Anda di halaman 1dari 14

FUNGSI HUKUM ISLAM

DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT, MADZHAB
DALAM HUKUM ISLAM, DAN
MENSIKAPI PERBEDAAN
MADZHAB

Jihan Fadhila (35)

Teacher Adeline Palmerston


FUNGSI HUKUM ISLAM DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT

Peranan utama Fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat


Fungsi Ibadah. Fungsi paling utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada
Allah swt. Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi ummat manusia, dan
kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan
seseorang.
Fungsi Amar ma’ruf nahi munkar. Hukum Islam sebagai hukum yang ditujukan untuk
mengatur hidup dan kehidupan manusia, jelas dalam praktek akan selalu
bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai contoh misalnya proses pengharaman
riba dan khamar,
Fungsi Zawajir. Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang
disertai dengan ancaman hukuman atau sanksi hukum. Qishas dan diyat diterapkan
untuk tindak pidana terhadap jiwa/badan, hudud untuk tindak pidana tertentu
(pencurian, perzinahan, qadzaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana
selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum mencerminkan
fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari
segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan.
Fungsi Tanzim wa Islah ai-Ummah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin
dan memperlancar proses interaksi sosial sehingga terwujudlah masyarakat yang
harmonis, aman, sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum Islam menetapkan aturan
yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat dalam hukum yang berkenaan
dengan masalah perkawinan dan pewarisan. Sedangkan dalam masalah lain yakni
masalah muammalah, pada umumnya hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-
nilai dasarnya saja.
MAZHAB DALAM HUKUM ISLAM.
a) Munculnya Perbedaan Mazhab.
Mazhab secara bahasa artinya jalan atau tempat berjalan. Secara istilah diartikan
sebagai cara seorang Mujtahid dalam mengambil (istinbath) dari dalil Alqur’an atau As-
Sunnah yang berbeda-beda antara seorang mujtahid dengan mujtahid lainnya.
Munculnya mazhab-mazhab yang berbeda di dalam hukum islam adalah adalah
konsekuensi logis dari penyebaran Islam ke berbagai daerah dan diterimanya ijtihad
sebagai salah satu sumber hukum Islam.

Mazhab biasanya didefinisikan sebagai pendapat kelompok atau aliran yang bermula
dari pemikiran atau ijtihad. Produk pemikiran ini kemudian diikuti dan dikembangkan
oleh kelompok tertentu sehingga menjadi aliran, sekte, atau ajaran.
Perbedaan mazhab di dalam hukum Islam dapat terjadi karena berbagai perbedaan di
kalangan para ulama sebagai berikut:
1. Perbedaan pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an dan Hadits.
2. Perbedaan dalam hal-hal yang berkaitan dengan sunnah rasul. Hal itu seperti jumlah
hadits yang mereka terima, perbedaan standar dan kriteria kualitas hadits yang mereka
tetapkan. Selain itu, juga perbedaan dalam pandangan terhadap posisi atau predikat
Nabi Muhammad sebagai rasul, sebagai kepala negara, sebagai panglima perang, atau
berbagai posisinya sebagai seorang ayah, suami, pedagang dan lain sebagainya.
3. Perbedaan di dalam menggunakan berbagai kaedah fikih.
4. Perbedaan di dalam menggunakan dalil-dalil di luar Al-Qur’an dan Hadits, seperti
penggunaan tradisi penduduk setempat (istihsan), al-maslahat almursalat (istihlah), dan
saddu al-zari’at.
b) Mazhab Utama, Pendiri dan Karakteristiknya.
Dalam fikih Islam terdapat beberapa mazhab yang berbeda-beda, diantaranya yang
terkenal ada empat, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali.
Mazhab Hanafi
Mazhab ini didirikan oleh Imam Nu’man bin Tsabit dan bergelar Abu Hanifah. Ia
dilahirkan pada tahun 80 H dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H. Ia berasal dari
Kufah (Irak). Dasar-dasar mazhabnya adalah Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, Qiyas dan
Istihsan. Pemikiran Hanafi cenderung rasional. Hal ini karena di kuffah problem sosial
(hukum) sangat kompleks, sementara hadits Nabi jarang dijumpai di kota ini, sehingga
dalam memecahkan persoalan masyarakat mereka menggunakan pendekatan rasional
atau nalar seperti qiyas dan istihsan. Adanya pemalsuan hadits yang terjadi di iraq
karena pertikaian beberapa aliran teologi seperti syiah, khawarij yang masing-masing
banyak memalsukan hadits untuk membenarkan pendapat masing-masing juga
menjadikan penggunaan penggunaan nalar/rasio lebih dominan dalam proses
pengambilan hukum Islam dari pada penggunaan al-Hadits.
Mazhab Maliki
Mazhab ini didirikan oleh Malik bin Anas Al Ashbahi. Ia dilahirkan pada tahun 93 H dan
wafat pada bulan Safar 170 H. Beliau berasal dan belajar di Madinah. Di Madinah pula
beliau menulis kitab Al Muwaththa’. Dasar-dasar mazhabnya adalah Al Qur’an, As
Sunnah, Ijma’, Qiyas, perbuatan ulama Madinah, perkataan sahabat, istihsan, saddu
dzarai, mura’ah al khilaf, istishab, mashalih mursalah dan syariat terdahulu.
Dalam proses pengambilan hukum Maliki lebih cenderung literal. Hal itu karena Al-
Hadits begitu banyak bertebaran di Madinah, sehingga dalam memecahkan persoalan
sosial (hukum), tidak memerlukan jawaban di luar AlHadits yang sudah ada, karena
semua hampir peristiwa hukum terdapat kesamaannya dengan peristiwa yang dialami
masa sahabat. Disamping kurangnya pengalaman dan wawasannya terhadap kota lain,
karena Maliki tidak pernah keluar dari Madinah kecuali untuk ibadah haji, sehingga
jarang bersentuhan dengan budaya luar bahkan bersikap tertutup untuk menerimanya.
Oleh karena itu perkembangan fiqihnya berjalan lambat. Hal itu bukan berarti Malik anti
rasio tetapi ia menggunakan rasio dalam pertimbangan kemaslahatan ummat.
Mazhab Syafi'i
Mazhab ini didirikan oleh Muhammad bin Idris As Syafi’i Al Hasyimi. Ia dilahirkan pada
tahun 150 H di Palestina dan wafat pada tahun 204 H di Mesir. Pada umur 2 tahun
beliau di bawa ke Mekkah oleh ibunya. Beliau hafal Al qur’an pada umur 7 tahun dan
hafal hadist pada umur 12 tahun. Beliau berguru pada Imam Malik dan pada umur 10
tahun telah menghafal kitab Al Muwaththa’. Fatwa pertamanya adalah mazhab al
Qodim yang ditulis pada tahun 195 H. Tahun 200 H, beliau pindah ke Mesir dan menulis
fatwa yang baru berjudul mazhab al Jadid. Beliau mengarang kitab Ar Risalah dalam
ilmu ushul fiqh dan kitab Al Umm dalam ilmu fiqh. Dasar-dasar mazhab beliau adalah Al
Qur’an, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Corak pemikiran Syafi’i cenderung moderat,
konvergensi, yaitu berusaha mempertemukan antara tradisi tekstual dan rasional.
Dalam menerima dua corak pemikiran tersebut ia bersikap kritis, selektif, sehingga bisa
menarik suatu wawasan baru. Hal itu karena di masa kehidupan Syafi’i, ilmu
pengetahuan dan budaya mencapai kemajuan pesat dengan berdirinya bait Al Hikmah
oleh Khalifah Makmun.
Mazhab Hanbali
Mazhab ini didirikan oleh Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani atau Imam Ahmad (164 – 241
H). Ia lahir dan wafat di Baghdad. Ia sangat mencintai ilmu dan sering bepergian
mencari ilmu ke berbagai kota, seperti Kuffah, Bashra, Mekkah, Madinah, Yaman, Mesir,
Syam, dan Jazirah Arab. Ia belajar pada banyak guru, salah satunya adalah Imam
Syafi’i.Dasar dari mazhabnya adalah Al Qur’an, As Sunnah, perkataan sahabat, Ijma’,
Qiyas, Istishab, Mashalih mursalah, dan Adz Dzarai’. Beliau mengarang kitab Al Musnad
mengenai hadist dan berisi sekitar 45. 000 hadist. Reputasinya sebagai ahli hadits dan
teologi lebih besar dari pada ahli hukum, ia sama sekali tidak menerima hasil pemikiran
manusia
c) Hukum Bermazhab
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah mengatur mazhab. Perbedaan tersebut adalah:
1. Mewajibkan. Semua orang harus mengikuti salah satu di antara keempat mazhab yang ada karena pintu ijtihad
sudah ditutup dan tidak seorang pun mampu menjadi seorang mujtahid di masa kini. Pendapat ini menganggap
semua manusia sebagai orang awam sehingga harus taqlid atau mengikuti secara penuh, tanpa boleh sedikitpun
mempertanyakan, mengkritik atau memperbaiki kesalahan para imam.
2. Mengharamkan. Berasal dari kelompok yang menyatakan bahwa bermazhab itu bid’ah, yaitu mengada-ada apa
yang tidak diperintah oleh Nabi Muhammad SAW. Bid’ah dalam agama adalah haram. Mereka menyatakan bahwa
di zaman Rasulullah tidak ada berbagai mazhab, yang ada hanya satu, yaitu mazhab Rasulullah. Karena itu, kita
sekarang harus kembali berijtihad seluasluasnya, langsung kepada Al Qur’an dan Sunnah, tanpa perlu
memperhatikan ulama-ulama mazhab.
3. Membolehkan tanpa pemaksaan pada mazhab tertentu dan kita harus menyempurnakannya sehingga sampai
pada taraf mujtahid. Kelompok ini membagi manusia dalam 3 golongan, yaitu: a) Kelompok awam yang tidak
mengerti dalil sama sekali. Bagi kelompok ini, mereka wajib memilih dan mengikuti salah satu mazhab yang ada.
b) Kelompok pencari ilmu. Bagi kelompok ini dipersilakan memilih salah satu mazhab, tapi boleh mempelajari atau
mengambil dari mazhab lain yang sahih sambil terus menyempurnakan ilmunya. c) Kelompok para ulama
mujtahid (yang memenuhi syarat untuk mampu berijtihad). Kelompok ini haram bermazhab. Mereka harus terus
berusaha mengembangkan ijtihadnya sehingga memperkaya dan mengembangkan khazanah ilmu fikih Islam.
d) Contoh Perbedaan Pendapat Dalam Masalah Furu’.
Perbedaan pendapat dalam masalah furu’ adalah sesuatu yang tak dapat dihindari
karena berbagai sebab, diantaranya:
1. Perbedaan dalam mengartikan bahasa, seperti kata quru’ dalam Al-qur’an Surat Al-
baqarah: 228 bisa bermakna haidh, bisa bermakna suci.
2. Perbedaan dalam memahami hadits, seperti membaca Al-fatihah di belakang imam
(apakah hadits yang melarang membaca di belakang imam termasuk bacaan Al-
fatihahnya atau bacaan suratnya saja).
3. Perbedaan dalam menilai derajat hadits, seperti hadits “air dua kullah tidak
mengandung najis”, Imam Syafi’i menyatakan hadits ini shahih, yang lainnya
mendhoifkannya.
4. Perbedaan yang sudah ada sejak dari masa Rasululloh SAW, seperti memulai Al-
fatihah dengan basmallah atau dengan Hamdalah, perbedaan dalam do’a iftitah,
sujud, I’tidal, tasyahud dan sebagainya.
Contoh perbedaan furu’ lainnya adalah hanya diberikan sebagai contoh karena sangat
banyaknya. Beberapa diantaranya adalah:
1. Fardhu wudhu. Imam syafi’i berpendapat ada tujuh yaitu: membasuh lima anggota wudhu,
niat dan tertib, (memulai dengan urutan sebagaimana dalam Al-qur’an surat Al-maidah: 6.
Imam ahmad menambahkan niat, tartib dan muwalah (bersambung tidak ada jeda waktu),
sedang Imam ahmad menambahkan niat, muwalah dan tadlik (menggosok).
2. Shalat qoshor. Menurut imam Abu Hanifah hukumnya fardhu ‘ain, menurut Imam Malik
hukumnya sunnah muakkadah, menurut Imam Ahmad, sunnah, sedang menurut imam Syafi’I
sunnah, jika lebih dari tiga hari.
3. Shalat jama’, menurut Imam Abu hanifah hanya boleh di Arafah dan Muzdalifah. Menurut
Imam Malik boleh dalam berpergian walaupun dekat dalam kondisi kuatir. Menurut Imam
Sya fi’i boleh dalam bepergian, dan hujan. Menurut Imam Ahmad boleh dalam bepergian,
sakit menyusui, tua dan takut melarat.
4. Membaca Al-fatihah dibelakang imam, menurut Abu Hanifah makruh, menurut Syafi’i wajib,
menurut Malik dan Ahmad, makruh dalam shalat jahriyah (shalat shubuh, maghrib, dan isya’)
dan, sunnah dalam shalat siriyah (shalat dhuhur dan asyar).
d) Sikap Para Ulama’ dalam Menghadapi Perbedaan Furu’ .
Sikap para Ulama’ dalam menyikapi perbedaan ini tidak mempertentangkan, memaklumi
serta menerimanya. Sebagai contoh adalah sikap Imam Syafi’i ketika berkunjung ke kota
tempat dimakamkannya Imam Abu Hanifah, beliau shalat shubuh dengan tidak membaca
doa qunut. Ketika ditanya orang-orang, beliau menjawab, Ana ahtarimu li shohibi hadzal
qabr” (saya menghormati penghuni kubur ini yaitu Imam Abu Hanifah)’.Walau Imam Abu
Hanifah telah wafat, Imam Syafi’i tetap menghormati mazhabnya, apalagi jika masih hidup.

Sikap penghormatan lain yang ditujukan Imam Ahmad saat ditanya tentang bagaimana
berimam kepada imam yang mimisan (keluar darah dari hidung). Imam Ahmad berpendapat
bahwa keluar darah dari hidung membatalkan shalat – karena orang yang bertanya orang
Madinah(mazhab Madinah tidak membatalkan shalat seorang yang mimisan)-, maka jawab
Imam Ahmad dengan nada tinggi:” Bagaimana mungkin saya tidak mau shalat dibelakang
Imam Abu Hanifah atau Imam Sayid bin Musayyib?” (kedua orang tersebut berpendapat
bahwa seorang yang mimisan tidak batal shalatnya”.
SEKIAN
TERIMA
KASIH
SEMOGA BEMANFAAT!

Anda mungkin juga menyukai