arang Aktif Gastrointestinal adsorbent
Attapulgit Gastrointestinal adsorbent
(kaopectate)
Loperamide Mempengaruhi motilitas usus (mengurangi gerakan peristaltik)
Papaverin It is a direct-acting smooth muscle relaxant used in the
treatment of impotence and as a vasodilator, especially for
cerebral vasodilation.
Loperamide
• Loperamide: opioid receptor agonist • Loperamide increases the tone of the
• Does not affect the central nervous anal sphincter, thereby reducing
system incontinence and urgency.
• Loperamide hydrochloride acts by • Loperamide hydrochloride prolongs
slowing intestinal motility and by the transit time of the intestinal
affecting water and electrolyte contents.
movement through the bowel. • Loperamide also decreases colonic
• Loperamide binds to the opiate mass movements and suppresses the
receptor inmyenteric plexus in large gastrocolic reflex.
intestines  Consequently, it • It reduces the daily fecal volume,
inhibits the release of acetylcholine increases the viscosity and bulk
and prostaglandins  decreases the density, and diminishes the loss of
motility of the circular and fluid and electrolytes.
longitudinal smooth muscles of the • Elimination of Loperamide mainly
intestinal wall  thereby reducing occurs by oxidative N-demethylation.
peristalsis, and increasing intestinal
transit time 
http://www.drugs.com/pro/loperamide.html
Papaverin
• Papaverine relaxes various smooth muscles. This
relaxation may be prominent if spasm exists.
• The muscle cell is not paralyzed by Papaverine and
still responds to drugs and other stimuli causing
contraction.
• The antispasmodic effect is a direct one, and unrelated
to muscle innervation.
• The mechanism of its pharmacological actions is not
clear, but it apparently can inhibit phosphodiesterases
and it may have direct actions on calcium channels.
• It appears that papaverin don’t cause ileus as side
effect
Ileus paralitik
Penyebab ileus paralitik:
• Postoperative and bowel resection • Diare akut pada anak
• Intraperitoneal infection or
inflammation
TIDAK diberikan obat-
• Ischemia obatan antimotilitas
• Extra-abdominal: Chest infection,
Myocardia infarction seperti LOPERAMIDE
• Endocrine: hypothyroidism, diabetes
• Spinal and pelvic fractures
• LOPERAMIDE dapat
• Retro-peritoneal haematoma menyebabkan
• Metabolic abnormalities:
– Hypokalaemia konstipasi, distensi
– Hyponatremia
– Uraemia
abdomen, dan ileus
– Hypomagnesemia paralitik
• Bed ridden
• Drug induced: morphine, tricyclic
antidepressants
34. Infeksi Saluran Kemih

• UTI pada anak perempuan 3-5%, laki-laki 1% (terutama yang


tidak disirkumsisi)
• Banyak disebabkan oleh bakteri usus: E. coli (75-90%),
Klebsiella, Proteus. Biasanya terjadi secara ascending.
• Gejala dan tanda klinis, tergantung pada usia pasien:
– Neonatus: Suhu tidak stabil, irritable, muntah dan diare, napas tidak
teratur, ikterus, urin berbau menyengat, gejala sepsis
– Bayi dan anak kecil: Demam, rewel, nafsu makan berkurang, gangguan
pertumbuhan, diare dan muntah, kelainan genitalia, urin berbau
menyengat
– Anak besar: Demam, nyeri pinggang atau perut bagian bawah,
mengedan waktu berkemih, disuria, enuresis, kelainan genitalia, urin
berbau menyengat
Fisher DJ. Pediatric urinary tract infection. http://emedicine.medscape.com/article/969643-overview
American Academic of Pediatrics. Urinary tract infection: clinical practice guideline for the diagnosis and
management of the initial UTI in febrile infants and children 2 to 24 months. Pediatrics 2011; 128(3).
ISK
• 3 bentuk gejala UTI:
– Pyelonefritis (upper UTI): nyeri abdomen, demam, malaise, mual,
muntah, kadang-kadang diare
– Sistitis (lower UTI): disuria, urgency, frequency, nyeri suprapubik,
inkontinensia, urin berbau
– Bakteriuria asimtomatik: kultur urin (+) tetapi tidak disertai gejala
• Pemeriksaan Penunjang :
– Urinalisis : Proteinuria, leukosituria (>5/LPB), Hematuria
(Eritrosit>5/LPB)
– Biakan urin dan uji sensitivitas
– Kreatinin dan Ureum
– Pencitraan ginjal dan saluran kemih untuk mencari kelainan
anatomis maupun fungsional
• Diagnosa pasti : Bakteriuria bermakna pada biakan urin (>10 5 koloni
kuman per ml urin segar pancar tengah (midstream urine) yang diambil
pagi hari)
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. & PPM IDAI
Tatalaksana
• Tujuan : Memberantas kuman penyebab, mencegah dan menangani komplikasi dini, mencari kelainan
yang mendasari
• Umum (Suportif)
– Masukan cairan yang cukup
– Edukasi untuk tidak menahan berkemih
– Menjaga kebersihan daerah perineum dan periurethra
– Hindari konstipasi
• Khusus
– Sebelum ada hasil biakan urin dan uji kepekaan, antibiotik diberikan secara empirik selama 7-10
hari
– Obat rawat jalan : kotrimoksazol oral 24 mg/kgBB setiap 12 jam, alternatif ampisilin, amoksisilin,
kecuali jika :
• Terdapat demam tinggi dan gangguan sistemik
• Terdapat tanda pyelonefritis (nyeri pinggang/bengkak)
• Pada bayi muda
– Jika respon klinis kurang baik, atau kondisi anak memburuk berikan gentamisin (7.5 mg/kg IV
sekali sehari) + ampisilin (50 mg/kg IV setiap 6 jam) atau sefalosporin gen-3 parenteral
(ceftriaxone 50-75 mg/kgBB/hari)
– Antibiotik profilaksis diberikan pada ISK simpleks berulang, pielonefritis akut, ISK pada neonatus,
atau ISK kompleks (disertai kelainan anatomis atau fungsional)
– Pertimbangkan komplikasi pielonefritis atau sepsis
Interpretasi Hasil Biakan Urin
Algoritme
Penanggulangan
dan Pencitraan
Anak dengan ISK
Dosis Obat Pada UTI Anak
35. Komplikasi Diare dan Hipokalemia
• Dehidrasi
• Asidosis Metabolik
• Hipoglikemia, terutama dengan predisposisi
undernutrition
• Gangguan elektrolit
– Hipo/hipernatremia
– Hipokalemia
– (NB: Hiperkalemia bisa menstimulasi intestinal
motility menyebabkan watery diarrhea.)
• Gangguan gizi
• Gangguan sirkulasi (syok)
Electrolyte: kalium
• K has important role in resting membrane potential & action
potentials.

• The level of K influences cell depolarization


– the movement of the resting potential closer to the threshold 
more excitability & hyperpolarization
– decreased resting membrane potential to a point far away from
the threshold  less excitability.

• The most critical aspect of K, it affects:


– Cardiac rate, rhythm, and contractility
– Muscle tissue function, including skeletal muscle and muscles of the
diaphragm, which are required for breathing
– Nerve cells, which affect brain cells and tissue
– Regulation of many other body organs (intestinal motility)
Johnson JY. Fluids and Electrolytes demystified. 2008
Electrolyte: kalium

Hypokalemia Hyperkalemia

• Disorientation • Rapid heart beat


• Confusion (fibrillation)
• Discomfort of muscles • Skin tingling
• Muscle weakness • Numbness
• Ileus paralytic • Weakness
• Paralysis of the • Flaccid paralysis
muscles of the lung,
resulting in death

Johnson JY. Fluids and Electrolytes demystified. 2008


Tatalaksana Hipokalemia
• Transient, asymptomatic, or mild hypokalemia may spontaneously resolve
or may be treated with enteral potassium supplements.
• Symptomatic or severe hypokalemia should be corrected with a solution of
intravenous potassium.

PPM IDAI
http://emedicine.medscape.com/article/907757-treatment
36. Skor APGAR
Skor APGAR dievaluasi menit ke-1 dan menit ke-5

Tanda 0 1 2
A Activity (tonus Tidak ada tangan dan kaki aktif
otot) fleksi sedikit

P Pulse Tidak ada < 100x/menit > 100 x/menit

G Grimace (reflex Tidak ada Menyeringai Reaksi melawan,


irritability) respon lemah, gerakan batuk, bersin
sedikit

A Appearance Sianosis Kebiruan pada Kemerahan di


(warna kulit) seluruh tubuh ekstremitas seluruh tubuh

R Respiration Tidak ada Lambat dan Baik, menangis kuat


(napas) ireguler
37. Akses Intraoseus

• Akses intraoseus disarankan untuk


anak <6 thn.
• Beberapa studi mengatakan jika akses
IO juga aman utk anak yg lbh besar
dan org dewasa
• Menurut Emergency Cardiovascular
Care Guidelines (2000), akses IO
direkomendasikan pada semua
pasien anak yang gagal mendapatkan
akses IV setelah mencoba 2x atau
pada kasus syok/ circulatory collapse.
• Pada tahun 2005, the American Heart • Site of injection:
Association merekomendasikan akses – Proximal tibia
IO jika akses vena tidak bisa – Sternum
didapatkan dengan cepat.
Akses Intraoseus

• Spesimen darah yg didapatkan melalui intraosesus


bisa digunakan untuk pemeriksaan lab, seperti
kadar pH, kadar PCO2, dan gol darah, tetapi
mungkin agak berbeda dengan standar hasil darah
vena.
• Semua obat-obatan dan produk darah bisa
dimasukkan melalui akses IO
• Jika jarum Intraosseous dibiarkan > 72 jam, akan
berisiko infeksi lokal, sehingga akses IO sebaiknya
diangkat segera setelah akses vena didapatkan
secara permanen
Akses Intraoseus
Indikasi Kontraindikasi
• Sulit mendapatkan akses IV • Infection at entry site
– Burns • Burn at entry site
– Obesity
• Ipsilateral fracture of the extremity
– Edema
– Seizures
• Osteogenesis imperfecta
• Memerlukan infus dengan kapasitas volume • Osteopenia
yang tinggi dan cepat • Osteopetrosis
– Hypovolemic shock • Previous attempt at the same site
– Burns
• Previous attempt in different
• Sebagai akses ke sirkulasi vena sistemik
location on same bone
– Cardiopulmonary arrest
• Previous sternotomy (sternum
– Burns
insertion)
– Blood draws
– Local anesthesia • Sternum fracture or vascular injury
– Medication infusion near sternum (sternum insertion)
• Unable to locate landmarks
38. Proses pernapasan: Ventilasi-Perfusi-
Difusi
• Proses pernapasan dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu ventilasi,
perfusi dan difusi
• Ventilasi: proses pertukaran udara dari dan menuju paru-
paru
• Ventilasi terdiri dari inspirasi (aktivitas aktif) dan ekspirasi
(aktivitas pasif)
• Ventilasi dimungkinkan terjadi akibat adanya gradien
(perbedaan) tekanan antara tekanan intrapulmonar dengan
tekanan atmosferPerfusi merupakan darah yang mengalir
menuju sirkulasi paru (menuju alveolus)
• Jumlah ventilasi alveolar/volume tidal (V) pada manusia
sehat adl 4L/mnt; sedangkan jumlah perfusi kapiler paru (Q)
adalah 5L/mnt
• Maka rasio normal ventilasi-perfusi yang melambangkan
keseimbangan pertukaran oksigen adalah V/Q= 0.8
Ventilasi-Perfusi-Difusi
• Difusi adalah pergerakan molekul dari daerah
konsentrasi tinggi menuju ke daerah dengan
konsentrasi rendah
• Difusi oksigen terjadi terus menerus dari alveolus ke
kapiler paru. hal ini terjadi karena tekanan parsial O2
alveolus (PAO2) lebih tinggi dibandingkan dengan
tekanan parsial O2 dlm kapiler (PaO2)
• Sebaliknya, difusi CO2 terjadi dari kapiler darah
menuju alveolus karena gradien PCO2 kapiler lebih
tinggi dibandingkan PCO2 alveolus.
Patofisiologi gagal napas

• Tekanan parsial O2
dan CO2 dalam
alveolus dan darah
kapiler paru
ditentukan oleh
ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi
• Bila:
• Ventilasi-perfusi 
PO2 darah kapiler
 PCO2 
Gagal Napas Tipe 1 (Oxygenation Failure)
• Tipe hipoksemik Mekanisme hipoksemia arterial
• Ditandai dengan tekanan parsial O2 • Penurunan tekanan parsial O2 dalam
arteri yang abnormal rendah (PaO2 alveolus
<60) – Hipoventilasi alveolar
• Bisa karena kelainan yang – Penurunan tekanan parsial O2 udara
menyebabkan rendahnya ventilasi inspirasi
perfusi (V-Q mismatch) atau shunting – Underventilated alveolus (areas of low
ventilation-perfusion)
intrapulmoner dari kanan ke kiri
• Penyebab  masalah di oksigenasi: V- • Shunting intrapulmoner (areas of
Q mismatch/ Shunt zero ventilation-perfusion)
– Adult respiratory distress syndrome (ARDS) • Penurunan mixed venous O2
– Asthma content (saturasi haemoglobin yang
– Pulmonary oedema rendah)
– Chronic obstructive pulmonary disease – Peningkatan kecepatan metabolisme
(COPD)
– Penurunan cardiac output
– Interstitial fibrosis
– Penurunan arterial O2 content
– Pneumonia
– Pneumothorax
– Pulmonary embolism
– Pulmonary hypertension Neema, Praveen Kumar. Respiratory failure. Indian
J. Anaesth. 2003; 47 (5) : 360-366
Gagal Napas Tipe 2 (Ventilatory Failure)
Penyebab
• Type II or Hypercapnic
(PaCO2 >45): Failure to • Disorders affecting central ventilatory drive
exchange or remove carbon – Brain stem infarction or haemorrhage
dioxide – Brain stem compression from supratentorial mass
• Tekanan parsial CO2 arteri – Drug overdose, Narcotics, Benzodiazepines,
mencerminkan efesiensi Anaesthetic agents etc.
mekanisme ventilasi yang • Disorders affecting signal transmission to the
membuang CO2 dari hasil respiratory muscles
metabolism jaringan. – Myasthenia Gravis
• Disebabkan oleh kelainan – Amyotrophic lateral sclerosis
yang menurunkan central – Gullain-Barrè syndrome
respiratory drive, – Spinal –Cord injury
mempengaruhi tranmisi – Multiple sclerosis
sinyal dari CNS, atau • Disorders of respiratory muscles or chest-wall
hambatan pada otot – Muscular dystrophy
respirasi untuk – Polymyositis
mengembangkan dinding – Flail Chest
dada.
Neema, Praveen Kumar. Respiratory failure. Indian J. Anaesth. 2003; 47 (5) : 360-366
Kriteria gagal napas akut
Bila ada 2 dari 4 kriteria di bawah ini:
1. Terdapat dyspnea/ sesak akut
2. PaO2 < 50 mmHg pada saat bernapas dalam udara
ruangan
3. PaCO2 > 50 mmHg
4. pH darah arteri yang sesuai dengan asidosis respiratorik
(pH≤7,2)

Kriteria tambahan ke-5


5. Terdapat perubahan status mental ditambah 1 atau lebih
kriteria di atas
Catatan: ARDS & ALI
• Acute Respiratory Distress Syndrome adalah
keadaan darurat medis yang dipicu oleh berbagai
proses akut yang berhubungan langsung ataupun
tidak langsung dengan kerusakan paru.
• Terjadinya gangguan paru yang progresif dan
tiba-tiba ditandai dengan sesak napas yang berat,
hipoksemia dan infiltrat yang menyebar dikedua
belah paru.
• ARDS was recognized as the most severe form of
acute lung injury (ALI)
Consensus Conference Definitions for Acute Lung Injury (ALI) and
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

Oxsigenasi Tekanan arteri


waktu X-ray
(astrup) pulmonale

PaO2 / FIO2 ≤ 300


ALI mmHg Infiltrat ≤ 18 mmHg
Akut
Kriteria (fraksi oksigen bilateral
21%)

Akut PaO2 / FIO2 ≤ 200 Infiltrat


ARDS
mmHg (fraksi ≤ 18 mmHg
Kriteria Bilateral
oksigen 21%)
ETIOLOGI ARDS
SECARA LANGSUNG TIDAK LANGSUNG
• Asma bronkial • Sepsis
• PPOK • Severe trauma with shock
• Drug overdose
• Pneumonia • Acute pancreatitis
• Aspirasi makanan • Transfusion of blood
• Pulmonary contusion products
• Near-drowning
• Inhalational injury
• DLL
39. Acquired Prothrombine Complex Deficiency
(APCD) dengan Perdarahan Intrakranial

• Sebelumnya disebut sebagai Hemorrhagic Disease of the


Newborn (HDN) atau Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB)
• Acquired Prothrombine Complex Deficiency (APCD)
dengan Perdarahan Intrakranial merupakan kelanjutan
dari VKDB (late onset VKDB)
• Etiologinya adalah defisiensi vitamin K yang dialami oleh
bayi karena : (1) Rendahnya kadar vitamin K dalam plasma
dan cadangan di hati, (2) Rendahnya kadar vitamin K dalam
ASI, (3) Tidak mendapat injeksi vitamin K1 pada saat baru
lahir
• Mulai terjadi 8 hari-6 bulan, insidensi tertinggi 3-8 minggu
• 80-90% bermanifestasi menjadi perdarahan intrakranial

Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010


Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB)
Stadium Characteristic
Early-onset VKDB usually occurs during first 24 hours after birth. Baby born of
mother who has been on certain drugs: anticonvulsant,
antituberculous drug, antibiotics, VK antagonist anticoagulant.
Classic VKDB Occurs during 2 to 7 day of life when the prothrombin complex
is low. It was found in babies who do not received VKP or
VK supplemented.
Bleeding commonly occurs in the umbilicus, gastrointestinal
(GI) tract (ie, melena), skin, nose, surgical sites (ie, circumcision)
and, uncommonly, in the brain.
Late-onset VKDB / Late-onset vitamin K deficiency bleeding usually occurs
APCD (acquired between age 2-12 weeks; however, it can be seen as long as 6
prothrombin months after birth. This disease is most common in breastfed
complex disorder) infants who did not receive vitamin K prophylaxis at birth.
More than half of these infants present with acute intracranial
hemorrhages
Diagnosis APCD
• Diagnosis
– Anamnesis : Bayi kecil yang sebelumnya sehat, tiba-tiba
tampak pucat, malas minum, lemah. Tidak mendapat
vitamin K saat lahir, konsumsi ASI, kejang fokal
– PF : Pucat tanpa perdarahan yang nyata. Tanda
peningkatan tekanan intrakranial (UUB membonjol,
penurunan kesadaran, papil edema), defisit neurologis
fokal
– Pemeriksaan Penunjang : Anemia dengan trombosit
normal, PT memanjang, APTT normal/memanjang. USG/CT
Scan kepala : perdarahan intrakranial
– Pada bayi dengan kejang fokal, pucat, disertai UUB
membonjol harus difikirkan APCD sampai terbukti bukan

Buku PPM Anak IDAI


Tatalaksana APCD
• Pada bayi dengan kejang fokal, pucat, dan UUB
membonjol, berikan tatalaksana APCD sampai terbukti
bukan
• Vitamin K1 1 mg IM selama 3 hari berturut-turut
• Transfusi FFP 10-15 ml/kgBB selama 3 hari berturut-turut
• Transfusi PRC sesuai Hb
• Tatalaksana kejang dan peningkatan tekanan intrakranial
(Manitol 0,5-1 g/kgBB/kali atau furosemid 1
mg/kgBB/kali)
• Konsultasi bedah syaraf
• Pencegahan : Injeksi Vitamin KI 1 mg IM pada semua
bayi baru lahir

Buku PPM Anak IDAI


40. Hiponatremia

• Sodium is the most prevalent cation in the


extracellular fluid (ECF).
• Total body sodium is therefore proportional to
ECF volume.
• Under normal circumstances serum sodium
levels are maintained within a tight physiological
range of between 135-145mmol/l.
• “True hyponatremia” is regarded as a low sodium
level in the presence of hypoosmolality.
Klasifikasi Hiponatremi
Berdasarkan kadar Berdasarkan onset
Berdasarkan gejala
natrium waktu
• Mild: 130-135 • Akut : Berlangsung • Moderate:
mmol/L < 48 jam • - Mual tanpa
• Moderate: 125-129 • Kronik: muntah
mmol/L Berlangsung > 48 • - Bingung
• Profound: < 125 jam • - Sakit Kepala
mmol/L • Severe:
• - Muntah
• - Cardio-respiratory
distress
• - Somnolen
• - Kejang
• - Koma(GCS<8)
Spasovski G. et al. Clinical Practice Guideline on Diagnosis and Treatment of hyponatremia
Etiologi
Drug-induced Hyponatremia
Hiponatremi  Konsentrasi natrium serum < 135 mmol/L.
Obat-obatan umumnya dapat menyebabkan abnormalitas
elektrolit.
Salah satu abnormalitas elektrolit yang dapat disebabkan
obat adalah hiponatremi.
↓konsentrasi Gradien osmotik
natrium dalam intra-ekstra seluler
serum otak

Gangguan Air masuki ke


Edema serebral
neurologis dalam sel
Liamins G. et al. A Review of Drug-Induced Hyponatremia. American Journal of Kidney Diseases, Vol 52, No 1 (July), 2008: pp 144-153
Obat-obatan Penyebab

Liamins G. et al. A Review of Drug-Induced Hyponatremia. American Journal of Kidney Diseases, Vol 52, No 1 (July), 2008: pp 144-153
Loop Diuretics
• Lebih jarang menyebabkan hiponatremi

Inhibiting sodium
Reduce the Impair both the
chloride
osmolarity of the renal concentrating
reabsorption in the
medullary and diluting
thick ascending limb
interstitium mechanisms
of the loop of Henle

Liamins G. et al. A Review of Drug-Induced Hyponatremia. American Journal of Kidney Diseases, Vol 52, No 1 (July), 2008: pp 144-153
Thiazide Diuretics
• Diuretik penyebab hiponatremi tersering.

Do not interfere
with urinary
Critical point for the
Acting solely in the concentration and
development of
distal tubules the ability of ADH to
hyponatremia
promote water
retention

Liamins G. et al. A Review of Drug-Induced Hyponatremia. American Journal of Kidney Diseases, Vol 52, No 1 (July), 2008: pp 144-153
Thiazide vs Loop Diuretics

http://www.pbfluids.com/2014_12_01_archive.html
Electrolyte: hyponatremia
• Natrium concentration is influenced by the balance of natrium
& water in the body.

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.


Electrolyte: hyponatremia
Many symptoms of hyponatremia
are associated with the hypotonic
hydration.

The most common symptoms:


• Headache
• Nausea
• Disorientation
• Tiredness
• Muscle cramps
• Comatose

Johnson JY. Fluids and Electrolytes demystified. 2008


41. Turner Syndrome

• Hilangnya atau ketidaknormalan salah satu


kromosom X yang hanya terjadi pada anak
perempuan.
• Pertama kali dijelaskan oleh dr. Henry
Turner pada tahun 1938  terjadi pada
sekitar 1 di antara 2500 kelahiran bayi
perempuan.
• Tidak terjadi pada laki-laki (45,OY) 
hilangnya satu-satunya kromosom X maka
individu tidak mungkin bertahan hidup
Turner Syndrome

• Tidak dapat dicegah  penyebab hilang


atau rusaknya kromosom belum diketahui.
• Faktor risiko seperti usia kedua orang tua,
konsumsi makanan selama hamil, dll belum
dapat dibuktikan.
• Peningkatan risiko keberulangan pada
kehamilan berikutnya belum ditemukan.
Turner Syndrome

Beberapa anak perempuan


dapat memiliki hanya 1 atau
2 karakteristik ringan
Turner Syndrome

Diagnosis
• Kariotipe  pemeriksaan analisis kromosom
• Normal: 23 pasang kromosom  total 46 kromosom
• Kromosom seks laki-laki adalah 46XY
sedangkan perempuan 46XX.
• Pada Turner Syndrome, terjadi kehilangan
total/sebagian kromosom X pada beberapa
atau seluruh sel tubuh sehingga individu
tersebut hanya memiliki 45 kromosom (45XO,
O melambangkan kromosom yang hilang 
monosomi X)
Turner Syndrome: Pemeriksaan Penunjang

1. Antenatal
• USG (fetomaternal): Tampak lipatan leher berlebih
pada janin  dipastikan dengan Amniosentesis
• Chronic Villuos Sampling (CVS): Pengambilan bagian
dari plasenta awal
• Amniosentesis dan CVS  chromosomal analysis

2. Postnatal
• Tes darah  kariotipe
Turner Syndrome: Tatalaksana

• Memperbaiki 2 gambaran klinis: perawakan pendek dan


gangguan perkembangan seksual

Memicu Pubertas
• Sel indung telur tidak berfungsi  terapi pengganti
estrogen, pemberian terapi estrogen tidak boleh ditunda
melewati usia 13.5 tahun bila memungkinkan
• Dosis awal estrogen sekitar 0.5 mg setiap 2 hari dan secara
bertahap ditingkatkan menjadi dosis dewasa 2 mg setiap
hari.
• Menstruasi pertama  tambahkan progesteron. Diberikan
setiap bulan, bulan kedua, atau setiap bulan ketiga.
Pemberian progesteron setiap 12-14 hari penting untuk
pembersihan dinding rahim secara sempurna.
Turner Syndrome

Klinefelter Syndrome (XXY Down Syndrome (Trisomy 21): extra


Syndrome) full/partial copy of chromosome 21

Marfan Syndrome (genetic Fragile X Syndrome (FXS/Martin-


disorder  connective tissue) Bell Syndrome: genetic 
developmental problems)
TO 3
42. Infektif Endokarditis (IE)
• Definisi :
– Invasi dan multiplikasi mikroorganisme pada endocardium,
dan/atau katup jantung yang melibatkan pembentukan
trombus (vegetasi) yang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan endokardium dan katup
• Faktor resiko
– Anak dengan PJB sianotik  35-50% anak dengan IE
memiliki PJB
• Paling sering pada anak dengan stenosis katup aorta, koartasio
aorta, ASD primum, VSD dan TOF
– Pemasangan central venous cathether (bayi prematur, anak
– anak dengan kondisi kritis)
– Rheumatic heart disease
– IVDU  bukan faktor resiko IE pada anak
Infective Endocarditis
• Endocarditis:
Exudative and proliferative inflammatory alterations
of the endocardium, characterized by vegetations on
the endocardial surface or within the endocardium.

• Infective Endocarditis:
Invasion and multiplication of microorganisms on the
endocardial surface, within the endocardium, within
the myocardium, or on prosthetic materials within
and around cardiac structures.
• Acute Endocarditis: • Healed Endocarditis: A surgical
A severe form of infective term indicating an operation
endocarditis. It can become life carried out in the absence of
threatening within days. obvious local cardiac infection.
• Subacute Endocarditis:
A form of infective endocarditis • Native Valve Endocarditis:
that develops subtly over a period Infectious endocarditis involving
of weeks to several months. It a patient’s own (native) heart
may produce symptoms for valve
months before heart valve
damage or emboli make the
diagnosis clear. • Prosthetic Valve Endocarditis:
• Active Endocarditis: Infectious endocarditis involving
a surgically implanted prosthetic
A surgical term indicating an
heart valve
operation carried out in the
presence of obvious local cardiac
infection (< 2 weeks antibiotics
therapy)
Etiologi & sumber infeksi

Kumar & Clarks


Clinical
Medicine. 8th
ed.
Patogenesis endokarditis infektif

• Patogenesis IE melibatkan patogen, kerusakan


endotelium, pembentukan fibrin dan platelet
– Permukaan endokardium mengalami kerusakan
akibat turbulensi aliran darah yang muncul karena
PJB ataupun pemakaian CVC
– Endotel yang rusak menjadi tempat perlekatan
platelet, fibrin, dan eritrosit  trombus
– Bakteremia  bakteri menempel pada endotel
yang rusak dan trombus  ditutupi lagi oleh fibrin
dan platelet  protective sheath pada trombus
Tahapan patogenesis endokarditis

• Kerusakan endotel
katup
• Pembentukan trombus
fibrin-trombosit
• Perlekatan bakteri pada
plak trombus-trombosit
• Proliferasi bakteri lokal
dengan penyebaran
hematogen
Manifestasi klinis: Endokarditis infektif

• Fever, possibly low-grade and intermittent, is present in


90% of patients with IE.
• Heart murmurs are heard in approximately 85% of patients.
• One or more classic signs of IE are found in as many as 50%
of patients. They include the following:
– Petechiae: Common, but nonspecific, finding
– Subungual (splinter) hemorrhages: Dark-red, linear lesions in
the nail beds
– Osler nodes: Tender subcutaneous nodules usually found on the
distal pads of the digits
– Janeway lesions: Nontender maculae on the palms and soles
– Roth spots: Retinal hemorrhages with small, clear centers; rare

http://emedicine.medscape.com/article/216650-overview
Endokarditis Bakterialis
CLINICAL FEATURE & DIAGNOSTIC
European Society of Cardiology 2015 modified criteria
CLINICAL FEATURE
Minor Criteria

Roth Spot Osler Node

Janeway Mycotic Splinter Hemmoraghe


Lesion Aneurysm
CLINICAL FEATURE & DIAGNOSTIC
European Society of Cardiology 2015 modified criteria
Penatalaksanaan
• Prinsip penatalaksanaan IE pada anak
sama dengan dewasa
• Pada IE akut, harus dilakukan
pengambilan kultur darah sehingga
terapi antibiotik empiris segera dapat
diberikan
• Terapi pembedahan:
– “Definitions of early surgery. There is
no consensus as to the optimal
timing of early surgery”
– The ESC guideline : emergent
(within 24 hours), urgent (within a
few days), elective (after 1-2 weeks
of antibiotic therapy).
– The AHA/ACC guideline :early
surgery as occurring during the
initial hospitalization and before
completion of a full therapeutic
course of antibiotics
ANTIMICROBIAL THERAPY
(ESC – empirical treatment)
43. Pansitopenia ec Anemia Aplastik

Manifestasi klinis disebabkan oleh


sitopenia

Anemia Trombositopenia Leukopenia

Pucat, lemah, Ptekiae, epistaksis,


dispnea perdarahan gusi, Demam, infeksi
menoragia

 Tidak ada limfadenopati atau splenomegali


Lichtman MA, Segel GB. Aplastic anemia: acquired and inherited. In: Lichtman et al, editors. William’s hematology. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2010. p.463-79
PANCYTOPENIA

• Kondisi bersamaan adanya anemia,


trombositopenia, dan leukopenia
APLASTIC ANEMIA:
• Failure of two or more cell lines
• Anaemia, leukopenia, thrombocytopenia
(pancytopenia) + hypoplasia or aplasia of the
marrow
• Pathology: Reduction in the amount of
haemopoietic tissue  inability to produce
mature cells for discharge into the bloodstream
• no hepatomegaly; no splenomegaly; no
lymphadenopathy;
• Hallmark: peripheral pancytopenia with
hypoplastic/ aplastic bone marrow
CLASSIFICATION:
• Idiopathic
• Secondary:
– idiosyncratic drug reaction
– chemical exposure
– infectious hepatitis
– paroxysmal nocturnal haemoglobinuria
• Constitutional (inherited/congenital)
– Diamond-Blackfan syndrome
– Shwachmann-Diamond syndrome
– Fanconi anemia
– Dyskeratosis Congenita
– TAR (thrombocytopenia with absent radii)
– Amegakaryocytic thrombocytopenia
ACQUIRED APLASTIC ANEMIA -
CAUSES
• Radiation • Immune diseases:
• Drugs and chemicals – eosinophilic fascitis
– chemotherapy – thymoma
– Benzene • Pregnancy
– Chloramphenicol: • PNH
idiosyncratic; sudden
onset after several • Marrow replacement:
months; 1 of every – leukemia
20,000, irreversible – Myelofibrosis
– organophosphate – myelodysplasia
• Viruses:
– CMV
– EBV
– Hep B, C,D
– HIV
PATHOPHYSIOLOGY
• Direct destruction of haemopoietic
progenitors
• Disruption of marrow micro-environment
• Immune mediated suppression of marrow
elements
 Cytotoxic T cells in blood and marrow
release gamma IFN and TNF  inhibit early
and late progenitor cells
CLINICAL FEATURES
RBC (anemia)
• Progressive and persistent pallor
• Anemia related symptoms
WBC (Leucopenia/neutropenia)
• Prone to infections - Pyodermas, OM,
pneumonia, UTI, GI infections, sepsis
Platelets (Thrombocytopenia)
• Petechiae, purpura, ecchymoses
• Hematemesis, hematuria, epistaxis, gingival bleed
• Intracranial bleed-headache, irritability,
drowsiness, coma
Blood picture:
• Anemia-normocytic, normochromic
• Leukopenia (neutropenia)
• Relative lymphocytosis
• Thrombocytopenia
• Absolute reticulocyte count low
• Mild to moderate anisopoikilocytosis
Gold standard
• Bone Marrow Puncture : dry aspirate,
hypocellular with fat (>70% yellow marrow)
Evaluasi pasien kondisi anemia
normositik normokrom

https://bestpractice.bmj.com/topics/en-us/93/diagnosis-approach
44. Pubertas Prekoks

• Definisi: tanda-tanda • GnRH dependent (central) :


maturasi seksual sebelum early reactivation of
usia 8 tahun pada Hypothalamus-pitutary-
perempuan dan 9 tahun gonad axis
pada laki-laki • GnRH independent
• Lebih banyak pada (peripheral): autonom sex
perempuan steroid , not affected by
• Perempuan  idiopatik; Hypothalamus-pitutary-
laki-laki  kelainan CNS gonad axis
• Variant
– thelarche prematur
– adrenarche prematur
Etiologi
GnRH dependent (sentral) GnRH independent (perifer);
• idiopatik Lelaki:
• kelainan SSP • (isoseksual)
– tumor – adrenal: tumor, CAH
– non-tumor: pasca infeksi, – testes : tumor sel Leydig,
radiasi, trauma, kongenital familial testotoksikosis
• Iatrogenik – gonadotropin-secreting tumor:
• non SSP: hepatoma, germinoma,
• keterlambatan diagnosis pada teratoma
GIPP • SSP: germinoma, adenoma (LH
secreting)
• Heteroseksual
– peningkatan aromatisasi perifer

Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan
Etiologi

GnRH independent (perifer), perempuan:


• (isoseksual)
– McCune Albright
– Hipotiroid berat
• heteroseksual
– adrenal: tumor, CAH
– Tumor ovarium:arrhenoblasto ma

Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan
Gejala + Tanda
GnRH Dependent Precoccious GnRH Independent Precoccious
Puberty Puberty
• Selalu isoseksual • Isoseksual atau heteroseksual
• perkembangan tanda-tanda (late onset CAH, tumor
pubertas adrenal)
• mengikuti pola stadium • perkembangan seks sekunder
pubertas normal tidak sinkron (volume testes
• gambaran hormonal: tidak sesuai dengan stadium
peningkatan aktivitas pubertas - lebih kecil)
hormonal di seluruh poros • peningkatan kadar seks steroid
tanpa disertai peningkatan
kadar GnRH dan LH/FSH

Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan
Gejala Klinis akibat Peningkatan
Hormon Seks Steroid
• Efek estrogen →
– ”tall child but short adult” -
karena penutupan epifisis
tulang dini
– ginekomastia
• Efek testosteron
– hirsutism
– Acne
– male habitus
• Efek umum
– sexual behavior
– agresif
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan
Stadium Tanner
PENDEKATAN PUBERTAS PREKOKS PADA
PEREMPUAN
Anamnesis

• Usia awitan saat terjadi pubertas dan progresivitas perubahan fisik


pubertal.
• Pola pertumbuhan (kecepatan tumbuh) anak sejak bayi.
• Adanya kelainan SSP atau gejala kelainan SSP
• Riwayat penyakit dahulu
– kemoterapi, radiasi, operasi, trauma atau infeksi SSP, riwayat konsumsi
obat-obatan jangka panjang (obat yang mengandung hormon steroid
seks)
• Riwayat penyakit keluarga
– riwayat pubertas anggota keluarga yang lain, tinggi badan, dan rerata
pertumbuhan orangtua dan saudara kandungnya.
• Adanya paparan kronik terhadap hormon seks steroid eksogen.
Pemeriksaan fisis
• Pengukuran tinggi badan, berat badan, rasio segmen atas/bawah
tubuh.
• Palpasi tiroid: ukuran, ada tidaknya nodul, konsistensi, dan bruit
• Status pubertas sesuai dengan skala maturasi Tanner
– Perempuan: rambut aksila (A), payudara atau mammae (M), dan
rambut pubis (P).
– Laki-laki: rambut aksila (A), rambut pubis (P), dan genital (G).
• Lesi kulit hiperpigmentasi menunjukkan neurofibromatosis atau
sindrom McCune- Albright.
• Palpasi abdomen untuk mendeteksi adanya tumor
intraabdomen.
• Pemeriksaan status neurologis, funduskopi, visus.
Pemeriksaan laboratorium + Radiologi
• Nilai basal LH dan FSH. • RUTIN:
– Kadar basal LH basal >0,83 U/L – Usia tulang/bone age
menunjang diagnosis pubertas
prekoks sentral. – USG pelvis pada anak
– rasio LH/FSH lebih dari satu
perempuan
menunjukkan stadium pubertas. • ATAS INDIKASI:
• Hormon seks steroid: estradiol – Ultrasonografi testis pada
pada anak perempuan dan anak laki-laki jika terdapat
testosteron pada anak laki- laki. asimetri pembesaran testis.
• Kadar DHEA – USG atau CT-Scan abdomen.
(dehydroepiandrosterone) atau – MRI kepala untuk mencari lesi
DHEAS (DHEA sulfate) jika hipotalamus
terdapat bukti adrenarke.
• Tes stimulasi GnRH/GnRHa: kadar
puncak LH 5-8 U/L menunjukkan
pubertas prekoks progresif.
Tatalaksana

• ditujukan langsung pada penyebab


• Tumor SSP atau tumor yang memproduksi hormon seks
steroid: bedah, radiasi atau kemoterapi yang sesuai.
• Terapi subsitusi kortisol dengan hidrokortison suksinat
pada HAK.
• Terapi substitusi hormon tiroid pada hipotiroid primer.
• Pubertas prekoks sentral idiopatik: penggunaan GnRH
agonis.
• Pubertas prekoks perifer: keberhasilan tata laksana
penyakit yang mendasarinya
45. Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Bayi Baru Lahir

Ikterus atau Hiperbilirubinemia :


menunjukkan pewarnaan pada kulit, sklera atau membran mukosa sebagai akibat
penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan.

Ikterus baru terlihat bila kadar bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL.
Ikterus pada neonatus merupakan sesuatu yang unik dan membutuhkan
perhatian khusus, karena:

Neonatus sedang mengalami Bilirubin indirek dapat Penyakit herediter mungkin


proses maturasi yang mungkin mencapai kadar toksik menunjukkan manifestasi
akan mempengaruhi perjalanan (kernikterus) sehingga klinisnya pada periode usia
penyakit harus didiagnosis dini ini
Metabolisme Bilirubin

80 – 90% bilirubin berasal dari pemecahan


Hb di eritrosit, 10 -20 % dari protein
mengandung heme

• Biliverdin  unconjugated / bilirubin


indirek
•Enzim : biliverdin reductase
• lokasi : plasma
•Unconjugated bilirubin  conjugated/
bilirubin direk
•Enzim UGT mengkonjugasi
bilirubin dengan asam glukoronat
•Lokasi di liver
•Conjugated bilirubin  urobilinogen +
stercobilin
•Enzim dari bakteri, lokasi di intestin
•Conjugated bilirubin  unconjugated
bilirubin
•Beta glucoronidase
•Lokasi di intestin, membuat
bilirubin indirek masuk ke siklus
enterohepatik
Patomekanisme Hiperbilirubinemia

↑ Produksi blirubin (ex.


Hemolisis) i

↓ambilan bilirubin oleh


hepatosit

↓ ikatan bilirubin
intrahepatosit

gangguan konjugasi bilirubin

↓sekresi bilirubin

↓ekskresi bilirubin
Etiologi
Ikterus Neonatorum
• Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis.
• Ikterus fisiologis:
– Awitan terjadi setelah 24 jam
– Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB)
– Ikterus fisiologis berlebihan → ketika bilirubin serum puncak adalah 7-15
mg/dl pada NCB
• Ikterus non fisiologis:
– Awitan terjadi sebelum usia 24 jam
– Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam
– Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
– Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB
– Tanda penyakit lain
• Gangguan obstruktif menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai
bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total
bilirubin jika bil total >5mg/dL. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista
duktus koledokus.

Indrasanto E. Hiperbilirubinemia pada neonatus.


Zona 1 2 3 4 5

Definisi Kepala Kulit Kulit tubuh Lengan Telapak


dan leher tubuh di di bawah dan tangan
atas pusar pusar dan tungkai dan kaki
paha

Kadar bilirubin 4-8 5 - 12 8 - 16 11 – 18 >1 5


serum (mg/dL)

Ikterus biasanya mulai terlihat di wajah lalu menyebar dengan arah


cephalocaudal ke tubuh dan akhirnya ekstrimitas.

Ikterus pada Neonatus perlu dievaluasi lebih lanjut bila:


1. Ikterus timbul saat lahir atau pada hari pertama kehidupan
2. Kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat (>5 mg/Dl/hari)
3. Kadar bilirubin serum > 12 mg/Dl pada bayi cukup bulan dan 10-14
mg/dL/24 jam pada bayi preterm
4. Ikterus menetap pada usia 2 minggu atau lebih
5. Peningkatan bilirubin direk > 2 mg/ dL
Kolestatis

Bilirubin Bilirubin Direk Larut air: dibuang lewat ginjal


indirek

OBSTRUKSI

Urin warna
teh

Feses warna
Tidak ada bilirubin direk yg menuju usus
Dempul
Kolestasis (Cholestatic Liver Disease)
• Definisi : Keadaan bilirubin direk > 1 mg/dl bila bilirubin total < 5
mg/dl, atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar
bil.total >5 mg/dl
• Kolestasis : Hepatoselular (Sindrom hepatitis neonatal) vs Obstruktif
(Kolestasis ekstrahepatik)
• Sign and Symptom : Jaundice, dark urine and pale stools,
nonspecific poor feeding and sleep disturbances, bleeding and
bruising, seizures
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
Atresia Bilier
• Merupakan penyebab kolestasis tersering dan serius pada bayi yang
terjadi pada 1 per 10.000 kelahiran
• Ditandai dengan adanya obstruksi total aliran empedu karena destruksi
atau hilangnya sebagian atau seluruh duktus biliaris. Merupakan proses
yang bertahap dengan inflamasi progresif dan obliterasi fibrotik saluran
bilier
• Etiologi masih belum diketahui
• Tipe embrional 20% dari seluruh kasus atresia bilier,
– sering muncul bersama anomali kongenital lain seperti polisplenia, vena porta
preduodenum, situs inversus dan juga malrotasi usus.
– Ikterus dan feses akolik sudah timbul pada 3 minggu pertama kehidupan
• Tipe perinatal yang dijumpai pada 80% dari seluruh kasus atresia bilier,
ikterus dan feses akolik baru muncul pada minggu ke-2 sampai minggu ke-
4 kehidupan.

Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007
Pemeriksaan Diagnostik Atresia Bilier
• USG: pembesaran hati, tidak ada dilatasi bilier,
panjang kandung empedu < 1,5 cm, kolaps
tidak berlumen atau tidak terlihat. Selain itu
kontraktilitas kandung empedu rendah atau
tidak ada kontraksi, yang dinilai setelah puasa
4 jam, triangular cord sign
• Kriteria diagnostic: TC sign dengan ketebalan >
4 mm. Selain itu pada atresia biliaris tipe kistik
dapat dilihat adanya kista pada porta hepatis
Pemeriksaan Diagnostik Atresia Bilier
• Biopsi hati
• HIDA Scan (Hepatobiliary
scintigraphy)digunakan untuk menilai fungsi
sistem hepatobilier dan menganalis fungsi dari
keduanya.
• ERCP, PTC
• Gold standard: kolangiografi intraoperatif
Triangular Cord Sign in USG
• The triangular cord sign is a triangular or tubular
echogenic cord of fibrous tissue seen in the porta
hepatis at ultrasonography and is relatively specific in
the diagnosis of biliary atresia.

• This sign is useful in the evaluation of infants with


cholestatic jaundice, helping for the differential
diagnosis of biliary atresia from neonatal hepatitis.

• It is defined as more than 4 mm thickness of the


echogenic anterior wall of the right portal vein (EARPV)
measured on a longitudinal ultrasound scan.
Biliary Atresia Type

 Type I: atresia of the common bile


duct
 Type IIa: atresia of the common
hepatic duct
 Type IIb: atresia of common bile duct,
cystic duct, and common hepatic duct
 Type III: atresia of the common bile
duct, cystic duct, and hepatic ducts up
to the porta hepatis. This is the
subtype present in over 90% of
patients with biliary atresia
Atresia Bilier
• Gambaran klinis: biasanya terjadi pada bayi perempuan,
lahir normal, bertumbuh dengan baik pada awalnya, bayi
tidak tampak sakit kecuali sedikit ikterik. Tinja
dempul/akolil terus menerus. Ikterik umumnya terjadi
pada usia 3-6 minggu
• Laboratorium : Peningkatan SGOT/SGPT ringan-sedang.
Peningkatan GGT (gamma glutamyl transpeptidase) dan
fosfatase alkali progresif.
• Diagnostik: USG dan Biopsi Hati
• Terapi: Prosedur Kasai (Portoenterostomi)
• Komplikasi: Progressive liver disease, portal hypertension,
sepsis

Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007
46. Tatalaksana Tersedak
Algoritma
penanganan
tersedak anak

https://www.resus.org.uk/resuscitation-guidelines/paediatric-basic-life-
support/#choking
Cricothyroidotomy/ Cricothyrotomy
• Jalan napas buatan dengan
insisi pada membran krikoid
• Diindikasikan pada situasi
dimana usaha lain untuk
mempertahankan jalan
napas gagal
– Trauma yg meliputi daerah
oral, faringeal, atau nasal
– Spasme otot wajah atau
laringospasme
– Stenosis jalan napas atas
– Gigi yg terkatup
– Obstruksi jalan napas: edema
orofaringeal (anafilaksis),
obstruksi benda asing

POSISI KRIKOTIROTOMI
Krikotirotomi VS Trakeostomi
• Cricotirotomi:
– biasa dilakukan pada kasus
emergensi/ darurat krn lbh
mudah utk dilakukan
– Insisi pada membran krikoid
• Trakeostomi:
– untuk jangka waktu lama
– Insisi di antara cincin trakea

POSISI TRAKEOSTOMI
47. Hormon tiroid dan hipotiroid
kongenital
• Thyroid Function:
– normal brain growth and myelination and for normal neuronal
connections.
– The most critical period fis the first few months of life.
• The thyroid arises from the fourth branchial pouches.
• The thyroid gland develops between 4 and 10 weeks' gestation.
• By 10-11 weeks' gestation, the fetal thyroid is capable of producing
thyroid hormone.
• By 18-20 weeks' gestation, blood levels of T4 have reached term levels.
• The fetal pituitary-thyroid axis is believed to function independently of
the maternal pituitary-thyroid axis.

http://emedicine.medscape.com/article/919758-overview#aw2aab6b2b2aa
http://www.montp.inserm.fr/u632/images/TR-CAR1.gif
Hipotiroid Kongenital
• Hipotiroid kongenital adalah kelainan fungsi dari
kelenjar tiroid yang didapat sejak bayi baru lahir.
• Kondisi ini dapat terjadi karena kelainan anatomi
atau gangguan metabolisme pembentukan hormon
tiroid atau defisiensi iodium.
• Thyroid Releasing Hormone (TRH), iodium dan
hormone tiroksin (T4) bisa melewati plasenta
• Namun, antibodi (TSH receptor antibody) dan obat
anti tiroid yang dimakan ibu, juga dapat melewati
plasenta. Akan tetapi TSH dari ibu, tidak bisa
melewati plasenta.

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Hipotiroid kongenital pada Anak

• Merupakan salah satu penyebab retardasi


mental yang dapat dicegah. Bila terdeteksi
setelah usia 3 bulan, akan terjadi penurunan
IQ bermakna.
• Tata laksana tergantung penyebab. Sebaiknya
diagnosis etiologi ditegakkan sebelum usia 2
minggu dan normalisasi hormon tiroid
(levotiroksin) dengan levotiroksin harus
dilakukan secepatnya

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Hipotiroid Kongenital
Saat usia 10-11 minggu kehamilan, kelenjar tiroid fetal
sudah dapat menghasilkan hormone tiroid
Bila terjadi penghambatan maka akan menghasilkan
hipotiroid kongenital, contoh:
• Immunoglobulin G (IgG) autoantibodies, seperti pada
tiroiditis autoimmune seperti hashimoto, bisa
melewati plasenta dan menghambat fungsi tiroid
• Thioamides (PTU) yang bisa melewati plasenta juga
mencegah produksi hormone tiroid fetal
• Radioactive iodine pada ibu hamil bisa mengablasi
kelenjar tiroid fetus secara permanen
http://emedicine.medscape.com/article/919758-overview#aw2aab6b2b2aa
Etiologi
Etiologi
Manifestasi klinis
• Most affected infants have few or no
symptoms, because their thyroid hormone
Manifestasi
level is only slightly low. However, infants
with severe hypothyroidism often have a klinis
unique appearance, including:
– Dull look
– Puffy face
– Thick tongue that sticks out
• This appearance usually develops as the
disease gets worse. The child may also have:
– Choking episodes
– Constipation
– Dry, brittle hair
– Jaundice
– Lack of muscle tone (floppy infant)
– Low hairline
– Poor feeding
– Short height (failure to thrive)
– Sleepiness
– Sluggishness

Neeonatal hypothyroidism. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002174/


Kretinisme
• Kretin merupakan keadaan hipotiroid berat dan ekstrim
yang terjadi pada waktu bayi dan anak yang ditandai
dengan kegagalan pertumbuhan
– Kretinisme endemik merupakan kretinisme yang terjadi pada bayi
yang lahir pada daerah dengan asupan yodium yang rendah serta
goiter endemik; sehingga mengalami kekurangan yodium yang
berat pada masa fetal
– Kretinisme sporadik merupakan kretinisme akibat hipotiroid
kongenital
• Seseorang dikatakan kretin endemik jika ia lahir di daerah
gondok endemik dan menunjukkan dua gejala atau lebih:
retardasi mental, tuli sensorineural nada tinggi, gangguan
neuromuskular
Manifestasi klinis

• 3 tipe kretinisme sporadik:


– Tipe nervosa: RM berat, bisu tuli, strabismus,
paresis sistem piramidalis tungkai bawah, spastik
ataksik (motor rigidity)
– Tipe miksedema: RM dengan derajat lebih ringan;
dan tanda hipotiroid klinis seperti perawakan
pendek, miksedema, kulit kering, rambut jarang,
perkembangan seksual terhambat, spastik tungkai
bawah, gangguan gaya jalan
– Tipe campuran: gabungan antara keduanya
http://findmeacure.com/2008/04/13/growth-disorders/
Pemeriksaan penunjang
• Pemeriksaan kadar hormon TSH, fT4, dan T3
• Pada pemeriksaan radiologis:
– Bone age: temuan radiologis yang tipikal pada
kretinisme adalah bone age yang terlambat. Pusat
osifikasi sering mengalami malformasi dan
memiliki bentuk yang ireguler
– Pemeriksaan skintigrafi kelenjar tiroid (sidik tiroid)
– USG bisa dijadikan alternatif sidik tiroid
Figure 3 Diagnostic algorithm for the detection of primary congenital hypothyroidism

Grüters, A. & Krude, H. (2011) Detection and treatment of congenital hypothyroidism


Nat. Rev. Endocrinol. doi:10.1038/nrendo.2011.160
Algoritma American Academy of
Pediatrics
Skrining
• Pengambilan spesimen darah yang paling ideal adalah ketika umur
bayi 48 sampai 72 jam.
• Namun, pada keadaan tertentu pengambilan darah masih bisa
ditolerir antara 24–48 jam (contoh: ibu pulang paksa).
• Akan tetapi, sebaiknya darah tidak diambil dalam 24 jam pertama
setelah lahir karena pada saat itu kadar TSH masih tinggi, sehingga
akan memberikan sejumlah hasil tinggi/positif palsu (false positive).
• Jika bayi sudah dipulangkan sebelum 24 jam, maka spesimen perlu
diambil pada saat kontrol, tepatnya saat bayi berusia 48 sampai 72
jam
• Sampel darah diteteskan di kertas saring dan diperiksa di
laboratorium
• Hasil sudah bisa diperoleh dalam 1 minggu

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Skrining Hipotiroid (Kemenkes)
• Kadar TSH < 20 μU/mL berarti normal
– Jika kadar TSH antara ≥ 20 μU/mL , perlu pengambilan spesimen ulang
(resample) atau pemeriksaan sampel sekali lagi (DUPLO)
• Bila pada hasil ulang didapatkan:
– Kadar TSH < 20 μU/mL, maka hasil tersebut dianggap normal.
– Kadar TSH ≥ 20 μU/mL, maka harus dilakukan pemeriksaan TSH dan
FT4 serum
• Jika kadar serum neonatus TSH tinggi disertai kadar T4 atau FT4
rendah, maka dapat ditegakkan diagnosis hipotiroid (kongenital)
primer.
• Pengobatan dengan L-T4 diberikan segera setelah hasil tes
konfirmasi di atas.
• Pemberian tiroksin dikonsultasikan dengan dokter spesialis anak
konsultan endokrin.

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Tatalaksana
• Pengobatan dengan L-T4 diberikan segera setelah hasil tes
konfirmasi.
• Bayi dengan hipotiroid berat diberi dosis tinggi, sedangkan bayi
dengan hipotiroid ringan atau sedang diberi dosis lebih rendah.
• Bayi yang menderita kelainan jantung, mulai pemberian 50% dari
dosis, kemudian dinaikkan setelah 2 minggu.
Dosis levotiroksin (L-T4)

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Evaluasi terapi
• Pemantauan pertama setelah 2 minggu sejak pengobatan
tiroksin
• Selanjutnya tiap 4 minggu sampai kadar TSH normal
• Tiap 2 bulan sampai umur 12 bulan
• Dari umur 1 – 3 tahun, pemantauan klinis dan
laboratorium tiap 4 bulan
• Selanjutnya tiap 6 bulan sampai selesai masa
pertumbuhan.
• Setelah umur 18 tahun, dialihrawatkan pada ahli penyakit
• dalam.
• Pemeriksaan sebaiknya dilakukan lebih sering bila
kepatuhan minum obat meragukan, atau ada perubahan
dosis (4 – 6 minggu setelah perubahan dosis.
Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014
Target pengobatan

• Nilai T4 serum,130 – 206 nmol/L (10 – 16


μg/dl )
• FT4 18 – 30 pmol/L (1,4 - 2,3 μg/dl) kadar FT4
ini dipertahankan pada nilai di atas 1,7 μg/dl
(75% dari kisaran nilai normal). Kadar ini
merupakan kadar optimal.
• Kadar TSH serum, sebaiknya dipertahankan di
bawah 5 μU/mL

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


48. Pertusis
• Batuk rejan (pertusis) adalah penyakit akibat
infeksi Bordetella pertussis dan Bordetella
parapertussis (basil gram -)
• Karakteristik : uncontrollable, violent coughing
which often makes it hard to breathe. After fits
of many coughs needs to take deep breathes
which result in a "whooping" sound.
• Anak yang menderita pertusis bersifat infeksius
selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah
terjadinya penyakit
Stadium Pertusis
• Stadium katarrhal: hidung tersumbat, rinorrhea, demam
subfebris. Sulit dibedakan dari infeksi biasa. Penularan terjadi
dalam stadium ini.
• Stadium paroksismal: Batuk paroksismal yang dicetuskan oleh
pemberian makan (bayi) dan aktivitas; fase inspiratori batuk atau
batuk rejan (inspiratory whooping); post-tussive vomiting. Dapat
pula dijumpai: muka merah atau sianosis; mata menonjol; lidah
menjulur; lakrimasi; hipersalivasi; distensi vena leher selama
serangan; apatis; penurunan berat badan
• Stadium konvalesens: gejala akan berkurang dalam beberapa
minggu sampai dengan beberapa bulan; dapat terjadi petekia
pada kepala/leher, perdarahan konjungtiva, dan terdengar crackles
difus.
Pemeriksaan Penunjang
• Leukosit dan hitung jenis sel: Leukositosis (15.000-100.000/mm3)
dengan limfositosis absolut
• IgG terhadap toksin pertusis: Didapatkan antibodinya (IgG
terhadap toksin pertusis)
• Foto toraks: Infiltrat perihiler atau edema, atelektasis, atau
empiema
• Diagnosis pasti apabila ditemukan organisme pada apus
nasofaring (bahan media Bordet-Gengou) dengan menggunakan
media transpor (Regan-Lowe)
Tatalaksana
• Suportif umum (terapi oksigen dan ventilasi mekanik jika dibutuhkan)
• Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi
terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia
• Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7
hari selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi
antibiotik tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah
pemberian terapi hari ke-5
• Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol,
dan beta- 2-adrenergik lainnya, serta belum terbukti efektif sebagai terapi
pertusis.
• Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianotik,
hipoksia dan/ atau dehidrasi.
• Terapi antibiotik: Tujuan farmakoterapi adalah menghilangkan infeksi,
mengurangi morbiditas, dan mencegah kompilkasi.
• Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga
49. Diabetes Melitus Tipe 1
• Merupakan kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme
glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik.
• Insidensi tertinggi pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun
• Komplikasi : Hipoglikemia, ketoasidosis diabetikum,
retinopathy , nephropathy and hypertension, peripheral and
autonomic neuropathy, macrovascular disease
• Manifestasi Klinik:
– Poliuria,polidipsia, polifagia ,dan penurunan berat badan
– Pada keadaan akut yang berat: muntah, nyeriperut, napascepat
dan dalam, dehidrasi, gangguan kesadaran

1. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes Foundation. 2009
2. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM tipe-1). RSCM. 2007
Diabetes melitus tipe 1
• Terjadi akibat kerusakan sel beta pancreas  defisiensi
insulin absolut
• Meliputi 90% diabetes pada anak dan remaja
• Penyebab:
– Autoimun : cellular mediated autoimmune. Marker
autoimun: islet cell autoantibodies, autoantibodi terhadap
insulin (IAA), autoantibodies to GAD (GAD65), autoantibodi
terhadap tyrosine phosphatases IA-2 dan IA-2β, serta
autoantibodi terhadap zinc transporter 8 (ZnT8)
– Idiopatik
• Tidak termasuk kerusakan beta pancreas akibat kondisi
khusus: defek mitokondria, cystic fibrosis

PPM IDAI 2009


Pola gambaran klinis saat onset
• Klasik
– Polidipsi, poliuri, polifagi, penurunan berat badan nyata
dalam 2-6 minggu, mudah Lelah
– Irritable, penurunan prestasi sekolah, infeksi kulit berulang,
kandidiasis vagina pada anak prepubertas wanita, gagal
tumbuh, kurus (berbeda dengan DM tipe 2 biasanya gemuk)
• Silent diabetes
– Jarang dijumpai, biasanya ditemukan saat skrining atau
pemeriksaan khusus karena ada anggota keluarga penderita
dengan DM tipe 1
• Ketoasidosis diabetic
– Awitan gejala klasik cepat dalam beberapa hari
– Tampak sesak napas (napas kussmaul), letargi, nyeri perut,
muntah berulang, dehidrasi, napas bau aseton, tanda syok,
poliuri meski dehidrasi
Perjalanan alamiah DM tipe 1
• Bisa ada honeymoon periode
• Yakni periode remisi (parsial/total) akibat
berfungsi kembali jaringan residual pancreas
sehingga kembali sekresikan insulin  berakhir
bila pancreas sudah habiskan seluruh sisa insulin
• Curigai bila ada penderita baru DM tipe 1 sering
alami serangan hipoglikemia sehingga kebutuhan
insulin harus dikurangi untuk cegah hipoglikemia
• Remisi parsial: dosis insulin <0.5 U/kg/hari, dan
HbA1c <7%
Konsensus Nasional Pengelolaan DM tipe 1 IDAI 2015.
Pemeriksaan penunjang
• Kadar GDS ≥200 mg/dl
• Kadar GDP ≥126 mg/dl (puasa: tidak ada asupan kalori
selama 8 jam)
• Kadar gula darah 2 jam pasca toleransi glukosa ≥200
mg/dl
• Kadar C-peptide (lihat fungsi sel beta residu yang masih
produksi insulin, digunakan bila sulit bedakan DM tipe
1 dan 2)
• HbA1c setiap 3 bulan rutin, menilai perubahan terapi
8-12 minggu sebelumnya dan kendali gula darah
• Marker autoantibodi, hanya 70-80% memberikan hasil
posited (ICA, IAA)
Konsensus Nasional Pengelolaan DM tipe 1 IDAI 2015.
Kriteria diagnosis (1)
1. Ditemukan gejala klinis klasik (polyuria,
polydipsia, nocturia, enuresis, penurunan berat
badan, polifagia), dan kadar GDS ≥200 mg/dl,
atau
2. Kadar GDP ≥126 mg/dl, atau
3. Kadar gula darah ≥200 mg/dl pada jam ke-2
TTGO, atau
4. HbA1c >6.5% (standar NGSP dan DCCT)
5. Pada penderita asimptomatis dengan GDS ≥200
mg/dl, harus konfirmasi dengan GDP atau
TTGO terganggu.
Konsensus Nasional Pengelolaan DM tipe 1 IDAI 2015.
Kriteria diagnosis (2)
Tes Toleransi Glukosa
• Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) tidak perlu dilakukan
untuk mendiagnosis DM tipe-1, karena gambaran klinis yang khas.
• Indikasi TTG pada anak adalah pada kasus-kasus yang meragukan
yaitu ditemukan gejala-gejala klinis yang khas untuk DM, namun
pemeriksaan kadar glukosa darah tidak menyakinkan.
• Dosis glukosa yang digunakan pada TTG adalah 1,75 g/kgBB
(maksimum 75 g).
• Glukosa tersebut diberikan secara oral (dalam 200-250 ml air)
dalam jangka
• waktu 5 menit.
• Tes toleransi glukosa dilakukan setelah anak mendapat diet tinggi
karbohidrat (150-200 g per hari) selama tiga hari berturut-turut dan
anak puasa semalam menjelang TTG dilakukan.
– Selama tiga hari sebelum TTG dilakukan, aktifitas fisik anak tidak
dibatasi.
– Anak dapat melakukan kegiatan rutin sehari- hari.
• Sampel glukosa darah diambil pada menit ke 0 (sebelum diberikan
glukosa oral), 60 dan 120.
50. Demam rematik
• Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat
GABHS (Streptococcus pyogenes)
• Usia rerata penderita: 10 tahun
• Komplikasi: penyakit jantung reumatik
• Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis
GABHS setelah 1-5 minggu
• Pengobatan:
– Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/
ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I
– Dalam kasus demam rematik:
• Antibiotik: penisilin/eritromisin
• Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid
• Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview
Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Ket: ASO=ASTO
Physical Findings
• Migratory Polyarthritis • Characteristic murmurs of acute
– is the most common symptom carditis include
– (polyarticular, fleeting, and – the high-pitched, blowing,
involves the large joints) holosystolic, apical murmur of mitral
– frequently the earliest regurgitation;
manifestation of acute – the low-pitched, apical, mid-
rheumatic fever (70-75%). diastolic, flow murmur (Carey-
• Carditis: Coombs murmur);
– and a high-pitched, decrescendo,
– (40% of patients) diastolic murmur of aortic
– and may include cardiomegaly, regurgitation heard at the aortic
new murmur, congestive heart area.
failure, and pericarditis, with or – Murmurs of mitral and aortic
without a rub and valvular stenosis are observed in chronic
disease. valvular heart disease.
• Valvulitis merupakan tanda utama
karditis reumatik :
– katup mitral (76%),
– katup aorta (13%),
– dan katup mitral+ aorta (97%).
Physical Findings
• Subcutaneous nodules (ie, Aschoff bodies):
– 10% of patients and are edematous, fragmented collagen fibers.
– They are firm, painless nodules on the extensor surfaces of the wrists,
elbows, and knees.
• Erythema marginatum:
– 5% of patients.
– The rash is serpiginous and long lasting.
• Chorea (also known as Sydenham chorea and "St Vitus dance"):
– occurs in 5-10% of cases
– consists of rapid, purposeless movements of the face and upper
extremities.
– Onset may be delayed for several months and may cease when the
patient is asleep.
Rheumatic Fever - Treatment
• Bed rest 2-6 weeks(till inflammation subsided)
• Supportive therapy - treatment of heart failure
• Anti-streptococcal therapy - Benzathine penicillin(long acting)
1.2 million units once(IM injection) or oral penicillin V 2-
3x500 mg 10 days, if allergic to penicillin  erythromycin 10
days or azithromycin 500 mg orally on day 1 followed by 250
mg orally on days 2 through 5 days (antibiotic is given even if
throat culture is negative)
• Anti-inflammatory agents: Aspirin/prednison
• Anti-inflammatory agents:
fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Antiinflamasi pada Demam rematik
• Terapi antiinflamasi harus segera dimulai setelah diagnosis demam
reumatik ditegakkan.
• Hanya artritis
– aspirin 100 mg/kg/ hari sampai 2 minggu
– dosis diturunkan menjadi 75 mg/kg/hari seiama 2-3 minggu
berikutnya.
• Karditis ringan sampai sedang
– aspirin 100 mg/kg/hari dibagi 4-6 dosis seiama 4-8 minggu, tergantung
pada respons klinis
– Bila ada perbaikan maka dosis diturunkan bertahap seiama 4-6 minggu
berikutnya.
• Karditis berat dengan gagal jantung, AV blok total, kardiomegali
– Prednison 2 mg/kg/hari diberikan seiama 2 minggu dilanjutkan
dengan aspirin 75 mg/kg/hari.
Rheumatic Fever -Pprevention
Secondary prevention – prevention of recurrent attacks
• Benzathine penicillin G 1.2 million units IM SD every 4 week
• Penicillin V 250 mg twice daily orally
• Or If allergic – Erythromycin 250 mg twice daily orally

AHA Scientific Statement


Rheumatic Fever - Prevention
Duration of secondary rheumatic fever prophylaxis
• Rheumatic fever + carditis + persistent valve disease - 10 years
since last episode or until 40 years of age (whichever is longer),
sometimes life long
• Rheumatic fever + carditis + no valvar disease – 10 years or well
into adulthood whichever is longer
• Rheumatic fever without carditis - 5 years or until 21 years
whichever is longer
(Continous prophylaxis is important since patient may have
asymptomatic GAS infection)

AHA Scientific Statement


51. Resusitasi
Neonatus
Rekomendasi utama untuk resusitasi
neonatus:
• Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan
dua tanda vital yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan.
• Oksimeter digunakan untuk menilai oksigenasi karena penilaian
warna kulit tidak dapat diandalkan.
• Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan
dengan udara dibanding dengan oksigen 100%.
• Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara
(blended oxygen , dan pangaturan konsentrasi dipandu berdasarkan
oksimetri.
• Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya
pengisapan trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban
bercampur mekonium, bahkan pada bayi dalam keadaan depresi.
• Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit
untuk bayi yang tidak membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup
untuk merekomendasikan lama waktu untuk penjepitan talipusat
pada bayi yang memerlukan resusitasi.
Pemberian Oksigen
• Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai
resusitasi dengan udara atau oksigen campuran
(blended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi
oksigen untuk mencapai SpO2 sesuai target.
• Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi
dimulai dengan udara kamar.
• Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah
90 detik resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah,
konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai 100% hingga
didapatkan frekuensi denyut jantung normal.
Teknik Ventilasi dan Kompresi

• Ventilasi Tekanan Positif (VTP)


– Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika
frekuensi denyut jantung kurang dari 100 per menit
setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai.
• Pernapasan awal dan bantuan ventilasi
– Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi
napas 40 – 60 kali per menit untuk mencapai dan
mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari
100 per menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat
ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
VTP
• Peralatan yang digunakan untuk VTP adalah:
– Self inflating bag (balon mengembang sendiri)
– Flow inflating bag (balon tidak mengembang sendiri)
– T-piece resuscitator
• Dalam 30 detik dilakukan VTP 20-30 kali,
mengikuti pernafasan bayi 40-60x/menit
• Pada permulaan resusitasi, oksigen tidak
dibutuhkan secara rutin. Namun bila terjadi
sianosis selama resusitasi  boleh ditambahkan
oksigen
Teknik Ventilasi dan Kompresi
• Kompresi dada
• Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari
60 per menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik.
Untuk neonatus, rasio kompresi: ventilasi = 3:1 (1/2 detik untuk
masing-masing).
• Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai
secara periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai
frekuensi denyut jantung sama atau lebih dari 60 per menit.
• Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman
1/3 dari diameter antero-posterior dada.
• Teknik kompresi: (1) teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari
melingkari dada dan menyokong bagian punggung, (2) teknik kompresi
dengan dua jari dimana tangan lain menahan bagian punggung
• Pada kompresi, dada harus dapat berekspansi penuh sebelum
kompresi berikutnya, namun jari yang melakukan kompresi tidak boleh
meninggalkan posisi di dada.
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
52. DENGUE FEVER (DF) & DENGUE
HEMORRHAGIC FEVER (DHF)
• Disebabkan oleh virus flavivirus dengan 4 serotipe DE-1, DEN-
2, DEN-3, DEN-4 melalui nyamuk aedes aegypti atau aedes
albopictus
• DEN-2 merupakan serotipe yang paling tinggi risiko infeksi
DHF
• Demam akut 2-7 hari dengan 2 atau lebih gejala berikut:
– Nyeri kepala
– Nyeri retroorbita
– Myalgia/arthralgia
– Ruam
– Manifestasi perdarahan
– Leukopenia
Shock
Bleeding
Pemeriksaan Penunjang
Serologi Dengue
• NS1:
– antigen nonstructural untuk replikasi virus yang dapat dideteksi sejak
hari pertama demam.
– Puncak deteksi NS1: hari ke 2-3 (sensitivitas 75%) & mulai tidak
terdeteksi hari ke 5-6.

• Untuk membedakan infeksi dengue primer atau sekunder


digunakan pemeriksaan IgM & IgG antidengue.
– Infeksi primer IgM (+) setelah hari ke 3-6 & hilang dalam 2 bulan, IgG
muncul mulai hari ke-12.
– Pada infeksi sekunder IgG dapat muncul sebelum atau bersamaan
dengan IgM
– IgG bertahan berbulan-bulan & dapat (+) seumur hidup sehingga
diagnosis infeksi sekunder dilihat dari peningkatan titernya. Jika titer
awal sangat tinggi 1:2560, dapat didiagnosis infeksi sekunder.

WHO SEARO, Dengue prevention & management. 2011.


Primary infection: Secondary infection:
• IgM: detectable by days 3–5 after the onset of • IgG: detectable at high levels in the initial
illness,  by about 2 weeks & undetectable phase, persist from several months to a
after 2–3 months. lifelong period.
• IgG: detectable at low level by the end of the • IgM: significantly lower in secondary infection
first week & remain for a longer period (for cases.
many years).
Rumple leede test

• A tourniquet test used to determine the presence of


vitamin C deficiency or thrombocytopenia
• A circle 2.5 cm in diameter, the upper edge of which is
4 cm below the crease of the elbow, is drawn on the
inner aspect of the forearm, pressure midway between
the systolic and diastolic blood pressure is applied
above the elbow for 15 minutes
• Count petechiae within the circle is made:
– 10  normal
– 10-20  marginal
– more than 20  abnormal.
Pemantauan Rawat
Alur Perawatan
Pediatric Vital
Signs
Heart Rate
Age
(beats/min)

Premature 120-170 *
0-3 mo 100-150 *
3-6 mo 90-120 http://web.missouri.edu/~proste/lab/vitals-peds.pdf

6-12 mo 80-120
1-3 yr 70-110
3-6 yr 65-110
6-12 yr 60-95
12 > yr 55-85

Kleigman, R.M., et al. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Saunders, 2011. 1Soldin, S.J., Brugnara, C., & Hicks, J.M. (1999). Pediatric
* From Dieckmann R, Brownstein D, Gausche-Hill M (eds): Pediatric Education for Prehospital reference ranges (3rd ed.). Washington, DC: AACC Press.
Professionals. Sudbury, Mass, Jones & Bartlett, American Academy of Pediatrics, 2000, pp 43-45. http://wps.prenhall.com/wps/media/objects/354/36284
† From American Heart Association ECC Guidelines, 2000. 6/London%20App.%20B.pdf
53. Kolera
• Infeksi usus oleh Vibrio cholerae
– Bakteri anaerobik fakultatif,
– batang gram negatif yang melengkung
berbentuk koma,
– tidak membentuk spora
– Memiliki single, sheathed, polar flagellum
• Gejala klinis (sangat cepat (24-48 jam)):
– Diare sekretorik profuse, tidak berbau,
bersifat tidak nyeri, seperti warna air
cucian beras
– Muntah  tidak selalu ada
– Dehidrasi  berlangsung sangat cepat,
dengan komplikasi gagal ginjal akut, syok,
dan kematian
– Abdominal cramps

Thaker VV. Cholera. http://emedicine.medscape.com/article/962643-overview


Vibrio Cholerae
PATHOPHYSIOLOGY OF CHOLERA

V. cholerae
activation of ion
accumulates in increase cAMP
channels
stomach

NaCl influx into


G- protein stuck in
Produces exotoxins intestinal lumen to
"on" position drag water into lumen

Toxins will bind to G-


protein coupled lead to watery
Inactivation of GTPase
receptor (ganglioside diarrhea
receptor)
Ta t a l a k s a n a
– Tatalaksana utama: REHIDRASI
– Pemberian zinc
– Tatalaksana adjunctive: antibiotik (antibiotik diberikan untuk
memperpendek masa sakit)
– Antibiotik, diindikasikan pada pasien dengan dehidrasi berat di
atas 2 tahun
• Catatan: Doksisiklin dan Tetrasiklin tidak direkomedasikan <8 thn
• Fluoroquinolon pada anak sebaiknya dihindari kecuali tidak ada pilihan
lain
Class Antibiotic Typical pediatric dose* Adult dose
Doxycycline 4-6 mg/kg (single dose) 300 mg (single dose)
Tetracyclines 50 mg/kg/day in four equally divided doses, for 500 mg four times per day for
Tetracycline
three days three days

Azithromycin 20 mg/kg (single dose) 1 g (single dose)


Macrolides 40 mg/kg/day in four equally divided doses, for 500 mg four times per day for
Erythromycin
three days three days

Fluoroquinolones Ciprofloxacin 20 mg/kg (single dose) 1 g (single dose)


Prinsip terapi cairan
• Rehidrasi merupakan prioritas pertama pada
cholera
• Pemberian cairan terbagi menjadi 2 fase yaitu
rehidrasi dan maintenance
• Fase rehidrasi:
– mencapai status hidrasi normal dalam waktu ≤ 4 jam.
– Lebih diutamakan untuk menggunakan ringer
lactate, jika tidak ada bisa menggunakan NaCl 0.9%
• Fase maintenance:
– menjaga status hidrasi normal terutama melalui oral
dengan menggunakan oralit
Antibiotics Summary for Cholera
(Uptodate)
Typical pediatric
Class Antibiotic Adult dose Comment(s)
dose*
4-6 mg/kg (single Antibiotic resistance to all tetracyclines is
Doxycycline 300 mg (single dose)
dose) common[1]. Empiric use is appropriate in
epidemics caused by documented
Tetracyclines 50 mg/kg/day in 500 mg four times susceptible isolates. Not
Tetracycline four equally divided per day for three recommended for pregnant women
doses, for three days days
and children less than 8 years.
20 mg/kg (single
Azithromycin 1 g (single dose)
dose)
Single dose azithromycin is preferred
Macrolides 40 mg/kg/day in 500 mg four times therapy[2]. Rare reports of macrolide
Erythromycin four equally divided per day for three resistance.
doses, for three days days

Reduced susceptibility to
fluoroquinolones has been reported in
Fluoroquinolo 20 mg/kg (single Asia and Africa[2,3]. Not
Ciprofloxacin 1 g (single dose)
nes dose)
recommended for pregnant women
and children less than 18 years.
Guidelines for Cholera Treatment with Antibiotics
RECOMMENDATION DOC ALTERNATE DOC FOR SPECIAL
POPULATIONS

Ab for cholera Erythromycin is


WHO patients with severe Doxycycline Tetracycline recommended drug
dehydration only for children

Erythromycin or
azithromycin DOC for
Ab for cholera pregnant women and
patients with Ciprofloxacin children
PAHO Doxycycline Ciprofloxacin &
moderate or severe Azithromycin
dehydration doxycycline as
second-line for
children
Ab for severely Erythromycin
dehydrated patients Cotrimoxazole
MSF Doxycycline Chloramphenico
only
l
54. Diare dan Intoleransi Laktosa
• Klasifikasi diare berdasarkan Patofisiologi
– Osmotic diarrhea
• Bila di lumen usus ada bahan yang secara osmotik aktif & sulit diserap 
diare.
• Penyebab: larutan isotonik, air atau bahan yang larut  melewati mukosa
usus halus tanpa diabsorbsi  diare
– Secretoric diarrhea
• Sekresi air & elektrolit ke usus halus akibat gangguan absorpsi Na+ oleh
vilus saluran cerna, sedangkan sekresi Cl- tetap berlangsung/ meningkat 
air & elektrolit keluar dari tubuh sebagai tinja cair
• Penyebab: toksin E.coli atau V.cholera
– Inflammatory/ exudative diarrhea
• Keruskaan enterocyte akibat inflamasi serta banyak eksudat inflamatorik 
meningkatkan volume tinja dan frekuensinya, serta ganggu absorpsi
elektrolit dan cairan
• Penyebab: IBD, infeksi invasive seperti shigella, salmonella
– Altered motility diarrhea
Osmotic Diarrhea
IN THE SMALL INTESTINE
Ingestion of non-absorbable solutes

Fluid entry into the small bowel

Intraluminal solutions become iso-osmotic with the plasma

Intraluminal Na+ concentration drop below 80 ml osmol

Steep lumen to plasma gradient


Osmotic Diarrhea

IN THE COLON

Carbohydrate Non metabolizable substrates


Metabolized by Bacteria
Na+ and H2O
Short Chain fatty acids may be absorbed by colon
(Organic anions)

A linear relation between


Quadrupling the Osmolality ingested osmotic load &
stool water output
Osmotic Diarrhea
Short-Chain Fatty Acids
(Organic Anions)

Promote more fluid in the colon

Obligate retention of inorganic cations

Further increasing the osmotic load

More fluid in the colon


Some Causes of Osmotic Diarrhea

Exogenous Endogenous
• Osmotic Laxatives • Congenital
– Specific Malabsorptive Disorders
• Antacids containing MgO or e.g Disaccharidase deficiencies
Mg(OH)2 – Generalized Malabsorptive
• Dietetic foods, candies and Diseases e.g
elixirs Abetalipoproteinemia
• Drugs e.g.: – Pancreatic insufficiency e.g cystic
fibrosis
– Colchicine
– Cholestyramine • Acquired
– Specific Malabsorptive Diseases
– Generalized Malabsorptive
Diseases
– Pancreatic insufficiency
– Celiac disease
– Infections
Intoleransi Laktosa
• Laktosa diproduksi oleh kelenjar payudara dengan kadar yang
bervariasi diantara mamalia.
• Susu sapi mengandung 4% laktosa, sedangkan ASI
mengandung 7% laktosa.
• Laktosa adalah disakarida yang terdiri dari komponen glukosa
dan galaktosa.
• Manusia normal tidak dapat menyerap laktosa, oleh karena itu
laktosa harus dipecah dulu menjadi komponen-komponennya.
• Hidrolisis laktosa memerlukan enzim laktase yang terdapat di
brush border sel epitel usus halus.
• Tidak terdapatnya atau berkurangnya aktivitas laktase akan
menyebabkan terjadinya malabsorpsi laktosa.
Defisiensi Laktase
• Defisiensi laktase dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu defisiensi
laktase primer dan defisiensi laktase sekunder
• Terdapat 3 bentuk defisiensi laktase primer, yaitu
– Developmental lactase deficiency
Terdapat pada bayi prematur dengan usia kehamilan 26-32 minggu. Kelainan
ini terjadi karena aktivitas laktase belum optimal.
– Congenital lactase deficiency
Kelainan dasarnya adalah tidak terdapatnya enzim laktase pada brush border
epitel usus halus. Kelainan ini jarang ditemukan dan menetap seumur hidup
– Genetical lactase deficiency
Kelainan ini timbul secara perlahan-lahan sejak anak berusia 2-5 tahun hingga
dewasa. Kelainan ini umumnya terjadi pada ras yang tidak mengkonsumsi susu
secara rutin dan diturunkan secara autosomal resesif
• Defisiensi laktase sekunder
– Akibat penyakit gastrointestinal yang menyebabkan kerusakan mukosa usus
halus, seperti infeksi saluran cerna.
– umumnya bersifat sementara dan aktivitas laktase akan normal kembali
setelah penyakit dasarnya disembuhkan.
Patogenesis
• Laktosa tidak dapat diabsorpsi sebagai disakarida,
tetapi harus dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa
dengan bantuan enzim laktase di usus halus.
• Bila aktivitas laktase turun atau tidak ada  laktosa
tidak diabsorpsi dan mencapai usus bagian distal atau
kolon  tekanan osmotik meningkat  menarik air
dan elektrolit sehingga akan memperbesar volume di
dalam lumen usus  diare osmotik
• Keadaan ini akan merangsang peristaltik usus halus
sehingga waktu singgah dipercepat dan mengganggu
penyerapan.
Patogenesis
• Di kolon, laktosa akan difermentasi oleh bakteri kolon 
menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek lainnya
seperti asam asetat, asam butirat, dan asam propionat 
Fenomena ini menerangkan feses yang cair, asam, berbusa dan
kemerahan pada kulit di sekitar dubur (eritema natum).
• Fermentasi laktosa oleh bakteri di kolon  menghasilkan beberapa
gas seperti hidrogen, metan dan karbondioksida  distensi
abdomen, nyeri perut, dan flatus.
• Selanjutnya, 80% dari gas tersebut akan dikeluarkan melalui rektum
dan sisanya akan berdifusi ke dalam sistem portal dan dikeluarkan
melalui sistem pernapasan.
• Feses sering mengapung karena kandungan gas yg tinggi dan juga
berbau busuk.
Gejala Klinis
• Intoleransi laktosa dapat bersifat • Gejala klinis yang diperlihatkan
asimtomatis atau dapat berupa rasa mual,
memperlihatkan berbagai gejala muntah, sakit perut, kembung
klinis dan sering flatus.
• Berat atau ringan gejala klinis • Rasa mual dan muntah
yang diperlihatkan tergantung merupakan gejala yang paling
dari aktivitas laktase di dalam sering ditemukan
usus halus, jumlah laktosa, cara • Pada uji toleransi laktosa rasa
mengkonsumsi laktosa, waktu penuh di perut dan mual timbul
pengosongan lambung, waktu dalam waktu 30 menit,
singgah usus, flora kolon, dan sedangkan nyeri perut, flatus
sensitifitas kolon terhadap dan diare timbul dalam waktu 1-
asidifikasi. 2 jam setelah mengkonsumsi
larutan laktosa
Pemeriksaan Penunjang
• Analisis tinja, prinsipnya ditemukan asam dan bahan pereduksi
dalam tinja setelah makan yg mengandung laktosa, ada 3 metode:
– Metode klini test (detects all reducing substances in stool; of primary
interest are glucose, lactose, fructose, galactose, maltose, and
pentose)
– Kromatografi tinja
– pH tinja  tinja bersifat asam
• Uji toleransi laktosa: merupakan uji kuantitatif; memeriksa kadar
gula darah setelah konsumsi laktosa
• Pemeriksaan radiologis lactosa-barium meal
• Ekskresi galaktos pada urin
• Uji hidrogen napas  metode pilihan pada intoleransi laktosa
karena bersifat noninvasif, memiliki sensitivitas dan efektivitas yang
tinggi
• Biopsi usus dan pengukuran aktivitas laktase
Clinitest
Method Principle
• Clinitest is a reagent tablet based on • Copper sulfate in Clinitest reacts
the Benedict's copper reduction with reducing substances in
reaction, combining reactive urine/stools converting cupric
ingredients with an integral heat sulfate to cuprous oxide.
generating system. • The resultant color, which varies
• The test is used to determine the with the amount of reducing
amount of reducing substances substances present, ranges from
(generally glucose) in urine/stools. blue through green to orange.
• Clinitest provides clinically useful
information on carbohydrate
metabolism.
Clinitest
• The Clinitest® reaction detects all • Testing for reducing substances in
reducing substances in stool; of stool is used in diagnosing the cause
primary interest are glucose, lactose, of diarrhea in children.
fructose, galactose, maltose, and • Increased reducing substances in
pentose. stool are consistent with primary or
• Reference Range: secondary disaccharidase deficiency
Negative. A result of 0.25% to 0.5% is and intestinal monosaccharide
suspicious for a carbohydrate malabsorption.
absorption abnormality, >= 0.75% is • Similar intestinal absorption
abnormal. deficiencies are associated with short
• Test Limitations: bowel syndrome and necrotizing
Assay results have relevance for enterocolitis.
liquid stool samples; assay results • Stool reducing substances is also
have little relevance for formed stool helpful in diagnosing between
samples. osmotic diarrhea caused by
abnormal excretion of various sugars
as opposed to diarrhea caused by
viruses and parasites.
Intoleransi Laktosa VS Milk Allergy
INTOLERANSI LAKTOSA MILK ALLERGY
o reaksi hipersensitivitas terhadap
o Ketidakmampuan tubuh untuk
protein susu sapi. Dapat melalui 2
mencerna “gula susu/laktosa”
Definisi mekanisme : 1). Diperantarai IgE ; 2).
akibat defisiensi enzim laktase.
Non IgE (rx hipersensitivitas tipe IV)
o reaksi non – imunologis

o mual, keram perut, kembung,


Manifestasi tidak hanya pada sal. cerna,
nyeri perut, flatus dan diare
Manifestasi tetapi juga pada mukosa, kulit, hingga
o gejala muncul dalam waktu 15
klinis saluran napas
menit hingga beberapa jam
setelah mengkonsumsi laktosa
o Double blind placebo controlled food
o Analisis tinja :
challenge (DBPCFC)  gold standar
• Metode klini test
 lebih banyak untuk riset
• Kromatografi tinja
o pemeriksaan lain yang resiko lebih
Pemeriksaan • pH tinja  tinja bersifat asam
rendah namun memiliki efikasi yg
Klinis o Pemeriksaan radiologis lactosa-
sama
barium meal
• skin prick test, pengukuran
o Ekskresi galaktos pada urin
antibodi IgE spesifik terhadap
o Uji hidrogen napas
protein susu sapi, patch test
Tatalaksana intoleransi laktosa
• Sebagian besar self limited, cukup menjaga status
hidrasi agar tidak dehidrasi dan menjaga asupan nutrisi
• Pemberian cairan rehidrasi oral (CRO) hipotonik
• Rehidrasi cepat (3-4 jam)
• ASI harus tetap diberikan
• Realimentasi segera dengan makanan sehari-hari
• Susu formula yang diencerkan tidak dianjurkan
• Susu formula khusus diberikan sesuai indikasi
• Antibiotik hanya berdasarkan indikasi kuat.
• Pertimbangan penggantian susu formula selama diare akut
(diare kurang dari 7 hari), sebagai berikut :
• Diare tanpa dehidrasi dan dehidrasi ringan-sedang : susu
formula normal dilanjutkan
• Diare tanpa dehidrasi atau dehidrasi ringan-sedang dengan
gejala klinis intoleransi laktosa yang berat (selain diare)
dapat diberikan susu formula bebas laktosa.
• Diare dengan dehidrasi berat diberikan susu formula bebas
laktosa
• Pemberian susu formula untuk alergi pada anak dengan
diare akut tanpa jelas petanda alerginya adalah tidak
rasional.
55. THALASSEMIA
• Penyakit genetik dgn supresi produksi hemoglobin karena defek pada
sintesis rantai globin (pada orang dewasa rantai globin terdiri dari
komponen alfa dan beta)
• Diturunkan secara autosomal resesif
• Secara fenotip: mayor (transfusion dependent), intermedia (gejala klinis
ringan, jarang butuh transfusi), minor/trait (asimtomatik)
• Secara genotip:
– Thalassemia beta (kromosom 11, kelainan berupa mutasi)  yang mayoritas
ditemukan di Indonesia
• Tergantung tipe mutasi, bervariasi antara ringan (++, +) ke berat (0)
– Thalassemia alfa (Kromosom 16, kelainan berupa delesi)
• -thal 2 /silent carrier state: delesi 1 gen
• -thal 1 / -thal carrier: delesi 2 gen: anemia ringan
• Penyakit HbH: delesi 3 gen: anemia hemolitik sedang, splenomegali
• Hydrops foetalis / Hb Barts: delesi 4 gen, mati dalam kandungan

Wahidiyat PA. Thalassemia and hemoglobinopathy.


Klasifikasi
α-Thalassemia syndromes
Number of α-Globin Syndrome Hematocrit MCV
Genes Transcribed
4 Normal Normal Normal
3 Silent carrier Normal Normal
2 Thalassemia minor (or Trait) 28–40% 60–75 fL
1 Hemoglobin H disease 22–32% 60–70 fL
0 Hydrops fetalis

Β-Thalassemia syndromes
α-Globin Genes Hb A Hb A2 Hb F Transfusions
Transcribed
Normal Homozygous β 97–99% 1–3% <1%

Thalassemia minor Heterozygous β0 80–95% 4–8% 1–5% None

Heterozygous β++ 80–95% 4–8% 1–5% None

Thalassemia Homozygous β++ 0–30% 0–10% 6–100% Occassional


intermedia (mild)

Thalassemia major Homozygous β0 0% 4–10% 90–96% Dependent

Thalassemia major Homozygous β++ 0–10% 4–10% 90–96% Dependent

Papadakis MA, McPhee SJ. Current Medical Diangnosis and Treatment.2014. New York : McGraw-Hill Companies
http://elcaminogmi.dnadirect.com/grc
/patient-site/alpha-thalassemia-

Pewarisan Genetik Thalassemia-β


carrier-screening/genetics-of-alpha-
thalassemia.html?6AC396EC1151986D
584C6C02B56BBCC0

Penurunan genetik
thalassemia beta jika kedua
orang tua merupakan
thalassemia trait

NB: need
two genes
(one from
each parent)
to make
enough beta
globin
protein
chains.
Orang tua Orang tua Orang tua Orang tua
Pembawa sifat Pembawa sifat normal
Pembawa sifat

Pembawa Thalassemia Pembawa Pembawa


Normal Normal
sifat Major sifat sifat
Seminar Awam, 21-06-2007
Seminar Awam, 21-06-2007
  
Excess

22 Precipitation Fe free radicals


HbF
Selective survival of Haemolysis Destruction of RBC precursors
HbF-containing cells

Splenomegaly Ineffective
(pooling, plasma Erythropoiesis
volume
High oxygen expansion)
affinity of red cells

Tissue hypoxia
Anaemia
Erythopoietin

Marrow expansion Transfusion

Increased iron
absorption
Bone deformity
Increased metabolic rate
Iron loading
Wasting
Gout
Folate deficiency Endocrine deficiencies
Cirrhosis
Cardiac failure
Death
Modified from Weatherall, DJ

The pathophysiology of  thalassaemia


Post Graduate Haematology, 1999
ANAMNESIS + TEMUAN KLINIS

• Pucat kronik
• Hepatosplenomegali
• Ikterik
• Perubahan penulangan
• Perubahan bentuk wajah
 facies cooley
• Hiperpigmentasi kulit
akibat penimbunan besi
• Riwayat keluarga +
• Riwayat transfusi
• Ruang traube terisi
• Osteoporosis
• “Hair on end” pd foto
kepala
Hepatosplenomegali & Ikterik

Pucat

Hair on End

Hair on End & Facies Skully

Excessive iron in a bone marrow preparation


Diagnosis thalassemia
(cont’d)
• Pemeriksaan darah
– CBC: Hb , MCV , MCH , MCHC , Rt ,
RDW  
– Apusan darah: mikrositik, hipokrom,
anisositosis, poikilositosis, sel target,
fragmented cell, normoblas +, nucleated
RBC, howell-Jelly body, basophilic
stippling
– Hiperbilirubinemia
– Tes Fungsi hati abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Tes fungsi tiroid abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Hiperglikemia (late findings krn overload
Fe)

• Analisis Hb peripheral blood smear of patient with homozygous beta

– HbF , HbA2 n/, Tidak ditemukan HbA, thalassemia with target cells, hypochromia, Howell-Jolly
bodies, thrombocytosis, and nucleated RBCs.Image from
Hb abnormal (HbE, HbO, dll), Jenis Hb Stanley Schrier@ 2001 in ASH Image Bank 2001;
doi:10.1182/ashimagebank-2001-100208)
kualitatif
Pencil Cell and Target cell
• Pencil cells/cigar cell: a commonly cited
feature of Iron deficiency anemia, but pencil
cells may also be seen less commonly in other
processes, including b-thalassemia minor and
anemia of chronic disease
• Target cells: classically described features of β-
thalassemia minor, but also can be found in
iron deficiency anemia (less common)
Target Cell
• Target Cells (Codocytes) are RBCs that have the
appearance of a shooting target with a bullseye.
• Under light microscope these cells appear to have
a dark center (a central, hemoglobinized area)
surrounded by a white ring (an area of relative
pallor), followed by dark outer (peripheral)
second ring containing a band of hemoglobin.
• Target cells are more resistant to osmotic lysis.
• Hypochromic cells in iron deficiency anemias also
can show a target appearance.
• Target cells are abnormally resistant to saline.
Target cell can be found in:
• Liver disease: Lecithin—cholesterol
acyltransferase (LCAT) activity may be decreased in
obstructive liver disease  increases the cholesterol to
phospholipid ratio, producing an absolute increase in
surface area of the red blood cell membranes.
• Iron deficiency: Decrease in hemoglobin content
relative to surface area is probably the reason for the
appearance of target cells.
• Alpha-thalassemia and beta-thalassemia
• Hemoglobin C Disease
• Post-splenectomy
Target Cell
Pencil Cell
• Pencil cells are
hypochromic
variants of
elliptocytes
having long axes
at least triple the
length of the
cell’s short axis
www.studyblue.com
Thalassemia
Tata laksana thalassemia
• Transfusi darah, indikasi pertama kali jika: • Splenektomi  jika memenuhi
– Hb<7 g/dL yg diperiksa 2x berurutan dengan kriteria
jarak 2 minggu
– Hb>7 disertai gejala klinis spt facies cooley, • Splenomegali masif
gangguan tumbuh kembang
• Kebutuhan transfusi PRC >
• Medikamentosa
– Asam folat (penting dalam pembentukan sel) 2x
200-220 ml/kg/tahun
1mg/hari • Transplantasi (sumsum tulang,
– Kelasi besi  menurunkan kadar Fe bebas dan darah umbilikal)
me<<< deposit hemosiderin). Dilakukan Jika
Ferritin level > 1000 ng/ul, atau 10-20xtransfusi, • Fetal hemoglobin inducer
atau menerima 5 L darah.
– Vitamin E (antioksidan karena banyak
(meningkatkan Hgb F yg
pemecahan eritrosit  stress oksidatif >>) membawa O2 lebih baik dari
– Vitamin C (dosis rendah, pada terapi dengan Hgb A2)
deferoxamin)
• Nutrisi: kurangi asupan besi • Terapi gen
• Support psikososial
Indikasi transfusi darah pada
Thalasemia
KOMPLIKASI THALASSEMIA
• Infection
• chronic anemia  iron overload  deposisi iron pada miokardium 
Kardiomiopati  bermanifestasi sebagai CHF
• Endokrinopati
– Impaired carbohydrate metabolism
– Pertumbuhan : short stature, slow growth rates
– Delayed puberty & hypogonadism  infertility
– Hypothyroidism & hypoparathyroidism
– osteoporosis
• Liver:
– cirrhosis due to infection and iron load
– Bleeding: disturbances of coagulation factors
56. Hipertiroidisme pada Anak
• Hampir 95% kasus hipertiroidisme pada • Manifestasi klinis
anak dan remaja disebabkan oleh – Struma
penyakit Graves • Struma difusia dan kadang dapat
ditemukan bruit
• Penyakit Graves
– hipertioridisme
– Autoimun, lebih sering pada • Tremor
perempuan dibanding laki – laki  • Sulit tidur atau gangguan tidur
rasio 6-8:1 • BB turun walau nafsu makan
meningkat
– Insiden puncak pada remaja, namun • Kelemahan otot proksimal
dapat muncul kapan saja • Intoleransi panas
– Prapubertal (terutama <5 tahun)  • Sakit kepala
manifestasi klinis lebih berat, butuh • Takikardi dengan tekanan nadi
lebar dan prekordium yang lebar
terapi lebih lama dan angka
• Fatigue, kulit yang lembab
kesembuhan lebih rendah
– Proptosis ringan dengan lid lag
– Patogenesis : dan stare sering ditemukan.
• Adanya antibodi terhadap Oftalmopathy lebih jarang
reseptor TSH yang menyerupai dibanding dewasa
THS  hormogenesis dan – Poliuri dan nokturia akibat
peningkatan LFG
hiperplasia tiroid
– Pubertas terlambat dan kadang
disertai amenorea sekunder
• Pemeriksaan Penunjang • Penatalaksanaan
– Fungsi tiroid : kadar TSH dan – Terapi meliputi
fT4 medikamentosa, ablasi
– Antibodi reseptor TSH radioiodine, atau operasi
(throtropin receptor – Medikamenosa masih
antibody/TRAb) merupakan terapi utama di
– Kadar antribodi terhadap Indonesia :
antitiroid peroksidase (anti 1. Methimazole (MMI)
TPO)dan anti tiroglobulin 2. Carbimazole
(ATA) 3. PTU (preparat thionamide)
– USG tiroid 4. Beta bloker propanolol 
mengontrol overaktivitas CV
– Scintigrafi tiroid sampai kondisi eutiroid
– Dosis 0,5 -2 mg/kgBB/hari
Overview Of The
Management Of
Graves' Disease In
Children And
Adolescents
This algorithm presents the most
common treatment approaches for
management of Graves' disease in
children and adolescents. Surgery
and radioactive iodine (RAI) generally
are used as second-line options in
patients who develop major side
effects with antithyroid drug
treatment or who fail to enter a
remission off drug treatment, though
some clinicians recommend RAI or
surgery as first-line treatment in
selected cases, as shown by the
Uptodate.2019 dashed lines.
Algorithm Index
• MMI: methimazole; fT4: free thyroxine; T3: triidothyronine; RAI: radioactive iodine; 131-I:
iodine 131; WBC: white blood cell count; TSH: thyroid stimulating hormone.
• * When treating with MMI, initially monitor fT4 and T3 every four to six weeks, and adjust
dose of MMI to normalize these values. Once these values are in the normal range, continue
to monitor fT4, T3, and TSH every three to four months. During any febrile illness, stop MMI
and check WBC, to monitor for development of granulocytopenia.
• ¶ Major side effects of MMI include agranulocytosis, vasculitis (lupus-like syndrome), or
hepatitis. Minor side effects include rash, hives, arthralgias, transient granulocytopenia, or
gastrointestinal symptoms.
• Δ Practice varies regarding the length of time a provider will continue to treat with MMI
after patients have entered remission. We do not recommend a trial off MMI after an
arbitrary period of treatment; we prescribe MMI indefinitely, providing that the antithyroid
drug is the preferred treatment choice of the patient and parents, and that no major side
effects occur. Refer to UpToDate topic text for details.
• ◊ Patient should be off of MMI for at least seven days before RAI treatment. We suggest
using a RAI dose calculated to achieve hypothyroidism.
Treatment (Uptodate.2019)
• Thionamide:
– DOC: Methimazole 0.25 and 1.0 mg/kg/day (given in once daily or in two divided doses),
based on clinical severity, size of goiter, and biochemical severity.
– Propylthiouracil (PTU; 5 to 10 mg/kg per day) is also effective, but has more frequent
and severe side effects, including a small risk of severe hepatotoxicity
• PTU should not be used in pediatric patients unless the patient is allergic to or intolerant of
methimazole
– Carbimazole
• Beta blocker can be given at patients with marked cardiac manifestations of
hyperthyroidism
– DOC: atenolol, for children and adolescents is 1 to 2 mg/kg daily or alternatively
– Propranolol, at a dose of 0.5 to 2.0 mg/kg daily, is divided into three or four doses daily
(has the potential benefit of decreasing T4 to T3 conversion, is preferred by some
clinicians)
• Radioactive iodine treatment: secondary therapy for patients who have recurrent
hyperthyroidism after long-term treatment with an antithyroid drug who request
definitive treatment, and for those who have a major side effect while receiving an
antithyroid drug.
• Surgery usually subtotal thyroidectomy, is an effective therapy for Graves
hyperthyroidism. Surgery is most commonly used as a secondary treatment option
in children.
57. Sindrom Nefrotik
• Spektrum gejala yang ditandai • Di bawah mikroskop: Minimal
dengan protein loss yang masif dari change nephrotic syndrome
ginjal (MCNS)/Nil Lesions/Nil Disease
• Pada anak sindrom nefrotik (lipoid nephrosis) merupakan
mayoritas bersifat idiopatik, yang penyebab tersering dari sindrom
belum diketahui patofisiologinya nefrotik pada anak, mencakup
secara jelas, namun diperkirakan 90% kasus di bawah 10 tahun dan
terdapat keterlibatan sistem >50% pd anak yg lbh tua.
imunitas tubuh, terutama sel • Faktor risiko kekambuhan:
limfosit-T riwayat atopi, usia saat serangan
• Gejala klasik: proteinuria, edema, pertama, jenis kelamin dan
hiperlipidemia, hipoalbuminemia infeksi saluran pernapasan akut
• Gejala lain : hipertensi, hematuria, akut (ISPA) bagian atas yang
dan penurunan fungsi ginjal menyertai atau mendahului
terjadinya kekambuhan, ISK

Lane JC. Pediatric nephrotic syndrome. http://emedicine.medscape.com/article/982920-overview


Sindrom Nefrotik

• Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik


dengan gejala:
– Proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau
dipstik ≥ 2+)
– Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL
– Edema
– Dapat disertai hiperkolesterolemia
• Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik,
dan sekunder (mengikuti penyakit sistemik antara lain
lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch
Schonlein)

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Nefrotik vs Nefritik
Diagnosis

• Anamnesis : Bengkak di kedua kelopak mata, perut,


tungkai atau seluruh tubuh. Penurunan jumlah urin.
Urin dapat keruh/kemerahan
• Pemeriksaan Fisik : Edema palpebra, tungkai, ascites,
edema skrotum/labia. Terkadang ditemukan hipertensi
• Pemeriksaan Penunjang : Proteinuria masif ≥ 2+, rasio
albumin kreatinin urin > 2, dapat disertai hematuria.
Hipoalbumin (<2.5g/dl), hiperkolesterolemia (>200
mg/dl). Penurunan fungsi ginjal dapat ditemukan.
Oval Fat Bodies
• Oval fat bodies are cells with birefringent fat droplets within
their cytoplasm.
• Two Possibilities:
– the cell is an oval renal proximal tubular cell with a fat droplets
filled cytoplasm (Schumann)
– macrophages also known as foam cells (Stamey)
• Under low power magnification, oval fat bodies are often
seen as large brown spots (sometimes almost black). This
coloration is due to the yellowish brown pigmented fat
making the droplets.
• These cells are usually seen in a context of heavy
proteinuria.
• Oval fat bodies, in a high proteinuria context, are associated
with the nephrotic syndrome (nephrosis), although oval fat
bodies are not specific to the nephrotic syndrome.
• These cells are sometime seen in specimens with a normal
proteinuria.
Protein Esbach
• Terdapat berbagai metode untuk menilai kadar Albumin di
dalam urin, salah satunya metode Esbach (uji kuantitatif)
• Metode ini tidak terlalu akurat, namun sederhana, dan
tidak memerlukan peralatan yang rumit
• Prinsip : presipitasi protein (albumin) pada urin dengan
menggunakan larutan asam pikrat (Reagen Esbach) di
dalam wadah yang disebut tabung albuminometer
• Urin yang digunakan harus urin tampung selama 24 jam,
dan urin dengan BJ di atas 1,010 harus dilarutkan terlebih
dahulu  meningkatkan kesalahan penilaian
• Komposisi Reagen Esbach :
– 10 g Asam pikrat, 20 g asam sitrat, dilarutkan dalam 1000 ml air
Tatalaksana

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Diuretik pada SN Anak
• Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat.
• Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila
perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron,
diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
• Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
• Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi
karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam
untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan
pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb.
• Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk
memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan.
Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan, dapat
dilakukan punksi asites berulang
58. Kandidiosis oral
• Infeksi candida pada rongga mulut
• Spesies tersering: Candida albicans
• Terjadi akibat terganggunya flora normal atau pada kondisi
immunodefisiensi
• Terdapat beberapa jenis, yaitu
- Kandidiosis pseudomembran akut
- Kandidiasis atrofik akut (kandidiasis eritematosa)
- Kandidiosis hiperplasia kronik (leukoplakia)
- Kandidiasis atrofik kronik (denture stomatitis):
- Kelitis angularis (Keilosis Kandidal)

Sumber: Scully C. Mucosal candidiosis clinical presentation. Emedicine | PPK Perdoski. 2017
Jenis Gambaran klinis

Kandidiosis Plak putih pada lidah, palatum,


pseudomembranosa gusidapat diangkatsetelah
akut diangkat tampak dasar eritema

Kandidiosis Papilla lidah menipis tertutup oleh


eritematosa/ atrofik pseudomembran tipis pada
akut permukaan dorsal lidah dan dapat
disertai rasa panas atau nyeri.

Kandidiosis Plak putih atau translusen yang tidak


hiperplasia kronik dapat dilepaskan, biasanya di
mukosa bukal.
Denture related Mukosa palatum yang kontak dengan
stomatitis/ atrofik gigi tiruan tampak edematosa dan
kronik eritematosa, bersifat kronik, dan
dapat dijumpai keilitis angularis.

Kelitis Lesi berupa fissura dan eritema di


angularis/perlèche sudut mulut dan terasa perih

Sumber: Scully C. Mucosal candidiosis clinical presentation. Emedicine | PPK Perdoski. 2017
Candida albicans
Prinsip tatalaksana
Gejala klinis DOC Keterangan

Ringan • Nistatin drops 7-14 hari Catatan:


- Dewasa: 4x400.000-600.000 U • Mild thrush –
- 1-12 bulan: 4x200.000 U Involves <50
- 1-18 tahun: sama dengan dewasa percent of the oral
• Nystatin lozenge 200,000 units to 400,000 units mucosa and
(one to two lozenges) four times per day for 7 absence of deep,
to 14 days. erosive lesions
• Clotrimazole 10 mg (one lozenge) five or six • Moderate/severe
times per day for 7 to 14 days. thrush – Involves
- Nystatin and clotrimazole lozenges are a ≥50 percent of the
choking hazard and should not be used in oral mucosa or
children younger than four years. deep, erosive
lesions
Sedang-berat Fluconazole oral 1x100-200mg/hari selama 7-14
hari
59. Epiglotitis
• Life-threatening, medical emergency due to infection with
edema of epiglottis and aryepiglottic folds
• Organism: Haemophilus influenzae type B: most common
(bacil gram (-), needs factor X and V for growth)
• Location
– Purely supraglottic lesion
• Associated subglottic edema in 25%
– Associated swelling of aryepiglottic folds causes stridor
• Classical triad is: drooling, dysphagia and distress (respiratory)
• Abrupt onset of respiratory distress with inspiratory stridor,
Sore throat, Severe dysphagia, muffled voice/hot potato voice
• Older child may have neck extended and appear to be sniffing
due to air hunger
Epiglotitis
• Classical triad is: drooling, dysphagia and distress (respiratory)
• Abrupt onset of respiratory distress with inspiratory stridor
• Sore throat
• Severe dysphagia, muffled voice/hot potato voice
• Older child may have neck extended and appear to be sniffing due
to air hunger
• Resembles croup clinically, but think of epiglottitis if:
– Child can not breathe unless sitting up
– “Croup” appears to be worsening
– Child can not swallow saliva and drools (80%)
• Cough is unusual
Acute Viral croup Bacterial Spasmodic R.P.
epiglottitis croup croup abscess

Age (yr) 3-7 1-3 1-8 1-3 1-3

Voice Normal or Hoarse Hoarse Hoarse Hoarse


muffled
Cough Absent Barking Barking Barking Absent
seal-like seal-like seal-like
Stridor Inspiratory Biphasic Biphasic Biphasic Inspiratory

Dysphagia Severe Absent Absent Absent Severe


+ drooling
Fever > 102 F < 102 F > 102 F < 102 F > 102 F

Posture Quiet, Restless, Restless, Restless, Restless,


sitting supine supine supine sitting
Tripod sign
• Pt appears anxious
• Leans forward with
support of both forearms
• Extends neck in an
attempt to maintain an
open airway
• Treatment
– Treated with antibiotic
such a ampicillin
sulbactam.
– If epiglottitis is severe
 need a surgery to
open the airway
immediately.
Investigations
1. Flexible laryngoscopy: carried out only in ICU or
OT with intubation / tracheostomy set ready
2. Post-intubation direct laryngoscopy
3. Plain x-ray soft tissue of neck lateral view
4. Culture from epiglottis during intubation:
+ve in 15% cases of H. influenzae
5. Blood culture: +ve in 15% cases of H. influenzae
X-ray soft tissue neck
• Lateral view taken in erect
position only (Supine
position may close off
airway)
– Enlargement of epiglottis
(thumb sign)
– Absence of well defined
vallecula (Vallecula sign)
– Thickening of aryepiglottic
folds (cause for stridor)
– Circumferential narrowing of
subglottic portion of trachea
during inspiration (25%
cases)
– Ballooning of hypopharynx Red arrow = enlarged epiglottis
Yellow arrow = thickened ary-epiglottic folds
Thumb Sign pada epiglotitis Gambaran epiglotis normal
Epiglotitis
• Diff Diagnosis: Croup
– Dilatation of the hypopharynx
– Dilation of the laryngeal ventricle
– Narrowing of the subglottic trachea
– Epiglottis is normal
• Tx:
– Secure airway
– May require intubation or emergency tracheostomy
– Some use IV steroids
– Empiric antibiotic therapy
Epiglottis (E)
X-ray diagnosis? Vallecula (V)
15-month-old boy with fever,
mild stridor, and barking Vocal cords (C)
cough. Trachea (T)
Prevertebral soft tissue (P)

DD: Croup P
• Epiglottis - normal E V
• Vallecula - normal
• Trachea (T) – narrow,
subglottic edema C
• Prevertebral soft tissue -
normal

Ha588
Treatment
• Managing the airway is of utmost importance and should be the
initial action when epiglottitis is suspected
– Patient not able to maintain airway: Bag-valve-mask ventilation; if
Oxygenation not maintained, immediately attempt to place an oral
endotracheal tube while other physicians are assigned to prepare to
establish a surgical airway if needed (i.e cricothyrotomy)
– If the patient is maintaining airway, then administer supplemental
humidified oxygen and assemble available specialists (eg,
anesthesiologist, intensivist, and otolaryngologist)
• Empiric combination therapy with a third-generation
cephalosporin (eg, ceftriaxone or cefotaxime) AND an
antistaphylococcal agent (eg, vancomycin)
• Bronchodilators (racemic epinephrine) and parenteral
glucocorticoids have both been used as adjunctive treatments for
patients with epiglottitis, but these agents are not routinely
necessary.
60. Trauma Lahir Ekstrakranial

Kaput Suksedaneum Perdarahan Subgaleal


• Paling sering ditemui • Darah di bawah galea
• Tekanan serviks pada kulit aponeurosis
kepala • Pembengkakan kulit kepala,
• Akumulasi darah/serum ekimoses
subkutan, ekstraperiosteal • Mungkin meluas ke daerah
• TIDAK diperlukan terapi, periorbital dan leher
menghilang dalam • Seringkali berkaitan dengan
beberapa hari. trauma kepala (40%).
Trauma Lahir Ekstrakranial:
Sefalhematoma
• Perdarahan sub periosteal akibat ruptur pembuluh
darah antara tengkorak dan periosteum
• Etiologi: partus lama/obstruksi, persalinan dengan
ekstraksi vakum, Benturan kepala janin dengan pelvis
• Paling umum terlihat di parietal tetapi kadang-kadang
terjadi pada tulang oksipital
• Tanda dan gejala:
– massa yang teraba agak keras dan berfluktuasi;
– pada palpasi ditemukan kesan suatu kawah dangkal
didalam tulang di bawah massa;
– pembengkakan tidak meluas melewati batas sutura yang
terlibat
Trauma Lahir Ekstrakranial:
Sefalhematoma
• Ukurannya bertambah sejalan dengan bertambahnya
waktu
• 5-18% berhubungan dengan fraktur tengkorak
• Umumnya menghilang dalam waktu 2 – 8 minggu
• Komplikasi: ikterus, anemia
• Kalsifikasi mungkin bertahan selama > 1 tahun.
• Catatan: Jangan mengaspirasi sefalohematoma meskipun
teraba berfluktuasi
• Tatalaksana:
• Observasi pada kasus tanpa komplikasi
• Transfusi jika ada indikasi
• Fototerapi (tergantung dari kadar bilirubin total)
61. Ikterus Neonatorum
• Ikterus/Hiperbilirubinemia: menunjukkan pewarnaan
pada kulit, sklera atau membran mukosa sebagai akibat
penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan.
• Ikterus baru terlihat bila kadar bilirubin serum lebih
dari 5 mg/dL.
• Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1
– Kemungkinan besar: inkompatibilitas ABO, Rh, penyakit
hemolitik, atau sferositosis. Penyebab lebih jarang: infeksi
kongenital, defisiensi G6PD
• Ikterus yang berkembang cepat setelah usia 48 jam
– Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD. Penyebab
lebih jarang: inkompatibilitas ABO, Rh, sferositosis.
Kramer’s Rule
Zona 1 2 3 4 5

Definisi Kepala Kulit Kulit tubuh Lengan Telapak


dan leher tubuh di di bawah dan tangan
atas pusar pusar dan tungkai dan kaki
paha

Kadar bilirubin 4-8 5 - 12 8 - 16 11 – 18 >1 5


serum (mg/dL)

Ikterus biasanya mulai terlihat di wajah lalu menyebar dengan arah


cephalocaudal ke tubuh dan akhirnya ekstrimitas.

Ikterus pada Neonatus perlu dievaluasi lebih lanjut bila:


1. Ikterus timbul saat lahir atau pada hari pertama kehidupan
2. Kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat (>5 mg/Dl/hari)
3. Kadar bilirubin serum > 12 mg/Dl pada bayi cukup bulan dan 10-14
mg/dL/24 jam pada bayi preterm
4. Ikterus menetap pada usia 2 minggu atau lebih
5. Peningkatan bilirubin direk > 2 mg/ dL
20
18
16
14
12
10 fisiologis

8 non- fisiologis
6
4
2
0
hari 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 7

• Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1


– Kemungkinan besar: inkompatibilitas ABO, Rh, penyakit hemolitik,
atau sferositosis. Penyebab lebih jarang: infeksi kongenital, defisiensi
G6PD
• Ikterus yang berkembang cepat setelah usia 48 jam
– Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD. Penyebab lebih jarang:
inkompatibilitas ABO, Rh, sferositosis.
Etiologi
Anemia Hemolisis Neonatus ec. Inkompatibilitas

P E N YA K I T KETERANGAN

Adanya aglutinin ibu yang bersirkulasi di darah anak terhadap


Inkompatibilitas aglutinogen ABO anak. Ibu dengan golongan darah O, memproduksi
ABO antibodi IgG Anti-A/B terhadap gol. darah anak (golongan darah A
atau B). Biasanya terjadi pada anak pertama

Rh+ berarti mempunyai antigen D, sedangkan Rh– berarti tidak


memiliki antigen D. Hemolisis terjadi karena adanya antibodi ibu
dgn Rh- yang bersirkulasi di darah anak terhadap antigen Rh anak
Inkompatibilitas (berati anak Rh+). Jarang pada anak pertama krn antibodi ibu
Rh terhadap antigen D anak yg berhasil melewati plasenta belum
banyak.
Ketika ibu Rh - hamil anak kedua dgn rhesus anak Rh + antibodi
yang terbentuk sudah cukup untuk menimbulkan anemia hemolisis
I N K O M PAT I B I L I TA S A B O I N K O M PAT I B I L I TA S R H
Tidak memerlukan proses sensitisasi Butuh proses sensitisasi oleh kehamilan RH +
oleh kehamilan pertama karena sdh pertama karena ibu blm punya antibodi.
terbentuk IgG. Dapat terjadi pada Terjadi pada anak ke dua atau lebih
anak 1
Inkompatibilitas ABO jarang sekali
Gejala biasanya lebih parah jika
menimbulkan hidrops fetalis dan
dibandingkan dengan inkompatibilotas ABO,
biasanya tidak separah
bahkan hingga hidrops fetalis
inkompatibilitas Rh
Risiko dan derajat keparahan meningkat
Risiko dan derajat keparahan tidak seiring dengan kehamilan janin Rh (+)
meningkat di anak selanjutnya berikutnya, kehamilan kedua menghasilkan
lebih dominan hiperbilirubinemia, bayi dengan anemia ringan, sedangkan
dibandingkan anemia kehamilan ketiga dan selanjutnya bisa
meninggal in utero

apusan darah tepi memberikan pada inkompatibilitas Rh banyak ditemukan


gambaran banyak spherocyte dan eritoblas dan sedikit spherocyte
sedikit erythroblasts
Inkompatibilitas Rhesus

• Faktor Rh: salah satu jenis antigen permukaan


eritrosit
• Inkompatibilitas rhesus: kondisi dimana wanita
dengan rhesus (-) terekspos dengan eritrosit Rh (+),
sehingga membentuk antibodi Rh
– Ketika ibu Rh (-) hamil dan memiliki janin dengan Rh (+),
terekspos selama perjalanan kehamilan melalui kejadian
aborsi, trauma, prosedure obstetrik invasif, atau kelahiran
normal
– Ketika wanita dengan Rh (-) mendapatkan transfusi darah
Rh (+)
 

• Setelah eksposure pertama, ibu akan membentuk IgG maternal


terhadap antigen Rh yang bisa dengan bebas melewati plasenta
hingga membentuk kompleks antigen-antibodi dengan eritrosit
fetus dan akhirnya melisiskan eritrosit tersebut  fetal
alloimmune-induced hemolytic anemia.
• Ketika wanita gol darah Rh (-) tersensitisasi diperlukan waktu
kira-kira sebulan untuk membentuk antibodi Rh yg bisa
menandingi sirkulasi fetal.
• 90% kasus sensitisasi terjadi selama proses kelahiran  o.k itu
anak pertama Rh (+) tidak terpengaruhi karena waktu pajanan
eritrosit bayi ke ibu hanya sebentar, tidak bisa memproduksi
antibodi scr signifikan
Inkompatibilitas Rhesus
• Risiko dan derajat keparahan meningkat seiring dengan
kehamilan janin Rh (+) berikutnya, kehamilan kedua
menghasilkan bayi dengan anemia ringan, sedangkan
kehamilan ketiga dan selanjutnya bisa meninggal in utero
• Risiko sensitisasi tergantung pada 3 faktor:
– Volume perdarahan transplansental
– Tingkat respons imun maternal
– Adanya inkompatibilitas ABO pada saat bersamaan
• Adanya inkompatibilitas ABO pada saat bersamaan dengan
ketidakcocokan Rh justru mengurangi kejadian inkompatibilitas Rh
 karena serum ibu yang mengandung antibodi ABO
menghancurkan eritrosit janin sebelum sensitisasi Rh yg signifikan
sempat terjadi
• Untungnya inkompatibilitas ABO biasanya tidak memberikan
sekuele yang parah
http://emedicine.medscape.com/article/797150
Dd/ Inkompatibilitas ABO

• Terjadi pada ibu dengan • Gejala yang timbul adalah


golongan darah O terhadap ikterik, anemia ringan, dan
janin dengan golongan peningkatan bilirubin
darah A, B, atau AB serum.
• Tidak terjadi pada ibu gol A • Lebih sering terjadi pada
dan B karena antibodi yg bayi dengan gol darah A
terbentuk adalah IgM yg tdk dibanding B, tetapi
melewati plasenta, hemolisis pada gol darah
sedangkan 1% ibu gol darah tipe B biasanya lebih parah.
O yang memiliki titer • Inkompatibilitas ABO jarang
antibody IgG terhadap sekali menimbulkan hidrops
antigen A dan B, bisa fetalis dan biasanya tidak
melewati plasenta separah inkompatibilitas Rh
Kenapa tidak separah
Inkompatibilitas Rh?
• Biasanya antibodi Anti-A dan Anti-B adalah IgM
yang tidak bisa melewati sawar darah plasenta
• Karena antigen A dan B diekspresikan secara luas
pada berbagai jaringan fetus, tidak hanya pada
eritrosit, hanya sebagian kecil antibodi ibu yang
berikatan dengan eritrosit.
• Eritrosit fetus tampaknya lebih sedikit
mengekspresikan antigen permukaan A dan B
dibanding orang dewasa, sehingga reaksi imun
antara antibody-antigen juga lebih sedikit 
hemolisis yang parah jarang ditemukan.
Tes Laboratorium Inkompatibilitas

• Prenatal emergency care • Postnatal emergency care


– Tipe Rh ibu – Cek tipe ABO dan Rh,
– the Rosette screening test hematokrit, Hb, serum
atau the Kleihauer-Betke bilirubin, apusan darah,
acid elution test bisa dan direct Coombs test.
mendeteksi – direct Coombs test yang
alloimmunization yg positif menegakkan
disebabkan oleh fetal diagnosis antibody-induced
hemorrhage hemolytic anemia yang
– Amniosentesis/cordosente menandakan adanya
sis inkompabilitas ABO atau
Rh

http://emedicine.medscape.com/article/797150
Tatalaksana Umum Hemolytic Disease
of Neonates
• In infants with hyperbilirubinemia due to alloimmune HDN, monitoring serum
bilirubin levels, oral hydration, and phototherapy are the mainstays of
management.
• For infants who do not respond to these conventional measures, intravenous fluid
supplementation and/or exchange transfusion may be necessary to treat
hyperbilirubinemia. Intravenous immunoglobulin (IVIG) also may be useful in
reducing the need for exchange transfusion.
• Phototherapy — Phototherapy is the most commonly used intervention to treat
and prevent severe hyperbilirubinemia. It is an effective and safe intervention. The
AAP has developed guidelines for the initiation and discontinuation of
phototherapy based upon total serum bilirubin (TSB) values at specific hourly age
of the patient, gestational age, and the presence or absence of risk factors for
hyperbilirubinemia including alloimmune HDN
• Hydration — Phototherapy increases insensible skin losses and as a result the
fluid requirements of infants undergoing phototherapy are increased. In addition,
by-products of phototherapy are eliminated in the urine. If oral hydration is
inadequate, intravenous hydration may be necessary.
• Exchange transfusion — Exchange transfusion is used to treat severe anemia, as
previously discussed, and severe hyperbilirubinemia. Exchange transfusion
removes serum bilirubin and decreases hemolysis by the removal of antibody-
coated neonatal RBCs and unbound maternal antibody.
Tatalaksana Inkompatibilitas Rh

• Jika sang ibu hamil Rh – dan belum tersensitisasi,


berikan human anti-D immunoglobulin (Rh IgG atau
RhoGAM)
• Jika sang ibu sudah tersensitisasi, pemberian Rh IgG
tidak berguna
• Jika bayi telah lahir dan mengalami inkompatibilitas,
transfusi tukar/ foto terapi tergantung dari kadar
bilirubin serum, rendahnya Ht, dan naiknya
reticulocyte count

http://emedicine.medscape.com/article/797150
Panduan foto terapi

AAP, 2004
Panduan transfusi tukar

AAP, 2004
62. Keracunan pada Anak
• Curigai keracunan pada anak sehat yang mendadak sakit
dan tidak dapat dijelaskan penyebabnya

• Prinsip penatalaksanaan terhadap racun yang tertelan


– Dekontaminasi lambung (menghilangkan racun dari lambung)
efektif bila dilakukan sebelum masa pengosongan lambung
terlewati (1-2 jam, termasuk penuh atau tidaknya lambung).
– Dekontaminasi lambung tidak menjamin semua bahan racun
yang masuk bisa dikeluarkan, oleh karena itu tindakan
dekontaminasi lambung tidak rutin dilakukan pada kasus
keracunan.
– Kontra indikasi untuk dekontaminasi lambung adalah:
• Keracunan bahan korosif atau senyawa hidrokarbon (minyak tanah, dll)
karena mempunyai risiko terjadi gejala keracunan yang lebih serius
• Penurunan kesadaran (bila jalan napas tidak terlindungi).
Keracunan pada Anak
– Periksa anak apakah ada tanda kegawatan dan periksa gula
darah (hipoglikemia)
– Identifikasi bahan racun dan keluarkan bahan tersebut
sesegera mungkin.
– Ini akan sangat efektif jika dilakukan sesegera mungkin
setelah terjadinya keracunan, idealnya dalam waktu 1 jam
pertama pajanan.
– Jika anak tertelan minyak tanah, premium atau bahan lain
yang mengandung premium/minyak tanah/solar (pestisida
pertanian berbahan pelarut minyak tanah) atau jika mulut
dan tenggorokan mengalami luka bakar (misalnya karena
bahan pemutih, pembersih toilet atau asam kuat dari
aki) jangan rangsang muntah tetapi beri minum air!!
• Jika anak tertelan racun lainnya
– Berikan arang aktif (activated charcoal) jika tersedia, jangan rangsang
muntah.
– Arang aktif diberikan peroral dengan atau tanpa pipa nasogastrik
dengan dosis yang sesuai
– Jika menggunakan pipa nasogastrik, pastikan dengan seksama pipa
nasogastrik berada di lambung.
• Jika arang aktif tidak tersedia, rangsang muntah (hanya pada anak
sadar)  merangsang dinding belakang tenggorokan dengan
menggunakan spatula atau gagang sendok.
Intoksikasi Paracetamol
• Paracetamol is the most common single agent
involved in poisonous ingestions in young children.
• While there is potential for serious liver damage if a
large dose is ingested, in practice, it is rare for a child
to achieve toxic blood levels by ingesting paracetamol
elixir (syrup).
• Resuscitation :
– Immediate threats to airway, breathing and circulation
are RARE in isolated paracetamol poisoning.
– Resuscitation should take priority over decontamination
or antidote administration.

Starship Children’s Health Clinical Guideline


Indications for NAC therapy in
children and adolescents
• Serum acetaminophen concentration above the "treatment" line of
the treatment nomogram for acetaminophen poisoning following
acute ingestion of an immediate-release preparation.
• A suspected single ingestion of greater than 150 mg/kg (7.5 g total
dose regardless of weight) in a patient for whom the serum
acetaminophen concentration will not be available until more than
eight hours from the time of the ingestion.
• Patients with an unknown time of ingestion beyond 24 hours and a
serum acetaminophen concentration >10 mg/L (66 micromol/L).
• Patients with delayed presentation (>24 hours after ingestion)
consisting of laboratory evidence of hepatotoxicity (from mildly
elevated aminotransferases to fulminant hepatic failure) and a
history of excessive acetaminophen ingestion.
Acetaminophen
poisoning
nomogram
63. Anemia hemolitik dan G6PD

• Hemolysis is the destruction or removal of red


blood cells from the circulation before their
normal life span of 120 days
• Hemolysis presents as acute or chronic
anemia, reticulocytosis, or jaundice.
• Premature destruction of erythrocytes occurs
intravascularly or extravascularly
• The etiologies of hemolysis often are
categorized as acquired or hereditary
Mechanisms of hemolysis
1. Intravascular hemolysis
• destruction of red blood cells in the circulation with the release of cell
contents into the plasma.
• Mechanical trauma from a damaged endothelium, complement
fixation and activation on the cell surface, and infectious agents may
cause direct membrane degradation and cell destruction.

2. Extravascular hemolysis
• the removal and destruction of red blood cells with membrane
alterations by the macrophages of the spleen and liver.
• Circulating blood is filtered continuously through thinwalled splenic
cords into the splenic sinusoids (with fenestrated basement
membranes), a spongelike labyrinth of macrophages with long
dendritic processes
Defisiensi Glukosa-6-FosfatDehidrogenase (G6PD)
• Defisiensi (G6PD) merupakan enzimopati terkait kromosom X yang paling
umum diderita manusia.
• Prevalensi tinggi terutama di daerah endemis malaria termasuk Asia
Tenggara  Indonesia
• Defisiensi G6PD diturunkan melalui kromosom X
• Gen G6PD terletak pada regio telomerik lengan panjang kromosom X
(band Xq28), dekat dengan gen hemofi lia A, diskeratosis kongenital dan
buta warna

Kurniawan LB. Skrining, Diagnosis dan Aspek Klinis Defi siensi Glukosa-6-FosfatDehidrogenase (G6PD). CDK-222/ vol. 41 no. 11, th. 2014
Patogenesis defisiensi G6PD
• Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD)  enzim pengkatalisis reaksi
pertama jalur pentosa fosfat dan memberikan efek reduksi pada semua
sel dalam bentuk NADPH
• NADPH memungkinkan sel-sel bertahan dari stres oksidatif yang dapat
dipicu oleh beberapa bahan oksidan dan menyediakan glutathione
dalam bentuk tereduksi
• Eritrosit tidak memiliki mitokondria  jalur pentosa fosfat merupakan
satu-satunya sumber NADPH  pertahanan terhadap kerusakan
oksidatif tergantung pada G6PD
What happens in G6PD deficiency?
Manifestasi Klinis
• Sebagian besar penderita defisiensi G6PD bersifat asimtomatik
• Gejala muncul bila eritrosit mengalami stres oksidatif dipicu obat,
infeksi, maupun konsumsi kacang fava.
• Manifestasi Klinis berupa anemia hemolitik akut yang diinduksi obat
maupun infeksi, favisme, ikterus neonatorum maupun anemia
hemolitik non-sferosis kronis.
• Beberapa kondisi seperti diabetes, infark miokard, latihan fi sik
berat telah dapat menginduksi hemolisis pada penderita defisiensi
G6PD.
• Hemolisis akut  rasa lemah, nyeri punggung, anemia dan ikterus.
Terjadi peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, laktat
dehidrogenase dan retikulositosis.
Anemia Hemolitik Terinduksi Obat

• Obat obat spesifik penyebab langsung krisis hemolisis penderita


defisiensi G6PD sulit ditentukan dengan tepat.
– Suatu obat yang dinyatakan aman untuk satu penderita defi siensi G6PD
belum tentu aman untuk penderita lain perbedaan farmakokinetik tiap
individu.
– Obat yang memiliki efek oksidan sering diberikan pada pasien dengan
keadaan klinis (misalnya infeksi) yang dapat menyebabkan hemolisis.
– Pasien mengkonsumsi lebih dari satu jenis obat.
– Hemolisis pada defisiensi G6PD biasanya sembuh sendiri, tidak
menyebabkan anemia dan retikulositosis yang signifikan
• Hemolisis dan ikterus klinis biasanya muncul 24-72 jam setelah
konsumsi obat.
• Anemia memburuk hingga 7-8 hari, kadar hemoglobin akan
kembali meningkat setelah 8-10 hari obat dihentikan
Medicines and other substances likely
to be UNSAFE in moderate to severe
G6PD deficiency
Anti-infectives
Dapsone
Nitrofurantoin and related, including nifuratel and nitrofurazone (nitrofural)
Primaquine
Miscellaneous
Methylene blue (methylthioninium chloride) (antidote, also contained in some urinary tract
combination products)
Phenazopyridine
Chemical exposures and foods
Aniline dyes
Naphthalene (mothballs, lavatory deodorant)

Henna compounds (black and red Egyptian) and related dyes used for hair and tattoos

Fava beans
Some prefer to avoid red wine, legumes, blueberries, soya, and tonic water
Medicines previously considered unsafe, but
PROBABLY SAFE given in usual therapeutic
doses in G6PD deficiency
Analgesics
Acetaminophen (paracetamol)
Aspirin (acetylsalicylic acid)
Aminophenazone and related NSAIDs (dipyrone, metamizole)
Anti-infectives
Antimalarials: chloroquine, mepacrine, quinine
Fluoroquinolones: ciprofloxacin, levofloxacin, nalidixic acid, norfloxacin, ofloxacin
Sulfonamides: co-trimoxazole, sulfacetamide (topical), sulfanilamide, sulfisoxazole, sulfamethoxazole,
trimethoprim-sulfamethoxazole
Other anti-infectives: chloramphenicol, furazolidone, isoniazid, mepacrine
Miscellaneous
Ascorbic acid (vitamin C)
Glyburide (glibenclamide)
Hydroxychloroquine (see chloroquine)
Isosorbide dinitrate
Quinine
Sulfasalazine
Food to avoid in G6PD deficiency
Heinz body pada pewarnaan supravital
presipitat hemoglobin yang terdenaturasi
di dalam eritrosit.
Terbentuk akibat kerusakan komponen
hemoglobin (biasanya akibat radikal
red cells with characteristic bite-like deformity bebas) yang dapat diinduksi oleh obat
(arrows) atau akibat gangguan mutasi  sel rusak
Terbentuk akibat proses pembersihan sel yang dan lisis
rusak oleh makrofag di spleen  membran Dapat terjadi pada kasus defisiensi
yang rusak dan presipitat (hemoglobin NADPH, defisiensi G6PD, penyakit liver
terdenaturasi) dibuang  eritrosit dengan kronis, talasemia terutama alfa.
sebagian selnya terbuang  bite cell atau
degmacyte.
Ditemukan pada defisiensi G6PD.
64. Hand-Foot-Mouth Disease
• Etiologi: Coxsackievirus A type 16 (CVA16)
• Menyebabkan:
– Erupsi vesikular di rongga mulut dengan tangan,
kaki, bokong, dan/atau genitalia
– Awal: keluhan nyeri pada mulut dan tenggorok serta
malas makan
– Demam 38-39oC 1-2 hari namun biasanya subfebris
– Malaise, mual, nyeri mulut dan tenggorokan ORAL ENANTHEM
– Gejala khasnya: oral enanthem dan adanya
exanthem, namun bisa tidak muncul salah satunya
– Lesi oral: bagian anterior rongga mulut, biasanya
pada lidah dan mukosa
– Lesi kulit : berupa makula, maculopapular, atau
vesicular
• Lesi oral ini berawal dari macula eritematosavesikel
yang dikelilingi oleh daerah pucat kemudian diluarnya EXANTHEM
lagi dikelilingi eritema (lesi halo)vesikel ruptureulkus
superfisial dengan dasar berwarna kuning keabuan dan
tepi eritema.
Hand-Foot-Mouth Disease

• Tatalaksana:
– Suportif
– Cairan adekuat untuk mencegah dehidrasi
– Makanan pedas dan asam harus dihindari karena
dapat memperparah keluhan nyeri
– Bila terjadi dehidrasi sedang hingga berat 
pertimbangkan pemberian hidrasi intravena
– Pemberian asetaminofen atau ibuprofen sebagai
antipiretik dan analgetik.
– Analgetik topikal untuk rongga mulut juga bisa
dipakai berupa obat kumur atau semprot
65. Kernikterus
• “Kernicterus” refers to the neurologic consequences of
the deposition of unconjugated bilirubin in brain tissue
• Serum unconjugated bilirubin level exceeds the binding
capacity of albumin → unbound lipid-soluble bilirubin
crosses the blood-brain barrier
• Albumin-bound bilirubin may also cross the blood-brain
barrier if damage has occurred because of asphyxia,
acidosis, hypoxia, hypoperfusion, hyperosmolality, or
sepsis in the newborn
• The exact bilirubin concentration associated with
kernicterus in the healthy term infant is unpredictable. In
the term newborn with hemolysis, a bilirubin level above
20 mg per dL (342 μ mol per L) is a concern

Am Fam Physician. 2002 Feb 15;65(4):599-607. Hyperbilirubinemia in the Term Newborn.


Kernikterus
• Bilirubin indirek bersifat lipofilik
• Peningkatan bilirubin indirek  menembus sawar
darah otak  ensefalopati bilirubin (kernikterus)

Tahap 1: Letargi, hipotonia, refleks isap buruk


Tahap 2: Demam, hipertonia, opistotonus
Tahap 3: Kondisi terlihat membaik
Sekuele: Kehilangan pendengaran sensorineural
Serebral palsi koreoatetoid
Abnormalitas daya pandang
Kernikterus
Prinsip Tatalaksana Kernikterus

• Prinsip tatalaksana adalah mencegah


neurotoksisitas
• Pilihan utamanya adalah transfusi tukar
• Apabila transfusi tukar belum bisa dikerjakan, maka
dilakukan fototerapi dahulu hingga transfusi tukar
dapat dikerjakan
66. Sindrom Reye
• Sindrom kerusakan otak yang akut yang ditandai dengan ensefalopati
dan masalah fungsi hati dengan penyebab tidak diketahui.
• Terutama menyerang anak walaupun bisa terjadi pada semua umur.
• Sindrom ini disebabkan karena meningkatnya tekanan dalam otak
dengan akumulasi masif lemak pada hati dan organ lain.
• Sindrom Reye berhubungan dengan penyakit virus seperti cacar air
dan influenza A atau B, biasanya terjadi saat masa penyembuhan dari
infeksi virus tersebut.
• Penyebab sindrom Reye masih belum diketahui dengan pasti, diduga
ada hubungannya dengan pemakaian aspirin atau asam salisilat pada
penyakit infeksi virus.
• Diduga juga ada hubungannya dengan kelainan metabolik.
Sindrom Reye
Pengobatan
• Tidak ada pengobatan yang spesifik, monitor yang perlu diperhatikan
adalah tekanan intrakranial, tekanan darah, gas darah, keseimbangan
asam basa darah.
• Klinisi harus fokus pada menjaga kecukupan cairan dan elektrolit, nutrisi
yang cukup, dan keadaan kardiorespirasinya.
• Tata laksana suportif adalah:
– SR harus dirawat di rumah sakit dan jika berat di perawatan intensif
– Dukungan pernapasan (mesin ventilator untuk yang koma).
– Cairan intravena untuk memberikan elektrolit dan glukosa, pemberian
mannitol 0.5 mg/kg tiap 4-6 jam membantu mengurangi udem otak
– Kortikosteroid tidak terbukti bermanfaat untuk mengurangi edema otak,
sehingga tidak dianjurkan
– Pemberian insulin dosis rendah bisa dilakukan untuk membantu meningkatkan
metabolisme glukosa.
– Pemberian diuresis untuk meningkatkan pengeluaran cairan. Pemberian
furosemide 1-2 mg/kgBB i.v, kemudian di pantau diuresisnya.
Prognosis dan Pencegahan
• Anak yang datang pada periode akut pronosisnya baik.
• Anak yang datang pada keadaan terlambat maka
kemungkinan terjadi kerusakan otak dan kelumpuhan
sangat besar.
• Komplikasi:
– Koma
– Kerusakan otak permanen
– Kejang
• Pencegahan : Pemakaian aspirin dan obat-obatan dari
derivat salisilat tidak boleh diberikan pada cacar air,
influenza, dan penyakit virus yang lain.
• Jika akan memakai aspirin dan derivatnya, harus dengan
petunjuk dokter
67. Asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

• Penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik


yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas
saluran respiratori dengan derajat bervariasi.
• Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing,
sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan
atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada
malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada
pencetus
• Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB)
dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis
asma
Patogenesis asma pada anak
Patofisiologi asma pada anak
Asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
KARAKTERISTIK:
 Gejala timbul secara episodik atau berulang.
 Timbul bila ada faktor pencetus.
 Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering,
makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna makanan.
 Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
 Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis
 Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
 Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
 Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam.
Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
 Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat
pereda asma.
 Terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar
dengan stetoskop.
 Biasanya berhubungan dengan kondisi atopi lain seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi,
dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau geographictongue.
Asma pada anak
• Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala batuk, sesak
napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.

• Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan


pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan
faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.

• Riwayat penyakit / gejala :


– Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
– Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
– Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
– Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
– Respons terhadap pemberian bronkodilator
– Riwayat Atopi (Rhinitis Alergi)

• Tanda klinis: sesak napas, mengi, & hiperinflasi. Serangan berat: sianosis,
gelisah, sukar bicara, takikardi, penggunaan otot bantu napas.

PDPI. Asma: pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia.


2004
Asma pada anak
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang
• Wheezing baik (audible • Uji fungsi paru spirometri 
wheesze) atau dengan uji reversibilitas dan
stetoskop variabilitas (apabila tidak
ada menggunakan peak
• Tanda alergi : Allergic shiner flow meter)
atau geographic tongue • Uji cukit kulit (skin prick
test), eosinofil total darah,
pemeriksaan Ig E spesifik
• Uji inflamasi : FeNO
(Fractional Exhaled Nitric
Oxide), eosinofil sputum

Pedoman nasional Asma Anak. IDAI. 2016


Asma pada anak

Pedoman nasional Asma Anak. IDAI. 2016


Alur diagnosis asma pada anak
Asma pada anak

Diagnosis Diagnosis
Diagnosis
Klasifikasi Derajat
Kerja
kekerapan kendali

Pedoman nasional Asma Anak. IDAI. 2016


Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan kekerapan Berdasarkan kondisi saat ini Berdasarkan derajat kendali

• Intermitten • Tanpa gejala • Tidak terkendali


• Persisten Ringan • Ada gejala • Terkendali sebagian
• Persisten Sedang • Serangan ringan • Terkendali penuh dengan
• Persisten Berat • Serangan sedang controller
• Serangan berat • Terkendali penuh tanpa
• Ancaman gagal napas controller
Berdasarkan umur Berdasarkan fenotip Berdasarkan derajat
beratnya serangan
• Asma bayi – baduta • Asma tercetus infeksi
(bawah dua tahun) virus • Asma serangan ringan-
• Asma balita (bawah • Asma tercetus aktivitas sedang
lima tahun) (exercise induced • Asma serangan berat
• Asma usia sekolah asthma) • Serangan asma dengan
(5-11 tahun) • Asma tercetus alergen ancaman henti napas
• Asma remaja (12- • Asma terkait obesitas
17 tahun) • Asma dengan banyak
pencetus (multiple
triggered asthma)
Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan kekerapan

Berdasarkan derajat beratnya serangan


Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan derajat kendali
Korelasi Klasifikasi Lama dengan Baru

PNAA 2004 PNAA 2015 Keterangan

Episodik jarang Intermiten Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak


antar gejala ≥6 minggu

Episodik sering Persisten ringan Episode gejala asma >1x/bulan,


<1x/minggu
Persisten Persisten sedang Episode gejala asma >1x/minggu, namun
tidak setiap hari

Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir tiap


hari

PNAA: Pedoman Nasional Asma Anak


Tatalaksana kekerapan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Tatalaksana kekerapan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Sediaan Steroid
 Steroid inhalasi atau sistemik tidak
digunakan untuk asma intermiten dan
wheezing akibat infeksi virus.
 Steroid inhalasi umumnya diberikan
dua kali dalam sehari
 Ciclesonide diberikan sekali
sehariefikasi masih diobservasi
 Steroid inhalasi sebagai obat
pengendali asma tidak mempengaruhi
tinggi badan dan densitas tulang.
 Kandidiasis oral dan suara parau
sebagai efek samping dapat dicegah
dengan cara berkumur setiap selesai
pemberian steroid inhalasi lalu
membuang air bekas berkumur
tersebut.
 Pada anak asma yang mendapatkan
steroid inhalasi perlu dipantau
pertumbuhan (persentil tinggi badan
dan berat badan) setiap tahun.
Tatalaksana serangan
asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Tatalaksana serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

• Beberapa pasien memiliki risiko tinggi untuk mengalami serangan asma yang
dapat mengancam nyawa. Resiko tersebut adalah pasien dengan riwayat:
 Serangan asma yang mengancam nyawa
 Intubasi karena serangan asma
 Pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum
 Serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama
 Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenti)
 Kunjungan ke UGD atau perawatan rumah sakit (RS) karena asma dalam
setahun terakhir
 Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi
 Berkurangnya persepsi tentang sesak napas
 Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial.
 Alergi makanan
• Untuk pasien dengan risiko tinggi tersebut, steroid sistemik (oral atau
parenteral) perlu diberikan pada awal tata laksana meskipun pada penilaian
awal serangannya masih ringan sedang.
Tatalaksana serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

Sediaan Steroid Untuk Serangan Asma


Nama generik Sediaan Dosis
Metilprednisolone Tablet 4mg, 8 mg 0.5-1 mg/kgBB/hari tiap 6
jam
Prednison Tablet 5 mg 0.5-1 mg/kgBB/hari tiap 6
jam
Metilprednisolone suksinat Vial 125 mg, 500 mg 30 mg dalam 30 menit tiap 6
injeksi jam
Hidrokortison suksinat injeksi Vial 100 mg 4 mg/kgBB/kali tiap 6 jam
Deksametasine injeksi Ampul 0.5-1 mg/kgBB bolus
kemudian dilanjutkan 1
mg/kgBB/hari setiap 6-8 jam
Betametasone injeksi Ampul 0.05-0.1 mg/kgBB tiap 6 jam
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Agonis β2 kerja pendek
 Diberikan 2 kali dengan interval 20 menit, jika di rumah keadaan pasien belum juga membaik harus segera
dibawa ke fasilitas layanan kesehatan terdekat
 Bila pemberian 2 kali sudah dilakukan di fasyankes maka pemberian ketiga dipertimbangkan kombinasi
dengan ipratropium bromida
 Contoh agonis β2 kerja pendek adalah salbutamol, terbutalin, dan prokaterol
 Pada serangan asma, agonis β2 kerja pendek diberikan secara inhalasi diberikan lewat DPI, MDI
dengan/tanpa spacer, atau nebulizer dengan dosis sesuai beratnya serangan dan respons pasien
 Harus diberikan dengan dosis terendah dan frekuensi terkecil
• Ipratropium bromida
 memberikan efek dilatasi bronkus lewat peningkatan tonus parasimpatis dalam inervasi otonom di saluran
napas
• Aminofilin intravena
 Penambahan aminofilin pada terapi awal (inhalasi agonis β2 dan steroid) meningkatkan fungsi paru dalam 6
jam pertama, tetapi tidak mengurangi gejala, jumlah nebulisasi dan lama rawat inap
 Pemberian aminofilin intravena harus sangat berhati-hati dan dipantau secara ketat karena efek
sampingnya yang cukup berat (mual, muntah, takikarsi, agitasi, aritmia, hipotensi, dan kejang
 Dosis : inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan
secara drip 1 mg/kg/jam.
 Loading 1 mg/kg akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2 mcg/mL.
 Untuk efek terapi yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah 10-20 ug/mL. Oleh karena itu kadar
aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam setelah loadingdose diberikan
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

• Steroid sistemik
o Pemberian steroid sistemik per oral sama efektifnya dengan
pemberian secara intravena
o Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk
memberikan perbaikan klinis
o Pemberian IVjika pasien tidak bisa menelan obat
o Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan per
oral dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum
sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama
pemberian 3-5 hari tanpa tapperingoff
o Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan
serangan dan mencegah kekambuhan, dan direkomendasikan
untuk diberikan pada semua jenis serangan. Jika memungkinkan,
steroid oral diberikan dalam 1 jam pertama.
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Adrenalin
o Terapi tambahan pada asma yang berhubungan dengan anafilaksis dan
angioedema
o Dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal
500 ug (0.5 ml)
• Magnesium sulfat -->tidak rutin dilakukan
• Steroid inhalasi
– Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 ug budesonide) dapat
digunakan untuk serangan asma (dalam dosis tinggi karena steroid nebulisasi
dosis rendah tidak bermanfaat untuk mengatasi serangan asma)
– terbatas pada pasienHpasien yang memiliki kontraindikasi terhadap steroid
sistemik.
• Mukolitik
• Antibiotik hanya jika terbukti disebabkan infeksi bakteri
• Obat sedasi
• Antihistamin
TO 4
68. Pediatric Aspiration Pneumonia

• Aspiration is defined as the inhalation of either


oropharyngeal or gastric contents into the lower airways,
that is, the act of taking foreign material into the lungs.
• There are four types of aspiration syndromes.
– Aspiration of gastric acid causes a chemical pneumonitis which
has also been called Mendelson's syndrome.
– Aspiration of bacteria from oral and pharyngeal areas causes
aspiration pneumonia.
– Aspiration of oil (eg, mineral oil or vegetable oil) causes
exogenous lipoid pneumonia, an unusual form of pneumonia.
– Aspiration of a foreign body may cause an acute respiratory
emergency and, in some cases, may predispose the patient to
bacterial pneumonia.
Pediatric Airway Foreign Body
• The child may present with persistent or recurrent cough, persistent or
recurrent pneumonia, lung abscess, focal bronchiectasis, or hemoptysis.
• Physical findings include tachypnea, diminished breath sounds, wheezing,
stridor, dyspnea, cyanosis, and suprasternal retractions.
• Absence of breath sounds on auscultation of the chest occurs in 30% to
60% of affected children and is suggestive of total airway obstruction.
• If there is a reliable history for aspiration, the child should be evaluated
further.
• Most foreign bodies aspirated by children are radiolucent.
• Therefore, radiographs primarily are useful for detecting only the indirect
signs of foreign body aspiration, such as air trapping or atelectasis. Routine
diagnostic imaging consists of anteroposterior and lateral chest
radiographs
Radiologic Findings in Aspirated
Foreign Body
• Normal findings
• Air trapping
• Mediastinal shift
• Atelectasis
• Pneumonia
• Lobar collapse
• Consolidation
• Radiopaque foreign body
Pediatric Airway Foreign Body
Complications
• The most common complications among children in whom the diagnosis
was delayed were croup, pneumonia, pneumothorax, atelectasis, stricture,
and perforation (multicenter study, Reilly et. al)
• The pathogenesis of pulmonary infection which is related to either partial
or complete obstruction of the airway that results in retained secretions
and subsequent bacterial overgrowth.
• Consider the diagnosis of foreign body aspiration in all children who have
unexplainable pulmonary pathology, such as persistent lung infections
(recurrent pneumonia or lung abscess), bronchiectasis, or new-onset
asthmatic symptoms.
• In these instances, the use of flexible bronchoscopy may aid in the
diagnosis.
• Less common complications of chronic aspiration of a foreign body include
perforation of the bronchial tree and fistula formation.
Pediatric Aspiration Pneumonia
Treatment
• Empiric antibiotic regimens for community-
acquired aspiration pneumonia must cover oral
anaerobes. Appropriate antibiotic regimens for
hospitalized children include:
– Ampicillin-sulbactam 150 to 200 mg/kg per day of the
ampicillin component IV in four divided doses;
maximum 8 g/day of the ampicillin component, or
– Clindamycin 30 to 40 mg/kg per day IV in three or
four divided doses to a maximum of 1 to 2 g/day if
MRSA etiology is suspected.
69. Tuberkulosis pada anak
• Pada umumnya anak yang terinfeksi tidak
menunjukkan gejala yang khas
over/underdiagnosed
• Batuk BUKAN merupakan gejala utama TB
pada anak
• Pertimbangkan tuberkulosis pada anak jika :
– BB berkurang dalam 2 bulan berturut-turut
tanpa sebab yang jelas atau gagal tumbuh
– Demam sampai 2 minggu tanpa sebab yang jelas
– Batuk kronik 3 ≥ minggu
– Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa
Petunjuk Teknis Tatalaksana TB Anak
(Depkes 2016)
• Penegakan diagnosis TB anak didasarkan 4 hal :
– Konfirmasi bakteriologis TB
– Gejala klinis yang khas TB
– Adanya bukti infeksi TB(tuberculin atau kontak TB)
– Foto thorax sugestif TB
• System skoring:
– Telah digunakan untuk diagnosis TB anak
– Bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan tuberculin dan foto
thoraks, maka skoring ini akan tidak dapat terpenuhi seluruh
komponennya
– Sehingga dibuat alur diagnostik berdasarkan klinis dan
pemeriksaan bakteriologis
Sistem Skoring
Sistem Skoring

• Diagnosis oleh dokter


• Perhitungan BB dinilai saat pasien datang (moment opname)
• Demam dan batuk yang tidak respons terhadap terapi baku
• Cut-of f point: ≥ 6
• Anak dgn skor 6 yg diperoleh dari kontak dgn pasien BTA + dan hasil
uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan
observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak
tersebut
• Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
• Adanya skrofuloderma langsung didiagnosis TB
• Reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring
• Total nilai 4 pada anak balita atau dengan kecurigaan besar dirujuk
ke rumah sakit
ALUR DIAGNOSIS
BILA DIDAPATKAN
GEJALA KLINIS
Prinsip Pengobatan TB Anak
Berat dan ringannya penyakit

• TB ringan:
– tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau
kematian, misalnya TB primer tanpa komplikasi,
TB kulit, TB kelenjar
• TB berat:
– TB pada anak yang berisiko menimbulkan
kecacatan berat atau kematian, misalnya TB
meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB
abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru
BTA positif, TB resisten obat, TB HIV.
Regimen OAT pada Anak

Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. 2016. Depkes.


Indikasi Kortikosteroid pada Anak
Uji Tuberkulin
• Menentukan adanya respon imunitas selular terhadap TB. Reaksi
berupa indurasi (vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan
akumulasi sel-sel inflamasi)
• Tuberkulin yang tersedia : PPD (purified protein derived) RT-23 2TU,
PPD S 5TU, PPD Biofarma
• Cara : Suntikkan 0,1 ml PPD intrakutan di bagian volar lengan bawah (5-
10 cm dari lipat siku). Pembacaan 48-72 jam setelah penyuntikan
• Pengukuran (pembacaan hasil)
– Dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan eritemanya
– Indurasi dipalpasi, tandai tepi dengan pulpen. Catat diameter transversal.
– Hasil dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul = 0 mm
• Hasil:
– Positif jika indurasi >= 10mm (jika imunokompromais positif >=5 mm)
– Ragu-ragu jika 5-9 mm
– Negatif < 5 mm
Uji Tuberkulin
• Hasil Positif • Pembacaan:
– Infeksi TB alamiah – Positif jika ≥ 10 mm, atau
– Imunisasi BCG ≥ 5 mm pada kondisi
– Infeksi mikobaterium imunosupresi
atipik

• Hasil Negatif
– Tidak ada infeksi TB
– Dalam masa inkubasi
infeksi TB
– Anergi
Pengobatan Profilaksis

• Pengobatan profilaksis hanya diberikan pada


pasien dengan kontak TB dan tidak bergejala,
yaitu:
– kelompok infeksi laten TB (tuberculin positif)
– Terpajan (tuberculin negative)
• Untuk menentukan kelompok pasien tersebut
dilakukan investigasi kontak
ALUR INVESTIGASI KONTAK

TB RO: kontakTB
tersangka resisten
Obat (RO) atau
terbukti resisten Obat
Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid

• Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien


TB paru dewasa dengan BTA sputum positif, akan
terinfeksi TB juga.
• Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan
mengalami sakit TB.
• Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi
TB berat (misalnya TB meningitis atau TB milier)
sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis
untuk mencegah terjadinya sakit TB.
Profilaksis TB pada Anak

KETERANGAN
• ILTBInfeksi Laten TB
• Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari
selama 6 bulan.
• Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya gejala
TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera
dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke
regimen terapi TB anak dimulai dari awal
• Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan
pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihentikan.
• Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah
pengobatan profilaksis dengan INH selesai.
70. Cushing Syndrome

• Cushing’s syndrome is a rare


condition that occurs when
there is excess cortisol in the
body.
• Cortisol is a hormone normally
made by the adrenal glands and
is necessary for life
• Cushing’s syndrome refers to
the condition caused by excess
cortisol in the body, regardless
of the cause.
• When Cushing’s syndrome is
caused by a pituitary tumor, it is
called Cushing’s disease
Sindrom Cushing
(hiperadrenokortikalism/hiperkortisolism)
– Kondisi klinis yang disebabkan oleh
pajanan kronik glukokortikoid
berlebih.

• Penyebab:
– Sekresi ACTH berlebih dari hipofisis
anterior (penyakit Cushing).
– ACTH ektopik (C/: ca paru)
– Tumor adrenokortikal
– Glukokorticod eksogen (obat)

Silbernagl S, et al. Color atlas of pathophysiology. Thieme; 2000.


McPhee SJ, et al. Pathophysiology of disease: an introduction to clinical medicine. 5th ed. McGraw-Hill; 2006.
• Sindrom Cushing endogen :
– disebabkan gangguan endokrin berkepanjangan
disertai peningkatan kadar kortisol
– 80% tergantung ACTH, 20% tidak tergantung ACTH
(sekresi kortisol otonom kelenjar adrenal)
– Tumor hipofisis penghasil ACTH  penyakit Cushing,

• Sindrom Cushing eksogen ; glukokortikoid sintetik


(misalnya tablet, krim, inhaler atau suntikan).
ETIOLOGI
Diagnosis frekuensi (%)

Tergantung ACTH
• Sindrom Cushing tergantung Pituitari 65
• Sindrom ACTH ektopik (tumor bronkial, 7
timus, pancreatic carcinoid pankreas,
karsinoma tiroid medulare)
• Sindrom CRH ektopik <1

Tidak tergantung ACTH


• Adenoma adrenal 18
• Karsinoma adrenal 6
• PPNAD (primary pigmented nodular 1
adrenocortical disease)
• AIMAH (ACTH-independent macronodular 3
adrenal hyperplasia aberrant)

(Boscaro M, Amaldi G. Approach to the Patient with Possible Cushing’s Syndrome. Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 2009)
PATOFISIOLOGI
• Terjadi sekresi ACTH dan produksi kortisol berlebih.

Wondisford F E. A new medical therapy for Cushing disease? J Clin Invest. 2011)
SDS= standard deviation score
TATALAKSANA
• Penyakit Cushing.
– Pengobatan pilihan : microadenomectomi transsphenoidal
– Jika tidak, 85-90% pasien harus menjalani reseksi hipofisis
• Sindrom kortikotropin dan CRH ektopik
– Inhibitor enzim adrenal, sendiri atau kombinasi
– Mifepristone (dikenal sebagai RU-486) menghambat aksi
kortisol perifer.
• Penyakit adrenal primer
– Adrenalektomi bilateral total ; hiperplasia adrenal bilateral
mikronodular atau makronodular
– Adrenalektomi unilateral; adenoma atau karsinoma adrenal .
– Inhibitor enzim adrenal dapat diberikan untuk mengontrol
• Obat-obatan lain :
– agonis dopamin, analog somatostatin, inhibitor tirosin kinase
pada EGFR (dikenal juga sebagai ErbB1)
71. Leukemia Akut Dan Sindrom Lisis Tumor
CLL CML ALL AML
The bone marrow makes abnormal leukocyte  dont die when they
should  crowd out normal leukocytes, erythrocytes, & platelets. This
makes it hard for normal blood cells to do their work.
Prevalence Over 55 y.o. Mainly adults Common in Adults &
children children
Symptoms & Grows slowly  may Grows quickly  feel sick & go to
Signs asymptomatic, the disease is found their doctor.
during a routine test.
Fever, swollen lymph nodes, frequent infection, weak,
bleeding/bruising easily, hepatomegaly/splenomegaly, weight loss,
bone pain.
Lab Mature Mature granulocyte, Lymphoblas Myeloblast
lymphocyte, dominant myelocyte t >20% >20%, aeur rod
smudge cells & segment may (+)
Therapy Can be delayed if asymptomatic Treated right away
CDC.gov
AML VS ALL
AML ALL

Epidemiologi Lebih banyak pada dewasa Lebih banyak pada anak-anak

Sel mieloblas imatur, terdapat


Morfologi Limfoblas
auer rod
• Mieloperoksidase (+)
• Mieloperoksidase (-)
• Terminal deoxynucleotidyl
• Terminal deoxynucleotidyl
transferase (TdT) (-)
Sitokimia transferase (TdT) (+)
• LDH & serum uric acid
• LDH & serum uric acid elevated 
elevated  tumor lysis
tumor lysis syndrome
syndrome

• B-precursor ALL (70% ALL subtype in


Immuno Children)  CD10, CD19, CD20,
phenotyping, CD13, CD14, CD15, and CD33 CD22, CD24
Cytogenetics & (>90% of leukemic cells) • T-cell ALL (16% ALL Subtype in
Molecular testing children)  CD2, CD3, CD4, CD5,
CD7, CD8
CML VS CLL
CML CLL
Lansia (>65 tahun), tapi bisa juga
Epidemiologi Dewasa (50-60 tahun)
ditemukan pada usia lbh muda
• Sel mieloid • Limfosit B matur
• Basofilia, eosinofilia • Smudge cell/basket cell
Morfologi
• Anemia, • Neutropenia, anemia, and
Trombositosis/normal thrombocytopenia
• Mature granulocytes have
decreased apoptosis
Sitokimia accumulation of long-lived
cells with low or absent
alkaline phosphatase (ALP).
• Circulating clonal B-lymphocytes
expressing CD19, CD20, and CD23
Immuno
Philadelphia chromosome, the and expression of the T cell
phenotyping,
BCR-ABL1 fusion gene, or the associated antigen CD5
Cytogenetics &
BCR-ABL1 fusion mRNA • Cytogenetics: trisomy 12 (16%), and
Molecular testing
deletions of chromosomal regions
13q (55%), 11q (18%), and 17p (7%)
Sel blas dengan Auer rod pada leukemia Leukemia mielositik kronik
mieloblastik akut

Limfosit matur & smudge cell


Sel blas pada leukemia limfoblastik akut pada leukemia limfositik kronik
AML & ALL
• Jenis leukemia yang paling sering terjadi pada
anak-anak adalah Acute Lymphoblastic
Leukemia (ALL) dan Acute Myelogenous
Leukemia (AML)
• ALL merupakan keganasan yg paling sering
ditemui pada anak-anak (1/4 total kasus
keganasan pediatrik)
• Puncak insidens ALL usia 2-5 tahun
AML & ALL Clinical Manifestation
• More common in AML
– Leukostasis (when blas count >50.000/uL): occluded
microcirculationheadache, blurred vision, TIA, CVA, dyspnea,
hypoxia
– DIC (promyelocitic subtype)
– Leukemic infiltration of skin, gingiva (monocytic subtype)
– Chloroma: extramedullary tumor, virtually any location.
• More common in ALL
– Bone pain, lymphadenopathy, hepatosplenomegaly (also seen in
monocytic AML)
– CNS involvement: cranial neuropathies, nausea, vomiting, headache,
anterior mediastinal mass (T-cell ALL)
– Tumor lysis syndrome
Leukemia Limfoblastik Akut
• Merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada
masa anak, meliputi 25-30% dari seluruh keganasan pada
anak.
• Lebih sering pada laki-laki, usia 3-4 tahun
• Manifestasi klinis
– Penekanan sistem hemopoetik normal, anemia (pucat),
neutropenia (sering demam), trombositopenia (perdarahan)
– Infiltrasi jaringan ekstramedular, berupa pembesaran KGB, nyeri
tulang, dan pembesaran hati serta limpa
– Penurunan BB, anoreksia, kelemahan umum
• Pemeriksaan Penunjang: Gambaran darah tepi dan pungsi
sumsum tulang untuk memastikan diagnosis
• Tatalaksana : Kemoterapi dan Pengobatan suportif
ALL Classification
• In the WHO classification system for hematologic malignancies,
the lymphoblastic neoplasms (which may present as leukemia
and/or lymphoma) are divided into:
– Precursor B cell lymphoblastic leukemia/lymphoma, also called
precursor B cell acute lymphoblastic leukemia (precursor B cell ALL)
– Precursor T cell lymphoblastic leukemia/lymphoma (precursor T-LBL),
also called precursor T cell acute lymphoblastic leukemia (T cell ALL)
• These two entities are morphologically indistinguishable.
• FAB subtype is not currently used in either diagnosis or treatment
decisions
• ALL is the preferred term in the US when the bone marrow
contains more than 25% lymphoblasts, whereas lymphoma is the
preferred term when the process is confined to a mass lesion with
minimal or no blood and bone marrow involvement.
French-American-British (FAB) Classification
ALL Diagnosis
• Evaluation will include clinical examination, and bone
marrow aspiration and biopsy, which will diagnose ALL and
determine the leukemia phenotype as well as the presence
or absence of cytogenetic abnormalities.
• Bone marrow aspirations are preferred for diagnostic
accuracy and often provide better cytogenetics results.
• It is not standard in children or adolescents to diagnose
leukemia from the peripheral blood when lymphoblasts are
present.
• However, in cases where it is difficult to obtain either bone
marrow aspirate or biopsy, peripheral blood can be
substituted for bone marrow.
Diagnosis of AML
The diagnosis of AML requires both of the following:
• Documentation of bone marrow infiltration –
– Definitive diagnosis: Blast forms must account for at least 20
percent of the total cells of the bone marrow aspirate/biopsy.
– Presumptive diagnosis: The presence of 20 percent or more
blasts in the peripheral blood is also diagnostic of AML.
• The leukemic cells must be of myeloid origin as
demonstrated by either the presence of Auer rods,
cytochemical positivity for myeloperoxidase, or presence of
sufficient myeloid/monocytic markers recognized by
immunophenotyping.
Peripheral smear from a patient with acute myeloid leukemia. There are two myeloblasts, which
are large cells with high nuclear-to-cytoplasmic ratio and nucleoli. Each myeloblast has a
pink/red rod-like structure
Sindrom lisis tumor
• Merupakan komplikasi metabolic dari hiperleukositosis yang
dapat menyebabkan mortalitas  kondisi kegawatdaruratan
• Hiperleukositosis  kedaruratan onkologi bila hitung leukosit
>100.000/uL, namun untuk kepentingan klinis bila leukosit
>50.000/uL sudah ditatalaksana sebagai hiperleukositosis
• 9-13% kasus terjadi pada ALL
• Klinis:
– Gejala dan tanda leukemia: pucat, perdarahan, demam, penurunan
BB, nyeri sendi, organomegaly, pembesaran KGB
– Gejala leukostasis: pusing, nyeri kepala, muntah, sesak napas,
hemoptisis, penglihatan kabur, penurunan kesadaran, oliguria atau
anuria
– Tanda leukostasis di otak: papilledema, ganguan visus, agitasi,
penurunan kesadaran
– Tanda leukostasis di paru: takipnea, dispnea, sianosis
– Bisa disertai hipotensi dan ganguan sirkulasi perifer
PPM IDAI 2009
Sindrom lisis tumor: temuan laboratorium

• Leukosit ≥ 50.000/uL
• Hiperurisemia > 7 mg/dl
• Hiperkalemia > 6.5 mmol/L
• Hiperfosfatemia > 1.4 mmol/L
• Hipokalsemia <2.12 mmol/L
• Asidosis metabolic
• Hipoksemia
• Gangguan fungsi ginjal (AKI)
• Foto toraks  cari ada tidaknya pembesaran
mediastinum, perdarahan paru
• CT scan kepala  evaluasi ada tidaknya perdarahan
intrakranial
PPM IDAI 2009
Sindrom lisis tumor: tatalaksana
• Hidrasi  NaCl 0.9%:D5% perbandingan 3:1 kecepatan
3000 ml/m3 atau 1 ½ kali kebutuhan rumatan
• Alkalinisasi  Natrsium bikarbonat 25-50 mEq/500 ml
untuk pertahankan pH urin 7.5
• Allopurinol 10 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis per oral
• Transfusi TC bila trombosit <20.000/uL
• Transfusi PRC bisa tingkatkan viskositas darah  hanya
bila ada gangguan oksigenasi jaringan atau Hb <6 g/dL
(target Hb 8 g/dL)
• Pantau balance diuresis ketat, pemeriksaan urinalisis,
fungsi ginjal, AGD, darah lengkap, asam urat, elektrolit
berkala
PPM IDAI 2009
72. Pankreatitis Akut: Etiologi

• Aktivasi enzim pankreas bisa dipicu oleh kerusakan sel


asinar dari pankreas atau melalui aktivasi prematur
dari proenzim dalam saluran pankreas
– Trauma (paling sering pada anak-anak)
– Iskemia
– Paparan toksin: alkohol, obat-obatan
– Infeksi
– Obstruksi
– ERCP
– Kelainan metabolik: hiperlipidemia, hiperkalsemia
Manifestasi Klinis
• Nyeri abdomen disertai mual dan muntah merupakan
gejala utama
– Nyeri tajam dan mendadak di epigastrium (bisa juga di
tengah/bawah abdomen, terkadang menjalar ke punggung),
bertambah parah dengan makan dan berkurang jika lutut
ditekuk ke dada.
• Takikardia
• Demam
• Nyeri difus abdominen
• Bising usus (-)
• (Grey Turner's sign) atau (Cullen's sign) menandakan
hemorrhagic pancreatitis.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Radiologi
• Leukositosis  infeksi • Foto polos abdomen
• 15% pankreatitis pada – sentinel loops, obscured psoas margins and a
anak mengalami dilated duodenum; the “colon cut-off” sign, in
which a normal gas pattern is present only up to
hypocalcemia the mid-transverse colon
• 25% mengalami • 20% terdapat efusi pleura pada foto thoraks
hiperglikemia selama • USG direkomendasikan untuk konfirmasi
serangan diagnosis sekaligus menyingkirkan kemungkinan
• Amilase meningkat obstruksi
(normal 0-88 U/L) – An enlarged, edematous-appearing pancreas
suggests pancreatitis.
• Lipase meningkat – A dilated main pancreatic duct indicates
obstruction (kalsifikasi sering ditemukan pada
pankreatitis berulang
• Computed tomographic imaging is helpful in
complicated cases, especially when surgery is
being considered.
• ERCP  tidak saat akut
Tatalaksana
• Resusitasi cairan: Target urin output normal
• Manajemen nyeri: Meperidine (Demerol) is preferred to
morphine
• Kebutuhan nutrisi:
– A low-fat elemental diet that is started early may decrease the
need for total parenteral nutrition without aggravating the
pancreatitis.
– In prolonged cases, peripheral or central intravenous nutrition
may be necessary because of the high metabolic rate that
accompanies pancreatitis.
• Antibiotics are generally unnecessary
• Nasogastric suction is useful only when persistent vomiting
or ileus is present.
73. Gambar Soal
73. Spina bifida
• Spina bifida merupakan malformasi spinal cord yang
disebabkan oleh defek dari neural tube
• Penutupan neural tube berlangsung
sejak usia gestasi 17 hari dan sudah
menutup sempurna sebelum 30 hari
• Etiologimultifaktorial
 Genetik
 Faktor lingkungan (radiasi, teratogen)
 Nutrisi: defisiensi asam folat
 DM tipe 2 dan DM gestasional
 Obesitasi maternal
 Hipertermia
 Obat antiepilepsi selama kehamilan (as
valproat dan carbamazepine)as. Valproat
lebih teratogen dibandingkan CBZ
Tipe spina bifida

Terdapat 3 bentuk paling umum dari spina bifida, yaitu


1. Myelomeningocele
Merupakan bentuk paling berat dari spina bifida, karena selain meninges, spinal cord dan
cabang-cabang nervus ikut masuk ke dalam kantung dan mengalami cedera sehingga anak
akan mengalami disabilitas sedang hingga berat
2. Meningocele
Hanya meninges yang masuk ke dalam kantung
3. Spina bifida occulta
Bentuk paling ringan, hanya berupa gap pada area tulang belakang tanpa adanya
suatu kantung
Anensefali
• Merupakan salah satu bentuk defek dari
neural tube
• Kondisi ini terjadi ketika neural tube tidak
dapat menutup pada bagian kranial ketika
usia gestasi 3-4minggu stillbirth
• Etiologi
o Defisiensi as.folat
o DM tipe I
o Kelainan genetic (autosomal dominan)
o Ruptur membrane amnion
Anencephaly may be sonographically detectable
as early as 11 weeks. Ultrasound can be a non-
invasive, cost effective and fast method to detect
anencephaly and has an accuracy of
approximately 100% at 14 weeks
•no parenchymal tissue is seen above the orbits and calvarium
is absent: parts of the occipital bone and mid brain may be
present
•this may be seen at an earlier stage
•less than expected value for crown rump length (CRL)
•a "frog eye" or "mickey mouse" appearance may be seen
when seen in the coronal plane due to absent cranial
bone/brain and bulging orbits.
•may show evidence of polyhydramnios
Pencegahan selama kehamilan
• Kebutuhan Asam Folat
• 50-100 μg/hari pada wanita normal
• 300-400 μg/hari pada wanita hamil  hamil kembar
lebih besar lagi

• Dosis
– Pencegahan defek pada tube neural: Min. 400 mcg/hari
– Defisiensi asam folat: 250-1000 mcg/hari
– Riwayat kehamilan sebelumnya memiliki komplikasi
defek tube neural atau riwayat anensefali: 4mg/hari
pada sebulan pertama sebelum kehamilan dan diteruskan
hingga 3 bulan setelah konsepsi

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


Obat antiepilepsi (OAE) - NTD
• Mekanisme OAE menyebabkan NTD bisa secara langsung maupun tidak
langsung
• Secara langsung: OAE menginduksi neuronal apoptosis (kematian sel
saraf), contoh obat ini adalah clonazepam, diazepam, fenobarbital,
fenitoin, vigabatrin, dan asam valproat
• Secara tidak langsung: obat-obatan ini sangat kecil kemungkinannya
menyebabkan apoptosis neuronal saat dipakai sebagai monoterapi,
namun bisa menginduksi atau bahkan meningkatkan efek apoptosis
dari OAE lain. Contoh obat golongan ini: carbamazepine, lamotrigine,
atau topiramate
• Akan tetapi tidak semua ibu hamil yang menggunakan OAE pasti
memiliki anak dengan NTD karena sifat teratogenik ini dose
dependentartinya pada dosis tertentu saja bisa menyebabkan NTD

Gedzelman E, Meador KJ. Antiepileptic drugs in women with epilepsy during pregnancy. Ther Adv Drug Saf (2012) 3(2) 71–87
Hill DS, Wlodarczyk BJ, Palacios AM, Finnell RF. Teratogenic effects of antiepileptic drugs. Expert Rev Neurother. 2010
Long-Term Effects
• There is accumulating evidence from observational
studies that anticonvulsant treatment during
pregnancy may have deleterious effects on the
cognitive and neurologic function of the offspring that
may manifest later in life
• The evidence for this association is strongest with
valproate, which has been associated with increased
risk for lower cognitive test scores and impaired motor
development as well as an increased risk of autism
spectrum disorders.
Recommendation
• Because there are no clear data indicating that any drug is without risk in
pregnancy, we suggest that patients planning pregnancy should be managed
on the most effective antiseizure drug for their seizures (Grade 2C).
• As an exception, valproate should be avoided if an alternate effective
antiseizure drug regimen can be found (Grade 1B).
• Monotherapy and the lowest possible drug dose may limit risk of
teratogenicity.
• The antiseizure drug regimen should be optimized six months prior to planned
conception.
• We suggest NOT making changes to antiseizure drug regimen for the purpose
of reducing teratogenic risk in established pregnancy (Grade 2C).
• Folic acid supplementation (0.4 to 0.8 mg per day) is recommended for all
women of child bearing potential (Grade 1A).
• Folic acid supplementation prior to conception and during the first trimester
decreases risk for congenital neural tube defects
74. Neonatal Asphyxia

• Deprivation of oxygen to a newborn infant that


lasts long enough during the birth process to
cause physical harm, usually to the brain
• Etiology:
– Intrauterine hypoxia
– Infant respiratory distress syndrome
– Transient tachypnea of the newborn
– Meconium aspiration syndrome
– Pleural disease (Pneumothorax,
Pneumomediastinum)
– Bronchopulmonary dysplasia
Asfiksia Neonatal

Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
Transient tachypnea of the newborn (TTN)

• Transient tachypnea of the newborn (TTN) is a parenchymal lung disorder


characterized by pulmonary edema resulting from delayed resorption and
clearance of fetal alveolar fluid
• TTN develops in infants born prematurely or after cesarean delivery
without labor because mechanisms to reabsorb alveolar fluid have not
been initiated Delivery before completing 39 weeks of gestation
• Other risk factor:
– Male sex
– Large for gestational age
– Small for gestational age
– Perinatal asphyxia
– Maternal asthma
– Maternal gestational diabetes
Patophysiology
• Delayed resorption of fetal lung fluid is thought to be
the underlying cause of TTN.
• Fluid fills the air spaces and moves into the
interstitium, where it pools in perivascular tissues and
interlobar fissures until it is eventually cleared by the
lymphatics or absorbed into small blood vessels.
• The excess lung water in TTN results in decreased
pulmonary compliance.
• Continued perfusion of poorly ventilated alveoli leads
to hypoxemia, and alveolar edema reduces ventilation,
sometimes resulting in hypercapnia.
Diagnosis Tatalaksana

• Cukup bulan/kurang • Tidak ada penanganan


bulan khusus
• Sesak napas saat atau • Jarang perlu
segera setelah lahir perawatan level 2 atau
• Sesak akan membaik 3
dalam 24 jam pertama, • Makanan per oral
menghilang dalam 72 setiap 3 jam melalui
jam sonde lebih dianjurkan
• Foto torak
– Foto toraks usia <6
jam ~ PMH 733
• As early as 6 weeks of gestation, the fetal lung epithelium begins to secrete alveolar
fluid that is crucial for normal lung growth and contributes to the volume of
amniotic fluid.
• A few days before the onset of spontaneous vaginal delivery, fluid production
decreases.
• With the onset of labor, maternal hormones such as epinephrine and
glucocorticoids stimulate the fetal lungs to begin absorption of alveolar fluid
through activation of an amiloride-sensitive epithelial sodium channel (ENaC).
• Animal studies of α-ENaC knockout mice have shown that when sodium transport
is inactivated, alveolar fluid retention occurs, which leads to respiratory distress
and death.
• The clearance of fetal lung fluid begins with passive sodium transport across ENaC
proteins, which are found on the apical membrane of alveolar type II pneumocytes.
• After sodium enters the type II cell, it is actively transported into the pulmonary
interstitium via a basolateral sodium-potassium (Na+/K+) ATPase pump.
• This creates an osmotic gradient that allows chloride and water to follow and be
absorbed into the pulmonary circulation and lymphatics
• It is through this mechanism that most of the fetal lung fluid is cleared.
• Starling forces and the thoracic “squeeze” through the birth canal contribute
minimally toward fluid elimination.
Mechanism of fetal lung fluid
clearance

Mechanism of fetal lung fluid clearance. During maternal labor, epithelial sodium
channels (ENaC) are activated and sodium (Na+) is passively transported into type II
pneumocytes. Na+ then actively moves into the pulmonary interstitium, which is
followed by the movement of chloride (Cl-) and water (H2O). This liquid is ultimately
cleared into the pulmonary vasculature and lymphatics.
Transient Tachypnea of Newborn

(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial
dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan
dengan perbaikan klinis.
Chest radiograph of an infant with transient
tachypnea of the newborn (TTN)
demonstrating prominent perihilar pulmonary
vascular markings in a “sunburst” pattern.

Chest radiograph of an infant with transient


tachypnea of the newborn (TTN)
demonstrating hyperinflated lungs and
increased perihilar interstitial markings.
Distres Pernapasan pada Neonatus
KELAINAN GEJALA
Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat, terdapat
Sindrom aspirasi staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku, atau tali pusar.
mekonium Pada radiologi tampak air trapping dan hiperinflasi paru, patchy
opacity, terkadang atelektasis.
Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran SC,
Respiratory distress
gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi tampak
syndrome (penyakit
gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular appearance, air
membran hyalin)
bronkogram, ekspansi paru jelek.
Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul setelah
Transient tachypnea of lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir. Pada radiologi
newboorn tampak peningkatan corakan perihilar, hiperinflasi, lapangan paru
perifer bersih.

Terdapat risiko pneumonia (KPD, demam pada ibu, cairan amnion


Pneumonia neonatal berbau, dsb). Gejala meliputi gejala distress dan gejala sepsis.
Gambaran radiologis : Diffuse, relatively homogeneous infiltrates

Asfiksia perinatal
Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah, terdapat
(hypoxic ischemic
kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
encephalopathy)
75. Anemia megaloblastik
• Anemia makrositik megaloblastik disebabkan oleh defisiensi vit B12 dan asam
folat. Keduanya memberi gambaran makro-ovalosit dan neutrofil
hipersegmentasi.

• Gangguan pembentukan DNA akibat defisiensi vitamin tersebut mengakibatkan


kematian sel darah di sumsum tulang, yang dapat memberi gambaran
pansitopenia serta ikterus (hiperbilirubinemia indirek)

• Gejala anemia yang timbul, antara lain cepah lelah dan pucat, kekuningan.

• Gangguan neurologi hanya terjadi pada defisiensi vitamin B12, tidak pada
defisiensi folat. Gejala neurologi yang ditemukan:
– Neuropati perifer: kesemutan, kebas, lemas
– Kehilangan sensasi proprioseptif (posisi) dan getaran
– Gangguan memori, depresi, iritabilitas
– Neuropati optik: penglihatan kabur, gangguan lapang pandang
Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.
Vitamin B12: Cobalamin absorption
• Initially bound to protein in diet,
liberated by acid and pepsin, then
binds to R factors in saliva and
gastric acids
• Freed from R factors by
pancreatic proteases them binds
to Intrinsic Factor secreted by
gastric parietal cells
• Absorbed together (Cbl + IF) in
ileum
• Released from IF in ileal cell then
exocytosed bound to trans-Cbl II
• Cbl bound to transcobalamin II
binds to cell surface receptors
and is endocytosed

Kaferle J. Evaluation of Macrocytosis. Am Fam Physician. 2009;79(3):203-208


Etiologi

Clinical laboratory hematology. 3rd ed.


Defisiensi Vitamin B12
• Defisiensi vitamin B12 merupakan penyebab tersering
anemia megaloblastik, gangguan neuropsikiatrik, serta
gangguan lainnya.
• Skrining perlu dilakukan pada pasien dengan:
– Reseksi gastrik atau duodenal-jejunum
– Inflammatory bowel disease
– Penggunaan metformin di atas 4 bulan
– Penggunan proton pump inhibitor atau histamine H2 blocker di
atas 12 bulan
– Vegetarian termasuk bayi dengan ASI eksklusif dari ibu
vegetarian
– Geriatri

Langan RC. Vitamin B12 Deficiency. Am Fam Physician. 2017.


Defisiensi Vitamin B12
Manifestasi klinis: – Trombositopenia
• Sistemik: – Trombositosis
– Mudah lelah • Neuropsikiatri:
– Palpitasi – Arefleksia
– pucat, – Gangguan kognitif
– Infertilitas – Gangguan berjalan
• Kulit: – Irritable
– Hiperpigmentasi – Gangguan proprioseptif dan
– Jaundice sensasi vibrasi
– Vitiligo – Gangguan olfaktori
– Neuropati perifer
• Gastrointestinal:
– Glossitis • Ibu Hamil dan menyusui:
– Risiko defek tabung neural
• Hematologi (supresi sumsum
tulang): – Menghambat perkembangan
– Anemia makrositik, – Gagal tumbuh
megaloblastik – Hipotonia
– Leukopenia – Ataksia
– Pansitopenia – Anemia
Langan RC. Vitamin B12 Deficiency. Am Fam Physician. 2017.
B12 Deficiency Symptoms
 Atrophic glossitis (shiny tongue)
 Shuffling broad gait
 Anemia and related sx
 Vaginal atrophy
 Malabsorption
 Jaundice
 Personality changes
 Hyperhomocysteinemia
 Neurologic symptoms (next slide)
 Copper deficiency can cause
similar neurologic symptoms
Defisiensi
Vitamin B12
• Skrining:
– Darah perifer lengkap
 gambaran
makrositosis
– Serum vitamin B12 
< 150 pg/mL
didefinisikan sebagai
defisiensi

Langan RC. Vitamin B12 Deficiency. Am Fam Physician. 2017.


B12 Lab findings
 Macroovalocytic anemia with
elevated serum bilirubin and LDH
o Increased red cell breakdown
due to ineffective
hematopoiesis
 Retic, WBC & platelets normal to
low
 Hypersegmented neurophils
o Also occur in renal failure, fe
deficiency, inherited
Hipersegmentasi (segmen 5/lebih)

Makro-ovalosit pada anemia


makrositik megaloblastik
Tatalaksana
• Vitamin B12 oral 1-2 mg/hari
• Injeksi intramuskular sianokobalamin 1 mg  penggantian
vitamin secara cepat  diindikasikan pada kasus defisiensi
berat atau dengan gejala neurologis berat
– 3x/minggu selama 2 minggu pada pasien tanpa defisit
neurologis
– Jika terdapat defisit neurologis  Diberikan setiap hari selamat
3 minggu atau hingga gejala membaik
• Pencegahan:
– Rekomendasi minimal konsumsi 2,4 mcg/hari
– Vegetarian direkomendasikan konsumsi suplemen
– Pasien pasca reseksi gastrointestinal konsumsi vitamin B12
orang 1mg/hari

Langan RC. Vitamin B12 Deficiency. Am Fam Physician. 2017.


76. Enterokolitis Nekrotikans

• Sindrom nekrosis intestinal akut • Patogenesis EN masih belum


pada neonatus yang ditandai oleh sepenuhnya dimengerti dan
kerusakan intestinal berat akibat diduga multifaktorial.
gabungan jejas vaskular, mukosa, • Diperkirakan karena iskemia yang
dan metabolik (dan faktor lain berakibat pada kerusakan
yang belum diketahui) pada usus integritas usus.
yang imatur. • Pemberian minum secara enteral
• Enterokolitis nekrotikans hampir akan menjadi substrat untuk
selalu terjadi pada bayi prematur. proliferasi bakteri, diikuti oleh
• Insidens pada bayi dengan berat invasi mukosa usus yang telah
<1,5 kg sebesar 6-10%. rusak oleh bakteri yang
• Insidens meningkat dengan memproduksi gas  gas usus
semakin rendahnya usia gestasi. intramural yang dikenal sebagai
pneumatosis intestinalis 
mengalami progresivitas menjadi
nekrosis transmural atau gangren
usus  perforasi dan peritonitis.
Faktor risiko
• Prematuritas.
• Pemberian makan enteral. EN jarang ditemukan
pada bayi yang belum pernah diberi minum.
– Formula hyperosmolar dapat mengubah
permeabilitas mukosa dan mengakibatkan kerusakan
mukosa.
– Pemberian ASI terbukti dapat menurunkan kejadian
EN.
• Mikroorganisme patogen enteral. Patogen bakteri
dan virus yang diduga berperan adalah E. coli,
Klebsiella, S. epidermidis, Clostridium sp. ,
coronavirus dan rotavirus.
• Kejadian hipoksia/iskemia, misalnya asfiksia dan
penyakit jantung bawaan.
• Bayi dengan polisitemia, transfusi tukar, dan
pertumbuhan janin terhambat berisiko mengalami
iskemia intestinal.
• Volume pemberian minum, waktu pemberian
minum, dan peningkatan minum enteral yang
cepat.
Manifestasi klinis
Manifestasi sistemik Manifestasi pada abdomen

• Distres pernapasan • Distensi abdomen


• Eritema dinding abdomen atau
• Apnu dan atau bradikardia indurasi
• Letargi atau iritabilitas • Tinja berdarah, baik samar
maupun perdarahan saluran
• Instabilitas suhu cerna masif (hematokesia)
• Toleransi minum buruk • Residu lambung
• Muntah (bilier, darah, atau
• Hipotensi/syok, keduanya)
hipoperfusi • Ileus (berkurangnya atau
• Asidosis hilangnya bising usus)
• Massa abdominal terlokalisir
• Oliguria yang persisten
• Manifestasi perdarahan • Asites
Pemeriksaan penunjang

• Darah perifer lengkap. Leukosit • Foto polos abdomen 2


bisa normal, meningkat (dengan posisi serial:
pergeseran ke kiri), atau
menurun dan dijumpai – Foto polos abdomen posisi
tombositopenia supine, dijumpai distribusi
usus abnormal, edema
• Kultur darah untuk bakteri dinding usus, posisi loop usus
aerob, anaerob, dan jamur persisten pada foto serial,
• Tes darah samar massa, pneumatosis
• Analisis gas darah, dapat intestinalis (tanda khas EN),
dijumpai asidosis metabolik atau gas pada vena porta
atau campuran – Foto polos abdomen posisi
• Elektrolit darah, dapat dijumpai lateral dekubitus atau lateral
ketidakseimbangan elektrolit, untuk mencari
terutama hipo/ pneumoperitoneum.
• hipernatremia dan hiperkalemia
• Kultur tinja
Radiologi
• Generalized bowel
distention (earliest sign)
• Pneumatosis Intestinalis
• Pneumoperitoneum
• Large distended immobile
loop on repeated x-rays
(persistant loop sign) Pneumatosis Intestinalis

(may indicate a gangrenous


loop of bowel)
• Gasless abdomen
(perforation and
peritonitis)
• Portal venous air
Pneumatosis Intestinalis
NEC Modified Bell’s staging criteria
Tata laksana umum untuk semua pasien NEC:

• Puasa dan pemberian • Tes darah samar tiap 24 jam


nutrisi parenteral total. untuk memonitor
• Pasang sonde nasogastrik perdarahan gastrointestinal.
untuk dekompresi lambung. • Jaga keseimbangan cairan
• Pemantauan ketat: dan elektrolit. Pertahankan
– Tanda vital diuresis 1-3 mL/kg/hari.
– Lingkar perut (ukur setiap 12- • Periksa darah tepi lengkap
24 jam), diskolorasi abdomen dan elektrolit setiap 24 jam
• Lepas kateter umbilikal (bila sampai stabil.
ada). • Foto polos abdomen serial
• Antibiotik: ampisilin dan setiap 8-12 jam.
gentamisin ditambah • Konsultasi ke departemen
dengan metronidazole Bedah Anak.
Tata laksana khusus bergantung pada stadium

Enterokolitis nekrotikans Enterokolitis nekrotikans


stadium I stadium II dan III
• Tata laksana umum. • Tata laksana umum.
• Antibiotik selama 14 hari.
• Pemberian minum dapat • Puasa selama 2 minggu.
dimulai setelah 3 hari Pemberian minum dapat
dipuasakan dimulai 7-10 hari setelah
perbaikan radiologis
• Antibiotik dapat dihentikan pneumatosis.
setelah 3 hari pemberian • Ventilasi mekanik bila
dengan syarat kultur dibutuhkan.
negative dan terdapat • Jaga keseimbangan
hemodinamik. Pada EN
perbaikan klinis. stadium III sering dijumpai
hipotensi refrakter.
Tata laksana bedah

• Laparatomi eksplorasi dengan reseksi segmen


yang nekrosis dan enterostomi atau
anastomosis primer.
• Drainase peritoneal umumnya dilakukan pada
bayi dengan berat <1000 g dan kondisi tidak
stabil.
77. Food Poisoning

• Food poisoning is defined as an illness caused by


the consumption of food or water contaminated
with bacteria and/or their toxins, or with
parasites, viruses, or chemicals.
• The example of pathogens are Norovirus,
Escherichia coli, Salmonella, Clostridium
perfringens, Campylobacter, and Staphylococcus
aureus.
• The symptoms of food poisoning vary in degree
and combination.
Clostridium Perfringens
• It is a gram positive anaerobic spore bearing bacilli
• Incriminated food: food-borne outbreaks of C.perfringens involve meat
products that are eaten 1- 2 days after preparation.
• C. perfringens can exist as a heat-resistant spore, so it may survive cooking and
grow to large numbers if the cooked food is held between 5oC and 140oC for an
extensive time period Meats that have been cooked, allowed to cool slowly,
and then held for some time before eating are commonly incriminated.
• Pathogenesis: Spores in food may survive cooking and then germinate when
they are improperly stored.
• When these vegetative cells form endospores in the intestine, they release
enterotoxins.
• Incubation period: 8-24 hours
• Clinical features: Illness is characterized by acute abdominal pain, diarrhea, and
vomiting (none or rare). Illness is self- limiting and patient recovers in 18-24
hours.
FOOD POISONING
STAPHYLOCOCCUS AUREUS CLOSTRIDIUM BOTULINUM
• Gram positive cocci that occurs in singles, • It is a gram positive anaerobic spore
pairs, short chains, tetrads and irregular bearing bacilli
grape like clusters.
• Incriminated food: Most cases of
• Food is usually contaminated from infected
botulism are associated with home
food handler.
canned or bottled meat, vegetables and
• The food handler with an active lesion or
fish.
carriage can contaminate food.
• Custard and cream filled bakery food, ham, • Incubation period: 12-36 hours
chicken, meat, milk, fish, salads, puddings, pie • Clinical features: Common features
• The bacteria produce enterotoxin while include vomiting, thirst, dryness of
multiplying in food. mouth, constipation, ocular paresis
• Clinical features: (blurred-vision), difficulty in speaking,
– The onset is sudden and is characterized by breathing and swallowing. Coma or
vomiting and diarrhea but no fever.
delirium may occur in some cases. Death
– The illness lasts less than 12 hours.
may occur due to respiratory paralysis
within 7 days.
Bacillus Cereus
• Gram positive aerobic spore Clinical features:
bearing bacilli. • The ‘emetic-type’ or the short
• Incriminated food: Commonly incubation type has an incubation
associated with rice and vegetables period of 1 to 6 hours.
• Pathogenesis: During the slow – The short-incubation form is most
often associated with fried rice that
cooling, spores germinate and
has been cooked and then held at
vegetative bacteria multiply, then warm temperatures for several hours.
they sporulate again. – Within 16 hours of eating
• The toxin is heat-stable, and can contaminated fried rice, patients
easily withstand the brief high suffer nausea, vomiting and
temperatures used to cook fried abdominal cramps that generally lasts
for less than a day.
rice.
• The second type is manifested
• Long-incubation food poisoning is
primarily by abdominal cramps and
frequently associated with meat or
diarrhea with an incubation period
vegetable-containing foods after
of 8 to 16 hours.
cooking.
DIAGNOSIS
SOURCE & CLINICAL
ETIOLOGY PAT H O G E N E S I S &
F E AT U R E S
T R E AT M E N T
• Improperly stored foods with high salt
or sugar content favors growth of • Enterotoxin acts on receptors
Staphylo staphylococci. in the gut that transmit Symptomatic
cocci • Intense vomiting and watery diarrhea impulses to the medullary treatment
start 1-4 h after ingestion and last as centers
long as 24-48 h

• Emetic enterotoxin (short


• Contaminated fried rice (emetic)
incubation and duration) -
• Meatballs (diarrheal)
Poorly understood
• Emetic: Duration is 9 h, vomiting and
• Diarrheal enterotoxin (long
cramps Symptomatic
B cereus incubation and duration) -
• Diarrheal: Lasts for 24 h treatment
Increasing intestinal secretion
• Mainly vomiting after 1-6 h and mainly
by activation of adenylate
diarrhea after 8-16 h after ingestion;
cyclase in intestinal
lasts as long as 1 d
epithelium

• Inadequately cooked meat, poultry, or


legumes
Culture of
• Acute onset of abdominal cramps with • Enterotoxin produced in the
clostridia in food
diarrhea starts 8-24 h after ingestion. gut, and food causes
C perfringens and stool
• Vomiting is rare. It lasts less than 1 d. hypersecretion in the small
Symptomatic
• Enteritis necroticans associated with C intestine
treatment
perfringens type C in improperly
cooked pork (40% mortality)
DIAGNOSIS &
ETIOLOGY S O U R C E & C L I N I C A L F E AT U R E S PAT H O G E N E S I S
T R E AT M E N T
• Toxin present in
• Canned foods (eg, smoked fish, • Toxin absorbed from food, serum, and
mushrooms, vegetables, honey) the gut blocks the stool.
• Descending weakness and paralysis start release of • Respiratory
C botulinum
1-4 d after ingestion, followed by acetylcholine in the support
constipation. neuromuscular • Intravenous
• Mortality is high junction trivalent antitoxin
from CDC

• Contaminated water and food (eg, salad, • Enterotoxin causes


cheese, meat) hypersecretion in
Enterotoxic E coli • Supportive
• Acute-onset watery diarrhea starts 24-48 small and large
(eg, traveler's treatment
h after ingestion intestine via
diarrhea) • No antibiotics
• Concomitant vomiting and abdominal guanylate cyclase
cramps may be present. It lasts for 1-2 d activation

• Improperly cooked hamburger meat and


previously spinach
• Cytotoxin results in
• Most common isolate pathogen in bloody • Diagnosis with
endothelial damage
Enterohemorrhagic diarrhea starts 3-4 d after ingestion stool culture
and leads to platelet
E coli (eg, E coli • Usually progresses from watery to bloody • Supportive
aggregation and
O157:H7) diarrhea. It lasts for 3-8 d treatment
microvascular fibrin
• May be complicated by hemolytic-uremic • No antibiotics
thrombi
syndrome or thrombotic
thrombocytopenic purpura
SOURCE & CLINICAL DIAGNOSIS &
CAUSE PAT H O G E N E S I S
F E AT U R E S T R E AT M E N T

• Enterotoxin produces
• Contaminated imported cheese
secretion • Supportive treatment
EIEC • Usually watery diarrhea (some
• Shigalike toxin • No antibiotics
may present with dysentery)
facilitates invasion

• Implicated in traveler's diarrhea in • Ciprofloxacin may shorten


• Bacteria clump on
EAEC developing countries duration and eradicate the
the cell surfaces
• Can cause bloody diarrhea organism
• Positive stool culture finding
• Prompt replacement of fluids
• Enterotoxin causes
• Contaminated water and food and electrolytes (oral
hypersecretion in
• Large amount of nonbloody rehydration solution)
V cholera small intestine
diarrhea starts 8-24 h after • Tetracycline (or
• Infective dose usually
ingestion. It lasts for 3-5 d fluoroquinolones) shortens the
is 107 -109 organisms
duration of symptoms and
excretion of Vibrio

• Domestic animals, cattle, chickens


• Fecal-oral transmission in humans
• Foul-smelling watery diarrhea • Culture in special media at
• Uncertain about
followed by bloody diarrhea 42°C
C jejuni endotoxin production
• Abdominal pain and fever also • Erythromycin for invasive
and invasion
may be present; it starts 1-3 d disease (fever)
after exposure and recovery is in
5-8 d
ETIOLOG SOURCE & CLINICAL DIAGNOSIS &
PAT H O G E N E S I S
Y F E AT U R E S T R E AT M E N T

• Polymorphonuclear
• Organisms invade
• Potato, egg salad, lettuce, leukocytes (PMNs), blood,
epithelial cells and
vegetables, milk, ice cream, and mucus in stool
produce toxins
and water • Positive stool culture
• Infective dose is 102
• Abrupt onset of bloody • Oral rehydration is mainstay
Shigella -103 organisms
diarrhea, cramps, tenesmus, • Trimethoprim-
• Enterotoxin-
and fever starts 12-30 h after sulfamethoxazole (TMP-
mediated diarrhea
ingestion. SMX) or ampicillin for
followed by invasion
• Usually self-limited in 3-7 d severe cases
(dysentery/colitis)
• No opiates

• Beef, poultry, eggs, and dairy


products
• Abrupt onset of moderate-to-
large amount of diarrhea with • Positive stool culture finding
• Invasion but no
Salmonella low-grade fever; in some • Antibiotic for systemic
toxin production
cases, bloody diarrhea infection
• Abdominal pain and vomiting
also present, beginning 6-48 h
after exposure and lasts 7-12 d
78. Penyakit Jantung Tekanan di dalam Jantung

Bawaan

PJB

Asianotik Cyanotic

↓ aliran darah ↑ aliran darah


↑ volume: pulmonal: pulmonal:
↑ pressure:
- ASD - ToF - Transposition
- Valve stenosis
- VSD - Atresia of the great
- Coarctation of pulmonal vessels
- PDA aorta
- Atresia - Truncus
- Valve
tricuspid arteriosus
regurgitation

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
Klasifikasi PJB
• Asianotik • Cyanosis
– Normal pulmonary blood • Normal pulmonary
flow blood flow
• Pulmonary Stenosis (PS) • TGA without PS
• Increased pulmonary
• Aortic Stenosis (AS) blood flow
• Coarctatio Aorta (CoA) • TGA with VSD
– Increased pulmonary blood • Truncus arteriosus
flow • Total anomaly
• Patent Ductus Arteriosus pulmonary vein
(PDA) drainage
• Decreased pulmonary
• Atrial Septal Defect (ASD) blood flow
• Ventricular Septal Defect • ToF
(VSD) • Pulmonary atresia
• Ticuspid atresia
Penyakit jantung kongenital
• Asianotik: L-R shunt
– ASD: fixed splitting S2,
murmur ejeksi sistolik
– VSD: murmur pansistolik
– PDA: continuous murmur
• Sianotik: R-L shunt
– TOF: PS, VSD, overriding
aorta, RVH. Boot like heart
pada radiografi
– TGA
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/
NORMAL
AP VIEW
Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Mosby; 2008.
Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology

With ↑ volume load Clinical Findings


The most common: left to right e.g. ASD, VSD, PDA
shunting

Blood back into the lungs ↓ compliance & ↑ work of breathing

Fluid leaks into the interstitial space & Pulmonary edema, tachypnea, chest
alveoly retraction, wheezing

↑ Heart rate & stroke volume


High level of ventricular output -> ↑Oxygen consumption -> sweating,
↑sympathetic nervous system irritability, FTT
Remodelling: dilatation & hypertrophy

If left untreated, ↑ volume load will Eventually leads to Eisenmenger


increase pulmonary vascular resistance Syndrome

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology
With ↑ pressure load Clinical Findings

Obstruction to normal blood Murmur PS & PS: systolic


flow: pulmonic stenosis, aortic
stenosis, coarctation of aorta. murmur;

Hypertrophy & dilatation of


Dilatation happened in the later
ventricular wall
stage

Severe pulmonic stenosis in newborn


Defect location determine  right-sided HF (hepatomegaly,
the symptoms peripheral edema)

Severe aortic stenosis  left-sided


(pumonary edema, poor perfusion)
& right-sided HF
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↓ pulmonary blood flow must include both:
an obstruction to pulmonary blood flow & a shunt from R to L

Common lesions:
Tricuspid atresia, ToF, single ventricle with pulmonary stenosis

The degree of cyanosis depends on:


the degree of obstruction to pulmonary blood flow

If the obstruction is mild:


Cyanosis may be absent at rest
These patient may have hypercyanotic spells during condition of stress

If the obstruction is severe:


Pulmonary blood flow may be dependent on patency of the ductus arteriosus.
When the ductus closes  hypoxemia & shock
Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↑ pulmonary blood flow is not associated
with obstruction to pulmonary blood flow

Cyanosis is caused by:


Total mixing of systemic venous &
Abnormal ventricular-arterial pulmonary venous within the heart:
connections: - Common atrium or ventricle
- Total anomolous pulmonary venous
- TGA return
- Truncus arteriosus

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Penyakit Jantung Kongenital
Sianotik: R-L shunt
TOF (Tetralogy of Fallot):
• Stenosis Katup Pulmonal, VSD, overriding aorta, RVH.
• Boot like heart pada foto radiografi.
• Gejala klinis Sesak + Sianotik, gangguan pertumbuhan,
dengan TET Spell (Berjongkok bila sesak untuk
meningkatkan aliran darah ke paru)
• Murmur bersifat Systolic ejection murmur di area
kanan atas border sternal karena Stenosis katup
pulmonal

Nelson’s textbook of pediatrics. 19th ed


Tetralogi Fallot
Tetralogy of Fallot

https://wikem.org
Van Praagh R. The first Stella van Praagh memorial lecture: the history and anatomy of tetralogy of Fallot. Semin Thorac Cardiovasc Surg Pediatr
Card Surg Annu. 2009:19-38.
Tet Spell/ Hypercyanotic Spell
• serangan biru yang terjadi secara mendadak
• Anak tampak lebih biru, pernapasan cepat, gelisah,
kesadaran menurun, kadang-kadang disertai kejang.
• Serangan berlangsung 15-30 menit, biasanya teratasi secara
spontan, tetapi serangan yang hebat dapat berakhir dengan
koma, bahkan kematian
• Biasanya muncul usia 6-12 bulan, tapi bisa muncul usia 2-4
bulan
• ToF yang tipikal biasanya memiliki tekanan pada ventrikel
kiri dan kanan yang sama besar, sehinggan tingkat sianosis
dan terjadinya tet spell ditentukan dari systemic vascular
resistance dan derajat keparahan komponen stenosis
pulmonal.

PPM IDAI Jilid I


Pelepasan menangis, BAB, demam, VICIOUS
CYCLE
katekolamine aktivitas yg meningkat

takikardia aliran balik vena sistemik meningkat shg resistensi


vaskular pulmonal meningkat (afterload pulmonal
meningkat) + resistensi vaskular sistemik rendah

increased
myocardial
contractility + KEMATIAN
infundibular
stenosis.
Right-to-left shunt meningkat

aliran darah ke
sianosis progresif
paru berkurang
secara tiba-tiba penurunan PO2 dan
peningkatan PCO2 arteri 
penurunan pH darah

TET SPELL
Stimulasi pusat pernapasan di
HYPERCYANOTIC SPELL reseptor karotis + nucleus hiperpnoea
batang otak
Tatalaksana Tet Spell
• Knee chest position/ squatting
– Diharapkan aliran darah paru bertambah karena
peningkatan resistensi vaskular sistemik dan afterload
aorta akibat penekukan arteri femoralis
• Morfin sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV
untuk menekan pusat pernapasan dan mengatasi
takipnea
• Natrium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV untuk
mengatasi asidosis. Dosis yang sama dapat
diulang dalam 10-15 menit.

PPM IDAI Jilid I


ToF
79. GERD pada anak
• Gastroesophageal reflux (GER) occurs in more than
two-thirds of otherwise healthy infants
• Prevalence of pediatric GERD in Eastern Asia is 8.5%
• GER, defined as the passage of gastric contents into
the esophagus, is distinguished from
gastroesophageal reflux disease (GERD), which
includes troublesome symptoms or complications
associated with GER.
• GER is considered a normal physiologic process that
occurs several times a day in healthy infants,
children, and adults.

Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and the European
Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN). Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition . 49:498–547
Gastroesophageal Reflux: Management Guidance for the Pediatrician . Jenifer R. Lightdale, David A. Gremse and SECTION ON GASTROENTEROLOGY, HEPATOLOGY, AND NUTRITION. Pediatrics; originally
published online April 29, 2013
Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and the European Society
for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN). Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition . 49:498–547
Gastroesophageal Reflux: Management Guidance for the Pediatrician . Jenifer R. Lightdale, David A. Gremse and SECTION ON GASTROENTEROLOGY, HEPATOLOGY, AND NUTRITION. Pediatrics; originally published
online April 29, 2013
Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical
Practice Guidelines: Joint Recommendations of
the North American Society for Pediatric
Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition
(NASPGHAN) and the European Society for
Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition (ESPGHAN). Journal of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition . 49:498–547
Gastroesophageal Reflux: Management
Guidance for the Pediatrician . Jenifer R.
Lightdale, David A. Gremse and SECTION ON
GASTROENTEROLOGY, HEPATOLOGY, AND
NUTRITION. Pediatrics; originally published
online April 29, 2013
Clinical Features Differentiating GER
and GERD in Infants and Children
GER GERD
Regurgitation with normal Regurgitation with poor weight gain
weight gain
No signs or symptoms of Persistent irritability; pain in infants
esophagitis
Lower chest pain, dysphagia, pyrosis in children
Hematemesis and iron deficiency anemia
No significant respiratory Apnea and cyanosis in infants
symptoms
Wheezing
Aspiration or recurrent pneumonia
Chronic cough
Stridor
No neurobehavioral symptoms Neck tilting in infants (Sandifer's syndrome)
http://www.aafp.org/afp/2001/1201/p1853.html
Diagnosis
• The diagnosis of GERD is often made clinically based on the
bothersome symptoms or signs that may be associated
with GER.
• In infants and toddlers, there is no symptom or symptom
complex that is diagnostic of GERD or predicts response to
therapy.
• In older children and adolescents history and physical
examination may be sufficient to diagnose GERD if the
symptoms are typical.
• The diagnosis of GERD is concluded when tests show
excessive frequency or duration of reflux events,
esophagitis, or a clear association of symptoms and signs
with reflux events in the absence of alternative diagnoses.
Diagnostic Testing
• The strategy of using diagnostic testing to diagnose GERD full of
complexity, because there is no single test that can rule it in or out.
• The diagnostic methods most commonly used to evaluate pediatric
patients with GERD symptoms are
– Upper GI tract contrast radiography series are useful to delineate
anatomy and to occasionally document a motility disorder
– Esophageal pH monitoring and intraluminal esophageal impedance
represent tools to quantify GER.
– Upper endoscopy with esophageal biopsy represents the primary
method to investigate the esophageal mucosa.
• Other tests:
– Motility Studies: Esophageal manometry

Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and the European Society
for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN). Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition . 49:498–547
Gastroesophageal Reflux: Management Guidance for the Pediatrician . Jenifer R. Lightdale, David A. Gremse and SECTION ON GASTROENTEROLOGY, HEPATOLOGY, AND NUTRITION. Pediatrics; originally published
online April 29, 2013
Approch to the infant with regurgitation and vomitting

Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and the European
Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN). Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition . 49:498–547
Gastroesophageal Reflux: Management Guidance for the Pediatrician . Jenifer R. Lightdale, David A. Gremse and SECTION ON GASTROENTEROLOGY, HEPATOLOGY, AND NUTRITION. Pediatrics; originally
published online April 29, 2013
Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and the European Society
for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN). Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition . 49:498–547
Gastroesophageal Reflux: Management Guidance for the Pediatrician . Jenifer R. Lightdale, David A. Gremse and SECTION ON GASTROENTEROLOGY, HEPATOLOGY, AND NUTRITION. Pediatrics; originally published
online April 29, 2013
Management
• Lifestyle changes are emphasized as first-line
therapy in both GER and GERD, whereas
medications are explicitly indicated only for
patients with GERD.

Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition (NASPGHAN) and the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN). Journal of Pediatric Gastroenterology and
Nutrition . 49:498–547
Gastroesophageal Reflux: Management Guidance for the Pediatrician . Jenifer R. Lightdale, David A. Gremse and SECTION ON GASTROENTEROLOGY, HEPATOLOGY,
AND NUTRITION. Pediatrics; originally published online April 29, 2013
Management
Medications

Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines: Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN) and the
European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN). Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition . 49:498–547
Gastroesophageal Reflux: Management Guidance for the Pediatrician . Jenifer R. Lightdale, David A. Gremse and SECTION ON GASTROENTEROLOGY, HEPATOLOGY, AND NUTRITION. Pediatrics; originally
published online April 29, 2013
80. Intoleransi Laktosa
• Laktosa diproduksi oleh kelenjar payudara dengan kadar yang
bervariasi diantara mamalia.
• Susu sapi mengandung 4% laktosa, sedangkan ASI
mengandung 7% laktosa.
• Laktosa adalah disakarida yang terdiri dari komponen glukosa
dan galaktosa.
• Manusia normal tidak dapat menyerap laktosa, oleh karena itu
laktosa harus dipecah dulu menjadi komponen-komponennya.
• Hidrolisis laktosa memerlukan enzim laktase yang terdapat di
brush border sel epitel usus halus.
• Tidak terdapatnya atau berkurangnya aktivitas laktase akan
menyebabkan terjadinya malabsorpsi laktosa.
Defisiensi Laktase
• Defisiensi laktase dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu defisiensi
laktase primer dan defisiensi laktase sekunder
• Terdapat 3 bentuk defisiensi laktase primer, yaitu
– Developmental lactase deficiency
Terdapat pada bayi prematur dengan usia kehamilan 26-32 minggu. Kelainan
ini terjadi karena aktivitas laktase belum optimal.
– Congenital lactase deficiency
Kelainan dasarnya adalah tidak terdapatnya enzim laktase pada brush border
epitel usus halus. Kelainan ini jarang ditemukan dan menetap seumur hidup
– Genetical lactase deficiency
Kelainan ini timbul secara perlahan-lahan sejak anak berusia 2-5 tahun hingga
dewasa. Kelainan ini umumnya terjadi pada ras yang tidak mengkonsumsi susu
secara rutin dan diturunkan secara autosomal resesif
• Defisiensi laktase sekunder
– Akibat penyakit gastrointestinal yang menyebabkan kerusakan mukosa usus
halus, seperti infeksi saluran cerna.
– umumnya bersifat sementara dan aktivitas laktase akan normal kembali
setelah penyakit dasarnya disembuhkan.
Patogenesis
• Laktosa tidak dapat diabsorpsi sebagai disakarida,
tetapi harus dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa
dengan bantuan enzim laktase di usus halus.
• Bila aktivitas laktase turun atau tidak ada  laktosa
tidak diabsorpsi dan mencapai usus bagian distal atau
kolon  tekanan osmotik meningkat  menarik air
dan elektrolit sehingga akan memperbesar volume di
dalam lumen usus  diare osmotik
• Keadaan ini akan merangsang peristaltik usus halus
sehingga waktu singgah dipercepat dan mengganggu
penyerapan.
Patogenesis
• Di kolon, laktosa akan difermentasi oleh bakteri kolon 
menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek lainnya
seperti asam asetat, asam butirat, dan asam propionat 
Fenomena ini menerangkan feses yang cair, asam, berbusa dan
kemerahan pada kulit di sekitar dubur (eritema natum).
• Fermentasi laktosa oleh bakteri di kolon  menghasilkan beberapa
gas seperti hidrogen, metan dan karbondioksida  distensi
abdomen, nyeri perut, dan flatus.
• Selanjutnya, 80% dari gas tersebut akan dikeluarkan melalui rektum
dan sisanya akan berdifusi ke dalam sistem portal dan dikeluarkan
melalui sistem pernapasan.
• Feses sering mengapung karena kandungan gas yg tinggi dan juga
berbau busuk.
Gejala Klinis
• Intoleransi laktosa dapat bersifat • Gejala klinis yang diperlihatkan
asimtomatis atau dapat berupa rasa mual, muntah,
memperlihatkan berbagai gejala sakit perut, kembung dan sering
klinis flatus.
• Berat atau ringan gejala klinis • Rasa mual dan muntah
yang diperlihatkan tergantung merupakan gejala yang paling
dari aktivitas laktase di dalam sering ditemukan
usus halus, jumlah laktosa, cara • Pada uji toleransi laktosa rasa
mengkonsumsi laktosa, waktu penuh di perut dan mual timbul
pengosongan lambung, waktu dalam waktu 30 menit,
singgah usus, flora kolon, dan sedangkan nyeri perut, flatus dan
sensitifitas kolon terhadap diare timbul dalam waktu 1-2 jam
asidifikasi. setelah mengkonsumsi larutan
laktosa
Pemeriksaan Penunjang
• Analisis tinja, prinsipnya ditemukan asam dan bahan pereduksi
dalam tinja setelah makan yg mengandung laktosa, ada 3 metode:
– Metode klini test (detects all reducing substances in stool; of primary
interest are glucose, lactose, fructose, galactose, maltose, and
pentose)
– Kromatografi tinja
– pH tinja  tinja bersifat asam
• Uji toleransi laktosa: merupakan uji kuantitatif; memeriksa kadar
gula darah setelah konsumsi laktosa
• Pemeriksaan radiologis lactosa-barium meal
• Ekskresi galaktos pada urin
• Uji hidrogen napas  metode pilihan pada intoleransi laktosa
karena bersifat noninvasif, memiliki sensitivitas dan efektivitas yang
tinggi
• Biopsi usus dan pengukuran aktivitas laktase
Clinitest
Method Principle
• Copper sulfate in Clinitest reacts
• Clinitest is a reagent tablet based on with reducing substances in
the Benedict's copper reduction urine/stools converting cupric
reaction, combining reactive sulfate to cuprous oxide.
ingredients with an integral heat • The resultant color, which varies
generating system. with the amount of reducing
• The test is used to determine the substances present, ranges from
amount of reducing substances blue through green to orange.
(generally glucose) in urine/stools.
• Clinitest provides clinically useful
information on carbohydrate
metabolism.
Clinitest
• The Clinitest® reaction detects all • Testing for reducing substances in
reducing substances in stool; of stool is used in diagnosing the cause
primary interest are glucose, lactose, of diarrhea in children.
fructose, galactose, maltose, and • Increased reducing substances in
pentose. stool are consistent with primary or
• Reference Range: secondary disaccharidase deficiency
Negative. A result of 0.25% to 0.5% is and intestinal monosaccharide
suspicious for a carbohydrate malabsorption.
absorption abnormality, >= 0.75% is • Similar intestinal absorption
abnormal. deficiencies are associated with short
• Test Limitations: bowel syndrome and necrotizing
Assay results have relevance for enterocolitis.
liquid stool samples; assay results • Stool reducing substances is also
have little relevance for formed stool helpful in diagnosing between
samples. osmotic diarrhea caused by
abnormal excretion of various sugars
as opposed to diarrhea caused by
viruses and parasites.
Tatalaksana
• Sebagian besar self limited, cukup menjaga status
hidrasi agar tidak dehidrasi dan menjaga asupan nutrisi
• Pemberian cairan rehidrasi oral (CRO) hipotonik
• Rehidrasi cepat (3-4 jam)
• ASI harus tetap diberikan
• Realimentasi segera dengan makanan sehari-hari
• Susu formula yang diencerkan tidak dianjurkan
• Susu formula khusus diberikan sesuai indikasi
• Antibiotik hanya berdasarkan indikasi kuat.
• Pertimbangan penggantian susu formula selama diare akut
(diare kurang dari 7 hari), sebagai berikut :
• Diare tanpa dehidrasi dan dehidrasi ringan-sedang : susu
formula normal dilanjutkan
• Diare tanpa dehidrasi atau dehidrasi ringan-sedang dengan
gejala klinis intoleransi laktosa yang berat (selain diare)
dapat diberikan susu formula bebas laktosa.
• Diare dengan dehidrasi berat diberikan susu formula bebas
laktosa
• Pemberian susu formula untuk alergi pada anak dengan
diare akut tanpa jelas petanda alerginya adalah tidak
rasional.
81. Asma pada anak

• Penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi


kronik yang mengakibatkan obstruksi dan
hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat
bervariasi.
• Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk,
wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul
secara kronik dan atau berulang, reversibel,
cenderung memberat pada malam atau dini hari,
dan biasanya timbul jika ada pencetus
• Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang,
BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu
diagnosis asma

Based on Pedoman Nasional Anak 2016


Patogenesis asma pada anak
Patofisiologi asma pada anak
Patofisiologi asma pada anak
Asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
KARAKTERISTIK:
 Gejala timbul secara episodik atau berulang.
 Timbul bila ada faktor pencetus.
 Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering,
makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna makanan.
 Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
 Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis
 Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
 Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
 Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam.
Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
 Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat
pereda asma.
 Terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar
dengan stetoskop.
 Biasanya berhubungan dengan kondisi atopi lain seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi,
dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau geographictongue.
Kriteria diagnosis asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Alur diagnosis asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan kekerapan Berdasarkan kondisi saat ini Berdasarkan derajat kendali

• Intermitten • Tanpa gejala • Tidak terkendali


• Persisten Ringan • Ada gejala • Terkendali sebagian
• Persisten Sedang • Serangan ringan • Terkendali penuh dengan
• Persisten Berat • Serangan sedang controller
• Serangan berat • Terkendali penuh tanpa
• Ancaman gagal napas controller
Berdasarkan umur Berdasarkan fenotip Berdasarkan derajat
beratnya serangan
• Asma bayi – baduta • Asma tercetus infeksi
(bawah dua tahun) virus • Asma serangan ringan-
• Asma balita (bawah • Asma tercetus aktivitas sedang
lima tahun) (exercise induced • Asma serangan berat
• Asma usia sekolah asthma) • Serangan asma dengan
(5-11 tahun) • Asma tercetus alergen ancaman henti napas
• Asma remaja (12- • Asma terkait obesitas
17 tahun) • Asma dengan banyak
pencetus (multiple
triggered asthma)
Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan kekerapan

Berdasarkan derajat beratnya serangan


Tatalaksana serangan
asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Tatalaksana serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Beberapa pasien memiliki risiko tinggi untuk mengalami serangan asma yang
dapat mengancam nyawa. Resiko tersebut adalah pasien dengan riwayat:
 Serangan asma yang mengancam nyawa
 Intubasi karena serangan asma
 Pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum
 Serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama
 Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenti)
 Kunjungan ke UGD atau perawatan rumah sakit (RS) karena asma dalam
setahun terakhir
 Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi
 Berkurangnya persepsi tentang sesak napas
 Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial.
 Alergi makanan
• Untuk pasien dengan risiko tinggi tersebut, steroid sistemik (oral atau
parenteral) perlu diberikan pada awal tata laksana meskipun pada penilaian
awal serangannya masih ringan sedang.
Tatalaksana serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

Sediaan steroid untuk serangan asma


Nama generik Sediaan Dosis
Metilprednisolone Tablet 4mg, 8 mg 0.5-1 mg/kgBB/hari tiap 6
jam
Prednison Tablet 5 mg 0.5-1 mg/kgBB/hari tiap 6
jam
Metilprednisolone suksinat Vial 125 mg, 500 mg 30 mg dalam 30 menit tiap 6
injeksi jam
Hidrokortison suksinat injeksi Vial 100 mg 4 mg/kgBB/kali tiap 6 jam
Deksametasine injeksi Ampul 0.5-1 mg/kgBB bolus
kemudian dilanjutkan 1
mg/kgBB/hari setiap 6-8 jam
Betametasone injeksi Ampul 0.05-0.1 mg/kgBB tiap 6 jam
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Agonis β2 kerja pendek
 Diberikan 2 kali dengan interval 20 menit, jika di rumah keadaan pasien belum juga membaik harus segera
dibawa ke fasilitas layanan kesehatan terdekat
 Bila pemberian 2 kali sudah dilakukan di fasyankes maka pemberian ketiga dipertimbangkan kombinasi
dengan ipratropium bromida
 Contoh agonis β2 kerja pendek adalah salbutamol, terbutalin, dan prokaterol
 Pada serangan asma, agonis β2 kerja pendek diberikan secara inhalasi diberikan lewat DPI, MDI
dengan/tanpa spacer, atau nebulizer dengan dosis sesuai beratnya serangan dan respons pasien
 Harus diberikan dengan dosis terendah dan frekuensi terkecil
• Ipratropium bromida
 memberikan efek dilatasi bronkus lewat peningkatan tonus parasimpatis dalam inervasi otonom di saluran
napas
• Aminofilin intravena
 Penambahan aminofilin pada terapi awal (inhalasi agonis β2 dan steroid) meningkatkan fungsi paru dalam 6
jam pertama, tetapi tidak mengurangi gejala, jumlah nebulisasi dan lama rawat inap
 Pemberian aminofilin intravena harus sangat berhati-hati dan dipantau secara ketat karena efek
sampingnya yang cukup berat (mual, muntah, takikarsi, agitasi, aritmia, hipotensi, dan kejang
 Dosis : inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan
secara drip 1 mg/kg/jam.
 Loading 1 mg/kg akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2 mcg/mL.
 Untuk efek terapi yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah 10-20 ug/mL. Oleh karena itu kadar
aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam setelah loadingdose diberikan
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

• Steroid sistemik
o Pemberian steroid sistemik per oral sama efektifnya dengan
pemberian secara intravena
o Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk
memberikan perbaikan klinis
o Pemberian IVjika pasien tidak bisa menelan obat
o Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan per
oral dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum
sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama
pemberian 3-5 hari tanpa tapperingoff
o Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan
serangan dan mencegah kekambuhan, dan direkomendasikan
untuk diberikan pada semua jenis serangan. Jika memungkinkan,
steroid oral diberikan dalam 1 jam pertama.
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Adrenalin
o Terapi tambahan pada asma yang berhubungan dengan anafilaksis dan angioedema
o Dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal 500 ug (0.5
ml)
• Magnesium sulfat -->tidak rutin dilakukan
• Steroid inhalasi
– Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 ug budesonide) dapat digunakan
untuk serangan asma (dalam dosis tinggi karena steroid nebulisasi dosis rendah tidak
bermanfaat untuk mengatasi serangan asma)
– terbatas pada pasien-pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap steroid sistemik.
• Mukolitik
• Antibiotik hanya jika terbukti disebabkan infeksi bakteri
• Obat sedasi
• Antihistamin
82. Croup
• Croup (laringotrakeobronkitis viral) adalah
infeksi virus di saluran nafas atas yang
menyebabkan penyumbatan
• Croup generally affects the larynx and trachea,
although this illness may also extend to the
bronchi.
• Merupakan penyebab stridor tersering pada
anak
• Gejala: batuk menggonggong (barking cough),
stridor, demam, suara serak, nafas cepat disertai
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
• Penyebab tersering ialah virus Parainfluenza tipe
1, 2, dan 3
– Paling sering tipe 1 dan 2 (terutama tipe 1) Steeple sign
Pemeriksaan
• Croup is primarily a clinical diagnosis
• Laboratory test results rarely contribute to confirming this
diagnosis. The complete blood cell (CBC) count may suggest a
viral cause with lymphocytosis
• Radiography : verify a presumptive diagnosis or exclude other
disorders causing stridor.
– The anteroposterior (AP) radiograph of the soft tissues of the neck
classically reveals a steeple sign (also known as a pencil-point sign
or wine bottle sign), which signifies subglottic narrowing
– Lateral neck view may reveal a distended hypopharynx (ballooning)
during inspiration
• Laryngoscopy is indicated only in unusual circumstances (eg,
the course of illness is not typical, the child has symptoms that
suggest an underlying anatomic or congenital disorder)
Klasifikasi dan Penatalaksanaan
Ringan Berat
• Gejala: • Gejala:
– Demam – Stridor saat istirahat
– Takipnea
– Suara serak
– Retraksi dinding dada bagian
– Batuk menggonggong bawah
– Stridor bila anak gelisah • Terapi:
• Terapi: – Steroid (dexamethasone) dosis
tunggal (0,6 mg/kg IM/PO)
– Rawat jalan dapat diulang dalam 6-24 jam
– Pemberian cairan oral, – Epinefrin 1:1000 2 mL dalam 2-
ASI/makanan yang sesuai 3 mL NS, nebulisasi selama 20
– Simtomatik menit

WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. WHO; 2008.
83. Down Syndrome
• Down syndrome is a common congenital chromosomal anomaly which is
found worldwide.
• The condition occurs when there is one extra copy of chromosome 21 in
cells in the body (trisomy 21)  affect the physical development and
learning abilities of people with Down syndrome.
• A very small percentage of all translocation trisomies are inherited
• Women aged 35 and older have an increased risk of having a child with
Down syndrome, however a baby with Down syndrome can be born to a
parent of any age.
• Types of down syndrome :
– Trisomy 21 (97%)  caused by abnormal cell division during the development
of the sperm cell or the egg cell
– Translocation (2% of cases) Down syndrome can also occur when part
ofchromosome 21 becomes attached (translocated) onto another
chromosome, before or at conception
– Mosaic 1%  They have a mixture of cells, some with an extra chromosome
21 and some normal cells. This mosaic ofcells is caused by abnormal cell
division after fertilization
Physical characteristic
• Face tends to be round and flat.
• Eyes slant upwards and have an extra
fold of skin on the upper eyelid 
epicanthic fold or the epicanthus.
This skin fold covers the inner corner
of the eye next to the nose.
• The mouth cavity is slightly smaller
than average and the tongue slightly
larger causing the person with Down
syndrome to sometimes protrude
his/her tongue.
• The occiput is slightly flattened.
• Nose may be small with a flat and low
bridge.
• Ears may also be small and low-set.
Ears small and low-set the ‘sandal gap’
Sindrom Down
• The neck in new-born babies may have excess skin  nuchalfold.
Older children and adults tend to have short broad necks.
• A single crease across the palm of the hand (simian crease)
• Hands tend to be broader and shorter and the little finger can
sometimes curve inwards.
• A bigger than normal space between the first and second toe (the
‘sandal gap’).
• Low muscle tone or ‘hypotonia’ is common among babies and very
young children with Down syndrome. Hypotonia generally improves
over time, and most children with Down syndrome will have
physiotherapy in infancy and childhood to help improve their
hypotonia.
• Babies may have a low birth-weight.
• The average height of a child or adult with Down syndrome is less
than that of the rest of the population.
• Most people with Down syndrome have a slow metabolism and put
on extra weight more easily than their peers (metabolism refers to
how quickly or slowly your body uses up the calories from the food
you have eaten).
Prenatal Diagnosis of Down syndrome
Prenatal Screening* Prenatal Diagnosis
• Triple Screen: • Chorionic Villus Sampling:
– (βhCG, AFP, uE3) ~99.9%
• Quadruple Screen: – (10‐14 weeks, ≤1% spont
termin)
– (βhCG, AFP, uE3, inhibin‐A)
• First‐trimester Combined: • Amniocentesis: ~99.9%
– (after 15thweek; ≤0.25%
– (Ultrasound, βhCG, PAPP‐A)
spont term)
• Integrative Screen:
• Sequential Screen:
– Independent
– Stepwise
– Contingent
Diagnosis postnatal
• Perlu dicurigai jika didapatkan gangguan tumbuh kembang,
khususnya perkembangan
• Jika kecurigaan besar terhadap Down Syndrome maka bisa
dilanjutkan dengan pemeriksaan sitogenik untuk mencari
trisomy 21
OTHER GENETIC DISORDER
Patau Mental retardation, heart defects, CNS abnormalities, microphthalmia, polydachtyly, a
Syndrome cleft lip with or without a cleft palate, coloboma iris, and hypotonia, Clenched hands
Trisomi 13 (with outer fingers on top of the inner fingers), Close-set eyes, Low-set ears, Single
noninherited palmar crease, microcephaly, Small lower jaw (micrognathia), cryptorchidism, Hernia

Many infants with trisomy 13 die within their first days or weeks of life.

Sindrom cryptorchidism, hypospadias, or micropenis, small testes, delayed or incomplete


Klinefelter puberty, gynecomastia, reduced facial and body hair, and an inability to have biological
47,XXY children (infertility).
noninherited Older children and adults tend to be taller. Increased risk of developing breast cancer
and SLE.
May have learning disabilities and delayed speech; tend to be quiet, sensitive, and
unassertive.
Sindrom Clenched hands, Crossed legs, abnormally shaped head; micrognathia, Feet with a
Edward rounded bottom (rocker-bottom feet), Low birth weight & IUGR, Low-set ears, Mental
Trisomi 18 delay, microcephaly, Undescended testicle, coloboma iris, Umbilical hernia or inguinal
Noninherited hernia, congenital heart disease (ASD, PDA, VSD), kidney problems (i.e: Horseshoe
kidney, Hydronephrosis, Polycystic kidney), severe intellectual disability

It is three times more common in girls than boys. Many individuals with trisomy 18 die
before birth or within their first month.
No unusual physical features, increased risk of learning
disabilities and delayed development of speech and
Jacob Syndrome language skills. Delayed development of motor skills,
47, XYY weak muscle tone (hypotonia), hand tremors or other
involuntary movements (motor tics), and behavioral and
emotional difficulties
Kallmann syndrome Genetic disorder consists of hypogonadotropic
hypogonadism + anosmia

Marfan syndrome Mutasi pada fibrillin (protein pada jaringan ikat tubuh).
3 dari 4 kasus A tall, thin build, Long arms, legs, fingers, and toes and
bersifat diturunkan flexible joints, skoliosis, pektus karinatum/ ekskavatum,
Teeth that are too crowded, Flat feet.

Fragile X syndrome Fragile X syndrome is a genetic condition that causes a


Diturunkan secara range of developmental problems including learning
X-linked dominan disabilities and cognitive impairment.
Usually, males are more severely affected by this disorder
than females.
Kelainan genetik yang menngakibatkan tidak adanya enzim billirubin-
Crigler-Najjar UGT yang berfungsi untuk eliminasi bilirubin. Akibatnya, muncul gejala
Syndrome klinis akibat hiperbilirubinemia (ikterus yang segera muncul setelah
lahir) hingga dapat menjadi kernickterus

Pierre-Robin Diturunkan autosomal resesif terkait kromosom X. Tanda berupa


Syndrome micrognathia, glossoptosis, macroglossia, ankyloglossia.
Micrognathia+glossoptosisgangguan pernapasan berat dan sulit
makan. Selain itu terdapat juga cleft palate di soft maupun hard palate
dengan bentuk U atau V.

The most common feature is short stature, which becomes evident by


about age 5. Ovarian hypofunction. Many affected girls do not undergo
puberty and infertile.
Sindrom
About 30 % have webbed neck, a low hairline at the back of the neck,
turner
limfedema ekstrimitas, skeletal abnormalities, or kidney problem, 1/3
45 + XO
have heart defect, such as coarctation of the aorta.
noninherited
Most of them have normal intelligence. Developmental delays,
nonverbal learning disabilities, and behavioral problems are possible
84. Gagal Jantung

• Sindroma klinis yang ditandai oleh


ketidakmampuan miokardium memompa darah
ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh termasuk kebutuhan untuk
pertumbuhan
• Penyebabnya :
– penyakit jantung bawaan, demam rematik akut,
anemia berat, pneumonia sangat berat dan gizi
buruk.
• Gagal jantung dapat dipicu dan diperberat oleh
kelebihan cairan.
Gagal Jantung
• Disebut gagal jantung, bila:
– Jantung tidak mampu
memompa darah dalam
jumlah yang mencukupi
kebutuhan metabolik tubuh
(forward failure), atau

– Jantung mampu memenuhi


kebutuhan aliran darah hanya
jika tekanan pengisian jantung
tinggi (backward failure),

– Atau keduanya

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
Tanda Gagal Jantung
Pemeriksaan Penunjang
Medikamentosa
• Ada 3 jenis obat yang digunakan untuk terapi gagal jantung:
- Inotropik untuk meningkatkan kontraktilitas jantung
- Diuretik untuk mengurangi preload/ volume diastolik akhir
- Vasodilator untuk mengurangi afterload atau tahanan yang dialami saat ejeksi ventrikel
85. TRANSFUSI KOMPONEN DARAH

Darah lengkap (whole blood)


Komponen darah
~ Sel darah merah
~ Leukosit
~ Trombosit
~ Plasma (beku-segar)
~ Kriopresipitat
PRC
PRC
Fresh Frozen Plasma
Cryoprecipitate
Thrombocyte Concentrate
Blood Replacement Therapy
factor-VIII factor-IX
(unit/ml) (unit/ml) (ml)

fresh-frozen plasma ~ 0,5 ~ 0,6 200


cryoprecipitate ~ 4,0 - 20
factor - VIII concentrate 25 - 100 - 10
factor - IX concentrate - 25 - 35 20

Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.


86. Perawatan
Bayi
Baru Lahir
Normal
87. Gagal Ginjal Akut

• Gagal ginjal akut (GGA) ialah penurunan fungsi ginjal mendadak yang
mengakibatkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan
homeostasis
• Terdapat peningkatan kadar kreatinin darah secara progresif 0,5 mg/dL
per hari dan peningkatan ureum sekitar 10-20 mg/dL per hari.
• GGA dapat bersifat oligurik dan non-oligurik.
– Oliguria ialah produksi urin <1 ml/kgBB/ jam untuk neonatus dan <0,8
ml/kgBB/jam untuk bayi dan anak.
• Jenis GGA
– GGA prarenal: dehidrasi, syok, perdarahan, gagal jantung, sepsis
– GGA renal: pielonefritis, glomerulonefritis, nefrotoksisitas karena obat atau
kemoterapi, lupus nefritis, nekrosis tubular akut, SHU, HSP
– GGA pascarenal: keracunan jengkol, batu saluran kemih, obstruksi saluran
kemih, sindrom tumor lisis, buli-buli neurogenik
Acute Renal Failure
Klasifikasi
Patogenesis
Tatalaksana Medikamentosa GGA
• Terapi sesuai penyakit primer • Pemberian diuretik pada GGA
• Bila terdapat infeksi, dosis renal dengan furosemid 1-2
antibiotik disesuaikan dengan mg/kgBB dua kali sehari dan
beratnya penurunan fungsi ginjal dapat dinaikkan secara
• Pemberian cairan disesuaikan bertahap sampai maksimum 10
dengan keadaan hidrasi mg/kgBB/kali. (pastikan
kecukupan sirkulasi dan bukan
• Koreksi gangguan merupakan GGA pascarenal).
ketidakseimbangan cairan
elektrolit • Bila gagal dengan
medikamentosa, maka
• Natrium bikarbonat untuk dilakukan dialisis peritoneal
mengatasi asidosis metabolik atau hemodialisis.
sebanyak 1-2 mEq/kgBB/ hari
sesuai dengan beratnya asidosis
88. Malaria
• Penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit
Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk anopheles. Berdasarkan jenis
plasmodiumnya, infeksi malaria ini dapat
menimbulkan berbagai gejala antara lain:
– Plasmodium vivax  malaria tertian benigna/malaria
vivax
– Plasmodium falciparum  malaria tertiana maligna/
malaria Tropicana
– Plasmodium malariae  malaria kuartana
– Plasmodium ovale  malaria tertian benigna ovale
Malaria the disease

• 9-14 day incubation


period
• Fever, chills, headache,
back and joint pain
• Gastrointestinal
symptoms (nausea,
vomiting, etc.)
• Malaria tertiana: 48h
between fevers (P. vivax
and ovale)
• Malaria quartana: 72h
between fevers (P.
malariae)
• Malaria tropica: irregular
high fever (P. falciparum)
Pengobatan Malaria
• Pengobatan malaria falsiparum, knowlesi dan vivaks saat ini
menggunakan DHP ditambah primakuin.
• Dosis DHP untuk malaria falsiparum, malaria knowlesi, malaria
vivaks adalah sama
• Primakuin untuk malaria falsiparum dan malaria knowlesi hanya
diberikan pada hari pertama saja dengan dosis 0,25 mg/kgBB
• Primakuin untuk malaria vivaks selama 14 hari dengan dosis 0,25
mg /kgBB.
• Primakuin tidak boleh diberikan pada bayi usia < 6 bulan dan ibu
hamil.
Lini Kedua Pengobatan Malaria
• Lini kedua Malaria Falciparum
– Kina + doksisiklin/tetrasiklin + primakuin
• Doksisiklin (untuk anak < 8 tahun dan ibu hamil kontraindikasi sehingga diberi
klindamisin).
• Primakuin kontraindikasi pada ibu hamil dan bayi <6 bulan
• Lini kedua Malaria Vivaks
– Kina + primakuin
• Dosis:
– Kina: 3x10 mg/kgBB/kali PO, selama 7 hari
– Tetrasiklin : 4 mg/kgBB diberikan 4 kali sehari selama 7 hari
– Primakuin: 0.25 mg/kgBB/hari (0.5 mg bila relaps) (Lama pemberian
primakuin sesuai dengan jenis infeksi malarianya)
– Doksisiklin (diberikan selama 7 hari):
• Usia > 15 tahun : 3.5 mg/kgBB/hari diberikan 2 kali sehari
• Usia 8-14 tahun : 2.2 mg/kgBB/hari diberikan 2 kali sehari
– Klindamisin : 10 mg/kg BB/kali diberikan 2 kali sehari selama 7 hari.
Catatan
• Sebaiknya dosis pemberian DHP berdasarkan berat badan, apabila
penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan maka pemberian obat
dapat berdasarkan kelompok umur.
• Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada tabel
pengobatan), maka dosis yang dipakai adalah berdasarkan berat badan.
• Untuk anak dengan obesitas gunakan dosis berdasarkan berat badan ideal.
• Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil.
• Khusus untuk penderita defisiensi enzim G6PD yang dicurigai melalui
anamnesis ada keluhan atau riwayat warna urin coklat kehitaman setelah
minum obat primakuin, maka pengobatan diberikan secara mingguan
selama 8-12 minggu dengan dosis mingguan 0,75mg/kgBB. Pengobatan
malaria pada penderita dengan Defisiensi G6PD segera dirujuk ke rumah
sakit.
Malaria Berat

• Malaria berat adalah ditemukannya Plasmodium falciparum


stadium aseksual dengan minimal satu dari manifestasi klinis atau
didapatkan temuan hasil laboratorium (WHO, 2015):
– Perubahan kesadaran (GCS<11, Blantyre <3)
– Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan)
– Kejang berulang-lebih dari dua episode dalam 24 jam
– Distres pernafasan
– Gagal sirkulasi atau syok: pengisian kapiler > 3 detik, tekanan sistolik <80 mm Hg
(pada anak: <70 mmHg)
– Jaundice (bilirubin>3mg/dL dan kepadatan parasit >100.000)
– Hemoglobinuria
– Perdarahan spontan abnormal
– Edema paru (radiologi, saturasi Oksigen <92%
MALARIA
BERAT
Malaria Berat

Kriteria laboratorium malaria berat:


• Hipoglikemi (gula darah <40 mg%)
• Asidosis metabolik (bikarbonat plasma <15 mmol/L).
• Anemia berat (Hb <5 gr% untuk endemis tinggi, <7gr% untuk endemis
sedang-rendah), pada dewasa, Hb<7gr% atau hematokrit
<15%)
• Hiperparasitemia (parasit >2 % eritrosit atau 100.000 parasit /μL di
daerah endemis rendah atau > 5% eritrosit atau 100.0000 parasit
/μl di daerah endemis tinggi) 5
• Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L)
• Hemoglobinuria
• Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >3 mg%)
Cerebral Malaria

• Possible cause:
• Binding of
parasitized red cells
in cerebral capillaries
→ sekuestrasi →
severe malaria
•  permeability of the
blood brain barrier
• Excessive induction
ofcytokines

http://www.microbiol.unimelb.edu.au
Penatalaksanaan
Malaria Berat di
Pelayanan Primer dan
Sekunder

* Jika puskesmas/klinik tidak memiliki fasilitas rawat inap, pasien


malaria berat harus langsung dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap.
Sebelum dirujuk berikan artesunat intramuskular (dosis 2,4mg/kgbb)
Penatalaksanaan
Malaria Berat di
RS Rujukan
Penatalaksanaan
Malaria Serebral
Tatalaksana malaria berat di faskes primer
• Jika puskesmas/klinik tidak memiliki fasilitas rawat
inap langsung dirujuk
• Sebelum dirujuk berikan terapi awal artesunat
intramuskular (dosis 2,4mg/kgbb).
Tatalaksana malaria berat selama dirawat
• Artesunat intravena merupakan pilihan utama. Jika
tidak tersedia dapat diberikan kina drip.
• Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60
mg serbuk kering asam artesunik dan pelarut dalam
ampul yang berisi natrium bikarbonat 5%.
• Keduanya dicampur kemudian diencerkan dengan
Dextrose 5% atau NaCL 0,9% sebanyak 5 ml sehingga
didapat konsentrasi 60 mg/6ml (10mg/ml). Obat
diberikan secara bolus perlahan-lahan.
• Artesunat diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb
intravena sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya
diberikan 2,4 mg/kgbb intravena setiap 24 jam sehari
sampai penderita mampu minum obat.
Tatalaksana malaria berat selama dirawat
• Alternatif Artesunat: Pemberian kina pada anak
• Kina HCl 25 % (per-infus) dosis 10 mg/kgbb (bila
umur < 2 bulan : 6 - 8 mg/kg bb) diencerkan dengan
Dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 % sebanyak 5 - 10
cc/kgbb diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8
jam sampai penderita dapat minum obat.
• Kina tidak boleh diberikan secara bolus intravena,
karena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan
kematian.
89. Penyakit Jantung Tekanan di dalam Jantung

Bawaan: Atresia pulmonum

PJB

Asianotik Cyanotic

↓ aliran darah ↑ aliran darah


↑ volume: pulmonal: pulmonal:
↑ pressure:
- ASD - ToF - Transposition
- Valve stenosis
- VSD - Atresia of the great
- Coarctation of pulmonal vessels
- PDA aorta
- Atresia - Truncus
- Valve
tricuspid arteriosus
regurgitation

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
Klasifikasi PJB
• Asianotik • Cyanosis
– Normal pulmonary blood • Normal pulmonary
flow blood flow
• Pulmonary Stenosis (PS) • TGA without PS
• Increased pulmonary
• Aortic Stenosis (AS) blood flow
• Coarctatio Aorta (CoA) • TGA with VSD
– Increased pulmonary blood • Truncus arteriosus
flow • Total anomaly
• Patent Ductus Arteriosus pulmonary vein
(PDA) drainage
• Decreased pulmonary
• Atrial Septal Defect (ASD) blood flow
• Ventricular Septal Defect • ToF
(VSD) • Pulmonary atresia
• Ticuspid atresia
Pulmonary Atresia with intact
ventricular septum
• PA/IVS is a ductal-dependent • 3% of critically ill infants with
lesion, closure of the patent CHD
ductus arteriosus (PDA) • PA/IVS is fatal
generally results in rapid • 50 % die within two weeks of
clinical deterioration and life- birth
threatening consequences,
including severe metabolic • 85 % by six months
acidosis and hypoxemia, • Rarely, prolonged survival can
seizures, cardiogenic shock, occur with pulmonary blood
cardiac arrest, and death. flow maintained by a
• 1 to 3 % of all CHD persistent PDA or systemic
artery to pulmonary artery
• 4 to 8 per 100,000 live births blood flow via one or more
collateral blood vessels
Pulmonary Atresia with intact
ventricular septum
• It is characterized by an imperforate pulmonary valve
with completely fused comissures, variable degrees of
dysplasia and narrowing of the pulmonic valve,
variable hypoplasia of the right ventricle and tricuspid
valve and a frequent association of coronary artery
fistulae and sinusoids .
• The pulmonary arteries are usually normal in size and
the pulmonary blood flow is supplied by a patent
ductus arteriosus (PDA).
• The left sided heart is usually normal, but in severe
cases the ventricular septum is displaced into the left
ventricle and its cavity may be somewhat restricted.
Sign and symtomps
• Full term well developed babies
• Delivery is usually uncomplicated
• Cyanosis on first day of birth
• 90% present whithin 3 days of life
• Systolic murmurs of duct flow
• May have additional TR murmur
• Single heart sound
• May progress to respiratory
distress and metabolic acidosis
Physical examination ECG
• Single second heart sound • Right atrial enlargement based
• Systolic murmur due to on tall p waves in leads I, II,
tricuspid regurgitation. and Avf
• abnormal relative left axis
• Silent precordium deviation (QRS axis +30
• “Machinery type” murmur due degrees) due to a decrease of
to a PDA right-sided forces from RV
• Room air SPO2 <70% and hypoplasia
(PaO2) levels typically 35 to 45 • Cyanosis in a neonate with left
mmHg axis deviation on ECG should
prompt the clinician to
Chest X-Ray consider PA/IVS
• Right atrial enlargement • Although the ECG does not
demonstrate significant
• Cardiomegaly[ significant myocardial ischemia, ST and T
tricuspid regurgitation] wave abnormalities should be
• Paucity of pulmonary ruled out on all patients with
vascularity PA/IVS due to the possibility of
coronary abnormalities
90. Pneumonia
• Peradangan/inflamasi parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat.
• Peradangan/inflamasi parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat.
• Bronchopneumoia merupakan inflamasi yang tidak hanya
melibatkan alveolus dan bronkiolus, melainkan juga bronkus dan
melibatkan >1 lobus yang terjadi terutama pada anak usia ≤ 2
tahun.

Sumber : Kllegman RM, Staton BF, Schor N,et all. Nelson Texbook of Pediatrics. 19th edition. New York : Saunders; 2011.
Pneumonia
• Tanda utama menurut WHO: fast breathing & lower chest indrawing
• Signs and symptoms :
– Non respiratory: fever, headache, fatigue, anorexia, lethargy, vomiting and
diarrhea, abdominal pain
– Respiratory: cough, chest pain, tachypnea , grunting, nasal flaring,
subcostal retraction (chest indrawing), cyanosis, crackles and rales (ronchi)

Fast breathing (tachypnea)


Respiratory thresholds
Age Breaths/minute
< 2 months 60
2 - 12 months 50
1 - 5 years 40
AGE COMMON ETIOLOGIES (as in order) LESS COMMON ETIOLOGIES
2 to 24 months RSV Streptococcus Mycoplasma pneumoniae
Human metapneumovirus pneumoniae Haemophilus influenzae (type B and
Parainfluenza viruses Chlamydia trachomatis nontypable)
Influenza A and B Chlamydophila pneumoniae
Rhinovirus
Adenovirus
Enterovirus

2 to 5 years Respiratory syncytial virus S. pneumoniae Staphylococcus aureus (including


Human metapneumovirus M. pneumoniae methicillin-resistant S. aureus)
Parainfluenza viruses H. influenzae (B and Group A streptococcus
Influenza A and B nontypable)
Rhinovirus C. pneumoniae
Adenovirus
Enterovirus

Older than 5 Rhinovirus M. pneumoniae H. influenzae (B and nontypable)


years Adenovirus C. pneumoniae S. aureus (including methicillin-
Influenza A and B S. pneumoniae resistant S. aureus)
Group A streptococcus
Respiratory syncytial virus
Parainfluenza viruses
Human metapneumovirus
Enterovirus
Patologi Pneumonia
• Basil yang masuk bersama sekret • Akan tampak 4 zona pada
bronkus ke dalam alveoli daerah parasitik terset yaitu
menyebabkan reaksi radang  :
edema seluruh alveoli disusul – Zona luar : alveoli yang tersisi
dengan bakteri dan cairan
dengan infiltrasi sel-sel PMN dan edema.
diapedesis eritrosit  terjadi – Zona permulaan konsolidasi :
permulaan fagositosis sebelum terdiri dari PMN dan beberapa
eksudasi sel darah merah.
terbentuknya antibodi.
– Zona konsolidasi yang luas :
• Sel-sel PMN mendesak bakteri ke daerah tempat terjadi fagositosis
permukaan alveoli dan dengan yang aktif dengan jumlah PMN
yang banyak.
bantuan leukosit yang lain – Zona resolusi : daerah tempat
melalui psedopodosis sitoplasmik terjadi resolusi dengan banyak
mengelilingi bakteri tersebut bakteri yang mati, leukosit
danalveolar makrofag.
kemudian dimakan.

Pneumonia. PDPI
Klasifikasi berdasarkan predileksi
• Pneumonia lobaris
– pada satu lobus atau segmen
• Bronkopneumonia.
– Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada
lapangan paru.
– Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus.
Sering pada bayi dan orang tua.
• Pneumonia interstisial
Item Lobar pneumonia Bronchopneumonia
Age Lobar pneumonia Occurs in Extremes of ages
otherwise infants, olds and those
healthy individuals between 30 - 50 suffering
years of age (Young and adults) from chronic debilitating illness
or immuno-suppression.
Organism Mostly pneumococci (strep. Mixed organisms: viral,
Pneumonia) Staphylococci, Streptococci,
H. influenzae, Proteus and
Pseudomonas
Grossly Lobar or segmental consolidation Patchy, bilateral of both
lungs
Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lokasi Anatomis

Manifestasi Klinis
• Infeksi umum  demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan
gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner.
• Gangguan respiratori  batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air
hunger, merintih, dan sianosis.
Gambaran Radiologis
DISEASE RADIOGRAPHY

Characteristically, there is homogenous opacification in a lobar pattern. The


Pneumonia opacification can be sharply defined at the fissures, although more commonly
lobaris there is segmental consolidation. The non-opacified bronchus within a
consolidated lobe will result in the appearance of air bronchograms.

Pneumonia associated with suppurative peribronchiolar inflammation and subsequent


lobularis/ patchy consolidation of one or more secondary lobules of a lung in response
bronko to a bacterial pneumoniAssociated a: multiple small nodular or
pneumonia reticulonodular opacities which tend to be patchy and/or confluent.

pulmonary hyperinflation Increased Bronchial wall markings (most


characteristic)  Associated with thicker Bronchial wall, inflammation
Flattening of diaphragm (with chronic inflammation or Associated with
Asthma
accessory muscle use)
Hyperinflation (variably present)
Patchy infiltrates (variably present) from Atelectasis
Hyperexpansion (showed by diaphragm flattening), hyperluscent,
bronkiolitis Peribronchial thickening
Variable infiltrates or Viral Pneumonia
Bronchopneumonia
Pneumonia Lobaris

Etiology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negative organisms
Legionella
Bronchiolitis
Pneumonia
• Hubungan antara diagnosis klinis dan
Klasifikasi-Pneumonia (MTBS)

Diagnosis (Klinis) Klasifikasi (MTBS)


Pneumonia berat (rawat inap)
• Tanpa gejala hipoksemia
Penyakit sangat berat
• Dengan gejala hipoksemia
(Pneumonia berat)
• Dengan komplikasi

Pneumonia ringan (rawat jalan)


Pneumonia

Infeksi respiratori akut atas Batuk: bukan pneumonia

Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di
Kabupaten/Kota.
Klasifikasi Pneumonia (WHO) dan kriteria rawat inap
Kriteria rawat inap
Pneumonia Ringan
• Dx  disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
• Napas cepat:
• pada anak umur 2 bulan – 11 bulan: ≥ 50 kali/menit
• pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
• Tx  rawat jalan, beri antibiotik : Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari
selama 3 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.

Pneumonia Berat
• Dx  Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini:
• Kepala terangguk-angguk
• Pernapasan cuping hidung
• Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
• Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi)
• Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
• Napas cepat
• Suara merintih (grunting) pada bayi muda
• Pada auskultasi terdengar : Crackles (ronki), suara pernapasan menurun, suara
pernapasan bronkial
• Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai: Tidak dapat menyusu atau
minum/makan, atau memuntahkan semuanya, Kejang, letargis atau tidak sadar,
sianosis, distres pernapasan berat.
Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di Kabupaten/Kota.
Tatalaksana
Pneumonia Berat

Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang harus


dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik
maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah
sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.

Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat
(tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang,
letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).

Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan
kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai alternatif, beri
seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari.

Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di Kabupaten/Kota.
91. Disentri

• Disentri adalah diare yang disertai darah. Sebagian


besar kasus disebabkan oleh Shigella dan hampir
semuanya membutuhkan pengobatan antibiotik
• Pemeriksaan penunjang: Feses rutin untuk
mengidentifikasi trofozoit amuba dan giardia.
Peningkatan jumlah leukosit lebih dari 10 per lapang
pandang mendukung etiologi bakteri invasif
• Pikirkan diagnosa invaginasi jika terdapat tanda dan
gejala: Feses dominan lendir dan darah, kesakitan dan
gelisah, muntah, massa intra-abdomen (+)

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008


Disentri Sindrom
• Definisi  diare yang • Indikasi rawat inap
disertai darah – Usia < 2 bulan
• Tanda dan gejala: – Keracunan makanan
– BAB cair disertai dengan – Letargis
darah – Nyeri abdomen dominan
– Nyeri perut – Kejang
– Demam – Risiko tinggi terjadi sepsis
– Kejang • Etiologi
– Letargis – Amobiasis  E. histolitica
– Prolaps rektum – Basiller  E.coli, shigela
http://www.searo.who.int/indonesia/documents/9789791947701-buku-saku-kesehatan-anak-indonesia.pdf?ua=1
Disentri
• Bakteri
– Shigella (disentri basiler), penyebab disentri yang
terpenting dan tersering (± 60% kasus disentri yang
dirujuk serta hampir semua kasus disentri yang berat
dan mengancam jiwa disebabkan oleh Shigella.
– Escherichia coli enteroinvasif (EIEC)
– Salmonella
– Campylobacter jejuni, terutama pada bayi
• Amoeba (Disentri amoeba),
disebabkan Entamoeba hystolitica, lebih sering
pada anak usia > 5 tahun
Gejala berdasarkan etiologi

Buku ajar Gastroenterologi IDAI - 2011


Gejala klinis
Disentri basiler Disentri amoeba
• Diare mendadak yang disertai darah dan • Diare disertai darah dan
lendir dalam tinja. Pada disentri
shigellosis, pada permulaan sakit, bisa lendir dalam tinja.
terdapat diare encer tanpa darah dalam • Frekuensi BAB umumnya
6-24 jam pertama, dan setelah 12-72 jam lebih sedikit daripada
sesudah permulaan sakit, didapatkan
darah dan lendir dalam tinja. disentri basiler (≤10x/hari)
• Panas tinggi (39,5 - 40,0 C), kelihatan • Sakit perut hebat (kolik)
toksik. • Gejala konstitusional
• Muntah-muntah. biasanya tidak ada (panas
• Anoreksia. hanya ditemukan pada 1/3
• Sakit kram di perut dan sakit di anus saat kasus).
BAB.
• Kadang-kadang disertai dengan gejala
menyerupai ensefalitis dan sepsis
(kejang, sakit kepala, letargi, kaku kuduk,
halusinasi).
CHARACTER AMOEBIC DYSENTERY BACILLARY DYSENTERY
MACROSCOPIC
Number 6-8 motions a day Over 10 motions a day
Amount (Volume) Relatively copious Small amount
Appearance and
Blood mucus, semi formed Blood mucus, mainly watery
Amount
Odour Offensive (fishy odour) Odourless
Colour Dark red (altered blood) Bright red (fresh blood)
Reaction Acidic Alkaline Charcot-Leyden crystals
Consistency Not adherent to the container Adherent to the container
MICROSCOPIC *Charcot-Leyden crystals are
Discrete, sometimes in clumps due to are hexagonal bipyramidal
RBCs In clumps
rouleaux formation structures, formed from the
Pus Cells Few Numerous breakdown of eosinophils and
Numerous, many of them contain RBCs may be seen in the stool or
Macrophages Few hence may be mistaken for E. sputum of patients with
histolytica parasitic diseases.
Eosinophils Present Scarce **Pyknotic bodies are the
Charcot-Leyden (C- nuclear remains of tissue cells
Present Absent and leukocytes, they pay
L) crystals*
Pyknotic bodies** Present Absent present in the stools of person
suffering from amoebiasis.
Ghost Cells*** Absent Present
***Ghost cell is a
Parasites Seen Trophozoites of E. histolytica Absent swollen/enlarged epithelial cell
Scanty, nonmotile (Shigella is non with only cytoplasmic outline,
Bacteria Seen Many motile bacteria
motile bacteria) but without a nucleus.
CULTURE: Growth Various intestinal flora may Pure growth of Shigella spp. may be
on MacConkey Agar grow seen
• Shigella is one of the most infectious of
bacteria and ingestion of as few as 100-200
Shigella organisms will cause disease.
• Most individuals are infected with shigellae
when they ingest food or water
contaminated with human fecal material.
• Shigella can survive up to 30 days in milk,
eggs, cheese or shrimps.
• Patogenesis & Immunity
– Exotoxin (Shiga toxin) is neurotoxic, cytotoxic, and
enterotoxic, encoded by chromosomal genes,
– Enterotoxic effect: Shiga toxin adheres to small
intestine receptors. Blocks absorption (uptake) of
electrolytes, glucose, and amino acids from the
intestinal lumen.
– Cytotoxic Effect: Inhibition of protein synthesis, Cell death,
Shigella Microvasculature damage to the intestine, Hemorrhage (blood
& fecal leukocytes in stool)
– Neurotoxic Effect: Fever, abdominal cramping are
considered signs of neurotoxicity
Shigella Infection
• An Enterobacteriaceae, small Gram-negative,
facultatively anaerobic, coliform bacillus
• Non-motile, Non-lactose & Non-mannitol
fermenting, Non-encapsulated, Non-spore
former
• Shigella species are found only in the human
intestinal tract. Carriers of pathogenic strains
can excrete the organism up to two weeks
after infection and occasionally for longer
periods.
• Shigella are killed by drying.
• Shigella are transmitted by the fecal-oral rout.
The highest incidence of Shigellosis occur in
areas of poor sanitation and where water
supplies are polluted.

918
Clinical Syndromes (Shigellosis)
• Ranges from asymptomatic infection to severe bacillary
dysentery
• Two-stage disease: watery diarrhea changing to dysentery
with frequent small stools with blood and mucus, tenesmus,
cramps, fever
• Early stage:
– Watery diarrhea attributed to the enterotoxic activity of Shiga
toxin
– Fever attributed to neurotoxic activity of toxin
• Second stage:
– Adherence to and tissue invasion of large intestine
– Typical symptoms of dysentery: loose stools with mucus and blood
– Cytotoxic activity of Shiga toxin increases severity
PENGOBATAN
• Anak dengan disentri harus dicurigai menderita shigellosis.
• Pilihan utama untuk Shigelosis: Kotrimoksazol (trimetoprim 10mg/kbBB/hari
dan sulfametoksazol 50mg/kgBB/hari) dibagi dalam 2 dosis, selama 5 hari.
• Alternatif yang dapat diberikan: Ampisilin 100mg/kgBB/hari/4 dosis, Cefixime
8mg/kgBB/hari/2 dosis, Ceftriaxone 50mg/kgBB/hari, Asam nalidiksat
55mg/kgBB/hari/4 dosis.
• Perbaikan seharusnya tampak dalam 2 hari, misalnya panas turun, sakit dan
darah dalam tinja berkurang, frekuensi BAB berkurang, dll.
• Terapi antiamebik diberikan dengan indikasi :
– Ditemukan trofozoit Entamoeba hystolistica tinja.
– Tinja berdarah menetap setelah terapi dengan 2 antibiotika berturut-turut
(masing-masing diberikan untuk 2 hari), yang biasanya efektif untuk disentri
basiler.

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008


92. Omphalitis
Definisi Risk Factor
 Selulitis superfisial yg melibatkan tali • BBLR.
pusar. • Lahir di rumah atau persalinan non
• Dpt berkembang menjadi fasciitis. steril.
• Pada era pre antibiotik  penyebab • Infeksi maternal, KPD.
mortalitas tertinggi pd neonatus • Laki-laki.
• Katerisasi umbilikus.
Epidemiologi • Defisiensi imun.
• Terjadi pd usia 5-9 hari pada NCB • Perawatan tali pusar yg tidak
dan 3-5 hari pd NKB. higienis.
• Bakteri yg terlibat memilki virulensi
tinggi.

Hoffam RJ.Fleisher & Ludwig’s 5-Minute Pediatric Emergency Medicine Consult. New York : Lippincot ; 2012.
Omphalitis
Pathophysiology Diagnosis
• Kolonisasi bakteri pd jaringan sisa umbilikus. • Adanya inflamasi pada jaringan
• Sisa jaringan umbilikus merupakan medium sekitar umbilikus  merah, bengkak,
pertumbuhan bakteri yg dapat menginfeksi jaringan dan nyeri.
sekitar.
• Cairan purulen dan berbau dari
• Pembuluh darah umbilikus terdekat dpt
menyebabkan penyebaran infeksi ke dalam aliran
umbillikus.
darah. • Dapat disertai dgn impetigo bulosa.
• Omfalitis dapat hanya terbatas pada daerah sekitar • Gejala sistemik  demam, letargis
umbilikus atau menyebar hingga ke jaringan lunak dan penurunan intake.
dalam.
Etiologi
• Gram positif: Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, groups A and B streptococcus
• Gram negatif: Escherichia coli,Klebsiella
pneumoniae,Proteus mirabilis, Pseudomonas species
• Anaerobes: Clostridium tetani,Clostridium
perfringens, Clostridium difficile, Bacteroides fragilis

Hoffam RJ.Fleisher & Ludwig’s 5-Minute Pediatric Emergency Medicine Consult. New York : Lippincot ; 2012.
Management
Initial Stabilization Medication
Therapy • Parenteral broad-spectrum antibiotics are the mainstay of
• Address airway, breathing, treatment.
and circulation issues. • Antistaphylococcal penicillins and aminoglycoside agents have
• IV access should be promptly typically been the drugs of choice for the treatment and
obtained. prevention of complications in omphalitis:
• Sick neonates are often • Oxacillin, IV: 25 mg/kg t.i.d.–q.i.d.
hypothermic or hypoglycemic, • Gentamycin, IV: 2.5 mg/kg t.i.d.
so temperature and blood • IV cefotaxime (50 mg/kg t.i.d.) may be substituted for the
glucose should be rapidly aminoglycoside.
assessed and treated. • MRSA prevalence  IV vancomycin (10 mg/kg t.i.d.)
• In the toxic-appearing infant, • Consider adding anaerobic coverage such as IV metronidazole (15
completion of the sepsis mg/kg b.i.d.) or IV clindamycin (5 mg/kg t.i.d.) in cases of foul-
workup should not delay the smelling drainage, known maternal infection at the time of
immediate administration of delivery, or deep infection such as myonecrosis or necrotizing
broad-spectrum antibiotics. fasciitiscal
• Additional topical Therapy with triple dye, bacitracin, and other
antimicrobials has been suggested in addition to parenteral
antibiotic therapy, but such treatment is unproven.

Galagher PG. Omphalitis Treatment & Management. 2016. Available from http://emedicine.medscape.com/article/975422
Management
Supportive Care
• Provide ventilatory assistance and supplementary oxygen for hypoxemia or
apnea unresponsive to stimulation.
• Administer fluid, vasoactive agents, or both (as indicated) for hypotension.
• Administration of platelets, fresh frozen plasma, or cryoprecipitate for
disseminated intravascular coagulation (DIC) and clinical bleeding is
suggested.
• Treat infants at centers capable of supporting cardiopulmonary function.

Surgical Care
 Management of necrotizing fasciitis and myonecrosis.

Galagher PG. Omphalitis Treatment & Management. 2016. Available from http://emedicine.medscape.com/article/975422
93. Anemia Hemolitik Neonatus ec
Inkompatibilitas
Penyakit Keterangan
Inkompatibilitas ABO Aglutinin ibu bersirkulasi di darah anak
terhadap aglutinogen ABO anak. Ibu dengan
golongan darah O, menghasilkan antibodi
IgG Anti-A/B terhadap golongan darah anak
(A atau B). Biasanya terjadi pada anak
pertama.

Inkompatibiiltas Rh Rh+ memiliki antigen D, sedangkan Rh-


tidak memiliki antigen D  hemolisis
karena adanya antibodi ibu dengan Rh-
yang bersirkulasi di darah anak terhadap
antigen Rh anak (anak Rh+). Biasanya
terjadi pada anak kedua.
Inkompatibilitas Rhesus
• Wanita dengan Rh- terekspos dengan eritrosit Rh+, sehingga
membentuk IgG maternal terhadap antigen Rh yang bisa
melewati plasenta sehingga membentuk kompleks antigen-
antibodi.
– Ketika ibu Rh- hamil dan memiliki janin dengan Rh+ akan
terekspos selama perjalanan kehamilan melalui kejadian
aborsi, trauma, prosedur obstetrik yang invasif, atau kelahiran
normal
– Ketika wanita Rh- mendapatkan transfusi darah dari Rh+
• Risiko & derajat keparahan meningkat seiring dengan
kehamilan janin Rh+ berikutnya. Kehamilan kedua
menghasilkan bayi dengan anemia ringan, sdangkan
kehamilan ketiga dan selanjutnya dapat berpotensi
intrauterine death.
8. 8. Inkompatibilitas
Inkompatibilitas Rh
Rhesus

• Setelah exposure pertama, ibu akan membentuk IgG


maternal terhadap antigen Rh yang bisa dengan bebas
melewati plasenta sehingga membentuk kompleks
antigen-antibodi dengan eritrosit fetus dan akhirnya
melisiskan eritrosit tersebut.
Inkompatibilitas Rhesus

Pemeriksaan Penunjang
• PRENATAL EMERGENCY CARE
• Tipe Rh ibu
• Rosette screening test atau Kleihauer-Betke acid elution
test, dapat mendeteksi alloimmunization yang
disebabkan oleh fetal hemorrhage
• Amniosentesis
• POSTNATAL EMERGENCY CARE
• Cek tipe ABO, Rh, Hb, Ht, serum bilirubin, apusan darah
dan direct Coombs test (apabila positif  antibody-
induced hemolytic anemia)
Inkompatibilitas Rhesus
8. Inkompatibilitas Rh

TATALAKSANA
• Jika ibu hamil Rh- dan belum tersensitisasi  human
anti-D immunoglobulin (Rh IgG atau RhoGAM)
• Jika ibu sudah tersensitisasi pemberian Rh IgG tidak
bermanfaat
• Jika bayi lahir dan mengalami inkompatibilitas 
transfusi tukar/foto terapi, tergantung bilirubin serum,
rendahnya Ht, dan naiknya RE
TO 5
94 & 95. TORCH

• Infeksi TORCH • Bayi yang dicurigai


– T=toxoplasmosis terinfeksi TORCH
– O=other (syphilis) – Bayi dengan IUGR
– R=rubella – Trombositopenia
– C=cytomegalovirus – Ruam abnormal
(CMV) – Riwayat ibu sakit saat
hamil
– H=herpes simplex (HSV)
– Adanya gejala klasik
infeksi
Clinical manifestations that are suggestive of specific
congenital infections in the neonate
Uptodate. 2017

Congenital toxoplasmosis Congenital rubella


• Intracranial calcifications (diffuse) • Cataracts, congenital glaucoma,
pigmentary retinopathy
• Hydrocephalus
• Chorioretinitis • Congenital heart disease (most
commonly patent ductus arteriosus or
• Otherwise unexplained mononuclear CSF peripheral pulmonary artery stenosis)
pleocytosis or elevated CSF protein
• Radiolucent bone disease
Congenital syphilis • Sensorineural hearing loss
• Skeletal abnormalities (osteochondritis & Congenital cytomegalovirus
periostitis)
• Thrombocytopenia
• Pseudoparalysis • Periventricular intracranial calcifications
• Persistent rhinitis • Microcephaly
• Maculopapular rash (particularly on palms • Hepatosplenomegaly
and soles or in diaper area) • Sensorineural hearing loss
Clinical manifestations that are suggestive of specific
congenital infections in the neonate
Uptodate. 2017

Herpes simplex virus Congenital varicella


• Cicatricial or vesicular skin lesions in
Perinatally acquired HSV infection dermatomal distribution
• Microcephaly
• Mucocutaneous vesicles
• Ocular Defects: catarct, chorioretinitis,
• CSF pleocytosis microphthalmos
• IUGR
• Thrombocytopenia • Limb abnormalities: hypoplasia of bone
• Elevated liver transaminases and muscle
• CNS abnormalities: cortical atrophy,
• Conjunctivitis or keratoconjuctivitis seizures, mental retardation
Congenital (in utero) HSV infection (rare) Congenital Zika syndrome
• Microcephaly
• Skin vesicles, ulcerations, or scarring • Intracranial calcifications
• Arthrogryposis
• Eye abnormalities (eg, micro-ophthalmia)
• Hypertonia/spasticity
• Brain abnormalities (eg, hydranencephaly, • Ocular abnormalities
microcephaly) • Sensorineural hearing loss
Congenital Toxoplasmosis
• Merupakan manifestasi dari infeksi T. gondii melalui
vertical transmission
• Vertical transmision: dari ibu ke anak
• Paling mungkin terjadi jika ibu terinfeksi pada saat
gestasi,
• Kalau infeksi primer sebelum gestasi sangat jarang
bisa menularkan ke anak kecuali ibu
immunocompromised
• T. gondii memiliki 3 fase hidup, yaitu takizoit (bentuk
proliferatif), kista (berisi bradizoit, dan ookista (berisi
sporozoit).
• Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan satu
ujung runcing dan ujung lain agak membulat.
PPM IDAI 2011
Transmisi
toksoplasma

Jones J, Lopez A, Wilson M. Congenital toxoplasmosis. AAFP, 2013


Korioretinitis
Atrophic scar di
retino choroidal
Peningkatan
vaskularisasi

Trias Congenital
Hidrosefalus
Toxoplasmosis
Ventriculomegali

Kalsifikasi
PPM IDAI 2011 Intrakranial Kalsifikasi
Jones J, Lopez A, Wilson M. Congenital
toxoplasmosis. AAFP, 2013
Congenital Toxoplasma Clinical
Presentation
• First Trimester – often results in death
• Second Trimester – classic triad
– Hydrocephalus
– Intracranial calcifications
– Chorioretinitis
• Third Trimester – often asymptomatic at birth
• Symptoms may also include fever, IUGR, microcephaly,
seizure, hearing loss, maculopapular rash, jaundice,
hepatosplenomegaly, anemia, and lymphadenopathy
Among symptomatic neonates, common
clinical findings include:

• Chorioretinitis (85 to 92 %) • Fever (40 %)


• Intracranial calcifications (50 to • Hepatosplenomegaly (30 to 40
85 %) %)
• Hydrocephalus (30 to 68 %) • Lymphadenopathy (30 %)
• Abnormal cerebrospinal fluid • Pneumonitis (27 %)
(63 %) • Rash (25 %)
• Jaundice (40 to 60 %) • Seizures (20 to 40 %)
• Thrombocytopenia (40 %) • Microphthalmia (20 %)
• Anemia (20 to 50 %) • Microcephaly (15 %)
Prinsip Diagnosis Toxoplasma
1. Serologis
Tes Sabin Feldman (IgG)
ELISA: IgM, IgA, IgE).
2. PCR dapat mendeteksi T.gondii pada buffy coat darah tepi,
cairan serebrospinal atau cairan amnion untuk menentukan
banyaknya DNA parasit yang muncul di awal kehamilan.
3. Laboratorium
• Awalnya limfositopenia atau monositosis
• Eosinofilia(>30%), trombositopenia
• Punksi lumbal: xantokrom, mononuklear pleositosis, protein
meningkat, dan parasit terdeteksi.
4. CT Scan: hidrosefalus dan kalsikasi di periventrikel dan basal
gangliaminggu pertama kehidupan
5. Pemeriksaan histopatologi: Takizoit atau kista di jaringan atau
cairan tubuh.
PPM IDAI 2011
Prinsip Tatalaksana Toxoplasma
Trimester I dan IIDOC: Spiramisin 100 mg/kgBB/hari
• Ibu saat hamil selama 30-45 hari

Trimester II akhir dan IIIDOC:

Pirimetamin/sulfadiazin + leucovorin
 Pirimetamin: 100 mg di hari 1 lanjut 25-50 mg/hari
 Sulfadiazin: 4 x 1 gram/hari
 Leucovorin (asam folat): 7.5 mg/hari selama 4-6 minggu
• Anak
 Pirimetamin 1mg/kgBB/12 jam selama 2 hari dilanjutkan tiap hari sampai usia2-6 bulan,
dan 3x/minggu sampai usia 1 tahun.
 Sulfadiazin 50mg/kgBB/12jam sampai usia 1 tahun.
 Asam folat 10 mg, 3x/minggu sampai 1 minggu setelah pemberian pirimetamin
berhentiuntuk mencegah supresi sumsum tulang.
 Prednison 0,5 mg/kgBB/12jam diberikan pada infeksi susunan saraf pusat yang aktif
(protein >1g/dL), korioretinitis aktif, penglihatan yang mengancam
 Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV dan T.gondii dapat diberikan terapi bersama
antiretroviral seperti zidovudin.
PPM IDAI 2011
Infeksi Rubella Kongenital

• Karakteristik – Virus dapat diisolasi dari


– Single-stranded RNA virus sekret nasal
– Togavirus family – Tes Serologik Bayi
• IgM = Infeksi baru atau
– Rubivirus genus kongenital
– Dapat dicegah oleh vaksin • Peningkatan titer IgG bulanan
– Ringan, self-limiting mengarah pada kongenital
– Infeksi pada trimester – Diagnosis setelah anak
pertama memiliki berusia 1 tahun  sulit
kemungkinan mengenai
janin yang tinggi • Terapi
• Diagnosis – Pencegahan: Imunisasi
– IgG maternal  bisa akibat – Perawatan suportif dengan
imunisasi atau infeksi mengedukasi orangtua
lampau  tidak dapat
dipegang
Rubella Serology
• Serology is widely available and may be used to screen for rubella
infection.
• Acute rubella syndrome is best diagnosed by:
– A fourfold rise in IgG titer between acute and convalescent serum
specimens
– The presence of rubella specific IgM
– A positive rubella culture
• Serum should be obtained within 7 to 10 days after the onset of the
rash and repeated two to three weeks later.
• Rubella virus may be isolated from nasal, blood, throat, urine, or
cerebrospinal fluid (CSF) specimens.
• If rubella IgM is incidentally detected in a pregnant woman in the
absence of a history of rubella-like illness or contact, further
investigation is required. Use of rubella specific avidity assay may
be useful in these situations.

UpToDate. Rubella in Pregnancy


Congenital Rubella Syndrome Classic Triad

• Sensorineural hearing loss is the most common manifestation of congenital


rubella syndrome. It occurs in approximately 58% of patients.
• Ocular abnormalities including cataract, infantile glaucoma, and pigmentary
retinopathy occur in approximately 43% of children with congenital rubella
syndrome.
– Both eyes are affected in 80% of patients, and the most frequent findings are
cataract and rubella retinopathy.
– Rubella retinopathy consists of a salt-and-pepper pigmentary change or a mottled,
blotchy, irregular pigmentation, usually with the greatest density in the macula.
– The retinopathy is benign and nonprogressive and does not interfere with vision (in
contrast to the cataract) unless choroid neovascularization develops in the macula.
• Congenital heart disease including patent ductus arteriosus (PDA) and
pulmonary artery stenosis is present in 50% of infants infected in the first 2
months' gestation.
Rubella Congenital Infection

• Blueberry Muffin” rash due to extramedullary


hematopoiesis
• “Salt and Pepper” retinopathy
• Radiolucent bone disease (long bones)
• IUGR, glaucoma, hearing loss, pulmonic
stenosis, patent ductus arteriosus,
lymphadenopathy, jaundice,
hepatosplenomegaly, thrombocytopenia,
interstitial pneumonitis, diabetes mellitus
Presentation of Congenital Rubella
Syndrome
normality Commonality Early/Delayed Comment

General

Intrauterine growth retardation Common Early ...

Prematurity Uncommon Early ...

Stillbirth Uncommon Early ...

Abortion Uncommon Early ...

Cardiovascular system

Patent ductus arteriosus Common Early May occur with pulmonary artery stenosis

Pulmonary artery stenosis Common Early Caused by intimal proliferation

Coarctation of the aorta Uncommon Early ...

Myocarditis Uncommon Early ...

Ventricular septal defect Uncommon Early ...

Atrial septal defect Uncommon Early ...


normality Commonality Early/Delayed Comment

Eye

Cataract Common Early Unilateral or bilateral


Salt-and-pepper appearance; visual acuity
Retinopathy Common Early
unaffected; frequently unilateral
Cloudy cornea Uncommon Early Spontaneous resolution

Glaucoma Uncommon May be bilateral


Early/Delayed
Microphthalmia Common Early Common in patients with unilateral cataract
Retinopathy with macular scarring and loss of
Subretinal neovascularization Uncommon Delayed
vision
Ear
Usually bilateral; mostly sensorineural; may be
central in origin; rare when maternal rubella
Hearing loss Common
Early/Delayed occurs >4 months' gestation; sometimes
progressive
CNS

Meningoencephalitis Uncommon Early Transient

Microcephaly Uncommon Early May be associated with normal intelligence

Intracranial calcifications Uncommon Early ...

Encephalographic abnormalities Common Early Usually disappear by age 1 y

Mental retardation Common Delayed ...


normality Commonality Early/Delayed Comment

Behavioral disorders Common Delayed Frequently related to deafness

Autism Uncommon Delayed ...


Chronic progressive
Uncommon Delayed Manifest in second decade of life
panencephalitis
Hypotonia Uncommon Early Transitory defect

Speech defects Common Delayed Uncommon in absence of hearing loss

Skin

Blueberry muffin spots Uncommon Early Represents dermal erythropoiesis

Chronic rubelliform rash Uncommon Early Usually generalized; lasts several weeks

Dermatoglyphic abnormalities Common Early ...

Lungs
Generalized; probably immunologically
Interstitial pneumonia Uncommon Delayed
mediated
Liver

Hepatosplenomegaly Common Early Transient

Jaundice Uncommon Early Usually appears in the first day of life

Hepatitis Uncommon Early May not be associated with jaundice


normality Commonality Early/Delayed Comment

Blood

Thrombocytopenia Common Early Transient; no response to steroid therapy

Anemia Uncommon Early Transient

Hemolytic anemia Uncommon Early Transient

Altered blood group expression Uncommon Early ...

Immune system

Hypogammaglobulinemia Uncommon Delayed Transient

Lymphadenopathy Uncommon Early Transient

Thymic hypoplasia Uncommon Early Fatal

Bone
Transient; most common in distal femur
Radiographic lucencies Common Early
and proximal tibia
Large anterior fontanel Uncommon Early ...

Micrognathia Uncommon Early ...


Congenital cataract

Blueberry muffin baby Salt pepper retinopathy


96. Diphtheria
• Penyebab: Corynebacterium diphtheria (bakteri
aerob Gram positif yang memproduksi toksin),
ada 3 tipe utama:
– tipe gravis (produksi eksotoksin invasive,
gejala berat)
– tipe intermedius
– tipe mitis Pseudomembran difteri
• Menyebabkan infeksi saluran napas atas (paling
sering), dengan adanya pseudo-membrane.
Pada kasus berat infeksi menyebar ke trakea
hingga sebabkan adenopati servikal yang
mengancam jalan napas.
• Inkubasi: rerata 2-5 hari (rentang 1-10 hari)
• Penularan: droplet respiratorik, kontak langsung
dengan sekret respiratorik atau lesi kulit
https://www.cdc.gov/diphtheria/clinicians.html

Diphteria Classification
• Respiratory diphtheria
– Nasal diphtheria
• Pilek ringan dangan atau tanpa gejala sistemik
• Sekret hidung
• Tampak pseudomembran putih pada septum nasi
– Pharyngeal and tonsillar diphtheria
• nyeri tenggorok
• Bull-neck (bengkak pada leher)
• Pseudomembran purulen berwarna putih keabuan
di faring, tonsil, uvula, palatum
– Laryngeal diphtheria
• Stridor progresif dan suara parau, batuk kering
• Demam tinggi, lemah, sianosis, pembengkakan
KGB leher
• Cutaneous diphtheria
– Any break in the skin, can became infected
with diphteria
– It made ulceration and usually covered by a
gray-brown pseudomembrane
Presentasi klinis • Gejala awal infeksi saluran
napas atas: malaise, nyeri
tenggorokan, pilek, sekret
hidung berdarah, suara serak,
batuk, nyeri menelan, demam,
cutaneous diphtheria, pada
anak anak bisa sulit menelan
liur (drooling)
• Pada kasus berat: suara napas
Cutaneous diphtheria stridor inspiratorik, sesak
napas
• Inspeksi tampak bull neck
(pembengkakan nodus limfatik
servikal), faring hiperemis
• Pseudomembran: membrane
keabuan asimetris, sulit
diangkat dan mudah berdarah
Bull-neck pada difteri
http://4.bp.blogspot.com/
Pemeriksaan penunjang
• Saat KLB tidak rutin dilakukan. Kecuali diagnosis tidak jelas
(pembengkakan leher tanpa pseudomembran), atau dicurigai
adanya resistensi antimikroba
• Bisa lakukan swab tepi lesi mukosa dan masukkan dalam media
transport (Amies atau Stuart), kemudian inokulasi dalam:
– blood agar
– media mengandung tellurit (setelah periode inkubasi 18-24 jam)
– isolasi dalam media Loeffler
• Koloni bisa diperiksa produksi toksinnya menggunakan tes
immunopresipitat Elek (24-48 jam)
• Bila kultur positif dan ditemukan toksin, konfirmasi etiologi
diagnosis

WHO: Operational protocol for clinical management of Diphtheria, 2017


Manajemen klinis awal untuk semua
kasus probable
1. Tempatkan segera di ruang isolasi dan lakukan pencegahan standar
(isolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapus tenggorok
negatif 2x berturut)
2. Berikan segera Diphtheria Antitoxin (DAT)
3. Berikan segera antibiotic (penisilin, eritromisin, atau azitromisin)
4. Monitor ketat hemodinamik dan berikan terapi suportif untuk
komplikasi berat (airway management, cardiac, neurologic, and
renal failure).
1. Hindari oksigen kecuali jika terjadi obstruksi saluran repirasi
(Pemberian oksigen dengan nasal prongs dapat membuat anak tidak
nyaman dan mencetuskan obstruksi)
2. Bila pasien gelisah, iritabel atau terdapat gangguan pernapasan
yang progresif dilakukan krikotiroidotomi hingga trakeostomi
5. Vaksinasi dengan vaksin difteri toksoid sesuai usia

http://www.who.int/immunization/policy/position_papers/wer_31_diphtheria_updated_position_paper.pdf?ua=1
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/68334/1/WHO_V-B_03.01_eng.pdf?ua=1
PPM RSCM Dept IKA 2015
Antitoksin (DAT/ADS)
• ADS atau anti difteria serum adalah equine serum yang jadi
standar baku pengobatan difteri, diberikan segera setelah
ditemukan kasus difteri berdasarkan klinis (tidak perlu tunggu
pemeriksaan laboratorium)
• Pemberian antitoksin hari pertama menurunkan angka
kematian <1%, penundaan lebih dari hari ke 6 menyebabkan
angka kematian meningkat sampai 30%
• Kontraindikasi: wanita hamil, reaksi alergi
• Dosis anak dan dewasa sama
• Uji kulit sebelum pemberian ADS karena bisa terjadi reaksi
anafilaktik, suntikkan 0.1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis
1:1000 intrakutan (positif bila indurasi >10 mm)
http://www.who.int/immunization/policy/position_papers/wer_31_diphtheria_updated_position_paper.pdf?ua=1
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/68334/1/WHO_V-B_03.01_eng.pdf?ua=1
PPM RSCM Dept IKA 2015
Dosis ADS

PPM RSCM Dept IKA 2015


Antibiotik
• Harus diberikan segera
pada kasus dicurigai
atau terkonfirmasi
untuk eradikasi kuman
difteri
– 1st: Penicillin
prokain
– 2nd Eritromisin
(bila
hipersensitif
terhadap
penisilin)
• Umumnya kondisi tidak
menular setelah 48 jam
pemberian antibiotic
adekuat

http://www.who.int/immunization/policy/position_papers/wer_31_diphtheria_updated_position_paper.pdf?ua=1
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/68334/1/WHO_V-B_03.01_eng.pdf?ua=1
PPM RSCM Dept IKA 2015
Komplikasi
• Biasanya karena keterlambatan pemberian antitoksin
• Komplikasi:
– Miokarditis (muncul umumnya minggu ke-2, rerata 1-6 minggu),
takikardia, bunyi jantung 1 menjauh, murmur, aritmia
– Gangguan system saraf  neuropati perifer, paralisis palatum molle
– Otitis media
– Gawat napas akibat obstruksi jalan napas atas
• Ringan: batuk menggonggong hilang timbul, stridor (-), retraksi (-)/ringan
• Sedang: batuk menggonggong lebih sering, stridor istirahat, retraksi tanpa
distress napas/agitasi
• Berat: batuk menggonggong lebih sering, stridor inspirasi, retraksi jelas
dengan distress napas dan agitasi signifikan
• Gagal napas terjadi segera: stridor kadang sulit didengar, retraksi, letargi,
penurunan kesadaran, sianosis
Pencegahan
• Pada kondisi KLB, orang yang kontak erat di nilai status vaksinasi
nya. Anaka dapat imunisasi dasar: booster toksoid difteria
• Dapat diberikan vaksin serta antibiotik profilaksis

WHO
97. Vaksin varicella dan imunisasi
• Varicella : vaccine-preventable childhood infectious
disease
• Vaksin varisela: Using live attenuated varicella-zoster
vaccine (Oka strain) to provide immunity for the
prevention of varicella in individuals 12 months and
older
• FDA approved to give as postexposure use and for
outbreak control. The vaccine should be given as soon
as possible after exposure, but when it is given within
three or five days post-exposure, it has shown
effectiveness in preventing or modifying disease
• Pemberian pada usia >12 bulan

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK4419
46/
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 1
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tda
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 b

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan in
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bula
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 ming
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diber
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan denga
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. U
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan inte
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan M
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberika
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara deng
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis a
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan boo
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Cara membaca kolom usia: misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d 2 bulan 29 hari (89 hari)
aVaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan)

bApabila diberikan pada remaja 10-13 tahun pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12

bulan, respon antibody sama dengan 3 dosis (lihat keterangan)

optimal catchup booster daerah endemis

1. Vaksin Hepatitis B: vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam 12 jam
setelah lahir, didahului pemberian vitamin K, minimal 30 menit sebelumnya, jadwal
pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0, 1 dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg
positif diberikan vaksin HB dan IG hep B (HbIg) pada extremitas berbeda. Apabila
diberikan HB kombinasi dengan DTPw maka jadwal pemberian pada usia 2,3, dan 4
bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa maka jadwal pemberian pada usia 2,
4, dan 6 bulan.
2. Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana
kesehatan OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster
diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan
dengan OPV-3
3. Vaksin BCG: pemberian sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan
usia 3 bulan atau lebih perlu diuji tuberkulin
4. Vaksin DTP: DTP 1 paling cepat usia 6 minggu, dapat diberikan DTPW atau DTPa atau
kombinasi dengan vaksin lain. Apabila DTPa maka interval 2,4,6 bulan. Untuk usia lebih
7 tahundiberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia
10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun
5. Vaksin pneumokokkus (PCV): apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2
kali dengan interval 2 bulan dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir.
Anak diatas 2 tahun PCV cukup 1 kali
6. Vaksin rotavirus. Monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama 6-14 minggu, kedua
diberikan interval minimal 4 minggu, batas akhir pemberian pada 24 minggu.
Pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama 6-14 minggu, dosis kedua dan ketiga interval
4-10 minggu, batas akhir pemberian pada 32 minggu
7. Vaksin influenza: diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk
imunisasi pertama anak kurang dari 9 tahun diberikan dua kali dengan interval minimal
4 minggu. Untuk anak usia 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. untuk anak usia 36 bulan atau
lebih, dosis 0,5 mL
8. Vaksin campak: campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan bila sudah mendapat
MMR
9. MMR/MR: apabila sudah mendapatkan pada usia 9 bulan maka diberikan pada usia
15 bulan (interval minimal 6 bulan). Apabila usia 12 bulan belum vaksin campak,
dapat diberikan MMR/MR
10. Varisela: diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik sebelum masuk SD. Apabila lebih
dari 13 tahun perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu
11. HPV: diberikan mulai usia 10 tahun, bivalen jadwal 3 kali 0,1,6 bulan. Tetravalen 0,2,6
bulan. Bila diberikan usia 10-13 tahun, cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan
12. Japanese Encephalitis: diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemic atau turis
yang akan ke daerah endemic. Perlindungan jangka panjang diberikan booster 1-2
tahun berikutnya
13. Vaksin dengue: diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0,6, dan 12 bulan
KONTRAINDIKASI IMUNISASI
• Berlaku umum untuk semua vaksin
Indikasi Kontra BUKAN Indikasi Kontra
• Reaksi anafilaksis terhadap • Reaksi lokal ringan-sedang (sakit,
vaksin (indikasi kontra kemerahan, bengkak) sesudah suntikan
pemberian vaksin tersebut vaksin
berikutnya) • Demam ringan atau sedang pasca vaksinasi
• Reaksi anafilaksis terhadap sebelumnya
konstituen vaksin • Sakit akut ringan dengan atau tanpa demam
• Sakit sedang atau berat, dengan ringan
atau tanpa demam • Sedang mendapat terapi antibiotik
• Masa konvalesen suatu penyakit
• Prematuritas
• Terpajan terhadap suatu penyakit menular
• Riwayat alergi, atau alergi dalam keluarga
• Kehamilan Ibu
• Penghuni rumah lainnya tidak divaksinasi
Pedoman Imunisasi di Indonesia. Satgas Imunisasi – IDAI. 2008
Kontraindikasi Imunisasi Spesifik
Imunisasi Indikasi Kontra
DTP • Ensefalopati dalam 7 hari pasca DTP sebelumnya
Perhatian khusus :
• Demam >40.5⁰C dan episode hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam pasca
DTP sebelumnya
• Kejang dalam 3 hari pasca DTP sebelumnya
• Sindrom Guillain Barre dalam 6 minggu pasca vaksinasi
Polio Oral • Infeksi HIV atau kontak HIV serumah
• Imunodefisiensi pada pasen atau pada penghuni serumah
Polio Inactivated • Reaksi anafilaksis terhadap neomisin, streptomisin, atau polimiksin-B
MMR • Reaksi anafilaksis terhadap neomisin atau gelatin
• Kehamilan
• Imunodefisiensi dengan imunosupresi berat
Hepatitis B • Reaksi anafilaksis terhadap ragi
Varisela • Reaksi anafilaksis terhadap neomisin dan gelatin
• Kehamilan
• Infeksi HIV
• Imunodefisiensi
98. Methemoglobinemia
• Kompleks heme dalam Hb memiliki ion besi dalam bentuk tereduksi yaitu ferro
(Fe2+).
• Ion besi dalam Fe2+ inilah yang bisa mengikat oksigen menjadi oksihemoglobin.
• Oksihemoglobin kemudian melepas oksigen di jaringan dan kembali ke dalam
bentuk Fe2+.
• Ketika hemoglobin kehilangan salah satu elektronnya dan teroksidasi, Fe2+
berubah menjadi Fe3+ atau bentuk ferri  inilah yang disebut methemoglobin
• Methemoglobin kekurangan satu electron untuk bisa mengikat oksigen
• Kadar normal methemoglobin dibawah 1%
• Terdapat mekanisme tubuh untuk mengembalikan Hb yang teroksidasi tersebut
melalui reduksi oleh glutathione, Cytochrome b5 reductase, dan glucose-6-
phosphate dehydrogenase (G6PD)
Etiology
D E S I G N AT I O N EXAMPLES

NADH-cytochrome b5 reductase deficiency,


Hereditary
cytochrome b5 deficiency, M Hb, unstable Hb

Acetaminophen, amyl nitrite, benzocaine,


Drug/chemical dapsone, nitroglycerin, nitroprusside,
induced phenazopyridine (pyridium), sulfanilamide,
aniline dyes, chlorates, nitrofurans, sulfones

Diet induced Nitrites, nitratesa


Adapted from Mansouri and Lurie (1993). M HB is an abnormal type of Hb.
a When followed up, cases have generally been linked to high nitrite levels (e.g., Keating et al. 1973).

Lorna Fewtrell, Drinking-Water Nitrate, Methemoglobinemia, and Global Burden of


Disease: A Discussion. Environ Health Perspect. Oct 2004; 112(14): 1371–1374.
Methemoglobinemia
• Acquired methemoglobinemia lebih sering terjadi dibandingkan
congenital methemoglobinemia .
• Methemoglobin yang terbentuk akibat paparan suatu substansi
melebihi kapasitas enzim pereduksi yang dimiliki oleh eritrosit.
• Acquired methemoglobinemia lebih sering terjadi pada bayi
premature dan bayi < 4 bulan, karena:
– Hb Fetal (HbF) teroksidasi lebih mudah dibanding Hb Adult (HbA)
– Level NADH reductase (enzim pereduksi) rendah saat lahir dan meningkat
sesuai usia (usia 4 bulan kadarnya baru sama dgn dewasa)
– pH gaster yang lebih tinggi memfasilitasi proliferasi bakteri sehingga
meningkatkan konversi nitrat dalam asupan makanan menjadi nitrit.
Acquired Methemoglobinemia: Etiology

• Nitrit organik dan inorganik merupakan penyebab


methemoglobinemia yang umum.
• Air minum yang terkontaminasi oleh nitrat.
• Makanan yang dikemas mungkin memiliki nitrit yang tinggi
• Sayuran yang tidak dimasak dan terkontaminasi bakteri
• Bayi rentan terhadap methemoglobinemia karena asam
lambung yg dihasilkan tidak cukup untuk menjaga jumlah
bakteri penghasil nitrat di usus tetap rendah
Manifestasi Klinis
• Darah yang mengandung
methemoglobin berwarna
merah gelap kecokelatan.
Inilah yang menimbulkan
gambaran sianosis.
• Perubahan warna kulit
muncul ketika kadar
methemoglobin sekitar 10%
• sianosis adalah tanda
pertama yang ditemukan
In tubes 1 and 2, methemoglobin fraction is 70%; in
pada methemoglobinemia tube 3, 20%; and in tube 4, normal.
METHB
C O N C E N T R AT I O N CLINICAL FINDINGS
(%)

10–20 Central cyanosis of limbs/trunk


Central nervous system depression
20–45 (headache, dizziness, fatigue, lethargy),
dyspnea
45–55 Coma, arrhythmias, shock, convulsions
> 60 High risk of mortality
Adapted from Kross et al. (1992).

Lorna Fewtrell, Drinking-Water Nitrate, Methemoglobinemia, and Global Burden of


Disease: A Discussion. Environ Health Perspect. Oct 2004; 112(14): 1371–1374.
99. Tuberkulosis dan Profilaksis pada Anak

• Pada umumnya anak yang terinfeksi tidak


menunjukkan gejala yang khas
over/underdiagnosed
• Batuk BUKAN merupakan gejala utama TB
pada anak
• Pertimbangkan tuberkulosis pada anak jika :
– BB berkurang dalam 2 bulan berturut-turut
tanpa sebab yang jelas atau gagal tumbuh
– Demam sampai 2 minggu tanpa sebab yang jelas
– Batuk kronik 3 ≥ minggu
– Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa
Petunjuk Teknis Tatalaksana TB Anak
(Depkes 2016)
• Penegakan diagnosis TB anak didasarkan 4 hal :
– Konfirmasi bakteriologis TB
– Gejala klinis yang khas TB
– Adanya bukti infeksi TB(tuberculin atau kontak TB)
– Foto thorax sugestif TB
• System skoring:
– Telah digunakan untuk diagnosis TB anak
– Bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan tuberculin dan foto
thoraks, maka skoring ini akan tidak dapat terpenuhi seluruh
komponennya
– Sehingga dibuat alur diagnostik berdasarkan klinis dan
pemeriksaan bakteriologis
Sistem Skoring
Sistem Skoring

• Diagnosis oleh dokter


• Perhitungan BB dinilai saat pasien datang (moment opname)
• Demam dan batuk yang tidak respons terhadap terapi baku
• Cut-of f point: ≥ 6
• Anak dgn skor 6 yg diperoleh dari kontak dgn pasien BTA + dan hasil
uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan
observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak
tersebut
• Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
• Adanya skrofuloderma langsung didiagnosis TB
• Reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring
• Total nilai 4 pada anak balita atau dengan kecurigaan besar dirujuk
ke rumah sakit
ALUR DIAGNOSIS
BILA DIDAPATKAN
GEJALA KLINIS
Prinsip Pengobatan TB Anak
Uji Tuberkulin
• Menentukan adanya respon imunitas selular terhadap TB. Reaksi
berupa indurasi (vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan
akumulasi sel-sel inflamasi)
• Tuberkulin yang tersedia : PPD (purified protein derived) RT-23 2TU,
PPD S 5TU, PPD Biofarma
• Cara : Suntikkan 0,1 ml PPD intrakutan di bagian volar lengan bawah (5-
10 cm dari lipat siku). Pembacaan 48-72 jam setelah penyuntikan
• Pengukuran (pembacaan hasil)
– Dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan eritemanya
– Indurasi dipalpasi, tandai tepi dengan pulpen. Catat diameter transversal.
– Hasil dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul = 0 mm
• Hasil:
– Positif jika indurasi >= 10mm (jika imunokompromais positif >=5 mm)
– Ragu-ragu jika 5-9 mm
– Negatif < 5 mm
Pengobatan Profilaksis

• Pengobatan profilaksis hanya diberikan pada


pasien dengan kontak TB dan tidak bergejala,
yaitu:
– kelompok infeksi laten TB (tuberculin positif)
– Terpajan (tuberculin negative)
• Untuk menentukan kelompok pasien tersebut
dilakukan investigasi kontak
ALUR INVESTIGASI KONTAK

TB RO: kontakTB
tersangka resisten
Obat (RO) atau
terbukti resisten Obat
Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid

• Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien


TB paru dewasa dengan BTA sputum positif, akan
terinfeksi TB juga.
• Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan
mengalami sakit TB.
• Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi
TB berat (misalnya TB meningitis atau TB milier)
sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis
untuk mencegah terjadinya sakit TB.
Profilaksis TB pada Anak

KETERANGAN
• ILTBInfeksi Laten TB
• Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari
selama 6 bulan.
• Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya gejala
TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera
dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke
regimen terapi TB anak dimulai dari awal
• Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan
pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihentikan.
• Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah
pengobatan profilaksis dengan INH selesai.
100. Malnutrisi Energi Protein
• Malnutrisi: Ketidakseimbangan seluler antara asupan dan kebutuhan
energi dan nutrien tubuh untuk tumbuh dan mempertahankan fungsinya
(WHO)
• Dibagi menjadi 3:
– Overnutrition (overweight, obesitas)
– Undernutrition (gizi kurang, gizi buruk)
– Defisiensi nutrien spesifik
• Malnutrisi energi protein (MEP):
– MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang)
– MEP derajat berat (gizi buruk)
• Malnutrisi energi protein berdasarkan klinis:
– Marasmus
– Kwashiorkor
– Marasmik-kwashiorkor

Sjarif DR. Nutrition management of well infant, children, and adolescents.


Scheinfeld NS. Protein-energy malnutrition. http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview
Marasmus

 wajah seperti orang tua


 kulit terlihat longgar
 tulang rusuk tampak
terlihat jelas
 kulit paha berkeriput
 terlihat tulang belakang
lebih menonjol dan kulit
di pantat berkeriput
( baggy pant )
Kwashiorkor

 edema
 rambut kemerahan, mudah
dicabut
 kurang aktif, rewel/cengeng
 pengurusan otot
 Kelainan kulit berupa bercak
merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor
• Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan
kwashiorkor secara bersamaan
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk
• Z-score → menggunakan • BB/IBW (Ideal Body Weight)
kurva WHO weight-for- → menggunakan kurva CDC
height • ≥80-90%  mild
• <-2 – moderate wasted malnutrition
• <-3 – severe wasted  gizi • ≥70-80%  moderate
buruk malnutrition
• ≤70%  severe
• Lingkar Lengan Atas < 11,5 malnutrition  Gizi Buruk
cm
Kwashiorkor Marasmus
Karbohidrat 
Protein 

Pemecahan lemah + pemecahan protein

Serum Albumin 

Lemak subkutan 

Tekanan osmotik koloid


serum  Muscle wasting, kulit keriput

Edema Turgor kulit berkurang


Patogenesis marasmus – marasmus kwashiorkor – kwashiorkor

Longstanding
starvation
Emergency Signs in Severe
Malnutrition
• Dibutuhkan tindakan resusitasi
• Tanda gangguan airway and breathing :
– Tanda obstruksi
– Sianosis
– Distress pernapasan
• Tanda dehidrasi berat → rehidrasi secara ORAL.
Dehidrasi berat sulit dinilai pada malnutrisi berat.
Terdapat risiko overhidrasi
• Tanda syok : letargis, penurunan kesadaran
– Berikan rehidrasi parenteral (Resusitasi Cairan)
Cause difference
MARASMUS K WA S H I O R KO R
Marasmus is multi nutritional Kwashiorkor occurs due to the lack of
deficiency proteins in a person's diet
Marasmus usually affects very young Kwashiorkor affects slightly older
children children mainly children who are
weaned away from their mother's
milk
Marasmus is usually the result of a Kwashiorkor can occur rapidly
gradual process
10 Langkah Utama Penatalaksaan Gizi Buruk
No Tindakan Stabilisasi Transisi Rehabilitasi
Tindaklanjut H 1-2 H 3-7 H 8-14 mg
3-6 mg 7-26
1. Atasi/cegah hipoglikemia

2. Atasi/cegah hipotermia

3. Atasi/cegah dehidrasi

4. Perbaiki gangguan elektrolit

5. Obati infeksi
6. Perbaiki def. nutrien mikro tanpa Fe + Fe

7. Makanan stab & trans

8. Makanan Tumb.kejar
9. Stimulasi

10. Siapkan tindak lanjut


1. Atasi/cegah hipoglikemia (<54 mg/dL)

– Monitor kadar gula darah setelah 2 jam


– Pencegahan dengan pemberian makanan F-75 tiap 2 jam, selalu berikan makanan pada
malam hari
2. Atasi/cegah hipotermia:

– Monitor suhu tiap 30 menit hingga mencapai suhu >36,5 C


– Tutupi anak dari paparan langsung dengan udara, jaga agar anak tetap kering
3. Atasi/cegah dehidrasi  asumsikan dehidrasi pada setiap anak dengan
diare cair.

– Observasi kemajuan rehidrasi tiap 30 menit selama 2 jam pertama, lalu tiap 1 jam untuk
6-12 jam selanjutnya. Observasi HR, RR, frekuensi miksi, frekuensi defekasi/muntah
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
Semua anak dengan malnutrisi berat mengalami hipernatremia
5. Obati/cegah infeksi  tanda umum infeksi sering tidak dijumpai pada
malnutrisi
Saat rawat inap, berikan secara rutin: antibiotik spektrum luas , vaksinasi campak
jika usia >6 bulan dan belum mendapat imunisasi (tunda jika klinis buruk)
Antibiotik spektrum luas:
6. Koreksi defisiensi mikronutrien
Hari pertama:
– Vit A (usia 0-5 bln 50.000 IU, 6-12 bulan 100.000 IU, >12 bulan 200.000 IU)
– Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir, beri vitamin A
dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15.
– Asam folat 5 mg PO
Pemberian harian selama 2 minggu:
– Multivitamin
– Asam folat 1 mg/hari
– Zinc 2 mg/kgBB/hari
– Copper 0,3 mg/kgBB/hari
– Besi 3 mg/kg/hari (pada fase rehabilitasi)

7. Pemberian makan
Fase stabilisasi
– Porsi kecil, osmolaritas rendah, rendah laktosa  F75
– Peroral/NGT
– Energi: 80-100 kkal/kgBB/hari
– Protein: 1-1,5 g/kgBB/hari
– Cairan: 130 mL/kgbb/hari
– Lanjutkan pemberian ASI setelah formula dihabiskan
Ketentuan Pemberian Makan Awal
• Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah
osmolaritas serta rendah laktosa
• Berikan secara oral atau melalui NGT, hindari pemberian
parenteral
• Formula awal F-75 diberikan sesuai standar WHO dan
sesuai jadwal makan yang dibuat untuk mencukupi
kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi
• Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan
bahwa jumlah F-75 yang dibutuhkan harus dipenuhi
• Apabila pemberian makan oral tidak mencapai kebutuhan
minimal, berikan sisanya melalui NGT
• Pada fase transisi, secara bertahap ganti F-75 dengan F-
100
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
8. Mencapai kejar-tumbuh
– Target peningkatan berat badan >10 g/kg/hari

Bila kenaikan berat badan <5g/kgBB/hari, lakukan penilaian ulang apakah target
asupan makanan memenuhi kebutuhan dan cek tanda-tanda infeksi
101. Rickets
• Rickets merupakan kelainan yang terjadi akibat gangguan mineralisasi matriks
tulang di lempeng pertumbuhan, dengan pertumbuhan tulang yang terus
berlanjut.
• Mudahnya, tulang terus bertumbuh, namun mineralisasinya kurang sehingga
tulang tidak tebal dan “lembek”.
• Karena “lembek” inilah maka tulang cenderung menjadi membengkok, terutama
pada area weight bearing (ekstremitasi bawah). Bengkok pada tulang ekstremitas
bawah ini dapat menjadi berbentuk O (pediatric genu varum/bow legged) atau X
(pediatric genu valgum/knock knees)
• Selain itu, tulang yang terkena juga tidak hanya pada ekstremitas bawah namun
bisa juga pada area lain
Rickets (Rakitis)
• Rickets: Metabolic disease
of growing bone that is
unique to children
(especially of first 2 years)
and adolescents.
• Caused by failure of osteoid
to calcify in growing bone
• Vitamin D deficiency rickets
occurs when the
metabolites of vitamin D are
deficient.
*Nutritional Vit D Deficiency:
Most common cause of
rickets globally.
Etiologi
• Etilogi utama
berasal dari
defisiensi
vitamin D dan
kurangnya
paparan
terhadap sinar
matahari
• Hal ini
dikarenakan
regulasi kalsium
pada tubuh
dipengaruhi oleh
kedua kondisi ini
Gejala klinis

Nelson Pediatrics
Rickets Clinical Features
• GENERAL:
– Failure to thrive, Unenergetic, Protuding abdomen ,
Muscle weakness (especially proximal), Fractures
• HEAD :
– Craniotabes (Softening of cranial bones. Detected by
applying pressure at the occiput or parietal bones, like
pinpong ball), May be a normal finding in many
newborns, especially near the suture lines, but
disappears within a few months of birth.
– Frontal bossing, Delayed fontanelle closure, Delayed
dentition; caries, Craniosynostosis
Rickets Clinical Features
• CHEST
– Rachitic rosary: Widening of costochondral junctions. Feels like beads
of a rosary as the examiner's fingers move along the costochondral
junctions from rib to rib.
– Harrison groove: Horizontal depression along lower anterior chest.
• Due to pulling of softened ribs by diaphragm during inspiration.
• Softening of ribsimpairs air movement & predisposes to atelectasis.
– Respiratory infections and atelectasis
• BACK
– Scoliosis, Kyphosis, Lordosis
• EXTREMITIES
– Enlargement of wrists and ankles, Valgus or varus deformities,
Anterior bowing of the tibia and femur, Coxa vara, Leg pain
Windswept deformity
Toddlers: Bowed Older children: Knock- (combination of valgus
legs (genu varum) knees deformity of 1 leg with varus
(genu valgum) deformity of the other leg)
Harrison groove

Anterior bowing of
the tibia
Frontal bossing

Widening of wrist, knee and ankle due to physeal over growth


Radiography in Rickets
• Hypomineralization of bones, decreased
calcification Thickening of growth plate.
• FRAYING: Edge of metaphysis loses its sharp
border.
• CUPPING: Edge of metaphysis changes from
convex or flat to concave surface. Most easily
seen at distal ends of radius, ulna, fibula.
• Widening of distal end of metaphysis  Clinically
causes thickened wrists and ankles, and rachitic
rosary.
Rickets
• Rickets sendiri secara umum terbagi menjadi 2 macam,
yaitu Calcipenic Rickets dan Phosphopenic Rickets.
• Untuk Calcipenic Rickets, penyebabnya bersifat
acquired terutama karena masalah intake seperti pada
kasus ini. Sebagian besar kasus Rickets memang
menunjukkan tipe Calcipenic Rickets. Sedangkan untuk
tipe Phosphopenic Rickets lebih jarang.
• Untuk mengetahui etiologi lebih lanjut, dapat dilakukan
beberapa pemeriksaan laboratorium yang menunjang
seperti kadar kalsium, vitamin D, dan juga hormone
paratiroid diperiksakan
Approach Considerations in Rickets
• Serum measurements in the workup for rickets
may include the following:
– Calcium (in vit D def: usually low)
– Phosphorus (in vit D def: invariably low for age)
– Alkaline phosphatase ((in vit D def: elevated)
– Parathyroidhormone (in vit D def: elevated)
– 25-hydroxy vitamin D (in vit D def: low)
– 1,25-dihydroxyvitamin D (in vit D def: normal, or high)
– Creatinine
– Electrolytes
• Radiography is indicated in patients with rickets
Laboratory Findings
Phospho Alkaline 25 1,25 Urine
Type Calcium PTH
rus phosphatase OHD (OH)2D calcium
Vitamin D deficient ↓o
↓ or N ↑ or ↑↑ ↑ ↓ ↑ or N* ↓ or N
rickets N
1-alpha-hydroxyla
↓ ↓ or N ↑↑ ↑ N ↓ ↓
e deficiency¶
Calcipe
25-hydroxylase
nic
deficiency ↓ or N ↓ ↑↑ ↑ ↓ N ↓
rickets
(variable severity)
Hereditary
resistance to ↓ ↓ or N ↑↑ ↑ N ↑↑ ↓
vitamin DΔ
N or
X-linked
N ↓↓ ↑ slightly N N or ↓ ↓
hypophosphatemia

Hereditary
Phosph
hypophosphatemic ↓ or
openic N ↑ N or ↓ N ↑ ↑
rickets with ↓↓
rickets
hypercalciuria
Nutritional
phosphate ↑ or ↓ ↑ or ↑↑ ↓ or N N ↑ ↑ or N
deprivation
Pemeriksaan Laboratorium
• Jika merujuk pada tabel diatas, tampak bahwa PTH lebih
signifikan dalam membedakan kedua tipe ini, karena jika
PTH meningkat maka mengarah ke Calcipenic Rickets,
sedangkan jika PTH normal maka lebih ke tipe
Phosphopenic Rickets.
• Sebenarnya vitamin D juga bisa membedakan keduanya,
tapi perlu diperjelas tipe yang mana karena ada 2 bentuk
yaitu 25 OHD dan 1.25 (OH)2D.
• Untuk kadar kalsium sendiri dapat ditemukan menurun
atau normal pada kasus defisiensi nutrisi yang
menyebabkan calcipenic rickets
Vitamin D Deficiency Treatment
• Either vitamin D2 (ergocalciferol) or vitamin D3
(cholecalciferol) may be used.
– <1 month old – 1000 IU/day 3 months, followed by
maintenance 400 IU/day.
– 1 to 12 months old – 1000 to 2000 IU/day 3 months,
followed by maintenance 400 IU/day.
– 1 to 12 years – 2000 to 6000 IU/day 3 months,
followed by maintenance 600 IU/day.
• Alternative: 50.000 IU/week for 6 weeks
– ≥12 years old – 6000 IU/day 3 months, followed by
maintenance 600 IU/day.
Vitamin D Deficiency Treatment
• Stoss therapy (using Vitamin D3, not Vitamin D2)– Short-term
administration of high dose vitamin D, known as "stoss
therapy", is an effective alternative, and can be a good solution
for patients who do not adhere to oral therapy.
• Stoss therapy should not be used for young infants, and careful
dosing is important to avoid risks of hypercalcemia.
– Infants <3 months of age – stoss therapy not recommended
– Infants 3 to 12 months of age – a single dose of 50,000 international
units
– Children 1 to 12 years – a single dose of 150,000 international units
– Children ≥ 12 years – a single dose of 300,000 international units
Vitamin D Deficiency Treatment
Calcium supplementation during treatment of Vitamin D deficiency
• For patients with elevated levels of parathyroid hormone (PTH) or clinical
evidence of rickets, calcium should be supplemented along with vitamin
D.
• This is because vitamin D replacement and a normalization of PTH levels
can precipitate hypocalcemia by suppressing bone resorption and from
increased bone mineralization, also referred to as the "hungry bone"
syndrome.
• Hence, calcium replacement is necessary along with vitamin D
replacement and should be given at doses of 30 to 75 mg/kg/day of
elemental calcium given in two to three divided doses for two to four
weeks, until vitamin D doses have been reduced to maintenance levels of
600 to 1000 IU daily
102. Transmisi vertikal HIV
• Transmisi HIV dari ibu dengan HIV positif ke bayi disebut transmisi
vertikal, dapat terjadi melalui
– Plasenta pada waktu hamil (intrauterin),
– Waktu bersalin (intrapartum) dan
– pasca natal melalui air susu ibu (ASI)  resiko 15-25 %
• Tidak semua ibu pengidap HIV akan menularkannya kepada bayi
yang dikandungnya.
• Mekanisme transmisi melalui ASI.
– HIV-1 berada di dalam ASI dalam bentuk terikat dalam sel atau virus
bebas, namun belum diketahui bentuk mana yang ditularkan ke bayi.
– Beberapa zat antibodi yang terdapat di dalam ASI dapat bekerja
protektif terhadap penularan melalui ASI seperti laktoferin, secretory
leukocyte protease inhibitor.
– Status vitamin A pada ibu juga penting karena terbukti laju penularan
lebih tinggi pada ibu dengan defisiensi vit A

Suradi R. Tata laksana Bayi dari Ibu pengidap HIV/AIDS. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 4, Maret 2003: 180 – 185
Permenkes RI no. 51 tahun 2013. Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak.
Risiko transmisi vertikal bergantung pada beberapa faktor.

• Usia kehamilan.
– Transmisi vertikal jarang terjadi pada waktu ibu hamil muda, karena
plasenta merupakan barier yang dapat melindungi janin dari infeksi
pada ibu.
– Transmisi terbesar terjadi pada waktu hamil tua dan waktu persalinan.
• Beban virus di dalam darah.
• Kondisi kesehatan ibu .
– Stadium dan progresivitas penyaklit ibu, ada tidaknya komplikasi,
kebiasaan merokok, penggunaan obat-obat terlarang dan defisiensi
vitamin A.
• Faktor yang berhubungan dengan persalinan; seperti masa
kehamilan, lamanya ketuban pecah, dan cara persalinan bayi baru
lahir.
• Pemberian profilaksis obat antiretroviral
• Pemberian ASI, risiko 15-20%, bila ada lecet payudara risiko
membesar hingga 63%
PENCEGAHAN TRANSMISI VERTIKAL
1. Pencegahan primer
– Pendekatan yang paling efektif untuk mencegah transmisi vertikal 
pencegahan pada wanita usia subur.
– Konseling sukarela, rahasia, dan pemeriksaan darah adalah cara
mendeteksi pengidap HIV secara dini
2. Pencegahan sekunder
– Pemberian antiretrovirus secara profilaksis
• Pertolongan persalinan pada bayi baru lahir dari ibu yang mengidap
HIV/AIDS seperti pada pertolongan persalinan normal dengan
menerapkan universal precaution.
• Bila ARV tersedia dapat diberikan kepada bayi.
• Obat yang dianjurkan untuk mengurangi transmisi vertikal pada neonatus
adalah Zidovudine selama 6 minggu atau Niverapine sebanyak satu kali
pemberian.
PENCEGAHAN TRANSMISI VERTIKAL
• Pemberian profilaksis ARV dimulai hari pertama setelah lahir
selama 6 minggu. Obat ARV yang diberikan adalah zidovudine (AZT
atau ZDV) 4 mg/kgBB diberikan 2 kali sehari.
• Selanjutnya anak dapat diberikan kotrimoksazol profilaksis mulai
usia 6 minggu dengan dosis 4-6 mg/kgbb, satu kali sehari, setiap
hari sampai usia 1 tahun atau sampai diagnosis HIV ditegakkan.
– Pertolongan persalinan oleh petugas terampil
– Pembersihan jalan lahir
– Persalinan dengan SC
– Menjaga kesehatan ibu  menjaga nutrisi cukup terutama
vitamin A, riboflavin dan mikronutrien
Pemberian ASI pada Ibu dengan HIV

• Sebanyak 90 % penularan HIV pada anak <13


tahun terjadi pada saat perinatal:
– selama dalam kandungan  Virus HIV bebas dapat
menembus plasenta
– proses persalinan  porsi terbesar penularan virus
HIV terjadi karena bayi menelan cairan di jalan lahir,
perlukaan karena gesekan,
– sesudah kelahiran  pemberian ASI (ASI
mengandung virus bebas ataupun CD4 terinfeksi HIV)
• Telah diketahui bahwa ASI mengandung virus HIV dan
transmisi melalui ASI adalah sebanyak 15 %.
• Memberi ASI  memaparkan bayi untuk beresiko
tertular HIV
• Tidak memberi ASI  angka mortalitas tidak berkurang
karena anak – anak yang tidak mendapat ASI beresiko
meninggal akibat penyebab selain HIV
• Apabila ibu diketahui mengidap HIV/AIDS terdapat
beberapa alternatif yang dapat diberikan :
– ASI Eksklusif
– Pemberian ARV
– Memanaskan ASI
Rekomendasi tentang nutrisi bayi dan
pemberian ASI
• Risiko penularan HIV melalui ASI 15-20%,
diperbesar jadi 63% bila ada lecet payudara
• Bila ibu memilih memberikan ASI, dianjurkan ASI
eksklusif selama 6 bulan
• Sangat tidak dianjurkan untuk menyusui campur
(mix feeding)
• Setelah 6 bulan bayi diberi PASI dan ASI di stop
• Bila ibu memilih berikan susu formula saja, maka
harus memenuhi persyaratan AFASS (acceptable,
feasible, affordable, sustainable, safe)
1. ASI Eksklusif :
– Pada periode tersebut hanya ASI yang boleh diberikan
pada bayi, tidak termasuk air sekalipun apalagi makanan
padat
– Resiko tertular HIV pada mixed feeding  2-6 x lipat
dibandingkan dengan ASI eksklusif
– Perlu diusahakan agar puting jangan sampai luka karena
virus HIV dapat menular melalui luka.
– Jangan pula diberikan ASI bersama susu formula karena
susu formula akan menyebabkan luka di dinding usus yang
menyebabkan virus dalam ASI lebih mudah masuk

2. Pemberian Antiretrovirus
– Ibu dengan HIV yang mengkonsumsi ARV menurunkan
resiko transmisi HIV melalui ASI  angka penularan ↓
0,9%
3. Memanaskan ASI
– Bila ingin memberikan ASI, dapat dilakukan dengan
memerah ASI lalu memanaskannya sehingga virus HIV mati
– Metode flash heating  ASI ditaruh dalam tempat
kemudian ditaruh di panci kecil berisi air kemudian
dipanaskan  mendidih segera diangkat dan dibiarkan
dingin sampai suhu tubuh
– Cara ini tidak mengganggu kadar vitamin A, mnurunkan
kadar vitamin B2 dan B6
Pemberian ASI oleh Ibu HIV
• PILIH SALAH SATU!!: ASI atu SUSU FORMULA
• Pemberian susu formula disarankan hanya pada ibu yang
dapat memenuhi syarat AFASS (affordable, feasible,
acceptable, sustainable, dan safe)
• Ibu dengan bayi dengan status HIV (-) atau tidak diketahui
tetap boleh memberikan ASI jika tidak dapat memenuhi
AFASS
• Pada negara berkembang, WHO menyarankan untuk
dilakukan pemberian ASI dikarenakan kesulitan memenuhi
kriteria AFASS
• Jika kemudian syarat AFASS dapat terpenuhi, untuk
melakukan penghentian ASI, bayi dapat secara total diberi
susu formula, sehingga produksi ASI akan terhenti secara
berangsur (ASI TIDAK diberikan kembali).
Alasan ASI dan Sufor tidak boleh
Selang Seling
• Sangat tidak dianjurkan untuk mencampur ASI
dengan susu formula  risiko tertinggi penularan HIV
ke bayi karena susu formula adalah benda asing yang
dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding usus
 virus HIV mudah masuk dalam ASI ke darah bayi.
• Jika bayi telah diketahui HIV positif: i) ibu sangat
dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif sampai bayi
berumur enam bulan; ii) mulai usia enam bulan, bayi
diberikan makanan pendamping ASI dan ASI tetap
dilanjutkan sampai anak berumur dua tahun.
PPIA 2015. Depkes
Pemenuhan syarat AFASS ditandai
dengan adanya:
• i) memiliki jaminan atas akses air bersih dan sanitasi
yang baik;
• ii) mampu menyediakan susu formula dalam jumlah
cukup untuk mendukung tumbuh kembang anak;
• iii) mampu menyiapkan susu formula dengan bersih
dan dengan frekuensi yang cukup, sehingga bayi aman
dan terhindar dari diare dan malnutrisi;
• İv) dapat memenuhi kebutuhan susu formula secara
terus-menerus sampai bayi berusia 6 bulan;
• v) keluarga mampu memberikan dukungan dalam
proses pemberian susu formula yang baik; dan
• vi) dapat mengakses pelayanan kesehatan yang
komprehensif bagi bayinya.
ASI Peras yang Dipanaskan
• Alternatif atas indikasi:
– Jika bayi: berat lahir rendah, sakit, atau tidak bisa menyusui.
– Jika ibu sakit, sementara waktu tidak dapat menyusui, atau sedang mengalami
– masalah pada payudara (misalnya mastitis, puting lecet/luka).
– Bayi dalam masa persiapan penyapihan.
– ARV untuk sementara waktu tidak tersedia.
• Ada dua metode sederhana, yaitu:
– Pemanasan ASI dengan cara cepat (flash-heating).
Letakkan ASI perah pada wadah terbuka yang berbahan gelas di dalam panci
yang sudah berisi air dan panaskan panci di atas api sampai air mendidih.
Matikan api bila air sudah mendidih, angkat segera ASI perah dari panci. Tutup
dan biarkan ASI berangsur-angsur menjadi dingin.
– Pasteurisasi cara Pretoria.
Rebus air dalam wadah (panci) sampai mendidih dan angkat panci, matikan
apinya. Letakan ASI perah dalam tempat yang berbahan gelas, tutup,
kemudian letakkan dalam air panas yang sudah dididihkan tersebut selama 20
menit, lalu angkat dan biarkan dingin.
103. KONTRAINDIKASI IMUNISASI
• Berlaku umum untuk semua vaksin
Indikasi Kontra BUKAN Indikasi Kontra
• Reaksi anafilaksis terhadap • Reaksi lokal ringan-sedang (sakit,
vaksin (indikasi kontra kemerahan, bengkak) sesudah suntikan
pemberian vaksin tersebut vaksin
berikutnya) • Demam ringan atau sedang pasca vaksinasi
• Reaksi anafilaksis terhadap sebelumnya
konstituen vaksin • Sakit akut ringan dengan atau tanpa demam
• Sakit sedang atau berat, dengan ringan
atau tanpa demam • Sedang mendapat terapi antibiotik
• Masa konvalesen suatu penyakit
• Prematuritas
• Terpajan terhadap suatu penyakit menular
• Riwayat alergi, atau alergi dalam keluarga
• Kehamilan Ibu
• Penghuni rumah lainnya tidak divaksinasi
Pedoman Imunisasi di Indonesia. Satgas Imunisasi – IDAI. 2008
Kontraindikasi Imunisasi Spesifik
Imunisasi Indikasi Kontra
DTP • Ensefalopati dalam 7 hari pasca DTP sebelumnya
Perhatian khusus :
• Demam >40.5⁰C dan episode hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam pasca
DTP sebelumnya
• Kejang dalam 3 hari pasca DTP sebelumnya
• Sindrom Guillain Barre dalam 6 minggu pasca vaksinasi
Polio Oral • Infeksi HIV atau kontak HIV serumah
• Imunodefisiensi pada pasen atau pada penghuni serumah
Polio Inactivated • Reaksi anafilaksis terhadap neomisin, streptomisin, atau polimiksin-B
MMR • Reaksi anafilaksis terhadap neomisin atau gelatin
• Kehamilan
• Imunodefisiensi dengan imunosupresi berat
Hepatitis B • Reaksi anafilaksis terhadap ragi
Varisela • Reaksi anafilaksis terhadap neomisin dan gelatin
• Kehamilan
• Infeksi HIV
• Imunodefisiensi
Kontraindikasi BCG
• Reaksi uji tuberkulin >5 mm,
• Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV,
• imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat
imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit
keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem
limfe,
• Menderita gizi buruk,
• Menderita demam tinggi,
• Menderita infeksi kulit yang luas,
• Pernah sakit tuberkulosis,
• Kehamilan.
Pertimbangan Pemberian Imunisasi
• Kontra indikasi absolut imunisasi adalah defisiensi imun dan pernah
menderita syok anafilaksis pada imunisasi terdahulu. Sedangkan
demam tinggi atau sedang dirawat karena penyakit berat
merupakan kontra indikasi sementara, sehingga anak tetap harus
diimunisasi apabila telah sembuh.
• Anak dengan batuk-pilek ringan dengan atau tanpa demam boleh
diimunisasi, kecuali bila bayi sangat rewel, imunisasi dapat ditunda
1-2 minggu
• Pengurangan dosis imunisasi menjadi setengahnya, atau membagi
dosis sangat tidak dibenarkan.
• Anak yang sedang minum antibiotik tetap diperbolehkan imunisasi
• Apabila anak sedang minum obat prednison 2 mg/kgbb/hari,
dianjurkan menunda imunisasi 1 bulan setelah selesai pengobatan.
Idai.or.id
Pertimbangan Pemberian Imunisasi
• Pada bayi prematur, vaksin polio sebaiknya diberikan
sesudah bayi prematur berumur 2 bulan atau berat
badan sudah > 2000 gram, demikian pula DPT, hepatitis
B dan Hib.
• Apabila bayi / anak sudah pernah sakit campak, rubela
atau batuk rejan, imunisasi boleh dilakukan untuk
penyakit-penyakit tersebut.
• Vaksinasi bayi / anak dengan riwayat pernah sakit
campak akan meningkatkan kekebalan dan tidak
menimbulkan risiko. Diagnosis campak dan rubella
tanpa konfirmasi laboratorium sangat tidak dapat
dipercaya.
104. Pemberian Tetrasklin pada Anak
• Tetracycline is a broad-spectrum antibiotic that crosses
placental barrier
• Tetrasiklin merupakan salah satu antibotik spektrum luas yang
dapat melintasi sawar darah plasenta
• Antibiotik ini memang tergolong superior, namun memiliki
beberapa efek samping, terutama pada anak-anak
• Sebagian besar efek samping ini terdapat pada organ tubuh
tulang dan juga gigi, karena pada area inilah tetrasiklin dapat
terdeposisi
• Hal ini dibuktikan dengan paparan sinar UV pada gigi milik
pasien yang mengkonsumsi tetrasiklin, yaitu terdapat
fluoresensi yang menjadi ciri khas dari molekul tetrasiklin
Venilla v et.al. Tetracycline-Induced Discoloration of Deciduous Teeth: Case Series. Journal of International Oral Health 2014; 6(3):115-119
• Mekanisme efek samping obat ini hanya terjadi pada gigi anak yang
berusia dibawah 8 tahun
• Mengapa demikian? karena pada prinsipnya selama kalsifikasi pada
anak masih berlangsung maka terjadi pertukaran ion terutama
kation.
• Obat ini akan berikatan dengan kation dan akan terdeposisi dalam
gigi membentuk tetracycline-calcium orthophosphate complex.
• Pada awalnya complex ini hanya menyebabkan diskolorasi, namun
pada penggunaan jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan
gigi.
• Oleh karena itu, penggunaan
obat ini tidak direkomendasikan
pada anak usia <8 tahun dan
untuk penggunaan jangka
panjang

Kline JM, Wietholter JP, Kline VT, Confer J. Pediatric Antibiotic Use: A Focused Review of Fluoroquinolones and Tetracyclines. US
Pharm. 2012;37(8):56-59
• Based on the extent and color of • Prevention of
staining, it is classified into: staining of teeth :
– the first degree (Mild tetracycline – Reducing the dose
staining)  teeth with Yellow to of the drug,
grayish staining with no banding and – avoiding the drug in
is spread throughout the tooth the critical period of
uniformly. mineralization of
– Second degree (Moderate teeth.
tetracycline staining) teeth with
Yellow brown to dark grayish
staining,
– Third degree (severe tetracycline
staining) teeth with blue gray or
blackish staining associated with
banding across the tooth and
– fourth degree includes intractable
staining that is so severe that
bleaching is ineffective
105. Enkopresis
• Definisi:
– Pengeluaran feses yang tidak sesuai secara berulang, biasanya
involunter.
– Terjadi minimal 1x/bulan, min. 3 bulan.
– Usia mental atau usia kronologis 4 tahun.
– Eksklusi zat atau kondisi medis sebagai penyebab.
• Klasifikasi:
 fungsional (95%)/primary non retentive encopresis
 Overflow/organic (5%)
• Anak-anak yang mengalami hal ini (fungsional) terbagi menjadi 4
kelompok
1. Anak-anak yang belum mendapat atau berhasil dalam hal toilet
training
2. Fobia terhadap toilet
3. Untuk memanipulasi keadaan (supaya bisa kabur atau tidak
dimarahi)
4. Yang mengalami IBS
Kriteria Diagnosis Enkopresis (DSM-V-TR)

• Pengeluaran feses pada tempat yang tidak sesuai yang terjadi berulang
(misal pada pakaian atau lantai) baik itu involunter atau disengaja.
• Minimal terjadi 1x/bulan untuk min.3 bulan.
• Usia kronologis min.4 tahun (atau sesuai dengan tahap perkembangan).
• Perilaku ini secara eksklusif tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung
dari suatu zat (seperti laksansia) atau suatu kondisi medis umum, kecuali
melalui suatu mekanisme yang melibatkan konstipasi.

• Anak-anak yang mengalami hal ini terbagi menjadi 4 kelompok


1. Anak-anak yang belum mendapat atau berhasil dalam hal toilet training
2. Fobia terhadap toilet
3. Untuk memanipulasi keadaan (supaya bisa kabur atau tidak dimarahi)
4. Yang mengalami IBS
Encopresis
Definisi
• Keluarnya feses secara
involunterfecal
incontinence
• Klasifikasi:
 fungsional (95%)/primary
non retentive encopresis
 Overflow/organic (5%)

Borowitz SM. Encopresis. emedicine


Kuhn BR, Marcus BA, Pitner SL. Treatment guidelines for primary nonretentive encopresis and stool toileting refusal. AAFP
Pathogenesis
Tipe organik sering berkaitan dengan
• Tipe fungsional penyakit lainpatogenesis terkait
penyakit yang mendasari (co. IBS)
Progressive rectal distention

Konstipasi kronik

Stretching m. sfingter ani interna


dan eksterna

Berlangsung untuk
jangka waktu lama

Feses keluar secara involunter Terjadi habituasi/adaptasi


dengan sensasi ingin BAB

Feses yang lembek dan berair Tidak ada lagi perasaan


mengalir diantara feses yang keras “urgensi” untuk BAB
Diagnosis Banding Enkopresis
• Stenosis rektum atau anus
• Abnormalitas endokrin
• Smooth muscle disease.
• Penyakit Hirschsprung.
• Anak RM atau PDD.
• Anak dengan gangguan pengendalian impuls
atau ADHD tipe inatensi.
• Anak yang mengalami stres berat.
Prinsip tatalaksana
• Edukasi dan toilet training
Membuat ketentuan/kebiasaan untuk BAB di
jam tertentu
• Behavioural therapy
Mengajarkan pada anak untuk relaksasi otot
sphincter ani eksterna saat berusaha BAB atau
saat ada dorongan BAB waktu berada di toilet
• Penggunaan laksatif untuk impaksi feses pada
kolon
Pilihan laksatif
• Osmotic laxativeretensi air di kolonpH
turundistensimemicu peristaltis kolon
 Polyethylene glycol powder
 Magnesium hydroxide
 Lactulose
• Lubricant laxativemeningkatkan absorbsi airfeses
lebih lembek
 Mineral oil
• Stimulant laxativebekerja langsung di mukosa usus
atau pleksus sarafmeningkatkan peristaltis dan
stimulasi sekresi air dan garam
 Senna
 Bisacodyl
• Bowel evacuant laxative
 Sodium acid phosphate
106. Immune thrombocytopenic purpura

• Immune thrombocytopenic purpura (ITP, yang disebut


juga autoimmune thrombocytopenic purpura, morbus
Wirlhof, atau purpura hemorrhagica, merupakan
kelainan perdarahan akibat destruksi prematur
trombosit yang meningkat akibat autoantibodi yang
mengikat antigen trombosit.
• Umumnya terjadi pada anak usia 2-4 tahun, dengan
insiden 4-8 kasus per 100.000 anak per tahun.
• Patofisiologi: Peningkatan destruksi platelet di perifer,
biasanya pasien memiliki antibodi yang spesifik
terhadap glikoprotein membran platelet (IgG
autoantibodi pada permukaan platelet)
Patogenesis
• Kerusakan trombosit pada ITP melibatkan autoantibodi terhadap
glikoprotein terutama GP IIB/IIIA) yang terdapat pada membran
trombosit  destruksi trombosit yang diselimuti antibodi
(antibody-coated platelets) oleh makrofag yang terdapat pada
limpa dan organ retikuloendotelial lainnya.
• Megakariosit dalam sumsum tulang bisa normal atau meningkat
pada ITP.
• ITP akut (terutama pada anak)
– Penghancuran trombosit meningkat karena adanya antibodi
yang dibentuk saat terjadi respon imun terhadap infeksi
bakteri/virus atau pada pemberian imunisasi, yang bereaksi
silang dengan antigen dari trombosit
• ITP kronik
– terjadi gangguan dalam regulasi sistem imun seperti pada
penyakit otoimun lainnya, yang berakibat terbentuknya antibodi
spesifik terhadap trombosit.
Pathophysiology of ITP
• Increased platelet turnover:
– there is clear evidence that anti-platelet antibodies
cause the decorated platelets to be recognized by
the reticulo-endothelial system and degraded mainly
in the spleen (by macrophages)  MAIN mechanism
– for some anti-platelet antibodies the activation of the
complement system has been shown to contribute to
accelerated decrease in platelets
– in addition, in vitro stimulated T cells of some patients
with ITP were able to trigger cytotoxic lysis of platelets
by cytotoxic T cells (Tc cells)
• Decreased platelet production
3 Mechanisms of Platelet Destruction
ITP: Cardinal Features
• Trombositopenia <100,000/mm3
• Purpura dan perdarahan membran mukosa
• Diagnosis of exclusion
• 2 jenis gambaran klinis
– ITP akut
• Biasanya didahului oleh infeksi virus dan menghilang dalam 3 bulan.
– ITP kronik
• Gejala biasanya mudah memar atau perdarahan ringan yang
berlangsung selama 6 bulan
• >90% kasus anak merupakan bentuk akut
• Komplikasi yang paling serius: perdarahan. Perdarahan
intrakranial penyebab kematian akibat ITP yg paling sering
(1-2% dr kasus ITP)
Anamnesis
• Umumnya trombositopenia terjadi 1-3 minggu setelah infeksi virus,
atau bakteri (infeksi saluran napas atas, saluran cerna), bisa juga
terjadi setelah vaksinasi rubella, rubeola, varisela, atau setelah
vaksinasi dengan virus hidup.
• Perdarahan yang terjadi tergantung jumlah trombosit didalam
darah. Diawali dengan perdarahan kulit berupa petekie hingga
lebam.
• Obat-obatan, misalnya heparin, sulfonamid, kuinidin/kuinin, aspirin
dapat memicu terjadinya kekambuhan.
• Obat yang mengandung salisilat dapat meningkatkan risiko
timbulnya perdarahan.
• Pemeriksaan fisis
– Pada umumnya bentuk perdarahannya ialah purpura pada kulit
dan mukosa (hidung, gusi, saluran cerna dan traktus urogenital).
– Pembesaran limpa terjadi pada 10-20 % kasus.
• Pemeriksaan penunjang
• Darah tepi :
– Morfologi eritrosit, leukosit, dan retikulosit biasanya normal.
– Hemoglobin, indeks eritrosit dan jumlah leukosit normal.
– Anemia bisa terjadi bila ada perdarahan spontan yang banyak
– Trombositopenia. Besar trombosit umumnya normal, hanya
kadang ditemui bentuk trombosit yang lebih besar (giant
plalets),
– Masa perdarahan memanjang (Bleeding Time)
• Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang:
– Tidak perlu bila gambaran klinis dan laboratoris klasik.
– Dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang bila gagal terapi
selama 3-6 bulan, atau pada pemeriksaan fisik ditemukan
adanya pembesaran hepar/ lien/kelenjar getah bening dan pada
laboratorium ditemukan bisitopenia.
Pungsi sumsum tulang
• Pada pungsi sumsum tulang/Bone Marrow
Puncture (BMP) akan ditemukan jumlah
megakariosit yang normal atau bahkan
cenderung menurun
• Karena meningkatnya destruksi
trombositmegakariosit dapat tambak besar
dan imatur
Tatalaksana
• Indikasi rawat inap
– Pada penderita yang sudah tegak diagnosisnya, perlu dilakukan
rawat inap bila:
• Jumlah hitung trombosit <20.000/μL
• Perdarahan berat
• Kecurigaan/pasti perdarahan intrakranial
• Umur <3 tahun
• Bila tidak dirawat inap, penderita diwajibkan untuk
tidak/menghindari obat anti agregasi (seperti salisilat dan
lain sebagainya) dan olah raga yang traumatis (kepala).
• ITP bersifat akut dan 90 % sembuh spontan, hanya 5-10%
menjadi kronis karena itu keputusan apakah perlu diberi
pengobatan masih diperdebatkan.
Medikamentosa
• Pengobatan dengan kortikosteroid diberikan bila:
– Perdarahan mukosa dengan jumlah trombosit <20.000/ μL
– Perdarahan ringan dengan jumlah trombosit <10.000/ μL
– Steroid yang biasa digunakan ialah prednison, dosis 1-2 mg/kgBB/hari,
dievaluasi
– setelah pengobatan 1-2 minggu. Bila responsif, dosis diturunkan pelahan-
lahan sampai kadar trombosit stabil atau dipertahankan sekitar 30.000 -
50.000/μL.
– Prednison dapat juga diberikan dengan dosis tinggi yaitu 4 mg/kgBB/hari
selama 4 hari.
– Bila tidak respons, pengobatan yang diberikan hanya suportif.
– Pengembalian kadar trombosit akan terjadi perlahan-lahan dalam waktu 2-4
minggu dan paling lama 6 bulan.
– Pada ITP dengan kadar trombosit >30.000/μL dan tidak memiliki keluhan
umumnya tidak akan diberikan terapi, hanya diobservasi saja.
• Pemberian suspensi trombosit dilakukan bila :
– Jumlah trombosit <20.000/ μL dengan perdarahan
mukosa berulang (epistaksis)
– Perdarahan retina
– Perdarahan berat (epistaksis yang memerlukan
tampon, hematuria, perdarahan organ dalam)
– Jumlah trombosit < 50.000/ul dengan
kecurigaan/pasti perdarahan intra kranial
– Menjalani operasi, dengan jumlah trombosit
<150.000/ μL.
107. Hipotermia pada neonatus

• Why neonates prone to


hypothermia
– Larger surface area per
unit body weight
– Decreased thermal
insulation due to lack of
subcutaneous fat (LBW
infant)
– Reduced amount of
brown fat (LBW infant)
Gejala hipotermia
– Vasokonstriksi perifer – Peningkatan
• Akrosianosis metabolisme
• Ekstremitas dingin • Hipoglikemia
• Perfusi perifer ↓ • Hipoksia
– Depresi SSP • Asidosis metabolik
• Letargi – Peningkatan tekanan
• Bradikardia arteri pulmonal
• Apnea • Respiratory distress
• Poor feeding • Takipnea
– Tanda kronik
• Penurunan BB
• BB tidak bertambah
Diagnosis and Prevention
• Axillary temperature • Warm delivery room (>250
recording for 3 minutes is C)
recommended for routine • 2. Warm resuscitation
monitoring • 3. Immediate drying
• Measurement of rectal • 4. Skin-to-skin contact
temperature is unnecessary
in most situations • 5. Breastfeeding
• 6. Bathing postponed
• 7. Appropriate clothing
• 8. Mother & baby together
• 9. Professional alert
• 10. Warm transportation
Kangoroo Mother Care
• Metode kanguru diperkenalkan pertama kali oleh
Rey dan Martinez dua orang ahli neonatologi dari
Bogota, Colombia Amerika Selatan pada tahun
1983
• KMC bermanfaat untuk meningkatkan
kelangsungan hidup bayi baik sesaat maupun
jangka lama, terutama BBLR dengan berat 1200–
2000 g
• Metode kanguru  teknologi tepat guna yang
sederhana, murah dan dapat digunakan ketika
fasilitas untuk perawatan BBLR sangat terbatas.
• Keuntungan menggunakan metode kanguru antara lain :
– meningkatnya hubungan ibu-bayi,
– stabilisasi suhu tubuh bayi,
– stabilisasi laju denyut jantung dan pernapasan,
– pertumbuhan dan peningkatan berat badan yang lebih baik,
– mengurangi stres baik pada ibu maupun bayi,
– tidur bayi lebih lama,
– memperpanjang masa ‘kewaspadaan’ (alert) bayi,
– mengurangi lama menangis,
– memperbaiki keadaan emosi ibu dan bayi,
– meningkatkan produksi ASI,
– menurunkan kejadian infeksi, dan
– mempersingkat masa rawat di rumah sakit.
– menyediakan situasi dan kondisi yang mirip dengan rahim sehingga
memberi peluang bagi BBLR untuk beradaptasi dengan baik di dunia
luar.
Kontraindikasi KMC
• Bayi dengan apnea berat
• Bayi dengan chest tube
• Bayi dengan kondisi metabolik tidak stabil
• Bayi dengan luka daerah abdomen atau dengan
distensi abdomen
• Bayi dengan gastroskisis/omphalocele
• Bayi dengan femoral atau radial arterial line
• Bayi dengan persistant pulmonary hypertension
of the newborn
108. Pedoman Nasional Sepsis Anak (2016)
• Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam kehidupan (life-threatening
organ dysfunction) yang disebabkan oleh disregulasi imun terhadap infeksi.
• Kecurigaan infeksi didasarkan pada predisposisi infeksi, tanda infeksi (klinis
dan laboratorium), dan reaksi inflamasi.
• Faktor predisposisi infeksi, antara lain, faktor genetik, usia, status nutrisi,
status imunisasi, komorbiditas, dan riwayat terapi.
• Bakteri merupakan penyebab infeksi yang paling sering, tetapi dapat pula
berasal dari jamur, virus, atau parasit.
• Respon imun terhadap bakteri dapat menyebabkan
disfungsi organ atau sepsis dan syok septik dengan angka mortalitas relative
tinggi.
• Organ tersering yang merupakan infeksi primer, adalah paru-paru, otak,
saluran kemih, kulit, dan abdomen

Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis pada Anak IDAI 2016
Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis pada Anak IDAI 2016
Pedoman Nasional Sepsis Anak (2016)
• Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan adanya
– (1) infeksi, yang meliputi faktor predisposisi infeksi,
tanda atau bukti infeksi yang sedang berlangsung, dan
respon inflamasi;
– (2) tanda disfugsi / gagal organ  kardiovaskular (nadi,
perfusi, tekanan arterial), respirasi (gangguan work of
breathing, sianosis), hematologi, SSP (penurunan
kesadaran), dan hepatik  skor pediatric logistic organ
dysfunction 2 (PELOD-2)
– Diagnosis sepsis ditegakkan bila Skor PELOD-2 ≥11 (pada
RS tipe A) atau ≥7 (pada RS tipe B atau C)
Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis pada Anak IDAI 2016
Pedoman Nasional Sepsis Anak (2016)
• Faktor-faktor predisposisi infeksi, meliputi: faktor genetik, usia,
status nutrisi, status imunisasi, komorbiditas (asplenia, penyakit
kronis, transplantasi, keganasan, kelainan bawaan), dan riwayat
terapi (steroid, antibiotika, tindakan invasif)
• Tanda klinis infeksi dinilai dari pemeriksaan klinis dan laboratoris
dengan penanda (biomarker) infeksi, seperti pemeriksaan darah
tepi, morfologi darah tepi, CRP, dan prokalsitonin.
• Pembuktian adanya mikroorganisme yang dapat dilakukan melalui
pemeriksaan apus Gram, kultur, atau(PCR). Pencarian fokus infeksi
lebih lanjut dilakukan dengan pemeriksan analisis urin, feses rutin,
lumbal pungsi, dan pencitraan sesuai indikasi.

Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis Pada Anak. IDAI. 2016.
Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis pada Anak IDAI 2016
Pedoman Nasional Sepsis Anak (2016)
• Respon inflamasi dapat terjadi tidak hanya disebabkan oleh
penyakit infeksi. Secara klinis respon inflamasi dapat berupa:
– Demam (suhu inti >38,5°C atau suhu aksila >37,9°C) atau
hipotermia (suhu inti <36°C)
– Takikardia (peningkatan denyut jantung sesuai usia tanpa adanya
stimulus eksternal, obat kronis, atau nyeri; atau peningkatan
denyut jantung yang tidak dapat dijelaskan lebih dari 0,5 sampai 4
jam).
– Bradikardia (penurunan denyut jantung sesuai usia tanpa adanya
stimulus vagal eksternal, beta-blocker, atau penyakit jantung
kongenital; atau penurunan denyut jantung yang tidak dapat
dijelaskan selama lebih dari 0,5 jam).
– Takipnea: rerata frekuensi nafas di atas normal
Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis Pada Anak. IDAI. 2016.
Kecurigaan Disfungsi Organ (Warning
Signs)
Bila ditemukan salah satu dari 3 tanda klinis:
• penurunan kesadaran (metode AVPU),
• gangguan kardiovaskular (penurunan kualitas
nadi, perfusi perifer, atau tekanan arterial
rerata)
• gangguan respirasi (peningkatan atau
penurunan work of breathing, sianosis)

Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis pada Anak IDAI 2016
Alur Penegakkan Diagnosis Sepsis
Pediatrik

Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis pada Anak IDAI 2016
Skoring Disfungsi Organ (PELOD-2)
• Diagnosis sepsis ditegakkan bila skor ≥11 (atau ≥7 untuk RS tipe B
dan C)
Derajat keparahan penyakit:
• Derajat ringan: skor PELOD2 nilai 0-3 dan kadar PCT 0,5-1,99 ng/ml
• Derajat sedang: skor PELOD2 nilai >3-9 dan kadar PCT 2,0-9,99 ng/ml
• Derajat berat: skor PELOD2 nilai >9 dan kadar PCT 10 ng/ml
Konsensus Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis pada Anak IDAI 2016
Tatalaksana Sepsis Anak (IDAI 2016)
• Antibiotik empiris dan spesifik jika telah diketahui etiologinya (lihat tabel)
• Pernapasan  pembebasan jalan napas dan suplemen oksigen, intubasi
bila gagal napas
• Tata laksana hemodinamik meliputi: akses vaskular secara cepat,
resusitasi cairan, dan pemberian obat-obatan vasoaktif.
– Cairan diberikan dengan bolus sebanyak 20 ml/kg selama 5-10 menit, bisa
diulang berdasarkan respon
– Resusitasi cairan dihentikan bila target resusitasi tercapai atau bila terjadi
refrakter cairan
- Obat vasoaktif (inotropik atau vasopresor)  pada kasus refrakter cairan
• Transfusi packed red cell (PRC) diberikan berdasarkan saturasi vena cava
superior (ScvO2) <70% atau Hb <7 g/dL.

Updates and Controversies in the Early Management of Sepsis and Septic


Shock; 2018. Pharmacology CME.
Tatalaksana Sepsis Anak (IDAI 2016)

• Transfusi:
– PRC pada Hb<7 g/dL
– Konsentrat trombosit pada trombosit <10.000/mm3, <20.000/mm3
dengan risiko perdarahan, atau <100.000/mm3 dengan perdarahan
aktif
– FFP pada pasien dengan DIC atau purpura trombotik
• Kortikosteroid  hidrokortison 50 mg/m2/hari untuk pasien syok
refrakter katekolamin atau insufisiensi adrenal
• Kontrol glikemik  target 50-180 mg/dL
• Nutrisi enteral adekuat
Pilihan Antibiotik
• Pilihan antibiotik empiris jika etiologi belum
diketahui
– Extended-spectrum penicillin ± aminoglikosida
a

– Sefalosporin generasi ketiga atau keempat ±


c

aminoglikosida ± vankomisin
a

– Karbapenem ± aminoglikosida ± vankomisina

o Ampisilin-sulbaktam menjadi pilihan pertama extended-spectrum penicillin


dalam terapi sepsis
o floroquinolon dapat menggantikan aminoglikosida pada semua regimen di
atas
o Sefalosporin generasi ketiga seftriakson tidak boleh digunakan ketika
dicurigai atau terbukti adanya Pseudomonas
Sepsis pada Anak
Konsensus SCCM dan ESICM 2016
• Sepsis didefinisikan sebagai suatu keadaan disfungsi organ yang
mengancam nyawa disebabkan oleh respon pejamu (pasien) yang tidak
teregulasi terhadap infeksi.
• Definisi baru ini meninggalkan penggunaan kriteria systemic inflammatory
response syndrome (SIRS) dalam identifikasi sepsis, dan tahap klinis yang
sebelumnya dikenal dengan sepsis berat (severe sepsis).
• Terminologi syok septik (septic shock) tetap digunakan dan didefinisikan
sebagai kelainan sirkulasi, seluler dan metabolik yang cukup besar serta
meningkatkan risiko kematian.
– Keadaan syok septik ditandai dengan keadaan klinis sepsis dengan hipotensi
menetap yang memerlukan vasopresor untuk mempertahankan MAP
≥65mmHg dan memiliki tingkat laktat serum >2 mmol/L (18 mg/dL) meskipun
sudah diberikan resusitasi volume yang adekuat
• Penggunaan kriteria pSOFA (pediatric SOFA) untuk mengukur disfungsi
organ  prediksi mortalitas
TO 6
109. Glomerulonefritis akut
• Glomerulonefritis akut kondisi yang ditandai dengan edema, hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (sindrom nefritik) di mana terjadi
inflamasi pada glomerulus
• Glomerulonefritis disebabkan oleh beberapa macam kelainan yang
memiliki karakteristik berupa kerusakan glomerulus akibat inflamasi
• Glomerulonefritis akut post streptococcal merupakan salah satu bentuk
tersering dari glomerulonefritis akut
• Gejala klinis:
 Gross hematuria: urin berwarna seperti the atau coca-cola
 Oliguria
 Edema
 Nyeri kepala, merupakan gejala sekunder akibat hipertensi
 Dyspneabisa akibat edema paru atau gagal jantung yang mungkin terjadi
 Hipertensi

Niaudet P. Overview of the pathogenesis and causes of glomerulonephritis in children. UpToDate, 2016
Parmar MS. Acute glomerulonephritis. Emedicine, 2016
Causes of glomerulonephritis in children
PRIMARY GLOMERULONEPHRITIS
Membranous glomerulonephritis
Membranoproliferative glomerulonephritis type I
Membranoproliferative glomerulonephritis type II (dense deposit disease)
IgA nephropathy
Anti-glomerular basement membrane disease
Idiopathic crescentic glomerulonephritis
SECONDARY GLOMERULONEPHRITIS
Post-streptococcal glomerulonephritis
Other post-infectious glomerulonephritis
Henoch-Schönlein purpura nephritis
Systemic lupus erythematosus nephritis
Microscopic polyangiitis
Wegener granulomatosus
Patogenesis dan Patofisiologi
Pencetus: misal Streptococcal infection

Aktivasi komplemen Komplemen serum turun

Immune injuries
Proliferasi selular
Destruksi membran basal glomerulus
Lumen kapiler menyempit
hematuria
Aliran darah glomerular menurun

GFR turun Reabsorbsi natrium distal

oliguria
Retensi air dan natrium

Volume darah meningkat

Edema dan hipertensi


110. Gagal Ginjal Akut
• Gagal ginjal akut (GGA) ialah penurunan fungsi ginjal mendadak
yang mengakibatkan hilangnya kemampuan ginjal untuk
mempertahankan homeostasis
• Terdapat peningkatan kadar kreatinin darah secara progresif 0,5
mg/dL per hari dan peningkatan ureum sekitar 10-20 mg/dL per
hari.
• GGA dapat bersifat oligurik dan non-oligurik.
– Oliguria ialah produksi urin <1 ml/kgBB/ jam untuk neonatus dan <0,8
ml/kgBB/jam untuk bayi dan anak.
• Jenis GGA
– GGA prarenal: dehidrasi, syok, perdarahan, gagal jantung, sepsis
– GGA renal: pielonefritis, glomerulonefritis, nefrotoksisitas karena obat
atau kemoterapi, lupus nefritis, nekrosis tubular akut, SHU, HSP
– GGA pascarenal: keracunan jengkol, batu saluran kemih, obstruksi
saluran kemih, sindrom tumor lisis, buli-buli neurogenik
Patogenesis
• The primary renal insult is a critical decrease in the
blood supply, which results in the desquamation of
tubular cells, tubular cast formation, intraluminal
tubular obstruction and back leakage of the glomerular
filtrate.
• Consequently, retention of nitrogenous waste
products, an increase in the serum creatinine and
derangement of the fluid and electrolyte homeostasis
occurs.
• Structural damage ensues, and neutrophils adhere to
the injured ischaemic endothelium in the kidney,
releasing substances which promote inflammation.
Tatalaksana Medikamentosa GGA
• Terapi sesuai penyakit primer • Pemberian diuretik pada GGA
• Bila terdapat infeksi, dosis renal dengan furosemid 1-2
antibiotik disesuaikan dengan mg/kgBB dua kali sehari dan
beratnya penurunan fungsi dapat dinaikkan secara
ginjal bertahap sampai maksimum
• Pemberian cairan disesuaikan 10 mg/kgBB/kali. (pastikan
dengan keadaan hidrasi kecukupan sirkulasi dan bukan
merupakan GGA pascarenal).
• Koreksi gangguan • Bila gagal dengan
ketidakseimbangan cairan medikamentosa, maka
elektrolit dilakukan dialisis peritoneal
• Natrium bikarbonat untuk atau hemodialisis.
mengatasi asidosis metabolik
sebanyak 1-2 mEq/kgBB/ hari
sesuai dengan beratnya
asidosis
111. Epiglotitis
• Acute bacterial epiglottitis
– Life-threatening, medical emergency due to infection with edema of
epiglottis and aryepiglottic folds
• Organism
– Haemophilus influenzae type B: most common (bacil gram -, needs
factor X and V for growth)
– Also caused by Pneumococcus, Streptococcus group A, Viral infection
– herpes simplex 1 and parainfluenza
• Age
– Typically between 3-7 years
– Peak incidence has become older over last decade and is now closer to
6-7 years
• Location
– Purely supraglottic lesion
• Associated subglottic edema in 25%
– Associated swelling of aryepiglottic folds causes stridor
Epiglotitis
• Classical triad is: drooling, dysphagia and distress (respiratory)
• Abrupt onset of respiratory distress with inspiratory stridor
• Sore throat
• Severe dysphagia, muffled voice/hot potato voice
• Older child may have neck extended and appear to be sniffing due
to air hunger
• Resembles croup clinically, but think of epiglottitis if:
– Child can not breathe unless sitting up
– “Croup” appears to be worsening
– Child can not swallow saliva and drools (80%)
• Cough is unusual
Tripod sign
• Pt appears anxious
• Leans forward with
support of both
forearms
• Extends neck in an
attempt to maintain an
open airway
Investigations
1. Flexible laryngoscopy: carried out only in ICU or
OT with intubation / tracheostomy set ready
2. Post-intubation direct laryngoscopy
3. Plain x-ray soft tissue of neck lateral view
4. Culture from epiglottis during intubation:
+ve in 15% cases of H. influenzae
5. Blood culture: +ve in 15% cases of H. influenzae
X-ray soft tissue neck
• Lateral view taken in erect position only (Supine
position may close off airway)
– Enlargement of epiglottis (thumb sign)
– Absence of well defined vallecula (Vallecula sign)
– Thickening of aryepiglottic folds (cause for stridor)
– Circumferential narrowing of subglottic portion of trachea
during inspiration (25% cases)
– Ballooning of hypopharynx
Thumb Sign pada epiglotitis Gambaran epiglotis normal
X-ray soft tissue neck

Red arrow = enlarged epiglottis


Yellow arrow = thickened ary-epiglottic folds
Epiglotitis
• Diff Diagnosis: Croup
– Dilatation of the hypopharynx
– Dilation of the laryngeal ventricle
– Narrowing of the subglottic trachea
– Epiglottis is normal
• Tx:
– Secure airway
– May require intubation or emergency tracheostomy
– Some use IV steroids
– Empiric antibiotic therapy
Acute Viral croup Bacterial Spasmodic R.P.
epiglottitis croup croup abscess

Age (yr) 3-7 1-3 1-8 1-3 1-3

Voice Normal or Hoarse Hoarse Hoarse Hoarse


muffled
Cough Absent Barking Barking Barking Absent
seal-like seal-like seal-like
Stridor Inspiratory Biphasic Biphasic Biphasic Inspiratory

Dysphagia Severe Absent Absent Absent Severe


+ drooling
Fever > 102 F < 102 F > 102 F < 102 F > 102 F

Posture Quiet, Restless, Restless, Restless, Restless,


sitting supine supine supine sitting
112. Sindroma Aspirasi Mekonium

• Distres intrauterin dapat menyebabkan keluarnya mekonium ke cairan


amnion.
• Faktor yang memicu: placental insufficiency, maternal
hypertension, preeclampsia, oligohydramnios, and maternal drug abuse,
especially of tobacco and cocaine.
• Matur/prematur, pertumbuhan janin terhambat (PJT), mekonium staining
pada kulit dan cairan amnion
• Saat dilakukan suction dari mulut dan jalan napas atas terdapat
mekonium, hiperinflasi dada
• Rontgen:
o Densitas ropey, kasar, patchy luas menyeluruh pada kedua lapangan paru.
o Hiperaerasi/ hiperinflasi paru pada daerah yang mengalami air-trapping
o Efusi pleura minimal (20%).
o pneumotoraks atau pneumomediastinum spontan.
o atelektasis paru emfisema obstruktif.
MECONIUM ASPIRATION SYNDROME

Densitas ropey, kasar, patchy luas menyeluruh pada kedua lapangan paru. Selain itu pada MAS
juga bisa ditemukan
• Hiperaerasi paru pada daerah yang mengalami air-trapping
• Efusi pleura minimal (20%).
• pneumotoraks atau pneumomediastinum spontan.
• atelektasis paru emfisema obstruktif.
Air trapping and
hyperexpansion from
airway obstruction.
ATELEKTASIS
Distres Pernapasan pada Neonatus
KELAINAN GEJALA
Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat, terdapat
Sindrom aspirasi staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku, atau tali pusar.
mekonium Pada radiologi tampak air trapping dan hiperinflasi paru, patchy
opacity, terkadang atelektasis.
Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran SC,
Respiratory distress
gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi tampak
syndrome (penyakit
gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular appearance, air
membran hyalin)
bronkogram, ekspansi paru jelek.
Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul setelah
Transient tachypnea of lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir. Pada radiologi
newboorn tampak peningkatan corakan perihilar, hiperinflasi, lapangan paru
perifer bersih.

Terdapat risiko pneumonia (KPD, demam pada ibu, cairan amnion


Pneumonia neonatal berbau, dsb). Gejala meliputi gejala distress dan gejala sepsis.
Gambaran radiologis : Diffuse, relatively homogeneous infiltrates

Asfiksia perinatal
Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah, terdapat
(hypoxic ischemic
kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
encephalopathy)
113. Methemoglobinemia

• Kompleks heme dalam Hb memiliki ion besi dalam bentuk tereduksi yaitu
ferro (Fe2+).
• Ion besi dalam Fe2+ inilah yang bisa mengikat oksigen menjadi
oksihemoglobin.
• Oksihemoglobin kemudian melepas oksigen di jaringan dan kembali ke
dalam bentuk Fe2+.
• Ketika hemoglobin kehilangan salah satu elektronnya dan teroksidasi, Fe2+
berubah menjadi Fe3+ atau bentuk ferri  inilah yang disebut
methemoglobin
• Methemoglobin kekurangan satu electron untuk bisa mengikat oksigen
• Kadar normal methemoglobin dibawah 1%
• Terdapat mekanisme tubuh untuk mengembalikan Hb yang teroksidasi
tersebut melalui reduksi oleh glutathione, Cytochrome b5 reductase, dan
glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD)
Etiology
D E S I G N AT I O N EXAMPLES

NADH-cytochrome b5 reductase deficiency,


Hereditary
cytochrome b5 deficiency, M Hb, unstable Hb

Acetaminophen, amyl nitrite, benzocaine,


Drug/chemical dapsone, nitroglycerin, nitroprusside,
induced phenazopyridine (pyridium), sulfanilamide,
aniline dyes, chlorates, nitrofurans, sulfones

Diet induced Nitrites, nitratesa


Adapted from Mansouri and Lurie (1993). M HB is an abnormal type of Hb.
a When followed up, cases have generally been linked to high nitrite levels (e.g., Keating et al. 1973).

Lorna Fewtrell, Drinking-Water Nitrate, Methemoglobinemia, and Global Burden of


Disease: A Discussion. Environ Health Perspect. Oct 2004; 112(14): 1371–1374.
Methemoglobinemia
• Acquired methemoglobinemia lebih sering terjadi dibandingkan
congenital methemoglobinemia .
• Methemoglobin yang terbentuk akibat paparan suatu substansi
melebihi kapasitas enzim pereduksi yang dimiliki oleh eritrosit.
• Acquired methemoglobinemia lebih sering terjadi pada bayi
premature dan bayi < 4 bulan, karena:
– Hb Fetal (HbF) teroksidasi lebih mudah dibanding Hb Adult (HbA)
– Level NADH reductase (enzim pereduksi) rendah saat lahir dan meningkat
sesuai usia (usia 4 bulan kadarnya baru sama dgn dewasa)
– pH gaster yang lebih tinggi memfasilitasi proliferasi bakteri sehingga
meningkatkan konversi nitrat dalam asupan makanan menjadi nitrit.
Acquired Methemoglobinemia: Etiology

• Nitrit organik dan inorganik merupakan penyebab


methemoglobinemia yang umum.
• Air minum yang terkontaminasi oleh nitrat.
• Makanan yang dikemas mungkin memiliki nitrit yang tinggi
• Sayuran yang tidak dimasak dan terkontaminasi bakteri
• Bayi rentan terhadap methemoglobinemia karena asam
lambung yg dihasilkan tidak cukup untuk menjaga jumlah
bakteri penghasil nitrat di usus tetap rendah
Manifestasi Klinis

• Darah yang mengandung


methemoglobin berwarna
merah gelap kecokelatan.
Inilah yang menimbulkan
gambaran sianosis.
• Perubahan warna kulit
muncul ketika kadar
methemoglobin sekitar 10%
• sianosis adalah tanda
pertama yang ditemukan In tubes 1 and 2, methemoglobin fraction is 70%; in
tube 3, 20%; and in tube 4, normal.
pada methemoglobinemia
METHB
C O N C E N T R AT I O N CLINICAL FINDINGS
(%)

10–20 Central cyanosis of limbs/trunk


Central nervous system depression
20–45 (headache, dizziness, fatigue, lethargy),
dyspnea
45–55 Coma, arrhythmias, shock, convulsions
> 60 High risk of mortality
Adapted from Kross et al. (1992).

Lorna Fewtrell, Drinking-Water Nitrate, Methemoglobinemia, and Global Burden of


Disease: A Discussion. Environ Health Perspect. Oct 2004; 112(14): 1371–1374.
114. Duchenne Muscular Dystrophy
• An inherited progressive myopathic disorder; rapidly
progressing muscle weakness and wasting,
• X-linked recessive form of muscular dystrophy
• Affects 1 in 3600 boys
• Caused by mutations in the dystrophin gene, and
hence is termed “dystrophinopathy”
• Duchenne muscular dystrophy (DMD) is associated
with the most severe clinical symptoms
• Becker muscular dystrophy (BMD) has a similar
presentation to DMD, but typically has a later onset
and a milder clinical course
Four phases of DMD
• Early phase (<6 yrs): clumsy, fall frequently, difficulty jumping
or running, enlarged muscles, contractures.
• Transitional Phase (ages 6-9): Trunk weakness (Gowers
manouvre), muscle weakness, heart problems, fatigue.
• Loss of ambulation (ages 10-14): by 12 yrs most boys use a
powered wheelchair. Scoliosis due to constant sitting and back
weakness, upper limb weakness make ADL’s difficult (retain
use of fingers).
• Late stage (15+): life threatening heart and respiratory
problems more prevalent, dyspnea, oedema of the LL’s.
Average age of death is 19 yrs in untreated DMD
• Dystrophin links the muscle cells to
Pathogenesis the extracellular matrix stabilising the
membrane and protecting the
sarcolemma from the stresses that
develop during muscle contraction.
• Mechanically induced damage
through eccentric contractions puts a
high stress on fragile membranes and
provokes micro-lesions that could
eventually lead to loss of calcium
homeostasis, and cell death.
• Imbalance between necrotic and
regenerative processes: early phase
of disease.
• Later phases the regenerative
capacity of muscle fibers are
exhausted and fibers are gradually
replaced by connective tissue and
adipose tissue.
(Deconinck and Dan, 2007)
Clinical Manifestations
• Proximal before distal limb muscles
• Lower before upper extremities
• Difficulty running, jumping, and walking up steps
• Waddling gait
• Lumbar lordosis
• Pseudohypertrophy of calf muscles, due to fat
infiltration
• Patients are usually wheelchair-bound by the age
of 12
Diagnosis
• Characteristic age and sex
• Presence of symptoms and signs suggestive of
a myopathic process
• Markedly increased serum creatine kinase
values
• Myopathic changes on electromyography and
muscle biopsy
• A positive family history suggesting X-linked
recessive inheritance
Serum Muscle Enzyme
• Markedly raised serum CK level, 10-20 times
the upper limit of normal
– Levels peak at 2-3 years of age and then decline
with increasing age, due to progressive loss of
dystrophic muscle fibres
• Elevated serum ALT, AST, aldolase and LDH
115. EKSANTEMA AKUT
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum
• Human Herpes Virus 6 (and 7)
• Yg rentan: 6-36 bulan (puncak
6-7 bulan)
• Musim: sporadik
• Inkubasi: 9 hari
• Masa infeksius: berada dalam
saliva secara intermiten
sepanjang hidup; infeksi
asimtomatik persisten. Demam
tinggi 3-4 hari
• Demam turun mendadak dan
mulai timbul ruam kulit.
• Kejang yang mungkin timbul
berkaitan dengan infeksi pada
meningens oleh virus.
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum

• Roseola infantum atau disebut juga exanthema subitum penyakit akut


yang bersifat self limited pada bayi dan anak-anak
• Gejala utamanya berupa demam tinggi dan mendadak, yang biasanya
akan turun mendadak juga setelah 72 jam.
• Begitu demam turun, ruam kulit muncul dengan karakteristik eritematosa
berukuran morbiliformis, tidak gatal, dan predileksi terutama di batang
tubuh.
• Ruam-ruam ini akan menghilang dengan sendirinya setelah 1-3 hari, dan
bisa menyebar ke perifer tubuh
• Pada beberapa kasus dapat disertai gejala lain berupa eritema pada faring,
injeksi konjungtiva, eritema pada membran timpani, atau pembesaran
KGB
• Pada populasi Asia dapat muncul ulkus di uvulopalatoglassal junction (
Nagayama spots )

Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
116. Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology

With ↑ volume load Clinical Findings


The most common: left to right e.g. ASD, VSD, PDA
shunting

Blood back into the lungs ↓ compliance & ↑ work of breathing

Fluid leaks into the interstitial space & Pulmonary edema, tachypnea, chest
alveoly retraction, wheezing

↑ Heart rate & stroke volume


High level of ventricular output -> ↑Oxygen consumption -> sweating,
↑sympathetic nervous system irritability, FTT
Remodelling: dilatation & hypertrophy

If left untreated, ↑ volume load will Eventually leads to Eisenmenger


increase pulmonary vascular resistance Syndrome

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Ventricular Septal Defect
Sindrom Eisenmenger

• Suatu kondisi dimana defek jantung kongenital yang


tidak dikoreksi menyebabkan hipertensi pulmonal yang
ireversibel, reversal flow, dan sianosis
• Pirau dari kiri ke kanan berubah menjadi kanan ke kiri
akibat meningkatnya tekanan arteri pulmonal.
• 50% dari VSD besar yg tidak dikoreksi dan 10% dari
pasien dgn ASD besar tdk dikoreksi, serta hampir
semua pasien truncus arteriosus berpotensi mengalami
sindrom eisenmenger
Etiology

• Peningkatan aliran arteri pulmoner - Atrial septal


defect (ASD), systemic arteriovenous fistulae,
total anomalous pulmonary venous return
• Peningkatan aliran dan tekanan arteri pulmoner -
VSD besar, PDA besar, truncus arteriosus, single
ventricle dgn aliran darah pulmoner yang normal
• Peningkatan tekanan vena pulmoner - Mitral
stenosis, cor triatriatum, obstructed pulmonary
venous return
Gejala
GEJALA HIPERTENSI PULMONAL: GEJALA ERYTHROCYTOSIS:
• Sesak napas • Myalgias
• Fatigue
• Anorexia
• Fatigue
• Letargi
• Paresthesia jari-jari dan bibir
• Toleransi latihan fisik berkurang • Tinnitus
dengan fase pemulihan yg lambat • Pandangan kabur
• Presyncope • Nyeri kepala & pusing
• Syncope • Irritabilitas

GEJALA GAGAL JANTUNG: GEJALA VASODILATASI:


• DOE • Presyncope
• Syncope
• Orthopnea
• Paroxysmal nocturnal dyspnea
• Edema
• Ascites
• Anorexia
• Nausea
Tanda
• Sianosis sentral
• Clubbing finger/ jari tabuh
• Palpasi prekordial didapatkan adanya ventricular
heave kanan dan palpable S2.
• Suara P2 yang keras
• High-pitched early diastolic murmur dari insufiensi
pulmonal
• Right-sided fourth heart sound
• Pulmonary ejection click
• Single S2
Tatalaksana
• Jaga fluid balance
• Gagal jantung kanan: diuretik utk mengurangi gejala kongestif
• Pulmonary vasodilating agents: fosfodiesterase, prostasiklin
• Eritrositosis  flebotomi
• Bedah paliatif:
– tidak ada bedah korektif yang bisa mengkoreksi kelainan kongenital (defek
primer) yang telah menyebabkan eisenmenger syndrome
– Heart-lung transplantation and single or bilateral, sequential lung
transplantation are viable transplant procedures and are the only surgical
options for a patient with Eisenmenger syndrome.
• Untuk ps. Wanita disarankan jangan hamil (mother mortality rate 50%)  ligasi
tuba
Prognosis

• Eisenmenger syndrome bersifat fatal; tetapi


sebagian kecil pasien berhasil bertahan hidup
hingga dekade keenam.
• Angka harapan hidup biasanya sekitar 20-50
tahun jika didiagnosa awal dan ditatalaksana
maksimal.
117. EKSANTEMA AKUT
Morbili/Rubeola/Campak
• Pre-eruptive Stage
– Demam
– Catarrhal Symptoms – coryza, conjunctivitis
– Respiratory Symptoms – cough
• Eruptive Stage/Stage of Skin Rashes
– Exanthem sign
• Maculopapular Rashes – Muncul 2-7
hari setelah onset
• Demam tinggi yang menetap
• Anoreksia dan iritabilitas
• Diare, pruritis, letargi dan
limfadenopati oksipital
• Stage of Convalescence
– Rash – menghilang sama dengan urutan
munculnya (muka lalu ke tubuh bag bawah)
→ membekas kecoklatan
– Demam akan perlahan menghilang saat
erupsi di tangan dan kaki memudar

• Tindakan Pencegahan :
– Imunisasi Campak pada usia 9 bulan
– Mencegah terjadinya komplikasi berat
Morbili
Species: Measles morbillivirus • Masa infeksius: 1-2 hari
Genus: Morbillivirus
Family: Paramyxoviridae sblm prodromal s.d. 4 hari
Order: Mononegavirales setelah muncul ruam
Single-stranded, negative-sense, enveloped
(non-segmented) RNA virus • Prodromal
– Hari 7-11 setelah eksposure
• Kel yg rentan:
– Demam, batuk,
– Anak usia prasekolah yg blm konjungtivitis,sekret hidung.
divaksinasi (cough, coryza, conjunctivitis
– Anak usia sekolah yang gagal  3C)
imunisasi
• Enanthem  ruam
• Musin: akhir musim dingin/ kemerahan
musim semi
• Koplik’s spots muncul 2 hari
• Inkubasi: 8-12 hari sebelum ruam dan
bertahan selama 2 hari.
Morbili
KOMPLIKASI DIAGNOSIS & TERAPI
• Otitis Media (1 dari 10 penderita • Diagnosis:
campak pada anak)
– manifestasi klinis, tanda
• Diare (1 dari 10 penderita
campak) patognomonik bercak Koplik
• Bronchopneumonia (komplikasi – isolasi virus dari darah, urin,
berat; 1 dari 20 anak penderita atau sekret nasofaring
campak) – pemeriksaan serologis: titer
• Encephalitis (komplikasi berat; 1 antibodi 2 minggu setelah
dari 1000 anak penderita timbulnya penyakit
campak)
• Terapi:
• Pericarditis
• Subacute sclerosing – Suportif, pemberian vitamin A
panencephalitis – late sequellae 2 x 200.000 IU dengan
due to persistent infection of the interval 24 jam.
CNS; 7-10 tahun setelahnya; 1:
100,000 orang)
Penatalaksanaan
• Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan
mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis.
• Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan
antipiretik.
• Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
• Suplementasi vitamin A diberikan pada:
– Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis.
– Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai
umur, dilanjutkan dosis ketiga sesuai umur yang diberikan 2-4
minggu kemudian.
Konseling & Edukasi
• Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit
yang menular.
• Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat sembuh
sendiri, sehingga pengobatan bersifat suportif.
• Edukasi pentingnya memperhatikan cairan yang hilang dari
diare/emesis.
• Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan vaksin
campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan.
• Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan
penderita.
• Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan
imun, bayi umur 6 bulan -1 tahun, bayi umur kurang dari 6 bulan
yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil.
Rubella
• Togavirus • Asymptomatik hingga
• Yg rentan: orang dewasa 50%
yang belum divaksinasi • Prodromal
• Musim: akhir musim – Anak-anak: tidak bergejala
dingin/ awal musim semi. s.d. gejala ringan
– Dewasa: demam, malaside,
• Inkubasi 14-21 hari nyeri tenggorokan, mual,
• Masa infeksius: 5-7 hari anoreksia, limfadenitis
sblm ruam s.d. 3-5 hari oksipital yg nyeri.
setelah ruam muncul • Enanthem
– Forschheimer’s spots
petekie pada hard
palate
Rubella - komplikasi
• Arthralgias/arthritis pada
org dewasa
• Peripheral neuritis
• encephalitis
• thrombocytopenic purpura
(jarang)
• Congenital rubella
syndrome
– Infeksi pada trimester
pertama
– IUGR, kelainan mata, tuli,
kelainan jantung, anemia,
trombositopenia, nodul kulit.
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum
• Human Herpes Virus 6 • Demam tinggi 3-4 hari
(and 7) • Demam turun mendadak
• Yg rentan: 6-36 bulan dan mulai timbul ruam
(puncak 6-7 bulan) kulit.
• Musim: sporadik • Kejang yang mungkin
• Inkubasi: 9 hari timbul berkaitan dengan
• Masa infeksius: berada infeksi pada meningens
dalam saliva secara oleh virus.
intermiten sepanjang
hidup; infeksi
asimtomatik persisten.
Scarlet Fever
• Sindrom yang memiliki • Rash : Timbul 12-48 jam
karakteristik: faringitis setelah onset demam. Dimulai
eksudatif, demam, dan rash. dari leher kemudian menyebar
• Disebabkan oleh group Abeta- ke badan dan ekstremitas.
hemolyticstreptococci • Pemeriksaan : Throat culture
(GABHS) positive for group A strep
• Masa inkubasi 1-4 hari. • Tatalaksana : Antibiotik
• Manifestasi pada kulit diawali antistreptokokal minimal 10
oleh infeksi streptokokus hari (Eritromisin atau Penicillin
(umumnya pada G)
tonsillopharynx): nyeri
tenggorokan dan demam
tinggi, disertai nyeri kepala,
mual, muntah, nyeri perut,
myalgia, dan malaise.
Scarlet Fever. http://emedicine.medscape.com/article/1053253-overview
118. Protein intolerance
• Beberapa makanan dapat menjadi antigen bagi manusia, terutama
produk-produk protein
• Beberapa contoh paling sering berdasarkan usia:
1. Masa bayi: susu, soy bean
2. Masa kanak-kanak: protein telur
• Sebagian besar bersifat IgE mediated, dan ada juga yang non-IgE
mediated
• Gejalanya antara lain:
1. Saluran cerna (50%-80%): mual, muntah, nyeri perut, mencret.
Spesifik: oral allergy syndrome, esofagitis eosinofilik, gastritis
eosinofilik, gastroenteritis eosinofilik, konstipasi kronik
2. Cutaneous (20%-40%): urtikaria, dermatitis atopi
3. Respiratori (4%-25%): asma dan rinitis
4. Anafilaksis
MODALITAS PEMERIKSAAN
PEMERIKSAAN INTOLERANSI
• Skin test dengan ekstrak makanan
• Serum immunoassay (ELISA)
• Fecal leukocyte testing
• Atopy patch testing
• Diet eliminasi
• Food challenge test
PEMERIKSAAN LAB
• Total serum IgE
• Basophile meningkat
• Eosinophile meningkat
Intoleransi Laktosa VS Milk Allergy
INTOLERANSI LAKTOSA MILK ALLERGY
o reaksi hipersensitivitas terhadap
o Ketidakmampuan tubuh untuk
protein susu sapi. Dapat melalui 2
mencerna “gula susu/laktosa”
Definisi mekanisme : 1). Diperantarai IgE ; 2).
akibat defisiensi enzim laktase.
Non IgE (rx hipersensitivitas tipe IV)
o reaksi non – imunologis

o mual, keram perut, kembung,


Manifestasi tidak hanya pada sal. cerna,
nyeri perut, flatus dan diare
Manifestasi tetapi juga pada mukosa, kulit, hingga
o gejala muncul dalam waktu 15
klinis saluran napas
menit hingga beberapa jam
setelah mengkonsumsi laktosa
o Double blind placebo controlled food
o Analisis tinja :
challenge (DBPCFC)  gold standar
• Metode klini test
 lebih banyak untuk riset
• Kromatografi tinja
o pemeriksaan lain yang resiko lebih
Pemeriksaan • pH tinja  tinja bersifat asam
rendah namun memiliki efikasi yg
Klinis o Pemeriksaan radiologis lactosa-
sama
barium meal
• skin prick test, pengukuran
o Ekskresi galaktos pada urin
antibodi IgE spesifik terhadap
o Uji hidrogen napas
protein susu sapi, patch test
119. Infeksi HIV pada bayi dan Anak
• Infeksi pada bayi atau anak oleh HIV (Human
Immunodeficiency Virus) sebagian besar
ditransmisi secara vertikal dari ibu ke bayinya
pada saat proses kehamilan, persalinan, dan
melalui ASI.
• Transmisi secara horizontal melalui transfusi
produk darah atau penularan lain seperti
kekerasan seksual pada anak jarang
Infeksi HIV dan AIDS pada Anak
Epidemiologi
• Sebagian besar anak HIV lahir di negara
berkembang
• Pada tahun 2004, 640.000 anak <15 tahun
terinfeksi HIV
• Infeksi HIV pada anak memburuk lebih cepat
dibandingkan dewasa, beberapa meninggal
dalam 1-2 tahun setelah terinfeksi
• Hal ini terkait dengan deplesi limfosit CD4 yang
cepat
Etiologi
• Single stranded RNA
• Family Retroviridae
• Genus Lentivirus
• HIV-1 & 2
• Genom terdiri 3 atas bagian:
– Regio GAG  mengkode inti protein p24, p17, p9,
p6 yang didapat dari prekursor p55.
– Regio POL  mengkode enzim virus seperti reverse
transcriptase p51, protease pl0, and integrase p32
– Regio ENV  mengkode protein amplop virus (gp120
dan gp41)
Transmisi
• Transmisi HIV-1 terjadi via:
– Sexual
– Darah
– Transmisi vertikal dari ibu ke anak
• Rute primer untuk anak-anak terkena infeksi HIV-1
• Pemberian obat ARV pada ibu yang terinfeksi HIV
menurunkan angka kejadian transmisi ke anak
Transmisi
• Transmisi Vertical HIV terjadi pada 3 periode :
– Periode 1, intrauterine:
• Via darah  virus masuk ke fetus melewati plasenta atau
membran amnion terutama jika membran mengalami inflamasi
atau infeksi
• 30–40% neonatus yang terinfeksi mengalami infeksi IU

– Periode 2, persalinan
• Sebagian besar anak terinfeksi HIV pada periode ini
• Infeksi terjadi pada anak yang terpajan darah ibu dan sekresi
servikovaginal di jalan lahir
• Semakin lama anak terpajan darah dan sekret, maka semakin
tinggi resiko terinfeksi
• Bayi prematur dan BBLR beresiko lebih tinggi terinfeksi karena
sistem imun di kulit dan tubuh belum sempurna
– Periode 3, setelah lahir (ASI):
• Lebih sering terjadi pada anak di negara yang
berkembang
• Rekomendasi WHO  anak dari ibu dengan HIV yang
memiliki penyakit yang menyebabkan resiko kematian
meningkat (pneumonia, diare, malnutrisi) harus tetap
diberikan ASI eksklusif
• Manfaat ASI > resiko tertular HIV
• Faktor resiko terjadinya transmisi vertikal
– Bayi prematur (34 mgu)
– Jumlah CD4 ibu yang rendah
– BBL <2500 g
– Ketuban pecah >4 jam
– Tidak adanya penggunaan ARV selama kehamilan
• SC dan pemberian zidovudin pada ibu dan anak 
resiko transmisi menurun sebanyak 87%
• Direkomendasikan SC jika viral load >1000 kopi/ml
• Bayi dan anak memerlukan tes HIV bila:
– 1. Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV
seperti TB berat atau mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau
pneumonia berulang dan diare kronis atau berulang)
– 2. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan
perlakuan pencegahan penularan dari ibu ke anak
– 3. Untuk mengetahui status bayi/anak kandung dari ibu yang
didiagnosis terinfeksi HIV (pada umur berapa saja)
– 4. Untuk mengetahui status seorang anak setelah salah satu
saudara kandungnya didiagnosis HIV; atau salah satu atau kedua
orangtua meninggal oleh sebab yang tidak diketahui tetapi
masih mungkin karena HIV
– 5. Terpajan atau potensial terkena infeksi HIV melalui jarum
suntik yang terkontaminasi, menerima transfusi berulang dan
sebab lain
– 6. Anak yang mengalami kekerasan seksual
Diagnosis HIV
• Anamnesis • Pemeriksaan fisis
– Ibu atau ayah memiliki risiko – Demam berulang/berkepanjangan
untuk terinfeksi HIV (riwayat – Berat badan turun secara progresif
narkoba suntik, promiskuitas,
– Diare persisten
pasangan dari penderita HIV,
pernah mengalami operasi atau – Kandidosis oral
prosedur transfusi produk darah) – Otitis media kronik
– Riwayat morbiditas yang khas – Gagal tumbuh
maupun yang sering ditemukan – Limfadenopati generalisata
pada penderita HIV. – Kelainan kulit
– Riwayat kelahiran, ASI, – Pembengkakan parotis
pengobatan ibu, dan kondisi
– Infeksi oportunistik yang dapat
neonatal
dijadikan dasar untuk pemeriksaan
laboratorium HIV:
• Tuberkulosis
• Herpes zoster generalisata
• Pneumonia P. Jiroveci
• Pneumonia berat
Manifestasi Klinis
• Infeksi
– Infeksi berulang (bakteremia, meningitis, sepsis)
– OMA, sinusitis, infeksi kulit  lebih sering terjadi
– Infeksi oleh patogen yang tidak biasa
• PCP (paling sering pada anak terutama di usia 3-6
bulan, kematian tertinggi pada usia <1 tahun)
– Akut  Demam, takipnea, dyspnea, hipoxemia
– Infiltrat interstisial, efusi pleura, lesi nodular, infiltrat lobular
– 1st line  TMP-SMZ IV (15–20 mg/kg/hr TMP dan 75–100
mg/kg/hrSMZ tiap 6 jam ) + steroid, jika membaik bisa diganti
oral
– Infeksi jamur berulang seperti kandidiasis yang
tidak respon terhadap pengobatan standar
• Terjadi pasca neonatus, tidak menggunakan obat AB ,
>30 hari atau kambuh walau telah diobati.
• Luas melebihi bagian lidah
– Infeksi virus berulang atau yang jaranga terjadi
seperti herpes simpleks, zooster, CMV retinitis
– Campak  lebih berat, namun rash dan gejala
tidak khas
Pemeriksaan HIV pada Anak
• Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak
berumur < 18 bulan.
• Uji serologis:
– Umur <18 bulan – digunakan sebagai uji untuk menentukan ada
tidaknya pajanan HIV
– Umur >18 bulan – digunakan sebagai uji diagnostik konfirmasi
• Diagnosis pada anak > 18 bulan memakai cara yang sama
dengan uji HIV pada orang dewasa (rapid test/ Enzyme
Immunoassay/ Westernblot pada kasus yang sulit)
• Perhatian khusus untuk anak yang masih mendapat ASI
pada saat tes dilakukan, uji HIV baru dapat diinterpretasi
dengan baik bila ASI sudah dihentikan selama > 6 minggu.
Diagnosis HIV pada Bayi
• Uji virologi:
– Dilakukan setelah bayi berumur 6 minggu
– PCR DNA  sampel darah lengka atau dried blood spot
– Jika pada pemeriksaan virologi pertaman  (+) langsung
diberikan ARV bersamaan pemeriksaan kedua
• Uji Serologi
– <18 bln: menentukan paparan HIV selama kehamilan dan
persalinan; >18 bln: Uji diagnostic
– <18 bln klinis baik, terpapar HIV (+), uji virologi belum 
uji serologi usia 9 bl
– <18 bln, gejala HIV (+), uji virologi tidak tersedia 
diagnosis presumtif

Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan. Kemenkes. 2015
Skenario
Pemeriksaan
HIV
Alur diagnosis
HIV pada bayi
dan anak
umur kurang
dari 18 bulan

Idealnya dilakukan pengulangan uji virologi HIV


pada spesimen yang berbeda untuk kon rmasi hasil
posi f yang pertama. Pada keadaan yang terbatas,
uji an bodi HIV dapat dilakukan setelah usia 18
bulan untuk kon rmasi infeksi HIV.
Rekomendasi inisiasi ARV pada Anak dan
Dewasa
Populasi
Rekomendasi
Dewasa dan anak > 5 tahun Inisiasi ARV pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3
a Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu,
kemudian obat ARV diberikan dalam 2-8
dan 4a, atau jika jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm3
minggu sejak mulai obat TB, tanpa
menghentikan terapi TB. Pada ODHA dengan Inisiasi ARV tanpa melihat stadium klinis WHO dan
CD4 kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus
dimulai dalam 2 minggu setelah mulai berapapun jumlah CD4
pengobatan TB. Untuk ODHA dengan
meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5
 Koinfeksi TBa
minggu pengobatan kriptokokus.  Koinfeksi Hepatitis B
b Dengan memperhatikan kepatuhan
c Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis  Ibu hamil dan menyusui terinfeksi HIV
terinfeksi HIV dengan cara
presumtif, maka harus segera mendapat
 Orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV negatif
terapi ARV. Bila dapat segera dilakukan (pasangan serodiskordan), untuk mengurangi risiko
diagnosis konfirmasi (mendapat kesempatan
pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18 bulan penularan
atau menunggu sampai umur 18 bulan
untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV
 LSL, PS, atau Penasun (pengguna narkoba suntik)b
ulang), maka perlu dilakukan penilaian ulang  Pada wilayah dengan epidemi HIV meluas (> 1% pada
apakah anak pasti terdiagnosis HIV atau tidak.
Bila hasilnya negatif, maka pemberian ARV populasi umum atau ibu hamil)
dihentikan.

Anak < 5 tahun Inisiasi ARV tanpa melihat stadium klinis WHO dan
berapapun jumlah CD4c
ARV lini pertama untuk anak > 5 tahun dan dewasa, termasuk
wanita hamil dan menyusui, pasien koinfeksi hepatitis B, dan pasien
dengan koinfeksi TB

ARV Lini Pertama untuk dewasa


Paduan pilihan TDFa + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk
KDTc
Paduan AZTb + 3TC + EFV (atau NVP)
alternatif TDFa + 3TC (atau FTC) + NVP

aJangan memulai dengan TDF jika CCT hitung < 50 ml/menit, atau pada kasus
diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal
bJangan memulai dengan AZT jika Hb < 7 g/dl sebelum terapi
cKombinasi dosis terpadu (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV

• TDF: tenofovir, AZT: zidovudin, 3TC: lamivudin, EFV: efavirenz, NVP:


nevirapine, ABC: abacavir, LPV/r: lopinavir/ritonavir; FTC: emtricitabin
Paduan ARV lini pertama pada anak usia
kurang dari 5 tahun
• Pprinsip paduan ARV lini pertama <5 tahun pada anak sama
seperti orang dewasa, yaitu menggunakan kombinasi 2 NRTI
dan 1 NNRTI dengan pilihan seperti pada tabel

a Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama. Namun bila Hb anak < 7,5 g/dl maka dipertimbangkan pemberian
Stavudin(d4T).
b Dengan adanya risiko efek samping pada penggunaan d4T jangka panjang, maka dipertimbangkan mengubah d4T ke
AZT (bila Hb anak > 10 gr/dl) setelah pemakaian 6 – 12 bulan. Bila terdapat efek anemia berulang maka dapat kembali ke
d4T.
c Tenofovir saat ini dapat digunakan pada anak usia di atas 2 tahun.
Selain itu perlu dipertimbangkan efek samping osteoporosis pada tulang anak yang sedang bertumbuh karena
penggunaan ARV diharapkan tidak mengganggu pertumbuhan tinggi badan.
d EFV dapat digunakan pada anak ≥ 3 tahun atau BB ≥ 10 kg, jangan diberikan pada anak dengan gangguan psikiatrik
berat. EFV adalah pilihan pada anak dengan TB.
Jika berat badan anak memungkinkan, sebaiknya gunakan KDT.
120. Asfiksia Neonatal

Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
Transient tachypnea of the newborn
(TTN)
• Transient tachypnea of the newborn (TTN) is a parenchymal lung disorder
characterized by pulmonary edema resulting from delayed resorption and
clearance of fetal alveolar fluid
• TTN develops in infants born prematurely or after cesarean delivery
without labor because mechanisms to reabsorb alveolar fluid have not
been initiated Delivery before completing 39 weeks of gestation
• Other risk factor:
– Male sex
– Large for gestational age
– Small for gestational age
– Perinatal asphyxia
– Maternal asthma
– Maternal gestational diabetes
Patophysiology
• Delayed resorption of fetal lung fluid is thought to be
the underlying cause of TTN.
• Fluid fills the air spaces and moves into the
interstitium, where it pools in perivascular tissues and
interlobar fissures until it is eventually cleared by the
lymphatics or absorbed into small blood vessels.
• The excess lung water in TTN results in decreased
pulmonary compliance.
• Continued perfusion of poorly ventilated alveoli leads
to hypoxemia, and alveolar edema reduces ventilation,
sometimes resulting in hypercapnia.
• As early as 6 weeks of gestation, the fetal lung epithelium begins to secrete alveolar
fluid that is crucial for normal lung growth and contributes to the volume of
amniotic fluid.
• A few days before the onset of spontaneous vaginal delivery, fluid production
decreases.
• With the onset of labor, maternal hormones such as epinephrine and
glucocorticoids stimulate the fetal lungs to begin absorption of alveolar fluid
through activation of an amiloride-sensitive epithelial sodium channel (ENaC).
• Animal studies of α-ENaC knockout mice have shown that when sodium transport
is inactivated, alveolar fluid retention occurs, which leads to respiratory distress
and death.
• The clearance of fetal lung fluid begins with passive sodium transport across ENaC
proteins, which are found on the apical membrane of alveolar type II pneumocytes.
• After sodium enters the type II cell, it is actively transported into the pulmonary
interstitium via a basolateral sodium-potassium (Na+/K+) ATPase pump.
• This creates an osmotic gradient that allows chloride and water to follow and be
absorbed into the pulmonary circulation and lymphatics
• It is through this mechanism that most of the fetal lung fluid is cleared.
• Starling forces and the thoracic “squeeze” through the birth canal contribute
minimally toward fluid elimination.
Mechanism of fetal lung fluid
clearance

Mechanism of fetal lung fluid clearance. During maternal labor, epithelial sodium
channels (ENaC) are activated and sodium (Na+) is passively transported into type II
pneumocytes. Na+ then actively moves into the pulmonary interstitium, which is
followed by the movement of chloride (Cl-) and water (H2O). This liquid is ultimately
cleared into the pulmonary vasculature and lymphatics.
Transient Tachypnea of Newborn

(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial
dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan
dengan perbaikan klinis.
Chest radiograph of an infant with transient
tachypnea of the newborn (TTN)
demonstrating prominent perihilar pulmonary
vascular markings in a “sunburst” pattern.

Chest radiograph of an infant with transient


tachypnea of the newborn (TTN)
demonstrating hyperinflated lungs and
increased perihilar interstitial markings.
Distres Pernapasan pada Neonatus
KELAINAN GEJALA
Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat, terdapat
Sindrom aspirasi staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku, atau tali pusar.
mekonium Pada radiologi tampak air trapping dan hiperinflasi paru, patchy
opacity, terkadang atelektasis.
Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran SC,
Respiratory distress
gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi tampak
syndrome (penyakit
gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular appearance, air
membran hyalin)
bronkogram, ekspansi paru jelek.
Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul setelah
Transient tachypnea of lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir. Pada radiologi
newboorn tampak peningkatan corakan perihilar, hiperinflasi, lapangan paru
perifer bersih.

Terdapat risiko pneumonia (KPD, demam pada ibu, cairan amnion


Pneumonia neonatal berbau, dsb). Gejala meliputi gejala distress dan gejala sepsis.
Gambaran radiologis : Diffuse, relatively homogeneous infiltrates

Asfiksia perinatal
Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah, terdapat
(hypoxic ischemic
kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
encephalopathy)
Tatalaksana

• Tidak ada penanganan khusus


• Jarang perlu perawatan level 2 atau 3
• Makanan per oral setiap 3 jam melalui sonde
lebih dianjurkan

1201
121. Tetanus Neonatorum

• Tetanus : Penyakit spastik paralitik akut akibat toksin


tetanus (tetanospasmin) yang dihasilkan Clostridium tetani.
Tanda utama : spasme tanpa gangguan kesadaran
• Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya
infeksi tali pusat, gejala yang sering timbul adalah
ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti
oleh kekakuan dan spasme.
• Kejadian tetanus neonatorum sangat berhubungan dengan
aspek pelayanan kesehatan neonatal, terutama pelayanan
persalinan (persalinan yang bersih dan aman), khususnya
perawatan tali pusat
• Komplikasi yang ditakutkan adalah spasme otot diafragma
GEJALA KLINIS, DIAGNOSIS, & PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Pada tetanus neonatorum • Diagnosis berdasarkan tanda dan


Gejala
ditemukan kekakuan dan • Pemeriksaan Penunjang
spasme dan posisi tubuh – Hanya dilakukan untuk membedakan
dengan sepsis atau meningitis
klasik: trismus, kekakuan pada – Pungsi lumbal
otot punggung menyebabkan – Darah rutin, kultur, dan sensitivitas
opisthotonus yang berat
dengan lordosis lumbal.
– Bayi mempertahankan ekstremitas
atas fleksi pada siku dengan tangan
mendekap dada, pergelangan
tangan fleksi, jari mengepal,
ekstremitas bawah hiperekstensi
dengan dorsofleksi pada
pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.
Tatalaksana

• Diazepam 10 mg/kg/hari secara IV dalam 24 jam atau bolus IV setiap 3-6


jam (0,1-0,2 mg/kg per kali), maksimum 40 mg/kg/hari
• Human tetanus imunoglobulin 500 U IM atau Antitoksin Tetanus Serum
5000 U IM
• Metronidazol 30 mg/kg/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari
• Berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat
• Bila terjadi spasme berulang atau gagal napas, rujuk ke RS dengan NICU
• Langkah promotif/preventif :
– Pelaksanaan Pelayanan Neonatal Esensial, lakukan pemotongan tali pusat
secara steril
– Tidak mengoles atau menabur sesuatu yang tidak higienis pada tali pusat
– Bila sudah terjadi infeksi tali pusat, berikan pengobatan yang tepat dengan
antibiotik lokal dan sistemik jika diperlukan
122. Glomerulonefritis akut
• Glomerulonefritis akut kondisi yang ditandai dengan edema, hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (sindrom nefritik) di mana terjadi
inflamasi pada glomerulus
• Glomerulonefritis disebabkan oleh beberapa macam kelainan yang
memiliki karakteristik berupa kerusakan glomerulus akibat inflamasi
• Glomerulonefritis akut post streptococcal merupakan salah satu bentuk
tersering dari glomerulonefritis akut
• Gejala klinis:
 Gross hematuria: urin berwarna seperti the atau coca-cola
 Oliguria
 Edema
 Nyeri kepala, merupakan gejala sekunder akibat hipertensi
 Dyspneabisa akibat edema paru atau gagal jantung yang mungkin terjadi
 Hipertensi

Niaudet P. Overview of the pathogenesis and causes of glomerulonephritis in children. UpToDate, 2016
Parmar MS. Acute glomerulonephritis. Emedicine, 2016
Mekanisme GNAPS
• Terdapat 4 mekanisme yang mungkin menimbulkan
GNAPS:
1. Adanya kompleks imun dengan antigen streptokokal
yang bersirkulasi dan kemudian terdeposisi.
2. Deposisi dari antigen streptokokus pada membrane
basal glomerulus yang berikatan dengan antibody
sehingga terbentuk kompleks imun.
3. Adanya antibody terhadap antigen streptokokal yang
bereaksi terhadap komponen glomerulus yang
menyerupai antigen streptokokus (molecular mimicry)
4. Adanya proses autoimun
• Dari keempat mekanisme tersebut, mekanisme kedua
adalah mekanisme pathogenic yang paling banyak
ditemukan.
Pemeriksaan penunjang
• Urinalisis
• Proteinuria, hematuria, dan adanya silinder eritrosit
• Peningkatan ureum dan kreatinin
• GNAPS:
• ASTO meningkat (ASTO: antibodi terhadap streptolysin
O, yang merupakan toxin yang diproduksi oleh kuman
grup A)
• Komplemen C3 menurun pada minggu pertama
• Hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia,
dan hipokalsemia pada komplikasi gagal ginjal akut
Tatalaksana
• Golongan penisilin dapat diberikan untuk eradikasi
kuman, yaitu amoksisilin 50 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis selama 10 hari.
– Jika alergi penisilin, dapat diberikan eritromisin 30
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis.
• Diuretik diberikan untuk mengatai retensi cairan dan
hipertensi  loop diuretik  furosemide 1 mg/kg/kali,
2-3x/hari
• Jika terdapat hipertensi berikan obat anti hipertensi 
CCB atau ACE inhibitor
• Diet nefritis untuk mengurangi retensi cairan dan
meningkatkan fungsi ginjal  restriksi garam dan
cairan
Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010
123. Reaksi Hipersensitivitas
Type Prototype Disorder Immune Mechanisms Pathologic Lesions
Vascular dilation, edema,
Anaphylaxis; Production of IgE antibody ➙ immediate
smooth muscle
allergies; bronchial release of vasoactive amines and other
Tipe I Immediate contraction, mucus
asthma (atopic mediators from mast cells; recruitment of
production,
forms) inflammatory cells (late-phase reaction)
inflammation

Autoimmune Production of IgG, IgM ➙ binds to antigen


Antibody- hemolytic anemia; on target cell or tissue ➙ phagocytosis or
Tipe II Cell lysis; inflammation
mediated Goodpasture lysis of target cell by activated complement
syndrome or Fc receptors; recruitment of leukocytes

Systemic lupus
Deposition of antigen-antibody complexes
erythematosus;
Immune ➙ complement activation ➙ recruitment Necrotizing vasculitis
Tipe some forms of
complex of leukocytes by complement products and (fibrinoid necrosis);
III glomerulonephritis;
mediated Fc receptors ➙ release of enzymes and inflammation
serum sickness;
other toxic molecules
Arthus reaction
Contact dermatitis;
multiple sclerosis; Perivascular cellular
Cell- Activated T lymphocytes ➙ i) release of
Tipe type I, diabetes; infiltrates; edema; cell
mediated cytokines and macrophage activation; ii) T
IV transplant destruction; granuloma
(delayed) cell-mediated cytotoxicity
rejection; formation
tuberculosis
Sources: Robbins & Cotran’s Pathologic Basis of Disease. 7th ed. 2005.
Fase Dini/ Initial Response
Terjadi beberapa menit setelah terpapar alergen yang sama untuk kedua
kalinya
puncaknya 15-20 menit pasca paparan
berakhir 60 menit kemudian

REAKSI HIPERSENSITIFITAS TIPE I

Fase Lanjut/ Late Phase Reaction


Disebabkan akumulasi dan infiltrasi eosinofil, neutrofil, basofil, limfosit
dan makrofag sehingga terjadi inflamasi
berlangsung 4-8 jam, dapat menetap beberapa hari
Tipe I (IgE-Mediated type)
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Syok Anafilaktik pada Anak

• ‘‘Anaphylaxis is a serious allergic reaction that is rapid in onset and may


cause death.’’
• Anaphylaxis involves an immunoglobulin E (IgE)–mediated immediate
hypersensitivity reaction resulting in the release of potent chemical
mediators from mast cells and basophils. – Hipersensitivitas tipe 1
• most effects involve the cutaneous, respiratory, cardiovascular, and
gastrointestinal systems.
• Children withatopy, including asthma, eczema, and allergic rhinitis, are at
higher risk of anaphylaxis.
• The severity of a previous reaction does not necessarily predict the
severity of a subsequent reaction.
• Certainly, individuals with a previous anaphy- lactic reaction are at higher
risk for recurrence.

Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
• Diagnosis didasarkan atas temuan klinis
• Hati-hati karena 69% anak yg menderita anafilaksis tidak
memiliki riwayat alergi terhadap agen kausatifnya.
• Gejala bisa timbul dalam hitungan detik hingga beberapa jam
(pada anak rata-rata muncul 5-30 menit postexsposure)
• 80% – 90% mengalami gejala kutaneus, termasuk flushing,
pruritus, urtikaria, diaphoresis, sensasi panas, dan
angioedema.
• Gejala pernapasan muncul hingga 94% kasus
• Gejala tersering: rasa tercekik, pruritus, serak, stridor, dada
terasa berat, wheezing, dan hipoksemia.

Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
SYSTEM S I G N S A N D S Y M P TO M S
Fussiness, irritability, drowsiness, lethargy, reduced level of
General/CNS
consciousness, somnolence

Skin Urticaria, pruritus, angioedema, flushing

Stridor, hoarseness, oropharyngeal or laryngeal edema, uvular


Upper airway edema, swollen lips/tongue, sneezing, rhinorrhea, upper airway
obstruction

Lower airway Coughing, dyspnea, bronchospasm, tachypnea, respiratory arrest

Tachycardia, hypotension, dizziness, syncope, arrhythmias,


Cardiovascular
diaphoresis, pallor, cyanosis, cardiac arrest

Gastrointestinal Nausea, vomiting, diarrhea, abdominal pain


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3043023/
Pharmacological management of anaphylaxis
DRUG AND ROUTE OF FREQUENCY OF PA E D I AT R I C D O S I N G
A D M I N I S T R AT I O N A D M I N I S T R AT I O N (MAXIMUM DOSE)
Immediately, then every 5–15 min as
Epinephrine (1:1000) IM 0.01 mg/kg (0.5 mg)
required
6 months to <2 years: 2.5 mg OD
Cetirizine PO Single daily dose 2–5 years: 2.5–5 mg OD
>5 years: 5–10 mg OD
Every 4–6 h as required for cutaneous
Diphenhydramine IM/IV 1 mg/kg/dose (50 mg)
manifestations
Every 8 h as required for cutaneous
Ranitidine PO/IV 1 mg/kg/dose (50 mg)
manifestations
Corticosteroids: prednisone PO
Every 6 h as required 1 mg/kg PO (75 mg) or 1 mg/kg IV (125 mg)
or methylprednisolone IV
Every 20 min or continuous for
5–10 puffs using MDI or 2.5–5 mg by
Salbutamol respiratory symptoms (wheezing or
nebulization
shortness of breath)
Every 20 min to 1 h for symptoms of
Nebulized epinephrine (1:1000) 2.5–5 mL by nebulization
upper airway obstruction (stridor)
Continuous infusion for hypotension –
Epinephrine IV (infusion) 0.1–1 μg/kg/min (maximum 10 μg/min)
titrate to effect
Bolus followed by continuous infusion – 20–30 μg/kg bolus (maximum 1 mg), then
Glucagon IV
titrate to effect infusion at 5–15 μg/min
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3043023/
124. Balantidiasis
Balantidium coli

~70 x 45 m ~55 m
(up to 200 m)
Balantidiasis: Gejala
• Biasanya asimptomatik
• Kista atau trofozoit dalam feses
• Gejala umum
– Diare kronik, disentri, mual, napas berbau, kolitis, nyeri perut

(A) B. coli trophozoite


in a Mann's
hematoxylin-stained
smear, 500x
magnification. Note the
cytosome (black arrow)
and the bean-shaped
macronucleus.
(B) B. coli trophozoite
in a wet mount, 1000x
magnification. Note the
visible cilia on the cell
surface.
Balantidiasis: Terapi
Terapi Balantidiasis
• Antibiotik tetrasiklin/ metronidazol/ iodoquinol

– Tetracycline: Dewasa 500 mg, PO, 4x/hari selama 10 hari;


Anak ≥ 8 tahun, 40 mg/kg/hari (max. 2 gram), PO, 4x/hari
selama 10 hari
• Note: kontraindikasi pada wanita hamil dan anak < 8 tahun

– Metronidazole: Dewasa, 500-750 mg, PO, 3x/hari selama 5


hari; Anak, 35-50 mg/kg/hari, PO, dibagi 3 dosis selama 5
hari

– Iodoquinol: Dewasa, 650 mg, PO, 3x/hari selama 20 hari;


Anak, 30-40 mg/kg/hari (max 2 g), PO, dibagi 3 dosis
selama 20 hari

http://www.cdc.gov/dpdx/balantidiasis/tx.html
125. Hemofilia
• Hemophilia merupakan kelainan hematologi yang
bersifat diturunkan yang paling banyak dijumpai.
• Terdapat 3 tipe:
– Hemophilia A : defisiensi faktor VIII (tersering)
– Hemophilia B : defisiensi factor IX (christmas disease)
– Hemophilia C : defisiensi faktor XI
• Penyakit ini diturunkan dengan sifat X linked resesif
(gen faktor VIII/IX berada di distal lengan panjang (q)
dari kromosom X
• Gejala mulai muncul saat pasien sudah bisa
merangkak
• Perempuan hanya sebagai karier/pembawa gen
Epidemiologi
• Insidensi:
- hemophilia A (± 85%)  1 : 5,000 – 10,000 laki-laki
(atau 1 : 10,000 dari laki-laki yang lahir hidup)
- hemophilia B (± 15%)  1 : 23,000 – 30,000 laki-laki
(atau 1 : 50,000 dari laki-laki yang lahir hidup)
• Sekitar 70% penderita hemofilia memiliki riwayat
keluarga yang memiliki penyakit kelainan pada
pembuluh darah
• Manifestasi klinisnya terbagi dalam 3 derajat: mild,
moderate, severe

Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.


http://www.cdc.gov/ncbddd/hemophilia/inheritance-pattern.html
Clinical manifestation
• Bleeding:
• usually deep (hematoma, hemarthrosis)
• spontaneous or following mild trauma
• Type:
 Hemarthrosis
 Hematoma
 Intracranial hemorrhage
 Hematuria
 Epistaxis
 Bleeding of the frenulum (baby)
Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.
Diagnosis
 history of abnormal bleeding in a boy
 normal platelet count
 bleeding time usually normal
 clotting time: prolonged
 prothrombin time usually normal
 partial thromboplastin time prolonged
 decreased antihemophilic factor
Antenatal diagnosis
 antihemophilic factor level
 F-VIII/F-IX gene identification (DNA analysis)
Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.
Classification of Hemophilia A & B

5-40% (emedicine)
126. Keracunan Sianida

• Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik  garam sianida


dosis kecil dapat menyebabkan kematian dengan cepat
• Kematian akibat keracunan CN  umumnya pada pembunuhan
atau bunuh diri
• Adanya racun dalam umbi gadung sudah sejak lama diketahui. Jenis
racun yang ada antara lain:
– Dioscorin: Dioskorin dilaporkan memiliki sifat sebagai antioksidan,
antiinflamatori, anti serangga, antipatogen serta memperlihatkan
aktivitas inhibisi terhadap tripsin.
– HCN (sianida) dikenal sebagai racun yang mematikan. HCN akan
menyerang langsung dan menghambat sistem antar ruang sel, yaitu
menghambat sistem cytochroom oxidase dalam sel-sel, hal ini
menyebabkan zat pembakaran (oksigen) tidak dapat beredar ketiap-
tiap jaringan sel-sel dalam tubuh
• Hidrogen sianida (HCN) atau racun asam biru 
adanya bercak warna biru pada singkong
• Menjadi toksin (racun) bila dikonsumsi pada kadar
HCN lebih dari 50 ppm.
• Mekanisme kerja sianida dalam tubuh
– Hidrogen sianida menginaktivasi enzim sitokrom oksidase
dalam mitokondria sel dengan mengikat Fe3 + / Fe2 + yang
terkandung dalam enzim  penurunan dalam
pemanfaatan oksigen dalam jaringan oksigen menurun
terutama jaringan otak  asfiksia, hipoksia dan kejang.
– Sianida menyebabkan peningkatan glukosa darah dan
kadar asam laktat dan penurunan ATP / ADP rasio yang
menunjukkan pergeseran dari aerobik untuk metabolisme
anaerobik.
• Penatalaksanaan pasien keracunan sianida oleh petugas
medis adalah sbb :
1. Stabilisasi pasien melalui penatalaksanaan jalan nafas, fungsi
pernafasan dan sirkulasi
2. Rangsang muntah dan kumbah lambung dilakukan tidak boleh
dari 4 jam setelah mengkonsumsi singkong beracun.
3. Pemberian arang aktif dengan dosis 1 g/kg atau 30-100 gram
dan anak-anak 15 – 30 gram
4. Antidotum : antidotum diberikan jika pasen mengalami
penurunan kesadaran atau koma
• Natrium siosulfat 25% melalui intravena 400 mg/kg atau 1,6 cc/kg
maks 50 cc (12,5 g)
• Amyl nitrit per inhalasi
• Natrium nitrit 3% 10 mg/kg atau 0,33 cc/kg
• Larutan hydroxocobalamin 40%
• Dimethylaminophenol (4-DMAP) 5%
• Larutan Dicobalt edetat 1,5%
127. Cedera Pleksus Brachialis
• Lesi pleksus brakhialis adalah lesi saraf yang
menimbulkan kerusakan saraf yang membentuk
pleksus brakhialis, mulai dari “radiks” saraf
hingga saraf terminal.
• Keadaan ini dapat menimbulkan gangguan fungsi
motorik, sensorik atau autonomic pada
ekstremitas atas.
• Istilah lain yang sering digunakan yaitu neuropati
pleksus brakhialis atau pleksopati brakhialis
Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.
Etiologi
1. Trauma
Merupakan penyebab terbanyak lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa
maupun neonatus. Keadaan ini dapat berupa ; cedera tertutup, cedera terbuka,
cedera iatrogenic.
2. Tumor
Dapat berupa tumor neural sheath yaitu ; neuroblastoma, schwannoma,
malignant peripheral nerve sheath tumor dan meningioma. Tumor non-neural ;
jinak (desmoid, lipoma), malignant ( kangker mammae dan kangker paru)
3. Radiation-induced
Frekuensi cedera pleksus brachialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak
1,8 – 4,9% dari lesi dan paling sering pada pasien kangker mammae dan paru.
4. Entrapment
Keadaan ini merupakan penyebab cedera pleksus brakhialis pada thoracic outlet
syndrome. Faktor lain yaitu payudara berukuran besar yang dapat menarik
dinding dada ke depan (anterior dan inferior).
5. Idiopatik
Pada Parsonage Turner Syndrome terjadi pleksitis tanpa diketahui penyebab yang
jelas namun diduga terdapat infeksi virus yang mendahului. Presentasi klasik
adalah nyeri dengan onset akut yang berlangsung selama 1 – 2 minggu dan
kelemahan otot timbul lebih lambat. Nyeri biasanya hilang secara spontan dan
pemulihan komplit terjadi dalam 2 tahun.
Sindroma Erb-Duchenne
• Lesi di radiks servikal atas (C5 dan C6) atau trunkus superior dan biasanya
terjadi akibat trauma.
• Pada bayi biasanya akibat distosia bahu, orang dewasa terjadi karena
jatuh pada bahu dengan kepala terlampau menekuk kesamping.
• Presentasi klinis pasien berupa waiter’s tip position dimana lengan
berada dalam posisi adduksi (kelemahan otot deltoid dan supraspinatus),
rotasi internal pada bahu (kelemahan otot teres minor dan
infraspinatus), pronasi (kelemahan otot supinator dan brachioradialis)
dan pergelangan tangan fleksi (kelemahan otot ekstensor karpi radialis
longus dan brevis).
• Selain itu terdapat pula kelemahan pada otot biseps brakhialis, brakhialis,
pektoralis mayor, subscapularis, rhomboid, levator scapula dan teres
mayor.
• Refleks bisep biasanya menghilang, sedangkan hipestesi terjadi pada
bagian luar (lateral) dari lengan atas dan tangan.
Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.
Sindroma Klumpke’s Paralysis
• Lesi di radiks servikal bawah (C8, T1) atau trunkus inferior dimana
penyebab pada bayi baru dilahirkan adalah karena penarikan bahu
untuk mengeluarkan kepala, sedangkan pada orang dewasa
biasanya saat mau jatuh dari ketinggian tangannya memegang
sesuatu kemudian bahu tertarik.
• Presentasi klinis berupa deformitas clawhand (kelemahan otot
lumbrikalis) sedangkan fungsi otot gelang bahu baik.
• Selain itu juga terdapat kelumpuhan pada otot fleksor carpi ulnaris,
fleksor digitorum, interosei, tenar dan hipotenar sehingga tangan
terlihat atrofi.
• Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi n. Medianus dan
ulnaris.
• Kelainan sensorik berupa hipestesi pada bagian dalam/ sisi ulnar
dari lengan dan tangan.

Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.


“claw
hand”
Netter 1997

2006 Moore & Dalley COA

Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.


Lesi Pan-supraklavikular
(radiks C5-T1 / semua trunkus)
• Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh otot
ekstremitas atas, defisit sensorik yang jelas
pada seluruh ekstremitas atas dan mungkin
terdapat nyeri.
• Otot rhomboid, seratus anterior dan otot-otot
spinal mungkin tidak lemah tergantung dari
letak lesi proksimal (radiks) atau lebih ke distal
(trunkus).

Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.


128. Kejang demam
• Kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 38 C yang TIDAK
disebabkan oleh proses intrakranial
• Mayoritas terjadi pada hari pertama sakit
• Bukan disebabkan infeksi SSP, gangguan metabolik, tidak pernah ada
riwayat kejang tanpa demam.
• Usia antara 6 bulan – 5 tahun, mayoritas usia 12-18 bulan.
• Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam,
namun jarang sekali.
• Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam,
pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat.
• Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini
melainkan termasuk dalam kejang neonatus

Rekomendasi Kejang Demam. 2016. IDAI


Klasifikasi

Kejang • Kejang kurang dari 15 menit


demam • Kejang umum tonik-klonik
• Kejang tidak berulang
sederhana

Kejang • Kejang lebih dari 15 menit


demam • Kejang fokal, fokal menjadi umum
• Kejang berulang dalam 24 jam
kompleks
KET:
1. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam
2. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan laboratorium
– Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
– Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah
perifer, elektrolit, dan gula darah

• Indikasi Pungsi Lumbal (konsensus UKK 2016)


– saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak
berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan
umum baik.
– Indikasi LP:
• Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
• Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis
• Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah
mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan
gejala meningitis.
Pemeriksaan Penunjang
• Indikasi CT scan/MRI
– Tidak diperlukan pada kejang demam sederhana
– Insiden kelainan patologis intrakranial pada kejang demam
kompleks sangat rendah
– Harus dilakukan :
• Makro/mikrosefali
• Kelainan neurologi yang menetap, terutama lateralisasi

• Indikasi EEG
– Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI
apabila bangkitan bersifat fokal untuk menentukan adanya fokus
kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Faktor resiko berulangnya KD
• Faktor risiko :
– Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
– Usia kurang dari 12 bulan
– Suhu tubuh kurang dari 39oC saat kejang
– Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan
terjadinya kejang.
– Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam
kompleks.
• Semua faktor risiko ada, kemungkinan berulang 80%
• Tidak ada faktor risiko kemungkinan berulang 10-15%
Tatalaksana
• Saat kejang : algoritme tatalaksana kejang akut dan SE
• Setelah kejang berhenti :
– Profilaksis atau tidak
– Profilaksis intermiten atau kontinyu
• Antipiretik:
– Tidak mengurangi risiko berulangnya kejang
– Memberikan rasa nyaman bagi pasien
– Mengurangi kekhawatiran orangtua
– Kesimpulan: dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik
tetap dapat diberikan.
– Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6
jam.
– Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Tatalaksana Saat Kejang
• Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4
menit) dan pada waktu pasien datang, kejang sudah
berhenti.
• Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam intravena.
• Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg
perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau
dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
• Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti
algoritma kejang pada umumnya.
Tatalaksana Saat Kejang
• Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital)adalah diazepam rektal.
– Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih
dari 12 kg.
• Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit.
• Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit.
• Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena.
• Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus.
• Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari
indikasi terapi antikonvulsan pro laksis.
Profilaksis Intermiten
• Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.
• Indikasi (salah satu dari):
– Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
– Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
– Usia <6 bulan
– Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
– Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh
meningkat dengan cepat.
• Obat diazepam oral 0,3 mg/kgBB/kali, maksimum 7,5 mg/kali (3
kali sehari) ATAU rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan
<12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg) 3 kali sehari
• Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam.
• ES dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.
Profilaksis Kontinyu/ Rumatan
• Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya
dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang
tidak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan
terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek
• Indikasi pengobatan rumat:
– Kejang fokal
– Kejang lama >15 menit
– Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis. (Pada anak dengan
kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk pemberian
terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak berhasil/orangtua
khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat)
Profilaksis Kontinyu/ Rumatan
• Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang
• Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.
• Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
• Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2
tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
• Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis,
dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
• Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan
rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off ,
namun dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.
DIAGNOSIS DIFERENSIAL INFEKSI SSP
MENINGITIS
KLINIS/LAB. ENSEFALITIS MENING.TBC MENING.VIRUS ENSEFALOPATI
BAKTERIAL

Onset Akut Akut Kronik Akut Akut/kronik


Demam < 7 hari < 7 hari > 7 hari < 7 hari </> 7 hari/(-)
Umum/foka
Kejang Umum Umum Umum Umum
l
Penurunan Somnolen- Variasi, apatis -
Apatis CM - Apatis Apatis - Somnolen
kesadaran sopor sopor
Paresis +/- +/- ++/- - -
Perbaikan
Lambat Cepat Lambat Cepat Cepat/Lambat
kesadaran
Tidak dpt
Etiologi diidentifikas ++/- TBC/riw. kontak - Ekstra SSP
i
Simpt/antivi Atasi penyakit
Terapi Antibiotik Tuberkulostatik Simpt.
ral primer
129. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
• Definisi : suatu kejadian sakit yang terjadi setelah menerima imunisasi
yang diduga disebabkan oleh imunisasi.
KLASIFIKASI KIPI KETERANGAN
Terjadinya KIPI disebabkan oleh karena faktor intrinsik vaksin
Induksi vaksin
terhadap individual resipien. Misalnya, seorang anak menderita
(vaccine induced).
poliomielitis setelah mendapat vaksin polio oral.

Gejala klinis yang timbul dapat terjadi kapan saja, saat ini terjadi oleh
Provokasi vaksin
karena provokasi vaksin. Contoh: Kejang demam pasca imunisasi yang
(vaccine potentiated)
terjadi pada anak yang mempunyai predisposisi kejang

Gejala KIPI timbul sebagai akibat kesalahan pada teknik pembuatan


Kesalahan
dan pengadaan vaksin atau teknik cara pemberian. Contoh: terjadi
(pelaksanaan) program
indurasi pada bekas suntikan disebabkan vaksin yang seharusnya
(programmatic errors)
diberikan secara intramuskular diberikan secara subkutan

KIPI terjadi bersamaan dengan gejala penyakit lain yang sedang


Koinsidensi
diderita. Contoh: Bayi yang menderita penyakit jantung bawaan
(coincidental)
mendadak sianosis setelah diimunisasi
Hadinegoro SR. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari pediatri, Vol.2, No.1. Juni 2000: 2-10
Hadinegoro SR. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari pediatri, Vol.2, No.1. Juni 2000: 2-10
VAKSINASI KIPI

KIPI jarang terjadi, segera setelah imunisasi dapat timbul : demam, tidak
Hepatitis B tinggi, kemerahan pada tempat penyuntikan, pembengkakan, nyeri rasa
mual dan nyeri sendi.

Demam tinggi, rewel, nyeri tempat suntikan, dan pembengkakan yang


DPT akan hilang dalam waktu 2 hari.
DT  kemerahan, pembengkakan , nyeri pada tempat suntikan,

Polio Sangat jarang timbul reaksi KIPI

tidak nyaman pada tempat suntikan. 5-12 hari setelah penyuntikan yaitu
MMR demam tidak tinggi, erupsi kulit halu/tipis yang berlangsung kurang dari
48 jam. Pembengkakan KGB postaurikula  3 minggu post penyuntikan
DTP
• Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6
minggu.
• Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi
dengan vaksin lain.
• Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengiku
rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan.
• Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau
Tdap.
• Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12
tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun.
DTP Kombinasi

• DTwP + HepB Quadrivalent


• DTwP + HepB + HiB Pentavalent
• DTwP + HepB + HiB + IPV  Hexavalent
• DTaP + HepB + HiB
• DTaP + HepB + HiB + IPV
• DT, Td, Tdap

Note: Huruf kapital = pediatric dose, huruf kecil = adult dose


Vaksin Pertusis
• Vaksin pertussis whole cell: • Untuk vaksin Td ditambahkan
merupakan suspensi kuman B. perlu booster tiap 10 tahun.
pertussis mati. • Kejadian ikutan pasca imunisasi
• Vaksin pertusis aselular adalah DTP
vaksin pertusis yang berisi – Reaksi lokal kemerahan, bengkak,
komponen spesifik toksin dari dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi
Bordettellapertusis. pada separuh (42,9%) penerima
DTP.
• Vaksin pertussis aselular bila – Demam
dibandingkan dengan whole-cell
– Anak gelisah dan menangis terus
ternyata memberikan reaksi lokal menerus selama beberapa jam
dan demam yang lebih ringan, pasca suntikan (inconsolable
diduga akibat dikeluarkannya crying).
komponen endotoksin dan – Kejang demam
debris. – ensefalopati akut atau reaksi
anafilaksis
Vaksin Pertusis
• Kontraindikasi mutlak • Keadaan lain dapat
terhadap pemberian vaksin dinyatakan sebagai
pertusis baik whole-cell perhatian khusus
maupun aselular, yaitu (precaution):
– Riwayat anafilaksis pada – bila pada pemberian pertama
pemberian vaksin dijumpai riwayat
sebelumnya hiperpireksia, keadaan
– Ensefalopati sesudah hipotonik-hiporesponsif
pemberian vaksin pertusis dalam 48 jam, anak menangis
sebelumnya terus menerus selama 3 jam
dan riwayat kejang dalam 3
hari sesudah imunisasi DTP.
130. Wilms tumor

• Wilms tumor • Merupakan tumor solid pada


renal terbanyak pada masa
Tumor ganas ginjal yang terjadi kanak-kanak, 5% dari jumlah
pada anak, yang terdiri dari sel kanker pada anak. (smith urology)
spindel dan jaringan lain. Disebut • Puncak usia adalah pada usia 3
juga adenomyosarcoma, tahun
embryoma of kidney, • Lebih sering unilateral ginjal
nephroblastoma,
renal carcinosarcoma . • Etiologi
– Non familial: 2 postzygotic
mutation pada single cell
– Familial : 1 preygotic mutation dan
The American Heritage® Stedman's Medical Dictionary subsequent post zygotic event
Copyright © 2002, 2001, 1995 by Houghton Mifflin Company.
Published by Houghton Mifflin Company. – Mutasi ini terjadi pada lengan
pendek kromosom 11 (11p13)
Patogenesis & Karakteristik
Pathology tumor
• Wilms tumor :
Prekurson wilms tumor (nephrogenic large, multi lobular, gray or tan in
rest-NR) color, focal area of hemorrhage and
Perilobar NR dan intralobar NR necrosis, biasanya terdapat fibrous
pseudocapsule
• Penyebarannya :
1. Direct extension  renal capsule
NR dormant untuk beberapa tahun
2. hematogenously  renal vein
atau vena cava
3. lymphatic
Renal mengalami involusi dan sclerosis • Metastasis : 85-95% ke paru, 10-15%
ke liver, 25% ke limf node regional

Wilms tumor
Histopatology : Blastemal, epithelial, dan
stromal element, tanpa anaplasia
Wilms tumor

Gejala Klinis Pemeriksaan penunjang


• Massa dan rasa sakit pada • Lab : Urinalisis : hematuria,
abdominal anemia, subcapsular
hemorrhage. Jika sudah
• Macroscopic haematuria metastasis ke liver terdapat
• Hypertension peningkatan creatinin
• Anorexia, nausea, vomit • CT abdominal lihat
ekstensi tumor
• Chest xray  lihat
metastasis ke paru
• Biopsi
• CT scan in a patient  Gross nephrectomy
with a right-sided specimen shows a
Wilms tumor with Wilms tumor pushing
favorable histology. the normal renal
parenchyma to the
side.
Manajemen
• Surgical :
- Keterlibatan kidney unilateral
- Tumor tidak melibatkan organ visceral
• Chemotherapy
• Radiasi
131. Imunisasi pada Anak dengan Ibu
Penderita Hepatitis B
• Tujuan utama imunisasi hepatitis B (HB) ialah untuk
mencegah terjadinya hepatitis kronik serta karier dan
bukan untuk menyembuhkan hepatitis akut atau infeksi
oleh virus HB (VHB)
• Indonesia adalah negara dengan angka prevalensi HB
berkisar antara 5 – 20 %  endemisitas sedang sampai
tinggi
• Transmisi vertikal HB 48 %  imunisasi harus diberikan
segera setelah lahir
• Dosis dan jadwal imunisasi HB diberikan berdasarkan
status HBsAg ibu
Bayi lahir dari ibu dengan status HBsAg negatif:

• Diberikan vaksin rekombinan (10 mg) secara


intramuskular, dalam waktu 12 jam sejak lahir.
• Dosis ke dua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis
ke tiga pada umur 6 bulan (jika monovalen).
• Jika yang diberikan adalah vaksin pentavalen (dengan
DTPw+Hib) maka jadwal Vaksin ke 2-3-4 adalah bulan ke
2, 3 dan 4
Bayi lahir dari ibu dengan
status HBsAg yang tidak Bayi lahir dari ibu dengan
diketahui : HBsAg positif:
• Diberikan vaksin rekombinan • Dalam waktu 12 jam setelah
(10 mg) secara intramuskular,
dalam waktu 12 jam sejak lahir, secara bersamaan
lahir. diberikan 0,5 ml HBIG dan
• Dosis ke dua diberikan pada vaksin rekombinan secara
umur 1-2 bulan dan dosis ke intramuskular di sisi tubuh
tiga pada umur 6 bulan (jika yang berlainan.
monovalen).
• Dosis ke dua diberikan 1-2
• Apabila pada pemeriksaan
selanjutnya diketahui HbsAg bulan sesudahnya, dan
ibu positif, segera berikan 0,5 dosis ke tiga diberikan pada
ml imunoglobulin anti usia 6 bulan (jika
hepatitis (HBIG) (sebelum monovalen)
usia 1 minggu).
132. Basic heart sound

Sumber:Lily LS. Patophysiology of heart disease. 5thed.


Sumber:Lily LS. Patophysiology of heart disease. 5thed.
Sumber:Lily LS. Patophysiology of heart disease. 5thed.
Grading murmur
SISTOLIK DIASTOLIK

Sumber:Lily LS. Patophysiology of heart disease. 5thed.


Stenosis Aorta
• Congenital aortic valve stenosis accounts for
approximately 5% of all cases of congenital heart
disease, with reported incidences ranging from 0.04 to
0.38 per 1000 live births
• Aortic valve stenosis is the obstruction to outflow from
the left ventricle because of an abnormal aortic valve.
• The discharge restriction to the systemic ventricle may
also be produced by an anomaly at a sub or
supravalvar level.
• Nevertheless, the most common site of occurrence is
by far the annulus (70%)
Normal Aorta Aortic stenosis
• Aortic stenosis means that the aortic valve cannot open
fully.
• When the aortic valve is narrow, the muscle of the left
pumping chamber – the left ventricle has to work harder
than normal  thickening of the muscle of the left
ventricle.
• The thicker the muscle becomes, the less efficient it is at
pumping blood in the long term.
• If the narrowing is very severe, the heart cannot pump
normally and this can limit the amount of exercise or play
your child can do.
• If this is left untreated, serious complications such as heart
failure can occur, or in some cases the child may even die.
Diagnosis
• The symptoms vary depending on how narrow
the aortic valve is.
– Most children will not have any symptoms,
– the symptoms that can occur include a lack of
energy or being tired, or breathlessness when
exercising or playing.
– if the aortic stenosis is severe, fainting can
occur.
• In most cases, aortic stenosis is not diagnosed
until after the baby is born, although some
severe cases may be diagnosed before birth.
• The diagnosis is usually made because a heart
murmur (an extra sound from the heart) is
detected at birth,or during a routine
examination when the child is older.
Tekanan di dalam Jantung

133. Congenital Heart


Disease

Congenital HD

Acyanotic Cyanotic

With ↑ volume With ↓ With ↑


load: With ↑ pressure pulmonary blood pulmonary blood
load: flow: flow:
- ASD
- Valve stenosis - ToF - Transposition of
- VSD - Coarctation of - Atresia the great vessels
- PDA aorta pulmonal - Truncus
- Valve - Atresia tricuspid arteriosus
regurgitation

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
Penyebab
• Penyebab pasti: tidak diketahui
• Multifaktor, keterkaitan genetik & faktor lingkungan
• Kelainan kromosom (6-10% dari PJB)
eg Down’s syndrome
• Genetik – berulang dalam satu keluarga
• Infeksi saat dalam kandungan eg Rubella
• Obat-obatan eg Phenytoin, Alkohol, Lithium
(Ebstein’s)
• Autosomal Dominant
ASD
Risiko berulang
 Bila anak sebelumnya memiliki PJB: 2-5%
terulang
 Bila 2 anak sebelumnya memiliki PJB: 5-10%
terulang
 Bila ibu PJB, risiko memiliki anak dng PJB ~ 7%
 Bila ayah PJB, risiko memiliki anak dng PJB ~
1.5-3%
Penyakit jantung kongenital
• Asianotik: L-R shunt
– ASD: fixed splitting S2, murmur
ejeksi sistolik
– VSD: murmur pansistolik
– PDA: continuous murmur
• Sianotik: R-L shunt
– TOF: PS, VSD, overriding aorta,
RVH. Boot like heart pada
radiografi
– TGA
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/
Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Mosby; 2008.
Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology

With ↑ volume load Clinical Findings


The most common: left to right e.g. ASD, VSD, PDA
shunting

Blood back into the lungs ↓ compliance & ↑ work of breathing

Fluid leaks into the interstitial space & Pulmonary edema, tachypnea, chest
alveoly retraction, wheezing

↑ Heart rate & stroke volume


High level of ventricular output -> ↑Oxygen consumption -> sweating,
↑sympathetic nervous system irritability, FTT
Remodelling: dilatation & hypertrophy

If left untreated, ↑ volume load will Eventually leads to Eisenmenger


increase pulmonary vascular resistance Syndrome

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Acyanotic Congenital HD:
General Pathophysiology
With ↑ pressure load Clinical Findings

Obstruction to normal blood Murmur PS & PS: systolic


flow: pulmonic stenosis, aortic
stenosis, coarctation of aorta. murmur;

Hypertrophy & dilatation of


Dilatation happened in the later
ventricular wall
stage

Severe pulmonic stenosis in


Defect location determine newborn  right-sided HF
the symptoms (hepatomegaly, peripheral
edema)

Severe aortic stenosis  left-


sided (pumonary edema, poor
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed. perfusion) & right-sided HF
Atrial Septal Defect
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
The degree of L-to-R shunting is dependent on:
- the size of the defect,
- the relative compliance of the R and L ventricles, &
- the relative vascular resistance in the pulmonary & systemic circulations

Infant has thick & less compliant RV  minimal symptoms


As children grow older: subtle failure to thrive, fatigue, dyspneu on effort,
recurrent respiratory tract infection

Enlargement of the RA & RV


Overflow in the right side of Dilatation of the pulmonary artery
heart The LA may be enlarged

Pulmonary vascular resistance may begin to increase in adulthood 


reversal of the shunt & cyanosis
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Ro:
Increased flow into right side of - enlargement of RV, RA, &
the heart & lungs pulmonary artery
- increased vasvular marking

Constant increased of Wide, fixed 2nd heart sound


ventricular diastolic volume splitting

Increased flow across tricuspid Mid-diastolic murmur at the lower


valve left sternal border

Increased flow across Thrill & systolic ejection murmur, best


heard at left middle & upper sternal
pulmonary valve border

Flow across the septal defect doesn’t produce murmur because the pressure gap
between LA & RA is not significant
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings

•  size of the main


pulmonary artery
•  size of the right atrium
•  size of the right ventricle
(seen best on the lateral
view as soft tissue filling in
the lower & middle
retrosternal space).
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
2. Essentials of Radiology. 2nd ed.
Tatalaksana ASD Klinis, EKG, Ro,
Ekokardiografi

Aliran Pirau kecil Aliran Pirau Besar

Observasi Klinis Bayi Anak / Dewasa

Evaluasi pada GJK (+) GJK (-) HP (-) HP (+)


usia 5-8 thn

Tanda Tanda
Sadap Medikamentosa PVD (-) PVD (+)
jantung

Sadap
FR < 1.5 FR > 1.5 Gagal Berhasil jantung

Segera Elektif Reaktif Non reaktif

Konser Operasi Tutup Konser


vatif ASD vatif
Ventricular Septal Defect
Patent Ductus Arteriosus
Koarktasio Aorta
Pemeriksaan fisik:
• Auskultasi dapat normal
bisa koarktasio ringan
• Bising ejeksi sistolik dan
ejection systolic click yang
berasal dari katup aortik
bikuspid, dengan
pungtum maksimum di
apeks atau batas sternal
kiri.
• Murmur kontinu juga
dapat terjadi apabila
terdapat kolateral
pembuluh besar di sekitar
koarktasio.
134. Diarrheagenic Escherichia coli
Noninflammatory Diarrheas
Enterotoxigenic E. coli (ETEC) Rapid onset of watery, nonbloody diarrhea of considerable
volume, accompanied by little or no fever. Diarrhea and
other symptoms cease spontaneously after 24 to 72 hours
Inflammatory Diarrheas
Enteroinvasive E. coli (EIEC) Present most commonly as watery diarrhea. Minority of
patients experience a dysentery syndrome, with fever,
systemic toxicity, crampy abdominal pain, tenesmus, and
urgency
Enteropathogenic E. coli (EPEC) Profuse watery, nonbloody diarrhea with mucus, vomiting
and low-grade fever. Chronic diarrhea and malnutrition can
occur. Usually at < 2 y.o, esp <6 mo (at weaning period)
Shigatoxin-producing E. coli Symptoms ranging from mild diarrhea to severe
(STEC)/EHEC hemorrhagic colitis and hemolytic-uremic syndrome in all
ages
Enteroaggregative E. coli (EAggEC) Watery, mucoid, secretory diarrhea with low-grade fever
and little or no vomiting. One third of patients have grossly
bloody stools. The watery diarrhea usually persist ≥14 days
Diarrheagenic Escherichia coli
Diarrheagenic Escherichia coli
• E. coli species are members of the Enterobacteriaceae
family.
• Characteristic: oxidase-positive, facultatively anaerobic,
gram-negative bacilli. Fermentation of lactose(+).
• Pada soal, pasien berusia 8 tahun dengan keluhan BAB
tanpa darah  kemungkinan ETEC atau EPEC
• ETEC dan EPEC sama-sama menyebabkan infantile diarrhea,
ETEC pada anak >1 tahun, EPEC pada anak < 2 tahun
(terutama usia 6 bulan)
• ETEC banyak pada daerah yang endemis terutama di
daerah tropis, tanpa menghasilkan lendir maupun darah
• Oleh karena itu, penyebab diare pada soal lebih condong
pada ETEC
Behrman: Nelson Textbook of Pediatrics, 17th ed

Anda mungkin juga menyukai