REPUBLIK INDONESIA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud
dengan:
1. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan
termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional.
2. Sediaan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-2-
11. Fasilitas . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-3-
20. Surat . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-4-
Pasal 2 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-5-
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
BAB II . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-6-
BAB II
PENYELENGGARAAN PEKERJAAN KEFARMASIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
Bagian Kedua
Pekerjaan Kefarmasian Dalam Pengadaan
Sediaan Farmasi
Pasal 6
(4) Ketentuan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-7-
Bagian Ketiga
Pekerjaan Kefarmasian Dalam Produksi
Sediaan Farmasi
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
(2) Industri . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-8-
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-9-
Pasal 13
Bagian Keempat
Pekerjaan Kefarmasian Dalam Distribusi atau
Penyaluran Sediaan Farmasi
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
Bagian Kelima
Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian Pada Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian
Pasal 19
- 11 -
Pasal 20
Pasal 21
(1) Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus
menerapkan standar pelayanan kefarmasian.
Pasal 22 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 12 -
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
Pasal 25
Pasal 26
Pasal 27 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 -
Pasal 27
Pasal 28
Pasal 29
Bagian Keenam
Rahasia Kedokteran Dan Rahasia Kefarmasian
Pasal 30
(1) Setiap Tenaga Kefarmasian dalam menjalankan
Pekerjaan Kefarmasian wajib menyimpan Rahasia
Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian.
(3) Ketentuan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 15 -
Bagian Ketujuh
Kendali Mutu dan Kendali Biaya
Pasal 31
Pasal 32
BAB III
TENAGA KEFARMASIAN
Pasal 33
Pasal 34 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 16 -
Pasal 34
Pasal 35
(3) Dalam . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 17 -
Pasal 36
Pasal 37 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 18 -
Pasal 37
Pasal 38
(4) Ijazah . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 19 -
Pasal 39
Pasal 40
Pasal 41 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 20 -
Pasal 41
Pasal 42
Pasal 43
a. Apoteker . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 21 -
Pasal 44
Pasal 45 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 22 -
Pasal 45
Pasal 46
Pasal 47
d. membuat . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 23 -
Pasal 48
Pasal 49
Pasal 50
(2) Tenaga . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 24 -
Pasal 51
Pasal 52
b. SIPA . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 25 -
Pasal 53
Pasal 54
Pasal 55
a. STRA . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 26 -
BAB IV
DISIPLIN TENAGA KEFARMASIAN
Pasal 56
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 58
Pasal 59 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 27 -
Pasal 59
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
Pasal 61 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 28 -
Pasal 61
Pasal 62
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 63
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku,
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang
Apotik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1965 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2752), sebagaimana diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965
tentang Apotik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1980 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3169) dan Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 1990 tentang Masa Bakti
Dan Izin Kerja Apoteker (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 55, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3422), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 64
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 29 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 2009
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 2009
ttd.
ANDI MATTALATTA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 51 TAHUN 2009
TENTANG
PEKERJAAN KEFARMASIAN
I. U M U M
dengan . . .
-2-
3. Tenaga Kefarmasian;
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3 . . .
-3-
Pasal 3
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
-4-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan tata cara dalam ayat ini untuk sektor
pemerintah mengikuti peraturan yang berlaku.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan ”Cara Pembuatan Yang Baik” adalah
petunjuk yang menyangkut segala aspek dalam produksi dan
pengendalian mutu meliputi seluruh rangkaian pembuatan obat
yang bertujuan untuk menjamin agar produk obat yang
dihasilkan memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan
sesuai dengan tujuan penggunaannya.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keharusan memperbaharui Standar Prosedur Operasional
dimaksudkan agar dapat mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan meningkatkan mutu pelayanan yang lebih
baik.
Pasal 12 . . .
-5-
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21 . . .
-6-
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26 . . .
-7-
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Pemberian obat oleh dokter pada dasarnya mempunyai hubungan
sangat erat dengan Pekerjaan Kefarmasian di mana obat pada
dasarnya mempunyai fungsi mempengaruhi atau menyelidiki
sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan
kesehatan, oleh karena itu perlu dijaga kerahasiaannya dan
agar tidak menimbulkan dampak negatif kepada pasien.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kendali mutu” dalam ayat ini adalah
suatu sistem pemberian Pelayanan Kefarmasian yang efektif,
efisien, dan berkualitas dalam memenuhi kebutuhan
Pelayanan Kefarmasian.
Yang . . .
-8-
Ayat (2)
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
-9-
Ayat (3)
Standar kefarmasian pada sarana produksi adalah cara
pembuatan yang baik (Good Manufacturing Practices), pada
sarana distribusi adalah cara distribusi yang baik (Good
Distribution Practices), dan pada sarana pelayanan adalah cara
pelayanan yang baik (Good Pharmacy Practices).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sertifikat kompetensi” adalah
pernyataan tertulis bahwa seseorang memiliki kompetensi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41 . . .
- 10 -
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Adaptasi dilakukan melalui evaluasi terhadap kemampuan
untuk menjalankan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50 . . .
- 11 -
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58 . . .
- 12 -
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 2
www.djpp.kemenkumham.go.id
3 2011, No.322
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional.
2. Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian,
yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
3. Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
4. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten
Apoteker;
5. Sertifikat kompetensi profesi adalah surat tanda pengakuan terhadap
kompetensi seorang Apoteker untuk dapat menjalankan pekerjaan/praktik
profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi.
6. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap tenaga kefarmasian yang telah
memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu
serta diakui secara hukum untuk menjalankan pekerjaan/praktik profesinya.
7. Registrasi ulang adalah pencatatan ulang terhadap tenaga kefarmasian yang
telah diregistrasi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.
8. Surat Tanda Registrasi Apoteker, yang selanjutnya disingkat STRA adalah
bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah
diregistrasi.
9. Surat Tanda Registrasi Apoteker Khusus, yang selanjutnya disingkat STRA
Khusus adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker
warga negara asing lulusan luar negeri yang akan melakukan pekerjaan
kefarmasian di Indonesia.
10. Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian, yang selanjutnya
disingkat STRTTK adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada
Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah diregistrasi.
www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 4
11. Surat Izin Praktik Apoteker, yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat
izin yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik
kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian.
12. Surat Izin Kerja Apoteker, yang selanjutnya disebut SIKA adalah surat izin
praktik yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan
pekerjaan kefarmasian pada fasilitas produksi atau fasilitas distribusi atau
penyaluran.
13. Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian, yang selanjutnya disebut
SIKTTK adalah surat izin praktik yang diberikan kepada Tenaga Teknis
Kefarmasian untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas
kefarmasian.
14. Komite Farmasi Nasional, yang selanjutnya disingkat KFN adalah lembaga
yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan yang berfungsi untuk meningkatkan
mutu Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian dalam melakukan pekerjaan
kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.
15. Organisasi profesi adalah organisasi tempat berhimpun para Apoteker di
Indonesia.
16. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pembinaan kefarmasian dan
alat kesehatan.
17. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
BAB II
REGISTRASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 2
(1) Setiap tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib
memiliki surat tanda registrasi.
(2) Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. STRA bagi Apoteker; dan
b. STRTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian.
www.djpp.kemenkumham.go.id
5 2011, No.322
Pasal 3
(1) STRA dan STRTTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikeluarkan
oleh Menteri.
(2) Menteri mendelegasikan pemberian:
a. STRA kepada KFN; dan
b. STRTTK kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Pasal 4
(1) Apoteker warga negara asing lulusan luar negeri yang akan menjalankan
pekerjaan kefarmasian di Indonesia dalam rangka alih teknologi atau bakti
sosial harus memiliki STRA Khusus.
(2) STRA khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh KFN
untuk jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun.
(3) Untuk dapat menjalankan pekerjaan kefarmasian, Apoteker yang telah
memiliki STRA Khusus tidak memerlukan SIPA atau SIKA, tetapi wajib
melapor kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pasal 5
(1) Apoteker lulusan luar negeri yang akan menjalankan pekerjaan
kefarmasian di Indonesia harus melakukan adaptasi pendidikan.
(2) Adaptasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada
institusi pendidikan Apoteker yang terakreditasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 6
STRA dan STRTTK berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang
selama memenuhi persyaratan.
Bagian Kedua
Persyaratan Registrasi
Pasal 7
(1) Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah Apoteker;
b. memiliki sertifikat kompetensi profesi;
c. memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;
www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 6
d. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
memiliki surat izin praktik; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.
(2) Selain memenuhi pesyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Apoteker lulusan luar negeri harus memenuhi:
a. memiliki surat keterangan telah melakukan adaptasi pendidikan
Apoteker dari institusi pendidikan yang terakreditasi; dan
b. memiliki surat izin tinggal tetap untuk bekerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan
keimigrasian bagi Apoteker warga negara asing.
Pasal 8
Untuk memperoleh STRTTK, Tenaga Teknis Kefarmasian harus memenuhi
persyaratan:
a. memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya;
b. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki
surat izin praktik;
c. memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang telah
memiliki STRA, atau pimpinan institusi pendidikan lulusan, atau organisasi
yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan
d. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
kefarmasian.
Bagian Ketiga
Sertifikat Kompetensi Profesi
Pasal 9
(1) Sertifikat kompetensi profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf b dikeluarkan oleh organisasi profesi setelah lulus uji kompetensi.
(2) Sertifikat kompetensi profesi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat
dilakukan uji kompetensi kembali setelah habis masa berlakunya.
Pasal 10
(1) Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan profesi dianggap telah lulus uji
kompetensi dan dapat memperoleh sertifikat kompetensi profesi secara
langsung.
www.djpp.kemenkumham.go.id
7 2011, No.322
www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 8
Pasal 13
(1) Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan dapat memperoleh STRA secara
langsung.
(2) Permohonan STRA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh
perguruan tinggi secara kolektif setelah memperoleh sertifikat kompetensi
profesi 2 (dua) minggu sebelum pelantikan dan pengucapan sumpah
Apoteker baru dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 3 terlampir.
Pasal 14
(1) Untuk memperoleh STRTTK, Tenaga Teknis Kefarmasian harus
mengajukan permohonan kepada kepala dinas kesehatan provinsi dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 4 terlampir.
(2) Surat permohonan STRTTK harus melampirkan:
a. fotokopi ijazah Sarjana Farmasi atau Ahli Madya Farmasi atau Analis
Farmasi atau Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker;
b. surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat
izin praktik;
c. surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
kefarmasian;
d. surat rekomendasi kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki
STRA, atau pimpinan institusi pendidikan lulusan, atau organisasi yang
menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan
e. pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan
ukuran 2 x 3 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(3) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi harus menerbitkan STRTTK paling lama
10 (sepuluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan
lengkap menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 5
terlampir.
Bagian Kelima
Registrasi Ulang
Pasal 15
(1) Registrasi ulang dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 atau Pasal 14 dengan melampirkan surat tanda registrasi yang
lama.
(2) Registrasi ulang harus dilakukan minimal 6 (enam) bulan sebelum STRA
atau STRTTK habis masa berlakunya.
www.djpp.kemenkumham.go.id
9 2011, No.322
Bagian Keenam
Pencabutan STRA dan STRTTK
Pasal 16
(1) STRA atau STRTTK dapat dicabut karena:
a. permohonan yang bersangkutan;
b. pemilik STRA atau STRTTK tidak lagi memenuhi persyaratan fisik
dan mental untuk menjalankan pekerjaan kefarmasian berdasarkan
surat keterangan dokter;
c. melakukan pelanggaran disiplin tenaga kefarmasian; atau
d. melakukan pelanggaran hukum di bidang kefarmasian yang dibuktikan
dengan putusan pengadilan.
(2) Pencabutan STRA disampaikan kepada pemilik STRA dengan tembusan
kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dan organisasi profesi.
(3) Pencabutan STRTTK disampaikan kepada pemilik STRTTK dengan
tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis
Kefarmasian.
BAB III
IZIN PRAKTIK DAN IZIN KERJA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 17
(1) Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian
wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja.
(2) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan
kefarmasian;
b. SIPA bagi Apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian;
c. SIKA bagi Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas
produksi atau fasilitas distribusi/penyaluran; atau
d. SIKTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan pekerjaan
kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.
www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 10
Pasal 18
(1) SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian
atau SIKA hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas kefarmasian.
(2) Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian berupa
puskesmas dapat menjadi Apoteker pendamping di luar jam kerja.
(3) SIPA bagi Apoteker pendamping dapat diberikan untuk paling banyak 3
(tiga) tempat fasilitas pelayanan kefarmasian.
(4) SIKTTK dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas
kefarmasian.
Pasal 19
SIPA, SIKA, atau SIKTTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dikeluarkan
oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian
dilakukan.
Pasal 20
SIPA, SIKA, atau SIKTTK masih tetap berlaku sepanjang:
a. STRA atau STRTTK masih berlaku; dan
b. tempat praktik/bekerja masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIPA,
SIKA, atau SIKTTK.
Bagian Kedua
Tata Cara Memperoleh SIPA, SIKA, dan SIKTTK
Pasal 21
(1) Untuk memperoleh SIPA atau SIKA, Apoteker mengajukan permohonan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan
kefarmasian dilaksanakan dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 6 terlampir.
(2) Permohonan SIPA atau SIKA harus melampirkan:
a. fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN;
b. surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat
keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari
pimpinan fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran;
c. surat rekomendasi dari organisasi profesi; dan
d. pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4
sebanyak 2 (dua) lembar;
www.djpp.kemenkumham.go.id
11 2011, No.322
www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 12
www.djpp.kemenkumham.go.id
13 2011, No.322
Pasal 27
(1) Susunan organisasi KFN terdiri dari:
a. Divisi Sertifikasi dan Registrasi;
b. Divisi Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan; dan
c. Divisi Pembinaan dan Pengawasan.
(2) Anggota KFN ditetapkan oleh Menteri berdasarkan usulan Direktur
Jenderal berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang
berasal dari:
a. Kementerian Kesehatan 2 (dua) orang;
b. Badan Pengawas Obat dan Makanan 1 (satu) orang;
c. Organisasi profesi 3 (tiga) orang;
d. Organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian 1 (satu)
orang;
e. Perhimpunan dari Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia 1 (satu)
orang; dan
f. Kementerian Pendidikan Nasional 1 (satu) orang.
(3) Persyaratan keanggotaan KFN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. latar belakang pendidikan bidang farmasi;
c. sehat jasmani dan rohani; dan
d. untuk anggota KFN yang berasal dari organisasi atau perhimpunan
harus diusulkan oleh organisasi atau perhimpunan yang bersangkutan
kepada Direktur Jenderal.
(4) Masa bakti keanggotaan KFN adalah 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih
kembali maksimal 1 (satu) periode.
(5) Ketua KFN harus Apoteker dan ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 28
(1) Divisi Sertifikasi dan Registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1) huruf a bertugas:
a. menyiapkan rancangan cetak biru sertifikasi dan registrasi;
b. menyusun pedoman tata laksana sertifikasi dan registrasi; dan
c. melaksanakan registrasi.
(2) Divisi Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 14
www.djpp.kemenkumham.go.id
15 2011, No.322
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 33
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan dan penerapan Peraturan
Menteri ini dilakukan oleh Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, organisasi dan/atau
perhimpunan terkait sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing.
(2) Kegiatan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diarahkan untuk:
a. melindungi pasien dan masyarakat dalam hal pelaksanaan pekerjaan
kefarmasian yang dilakukan oleh tenaga kefarmasian;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu pekerjaan kefarmasian sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat, dan tenaga
kefarmasian.
(3) Hasil pembinaan dan pengawasan yang dilakukan setiap institusi
dilaporkan secara berjenjang kepada Direktur Jenderal.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
(1) Apoteker yang telah memiliki Surat Penugasan atau Surat Izin Kerja
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 184/Menkes/Per/ II/1995
tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti dan Ijin Kerja Apoteker
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
695/Menkes/Per/VI/2007, dianggap telah memiliki STRA, SIPA, atau
SIKA berdasarkan Peraturan Menteri ini.
(2) Asisten Apoteker dan Analis Farmasi yang telah memiliki Surat Izin
Asisten Apoteker dan Surat Izin Kerja Asisten Apoteker berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 679/Menkes/SK/V/2003 tentang
Registrasi dan Izin Kerja Asisten Apoteker, dianggap telah memiliki
STRTTK dan SIKTTK berdasarkan Peraturan Menteri ini.
(3) Apoteker atau Asisten Apoteker dan Analis Farmasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib mengganti Surat Penugasan,
Surat Izin Kerja, Surat Izin Asisten Apoteker, atau Surat Izin Kerja Asisten
Apoteker dengan STRA dan SIPA/SIKA atau STRTTK dan SIKTTK
paling lambat 31 Agustus 2011 sesuai dengan Peraturan Menteri ini.
www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 16
Pasal 35
(1) Dalam rangka mengganti surat penugasan dan/atau SIK dengan STRA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), dilakukan dengan cara
mendaftar melalui website KFN.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-
lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tanggal 31 Agustus 2011 dengan
melampirkan:
a. fotokopi Kartu Tanda Penduduk/Surat Izin Mengemudi/Paspor;
b. fotokopi ijazah Apoteker;
c. SIK atau Surat Penugasan; dan
d. pas foto terbaru berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan
ukuran 2x3 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(3) Setelah mendapatkan STRA untuk pertama kalinya, Apoteker wajib
mengurus SIPA dan SIKA di dinas kesehatan kabupaten/kota tempat
pekerjaan kefarmasian dilakukan.
Pasal 36
(1) Dalam rangka mengganti SIAA atau SIK Asisten Apoteker dengan
STRTTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), dilakukan
dengan cara mendaftar melalui dinas kesehatan provinsi.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-
lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tanggal 31 Agustus 2011 dengan
melampirkan:
a. fotokopi Kartu Tanda Penduduk/Surat Izin Mengemudi/Paspor;
b. fotokopi ijazah Tenaga Teknis Kefarmasian;
c. SIAA atau SIK Asisten Apoteker; dan
d. pas foto terbaru berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan
ukuran 2x3 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(3) Setelah mendapatkan STRTTK untuk pertama kalinya, Tenaga Teknis
Kefarmasian wajib mengurus SIKTTK di dinas kesehatan kabupaten/kota
tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan.
Pasal 37
Masa berlaku STRA, STRTTK, SIPA, SIKA, dan SIKTTK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 diberikan berdasarkan tanggal kelahiran
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian yang bersangkutan.
www.djpp.kemenkumham.go.id
17 2011, No.322
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka;
a. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 184/Menkes/Per/II/1995 tentang
Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti dan Izin Kerja Apoteker;
b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 679/Menkes/SK/V/2003 tentang
Registrasi dan Izin Kerja Asisten Apoteker; dan
c. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 695/Menkes/Per/VI/2007 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
184/Menkes/Per/II/1995 tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti
dan Izin Kerja Apoteker;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 39
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Mei 2011
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 01 Juni 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 18
Formulir 1
............, ....... 20....
Yang terhormat,
Ketua Komite Farmasi Nasional
di
Jakarta
Dengan hormat,
Pemohon,
Tanda Tangan
Pas Foto
4 x 6 cm
(………………………….)
Nama Terang
Tembusan:
1. Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
2. Pengurus Pusat Organisasi Profesi.
www.djpp.kemenkumham.go.id
19 2011, No.322
Formulir 2
KEMENTERIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Nama : ……………………………………………..
Tempat dan tanggal lahir : ……………………………………………..
Lulusan : ……………………………………………..
Tahun : …………………………………................
Ditetapkan di :JAKARTA
pada tanggal :
Pas Foto
4 x 6 cm
Tembusan :
Pengurus Pusat Organisasi Profesi.
www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 20
Formulir 3
..........,......20....
Nomor :
Lampiran :
Hal : Permohonan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
Yang terhormat,
Ketua Komite Farmasi Nasional
di
Jakarta
Dengan hormat,
Pemohon,
Tanda Tangan
(………………………….)
Nama terang Dekan/
Ketua Jurusan/
Kepala Sekolah
www.djpp.kemenkumham.go.id
21 2011, No.322
TGL
NO NAMA TEMPAT TGL LAHIR PAS PHOTO
LULUS
www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 22
Formulir 4
Yang terhormat,
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi................
di
....................
Pemohon,
Tanda Tangan
Pas Foto
4x6
(………………………….)
Nama Terang
* : diisi salah satu yang sesuai
www.djpp.kemenkumham.go.id
23 2011, No.322
Formulir 5
Nama : .........................................................
Tempat dan tanggal lahir : .........................................................
Lulusan : SMK/D3 Farmasi/ Perguruan Tinggi
Farmasi*………................................
Tahun : ........................................................
Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian ini berlaku sampai dengan tanggal
............
Dikeluarkan di : .......................
pada tanggal : ........................
Pas foto
4 x 6 cm
Tembusan:
Dinas Kesehatan Kab/Kota ................
www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 24
Formulir 6
Hal : Permohonan Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)/Surat Izin Kerja (SIK) *
Yang terhormat,
Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota…………..
di
................
Dengan hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama Lengkap : ...................................................................
No. STRA : ...................................................................
Tempat, tanggal lahir : ...................................................................
Pendidikan terakhir : ...................................................................
Tempat Praktik/Kerja : ................................................................
Alamat Praktik lain** : 1. ...............................................................
2. ...............................................................
Alamat Rumah : ...................................................................
telp…………………………………………........
Nomor Hp : ...................................................................
E-mail : ...................................................................
No. Sertifikat Kompetensi : ......................................................
Tgl. Sertifikat Kompetensi : ......................................................
Pemohon,
(………………………….)
Nama terang
Tembusan :
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.......
* : diisi sesuai permohonan (SIPA / SIK)
** : untuk SIPA sebagai Apoteker Pendamping
www.djpp.kemenkumham.go.id
25 2011, No.322
Formulir 7
DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA
( Nama )
Dikeluarkan di:……………
Pas foto pada tanggal :………………
4x6
Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota...............
(........................................)
Tembusan :
1. Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan;
2. Ketua Komite Farmasi Nasional;
3. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi....;
4. Organisasi Profesi.
www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 26
Formulir 8
DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA
( Nama )
Tempat / Tgl. Lahir : ........................................................
Alamat : ........................................................
No. STRA : ........................................................
STRA berlaku sampai dengan : ........................................(tgl/bln/tahun)
Untuk berpraktik sebagai : Apoteker
Alamat Sarana : ...........................................................
...........................................................
Masa berlaku SIK : ...........................................................
Dikeluarkan di ……………
pada tanggal ………………
(.....................................)
Tembusan :
1. Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
2. Ketua Komite Farmasi Nasional
3. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi....
4. Organisasi Profesi
www.djpp.kemenkumham.go.id
27 2011, No.322
Formulir 9
........................,.....20.......
Yang Terhormat,
Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota…………..
di
................
Dengan hormat,
Pemohon,
(………………………….)
Nama terang
Tembusan:
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi...
www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 28
Formulir 10
DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA
( Nama )
Dikeluarkan di ……………
pada tanggal ………………
pas foto Kepala Dinas Kesehatan
4x6 Kabupaten/Kota...............
(........................................)
Tembusan :
1. Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
2. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi....
3. Organisasi Profesi
4. Apoteker pemilik SIPA/SIK tempat TTK bekerja
www.djpp.kemenkumham.go.id
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
3. Undang-Undang...
-2-
11. Peraturan...
-3-
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2. Psikotropika...
-4-
11. Apotek...
-5-
Pasal 2
BAB II...
-6-
BAB II
PEREDARAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7...
-7-
Pasal 7
Bagian Kedua
Penyaluran
Paragraf 1
Umum
Pasal 8
Pasal 9
Paragraf 2...
-8-
Paragraf 2
Penyaluran Narkotika Golongan I
Pasal 10
Paragraf 3
Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi Dalam Bentuk Bahan Baku
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
Paragraf 4
Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi Dalam Bentuk Obat Jadi
Pasal 14
Pasal 15...
- 10 -
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Bagian Ketiga
Penyerahan
Paragraf 1
Umum
Pasal 18
Paragraf 2
Penyerahan Narkotika dan Psikotropika
Pasal 19
(3) Penyerahan...
- 12 -
Pasal 20
Pasal 21
Paragraf 3
Penyerahan Prekursor Farmasi
Pasal 22
Pasal 23...
- 14 -
Pasal 23
(1) Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), ayat (5),
dan ayat (6) harus berdasarkan surat permintaan tertulis yang
ditandatangani oleh Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian
penanggung jawab atau dokter yang menangani pasien dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 7,
Formulir 8, dan Formulir 9 terlampir.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas oleh
Apotek kepada Toko Obat, hanya dapat dilakukan berdasarkan surat
permintaan tertulis yang ditandatangani oleh Tenaga Teknis
Kefarmasian dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 8 terlampir.
(3) Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas kepada
pasien harus memperhatikan kerasionalan jumlah yang diserahkan
sesuai kebutuhan terapi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB III
PENYIMPANAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26
(1) Gudang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang
dilengkapi dengan pintu jeruji besi dengan 2 (dua) buah kunci yang
berbeda;
b. langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi;
c. jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji
besi;
d. gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker
penanggung jawab; dan
e. kunci gudang dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab dan
pegawai lain yang dikuasakan.
(2) Ruang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat;
b. jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji
besi;
c. mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
d. kunci ruang khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung
jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan;
dan
e. tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker
penanggung jawab/Apoteker yang ditunjuk.
(3) Lemari khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. terbuat dari bahan yang kuat;
b. tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci
yang berbeda;
c. harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk
Instalasi Farmasi Pemerintah;
d. diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum,
untuk Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas,
Instalasi Farmasi Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan ; dan
e. kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung
jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
Pasal 27...
- 16 -
Pasal 27
Bagian Kedua
Penyimpanan Narkotika atau Psikotropika
Pasal 28
Pasal 29
Pasal 30
(3) Gudang...
- 17 -
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34
Bagian Ketiga
Penyimpanan Prekursor Farmasi
Pasal 35
Pasal 36
BAB IV
PEMUSNAHAN
Pasal 37
Pasal 38...
- 19 -
Pasal 38
Pasal 39
Pasal 40
Pasal 41
Pasal 42
g. tanda tangan...
- 21 -
BAB V
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pencatatan
Pasal 43
(4) Pencatatan...
- 22 -
(4) Pencatatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) harus dibuat sesuai dengan dokumen penerimaan dan
dokumen penyaluran termasuk dokumen impor, dokumen ekspor
dan/atau dokumen penyerahan.
Pasal 44
Bagian Kedua
Pelaporan
Pasal 45
(5) Pelaporan...
- 23 -
(5) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(4) paling sedikit terdiri atas:
a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi;
b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan;
c. tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan;
d. jumlah yang diterima;
e. tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran;
f. jumlah yang disalurkan; dan
g. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran
dan persediaan awal dan akhir.
(6) Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik,
Lembaga Ilmu Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib
membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan
penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika, setiap bulan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan
Kepala Balai setempat.
(7) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling sedikit terdiri
atas:
a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi;
b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan;
c. jumlah yang diterima; dan
d. jumlah yang diserahkan.
(8) Puskesmas wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan
pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4)
dan ayat (6) dapat menggunakan sistem pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi secara elektronik.
(10) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4)
dan ayat (6) disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan
berikutnya.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi diatur oleh Direktur
Jenderal.
BAB VI...
- 24 -
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 46
Pasal 47
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 48
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, setiap Industri Farmasi,
PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi
Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, atau Lembaga Ilmu Pengetahuan
dalam melakukan penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan/atau
Prekursor Farmasi harus menyesuaikan dengan ketentuan penyimpanan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini paling lambat 3 (tiga)
tahun sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 49
Pasal 50...
- 25 -
Pasal 50
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Januari 2015
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Januari 2015
ttd
YASONNA H. LAOLY
Catt:
- Satu surat pesanan hanya berlaku untuk satu jenis Narkotika
- Surat Pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 2
Catt:
Surat Pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 3
Catt:
Surat Pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 4
Catt:
Surat Pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 5
Nama Apoteker
No. SIK /SIPA
Catt:
- Satu Surat Permintaan hanya berlaku untuk satu resep
- Surat Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
- Dilampirkan kopi resep
Formulir 6
Nama Dokter
No. SIP
Catt:
- Satu Surat Permintaan hanya berlaku untuk satu jenis
Narkotika/Psikotropika
- Surat Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 7
Nama Apoteker
No. SIK /SIPA
Catt:
- Satu Surat Permintaan hanya berlaku untuk satu resep
- Surat Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
- Dilampirkan kopi resep
Formulir 8
Catt:
- Satu Surat Permintaan hanya berlaku untuk satu Prekursor Farmasi
Golongan Obat Bebas Terbatas
- Surat Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 9
Nama Dokter
No. SIP
Catt:
- Satu Surat Permintaan hanya berlaku untuk satu jenis Prekursor Farmasi
- Surat Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 10
Pada hari ini... tanggal... bulan... tahun... sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor... Tahun… tentang Peredaran,
Penyimpanan dan Pemusnahan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
Farmasi, kami yang bertandatangan di bawah ini:
(Nama Apoteker/Pimpinan)
SIK/SIPA/NIP
Saksi-saksi:
1. Petugas Kementerian Kesehatan RI,
Tanda tangan
(.....................)
Tanda tangan
(.....................)
Tanda tangan
(.....................)
Lampiran Berita Acara Pemusnahan Narkotika:
Nomor :................./............../ 20
(Nama Apoteker/Pimpinan)
SIK/SIPA/NIP
Saksi-saksi:
1. Petugas Kementerian Kesehatan RI,
Tanda tangan
(.....................)
Tanda tangan
(.....................)
Tanda tangan
(.....................)
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 73 TAHUN 2016
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur
yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga
kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian.
3. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien.
4. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau
dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk
paper maupun electronic untuk menyediakan dan
menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang
berlaku.
5. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat
tradisional dan kosmetika.
-4-
Pasal 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian;
dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari
penggunaan Obat yang tidak rasional dalam rangka
keselamatan pasien (patient safety).
Pasal 3
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi
standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
(2) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. perencanaan;
b. pengadaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan;
e. pemusnahan;
f. pengendalian; dan
g. pencatatan dan pelaporan.
(3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pengkajian Resep;
b. dispensing;
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
d. konseling;
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy
care);
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
-6-
Pasal 4
(1) Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek harus didukung oleh ketersediaan sumber
daya kefarmasian yang berorientasi kepada
keselamatan pasien.
(2) Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. sumber daya manusia; dan
b. sarana dan prasarana.
Pasal 5
(1) Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di
Apotek, harus dilakukan evaluasi mutu Pelayananan
Kefarmasian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi mutu
Pelayananan Kefarmasian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 6
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus
menjamin ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang aman,
bermutu, bermanfaat, dan terjangkau.
Pasal 7
Penyelenggarakan Pelayanan Kefarmasian di Apotek wajib
mengikuti Standar Pelayanan Kefarmasian sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri ini.
-7-
Pasal 8
Apotek wajib mengirimkan laporan Pelayanan
Kefarmasian secara berjenjang kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi, dan
kementerian kesehatan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri,
kepala dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan
fungsi masing-masing.
(2) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melibatkan organisasi profesi.
Pasal 10
(1) Pengawasan selain dilaksanakan oleh Menteri, kepala
dinas kesehatan provinsi dan kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
Ayat (1), khusus terkait dengan pengawasan sediaan
farmasi dalam pengelolaan sediaan farmasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a
dilakukan juga oleh Kepala BPOM sesuai dengan tugas
dan fungsi masing-masing.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Kepala BPOM dapat melakukan pemantauan,
pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap
pengelolaan sediaan farmasi di instansi pemerintah
dan masyarakat di bidang pengawasan sediaan
farmasi.
-8-
Pasal 11
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan
provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan
pengawasan yang dilakukan oleh Kepala BPOM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.
Pasal 12
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan
Menteri ini dapat dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
c. pencabutan izin.
Pasal 13
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku,
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1162)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1169),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 14
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-9-
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Januari 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
uju
-10-
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 73 TAHUN 2016
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN
DI APOTEK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menyebutkan bahwa praktik kefarmasian meliputi pembuatan
termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian Obat, pelayanan Obat
atas Resep dokter, pelayanan informasi Obat serta pengembangan
Obat, bahan Obat dan Obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan kewenangan pada peraturan perundang-undangan,
Pelayanan Kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula
hanya berfokus kepada pengelolaan Obat (drug oriented) berkembang
menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan Obat dan
pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun
2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian menyatakan bahwa Pekerjaan
Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian atau penyaluran Obat, pengelolaan Obat, pelayanan
Obat atas Resep dokter, pelayanan informasi Obat, serta
pengembangan Obat, bahan Obat dan Obat tradisional. Pekerjaan
kefarmasian tersebut harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Peran Apoteker
dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan
-11-
B. Ruang Lingkup
Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua) kegiatan,
yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan
pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh
sumber daya manusia, sarana dan prasarana.
-12-
BAB II
PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN BAHAN
MEDIS HABIS PAKAI
B. Pengadaan
Untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka
pengadaan Sediaan Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
C. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian
jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang
tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
D. Penyimpanan
1. Obat/bahan Obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan
pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi
dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah
sekurang- kurangnya memuat nama Obat, nomor batch dan
tanggal kadaluwarsa.
2. Semua Obat/bahan Obat harus disimpan pada kondisi yang
sesuai sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
3. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk
penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi
4. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk
sediaan dan kelas terapi Obat serta disusun secara alfabetis.
-13-
F. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan
jumlah persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan
sistem pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran.
Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan,
kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta
pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan
menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik.
Kartu stok sekurang- kurangnya memuat nama Obat, tanggal
kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa
persediaan.
BAB III
PELAYANAN FARMASI KLINIK
B. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian
informasi Obat.
Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai
berikut:
1. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep:
a. menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep;
b. mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan
dengan memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa
dan keadaan fisik Obat.
2. Melakukan peracikan Obat bila diperlukan
3. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
a. warna putih untuk Obat dalam/oral;
b. warna biru untuk Obat luar dan suntik;
c. menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk
suspensi atau emulsi.
4. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah
untuk Obat yang berbeda untuk menjaga mutu Obat dan
menghindari penggunaan yang salah.
Setelah penyiapan Obat dilakukan hal sebagai berikut:
1. Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan
pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada
etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah Obat
(kesesuaian antara penulisan etiket dengan Resep);
2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;
3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;
-17-
D. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku
dalam penggunaan Obat dan menyelesaikan masalah yang
dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan
three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai
rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model.
Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga
pasien sudah memahami Obat yang digunakan.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati
dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui).
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya:
TB, DM, AIDS, epilepsi).
-19-
BAB IV
SUMBER DAYA KEFARMASIAN
2. Pengambil keputusan
Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil
keputusan dengan menggunakan seluruh sumber daya yang
ada secara efektif dan efisien.
3. Komunikator
Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien
maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi
pasien. Oleh karena itu harus mempunyai kemampuan
berkomunikasi yang baik.
4. Pemimpin
Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi
pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian
mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta
kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil
keputusan.
5. Pengelola
Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia,
fisik, anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus
mengikuti kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi
informasi tentang Obat dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan Obat.
6. Pembelajar seumur hidup
Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap
dan keterampilan profesi melalui pendidikan berkelanjutan
(Continuing Professional Development/CPD)
7. Peneliti
Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah
dalam mengumpulkan informasi Sediaan Farmasi dan
Pelayanan Kefarmasian dan memanfaatkannya dalam
pengembangan dan pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian.
6. Ruang arsip
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang
berkaitan dengan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai serta Pelayanan Kefarmasian
dalam jangka waktu tertentu.
-26-
BAB V
EVALUASI MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN
BAB VI
PENUTUP
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
……………………………….20……..
2
……………………………………..
NIP
DAFTAR OBAT YANG DIMUSNAHKAN
……………………………….20……..
2
……………………………………..
NIP
Formulir 2
……………………………….20……..
2
……………………………………..
NIP
Formulir 3
…….………….,...........20….
Apoteker
Formulir 4
…….………….,...........20….
Apoteker
Formulir 5
Nama Pasien :
Jenis Kelamin :
Umur :
Alamat :
No. Telepon :
DOKUMENTASI KONSELING
Nama Pasien :
Jenis kelamin :
Tanggal lahir :
Alamat :
Tanggal konseling :
Nama Dokter :
Diagnosa :
Nama obat, dosis :
dan cara
pemakaian
Riwayat alergi :
Keluhan :
Pasien pernah : Ya/tidak
datang konseling
sebelumnya:
Tindak lanjut
Pasien Apoteker
.................... .................
Formulir 8
Nama Pasien :
Jenis Kelamin :
Umur :
Alamat :
No. Telepon :
................... 20....
Apoteker
Formulir 9
Nama Pasien :
Jenis Kelamin :
Umur :
Alamat :
No. Telepon :
Riwayat
penggunaan
obat
Riwayat alergi
........................,20....
Apoteker
Formulir 10
FORMULIR MONITORING EFEK SAMPING OBAT (MESO)
Nama Apotek :
Alamat :
Kabupaten/Kota :
Provinsi :
Triwulan/Tahun :
Informasi Obat
Apoteker
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2017
TENTANG
APOTEK
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG APOTEK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker.
2. Fasilitas Kefarmasian adalah sarana yang digunakan
untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.
3. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan
pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan
Tenaga Teknis Kefarmasian.
4. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai
Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan
Apoteker.
5. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang
membantu Apoteker dalam menjalankan pekerjaan
kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi dan Analis Farmasi.
6. Surat Tanda Registrasi Apoteker yang selanjutnya
disingkat STRA adalah bukti tertulis yang diberikan oleh
konsil tenaga kefarmasian kepada apoteker yang telah
diregistrasi.
7. Surat Izin Apotek yang selanjutnya disingkat SIA adalah
bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota kepada Apoteker sebagai izin untuk
menyelenggarakan Apotek.
8. Surat Izin Praktik Apoteker yang selanjutnya disingkat
SIPA adalah bukti tertulis yang diberikan oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Apoteker
sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan
praktik kefarmasian.
9. Surat Izin Praktik Tenaga Teknis Kefarmasian yang
selanjutnya disingkat SIPTTK adalah bukti tertulis yang
-5-
Pasal 2
Pengaturan Apotek bertujuan untuk:
a. meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek;
b. memberikan perlindungan pasien dan masyarakat dalam
memperoleh pelayanan kefarmasian di Apotek; dan
c. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian
dalam memberikan pelayanan kefarmasian di Apotek.
BAB II
PERSYARATAN PENDIRIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1) Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri
dan/atau modal dari pemilik modal baik perorangan
maupun perusahaan.
(2) Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek
bekerjasama dengan pemilik modal maka pekerjaan
kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh
Apoteker yang bersangkutan.
Pasal 4
Pendirian Apotek harus memenuhi persyaratan, meliputi:
a. lokasi;
b. bangunan;
c. sarana, prasarana, dan peralatan; dan
d. ketenagaan.
-7-
Bagian Kedua
Lokasi
Pasal 5
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengatur
persebaran Apotek di wilayahnya dengan memperhatikan
akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan
kefarmasian.
Bagian Ketiga
Bangunan
Pasal 6
(1) Bangunan Apotek harus memiliki fungsi keamanan,
kenyamanan, dan kemudahan dalam pemberian
pelayanan kepada pasien serta perlindungan dan
keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang
cacat, anakanak, dan orang lanjut usia.
(2) Bangunan Apotek harus bersifat permanen.
(3) Bangunan bersifat permanen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat merupakan bagian dan/atau terpisah
dari pusat perbelanjaan, apartemen, rumah toko, rumah
kantor, rumah susun, dan bangunan yang sejenis.
Bagian Keempat
Sarana, Prasarana, dan Peralatan
Pasal 7
Bangunan Apotek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
paling sedikit memiliki sarana ruang yang berfungsi:
a. penerimaan Resep;
b. pelayanan Resep dan peracikan (produksi sediaan secara
terbatas);
c. penyerahan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
d. konseling;
e. penyimpanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan; dan
f. arsip.
-8-
Pasal 8
Prasarana Apotek paling sedikit terdiri atas:
a. instalasi air bersih;
b. instalasi listrik;
c. sistem tata udara; dan
d. sistem proteksi kebakaran.
Pasal 9
(1) Peralatan Apotek meliputi semua peralatan yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian.
(2) Peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara
lain meliputi rak obat, alat peracikan, bahan pengemas
obat, lemari pendingin, meja, kursi, komputer, sistem
pencatatan mutasi obat, formulir catatan pengobatan
pasien dan peralatan lain sesuai dengan kebutuhan.
(3) Formulir catatan pengobatan pasien sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan catatan mengenai
riwayat penggunaan Sediaan Farmasi dan/atau Alat
Kesehatan atas permintaan tenaga medis dan catatan
pelayanan apoteker yang diberikan kepada pasien.
Pasal 10
Sarana, prasarana, dan peralatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 9 harus dalam keadaan
terpelihara dan berfungsi dengan baik.
Bagian Kelima
Ketenagaan
Pasal 11
(1) Apoteker pemegang SIA dalam menyelenggarakan Apotek
dapat dibantu oleh Apoteker lain, Tenaga Teknis
Kefarmasian dan/atau tenaga administrasi.
(2) Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memiliki surat
izin praktik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
-9-
BAB III
PERIZINAN
Bagian Kesatu
Surat Izin Apotek
Pasal 12
(1) Setiap pendirian Apotek wajib memiliki izin dari Menteri.
(2) Menteri melimpahkan kewenangan pemberian izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa SIA.
(4) SIA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
selama memenuhi persyaratan.
Pasal 13
(1) Untuk memperoleh SIA, Apoteker harus mengajukan
permohonan tertulis kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dengan menggunakan Formulir 1.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
ditandatangani oleh Apoteker disertai dengan
kelengkapan dokumen administratif meliputi:
a. fotokopi STRA dengan menunjukan STRA asli;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker;
d. fotokopi peta lokasi dan denah bangunan; dan
e. daftar prasarana, sarana, dan peralatan.
(3) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak
menerima permohonan dan dinyatakan telah memenuhi
kelengkapan dokumen administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota menugaskan tim pemeriksa untuk
melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan
Apotek dengan menggunakan Formulir 2.
(4) Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus melibatkan unsur dinas kesehatan
kabupaten/kota yang terdiri atas:
-10-
Pasal 14
(1) Dalam hal pemerintah daerah menerbitkan SIA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6), maka
penerbitannya bersama dengan penerbitan SIPA untuk
Apoteker pemegang SIA.
(2) Masa berlaku SIA mengikuti masa berlaku SIPA.
Bagian Kedua
Perubahan Izin
Pasal 15
(1) Setiap perubahan alamat di lokasi yang sama atau
perubahan alamat dan pindah lokasi, perubahan
Apoteker pemegang SIA, atau nama Apotek harus
dilakukan perubahan izin.
(2) Apotek yang melakukan perubahan alamat di lokasi yang
sama atau perubahan alamat dan pindah lokasi,
perubahan Apoteker pemegang SIA, atau nama Apotek,
wajib mengajukan permohonan perubahan izin kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Terhadap Apotek yang melakukan perubahan alamat di
lokasi yang sama atau perubahan nama Apotek
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak perlu
dilakukan pemeriksaan setempat oleh tim pemeriksa.
(4) Tata cara permohonan perubahan izin bagi Apotek yang
melakukan perubahan alamat dan pindah lokasi atau
perubahan Apoteker pemegang SIA sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengikuti ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
BAB IV
PENYELENGGARAAN
Pasal 16
Apotek menyelenggarakan fungsi:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai; dan
-12-
Pasal 17
(1) Apotek hanya dapat menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai kepada:
a. Apotek lainnya;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik;
e. dokter;
f. bidan praktik mandiri;
g. pasien; dan
h. masyarakat.
(2) Penyerahan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a sampai dengan huruf d hanya dapat dilakukan
untuk memenuhi kekurangan jumlah sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dalam hal:
a. terjadi kelangkaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai di fasilitas distribusi;
dan
b. terjadi kekosongan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di fasilitas
pelayanan kesehatan.
(3) Penyerahan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e sampai dengan huruf h hanya dapat dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 18
(1) Apotek wajib memasang papan nama yang terdiri atas:
a. papan nama Apotek, yang memuat paling sedikit
informasi mengenai nama Apotek, nomor SIA, dan
alamat; dan
-13-
Pasal 19
Setiap Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian harus
bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur
operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati
hak pasien dan mengutamakan kepentingan pasien.
Pasal 20
Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di Apotek harus
menjamin ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan
Bahan Medis Habis Pakai yang aman, bermutu, bermanfaat,
dan terjangkau.
Pasal 21
(1) Apoteker wajib melayani Resep sesuai dengan tanggung
jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada
kepentingan masyarakat.
(2) Dalam hal obat yang diresepkan terdapat obat merek
dagang, maka Apoteker dapat mengganti obat merek
dagang dengan obat generik yang sama komponen
aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan
dokter dan/atau pasien.
(3) Dalam hal obat yang diresepkan tidak tersedia di Apotek
atau pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis di
dalam Resep, Apoteker dapat mengganti obat setelah
berkonsultasi dengan dokter penulis Resep untuk
pemilihan obat lain.
-14-
Pasal 22
(1) Pasien berhak meminta salinan Resep.
(2) Salinan Resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disahkan oleh Apoteker.
(3) Salinan Resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus sesuai aslinya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 23
(1) Resep bersifat rahasia.
(2) Resep harus disimpan di Apotek dengan baik paling
singkat 5 (lima) tahun.
(3) Resep atau salinan Resep hanya dapat diperlihatkan
kepada dokter penulis Resep, pasien yang bersangkutan
atau yang merawat pasien, petugas kesehatan atau
petugas lain yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 24
(1) Pengadaan obat dan/atau bahan obat di Apotek
menggunakan surat pesanan yang mencantumkan SIA.
(2) Surat pesanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus ditandatangani oleh Apoteker pemegang SIA
dengan mencantumkan nomor SIPA.
Pasal 25
(1) Apotek dapat bekerja sama dengan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan dan asuransi lainnya.
-15-
BAB V
PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 26
(1) Apabila Apoteker pemegang SIA meninggal dunia, ahli
waris Apoteker wajib melaporkan kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus menunjuk Apoteker lain
untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
(3) Apoteker lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
melaporkan secara tertulis terjadinya pengalihan
tanggung jawab kepada Pemerintah Daerah
kabupaten/kota dalam jangka waktu 3 x 24 (tiga kali dua
puluh empat) jam dengan menggunakan Formulir 7.
(4) Pengalihan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disertai penyerahan dokumen Resep Apotek,
narkotika, psikotropika, obat keras, dan kunci
penyimpanan narkotika dan psikotropika.
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 27
Pembinaan dilakukan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan
provinsi dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota secara
berjenjang sesuai dengan kewenangannya terhadap segala
kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan kefarmasian di
Apotek.
Pasal 28
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini
dilakukan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi,
-16-
Pasal 29
(1) Pengawasan selain dilaksanakan oleh Menteri, kepala
dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1), khusus terkait dengan pengawasan sediaan
farmasi dalam pengelolaan sediaan farmasi dilakukan
juga oleh Kepala Badan sesuai dengan tugas dan fungsi
masing-masing.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Badan dapat melakukan pemantauan, pemberian
bimbingan, dan pembinaan terhadap pengelolaan
sediaan farmasi di instansi pemerintah dan masyarakat
di bidang pengawasan sediaan farmasi.
Pasal 30
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan
provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan
pengawasan yang dilakukan oleh Kepala Badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.
Pasal 31
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan
Menteri ini dapat dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan
-17-
c. pencabutan SIA.
Pasal 32
(1) Pencabutan SIA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (2) huruf c dilakukan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota berdasarkan:
a. hasil pengawasan; dan/atau
b. rekomendasi Kepala Balai POM.
(2) Pelaksanaan pencabutan SIA sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan setelah dikeluarkan teguran
tertulis berturutturut sebanyak 3 (tiga) kali dengan
tenggang waktu masingmasing 1 (satu) bulan dengan
menggunakan Formulir 8.
(3) Dalam hal Apotek melakukan pelanggaran berat yang
membahayakan jiwa, SIA dapat dicabut tanpa peringatan
terlebih dahulu.
(4) Keputusan Pencabutan SIA oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota disampaikan langsung kepada Apoteker
dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, kepala
dinas kesehatan provinsi, dan Kepala Badan dengan
menggunakan Formulir 9 sebagaimana terlampir.
(5) Dalam hal SIA dicabut selain oleh dinas kesehatan
kabupaten/kota, selain ditembuskan kepada
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), juga ditembuskan
kepada dinas kabupaten/kota.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
(1) Permohonan izin Apotek yang telah diajukan sebelum
berlakunya Peraturan Menteri ini tetap diproses
berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan
dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik sebagaimana telah
diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan atas
-18-
Pasal 34
(1) Apotek rakyat berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 284/MENKES/PER/III/2007 tentang Apotek
Rakyat yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53
Tahun 2016 tentang Pencabutan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 284/MENKES/PER/III/2007 tentang
Apotek Rakyat harus menyesuaikan diri menjadi Apotek
mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
(2) Dalam hal apotek rakyat tidak menyesuaikan diri
menjadi Apotek sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
apotek rakyat dapat menyesuaikan diri menjadi toko
-19-
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 922/MENKES/PER/X/1993
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotik, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-20-
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Januari 2017
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Februari 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
Lampiran:
Formulir 1
Yang terhormat,
Kepala Dinas Kesehatan/Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu *)
Kabupaten/Kota ...............................
di
...........................
Dengan hormat,
Pemohon,
(………………………….…..)
Nama Lengkap
Formulir 2
DINAS KESEHATAN/
PENYELENGGARA PELAYANAN TERPADU SATU PINTU *)
Kepada Yth.
Ketua Tim Pemeriksa Apotek
di-
...................................................
(…………………………………..................)
NIP………………………………….............
Catatan:
*) : Diisi sesuai instansi pemberi izin.
-23-
Formulir 3
Pada hari ini, tanggal ................ bulan ................ tahun ................, kami yang
bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama : ...................................................................................
NIP : ...................................................................................
Pangkat/Golongan : ...................................................................................
Jabatan : ...................................................................................
2. Nama : ...................................................................................
NIP : ...................................................................................
Pangkat/Golongan : ...................................................................................
Jabatan : ...................................................................................
HASIL PEMERIKSAAN
Penilaian
Memenuhi syarat
Tidak memenuhi
Hasil
syarat
No Perincian Persyaratan
Pengamatan
I. Lokasi 1. Memenuhi
Persyaratan
kesehatan
lingkungan
2. Apotek dapat
didirikan pada
lokasi yang sama
dengan kegiatan
pelayanan dan
komoditi lainnya
diluar sediaan
farmasi
II. Bangunan 1. Permanen
2. Memperhatikan
fungsi, keamanan,
kenyamanan dan
kemudahan dalam
pemberian
pelayanan serta
perlindungan dan
keselamatan bagi
semua orang
III.Sarana/prasarana
Sarana
1. Ruang Pendaftaran/ Ada sesuai kebutuhan
Penerimaan Resep
2. Ruang Pelayanan
Resep dan Peracikan
a. Timbangan minimal 1 set
miligram dan anak
timbangan yang
sudah ditera
b. Timbangan gram minimal 1 set
dengan anak
timbangan yang
sudah ditera
-25-
Penilaian
Memenuhi syarat
Tidak memenuhi
Hasil
syarat
No Perincian Persyaratan
Pengamatan
Penilaian
Memenuhi syarat
Tidak memenuhi
Hasil
syarat
No Perincian Persyaratan
Pengamatan
Penilaian
Memenuhi syarat
Tidak memenuhi
Hasil
syarat
No Perincian Persyaratan
Pengamatan
1. 2.
(…………………………………..............) (…………………………………..............)
NIP…………………………………........ NIP………………………………….........
Mengetahui,
(…………………………………..................)
NIP………………………………….............
Catatan:
*) : Diisi sesuai instansi pemberi izin.
**) : Coret yang tidak perlu.
-29-
Formulir 4
kepada:
Nama Lengkap : ..............................................................................
Tempat, tanggal lahir : ..............................................................................
Alamat Rumah : ..............................................................................
No. STRA : ..............................................................................
Masa berlaku STRA sampai: ............................................(tanggal/bulan tahun)
No. SIPA : ..............................................................................
Masa berlaku SIPA sampai : ...........................................(tanggal/bulan tahun)
2. SIA ini batal demi hukum apabila bertentangan dengan angka 1 di atas dan
pekerjaan/praktik kefarmasian dilakukan tidak sesuai dengan yang
tercantum dalam SIA.
Dikeluarkan di : …………………………………..................
Pada tanggal : …………………………………..................
-30-
(…………………………………..................)
NIP………………………………….............
Tembusan :
1. Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan;
2. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi ……………………………
3. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota …………………………… (jika Izin
dikeluarkan oleh penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu)
4. Kepala Balai Besar/Balai POM di ……………………………
Catatan:
*) : Diisi sesuai instansi pemberi izin.
-31-
Formulir 5
DINAS KESEHATAN/
PENYELENGGARA PELAYANAN TERPADU SATU PINTU *)
KABUPATEN/KOTA ................................................
Kepada Yth.
Apoteker ..........................................
di-
...................................................
1. .................................................................................................................
2. .................................................................................................................
3. .................................................................................................................
Selanjutnya kepada Saudara kami minta melengkapi kekurangan tersebut
selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal surat ini.
(…………………………………..................)
NIP………………………………….............
Catatan:
*) : Diisi sesuai instansi pemberi izin.
-32-
Formulir 6
DINAS KESEHATAN/
PENYELENGGARA PELAYANAN TERPADU SATU PINTU *)
KABUPATEN/KOTA ................................................
Kepada Yth.
Apoteker ..........................................
di-
...................................................
1. .................................................................................................................
2. .................................................................................................................
3. .................................................................................................................
(…………………………………..................)
NIP………………………………….............
Catatan:
*) : Diisi sesuai instansi pemberi izin.
-33-
Formulir 7
(………………………….…..)
Nama Lengkap
-34-
Formulir 8
PEMERINTAH DAERAH
KABUPATEN/ KOTA ……………………………….
Nomor :
Lampiran : Peringatan ke satu/dua/tiga*
Kepada Yth.
Apotek ..............
di
Sesuai dengan Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) Nomor ……………. tanggal
………………atas nama …………….. untuk Apotek................ dengan nomor SIA
.................. tanggal.................. dengan lokasi ………….. setelah kami
mengadakan pemeriksaan diketahui bahwa Apotek Saudara tidak memenuhi
ketentuan perizinan yang berlaku antara lain :
1. ……………
2. ……………
3. ……………
NIP….……………………………………………….
Catatan :
*) pilih yang sesuai
-35-
Formulir 9
NOMOR …………………………….
TENTANG
MEMUTUSKAN:
Ditetapkan di …………………………
pada Tanggal …………………………
NIP……………………………………………
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN
NOMOR 889/MENKES/PER/V/2011 TENTANG
REGISTRASI, IZIN PRAKTIK, DAN IZIN KERJA TENAGA
KEFARMASIAN.
Pasal I
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
Pasal II
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Juli 2016
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Agustus 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA