Stigma Sosial Pada Keluarga Miskin Dari Pasien Gangguan Jiwa
Stigma Sosial Pada Keluarga Miskin Dari Pasien Gangguan Jiwa
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses terbentuknya stigma dan faktor-faktor penyebab munculnya stigma sosial
pada keluarga miskin pasien gangguan jiwa. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif dengan metode studi kasus. Subyek penelitian ini berjumlah dua orang yang tinggal di sekitar tempat tinggal
keluarga pasien. Teknik penggalian data dengan menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Berdasarkan
hasil analisis data yang diperoleh, didapatkan bahwa stigma yang terbentuk pada subyek laki-laki dan subyek perempuan
melalui proses isyarat, stereotip, dan prasangka. Pada analisis tentang faktor penyebab terbentuknya stigma didapatkan
bahwa subyek laki-laki memiliki dua faktor dan subyek perempuan memiliki tiga faktor yang membentuk stigma. Penelitian
ini menemukan tiga fakta baru yaitu subyek laki-laki dan subyek perempuan memiliki sikap positif terhadap kontak sosial
dengan pasien dan tidak memunculkan diskriminasi, bersikap terbuka dan tidak menjauhi F beserta keluarganya, serta
muncul sikap simpati dari masyarakat.
ABSTRACT
The focus of this study was to find out the process of the stigma formation and the factors leading to the emergence of social
stigma attached to poor family of a mental patient. The approach used in this study was a qualitative approach with the case
study method. The subjects were two people living in the neighborhood of a patient's family in Martapura, Banjar Regency.
The data were collected by interviews, observation, and documentation. The results of data analysis showed that there was
stigma formation on male and female subjects through process of cues, stereotypes, and prejudices. The analysis of the
factors leading to the stigma formation indicated that the male subject had two factors and the female three factors. There
were new findings in this study, namely the presence of a positive attitude in social contact to the patient and there was no
discrimination, open attitude and not staying away from the patient and family, as well as the sympathy from the society.
Gangguan jiwa seringkali memunculkan perilaku Anggapan negatif pada pasien skizofrenia
merugikan hingga menyebabkan adanya anggapan merupakan suatu fenomena sosial yang dianggap lazim,
negatif. Tiga diagnosa umum terkait dengan gangguan yang disebut sebagai stigma. Erving Goffman
jiwa yang merugikan ialah skizofrenia, depresi mayor, memberikan definisi dasar tentang stigma yaitu suatu
dan manik-depresi (Watson and Corrigan, 2006). atribut yang mendiskreditkan seseorang sebagai manusia
Khususnya skizofrenia, merupakan sindrom klinis yang yang “tidak sama seutuhnya” dengan manusia normal dan
paling membingungkan, melumpuhkan dan paling biasanya menuju ke hal yang negatif. Misalnya ditandai
berhubungan dengan pandangan popular tentang gila atau dengan warna kulit (etnis), fisiologi (gender), ukuran
sakit mental (Nevid, Rathus, and Greene, 2005). Mubarta, tubuh (obesitas), dan penampilan (tingkat ekonomi) yang
Husin, dan Arifin (2013) menyebutkan terdapat diberikan stigma oleh masyarakat umum (dalam Larson
peningkatan prevalensi masalah kesehatan jiwa di and Corrigan, 2008). Definisi lanjutan dari Elliott (dalam
Indonesia sebesar 6,55% yang tergolong sedang Brohan, Slade, Clement, and Thornicroft, 2010) yaitu
dibanding negara lain dan data-data dari 33 rumah sakit stigma sebagai bentuk penyimpangan penilaian suatu
jiwa (RSJ) di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini kelompok masyarakat terhadap individu yang salah
jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta dalam interaksi sosial.
orang. Sebuah fakta tentang gangguan jiwa yang Stigmatisasi terbentuk melalui proses sosial-
memunculkan anggapan negatif terlihat pada kasus kognitif yaitu isyarat, stereotip, prasangka, dan
seorang pasien yang dipasung oleh keluarganya agar tidak diskriminasi (Corrigan, 2000; 2004; Scheffer, 2003; Stier
berkeliaran dan mengganggu orang lain (http://www. and Hinshaw, 2007): (1) Isyarat, secara umum masyarakat
suarantb.com/). menyimpulkan gangguan jiwa dari empat isyarat: gejala
106
107 Jurnal Ecopsy, Volume 1, Nomor 3, Agustus 2014
gangguan jiwa, defisit keterampilan sosial, penampilan gangguan jiwa. Stigma ini yang akhirnya digunakan
fisik, dan label. (2) Stereotip, struktur pengetahuan yang untuk menggambarkan stigma yang terjadi pada keluarga
dipelajari masyarakat umum tentang suatu kelompok miskin dari pasien gangguan jiwa.
sosial yang ditandai. Stereotip dianggap lazim, karena Berdasarkan pemaparan tersebut maka peneliti
hanya sebagai perwakilan dari anggapan masyarakat tertarik untuk meneliti mengenai stigma sosial pada
umum tentang suatu kelompok sosial. Biasanya stereotip keluarga miskin dari pasien gangguan jiwa. Rumusan
pada orang-orang dengan gangguan jiwa muncul berupa masalah dalam penelitian ini seperti adalah bagaimana
kekerasan (orang dengan gangguan jiwa berbahaya), proses terbentuknya stigma, apakah faktor-faktor
inkompetensi (mereka tidak mampu mandiri), dan penyebab terbentuknya stigma, dan bagaimana gambaran
menyalahkan (karakter pribadi yang lemah, mereka stigma sosial di masyarakat sekitar tempat tinggal
bertanggungjawab terhadap gangguan jiwa yang dialami) keluarga miskin pasien gangguan jiwa?
terhadap orang-orang dengan gangguan jiwa. (3) Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui
Prasangka, orang-orang yang berprasangka ialah secara mendalam proses-proses terbentuknya stigma,
mendukung stereotip negatif dan menghasilkan reaksi faktor-faktor penyebab terbentuknya stigma, dan
emosional negatif. Prasangka adalah keyakinan dan sikap gambaran stigma sosial pada masyarakat. Manfaat
merugikan yang melibatkan komponen evaluatif penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu teoritis dan
(umumnya negatif). Prasangka pada dasarnya merupakan praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat
suatu respon kognitif dan afektif, dan menuju dijadikan acuan tambahan bagi ilmu psikologi secara
diskriminasi dengan memunculkan perilaku. (4) umum, khususnya bagi psikologi sosial. Secara praktis,
Diskriminasi dimanifetasikan sebagai tindakan negatif penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman
terhadap orang-orang yang berada di luar kelompoknya. baik bagi subyek, masyarakat, dan keluarga pasien
Diskriminasi out-group (luar kelompok) muncul sebagai gangguan jiwa dalam mengurangi berbagai stigma sosial
penghindaran, tidak bergaul dengan orang-orang dari luar bagi dirinya dan anggota keluarga lainnya, serta
kelompok. diharapkan dapat membangkitkan minat bagi peneliti
Ada beberapa faktor-faktor untuk memperjelas selanjutnya tentang bahasan stigma gangguan jiwa.
penyebab terbentuknya stigma (Scheffer, 2003): (1) Label
gangguan jiwa, penampilan, dan gangguan perilaku
terkait. Label tanpa adanya perilaku menyimpang, dapat METODE PENELITIAN
berkontribusi lebih terhadap stigma. Individu dengan
gangguan jiwa mendapat stigma karena gangguan Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
perilaku yang terkait (seperti kecemasan, ketegangan) dan dengan metode studi kasus. Subyek penelitian dipilih
defisit keterampilan sosial (kontak mata yang buruk, berdasarkan kriteria tertentu menggunakan teknik
kesulitan untuk tetap fokus pada topik). (2) Karakteristik purposive sampling, yakni subyek penelitian adalah
pengobatan. Rawat inap, perawatan fisik, dan pengobatan orang-orang yang berada di sekitar tempat tinggal
individual adalah lebih mudah mendapat stigma. (3) keluarga miskin dari pasien gangguan jiwa. Jumlah
Status sosial-ekonomi. Semakin rendah status sosial dan informan yang diambil sebanyak dua orang dan mengenal
ekonomi seseorang, semakin besar kemungkinan dia baik keluarga pasien, yakni seorang laki-laki dan seorang
dijauhi oleh orang lain. (4) Media penggambaran. Sebuah perempuan serta bertempat tinggal di sekitar rumah
studi terbaru menemukan bahwa gangguan jiwa yang keluarga pasien sekurang-kurangnya selama lima tahun.
digambarkan di semua media cetak nasional didominasi Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
oleh penggambaran negatif. Kartono (1981) juga penelitian ini adalah observasi non partisipan, wawancara
menjelaskan stigma melalui teori demonologi yang (in depth interview) dengan pertanyaan terbuka, dan
menyebutkan bahwa gangguan jiwa itu didasarkan oleh dokumentasi pada objek penelitian yaitu keluarga pasien.
kepercayaan akan adanya unsur mistis, gaib, dan setan- Data yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa
setan jahat yang menyebabkan timbulnya tingkah laku transkrip verbatim wawancara yang kemudian dianalisa
abnormal dan gangguan jiwa. secara kualitatif. Transkrip verbatim disajikan secara
Penilaian negatif terjadi karena pasien gangguan kualitatif dengan melakukan koding dari Cresswell
jiwa tidak memiliki keterampilan atau kemampuan untuk (2003), dikategorisasi, dan kemudian diinterpretasi.
berinteraksi dan bahaya yang mungkin dapat Kredibilitas penelitian ini dicapai dengan
ditimbulkannya. Bentuk penyimpangan penilaian dan menggunakan triangulasi waktu dan member check.
perilaku negatif dari masyarakat umum inilah yang Kredibilitas dilakukan untuk menguji keabsahan data
dikenal sebagai stigma sosial (Michaels et al, 2012). (Sugiyono, 2012).
Stigma sosial ialah stigma yang dipegang oleh kelompok
besar dalam masyarakat dimana orang-orang yang diberi HASIL DAN PEMBAHASAN
stigma berasal dari kelompok yang berbeda atau
kelompok rendah Pada konteks ini, stigma yang tertanam Hasil wawancara yang dilakukan dengan kedua
dalam kerangka aktivitas sosial menciptakan inferioritas orang subyek yaitu SH dan M yang memunculkan stigma
(Ahmedani, 2011). Mengikuti hasil penelitian dari sosial pada pasien gangguan jiwa, F, dan keluarganya. SH
sebelumnya, Kigozi, Lund, Kizza, and Okello (2009) dan M adalah tetangga yang tinggal sejak lahir di sekitar
menemukan bahwa stigma gangguan jiwa dikaitkan rumah keluarga pasien. SH berusia 47 tahun berprofesi
dengan kuatnya lingkaran setan antara kemiskinan dan sebagai lurah di desa setempat, sedangkan M berusia 47
Varamitha dkk., Stigma Sosial, Keluarga Miskin, Gangguan Jiwa 108
tahun berprofesi sebagai guru Sekolah Menengah diterka. Kedua subyek juga meyakini bahwa penyebab
Pertama. gangguan jiwa F sebagian disebabkan oleh hal-hal gaib.
Stigma dapat muncul beragam tergantung pada Kedua subyek menilai, hal ini terlihat dari perilaku F yang
karakteristik objek stigma yang dianggap berbeda atau tak sering menyendiri di hutan sehingga mendapatkan
normal. Terdapat perbedaan gambaran umum stigma gangguan makhluk halus dan memunculkan perilaku-
antara SH dan M yang dapat dilihat dari penggunaan perilaku tidak lazim.
istilah untuk gangguan jiwa yang dialami F. SH Perilaku diskriminasi pada kedua subyek tidak
menggunakan istilah “hilang akal”, “sulit berkomu- muncul. Kedua subyek menunjukkan sikap kepedu-
nikasi”, dan “tidak waras” untuk menyebutkan istilah liannya pada F sejak ditelantarkan oleh keluarganya.
gangguan jiwa. Pada M, menggunakan istilah “gila”
karena menurutnya gangguan jiwa adalah bersifat jangka
panjang dan jauh berbeda dengan stres. Faktor-faktor Penyebab Munculnya Stigma
“Sudah dicoba. Ya begitulah tanggapannya, Muncul tiga fakta lanjutan mengenai stigma sosial
saudara seibu dimusuhi. Ainah kan saudara seibu dari kedua subyek. Pertama, kedua subyek menjelaskan
keluarga mereka. Padahal banyak merawat bahwa masyarakat bersikap menyalahkan keluarga F
pasien si Ainah ini daripada saudaranya karena menelantarkannya. Menurut SH, keluarga
sekandung.” kandung merasa malu terhadap penilaian masyarakat
yang menyalahkan sehingga memilih untuk menga-
Keempat, media penggambaran. Kedua subyek baikan F sama sekali. Sementara menurut M, keluarga
memiliki opini yang sama yakni penderita gangguan jiwa seibu F tidak memiliki hambatan dalam bergaul dengan
benar berbahaya dan perlu untuk menjaga jarak. Terdapat orang-orang sekitar karena menganggap masyarakat
perbedaan alasan, SH menyatakan meskipun penderita Pasayangan sebagai bagian dari keluarganya juga.
gangguan jiwa berbahaya tetapi media massa juga harus
menyertakan informasi tentang cara memperlakukan “…Sedikit banyak tetap ada rasa malu. Tetapi
orang dengan gangguan jiwa yang beretika kepada baik dia seperti itu bergaul. Lagipua orang sini
masyarakat. Sementara subyek M lebih memilih menjaga ibaratnya tidak membedakan juga, sudah
jarak jika ia mengetahui bahwa penderita gangguan jiwa memahami jika ada diberikan. Kan di
memiliki riwayat mengamuk dan mengganggu orang lain, Pasayangan ini memahami juga masyarakatnya.
tetapi menurutnya tergantung penyebab gangguan jiwa. Jadi seperti F ini orang sudah paham.”
Kedua subyek memiliki pandangan yang sama bahwa F
tidak pernah mengganggu orang lain sehingga disim- Kedua, pada kedua subyek sama-sama menje-
pulkan bahwa media penggambaran tidak mempengaruhi askan bahwa penelantaran ini berupa tidak adanya
kedua subyek untuk memberikan penilaian negatif. kesadaran bertanggungjawab dalam menghidupi F dan
memberikan kasih sayang sebagai kebutuhan dasar
“Kalau menurutku tergantung penyebabnya apa manusia. F tidak diberikan kesempatan memenuhi
gilanya. Bisa karna trauma, melihat orang kebutuhan dasarnya yaitu makan, minum, dan tempat
tertentu jadi diganggunya. Seperti F ini pikiran tinggal. Selain itu kasih sayang dari seluruh keluarganya
mengganggu tidak ada, karna gangguan dari tidak didapatkan oleh F.
kecil kan…” “Tidak cukup.”
“…Dari segi perhatian, pakaian. Sandang
Kelima, teori demonologi. Kedua subyek memiliki
pangannya itu.”
keyakinan yang berbeda terhadap hal-hal gaib. SH
meragukan penyebab gangguan jiwa F dikarenakan hal- Ketiga, SH menuturkan kurangnya kesadaran dan
hal gaib, karena F tidak memiliki riwayat yang berkaitan ketidakpedulian pihak keluarga untuk merawat F
dengan hal-hal gaib. M menyatakan hal yang berbeda sehingga SH pernah merasa kesal dan enggan untuk
bahwa gangguan jiwa yang dialami F disebabkan karena membantu. Menurutnya, meski demikian ia dan
kebiasaan berdiam diri di tempat sunyi dan mengalami masyarakat tetap bersedia memberikan bantuan untuk F.
kesambet (terkena gangguan jin). Menurut M, F sejak M menjelaskan bahwa sikap keluarga yang acuh terhadap
kecil memang sering bermain di hutan yang jauh dari F tidak membuat keluarga F merasa malu saat bergaul
keramaian dan menyendiri disana. dengan masyarakat sekitar.
“Kalau 'kepuhunan' itu bisa saja, karna dia suka “Pernah merasa kesal dulu. Keluarganya pernah
menyendiri di hutan yang sepi. (tertawa) Mungkin berjanji ingin menampung setelah keluar dari
kalau bahasa jawanya kesambet. (tertawa)...” Budi Luhur. Dulu cepat sekali kesini meminta
bantuan, setelah dikeluarkan malah menghilang.
Merasa kesal, tapi dia minta bantuan lagi tidak
Stigma Sosial apa-apa, dibantu saja…”
Stigma sosial adalah sikap masyarakat umum Berdasarkan definisi dasar dari Erving Goffman
terhadap suatu kelompok yang dibedakan atau dianggap (dalam Larson & Corrigan, 2008), kedua subyek dapat
abnormal. Terdapat beberapa perbedaan penggunaan dikatakan memiliki stigma terhadap gangguan jiwa. Hal
label pada kedua subyek. SH menggunakan label ini diketahui dari cara kedua subyek dalam memahami
“kegilaan” atau seperti gila untuk menyebut gangguan tentang gangguan jiwa berdasarkan pengamatan dan
jiwa. Sementara istilah yang digunakan masyarakat keyakinannya. SH memahami bahwa F mengalami
menurutnya ialah “gila”, “tidak waras”, dan sulit diajak gangguan jiwa dikarenakan faktor keturunan dan
berkomunikasi. Sementara itu, M lebih sering meng- kepribadiannya yang pendiam, namun ia tetap menggu-
gunakan istilah “stres” yang diambilnya dari kebiasaan nakan istilah yang tidak tepat untuk menyebutkan
masyarakat sekitar untuk menyebutkan gangguan jiwa gangguan jiwa yang dialami F yakni “hilang akal”, “sulit
dan ia tidak setuju dengan penggunaan istilah tersebut. M berkomunikasi”, dan “tidak waras”. Sementara pada M,
masih menggunakan istilah “stres” dan “gila” secara stigma terhadap gangguan jiwa masih jelas terlihat
bergantian. dengan penggunaan label “gila” dengan berkeyakinan
“Stres lah seperti kebanyakan orang bilang. bahwa gangguan jiwa F bersifat jangka panjang.
“Stres. Tapi kadang gila juga menyebutnya ....” Stigma terjadi melalui beberapa proses yang saling
berkaitan. Pertama, isyarat (cues). Secara umum,
Varamitha dkk., Stigma Sosial, Keluarga Miskin, Gangguan Jiwa 110
masyarakat menyimpulkan gangguan jiwa dari empat menyatakan bahwa prasangka pada akhirnya akan
isyarat: gejala gangguan jiwa, defisit keterampilan sosial, mengarah ke diskriminasi, yang merupakan hasil perilaku
penampilan fisik, dan label. Banyak gejala gangguan jiwa stigma.
berat seperti psikosis, misalnya memunculkan perilaku Berdasarkan proses terbentuknya stigma di atas,
aneh, merupakan indikator nyata dari gangguan jiwa yang dapat dilakukan analisis pengelompokan faktor-faktor
menghasilkan reaksi stigma (Corrigan, 2000; 2004). Pada penyebab terbentuknya stigma sebagai berikut.
proses ini, keempat isyarat ini muncul pada kedua subyek Faktor label gangguan jiwa, penampilan, dan
berdasarkan pengamatannya pada keseharian F. Kedua gangguan perilaku terkait. Faktor label gangguan jiwa
subyek menyebutkan bahwa gejala gangguan jiwa F hanya terdapat pada M yang masih menggunakan label
ditandai dengan gejala yang telah ada sejak kanak-kanak, “stres” maupun “gila” secara bergantian untuk
defisit keterampilan sosial dengan sulit diajak menyebutkan gangguan jiwa. Angermeyer and
berkomunikasi dan bergaul dengan masyarakat sekitar, Matschinger (2003) menyatakan bahwa label membe-
penampilan fisik yang tidak terawat dan tidak beraturan, rikan efek negatif yang kuat terhadap cara individu lain
serta label yang berbeda pada kedua subyek. subyek SH bereaksi emosional pada individu dengan skizofrenia
menggunakan label “hilang akal” dan “tidak waras” sehingga meningkatkan preferensi untuk jarak sosial.
secara bergantian, sementara subyek M menggunakan Hasil penelitian ini tidak sesuai pada kedua subyek yang
label “gila” dan “stres”. menggunakan label untuk F, namun tidak memunculkan
Kedua, stereotip (stereotype) untuk mempertegas jarak sosial antara dirinya dengan F.
isyarat. Stereotip dianggap lazim, karena hanya sebagai Faktor yang terlihat dari penampilan dan gangguan
perwakilan dari anggapan masyarakat umum tentang perilaku terkait, terdapat pada kedua subyek. Setiap
suatu kelompok sosial (Corrigan, 2004). Stereotip yang subyek memahami bahwa penampilan fisik dan perilaku F
muncul pada kedua subyek ialah bahwa perlu menjaga telah mencerminkan bahwa F memiliki gangguan jiwa.
jarak dengan pasien gangguan jiwa dengan mengetahui Terlihat dari kepribadiannya yang suka menyendiri, sulit
penyebabnya. Meskipun kedua subyek menyatakan berinteraksi dan bergaul dengan masyarakat sekitar, serta
bahwa gangguan jiwa berbahaya, tidak terdapat penghin- sulit mengungkapkan keinginannya secara verbal. Selain
daran dari kedua subyek terhadap F karena mereka itu, penampilan fisik F yang rapi dan bersih sebelum
meyakini gangguan jiwa F disebabkan kepribadiannya mengalami masa skizofrenik sangat berbeda dengan
yang tertutup sejak lahir. Inilah yang meniadakan proses kondisi saat mengalami skizofrenia, yakni menjadi tidak
diskriminasi dalam pembentukan stigma. memerdulikan kebersihan tubuh dan kondisi
Ketiga, prasangka (prejudice) yang mendukung kesehatannya.
stereotip negatif. Orang-orang yang berprasangka ialah Menurut penelitian Corrigan (2000), orang-orang
mendukung stereotip negatif dan menghasilkan reaksi cenderung merespon dengan kemarahan pada penderita
emosional negatif. Prasangka adalah keyakinan dan sikap gangguan jiwa yang diyakini dapat mengendalikan gejala
merugikan yang melibatkan komponen evaluatif yang mereka, dibandingkan dengan pasien yang sulit
umumnya bersifat negatif (Corrigan, 2004). Kedua mengendalikan kemunculan gejala mereka sehingga
subyek menunjukkan prasangka yang serupa yakni menimbulkan rasa kasihan. F dinilai memiliki
penyebab gangguan jiwa F adalah hal-hal gaib. Ini kecenderungan bertindak spontan yakni mengamuk,
menurut kedua subyek terjadi karena kebiasaannya yang membanting televisi, dan memukul wajah keluarganya.
sering menyendiri di hutan. SH memahami penyebab dari Menurut kedua subyek, hal ini dikarenakan bahwa
hal-hal gaib melalui sikapnya saat memberikan saran keluarganya memiliki kesalahan tertentu terhadap F yang
pengobatan kepada guru spiritual. Sementara M sangat memicu kemarahannya, sehingga kedua subyek meyakini
kuat meyakini bahwa penyebab gangguan jiwa F karena bahwa perilaku F bersifat spontan dan menganggapnya
kesambet atau terkena gangguan roh-roh gaib didasarkan tidak berbahaya. Fakta lain ditunjukkan oleh kedua
pengamatannya pada perilaku F yang sejak masa kanak- subyek bahwa F ternyata tidak pernah mengganggu
kanak sering bermain dan menyendiri di hutan. masyarakat sekitar.
Keempat, diskriminasi (discrimination) sebagai Faktor karakteristik pengobatan. Stigma yang
manifestasi prasangka. Diskriminasi dimanifetasikan berkaitan dengan faktor karakteristik pengobatan tidak
sebagai tindakan negatif terhadap orang-orang yang muncul pada kedua subyek. Hal ini dikarenakan menurut
berada di luar kelompoknya (Corrigan, 2004). Proses ini Scheffer (2003) bahwa rawat inap, perawatan fisik, dan
tidak terjadi pada kedua subyek karena pada stereotip- pengobatan individual adalah lebih mudah mendapat
stereotip dari media massa maupun masyarakat sekitar, stigma daripada rawat jalan, perawatan fisik, dan
kedua subyek menunjukkan sikap prasangka yakni pengobatan secara kelompok. Sementara pada kedua
menyetujui dan membenarkan stereotip tersebut namun subyek, pola pengobatan yang modern tidak mengubah
tidak menunjukkan perilaku diskriminatif. Stier and sudut pandang keduanya yang hanya menganggap bahwa
Hinshaw (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa F sedang mengalami gangguan jiwa dan butuh perawatan
diskriminasi ialah memberikan perlakuan yang berbeda dari rumah sakit jiwa. Sebuah studi yang dilakukan oleh
dari suatu kelompok terhadap kelompok lain, ini tidak Komiya et al. (dalam Zartaloudi and Madianos, 2010)
bersesuaian dengan hasil temuan pada kedua subyek yang menemukan bahwa stigma yang kuat berkorelasi negatif
tidak menunjukkan perbedaan perlakuan terhadap F terhadap sikap baik untuk pencarian bantuan psikologis.
sebagai pasien gangguan jiwa. Hal ini juga tidak sesuai Hal ini berarti bahwa kuatnya stigma pada seseorang
dengan penelitian dari Larson and Corrigan (2008) yang dapat menyebabkannya enggan untuk memberikan
111 Jurnal Ecopsy, Volume 1, Nomor 3, Agustus 2014
bantuan psikologi. Pada kedua subyek, tidak ditemukan (2008) menyatakan bahwa stigma sosial terjadi ketika
faktor ini karena kedua subyek sangat menyarankan agar anggota masyarakat mendukung stereotip dan berperilaku
F mendapatkan pengobatan dan perawatan. diskriminatif. SH memahami penyebab gangguan jiwa F
Faktor status sosial-ekonomi. Stigma muncul dari dan menyebutnya sebagai faktor keturunan, namun masih
sudut pandang kedua subyek dengan yaitu keluarga menggunakan istilah yang tidak tepat yakni dengan label
kandung F (seibu-seayah) dianggap tidak bertanggung- “kegilaan” atau seperti gila untuk gangguan jiwa F.
jawab secara sosial terhadap F dengan menelantarkannya Sementara M menggunakan istilah “stres” dan “gila”
begitu saja. Menurut Scheffer (2003), status sosial secara bergantian dalam menyebutkan gangguan jiwa
seseorang akan mempengaruhi sikap orang terhadap yang dialami F. Menurut M, hal ini disebabkan oleh
mereka, bahkan semakin rendah status sosial dan karakteristik perilaku F yang dianggap dapat ditolerir oleh
ekonomi seseorang, semakin besar kemungkinan dia masyarakat sekitar sehingga istilah “stres” lebih umum
dijauhi oleh orang lain. Pada kedua subyek, sikap ini jelas digunakan daripada istilah “gila”.
terlihat bahwa mereka merasa seluruh keluarga F sangat Terdapat beberapa fakta baru terkait dengan
tidak bertanggungjawab dengan menelantarkan anggota pembahasan stigma sosial dari kedua subyek yang perlu
keluarganya yang mengalami gangguan jiwa dikarenakan untuk dikaji. Pertama, kedua subyek memunculkan sikap
terkait dengan permasalahan ekonomi. Pandangan menyalahkan pada keluarga yang menelantarkan F. Hal
tersebut tidak merubah sikap kedua subyek, yang justru ini sesuai dengan pendapat Larson and Corrigan (2008)
menganggap F dan keluarganya dianggap tidak berbahaya bahwa stigma keluarga berisi sikap menyalahkan, yakni
dan tidak perlu dihindari. SH dan M menunjukkan sikap masyarakat yang menyalahkan anggota keluarga
kepedulian sosial terhadap F. karena ketidakmampuannya merawat sehingga dapat
Faktor media penggambaran. Media penggam- memunculkan kekambuhan bagi anggota keluarganya
baran individu dengan gangguan jiwa sering disebut yang mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan hal inilah
sebagai sumber adanya stigma, yakni gangguan jiwa yang menurut kedua subyek, sejak seluruh keluarga F
digambarkan di semua media cetak nasional didominasi menelantarkannya maka masyarakatlah secara sukarela
oleh penggambaran negatif (Scheffer, 2003). Ini yang merawat F secara tidak langsung yakni memberikannya
menjadikan M bersikap lebih berhati-hati dan menjaga makanan dan tempat untuk tidur di teras rumah.
jarak dengan penderita gangguan jiwa. Sementara pada Kedua, bahwasanya kedua subyek menyatakan
SH, meskipun ia menganggap bahwa penderita gangguan bahwa seluruh keluarga F menelantarkannya dengan tidak
jiwa dapat membahayakan orang lain namun ia adanya kesadaran tanggungjawab. Sejalan pernyataan
mengungkapkan bahwa sebagai orang terdekat harus kedua subyek, penelitian Corrigan and Watson (2002)
merangkulnya secara perlahan tanpa diasingkan. menyebutkan bahwa individu dengan gangguan jiwa
Pandangan kedua subyek yang menyatakan bahwa berat memiliki sifat kekanakan dan harus dirawat.
gangguan jiwa dapat berbahaya dan perlu menjaga jarak Responden penelitian menjadi cenderung merasa kasihan
ini sesuai dengan hasil penelitian Corrigan and Watson terhadap orang dengan gangguan jiwa, bukan justru
(2002), bahwa terdapat beberapa kesalahpahaman dalam bereaksi dengan kemarahan tidak memberikan bantuan
penggambaran tentang gangguan jiwa sehingga menim- yang pantas. Ketiga, menurut SH seharusnya pihak
bulkan stigma. Berdasarkan hal inilah maka kedua subyek keluarga F bertanggungjawab penuh terhadap
bersikap waspada terhadap individu dengan gangguan kesembuhan dan kelangsungan hidup F yang sedang
jiwa namun pada kasus F, kedua subyek menyatakan F mengalami gangguan jiwa sebagai anggota keluarganya,
tidak pernah mengganggu orang lain. Akhirnya dapat namun pada kenyataannya F ditelantarkan. Inilah yang
disimpulkan bahwa penggambaran media massa tentang menjadikan SH merasa tidak bersimpati terhadap sikap
gangguan jiwa yang menimbulkan bahaya tidak keluarganya tersebut dan enggan dalam membantu.
memunculkan stigma dari kedua subyek terhadap F dan Berdasarkan hal ini, Larson and Corrigan (2008)
keluarganya. menjelaskan bahwa keluarga mungkin mengalami rasa
Faktor yang ditinjau dari teori demonologi. M malu untuk disalahkan sehingga menyebabkan mereka
memercayai bahwa penyebab gangguan jiwa F selain menghindari kontak dengan tetangga.
karena tidak pandai semasa kecil, juga disebabkan oleh Berdasarkan penjabaran di atas ditemukan
pengaruh hal-hal gaib yang lebih dikenal dengan istilah beberapa fakta baru di lapangan. Pertama, kedua subyek
kesambet (terkena gangguan makhluk gaib). Hal ini adalah penduduk asli Pasayangan yang telah berusia
diperkuat oleh sebuah survei bahwa adanya gangguan matang yakni berusia 47 tahun dan memunculkan stigma
jiwa yang sulit disembuhkan sebagian besar disebabkan sosial, namun tetap memiliki sikap positif terhadap
oleh roh jahat sehingga dapat memperburuk dan kontak sosial dengan F sebagai pasien gangguan jiwa. Hal
mengintensifkan stigma (Ssebunnya, et al., 2009). ini tidak sejalan dengan penelitian dari Zartaloudi and
Gangguan jiwa yang dialami F telah berlangsung selama Madianos (2010) menyatakan bahwa individu yang
tujuh tahun, namun stigma pada M tentang keyakinan berusia lebih muda dengan tingkat pendidikan tinggi
terhadap hal-hal gaib masih bertahan hingga saat ini. Ini menyatakan sikap yang lebih positif terhadap kontak
menunjukkan bahwa stigma pada M konsisten dan sosial dengan pasien gangguan jiwa. Fakta ini juga tidak
intensif terhadap F melalui faktor ini. sesuai dengan teori dari Corrigan (2004) bahwa proses
Seseorang dapat dikatakan memiliki stigma sosial terbentuknya stigma melibatkan diskriminasi sebagai
apabila memberikan stigma seperti yang ada di hasil akhir dari proses isyarat, stereotip, dan prasangka.
lingkungan tempat tinggalnya. Larson and Corrigan Kedua subyek tidak memunculkan perilaku diskriminatif.
Varamitha dkk., Stigma Sosial, Keluarga Miskin, Gangguan Jiwa 112
Kedua, SH dan M sebagai individu yang memberikan pada rendahnya dukungan sosial dan peningkatan isolasi
stigma pada F sangat bersikap terbuka dan tidak menjauhi sosial. Ketiga, berdasarkan pembahasan tentang fakta
F beserta keluarganya. Hal ini tidak sesuai dengan temuan ketiga diketahui bahwa sikap masyarakat sangat terbuka
penelitian Ssebunnya et al. (2009) bahwa hubungan sosial dalam memberikan bantuan dan merawat F secara tidak
antara pasien skizofrenia dan keluarganya dengan masya- langsung. Fakta ketiga ini dapat disebut sebagai sikap
rakat menjadi jauh karena stigma, sehingga mengarah simpati masyarakat.
Berinteraksi dengan
SH dan M keluarga miskin pasien
skizofrenia, F
Stigma
- SH menggunakan istilah “hilang akal”, “sulit berkomunikasi”, dan “tidak waras”.
- M menggunakan istilah “gila” karena bersifat jangka panjang.
Stigma Sosial
- SH menggunakan label “kegilaan atau seperti gila untuk menyebut gangguan jiwa.
- M menggunakan istila “stres” atau “gila” secara bergantian.
Temuan Baru:
- Memiliki sikap positif terhadap kontak sosial dengan F dan perilaku diskriminatif tidak muncul.
- Bersikap terbuka dan tidak menjauhi F beserta keluarganya.
- Sikap simpati masyarakat.
SuaraNTB. (2011). Ribuan warga miskin NTB terindikasi Zartaloudi, A. Madianos, M. (2010). Stigma related to
alami gangguan jiwa. Diunduh 02 Februari 2011 help-seeking from a mental health professional.
dari http://www.suarantb.com/2011/02/02/ Health science journal, 2(4): 77-83. Diunduh 28
wilayah/ Mataram/detil4.html. April 2014 dari http://www.hsj.gr/volume4/
issue2/423.pdf.
Sugiyono. (2012). Memahami penelitian kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
Watson, Amy C. Corrigan, Patrick W. (2006). The impact
of stigma on service access and participation.
The Behavioral Health Recovery Management
Project. University of Chicago Center For
Psychiatric Rehabilitation. Diunduh 16 Februari
2013 dari http://www.bhrm.org/guidelines/
stigma.pdf.