Anda di halaman 1dari 34

TUGAS KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN INDONESIA

KEKUASAAN DALAM KEBUDAYAAN JAWA

OLEH :

M. FIKRI CAHYADI
24.0214

KELAS G (MANAJEMEN PEMBANGUNAN)


FAKULTAS MANAJEMEN PEMERINTAHAN

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

(IPDN)

2015

1
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan
Hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan judul: “KEKUASAAN DALAM
KEBUDAYAAN JAWA”.

Melalui kesempatan ini, tidak lepas saya menghaturkan terima kasih yang tidak
terhingga kepada :

1. Yang terhormat, Ibu Aulia Rossi yang telah memberikan petunjuk demi
kesempurnaan pembuatan tugas ini.

2. Kedua orang tua, Saudara-saudara, dan teman-teman yang telah memberikan doa dan
dukungan sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan tugas ini tepat pada waktunya.

3. Siapapun yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah membantu
memberikan masukan, menyediakan literatur dan memberikan kritik untuk kesempurnaan
tugas ini.

Saya menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, sudilah
kiranya para pembaca untuk memberikan masukan dan saran sehingga isi tugas ini dapat
lebih sempurna.

Akhirnya, saya berharap semoga isi tugas ini dapat memberikan manfaat bagi siapa
saja yang memerlukannya dimasa sekarang dan yang akan datang. Amin..

Jatinangor, 16 Maret 2015

Penyusun,

M. FIKRI CAHYADI

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………......…………………………….2

Daftar isi……...…………………………………………………...…………………………...3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...………………………………………………………………………4

1.2 Rumusan Masalah…..……………………..…………………………………………..9

1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan…………....…………………………………………...9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................10

BAB III METODE PENELITIAN...........................................................................................16

BAB IV PEMBAHASAN........................................................................................................20

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan.................................................................................................................29

5.2 Saran............................................................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Jawa adalah bagian dari kepulauan NKRI yang paling padat penduduknya. Pulau
Jawa itu sendiri terbagi menjadi provinsi Banten, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah,
Yogyakarta, dan Jawa Timur. Selain padat penduduknya, Jawa juga kaya akan khasanah
budaya, karena dari masing-masing provinsi tersebut memiliki budaya, tradisi, dan latar
belakang yang berbeda-beda.
Dewasa ini kelangsungan budaya Jawa dalam hubungannya dengan kekuasaan Jawa
mengalami perubahan, terlebih lagi dengan adanya modernisasi, globalisasi, dan
kemajuan teknologi maka mengakibatkan semakin mudah pula merasuknya pola budaya
asing yang sangat berpeluang merusak budaya tersebut.
Kini semakin terlihat dengan jelas bahwa tidak dapat dipungkiri budaya kita kini
semakin tersingkir. Masyarakat lebih condong kepada budaya Barat dan semakin jarang
masyarakat yang peduli dengan budaya leluhur mereka.
Kedatangan kebudayaan Hindhu di Jawa melahirkan kebudayaan Islam Jawa.
Kedatangan bangsa Barat untuk berdagang dan menjajah beserta kebudayaannya
melahirkan kebudayaan Barat Jawa yang cenderung materialistik. Kemudian kebudayaan
Jawa menjadi sinkretis meliputi unsur-unsur: pra-Hindhu (Jawa asli), Hindu Jawa, Islam
Jawa, dan Barat Jawa. Pada jaman prasejarah telah dikembangkan teknologi dasar dalam
pengerjaan keramik, batu, logam (tembaga, emas, perunggu, besi) dan bahan-bahan
tumbuhan seperti kayu, bambu, serta aneka serat dan daun-daunan. Masa Hindu-Budha
membuka babakan sejarah karena pada masa inilah orang Jawa mulai menggunakan
tulisan, baik aksara Siddamatrka (atau disebut juga aksara Pre-Nagari yang hanya
digunakan pada tahapan awal masa Hindu-Budha) ataupun turunan dari aksara Pallawa
(yaitu aksara Jawa Kuno yang untuk selanjutnya berkembang ke dalam berbagai gaya dan
akhirnya menjadi aksara Jawa seperti yang dikenal sekarang) (Edi Sedyawati, 2006: 425)
Penghayatan Kebudayaan Jawa yang terjadi pada masa Hindu-Budha itu adalah dalam
pengembangan konsep mengenai raja dan kerajaan, kosmologi, konsep kemasyarakatan
dengan sistem kasta, konsep “kebenaran tertinggi” serta konsep-konsep keagamaan lain

4
seperti karma, moksa, yoga, tapas. Pengayaan juga terjadi dalan ilmu (misalnya ilmu
argument atau silogisme) dan teknologi (misalnya dalam arsitektur, seni arca, tari, dan
lain-lain) (Edi Sedyawati, 2006: 425-427)
Daerah kebudayaan Jawa luas yaitu meliputi seluruh bagian Tengah dan Timur dari
Pulau Jawa. Sesungguhnya demikian ada daerah-daerah yang secara kolektif sering
disebut daerah kejawen. Sebelum terjadi perubahan-perubahan status wilayah seperti
sekarang ini, daerah itu ialah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang
dan Kediri. Daerah di luar itu dinamakan pesisir dan Ujung Timur (Edi Sedyawati, 2006:
429).
Ruang lingkup kajian budaya yang sangat luas membuat sejumlah pakar kebudayaan
mencari arti kebudayaan melalui pengertian etimologis. Koentjaraningrat (1983: 5)
umpamanya menulis sebagai berikut: kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta
“buddhayah” yaitu bentuk jamak “buddhi” yang berarti “budi” atau ”akal”. Dengan
demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Kata
culture yang merupakan kata asing yang sama artinya dengan kebudayaan berasal dari
kata latin colere atau berarti mengolah atau mengerjakan, terutama mengolah tanah atau
bertani. Dari kata ini berkembang arti culture sebagai segala daya upaya serta tindakan
manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam. Penelusuran secara etimologis akan
memperjelas pengertian kebudayaan namun perlu adanya kehati-hatian terhadap asal usul
kata yang tidak jelas. Sebab hal ini dapat mengaburkan pengertian kebudayaan itu sendiri.
Lebih lanjut Bakker yang di kaji Usman Pelly (1994: 21) menduga bahwa asal kata
kebudayaan berasal dari kata “abhyudaya” dari bahasa sansekerta. Kata “Abhyudaya”
menurut Sanskrit Dictionary yang diambil Bakker adalah sebagai berikut: hasil baik,
kemajuan, kemakmuran yang serba lengkap. Bakker yang di kaji Usman Pelly (1994: 21)
mengartikan secara singkat kebudayaan sebagai penciptaan, penerbitan, dan pengolahan
nilai-nilai insani. Tercakup di dalamnya usaha membudayakan bahan alam mentah serta
hasilnya. Di dalam bahan alam, alam diri, dan lingkungannya baik phisik maupun sosial,
nilai-nilai didefinisikan dan dikembangkan sehingga sempurna. Membudayakan alam,
memanusiakan manusia, menyempurnakan hubungan keinsanian merupakan kesatuan tak
terpisahkan (Usman Pelly, 1994: 21).
Edward Burnett Tylor yang dikaji Pandam Guritno (1988: 1) mendefinisikan
kebudayaan (culture) sebagai berikut:
“That complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and
any other capabilities and habits acquired by man as a member of society” (Kebudayaan

5
adalah keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni,
kesusilaan, hukum, adat, dan setiap kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat).
Dalam kaitannya dengan isi kandungan wayang maka dalam konteks ini
menggunakan konsepsi kebudayaan yang pernah dikemukakan oleh Zoetmulder dan
Djojodigoeno yang dikaji Pandam Guritno (1988: 3) yang mendasarkan pada akar
katanya yaitu kata Sansekerta buddhi yang berati “kesadaran, pengetahuan, maksud, akal,
rasa dan sifat” khususnya tiga unsur dalam buddhi atau budi itu: karsa (kehendak), cipta
(akal), dan rasa. Apa yang tekandung dalam buddhi kita itu yakni karsa, cipta, dan rasa
jika diwujudkan dengan karya atau daya menjadi budaya dan kumpulan budaya dalam
masyarakat dapat dinamakan kebudayaan.
Baik pada tingkat individu (budi) maupun pada tingkat masyarakat atau kesatuan
sosial yang lebih luas (budaya atau kebudayaan) terlihat adanya unsur-unsur karsa, cipta
dan rasa itu yang manifestasinya pada tingkat masyarakat berupa apa yang dianggap baik
(etis), yang masuk akal (logis) dan yang indah (estetis) sehingga menghasilkan ajaran
tentang kesusilaan (etika), segala ilmu pengetahuan tentang alam dan semua isinya
(berdasar logika) dan pandangan tentang keindahan (estetika) (Pandam Guritno, 1988: 4).
Ahli antropologi yang pertama kali merumuskan definisi tentang kebudayaan secara
sistematis dan ilmiah adalah E. B. Taylor yang dikaji Usman Pelly (1994: 23). Beliau
mengemukakan bahwa kebudayaan itu adalah keseluruhan yang kompleks yang di
dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, addat
istiadat dan kemampuan serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
Pengkategorian kebudayaan pada garis besarnya sebagai berikut (Usman Pelly. 1994:
21):
1. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan kecakapan yang
dimiliki manusia sebagai subjek masyarakat
2. Ahli sejarah menekankan pertumbuhan kebudayaan dan mendefinisikan
sebagai warisan sosial atau tradisi
3. Ahli filsafat menekankan pada aspek normatif, keidah kebudayaan dan
realisasi cita-cita
4. Antopologi melihat kebudayaan sebagai tata kehidupan, way of life, dan tata
tingkah laku

6
5. Psikologi mendekati kebudayaan dari segi penyesuaian manusia kepada alam
sekelilingnya, kepada syarat-syarat hidup
6. Ilmu bangsa-bangsa gaya alam dan petugas museum menaksir kebudayaan
atau hasil artifact dan kesenian
7. Beberapa definisi lainnya yang agak istimewa dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1) Dialectic of challenge and respons (Toynbee)
2) Superstruktur ideologis yang mencerminkan pertentangan kelas (K. Marx)
3) Gaya hidup feodal aristokratis (Al Farabi)
4) Kebudayaan sebagai comfort (Mentagu)
Kroeber dan Klukhon yang dikaji Munandar Sulaeman (1998: 10) mendefinisikan
kebudayaan terdiri dari berbagai pola, bertingkah laku mantab, pikiran, perasaan dan
reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun
pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia termasuk di dalamnya
perwujudan benda-benda materi, pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau
paham dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai.
Salah seorang ahli yaitu Kroeber yang dikaji Nani Tuloli (2003: 1) mengemukakan
batasan yang agak lengkap “Budaya adalah keseluruhan kompleks yang terdiri atas
pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan dan kapabilitas lain, serta
kebiasaan apa saja yang diperoleh seorang manusia sebagai anggota suatu masyarakat”.
Batasan lain seperti yang dikemukakan Linton yang dikaji Nani Tuloli (2003: 1) “Budaya
berarti keseluruhan bawaan sosial umat manusia”. Herkovitz yang dikaji Nani Tuloli
(2003: 1) juga mengemukakan “budaya adalah bagian buatan manusia yang berasal dari
lingkungan manusia”.
Budaya dapat dilihat dari sistem pemikiran yang mencakup gagasan, konsep-konsep,
aturan-aturan, serta pemaknaan yang mendasari dan diwujudkan dalam kehidupan
masyarakat yang dimilikinya melalui proses belajar yang dikaji Nani Tuloli (2003: 2).
Dari titik tolak ini, C. Geertz yang dikaji Nani Tuloli (2003: 3) berpendapat bahwa
kebudayaan adalah sistem pemaknaan yang dimiliki bersama dan merupakan hasil dari
proses sosial dan bukan proses perseorangan.
Menurut Ki Hajar Dewantara, kebudayaan adalah buah budi manusia hasil perjuangan
terhadap alam dan jaman (kodrat dan masyarakat) untuk mengatasi berbagai kerintangan
dalam penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagian yang pada lahirnya
bersifat tertib dan damai (Mahjunir, 1967: 53).

7
Kluckhohn mendefinisikan kebudayaan: (1) Keseluruhan cara hidup suatu
masyarakat, (2) Warisan sosial yang diperoleh individu pada kelompoknya, (3) Suatu cara
berfikir, merasa, dan percaya, (4) Suatu abstraksi dari tingkah laku, (5) Suatu teori pada
pihak antropologi tentang cara suatu kelompok masyarakat nyatanya bertingkah laku, (6)
Suatu gudang untuk memperkenalkan hasil belajar, (7) Seperangkat orientasi-orientasi
standar yang pada masalah-masalah yang sedang berlangsung, (8) Tingkah laku yang
dipelajari, (9) Suatu mekanisme untuk pentaan tingkah laku yang bersifat normatif, (10)
Seperangkat teknik untuk menyesuaikan baik dengan lingkungan luar maupun dengan
orang-orang lain, dan (11) Suatu endapan sejarah dengan mungkin rasa putus asa, beralih
kebiasaan sebagai suatu matriks (Clifford Geertz, 1992: 5).
R. Linton mengemukakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku
yang unsur-unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat
tertentu.
Harsojo yang dikaji Usman Pelly (1994: 23) menemukan inti kebudayaan sebagai
berikut:
1. Kebudayaan yang terdapat antara umat manusia itu sangat beraneka ragam
2. Kebudayaan itu didapat dan diteruskan secara sosial dengan pelajaran
3. Kebudayaan itu terjabarkan dari konsep-konsep biologi, komponen psikologi
dan sosiologi dari existensi manusia
4. Kebudayaan itu berstruktur
5. Kebudayaan itu terbagi dalam aspek-aspek
6. Kebudayaan itu dinamis
7. Nilai-nilai dari dalam kebudayaan itu relatif
Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup, manusia belajar berfikir, merasa,
mempercayai, dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Budaya adalah
suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai
tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama,
waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek material dan milik
yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke genarasi melalui usaha individu
dan kelompok (Deddy Mulyana, 1993: 18-20).
Simmel yang dikaji Peter Beilharz (2002: 332) melukiskan kebudayaan sebagai
proses menjadi ada melalui pertemuan antara dua unsur yang tak satupun dirinya
mengandung kebudayaan pada dirinya sendiri, produk jiwa subjektif dan spiritual
objektif.

8
Dalam pengertian juga termasuk tradisi dan tradisi dapat diterjemahkan dengan
pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Tradisi
bukanlah sesuatu yang dapat dirubah, tadisi justru diperpadukann dengan ragam
perbuatan perbuatan manusia dan diangkat dengan keseluruhannya. Manusialah yang
membuat sesuatu dengan tradisi itu, ia menerimanya, menolaknya, atau merubahnya.
Itulah sebabnya mengapa kebudayaan merupakan cerita tentang perubahan-perubahan
riwayat manusia yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang
sudah ada (Van Peursen, 1976: 11).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkanlatar belakang dan permasalahan seperti yang telah dikemukakan di atas,


perlu dicari jawab atas pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

(1) Apakah Kekuasaandan Kebudayaan itu?


(2) Bagaimana Konsep Kekuasaan dalam Budaya Jawa?
(3) Bagaimanakah pengaruhnya terhadap kondisi politik dan pemerintahan Indonesia
saat ini ?

1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan

1. Maksud Penulisan
Maksud penulisan ini adalah untuk membantu saya dalam menyelesaikan tugas
terstruktur mata kuliah Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Selain itu juga
menambah wawasan dan pengetahuan saya terhadap analisis fakta dan realita yang terjadi
di lapangan.
.
2. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan yang ingin dicapai adalah :
1) Mengetahui dan memehami secara menyeluruh apa itu kekuasaan dan kebudayaan
Jawa

9
2) Mempelari secara mendalam tentang proses dan jalan nya kekuasaan dalam
kebudayaan Jawa, serta dampak yang ditimbulkannya kepada masyarakat.
3) Memberikan pengetahuan dan gambaran polemik kepada pembaca dan orang-orang
sekitar tentang fakta empirik yang terjadi di lapangan.
4) Sebagai bahan ajaran dan renunagan agar nanti mampu dan siap turun ke lapangan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi ( budi atau akal ) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia.

Budaya didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk


sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan pengalamannya dan
menjadi landasan bagi tingkah lakunya.

Sebuah kebudayaan adalah milik bersama anggota masyarakat atau suatu golongan
sosial, yang penyebaran dan pewarisan kepada anggota-anggotanya yakni kepada generasi
berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang
terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai
peralatan yang dibuat oleh mereka).

Kejawen adalah peradaban yang terbentuk di Jawa merupakan aturan moral yang
terapi unsur-unsur religius. Bagi masyarakat Jawa, mitos adalah sebuah sistem ide yang
digunakan sebagai “cara untuk menjelaskan dunia”.

Digelar dua buah kongres untuk mengembalikan kejayan budaya Jawa. Kongres yang
pertama, kongres sastra Jawa (KSJ) diadakan di Solo (6-7 Juli 2009) . Kongres kedua ,
Kongres Bahasa Jawa (KBJ) digelar di jantung peradaban Jawa, Yogyakarta (15-21 Juli
2009).

“Dalam catatan Yunani, yang ditulis Claucius Ptolomeus (tahun 165 M) istilah
labadiou (jawadwipa) digunakan untuk menyebut pulau Jawa, yang mana kurang lebih
artinya adalah sebuah pulau yang jauh terletak di tenggara yang kaya akan beras .

10
Njowo digunakan sebagai sebuah ungkapan untuk mendefinisikan tingkah laku
seseorang, atau dengan kata lain njowo itu adalah mengerti; paham; beretika sesuai dengan
(budaya) Jawa .

Peradaban tertua di Indonesia yang tercatat dalam perjalan pelancong-pelancong (dari


Cina maupun pedagang India ) masa lalu adalah Sakanagara (abad 1 M) sendiri terletak di
pesisir barat Pulau Jawa, di sekitar daerah Pandeglang. Dari komunitas ini kemudian lahirlah
Taramarajuk (abad 4 M). Sedangkan di bagian tengah Pulau Jawa, peradaban tertua di awali
dengan kerajaan Kalingga (abad 6 M). Kemudian untuk Pulau Jawa bagian timur , peradaban
pertama yang dicatat adalah kerajaan Kanjuruhan dengan ditemukannya prasasti Dinoyo
(tahun 760) yang ditulis dengan huruf Jawa Kuno (Kawi). Kemudian dilanjutkan dengan
kerajaan yang didirikan oleh Mpu Sendok, raja terakhir dari Wangsa Sanjaya yang berkuasa
di Mataram pada abad 9 M, yang memindahkan ibukota kerajaan lebih ke timur di tepi
Sungai Brantas. Diduga karena bencana alam meletusnya gunung Merapi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan “peradaban tertua yang pernah tercatat di Pulau
Jawa dimulai dari barat ke timur”. Juga terdapat bentuk sinkritisme yang paling pas dan
harmonis antara ajaran teologi Islam-Hindu-Buddha-dan Jawa”.

Konsep-konsep tentang kekuasaan oleh konsepsi Jawa berbeda secara radikal ,


beberapa filusuf yang telah menuangkan pemikirannya tentang kekuasaan adalah
Machevelli dan Hobbes, para pemikir barat ini lebih fokus kepada, sifat, sumber dan
pengunaan kekuasaan. Untuk menjelaskan kekuasaan Jawa mungkin tidak mudah, kalau
berbicara pada kekuasaan yang dibandingkan dengan konsep Eropa moderen dapat
disimpulkan dibawah empat judul

Pertama, kekusaan itu bersifat abstrak , kekuasaan itu tidak ada, kekuasaan itu
biasannya untuk menerangkan suatu hubungan atau lebih, seperti menjelaskan kewibawaan
atau keabsahaan, maka kekuasaan abstraksi, sesuatu rumusan dengan pola-pola interaksi
sosial yang suatu kebetulan sedang diamati. Jadi biasannya kita menyimpulkan kekuasan itu
ada dalam berbagai macam keadaan, dimana dalam suatu kegiatan orang patuh terhadap
kemauan orang lain, baik secara sukarela maupun tidak. Kita dapat melihat kekuasaan itu
sendiri ketika terjadi interaksi hubungan sebab akibat antara perintah dan pelaksanaannya.
Kedua, sumber-sumber kekuasaan bersifat heterogen, karena kekuasaan dapat disimpulkan
dalam pola-pola hubungan sosial tertentu, sehingga banyak para filusuf barat kemudian

11
memikirkan klatifikasikan dan menganalisis pola-pola hubungan-hubungan ini. Mencurahkan
pemikirannya bagaimana kemudian membedakan berbagai sumber kekuasaan. Maka orang
barat telah menerima sumber kekuasaan itu sendiri berupa harta kekayaan, status sosial,
jabatan formal atau organisasi, senjata, jumlah penduduk dan sebagainya.

Ketiga,akumulasi kekuasaan tidak ada batasnya yang inheren, kerena kekuasaan


hanya mengambarkan suatu abstraksi yang mengambarkan hubungan tertentu antara manusia,
maka kekuasaan itu secara inheren tidak membatasi diri. Orang Barat mengangap kekuasaan
mencakup senjata, kekayaan, organisasi dan teknologi maka mereka harus mengakui bahwa
sekurang kurangnya dalam akumulasi kekuasaan tidak ada batasnya. Keempat, tidak
mempersoalkan keabsahan, karena kekuasaan dari dahulu berasal dari sumber tunggal yang
homogen, maka kekuasaan itu lebih dahulu dari pada masalah- masalah buruk atau baik,
menurut cara pemikiran orang Jawa, menuntut hak kekuasaan berasal dari sumber-sumber
kekuasaan yang berbeda, kekuasaan yang hanya berdasarkan kepada kekayaan adalah absah,
sedangkan kekuasaan yang hanya berdasarkan kepada senjata adalah tidak absah. Jadi orang
Jawa memandang kekuasaan bersifat konkrit, homogen, tetap jumlah keseluruhannya, yang
tidak memunculkan implikasi moral yang inheren.

Mencari Kekuasaan, kekuasaan tidak hanya berbicara bagaimana mengunakan


kekuasaan, melainkan bagaimana menghimpunnya, sebagian besar kepustakaan tradisional
lebih mengutamakan bagaimana memusatkan dan mempertahankan kekuasaan, dari pada
masalah bagaimana mengunakannya dengan wajar, di Jawa kekuasaan dapat diperoleh
dengan mempraktekkan yoga dengan cara berpuasa, tidak tidur, bersemadi dan tidak
melakukan hubungan suami istri, pemurnian ritual untuk menyempurnakan sesajian.
Semuannya untuk memusatkan dan memfokuskan kekuasaan. Orang percaya para pembuat
keris, legendaries zaman dahulu mampu menempa mata keris yang terbuat dari besi, dengan
pamornya yang indah dengan panas yang terpusat pada ibu jari mereka , dalam cerita wayang
pada bagian gara- gara yang khas dimana orang pertapa tidak dikenal namanya bersemedih
maka perwujudan yang paling menyolok dari kosentrasinya adalah, seperti yang dikatakan
para dalang , lautan mulai mendidih dan bergolak.

Para ortodoks berbiacara tentang jalan kekuasaan, di Jawa juga terdapat keterodoks,
seperti pribadi raja Singosari yang terakhir yaitu raja Kertanegara, kekuasaan dicari melalui
mabuk- mabukkan, pesta seks, dan pembunuhan ritual (tradisi Bhairavis). Ajaran yang
mengikuti hawa nafsu yang secara sistimatis dalam bentuk yang paling ekstrem adalah

12
menghabiskan nafsu itu sendiri, sehingga tidak menghalangi seseorang untuk memusatkan
kekusaannya. Menurut tradisi Jawa lama, para penguasa harus mengumpulkan sesuatu yang
mengangap atau mempunyai kekuatan, seperti di kraton banyak alat-alat yang dipenuhi oleh
banda-benda pusaka, seperti keris tombak, alat-alat musik suci dan lain-lain.

Pratanda-pratanda kekuasaan, sebagai tradisi pemikiran politik Jawa, sebagai


pratanda-pratanda pemusatan kekuasaan, bukan pada perbuatan memperlihatkan, pemakaian
dan pengunaannya. Pratanda ini dicari orang baik sebagai pemegang kekuasaan maupun
didalam masyarakat dimana ia memegang kekuasaanya. Konsep yang penting menurut orang
Jawa adalah hubungan batin seseorang dan kemampuan untuk mengendalikan
lingkungannya. Jadi pratanda sebenarnya orang yang mempunyai kekuasaan adalah
kemampuannya untuk berkosentrasi, memfokuskan kekuasaan individunya sendiri, menyerap
kekuasaan dan memusatkan dalam dirinya dalam hal-hal yang kelihatannya bertentangan.
Para pengamat asing dari pristiwa-pristiwa yang terjadi di Indonesia, sering mengatakan
bahwa kegiatan seksual Soekarno yang disebarkan secara luas, kelihatannya tidak merugikan
dari segi politik, malah dikatakan orang Jawa merasa memang sudah kodratnya, jika para
penguasa bertindak seperti itu, jika analisis diatas memang benar maka aspek-aspek
kehidupan pribadi Soekarno tidak diperhatikan dalam perspektif seperti itu. Sebab pratanda-
pratanda kejantanan penguasa adalah petunjuk-petunjuk politik bahwa ia masih mempunyai
kekuasaan, sebaliknya penurunan menyolok dalam seksual dapat diangap sebagai tanda
surutnya kekuasaan dalam hal-hal lain. Istana ketika itu yang selalu menyiarkan kehidupan
pribadi Soekarno tidak lebih tujuannya adalah untuk mempertahankan kewibawaaan itu
sendiri.

Kekuasaan dan sejarah, pandangan Jawa tradisional tentang sifat dan struktur proses
sejarah Sartono mengatakan bahwa perbedaan pokok antara pandangan Jawa tradisional
tentang sejarah dan perspektif Barat modern adalah sejarah dipandang sebagain suatu gerakan
yang mengikuti garis lurus yang berjalan mengikuti waktu, sedangkan orang Jawa seringkali
mengangap sejarah mereka sebagai rangkaian lingkaran yang terjadi berulang-ulang.
Kesatuan dan pusat, masyarakat yang baik tidak bersifat hirarkis secara ketat, karena hirarkis
memerlukan sebuah otonomi pada masa tertentu yang masing-masing berbeda tingkatannya.
Cahaya lampu yang berangsur-angsur meredup secara tidak putus-putus dengan semakin
jauhnya cahaya tersebut dari bola lampunya, adalah bentuk perumpamaan konsepsi Jawa
yang tepat mengenai hubungan pusat dan daerah juga kedaulatan teritorial. Sementara
cahayannya tidak berbeda- beda ini menunjukkan homogenitas kekuasaan, maka warna

13
cahaya yang putih yang merupakan persenyawaan sinkritisme dari semua spktrum cahaya itu,
melambangkan aspek-aspek yang memperstukan dan memusatkan. Penguasa dan kelas yang
berkuasa, structural kekuasaan kerajaan Jawa sebelum masa penjajahan perluasan rumah
tangga dan staff pribadi raja, para pejabat diberi kedudukan dan keuntungan yang menyertai
pangkat, sebagai anugrah raja dan dapat dipecat dan diberhentikan sekehendak raja. Konsep
kawula gusti atau poros gusti, dimana kekuasaan gusti yang tertinggi yaitu yang terdiri dari
kelompok gusti yang sampai pada akhirnya kaum petani, jadi status raja jelas berbeda dengan
anggota keluarga dekat yang biasa.

Kekuasaan dan etika Jawa tradisional yang terdiri dari priyayi merupakan sebutan
paling umum mengandung nilai-nilai etika, sifat dari priyayi untuk membedakan dengan
kelompok lain adalah dari kehalusan sifat mereka. Kehalusan jiwa berarti penguasaan diri
dan kehalusan penampilan tampan dan bercita rasa, tata krama, dan perasaan peka.
Kekebalan yang halus merupakan sifat khas satria yang sangat didambakan, baik sebagai
tokoh militer maupun negarawan yang lawannya adalah pamrih yang sangat membahayakan.

Penulis meilhat orang yang berkuasa berarti mempunyai nilai lebih dibandingkan
dengan yang lainnya, nilai lebih ini dapat berupa kharisma, harta, jabatan, tapi dalam
konsepesi Jawa kekuasaan tidak bersifat kongkrit, kekuasaan diperoleh atau didapat bisa
bersifat spiritual atau utopis, yang dititipkan oleh kekuatan raja di raja, untuk mengatur atau
memerintah kawula, tidak ada yang menentang perintah raja karena raja adalah tangan tuhan,
yang menarik lagi konsep kekuasaan tradisional Jawa adalah diperoleh dengan memuaskan
hawa nafsu, seperti mengorbankan para gadis untuk dikorbankan, pertaapaan dan semedih
atau puasa. Kemudian mereka berani mengatakan sudah memiliki kekuasaan yang dititipkan
kepadanya.

Kekuasaan masyarakat Barat itu lebih emperisme atau konkrit seperti pemilihan
sekarang melalui legitimasi kekuasaan, hasil preferensi pemilu, ini kemudian orang tersebut
ketika menang baru berkuasa, berbeda pada masa tradisional yang banyak mengandung
kekuatan yang tidak jelas, tapi bisa mempengaruhi rakyat untuk berkerja bersama dengan
raja, raja tidak pernah dilawan karena raja adalah titipan tangan tuhan untuk mengatur. Kalau
tidak terjadi harmonisasi antara kawula dan gusti ada kemungkinan kekuasaannya akan
hancur, bdersamaan dengan kerajaannya, keetika kawulanya meninggalkan kerajaan, karena
terlalu di tindas, dan mereka pindah kerajaan. Maka semakin berkirang rakyat kerajaan maka
titik kehancuran keranjaan akan semakin dekat.

14
Penulis menganalis kekuasaan dapat diperoleh melalui pengetahuan ini adalah
kekuasaan hari ini, berbeda dengan kekuasan zaman tradisonal jawa yang kekuasaan dapat
diperoleh melalui konsep kesaktian spiritual dan batiniah. Pendidikan Jawa tradisionalisme
hari ini dapat kita lihat pesantren yang banyak berdiri di pulau Jawa dari pengaruh wali
songgo, dibandingkan dengan pulau lain, di bawah pengaruh guru atau kiai, melalui
tingakatan yang telah diatur mulai dari tingkatan ilmu dasar sampai tingakatan yang esoteric
yang rahasia tentang mengenai ada tentang tuhan. Konsepsi kekuasaan jawa tidak dapat
dipisahkan dari charisma itu sendiri menjadi sumber kekuasaan pada hari ini, karena
charisma benar-benar terletak pada seorang pemimpin , seorang pemimpin yang kadangkala
dinagap luar biasa yang kadang-kadang mengemban tugas sejarah yang diangap dari tuhan.

Sampai hari ini kekusaan kiyai masih kita rasakan di tanah Jawa, sangat dihormati,
bahkan berdoa di kuburan kiyai mendapatkan berkah dan bertambah rezeki. Kiyai pernah
berkuasa walaupun secara fisik tidak memenuhi syarat untuk berkuasa tapi karena pengaruh
kharisma yang dominan, misalnya Gusdus pernah jadi Presiden di negeri ini begitu dihormati
dan sanjung, kiyai di terima pemikiranya secara taken for granted bahkan bekas air basuh
kakinya di minum supaya berkah dan sehat, ketika Gusdur meninggal, tanah kuburannya
diambil, begitu kuatnya kekuataan spiritual yang berpengaruh di kehidupan Jawa. Kekuasaan
ini yang dimiliki oleh kiyai sampai hari ini .

15
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Fenomenologi merupakan suatu tatanan berpikir secara filosofi terhadap obyek yang
diteliti (Endraswara, 2003:38). Dalam penelitian sastra, fenomenologi tidak mendorong
kertelibatan subyektif murni, melainkan ada upaya memasuki teks sastra sesuai kesadaran
peneliti. Otoritas peneliti sebagai pemberi makna memiliki peranan penting dalam
pelaksanaan penelitian. Hal ini yang kemudian menghendaki pengungkapan sebuah gejala
didasarkan pada penjelasan dan pengertian gejala tersebut. Penangkapan gejala dalam
penelitian ini berusaha mengungkap pengertian objek sastra yang didasarkan pada kajian
bahasa, yang meliputi kajian makna dari fenomena yang diamati, kemudian dipilah, disaring,
dan ditemukan gambaran pengertian murni. Sesuai dengan fenomenologi sastra khususnya
aliran Jenewa, penelitian ini menyikapi sastra sebagai gejala yang memiliki realitas objektif.
Peneliti sebagai pembaca berusaha melukiskan fenomena melalui konkretisasi dalam
kaitannya dengan pemahaman karya sastra yang bertumpu pada karya sastra itu sendiri.
Pemahaman demikian perlu dilakukan, karena fenomenologi sastra pada dasarnya berupaya
menyikapi teks sastra sebagai hasil olahan pencipta.

Berdasarkan landasan pemikiran dengan dasar filosofi dalam fenomenologi sastra


maka peneliti menyusun rancangan penelitian ini dengan menggunakan metode deskriptif
dalam bentuk kualitatif. Menurut Moleong (2007:6) penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain; secara holistik, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penelitian kualitatif digunakan untuk

16
mendeskripsikan fenomena sosial yang terdapat dalam subjek penelitian ini, yang membahas
mengenai pengalaman pribadi individu dalam lingkungan sosial yang tercermin dalam suatu
karya sastra yakni puisi. Subjek penelitian ini adalah puisi populer karya pendengar Radio
Primadona Pontianak, dan unsur-unsur pada struktur puisi seperti bunyi, irama, dan kata
merupakan objek analisis penelitian yang akan dibahas pada bagian hasil penelitian dan
pembahasan.

3.2 Pendekatan Penelitian

Karya sastra khususnya puisi merupakan sebuah sistem tanda yang


mempunyai konvensi-konvensi sendiri. Menurut Pradopo (2003:122) dalam menganalisis
karya sastra, peneliti harus menganalisis sistem tanda itu dan menentukan konvensi-konvensi
apa yang memungkinkan tanda-tanda atau struktur tanda-tanda dalam karya sastra itu
mempunyai makna. Jadi, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
semiotik. Teori semiotika yang digunakan peneliti sebagai acuan dalam menganalisis data
yang berkenaan dengan unsur-unsur dalam struktur sebuah puisi yakni teori semiotik I.A.
Richard yang menggunakan teori trikotomi yang dikembangkan dari teori Saussure dan teori
Barthes.

Dalam teori Saussure, semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu
penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda dilihat dari bentuk/ wujud fisik yang
dapat dikenal melalui bentuk luarnya, sedangkan petanda dilihat sebagai makna yang
terungkap melalui konsep, fungsi atau nilai-nilai yang terkandung dalam bentuk fisiknya.
Eksistensi Saussure adalah relasi antara penanda dan pertanda berdasarkan konvensi, yang
biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika siginifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari
relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu.
Kesepakatan sosial dibutuhkan untuk dapat memaknai tanda tersebut. Semiotika Barthes
dikemukakan oleh Roland Barthes, dalam teorinya Barthes mengembangkan semiotika
menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan
makna eksplisit, langsung, dan pasti. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang
menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak
eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.

17
Kemudian berdasarkan kedua teori di atas, I.A Richard mengemukakan teori
semiotika trikotomi dengan mengembangkan teori Saussure dan teori Barthes yang di
dalamnya terdapat hubungan petanda (signified) dengan penanda (signifier), dan selanjutnya
penanda dibagi menjadi dua yaitu peranti (Actual Function/ Object Properties) dan penanda
(signifier) itu sendiri. Petanda merupakan konotasi dari penanda, sedangkan peranti
merupakan denotasi dari penanda. Pada teori ini petanda merupakan makna, konsep, gagasan,
sedangkan penanda merupakan gambaran yang menjelaskan peranti, penjelasan fisik objek
benda, dan kondisi objek/ benda.

Menurut Riffatterre (Pradopo, 2003:134-135) untuk memberi makna sajak


secara semiotik, dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya, sedangkan
pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan konvensi sastranya.
Langkah kerja yang dilakukan peneliti untuk menganalisis data berupa unsur-unsur pada
struktur puisi populer karya pendengar Radio primadona Pontianak ini dengan
memperhatikan sistem penandaan terdapat pada teks, yaitu: 1) memahami tanda sesuai
dengan arti yang disampaikan (denotasi), 2) mengartikan tanda secara konotasi atau sesuai
dengan konteks kalimat di dalamnya, dan 3) memaknai tanda dengan melakukan pembacaan
semiotik untuk mengiterpretasi tanda-tanda dalam struktur puisi.

3.3 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah dengan mencari penyelesaian dari rumusan
masalah yang telah ada, maka kami melakukan pengamatan terhadap problematika yang
terjadi di masyarakat melalui fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari dan dari internet. Dan untuk memberikan keluaran maka kami mencari solusi
yang tepat untuk mengatasi masalah yang ada.

3.4 Pengujian Keabsahan Data

Data-data yang telah dikumpulkan akan melalui proses pengujian keabsahan data
tersebut. Peneliti menggunakan beberapa teknik dalam menguji keabsahan data-data tersebut,
yaitu dengan ketekunan pengamatan, dan triangulasi.

3.4.1 Ketekunan Pengamatan

Ketekunan atau keajegan pengamatan dalam pengujian keabsahan data dilakukan


dengan mencari secara konsisten penelaahan dengan berbagai cara dalam kaitan dengan

18
proses analisis yang konstan atau tentatif. Ketekunan pengamatan bertujuan menemukan ciri-
ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang relevan dengan permasalahan yang sedang dibahas
dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Keseluruhan data yang
telah dikumpulkan akan diamati secara seksama dan kemudian diidentifikasi sesuai dengan
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

3.4.2 Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu


yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data
itu. Teknik triangulasi yang akan dilakukan yakni dengan jalan memanfaatkan peneliti atau
pengamat lainnya secara teoritik seperti dosen pembimbing (Drs. Syamsurizal, MA dan Dr.
Muhadam Labolo, M.Si). Hal ini dilakukan untuk keperluan pengecekan kembali derajat
kepercayaan data. Pemanfaatan pengamat lainnya membantu mengurangi terjadinya
penyimpangan data, sehingga keabsahan data lebih bersifat objektif.

3.4.3 Diskusi Teman Sejawat

Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang
diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan sejawat. Rekan sejawat yang dipilih
peneliti untuk mengkonfirmasi hasil analisis peneliti ini adalah rekan sesama praja program
studi manajemen pembangunan, keuangan, dan politik pemerintahan (M. Fikri Cahyadi, Deo
Jhonri Hervandes, dan Ridho Avaldo). Hasil analisis yang telah diperoleh peneliti selanjutnya
dikonfirmasi oleh para rekan sejawat ini khusus kekuasaan dalam kebudayaan Jawa.

19
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pengertian Kekuasaan

Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para ilmuwan mengenai definisi
kekuasaan. Perbedaan pengertian ini, sesungguhnya dipengaruhi oleh “sikap jiwa pribadi”
dari pembahas yang bersangkutan (Soemardji, 1984: 30). Ada suatu kelompok pendapat yang
mengartikan kekuasaan itu sebagai suatu dominasi (dominance), dan ada yang pada
hakekatnya bersifat “paksaan” (coercion). Sebgai contoh, misalnya pendapat Strausz-Hupe,
yang merumuskan kekuasaan sebagai “kemampuan untuk memaksakan kemauan kepada
orang lain”. Pendapat senada dikemukakan oleh C. Wright Mills, yang mengatakan:
“Kekuasaaan itu adalah dominasi, yaitu kemampuan untuk melaksanakan kemauan
kendatipun orang lain menentang”. D emikian pula Harold D. Laswell menganggapnya,
“tidak lain dan tidak bukan adalah penggunaan paksaan yang kuat” (Ibid.: 31). Suatu
pengertian yang lain tentang kekuasaan terlihat dalam karangan-karangan Talcott Parsons,
Robert S. Lynd, dan Marion Levy, Jr. Untuk kelompok yang kedua ini, pengertian pokok dari
kekuasaan adalah “pengawasan” (control). Akan tetapi fungsinya atau sifatnya tidaklah harus
selalu merupakan paksaan. Untuk Parsons umpamanya, kekuasaan adalah “pemilikan fasilitas
untuk mengawasi”. Akan tetapi keperluannya ialah untuk “pelaksanaan fungsi dalam dan
untuk masyarakat sebagai suatu sistem”, untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ataupun
akan ditentukan secara mengikat oleh umum. Dengan perkataan lain, persoal an pokok untuk
kelompok paham terakhir ini, ialah “legitimasi” (legitimacy) atau “pembenaran” dari “dasar”
kekuasaan. Sebagaimana dirumuskan oleh Parsons: “legitimasi dari pengawasan demikian itu
mempunyai arti yang penting untuk kedudukan kekuasaan dalam masyarakat dalam
hubungannya dengan sistem tujuan-tujuannya” (Ibid.: 32). Sekalipun ada banyak pandangan

20
yang berbeda mengenai kekuasaan, akan tetapi agaknya ada satu inti yang terlihat dalam
semua perumusan itu, yaitu bahwa kekuasaan dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk
mempengaruhi orang lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai
dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.

4.2 Konsep Kekuasaan

Setiap masyarakat, maupun setiap bangsa pasti memiliki konsep tentang kekuasaan
(power). Hal ini disebabkan, karena kekuasaan erat kaitannya dengan masalah
kepemimpinan, dan bahkan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Konsep
kekuasaan antara masyarakat (bangsa) yang satu dengan masyarakat (bangsa) yang lain sudah
barang tentu berbeda-beda. Perbedaan ini tidak lain, disebabkan oleh perbedaan latar
belakang sosial-budaya dan pandangan hidupnya. Dalam masyarakat Indonesia yang terdiri
dari berbagai macam suku bangsa dan pandangan hidup, dengan sendirinya terdapat
bermacam persepsi mengenai kekuasaan. Oleh karena itu, sebelum kita memasuki analisis
mengenai konsep kekuasaan Jawa, ada baiknya kita membicarakan terlebih dahulu beberapa
aspek dan sifat kekuasaan secara umum; serta menelaah hubungannya dengan beberapa
konsep yang sangat erat kaitan dengannya. Hal ini perlu, karena di antara konsep ilmu politik,
yang banyak dibahas dan dipermasalahkan, adalah kekuasaan. Hal ini disebabkan karena
konsep ini bersifat sangat mendasar dalam ilmu sosial pada umumnya, dan ilmu politik pada
khususnya. Malahan, pada suatu ketika, politik (politics) diangggap tidak lain dari masalah
kekuasaan belaka. Sekalipun pandangan ini telah lama ditinggalkan, akan tetapi kekuasaan
tetap merupakan gejala yang sangat sentral dalam ilmu politik (Budiardjo, 1984: 9).

4.3 Kekuasaan dalam Budaya Jawa

Sependapat dengan Anderson, kalau kita mempelajari kepustakaan Jawa klasik dan
tingkah-laku politik Jawa dewasa ini; maka kita akan mengetahui, bahwa salah satu kunci
untuk memahami teori politik Jawa mungkin adalah tafsiran secara tradisional tentang apa
yang dinamakan kekuasaan oleh ilmu sosial. Hal ini disebabkan karena konsepsi Jawa
berbeda secara radikal dari konsepsi yang telah berkembang di Barat sejak Zaman
Pertengahan. Dari perbedaan inilah sudah logis timbul pandangan-pandangan yang berbeda

21
pula mengenai cara-cara berjalannya politik dan sejarah. Menurut Sartono, konsep kekuasaan
atau otoritas kharismatik di dalam masyrakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Jawa
pada khususnya, mempunyai denotasi pengertian kesaktian. Namun berbeda dengan
penjelasan Ben Anderson, dalam uraiannya soal konsep kekuasaan Jawa perlu di utarakan di
sini, bahwa konsep Jawa mengenai kek uasaan berdimensi empat sesuai dengan konsep
pewayangan: sakti-mandraguna, mukti-wibawa. Mandraguna menunjukkan kepada
kecakapan, kemampuan, ataupun ketrampilan dalam satu atau beberapa bidang, seperti olah
senjata, kesenian, pengetahuan, dan sebagainya. Mukti lebih berhubungan dengan kedudukan
yang penuh dengan kesejahteraan. Wibawa berarti kedudukan terpandang (prestise) yang
membawa pengaruh besar (Kartodirdjo, 1984: viii).

4.4 Konsep Kekuasaan Masyarakat Jawa

Mengacu pendapat R.O.G. Anderson dalam bukunya ” The Idea of Power in


Javanese Culture” menyebutkan ada empat hal yang menjadi dasar pemikiran kekuasaan
dalam perspektif kebudayaan Jawa, yakni: (1) kekuasaan itu kongkret; (2) kekuasaan itu
homogen; (3) jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap dan (4) kekuasaan tidak
mempersoalkan keabsahan.

Keempat dasar-dasar pemikiran ini merupakan perpadauan dan konsistensi dari sistem
kekuasaan Jawa. Kekuasaan Jawa memang hampir seluruh kekuasaan terpusat pada raja. Hal
ini dapat dilihat dari konsep kerajaan Mataram yang menggunakan konsep keagunbinataraan.
Kekuasaan besar yang wenang wisesa ing sanagari, dalam konteks pewayangan sering
dinamakan gung binathara, bau dendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara
hukum dan penguasa dunia). Oleh karena itu raja berhak mengambil keputusan apa saja
termasuk keputusan ia untuk melakukan apapun untuk kerajaannya, termasuk yang ada di
dalamnya yang berarti termasuk hidup manusia di dalam kerajaannya. Dengan demikian bila
raja menginginkan sesuatu maka ia akan dengan mudah mendapatkan apa yang ia inginkan
dan ketika ada orang yang tidak mau memberikan apa yang diinginkan sang raja maka ia
akan diperangi. Sehingga dengan keadaan seperti demikian rakyat akan takut dan tunduk
kepada raja.

Namun dalam konsep kekuasaan Jawa, seorang pemimpin dalam berkuasa harus
diimbangi oleh beberapa sikap seperti berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta (berbudi
luhur serta mulia dan bersifat adil kepada siapa saja dan adil dengan penuh kasih sayang).

22
Raja yang baik harus dapat menjaga keseimbangan antara kewenangan yang besar dengan
kewajiban yang besar pula. Tugas raja adalah membuat dan mempertahankan agar negara tata
titi tentrem, negari ingkang panjang punjung-punjung pasir wukir lohjinawi gemah ripah
karta tur raharja (negara yang aman tenteram, terkenal dengan kewibawaannya, luas
wilayahnya ditandai oleh pegunungan dan laut sebagai wilayahnya, di depannya terhampar
sawah luas dan sungai yang selalu mengalir). Apabila disandingkan antara konsep kekuasaan
Jawa dengan konsep kekuasaan Barat maka akan terlihat kontra sebagaimana berikut:

1. Kekuasaan itu kongkret

Bagi orang Jawa, kekuasaan itu ada, terlepas dari orang yang mungkin
mengguanakannya. Kekuasaan bukan suatu anggapan teoritis, melainkan suatu kenyataan
yang benar adanya karena diturunkan oleh Hyang Morbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Esa)
atas dasar wahyu karena diturunkan kepada wakilNya di dunia. Jika dikaitkan dengan
kehidupan politik, kekuasaan menurut faham Jawa itu merupakan kasekten (sakti) yang
didasarkan atas wahyu. Walau penuh misteri kekuasaan itu kongkrit adanya. Berbeda dengan
konsep politik barat yang mengatakan bahwa kekuasaan itu abstrak, artinya bahwa kekuasaan
itu merupakan hasil abstraksi dari rumusan pola-pola interaksi sosial tertentu yang kebetulan
sedang diamati. Jadi kekuasaan itu ada jika seseorang atau kelompok tersebut dapat
menunjukkan adanya hubungan sebab akibat, artinya seseorang atau kelompok satu
mematuhi atas seseorang atau kelompok lain yang berkuasa.

2. Kekuasaan itu homogen

Bahwa semua kekuasaan sama jenisnya dan sama sumbernya. Kekuasaan di


tangan satu individu atau satu kelompok adalah indentik dengan kekuasaan yang ada di
tangan individu atau kelompok lain manapun. Hal ini berbeda dengan konsep teori kekuasaan
barat yang memandang bahwa sumber kekuasaan itu heterogen dan kekuasaan itu merupakan
hasil analisa dari pola-pola hubungan sosial tertentu. Dalam hal ini teori barat membedakan
berbagai sumber kekuasaan anatara lain; bersumber pada kekayaan, status sosial, senjata ,
kepandaian, jumlah penduduk dan lainnya tergantung pada sejauh mana intensitas hubungan
antar seseorang atau kelompok.

23
3. Jumlah kekuasaan di alam semesta tetap

Menurut pandangan orang Jawa, alam semesta tidak bertambah luas tidak pula
bertambah sempit. Demikian pula dengan jumlah kekuasaan yang terdapat di dalamnya selalu
tetap. Kekuasaan itu ada begitu saja, bukan merupakan hasil dari organisasi, kekayaan,
persenjataan atau lainnya. Kekuasaan itu lebih dulu ada dari pada lainnya dan membuat
semuanya seperti adanya, termasuk terhadap pengertian baik dan buruk. Semua bersifat tetap
yang berubah menurut perputarannya hanyalah konstelasi dan tata letaknya saja. Dalam
politik praktis, kosekuensi dari faham ini adalah adanya konsentrasi kekuasaan pada suatu
tempat, yang dengan sendirinya mengharuskan pengurangan kekuasaan dengan jumlah yang
sama pada tempat lain. Untuk teori politik, pendapat ini mempunyai akibat penting, yaitu
terpusatnya kekuasaan di satu pihak atau pada satu orang mengharuskan pengurangan jumlah
kekuasaan di tempat lain dalam jumlah yang sebanding. Pada masa Orde Baru Dominasi
eksekutif pada lembaga lainnya dan rasionalisasi dari tindakan penyederhanaan jumlah parpol
serta penerapan azas tunggal merupakan perwujudan dari konsep kekuasaan ini.

Berbeda dengan teori barat yang menganggap bahwa kekuasaan itu secara
inhern sifatnya tidak terbatas. Disamping sumber-sumber kekuasaan itu bermacam-macam
secara teoritis akumulasi kekuasaan tidak ada batasannya. Dengan kata lain jumlah
kekuasaan yang ada di dunia ini sekarang jauh lebih besar dibanding lima puluh tahun yang
lalu. Hal ini disebabkan karena ditemukannya teknologi canggih, sehingga jumlah kekuasaan
semakin bertambah dari waktu kewaktu seiring perkembangan teknologi. Dalam konteks ini
konsep kekuasaan ditentukan dan dipengaruhi oleh perkembangan teknologi modern.

4. Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan

Semua kekuasaan asalnya dari sumber tunggal yang homogen maka


kekuasaan itu lebih dulu ada daripada permasalahn baik dan buruk, tidak mempersoalkan dari
mana kekuasaan itu berasal. Menurut cara fikir orang Jawa, menuntut hak berkuasa
berdasarkan sumber-sumber kekuasaan yang berbeda-beda tidak akan ada artinya. Dalam hal
ini tidak berlaku ungkapan bahwa kekuasaan berdasarkan kekayaan adalah sah sedangkan
kekuasaan yang berdasarkan senjata tidak sah. Kekuasaan menurut konsep Jawa tidak
mengenal sah atau tidak sah, yang penting kekuaasaan itu ada dan kongkrit. Namun dalam
konsep kekuasaan Barat kekuasaan itu diakui keberadaanya dari usaha seseorang melalui
interaksi hubungan sehingga ada pengakuan dari orang lain.

24
4.6 Penerapan Konsep Kekuasan Jawa pada Masa Pemerintahan Raja-Raja Mataram

Sebelum masuknya Hindu ke Indonesia, dalam masyarakat Indonesia, khususnya


Jawa, sudah dikenal adanya hirarki sosial. Mereka beranggapan, bahwa dalam hubungan
sosial terdapat stratifikasi sosial dan sifatnya kosmis-klasifikatoris hirarkis. Nilai-nilai
kesatuan dan harmoni dilengkapi dengan hirarki. Manusia secara kodrati tidak sederajat.
Semua hubungan sosial secara hirarkis diatur oleh nuansa-nuansa halus perbedaan
kedudukan. Hirarki sosial semacam ini semakin dipertegas lagi setelah masuknya agama
Hindu ke Indonesia. Agama Hindu mengaja rkan bahwa strata sosial seseorang tidaklah
sama. Ketidaksamaan ini disebabkan karena seseorang dilahirkan dari asal keturunan yang
berbeda. Perbedaan ini berlangsung terus-menerus, sehingga seseorang akan hidup dan mati
dalam strata sosialnya, yang dalam agama Hindu disebut kasta. Selain memperkenalkan
hirarki sosial yang semakin tegas, Agama Hindu juga memperkenalkan dewa-dewa sebagai
penguasa tertinggi yang harus dihormati dan sekaligus dipuja. Dengan sendirinya, raja
sebagai kepala pemerintahan harus pula menghormati dewa - dewanya.

Adanya kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan keagamaan semacam ini, sudah tentu
dianggap memperlemah kedudukan raja. Oleh karena itu dengan berbagai cara, raja berusaha
memperkuat kedudukanya. Cara yang ditempuh, adalah dengan pendek atan yang bersifat
“legitimasi”. Melalui para pendeta, pujangga, maupun pegawai istana yang ahli dibidangnya,
dibuatlah hikayat, pantun, mitos, babad, silsilah, serta lain-lainnya, yang pada dasarnya berisi
penjelasan guna melegitimasikan kekuasaan raja. Salah satu di antaranya adanya ajaran,
bahwa para raja adalah keturunan, penjelmaan, atau pengantara dewa-dewa (konsep dewa-
raja). Eratnya atribut kekuasaan dengan atribut keagamaan menunjukkan adanya ikatan yang
selalu terdapat diantaranya; sejarah cenderung memutuskan ikatan ini, namun tidak berhasil.

Tulisan para sejarawan dan antropolog tentang kekuasaan tertinggi yang disatukan
dengan pribadi raja, ritus dan upacara pelantikan raja, peraturan-peraturan yang
mempertahankan jarak antara raja dan rakyatnya, dan akhirnya pernyataan legitimasi
merupakan bukti yang sangat terang ketidakmungkinan hancurnya hubungan tersebut.

25
Kesakralan kekuasaan juga terungkap dalam perasaan-perasaan yang mengikat rakyat pada
rajanya; misalnya suatu penghormatan atau kepatuhan total yang tidak dapat diterangkan oleh
akal budi, atau rasa takut untuk tidak patuh yang mengandung sifat pelanggaran terhadap hal
sakral. Bagi masyarakat Jawa, khususnya yang menganut mistik, para raja dianggap termasuk
unsur-unsur mistik di bumi ini yang amat penuh kuasa, yang mewadahi kekuatan kosmis.
Kekuasaan duniawi mereka, adalah pertanda wahyu, berkat adikodrati, dan eratnya hubungan
mereka dengan sumber-sumber kekuatan asali dianggap memancarkan kekuatan magis yang
berasal dari pribadi raja, memberkati dan menjamin kesejahteraan para warga. Kraton
dibangun dengan mencontoh gambaran kosmos, melambangkan kedudukan raja di dunia ini
selaku pusat semesta (Manggeng, 2004: 42). Nama-nama dari dua raja yang masih dapat
ditemukan di Jawa, yakni Paku Buwono di Solo dan Paku Alam di Yogyakarta, yang sama-
sama berarti ”poros dunia”. Usaha raja-raja Mataram di dalam melegitimasikan
kekuasaannya, bahwa dia bukan hanya sebagai pimpinan pemerin tahan, tetapi juga sebagai
pimpinan keagamaan dapat kita lihat dari gelar Pangeran Mangkubumi yang menggunakan
gelar kerajaan “Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati Ing Al aga Ngabdurrah man
Sayidin Panatagama Kalipatullah”, yang secara singkat hanya gelar ketiga yang selalu
disebut-disebut dalam babad,yaitu Hamengkubuwana. Kerajaannya diberi nama
Ngayogyakarta Adiningrat. Dari gelar dan nama kerajaannya, jelas sultan Hamengkubuwana
I mengidentifikasikan dirinya dengan Wisnu, sebab Hamengkubuwana berarti “Yang
Memelihara Dunia”, jadi Wisnu. Ngayogyakarta Adiningrat berarti “Ayodya Yang Makmur,
Yang Indah di Dunia”. Ayodya adalah nama ibukota kerajaan Rama, dan Rama adalah
inkarnasi Wisnu. Dalam babad-babad, Sultan Hamengkubuwana sering dikatakan sebagai
Wisnu yang sedang turun ke bumi. Gelar “Ngabdurrahman Sayidin Panatagama
Kalipatullah” berarti, bahwa Pangeran Mangkubumi juga seorang pimpinan dan pelindung
agama Islam. Gelar yang bersifat Hinduistis dan Islam ini, jelas dimaksudkan agar dia diakui
dan dihormati sebagai pimpinan agama Hindu dan sekaligus sebagai pimpinan agama Islam.

Hal ini bisa dimengerti, bahwa pada masa itu masyarakat Jawa yang semula
menganut agama Hindu, sudah banyak pula yang menganut kepercayaan baru, yakni agama
Islam. Di samping itu gelar “Senapati Ing Alaga” , menunjukkan bahwa dia juga sebagai
seorang panglima perang, yang mahir dalam bidang peperangan. Legitimasi kekuasaan ini
juga dapat kita lihat dari silsilah raja-raja Mataram yang menunjukkan keunggulan trah,
karena dari pihak ibu, Senapati sebagai pendiri dinasti, adalah keturunan para “wali”.
Sementara itu dari pihak ayah, dia adalah keturunan raja Majapahit. Dengan demikian orang

26
mendapat kesan, bahwa dinasti Mataram memang berhak dan layak memerintah kerajaan.
Dalam penyusunan silsilah ini, besarlah peranan pujangga kerajaan sebagai penulis babad.
Lagipula, menurut tradisi lama Jawa, penguasa mengumpulkan di sekeliling dirinya benda
atau orang apapun yang dianggap mempunyai atau mengandung kekuasaan. Kratonnya tidak
saja dipenuhi oleh koleksi benda-benda pusaka tradisional, seperti keris, tombak, alat-alat
musik suci, kereta, dan benda-benda keramat lainnya, tetapi juga oleh berbagai macam
manusia luar biasa seperti orang bulai (albino), pelawak, orang kerdil, dan ahli nujum.

Oleh karena tinggal bersama di dalam keraton dengan penguasa itu, maka kek uasaan
atau kekuatan yang dimiliki benda-benda atau orang itu diserap dan ditambahkan pada
kekuasaan penguasa. Kalau benda itu atau orang itu hilang dengan cara bagaimanapun juga,
maka ini dianggap berkurangnya kekuasan raja, dan sering dianggap sebagai peratanda
datangnya kehancuran dinasti yang sedang berkuasa. Secara singkat, kekuasaan raja yang
besar dapat ditandai oleh: 1. luas wilayah kerajaannya; 2. luasnya daerah atau kerajaan
taklukan dan berbagai barang persembahan yang disampaikan oleh para raja taklukan; 3.
kesetian para bupati dan punggawa lainnya dalam menunaikan tugas kerajaan dan kehadiran
mereka dalam paseban yang diselenggarakan pada hari-hari tertentu; 4. kebesaran dan
kemeriahan upacara kerajaan dan banyaknya pusaka serta perlengkapan upacara yang
nampak dalam upacara itu; 5. besarnya tentara dengan segala jenis perlengkapannya; 6.
kekayaan, gelar-gelar yang disandang dan kemashurannya; 7. seluruh kekuasaan menjadi satu
ditangannya, tanpa ada yang menyamai dan menandingi. Dalam konsep kekuasaan Jawa,
kekuasaan yang besar tadi harus diimbangi dengan kewajiban yang dirumuskan dalam
kalimat ”berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta” (budi luhur mulia dan bertindak adil
terhadap sesamanya). Raja yang dikatakan baik, adal ah raja yang menjalankan kekuasaanya
dalam keseimbangan antara wewenangnya yang besar dengan kewajiban yang besar pula.
Kekuasaan yang besar di satu pihak dan kewajiban yang seimbang di lain pihak, merupakan
inti konsep kekuasaan

4.6 Faham Kekuasaan Jawa Dalam Kehidupan Sosial Politik Indonesia

Negara Indonesia adalah perwujudan institusi kekuasaan pasca dinasti-dinasti


Jawa. Merupakan perwujudana baru cita-cita dan gerakan politik dan kekuatan-kekuatan
yang telah tertransformasikan dari akar-akar kultural Jawa tradisional. Penetrasi budaya
barat di Indonesia dan khususnya di Jawa secara empirik belum dapat mencabut budaya

27
Jawa dari akarnya. Sampai sekarang ia masih tetap dapat bertahan, bahkan penetrasi Islam
telah menciptakan suatu perpaduan kultural yang cantik yang melahirkan budaya Jawa yang
sinkretik.

Sebaliknya, perubahan-perubahan sebagai dampak dari penetrasi Barat, yaitu


modernisasi dengan segala aspeknya, tidak menyebabkan perubahan secara mendasar pada
aspek kultural Jawa yang sampai sekarang masih tetap kuat. Resistensi atau bertahannya
budaya Jawa yang jelas mewarnai faham kekuasaannya, disebabkan karena dampak dari
modernisasi belum berhasil mengubah lapisan bawah masyarakatnya. Hal inilah yang
menyebabkan penetrasi Barat tak dapat mengubah pandangan kejawaan mereka. Resistensi
ini tetap kuat karena budaya Jawa sudah melekat dan membudaya secara turun-temurun.

Dalam kerangka Indonesia sebagai negara yang menuju demokrasi dalam


sistem pemerintahan sudah mengadopsi pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan
yudikatif (Trias Politika) ala Charles Louis de Secondant Baron Montesquieu (1687-1755),
sebuah ide bahwa sebuah pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih
kesatuan kuat yang bebas, mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang
terlalu banyak sehingga menghindari terpusatnya kekuasaan pada satu penguasa.

Pemisahan kekuasaan merupakan suatu cara pembagian dalam tubuh


pemerintahan agar tidak ada penyalah gunaan kekuasaan, antara legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-
kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama. Menurut Montesquieu,
pembagian tiga kamar kekuasaan ini dilakukan untuk menjamin adanya kemerdekaan.

Pada dasarnya, konsep pembatasan kekuasaan penyelenggara negara yang ada


di Indonesia merupakan varian dari konsep trias politica. Pembagian kekuasaan ke lembaga-
lembaga negara bertujuan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan sehingga terjadi check
and balances agar tidak ada lembaga yang paling kuat yang memonopoli kekuasaan. Dalam
hal pembagian kekuasan ini masing-masing lembaga agar dapat menjalankan fungsi dan
tugasnya masing-masing. Negara sebagai organisasi kekuasaan politik dalam menjalankan
pemerintahannya untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi warga Negara
sebagai unsur utama pembentuk organisasi negara itu sendiri. Lembaga-lembaga negara yang
dibentuk harus bekerja untuk mensejahterakan rakyat, seimbang dengan kekuasaan yang
diberikan kepada mereka. Agar kekuasaan itu seimbang (balances), maka kekuasaan itu
dibagi-bagikan atau dipisahkan secara tegas, sehingga masing-masing kekuasaannya

28
melaksanakan apa yang menjadi tugas dan wewenangnya, yang diikuti dengan mekanisme
checks and balances siatem. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesewenang-wenangan
yang merugikan rakyat.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dengan mengetahui dan memahami budayanya, maka masyarakat akan tergerak


hatinya untuk mencintai dan menjaga budaya mereka. Jika rasa memiliki telah tumbuh, maka
mereka tidak akan pernah mau kehilangan budayanya. Sehingga mereka akan berusaha
dengan keras untuk menjaga budayanya tersebut dari segala hal yang mengancam keberadaan
budaya tersebut dan mereka akan selalu berusaha untuk melestarikannya.

Kita harus berupaya keras untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini, sehingga
kita semua dapat terus menjaga kelestariannya. Dengan demikian generasi penerus kita masih
dapat menikmati budaya yang elok ini.

Sehingga kekhasanahan budaya bangsa ini juga akan tetap terjaga hingga akhir nanti.
Karena menjaga budaya daerah sama halnya dengan nenjaga budaya negeri ini. Dan hal ini
adalah salah satu perwujudan kecintaan kita kepada tanah air.

Konsep kekuasaan Jawa, dalam beberapa hal memiliki ciri-ciri yang sama dengan
hampir kebanyakan konsep kekuasaan dalam masyarakat tradisional, yakni konsep dewa-raja.
Konsep ini pada dasarnya dimaksudkan, bahwa raja sebagai kepala pemerintahan dan
sekaligus kepala keagamaan/pimpinan spritual. Perbedaanya, bahwa konsep kekuasaan Jawa
khususnya Mataram, mencakupi kekuasaan yang bersifat religius (keagamaan) dari
kepercayaan yang pernah ada. Adanya konsep kekuasaan, bahwa raja adalah seorang yang
sakti dan kesaktian adalah salah satu kepercayaan yang biasa dianut oleh masyarakat
primitif.setelah masuknya Hindu ke Indonesia, khususnya Jawa, seorang raja
mengidentifikasikan dirinya sebagai dewa, keturunan dewa, maupun penjelaman dewa,
sebagai salah satu cara yang ditempuh guna melegitimasikan kekuasaan ya. Ketika agama

29
Islam masuk ke Indonesia dan menjadi salah satu agama yang mempunyai penganut sangat
besar, para raja juga berusaha memanfaatkan pengaruh keagamaan ini guna memperkokoh
kedudukannya, dengan mengambil garis keturunan (silsilah) dari nabi-nabi yang sesuai
dengan kepercayaan agama Islam; ataupun mengambil garis keturunan dari wali-wali
penyebar agama Islam. Mengingat masyarakat Jawa merupakan mayoritas di Indonesia,
pengaruh konsep kekuasaan Jawa tentunya juga mempengaruhi konsep kekuasaaan
masyarakat lainnya di Indonesia. Adanya kenyataan bahwa elit politik di Indonesia umumnya
berasal dari suku bangsa Jawa, maka tidak disangkal lagi bahwa kehidupan pemerintahan
ataupun kenegaraan di Indonesia diwarnai oleh budaya Jawa dengan berbagai ciri
feodalismenya.

Dari penjelasan mengenai konsep kekuasaan Jawa dan pengaruhnya terhadap


kehidupan sosial politik dalam bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif diatas, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa dalam konsep kekuasaan Jawa hampir seluruh kekuasaan terpusat
pada raja. Namun seorang pemimpin dalam berkuasa harus diimbangi oleh sikap berbudi
luhur serta mulia dan bersifat adil kepada siapa. Penguasa yang baik harus dapat menjaga
keseimbangan antara kewenangan yang besar dengan kewajiban yang besar pula. Adapun
menurut faham kekuasaan Jawa sifat-sifat yang melekat pada kekuasaan Jawa adalah:

1. Kekuasaan itu kongkret

Bahwa kekuasaan itu ada, terlepas dari orang yang mungkin mengguanakannya.
Kekuasaan bukan suatu anggapan teoritis, melainkan suatu kenyataan yang benar adanya
karena diturunkan oleh Hyang Morbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Esa)

2. Kekuasaan itu homogen

Bahwa semua kekuasaan sama jenisnya dan sama sumbernya. Kekuasaan di tangan
satu individu atau satu kelompok adalah indentik dengan kekuasaan yang ada di tangan
individu atau kelompok lain manapun.

3. Jumlah kekuasaan di alam semesta tetap

Menurut pandangan orang Jawa, alam semesta tidak bertambah luas tidak pula
bertambah sempit. Demikian pula dengan jumlah kekuasaan yang terdapat di dalamnya selalu
tetap. Kekuasaan itu ada begitu saja, bukan merupakan hasil dari organisasi, kekayaan,
persenjataan atau lainnya.

30
4. Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan

Semua kekuasaan asalnya dari sumber tunggal yang homogen maka kekuasaan itu
lebih dulu ada daripada permasalahn baik dan buruk, tidak mempersoalkan dari mana
kekuasaan itu berasal.

Dalam konteks Indonesia sebagai negara demokrasi dalam sistem pemerintahan


sudah mengadopsi pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif (Trias
Politika). Pemisahan kekuasaan merupakan suatu cara pembagian dalam tubuh pemerintahan
agar tidak ada penyalah gunaan kekuasaan, antara legislatif, eksekutif dan yudikatif, bisa
terjadi check and balances sehingga tidak ada lembaga yang paling kuat yang memonopoli
kekuasaan. Lembaga-lembaga negara yang dibentuk harus bekerja untuk mensejahterakan
rakyat, seimbang dengan kekuasaan yang diberikan kepada mereka. Ketiga cabang kekuasaan
tersebut meliputi:

1. Badan Legislatif

Mencerminkan dari salah satu fungsi badan itu, yakni legislate atau membuat
uandang-undang. Fungsi badan legislatif adalah menentukan kebijakan (policy) dan
membuat undang-undang, untuk itu badan legislatif diberi hak inisiatif, hak untuk melakukan
amandemen terhadap rancangan uandang-undang yang disusun oleh pemerintah.

2. Badan Eksekutif

Badan yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan undang-undang yang dibuat


oleh Legeslatif, termasuk menjabarkan agar undang-undang tersebut bisa dimengerti dan
dilaksanakan oleh masyarakat.

3. Badan Yudikatif

Badan yang mengawasi pelaksanaan undang-undang termasuk memberikan hukuman


kepada warga masyarakat yang telah terbukti melanggar peraturan perundang-undangan.

Masuknya konsep-konsep baru dari Barat seperti sistem pemerintahan dan


perpolitikan modern, tetap tidak serta merta bisa menghilangkan nilai-nilai budaya Jawa
tersebut. Hal ini dikarenakan budaya Jawa sudah melekat dan membudaya secara turun-
temurun. Dapat dilihat dalam bidang legislatif misalnya, masih adanya budaya untuk
melanggengkan kekuasaan partai atau perorangan dengan menempuh berbagai cara, bahkan
dengan mngusulkan anggaran yang berkedok untuk pembangunan daerah asal. Namun

31
sesungguhnya untuk menguatkan basis dukungan dalam pemilu tahun berikutnya. Dalam
bidang Eksekutifpun masih nampak Hubungan patronclient antara atasan dan bawahan, atau
antara penguasa dan rakyat, dimana bawahan/rakyat harus patuh ketika diperintah oleh
atasan dan tidak perlu mempertanyakan apakah perintah itu benar atau salah. Buadya rikuh
pekewuh juga masih melingkupi dunia peradilan Indonesia saat ini, para penegak hukum
dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan pejabat tinggi sangat jelas sekali tidak
bernyali. Tebang pilih kasus-kasus yang merugikan negara oleh para pejabat sebagai contoh
kasus Bank Century sampai saat ini walau sudah direkomendasi dari DPR juga belum
nampak hasilnya.

5.2 Saran

Dalam rangka mewujudkan negara Indonesia yang demokratis yang berkeadilan dan
bermartabat, hendaknya kedudukan faham kekuasaan Jawa bisa diposisikan sebagai spiritual
power bagi para elit. Hal ini akan lebih bermakna apabila faham kekuasaan Jawa tersebut
dapat meneguhkan para elit kekuasaan untuk bisa mengontrol dirinya sendiri disamping mau
menaati kontrol dari orang lain atau lembaga lain. Sebaliknya, faham kekuasan Jawa tersebut
akan kehilangan makna dan bahkan akan menghambat pertumbuhan demokrasi apabila ia
diaplikasikan dalam kehidupan politik praktis sebagai mana masih melingkupi para elit
kekuasaan saat ini.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Drooglever, Pieter, Sultan Hamengkubuwono IX “Sepanjang Hayat Bersama


Rakyat”, PT. Kompas Media Nusantara 2012
2. HM, Zainudin, JOKOWI Dari Jualan Kursi Hingga Dua Kali Mendapatkan Kursi, PT.
Ufuk Publishing House, 2012
3. Sedarmayanti, Metodologi Penelitian, PT Mandar Maju. Bandung, 2012
4. Fachry Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern, PT Gramedia
1986
5. Drs. G. Moedjanto, M.A., Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja
Mataram, Kanisius 1994

33
34

Anda mungkin juga menyukai