Duwi Hariono*
Abstract
H adi th is believed to be a guideline for life after the Qur’an, hence the various methods of understanding
used must be appropriate so that the traditions can provide benefits for life. So far many criticisms have been
directed at the classical hadith methodology of hadith because they are considered irrelevant to current needs.
This criticism is not entirely true because after all the classical sharih method is still needed. At least as a
reference for the new sharih hadith method so that he does not lose his footing. The effort that needs to be done
is how to combine the old method with the new method so that the sharih of the hadith can produce a valid
understanding. This article presents the development of Sharh Hadith since the 6th century until now using
the historical-phenomenological approach. Furthermore, the Sharh Hadith methodology is also offered which
applies the old methodology in the new direction accompanied by an explanation of the steps. Furthermore, also
included a concrete example of the realization of the values of hadith in contemporary life. Thus the reader can
find the meaning of syarh hadith in his real life. Keywords: Sharh, hadith, method, model
Abstrak
H adi th diyakini sebagai pedoman kehidupan setelah al-Qur’an, karenanya berbagai metode
pemahaman yang digunakan harus sesuai agar hadis dapat memberikan manfaat bagi kehidupan.
Sejauh ini banyak kritik diarahkan kepada metodologi syarh hadis klasik karena dianggap tidak
relevan dengan kebutuhan sekarang. Kritik tersebut tidak sepenuhnya benar karena bagaimanapun
juga metode syarh klasik tetap dibutuhkan. Setidaknya sebagai rujukan bagi metode syarh hadis yang
baru agar ia tidak kehilangan pijakan. Upaya yang perlu dilakukan adalah bagaimana memadukan
metode lama dengan metode baru sehingga syarh hadis dapat menghasilkan pemahaman yang valid.
Artikel ini menyajikan perkembangan syarh hadis sejak abad ke-6 hingga sekarang menggunakan
pendekatan historis-fenomenologis. Selanjutnya ditawarkan pula metodologi syarh hadis yang
mengaplikasikan metodologi lama dengan arah yang baru disertai penjelasan langkah-langkahnya.
Selanjutnya disertakan pula contoh kongkrit realisasi nilai-nilai hadis dalam kehidupan kekinian.
Dengan demikian pembaca dapat menemukan kebermaknaan syarh hadis dalam kehidupannya yang
nyata.
Kata kunci: syarh, hadis, metode, model
P-ISSN: 1978-6948
138 e-ISSN: 2502-8650 Vol. 13 No. 2 Juli 2019 | 137-150
pemerintahan khulafa al-Rasyidun (11-40 dengan karyanya Ikma l al-Ikma l (743 H),
H). dan al-Minha j hasil pen-syarh -an al-Nawa
c. Masa penyebaran hadis ke berbagai wilayah wi . S ah i h al-Bukha ri di-syarh oleh al-
yang dipelopori oleh para sahabat kecil dan Asqala ni dengan kitabnya Fath al-Ba ri
tabi’in besar mulai dari berakhirnya masa dan Irsya d al-Sha ri’ oleh al-Qast ala ni (923
Khulafa al-Rasyidun sampai awal Dinasti H), syarh Sunan Abu Da wu d oleh al-Abadi
Muawiyah abad pertama Hijrah. dengan karyanya ‘Aun al-Ma’bu d dan syarh
d. Masa pembukuan hadis dimualai pada awal Zawa id Abu Da wu d oleh Ibn al-Mu’alliqi n
hingga penghujung abad ke-2 H. pada masa (804 H), al-Suyu t i dengan karyanya Qut
ini terjadi peralihan tradisi pemeliharaan al-Mugtazi dan Syarh Zawa id Jami ’ al-Tirmi
hadis dari hafalan ke tulisan. z|i merupakan syarh dari Sunan al-Turmu z|i
e. Masa penyaringan, pemeliharaan dan , dan lain-lain.8
perlengkapan. Periode ini berlangsung b. Masa pen-syarh-an kitab-kitab hadis
mulai awal hingga penghujung abad ke-3 yang menjadi trend pada saat itu.9 Yang
H. berlangsung sekitar abad ke 11 dan ke-12
f. Masa pembersihan, penyusunan, penam H. Pen-syarh -an terhadap Kutub al-Tis’ah
bahan dan pengumpulan hadis, berlang telah melahirkan banyak karya yang
sung dari awal abad ke-4 H sampai jatuhnya kemudian tidak menyisakan banyak tugas
kota Baghdad pada tahun 665 H. Kegiatan bagi ulama generasi selanjutnya. Aktifitas
yang dilakukan berkisar pada pengutipan syarh hadis diarahkan kepada kitab-kitab
kitab-kitab hadis yang telah di-tadwin oleh hadis selain Kutub al-Tis’ah yang muncul
ulama abad ke-2 dan ke-3 H. sebagai karya fenomenal pada masa itu
g. Masa pen-syarh-an, penghimpunan, pen- antara lain, kitab al-Badr al-Tama m karya
takhrij-an dan pembahasan hadis. Interval Al-H usain bin Muh ammad al-Maghribi
waktunya dimulai dari abad ke-6 H. sampai (1048-119 H) dan kitab Subul al-Sala m oleh
sekarang.6 al-S an’a ni (1182 H) keduanya merupakan
Tahapan-tahapan perkembangan hadis syarh kitab Bulu gh al-Mara m dan kitab Nail
sebagaimana tersebut di atas menunjukkan al-Aut a r syarh dari kitab Muntaqa al-Akbar
adanya kontinuitas umat Islam dalam karya al-Syauka ni (1250 H).10
melestarikan hadis. Meskipun telah c. Masa pen-syarh -an kitab-kitab hadis
terbakukan dalam kitab standar hadis, al- kontemporer, dimulai dari abad ke-13 H.
kutub al-khamsah, al-kutub sittah dan al-sab’ah Pada periode ini aktifitas syarh hadis masih
7
dinamika kajian hadis terus berkembang. mengadopsi metode-metode terdahulu. Di
Kegiatan yang dilakukan oleh ulama terdahulu samping itu mulai bermunculan syarh hadis
diteruskan oleh ulama berikutnya dengan dalam konteks tematis dengan metode
mengadakan penjabaran dan pen-syarh -an dan pendekatan yang baru dan beragam.
yang berlangsung hingga sekarang. Secara Di mana syarh dilakukan karena adanya
periodik dinamika kegiatan syarh hadis dapat persolan yang memerlukan jawaban dari
diklasifikasikan ke dalam beberapa tahapan: hadis atau sekedar untuk kepentingan
a. Masa pen-syarh -an kitab-kitab hadis akademis.
standar. Periode ini berlangsung dari abad
ke-7 hingga awal abad ke-11 H. kitab-kitab 8
Lihat Syuhudi Islmail, Pengantar Ilmu Hadis, hlm. 127-
hadis yang berhasil di-syarh antara lain; 128. Bandingkan pula dengan M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi
S ah i h Muslim di-syarh oleh al-Zawa wi Penelitian Hadis, hlm. 15-16
9
Klasifikasi ini berpegang pada pendapat Nur al-Di n al-
6
M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis dari Teks Itr dan Zubair Siddi qi . Lihat M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi
ke Konteks (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 8 Penelitian Hadis, hlm. 16.
7
Ibid, hlm. 15 10
Ibid,
P-ISSN: 1978-6948
140 e-ISSN: 2502-8650 Vol. 13 No. 2 Juli 2019 | 137-150
c. Syarh model muqa rin pada masa belakangan khususnya dalam
Muqa rin secara bahasa berarti diskursus tafsir. Yang dimaksud dengan
perbandingan. Sedangkan secara istilah metode maud u ’i (tematik) adalah membahas
berarti metode atau teknik menafsirkan al- hadis-hadis sesuai dengan tema atau judul yang
Qur’an dengan cara memperbandingkan telah ditetapkan. Semua hadis yang berkaitan
pendapat seorang mufassir dengan mufassir dengan topik tersebut dihimpun. Kemudian
lainnya mengenai tafsir sejumlah ayat dengan dikaji secara mendalam dan tuntas dari segala
menjelaskan kelebihan dan kekurangan aspeknya seperti asba b al-wuru d, kosakata,
pendapat masing-masing mufassir dan istinba t (penetapan) hukum, dan lain-lain.
kemudian dipilih penafsiran yang paling baik.16 pembahasan itu didukung oleh dalil-dalil dan
Model syarh muqa rin ini biasanya berupaya fakta yang dapat dipertanggungjawabkan
membandingkan hadis yang memiliki redaksi secara ilmiah; baik argument itu berasal dari
yang sama dan atau memiliki redaksi yang al-Qur’an, pendapat ulama’, maupun pemikiran
berbeda dalam kasus yang sama, dan kadang logis.
juga model ini berusaha membandingkan
berbagai pendapat ulama’ syarh dalam men- Kebermaknaan Syarh Hadis
syarh hadis. Sebagai sumber hukum kedua yang
Dengan demikian, model syarh muqa rin berfungsi menjelaskan al-Qur’an maka
mempunyai cakupan yang sangat luas, tidak hadis tidak dapat dipisahkan dari al-Qur’an.
hanya membandingkan hadis satu dengan Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan
yang lainnya, akan tetapi dibandingkan juga kesejajaran hadis dengan al-Qur’an yang
penyarah lain dalam men-syarh suatu hadis. terpresentasikan dalam perintah mentaati
Salah satu kitab syarh yang menggunakan Rasul disamping mentaati Allah SWT. Hal
model muqa rin ini misalkan; kitab S ah i h ini berarti hadis adalah wahyu sebagaimana
Muslim bi Syarh al-Nawa wi karya Imam al- al-Qur’an. Dengan demikian, baik al-Qur’an
Nawa wi . Kitab lainnya yang mengunakan maupun hadis keduanya adalah petunjuk yang
model syarh muqa rin adalah kitab ‘Umdat al-Qa harus diikuti oleh umat Islam. Mengutip asumsi
ri Syarh S ah i h al-Bukha ri karya Badr al-Di M. Shahru r tentang al-Qur’an sebagai wahyu
n Abu Muh ammad Mah mu d bin Ah mad al- bagi manusia, di mana fungsi diturunkannya
Aini.17 harus mampu dipahami dan memberikan
manfaat bagi manusia itu sendiri.19 Karenanya
d. Syarh model maud u ’i tidak logis jika pembacaan al-Qur’an tidak
Pengertian untuk istilah ini memang memberikan solusi atas persoalan yang
tidak populer dalam diskursus pemahaman berkembang di setiap zaman. Berangkat dari
hadis. Dan belum ada kitab-kitab syarh hadis asumsi tersebut, adalah analogi yang tepat
yang secara khusus menyajikan pemaparan jika pembacaan terhadap hadis juga harus
menggunakan metode ini. Meskipun menghasilkan makna bagi kehidupan manusia
sebenarnya telah digunakan semenjak masa yang sedang berlangsung pada zamannya.
Nabi, namun metode maud u ’i 18 baru populer Ada semacam konsep dialogis dimana
16
Muh ammad Afi f al-Di n Dimya t i, Ilm al-Tafsi r: Us u luh
wa Mana hijuh (Sidorejo: Maktabah Lisan Arab, 2016), hlm. 188.
17
https://suryadilaga.wordpress.com. oleh dalil-dalil dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan
18
Pengertian metode tafsir maud u ’i sebagaimana secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari al-Qur’an, hadis,
dikutip oleh Nashruddin Baidan yaitu membahas ayat- maupun pemikiran rasional. Lihat Nashruddin Baidan, Metode
ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.
ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dengan topik tersebut 72
dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari 19
Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri, Prinsip
segala aspeknya seperti asba b al-nuzu l, kosakata, ist inba t Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ
(penetapan) hukum, dan lain-lain. pembahasan itu didukung Press, 2004), hlm. xxi
Qiraah Mu’asirah. Diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin hadis no. 65, Abu Dawud dalam kitab al-Adab bab 40, dan
dan Burhanuddin Dzikri, Prinsip Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Ibn Majah meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd bab 16. Lihat
Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), hlm. xv Zakiyuddi n Abd al-‘Ad i m bin Abd al-Qawiyy al-Mundziri, Al-
P-ISSN: 1978-6948
142 e-ISSN: 2502-8650 Vol. 13 No. 2 Juli 2019 | 137-150
b) menentukan kata-kata kunci yang ada bahwa Tawa>d}u’ secara bahasa berarti
dalam matan hadis. Ada tiga kata yang merendahkan diri dengan melepaskan
menjadi obyek utama pembahasan yaitu; segala kemuliaan/keunggulan yang
Tawa>d}u’, baghy, dan fakhr. Kata-kata kunci dimiliki agar terhindar dari kesombongan.
tersebut selanjutnya dibahas dari aspek Di kalangan para ulama terdapat perbedaan
bahasa yang meliputi; pengertian secara dalam mendefinisikan kata Tawa>d}u’. Al-
bahasa dan istilah, struktur kalimat, dan Azizi, menyebut Tawa>d}u’ sebagai menerima
korelasi satu kata dengan kata lainnya dan tunduk kepada kebenaran dan tidak
dalam kalimat membengkang terhadap hukum yang
c) menjelaskan kandungan dan hikmah hadis ditetapkan oleh hakim .26 Sedangkan al-
d) menyampaikan contoh kongkrit aktualisasi Junayd seorang ulama sufi mendefinisikan
nilai-nilai hadis dalam kehidupan sehari- Tawa>d}u’ sebagai perilaku yang tidak
hari. membusungkan dada (sombong), tetapi
lemah lembut sebagai tanda hormat
Aplikasi Metodologis kepada manusia. Ibn Mubarak mengatakan,
Adapun aplikasi kongkrit dari metodologi kesombongan terhadap orang kaya dan
di atas dijabarkan dalam contoh pembahasan rendah hati terhadap orang miskin adalah
hadis tentang tawadhu’ sebagai berikut: bagian dari sifat Tawa>d}u’.27
1) Lafadh dan arti hadis Dari pengertian yang disampaikan para
ulama di atas dapat dikemukakan bahwa
ول ا َللَّ ِه صىلُ ق ََال َر ُس:اض بْنِ ِح َم ٍر ريض الله عنه ق ََال ِ َو َع ْن ِع َي
pengertian Tawa>d}u’ secara istlah adalah
إِ َّن ا َللَّ َه أَ ْو َحى إِ َ َّل أَ ْن تَ َواضَ ُعوا َحتَّى َل يَبْ ِغ َي: الله عليه وسلم hilangnya kesombongan dalam hati
أَ َح ٌد َع َل أَ َح ٍد َو َل يَ ْف َخ َر أَ َح ٌد َع َل أَ َح ٍد sehingga dapat menerima kebenaran dan
dapat bersikap lemah lembut terhadap
Dari Iyad Ibn H ima r Rad iyalla hu ‘anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sesama manusia.
Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Kata kunci dari tawa>d}u’ adalah tidak
telah mewahyukan kepadaku agar kalian sombong atau membanggakan diri.
merendahkan diri sehingga tidak ada seorang Selama seseorang tidak sombong dan
pun menganiaya orang lain dan tidak ada membanggakan diri berarti dia telah ber-
yang bersikap sombong terhadap orang lain.” Tawa>d}u’.28
Riwayat Muslim 3) Urgensi Tawa>d}u’
2) Pengertian Tawa>d}u’ Tawa>d}u’ adalah perilaku yang diperin
Tawa>d}u’ dari akar kata يضع- وضعberarti tahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada
rendah. al-S ah i b ibn al-Ibba d al-T a la setiap muslim. Dampaknya bagi kehidupan
qani 24 menyebut kata ‘al-wud ’u’ bermakna individu dan sosial sangat besar.
melepaskan atau meletakkan. Adapun Ah Sebagaimana yang disebutkan oleh hadis
mad Muh ta r Umar menyebut kata ‘wad oa’ di atas antara lain adalah:
berarti menghinakan atau merendahkan a. Menghilangkan tindakan melampaui
dan kata Tawa>d}u’ bermakna merendahkan batas (al-baghy)
diri. Lawan katanya adalah sombong.25
Dari pengertian yang disampaikan oleh
kedua ahli di atas dapat disimpulkan Abu at-T ayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adim
26
P-ISSN: 1978-6948
144 e-ISSN: 2502-8650 Vol. 13 No. 2 Juli 2019 | 137-150
Kesombongan sebagaimana dijelaskan 4) Hikmah Tawa>d}u’
oleh Imam al-Ra zy dapat membuat Tawa>d}u’ berbeda dengan rendah diri,
seseorang meremehkan hak-hak Tawa>d}u’ adalah sifat yang membedakan
orang lain sedangkan membanggakan antara orang yang mulia dengan orang
diri (fakhu r) dapat menjerumuskan yang rendah. Yahya bin H assan39
ke dalam perilaku riya ’ dan sum’ah mengilustrasikan perbedaan ini dalam
(memberitahukan amal-amal kepada sebuah syair:
orang lain dengan maksud mendapat
َلشيْ ُف إِذَا ت َ َق َّوى ت َ َواضَ َع َوالْ َو ِاض ُع إِذَا ت َ َق َّوى تَك َّ ََب
ِ َّ ا
pujian).37
Rasulullah sangat membenci perilaku Orang mulia itu jika menjadi kuat ia ber- Tawa>d}
sombong dan mencela pelakunya. Hal u’ sedangkan orang rendah itu jika kuat ia
ini tercermin dalam salah satu sabda menjadi sombong
Beliau yang diriwayatkan oleh Hakim38 Sifat Tawa>d}u’ tidak merendahkan
sebagaimana berikut: kedudukan seseorang. Sebaliknya dengan
ber- Tawa>d}u’ seseorang akan dipuji dan
ول ا َللَّ ِه صىل الله َ ِ َر- َو َع ْن اِبْنِ ُع َم َر
ُ ق ََال َر ُس: ق ََال-ض ا َللَّ ُه َع ْن ُه َم
dihargai serta disukai banyak orang. Hal
عليه وسلم ( َم ْن ت َ َعاظَ َم ِف نَف ِْس ِه َوا ْختَ َال ِف ِمشْ َي ِت ِه لَ ِق َي ا َللَّ َه ini selaras dengan hadis Nabi SAW.:
) َو ُه َو َعلَ ْي ِه غَضْ َبا ُن ُ ق ََال َر ُس:َو َع ْن أَ ِب ُه َريْ َر َة ريض الله عنه ق ََال
ول ا َللَّ ِه صىل الله
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa
عليه وسلم ( َما نَق ََص ْت َص َدقَ ٌة ِم ْن َما ٍل َو َما زَا َد ا َللَّ ُه َعبْ ًدا ِب َع ْف ٍو
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda: “Barangsiapa menganggap besar
40 ِ
أَ ْخ َر َج ُه ُم ْسل ٌم ) إِ َّل ِع ًّزا َو َما تَ َواضَ َع أَ َح ٌد لِلَّ ِه إِ َّل َرفَ َع ُه
dirinya dan bersikap sombong dalam berjalan Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu
ia akan menemui Allah dalam keadaan amat bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
marah kepadanya.” Riwayat Hakim Sallam bersabda: “Suatu sedekah tidak akan
Didahulukannya redaksi baghy atas mengurangi harta Allah tidak akan menambah
kata fakhr dalam struktur matan hadis kepada seorang hamba yang suka memberi
yang menjadi bahasan pokok di atas maaf kecuali kemuliaan dan seseorang tidak
merendahkan diri karena Allah kecuali Allah
dikarenakan besar kecilnya dampak
mengangkat orang tersebut.” Riwayat Muslim.
negative yang dihasilkan berbeda.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh Selain itu orang yang Tawa>d}u’ akan
perilaku baghy bersifat fisik, dapat dikaruniai oleh Allah kebijaksanaan
dirasakan, dan dapat dilihat secara (hikmah), sebagaimana hadis yang
nyata. Sedangkan perilaku fakhr terkait diriwayatkan oleh at-T abra ni berikut:
dengan perasaan yakni berpotensi َما ِم ْن: َع ْن َر ُس ْو ِل الل ِه َص َّل الل ُه َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق ََال,اس ً ََّع ْن ابْنِ َعب
menimbulkan kecemburuan sosial yang
dapat merenggangkan hubungan antar فَ ِإذَا تَ َواضَ َع ِق ْي َل لِلْ َمل َِك إِ ْرفَ ْع,ا َ َد ِمي اِ َّل ِف َرأْ ِس ِه ِح ْك َم ٌة ِب َي ِد َمل ٍَك
sesama. Baik perilaku baghy maupun . َوإِذَا تَك َّ َِب ِق ْي َل لِلْ َمل َِك ضَ ْع ِح ْك َمتَ ُه,ِح ْك َمتَ ُه
fakhr keduanya memiliki dampak Dari Ibn Abbas, dari Rasullullah Saw.
yang sama yaitu merenggangkan Bersabda: “tidaklah ada anak Adam kecuali
solidaritas dan persaudaraan antar di kepalanya ada hkmah di tangan malaikat.
sesama manusia serta merusak tatanan Kalau dia tawadhu’, maka dikatakan kepada
masyarakat. malaikat, angkatlah hikmahnya; kalau dia
bersikap takabur, maka dikatakan kepada
malaikat,’turunkan hikmahnya’.”41
37
Ibid, Sa lim Ibra hi m S o dir, Jawa hir al-Adab min Khaza in al-
39
38
Ibn Hajar al-Asqala ni, Bulu gh al-Mara m min Adillat al- Adab, j.1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2009), hlm. 21
Ahka m, bab al-Tarhi b fi Masa wi al-Akhla q (Makkah: Dar al- 40
Ibn Hajar al-Asqala ni, Bulu gh al-Mara m, hlm. 343
Kitab al-Islamy, tt), hlm. 340 41
Syaikh Zakariyya Umairat, Petunjuk-petunjuk Ilahi dalam
P-ISSN: 1978-6948
146 e-ISSN: 2502-8650 Vol. 13 No. 2 Juli 2019 | 137-150
Kewajiban hamba terhadap Tuhannya melaksanakannya, begitu pula dengan
adalah menyembah dan tidak Tawa>d}u’. Tawa>d}u’ terhadap diri
menyekutukan-Nya dengan yang lain.47 sendiri dapat direalisasikan dengan
Dalam pelaksanaan ibadahnya kepada pengakuan hati akan banyaknya
Allah manusia dilarang sombong kekurangan dan kelemahan yang
meskipun intensitas ibadahnya lebih dimiliki. Senantiasa berpikir dan
banyak dan lebih baik dari orang lain. menyadari bahwa kelebihan yang
Sehingga memandang sinis orang- dimiliki adalah dari Allah semata bukan
orang yang berbuat dosa dan maksiyat atas usaha pribadinya. Ketika orang
dan menyebut mereka sebagai ahli lain memujinya hal itu diyakini karena
neraka. Padahal keputusan masuk Allah masih berkenan menutup aib dan
surga atau neraka seseorang adalah kekurangannya sehingga terjaga nama
hak Tuhan. Dengan menjustifikasi baiknya. Dengan demikian ia tidak
seseorang sebagai ahli neraka, merasa sombong dan membanggakan
seseorang telah melanggar hak kelebihan dirinya.
Allah dan melakukan kesombongan Dari segi perilaku tawadhu’ kepada diri
yang menjadikan ibadahnya sia-sia sendiri bisa dimulai dari cara berjalan.
dan mendapat murka dari Tuhan. Sebagaimana disebut dalam ayat:
Sebagaimana ternarasikan dalam hadis Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha
berikut: Penyayang itu (ialah) orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati
ق ََال َر ُس ْو ُل الل ِه َص َّل الل ُه:ض الل ُه َع ْن ُه ق ََال َ ِ َع ْن أَ ِب ُه َريْ َر َة َر dan apabila orang-orang jahil menyapa
اس فَ ُه َو أَ ْهلَ َك ُه ْم
ُ إِذَا َس ِم ْعتُ ْم َر ُج ًل يَ ُق ْو ُل قَ ْد َهل ََك ال َّن:َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yang mengandung) keselamatan.(Q.S. al-
.»يَ ُق ْو ُل (الله) إِنَّ ُه ُه َو َهالِ ٌك
Furqan/25:63)
Dari Abu Hurairah yang berkata: Rasulullah
Saw bersabda: “Kalau kalian mendengar orang Berjalan dengan rendah hati
yang berkata: ‘Binasalah orang-orang,’maka sebagaimana dimaksud ayat di
dia adalah orang yang paling rusak di antara atas adalah berjalan sewajarnya,
mereka, Allah berfirman: ‘Sesungguhnya dia dengan tenang dan sopan, tanpa ada
yang binasa’.”48 kesombongan dan keangkuhan serta
tidak merasa rendah diri.49
Karenanya dalam beribadah kepada
c. Tawa>d}u’ kepada manusia
Allah harus ber-Tawa>d}u’ yakni
Tawa>d}u’ merupakan kepribadian
menghadirkan sikap rendah hati dan
seorang muslim yang harus diterapkan
fakir kepada Allah sebagai pemilik
kepada diri sendiri maupun kepada
segala amalnya dan atas izin-Nya
orang lain. Dapat diwujudkan antara
lah semua amal ibadahnya dapat
lain dengan memaafkan orang yang
terlaksana.
melakukan kesalahan. Pemaafan ini
b. Tawa>d}u’ kepada diri sendiri
hendaknya disertai dengan kesadaran
Setiap perbuatan baik harus
bahwa yang memaafkan suatu saat
diawali dari diri sendiri untuk
juga berpotensi melakukan kesalahan.50
47
Perintah untuk ini salah satunya disebut dalam ayat: Karenanya jika saat ini dia benar dia
“sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya tidak boleh sombong dan merasa lebih
dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu- baik dari orang yang bersalah. Dengan
bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman 49
Muhammad Mutawally al-Sya’rawi, Khuluq al-Muslim fi
sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu” (Q.S. an-Nisa/4:36) al-Qur’a n al-Kari m (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, ttp),
48
Syaikh Zakariya Umairat, Petunjuk-petunjuk Ilahi, hlm. hlm. 58
356 50
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 347
P-ISSN: 1978-6948
148 e-ISSN: 2502-8650 Vol. 13 No. 2 Juli 2019 | 137-150
pembahasan secara tajzi ’i dan ijma li tidak m (Kuala Lumpur: Al-Hidayah Publication,
lagi dianggap relevan dengan perkembangan 2010)
zaman. Al-Mundziri, Zakiyuddi n Abd al-‘Ad i m bin
Hadis akan menemui relevansinya dengan Abd al-Qawiyy, Al-Targi b wa al-Tarhi b min
zaman ketika ia mampu memberikan manfaat al-H adi s al-Syari f (Beirut: Da r al-Kutub al-
bagi kehidupan masyarakat yang tengah Ilmiyah, 2003 M)
berjalan. Dalam hal ini kontekstualisasi
dipandang penting dan pembaharuan metode Al-Razy, Al-Imam, Al-Tafsi r al-Kabi r aw Mafa tih
syarh hadis merupakan sebuah keharusan. al-Ghaib (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah,
Pembaharuan bukan berarti meninggalkan 2009)
tradisi dan metode lama. Metode lama tetap Al-Sya’rawi, Muhammad Mutawally, Khuluq
digunakan sebagai pijakan agar metode yang al-Muslim fi al-Qur’a n al-Kari m (Kairo: al-
baru tidak kehilangan rujukan. Kombinasi Maktabah al-Taufiqiyyah, ttp)
metode lama dengan yang baru perlu
Al-Syakir, Utsman bin Hasan bin Ahmad,
dikreasikan sehingga syarh hadis tidak
Dzurratu al-Nas ih in (Surabaya: Al-Hidayah,
tercerabut dari akar genetisnya serta mampu
tt)
berakselerasi dengan arus perubahan zaman.
Dan metode apapun, selama digunakan untuk Al-T a la qani, al-S ah i b ibn al-Ibba d, al-Muh i t
memfungsikan hadis sebagai petunjuk dalam fi al-Lugah (Beirut: Da r al-Kutub al-Ilmiah,
kehidupan, tidaklah dilarang. 2010)
Amma rah, Musthofa Muhammad, Jawa hir al-
Bukha ri (Surabaya: Al-Hidayah, 1371 H)
P-ISSN: 1978-6948
150 e-ISSN: 2502-8650 Vol. 13 No. 2 Juli 2019 | 137-150