Anda di halaman 1dari 187

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 51 TAHUN 2009
TENTANG
PEKERJAAN KEFARMASIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pekerjaan Kefarmasian;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor
100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEKERJAAN
KEFARMASIAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud
dengan:
1. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan
termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional.

2. Sediaan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-2-

2. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat


tradisional dan kosmetika.
3. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan
Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker
dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
4. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien
yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.
5. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus
sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah
jabatan Apoteker.
6. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang
membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan
Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi,
Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga
Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.
7. Fasilitas Kesehatan adalah sarana yang digunakan
untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
8. Fasilitas Kefarmasian adalah sarana yang
digunakan untuk melakukan Pekerjaan
Kefarmasian.
9. Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi adalah sarana
yang digunakan untuk memproduksi obat, bahan
baku obat, obat tradisional, dan kosmetika.
10. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan
Farmasi adalah sarana yang digunakan untuk
mendistribusikan atau menyalurkan Sediaan
Farmasi, yaitu Pedagang Besar Farmasi dan
Instalasi Sediaan Farmasi.

11. Fasilitas . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-3-

11. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian adalah sarana


yang digunakan untuk menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian, yaitu apotek, instalasi
farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat,
atau praktek bersama.
12. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan
berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk
pengadaan, penyimpanan, penyaluran perbekalan
farmasi dalam jumlah besar sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
13. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian
tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
Apoteker.
14. Toko Obat adalah sarana yang memiliki izin untuk
menyimpan obat-obat bebas dan obat-obat bebas
terbatas untuk dijual secara eceran.
15. Standar Profesi adalah pedoman untuk
menjalankan praktik profesi kefarmasian secara
baik.
16. Standar Prosedur Operasional adalah prosedur
tertulis berupa petunjuk operasional tentang
Pekerjaan Kefarmasian.
17. Standar Kefarmasian adalah pedoman untuk
melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada fasilitas
produksi, distribusi atau penyaluran, dan
pelayanan kefarmasian.
18. Asosiasi adalah perhimpunan dari perguruan tinggi
farmasi yang ada di Indonesia.
19. Organisasi Profesi adalah organisasi tempat
berhimpun para Apoteker di Indonesia.

20. Surat . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-4-

20. Surat Tanda Registrasi Apoteker selanjutnya


disingkat STRA adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh Menteri kepada Apoteker yang telah
diregistrasi.
21. Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian
selanjutnya disingkat STRTTK adalah bukti tertulis
yang diberikan oleh Menteri kepada Tenaga Teknis
Kefarmasian yang telah diregistrasi.
22. Surat Izin Praktik Apoteker selanjutnya disingkat
SIPA adalah surat izin yang diberikan kepada
Apoteker untuk dapat melaksanakan Pekerjaan
Kefarmasian pada Apotek atau Instalasi Farmasi
Rumah Sakit.
23. Surat Izin Kerja selanjutnya disingkat SIK adalah
surat izin yang diberikan kepada Apoteker dan
Tenaga Teknis Kefarmasian untuk dapat
melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian pada fasilitas
produksi dan fasilitas distribusi atau penyaluran.
24. Rahasia Kedokteran adalah sesuatu yang berkaitan
dengan praktek kedokteran yang tidak boleh
diketahui oleh umum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
25. Rahasia Kefarmasian adalah Pekerjaan Kefarmasian
yang menyangkut proses produksi, proses
penyaluran dan proses pelayanan dari Sediaan
Farmasi yang tidak boleh diketahui oleh umum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
26. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang kesehatan.

Pasal 2 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-5-

Pasal 2

(1) Peraturan Pemerintah ini mengatur Pekerjaan


Kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi
atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi.

(2) Pekerjaan Kefarmasian sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.

Pasal 3

Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada


nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan
perlindungan serta keselamatan pasien atau
masyarakat yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi
yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan,
mutu, dan kemanfaatan.

Pasal 4

Tujuan pengaturan Pekerjaan Kefarmasian untuk:


a. memberikan perlindungan kepada pasien dan
masyarakat dalam memperoleh dan/atau
menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu
penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta peraturan perundangan-undangan;
dan
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien,
masyarakat dan Tenaga Kefarmasian.

BAB II . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-6-

BAB II
PENYELENGGARAAN PEKERJAAN KEFARMASIAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 5

Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi:


a. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan
Farmasi;
b. Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan
Farmasi;
c. Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau
Penyaluran Sediaan Farmasi; dan
d. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan
Farmasi.

Bagian Kedua
Pekerjaan Kefarmasian Dalam Pengadaan
Sediaan Farmasi

Pasal 6

(1) Pengadaan Sediaan Farmasi dilakukan pada


fasilitas produksi, fasilitas distribusi atau
penyaluran dan fasilitas pelayanan sediaan
farmasi.

(2) Pengadaan Sediaan Farmasi sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh
Tenaga kefarmasian.

(3) Pengadaan Sediaan Farmasi harus dapat menjamin


keamanan, mutu, manfaat dan khasiat Sediaan
Farmasi.

(4) Ketentuan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-7-

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara


pengadaan Sediaan Farmasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur
dalam Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Pekerjaan Kefarmasian Dalam Produksi
Sediaan Farmasi

Pasal 7

(1) Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan


Farmasi harus memiliki Apoteker penanggung
jawab.

(2) Apoteker penanggung jawab sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh
Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis
Kefarmasian.

Pasal 8

Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi dapat berupa


industri farmasi obat, industri bahan baku obat,
industri obat tradisional, dan pabrik kosmetika.

Pasal 9

(1) Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang


Apoteker sebagai penanggung jawab masing-masing
pada bidang pemastian mutu, produksi, dan
pengawasan mutu setiap produksi Sediaan
Farmasi.

(2) Industri . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-8-

(2) Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika


harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
Apoteker sebagai penanggung jawab.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Fasilitas Produksi


Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 10

Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 harus memenuhi
ketentuan Cara Pembuatan yang Baik yang ditetapkan
oleh Menteri.

Pasal 11

(1) Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian,


Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2) harus menetapkan Standar Prosedur
Operasional.

(2) Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara


tertulis dan diperbaharui secara terus menerus
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang farmasi dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 12

Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan proses


produksi dan pengawasan mutu Sediaan Farmasi pada
Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi wajib dicatat oleh
Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Pasal 13 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-9-

Pasal 13

Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan


Kefarmasian pada Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi
harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang produksi dan pengawasan mutu.

Bagian Keempat
Pekerjaan Kefarmasian Dalam Distribusi atau
Penyaluran Sediaan Farmasi

Pasal 14

(1) Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan


Farmasi berupa obat harus memiliki seorang
Apoteker sebagai penanggung jawab.

(2) Apoteker sebagai penanggung jawab sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh
Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis
Kefarmasian.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan


Pekerjaan Kefarmasian dalam Fasilitas Distribusi
atau Penyaluran Sediaan Farmasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 15

Pekerjaan Kefarmasian dalam Fasilitas Distribusi atau


Penyaluran Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 harus memenuhi ketentuan Cara
Distribusi yang Baik yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 16 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 10 -

Pasal 16

(1) Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian,


Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
harus menetapkan Standar Prosedur Operasional.

(2) Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara


tertulis dan diperbaharui secara terus menerus
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang farmasi dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17

Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan proses


distribusi atau penyaluran Sediaan Farmasi pada
Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi
wajib dicatat oleh Tenaga Kefarmasian sesuai dengan
tugas dan fungsinya.

Pasal 18

Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan


Kefarmasian dalam Fasilitas Distribusi atau Penyaluran
Sediaan Farmasi harus mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang distribusi atau
penyaluran.

Bagian Kelima
Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian Pada Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian

Pasal 19

Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa :


a. Apotek;
b. Instalasi . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 11 -

b. Instalasi farmasi rumah sakit;


c. Puskesmas;
d. Klinik;
e. Toko Obat; atau
f. Praktek bersama.

Pasal 20

Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada


Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat
dibantu oleh Apoteker pendamping dan/ atau Tenaga
Teknis Kefarmasian.

Pasal 21
(1) Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus
menerapkan standar pelayanan kefarmasian.

(2) Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep


dokter dilaksanakan oleh Apoteker.
(3) Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat
Apoteker, Menteri dapat menempatkan Tenaga
Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK
pada sarana pelayanan kesehatan dasar yang
diberi wewenang untuk meracik dan menyerahkan
obat kepada pasien.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan
kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menurut jenis Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
ditetapkan oleh Menteri.
(5) Tata cara penempatan dan kewenangan Tenaga
Teknis Kefarmasian di daerah terpencil
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 22 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 12 -

Pasal 22

Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek,


dokter atau dokter gigi yang telah memiliki Surat Tanda
Registrasi mempunyai wewenang meracik dan
menyerahkan obat kepada pasien yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 23

(1) Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian,


Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
harus menetapkan Standar Prosedur Operasional.

(2) Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara


tertulis dan diperbaharui secara terus menerus
sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang farmasi dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 24

Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas


Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat:
a. mengangkat seorang Apoteker pendamping yang
memiliki SIPA;
b. mengganti obat merek dagang dengan obat generik
yang sama komponen aktifnya atau obat merek
dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau
pasien; dan
c. menyerahkan obat keras, narkotika dan
psikotropika kepada masyarakat atas resep dari
dokter sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 25 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 13 -

Pasal 25

(1) Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal


sendiri dan/atau modal dari pemilik modal baik
perorangan maupun perusahaan.

(2) Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek


bekerja sama dengan pemilik modal maka
pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan
sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.

(3) Ketentuan mengenai kepemilikan Apotek


sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 26

(1) Fasilitas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 19 huruf e dilaksanakan
oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki
STRTTK sesuai dengan tugas dan fungsinya.

(2) Dalam menjalankan praktek kefarmasian di Toko


Obat, Tenaga Teknis Kefarmasian harus
menerapkan standar pelayanan kefarmasian di
Toko Obat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Fasilitas


Pelayanan Kefarmasian di Toko Obat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan standar pelayanan
kefarmasian di toko obat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 27 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 14 -

Pasal 27

Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan


pelayanan farmasi pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian wajib dicatat oleh Tenaga Kefarmasian
sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Pasal 28

Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan


Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
wajib mengikuti paradigma pelayanan kefarmasian dan
perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.

Pasal 29

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan


Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur dengan
Peraturan Menteri.

Bagian Keenam
Rahasia Kedokteran Dan Rahasia Kefarmasian

Pasal 30
(1) Setiap Tenaga Kefarmasian dalam menjalankan
Pekerjaan Kefarmasian wajib menyimpan Rahasia
Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian.

(2) Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian


hanya dapat dibuka untuk kepentingan pasien,
memenuhi permintaan hakim dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri
dan/atau berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

(3) Ketentuan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 15 -

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rahasia


Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.

Bagian Ketujuh
Kendali Mutu dan Kendali Biaya

Pasal 31

(1) Setiap Tenaga Kefarmasian dalam melaksanakan


Pekerjaan Kefarmasian wajib menyelenggarakan
program kendali mutu dan kendali biaya.

(2) Pelaksanaan kegiatan kendali mutu dan kendali


biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui audit kefarmasian.

Pasal 32

Pembinaan dan pengawasan terhadap audit


kefarmasian dan upaya lain dalam pengendalian mutu
dan pengendalian biaya dilaksanakan oleh Menteri.

BAB III
TENAGA KEFARMASIAN

Pasal 33

(1) Tenaga Kefarmasian terdiri atas:


a. Apoteker; dan
b. Tenaga Teknis Kefarmasian.

(2) Tenaga Teknis kefarmasian sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf b terdiri dari Sarjana Farmasi,
Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga
Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.

Pasal 34 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 16 -

Pasal 34

(1) Tenaga Kefarmasian melaksanakan Pekerjaan


Kefarmasian pada:
a. Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi berupa
industri farmasi obat, industri bahan baku
obat, industri obat tradisional, pabrik kosmetika
dan pabrik lain yang memerlukan Tenaga
Kefarmasian untuk menjalankan tugas dan
fungsi produksi dan pengawasan mutu;
b. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan
Farmasi dan alat kesehatan melalui Pedagang
Besar Farmasi, penyalur alat kesehatan,
instalasi Sediaan Farmasi dan alat kesehatan
milik Pemerintah, pemerintah daerah provinsi,
dan pemerintah daerah kabupaten/kota;
dan/atau
c. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian melalui praktik
di Apotek, instalasi farmasi rumah sakit,
puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek
bersama.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan


Pekerjaan Kefarmasian dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 35

(1) Tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 33 harus memiliki keahlian dan kewenangan
dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian.

(2) Keahlian dan kewenangan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) harus dilaksanakan dengan
menerapkan Standar Profesi.

(3) Dalam . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 17 -

(3) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) harus didasarkan pada
Standar Kefarmasian, dan Standar Prosedur
Operasional yang berlaku sesuai fasilitas kesehatan
dimana Pekerjaan Kefarmasian dilakukan.

(4) Standar Profesi sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 36

(1) Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33


ayat (1) huruf a merupakan pendidikan profesi
setelah sarjana farmasi.

(2) Pendidikan profesi Apoteker hanya dapat dilakukan


pada perguruan tinggi sesuai peraturan
perundang-undangan.

(3) Standar pendidikan profesi Apoteker terdiri atas:


a. komponen kemampuan akademik; dan
b. kemampuan profesi dalam mengaplikasikan
Pekerjaan Kefarmasian.

(4) Standar pendidikan profesi Apoteker sebagaimana


dimaksud pada ayat (3) disusun dan diusulkan
oleh Asosiasi di bidang pendidikan farmasi dan
ditetapkan oleh Menteri.

(5) Peserta pendidikan profesi Apoteker yang telah


lulus pendidikan profesi Apoteker sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berhak memperoleh ijazah
Apoteker dari perguruan tinggi.

Pasal 37 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 18 -

Pasal 37

(1) Apoteker yang menjalankan Pekerjaan Kefarmasian


harus memiliki sertifikat kompetensi profesi.

(2) Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan profesi,


dapat memperoleh sertifikat kompetensi profesi
secara langsung setelah melakukan registrasi.

(3) Sertifikat kompetensi profesi berlaku 5 (lima) tahun


dan dapat diperpanjang untuk setiap 5 (lima)
tahun melalui uji kompetensi profesi apabila
Apoteker tetap akan menjalankan Pekerjaan
Kefarmasian.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara


memperoleh sertifikat kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan tata cara registrasi
profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.

Pasal 38

(1) Standar pendidikan Tenaga Teknis Kefarmasian


harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di bidang pendidikan.

(2) Peserta didik Tenaga Teknis Kefarmasian


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dapat
menjalankan Pekerjaan Kefarmasian harus
memiliki ijazah dari institusi pendidikan sesuai
peraturan perundang-undangan.

(3) Untuk dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian


sebagaimana dimaksud pada ayat (2), peserta didik
yang telah memiliki ijazah wajib memperoleh
rekomendasi dari Apoteker yang memiliki STRA di
tempat yang bersangkutan bekerja.

(4) Ijazah . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 19 -

(4) Ijazah dan rekomendasi sebagaimana dimaksud


pada ayat (3) wajib diserahkan kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota untuk memperoleh izin
kerja.

Pasal 39

(1) Setiap Tenaga Kefarmasian yang melakukan


Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki
surat tanda registrasi.

(2) Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) diperuntukkan bagi:
a. Apoteker berupa STRA; dan
b. Tenaga Teknis Kefarmasian berupa STRTTK.

Pasal 40

(1) Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus


memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah Apoteker;
b. memiliki sertifikat kompetensi profesi;
c. mempunyai surat pernyataan telah
mengucapkan sumpah/janji Apoteker;
d. mempunyai surat keterangan sehat fisik dan
mental dari dokter yang memiliki surat izin
praktik; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan
melaksanakan ketentuan etika profesi.

(2) STRA dikeluarkan oleh Menteri.

Pasal 41 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 20 -

Pasal 41

STRA berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat


diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun apabila
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (1).

Pasal 42

(1) Apoteker lulusan luar negeri yang akan


menjalankan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia
harus memiliki STRA setelah melakukan adaptasi
pendidikan.
(2) STRA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a. STRA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (1); atau
b. STRA Khusus.
(3) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada institusi pendidikan Apoteker di
Indonesia yang terakreditasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemberian STRA, atau STRA Khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dan pelaksanaan adaptasi
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 43

STRA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2)


huruf a diberikan kepada:

a. Apoteker . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 21 -

a. Apoteker warga negara Indonesia lulusan luar


negeri yang telah melakukan adaptasi pendidikan
Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (3) di Indonesia dan memiliki sertifikat
kompetensi profesi;

b. Apoteker warga negara asing lulusan program


pendidikan Apoteker di Indonesia yang telah
memiliki sertifikat kompetensi profesi dan telah
memiliki izin tinggal tetap untuk bekerja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian; atau

c. Apoteker warga negara asing lulusan program


pendidikan Apoteker di luar negeri dengan
ketentuan:
1. telah melakukan adaptasi pendidikan Apoteker
di Indonesia;
2. telah memiliki sertifikat kompetensi profesi;
dan
3. telah memenuhi persyaratan untuk bekerja
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan dan keimigrasian.

Pasal 44

STRA Khusus sebagaimana dimaksud pada Pasal 42


ayat (2) huruf b dapat diberikan kepada Apoteker warga
negara asing lulusan luar negeri dengan syarat:
1. atas permohonan dari instansi pemerintah atau
swasta;
2. mendapat persetujuan Menteri; dan
3. Pekerjaan Kefarmasian dilakukan kurang dari
1 (satu) tahun.

Pasal 45 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 22 -

Pasal 45

(1) Penyelenggaraan adaptasi pendidikan Apoteker bagi


Apoteker lulusan luar negeri dilakukan pada
institusi pendidikan Apoteker di Indonesia.

(2) Apoteker lulusan luar negeri sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan
yang berlaku dalam bidang pendidikan dan
memiliki sertifikat kompetensi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi


pendidikan Apoteker sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur oleh Menteri setelah mendapatkan
pertimbangan dari menteri yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang pendidikan.

Pasal 46

Kewajiban perpanjangan registrasi bagi Apoteker


lulusan luar negeri yang akan melakukan Pekerjaan
Kefarmasian di Indonesia mengikuti ketentuan
perpanjangan registrasi bagi Apoteker sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41.

Pasal 47

(1) Untuk memperoleh STRTTK bagi Tenaga Teknis


Kefarmasian wajib memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya;
b. memiliki surat keterangan sehat fisik dan
mental dari dokter yang memiliki surat izin
praktek;
c. memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari
Apoteker yang telah memiliki STRA di tempat
Tenaga Teknis Kefarmasian bekerja; dan

d. membuat . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 23 -

d. membuat pernyataan akan mematuhi dan


melaksanakan ketentuan etika kefarmasian.

(2) STRTTK dikeluarkan oleh Menteri.

(3) Menteri dapat mendelegasikan pemberian STRTTK


kepada pejabat kesehatan yang berwenang pada
pemerintah daerah provinsi.

Pasal 48

STRTTK berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat


diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun apabila
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 ayat (1).

Pasal 49

STRA, STRA Khusus, dan STRTTK tidak berlaku karena:


a. habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang oleh
yang bersangkutan atau tidak memenuhi
persyaratan untuk diperpanjang;
b. dicabut atas dasar ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. permohonan yang bersangkutan;
d. yang bersangkutan meninggal dunia; atau
e. dicabut oleh Menteri atau pejabat kesehatan yang
berwenang.

Pasal 50

(1) Apoteker yang telah memiliki STRA, atau STRA


Khusus, serta Tenaga Teknis Kefarmasian yang
telah memiliki STRTTK harus melakukan Pekerjaan
Kefarmasian sesuai dengan pendidikan dan
kompetensi yang dimiliki.

(2) Tenaga . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 24 -

(2) Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki


STRTTK mempunyai wewenang untuk melakukan
Pekerjaan Kefarmasian dibawah bimbingan dan
pengawasan Apoteker yang telah memiliki STRA
sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang
dimilikinya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang Tenaga


Teknis Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 51

(1) Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau


instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat
dilakukan oleh Apoteker.

(2) Apoteker sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


wajib memiliki STRA.

(3) Dalam melaksanakan tugas Pelayanan


Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Apoteker dapat dibantu oleh Tenaga Teknis
Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK.

Pasal 52

(1) Setiap Tenaga Kefarmasian yang melaksanakan


Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki
surat izin sesuai tempat Tenaga Kefarmasian
bekerja.

(2) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dapat berupa:
a. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan
Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau
instalasi farmasi rumah sakit;

b. SIPA . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 25 -

b. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan


Kefarmasian sebagai Apoteker pendamping;
c. SIK bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan
Kefarmasian di fasilitas kefarmasian diluar
Apotek dan instalasi farmasi rumah sakit; atau
d. SIK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang
melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada
Fasilitas Kefarmasian.

Pasal 53

(1) Surat izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52


dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang
berwenang di Kabupaten/Kota tempat Pekerjaan
Kefarmasian dilakukan.
(2) Tata cara pemberian surat izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan berdasarkan
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 54

(1) Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52


ayat (2) huruf a hanya dapat melaksanakan praktik
di 1 (satu) Apotik, atau puskesmas atau instalasi
farmasi rumah sakit.
(2) Apoteker pendamping sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b hanya dapat
melaksanakan praktik paling banyak di 3 (tiga)
Apotek, atau puskesmas atau instalasi farmasi
rumah sakit.

Pasal 55

(1) Untuk mendapat surat izin sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 52, Tenaga Kefarmasian harus
memiliki:

a. STRA . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 26 -

a. STRA, STRA Khusus, atau STRTTK yang masih


berlaku;
b. tempat atau ada tempat untuk melakukan
Pekerjaan Kefarmasian atau fasilitas
kefarmasian atau Fasilitas Kesehatan yang
memiliki izin; dan
c. rekomendasi dari Organisasi Profesi setempat.
(2) Surat Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
batal demi hukum apabila Pekerjaan Kefarmasian
dilakukan pada tempat yang tidak sesuai dengan
yang tercantum dalam surat izin.

BAB IV
DISIPLIN TENAGA KEFARMASIAN

Pasal 56

Penegakkan disiplin Tenaga Kefarmasian dalam


menyelenggarakan Pekerjaan Kefarmasian dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 57

Pelaksanaan penegakan disiplin Tenaga Kefarmasian


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dilaksanakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 58

Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah


Daerah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya serta
Organisasi Profesi membina dan mengawasi
pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian.

Pasal 59 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 27 -

Pasal 59

(1) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 58 diarahkan untuk:

a. melindungi pasien dan masyarakat dalam hal


pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian yang
dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian;

b. mempertahankan dan meningkatkan mutu


Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi; dan

c. memberikan kepastian hukum bagi pasien,


masyarakat, dan Tenaga Kefarmasian.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan


pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 60

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

1. Apoteker yang telah memiliki Surat Penugasan


dan/atau Surat Izin Apoteker dan/atau SIK, tetap
dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun wajib
menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.

2. Asisten Apoteker dan Analis Farmasi yang telah


memiliki Surat Izin Asisten Apoteker dan/atau SIK,
tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun wajib
menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 61 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 28 -

Pasal 61

Apoteker dan Asisten Apoteker yang dalam jangka


waktu 2 (dua) tahun belum memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini,
maka surat izin untuk menjalankan Pekerjaan
Kefarmasian batal demi hukum.

Pasal 62

Tenaga Teknis Kefarmasian yang menjadi penanggung


jawab Pedagang Besar Farmasi harus menyesuaikan
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling
lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini
diundangkan.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 63
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku,
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang
Apotik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1965 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2752), sebagaimana diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965
tentang Apotik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1980 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3169) dan Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 1990 tentang Masa Bakti
Dan Izin Kerja Apoteker (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 55, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3422), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 64
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 29 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 124


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 51 TAHUN 2009
TENTANG
PEKERJAAN KEFARMASIAN

I. U M U M

Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk


meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal
sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana diamanatkan
oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi


pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting
karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya
Pelayanan Kefarmasian.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di


bidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi Pelayanan
Kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan
yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja
sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas
mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung
penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan
obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya
kesalahan pengobatan (medication error).

Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik


kefarmasian dirasakan belum memadai, selama ini masih didominasi
oleh kebutuhan formal dan kepentingan Pemerintah, dan belum
memberdayakan Organisasi Profesi dan pemerintah daerah sejalan
dengan era otonomi. Sementara itu berbagai upaya hukum yang

dengan . . .
-2-

dilakukan dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada


masyarakat sebagai penerima pelayanan, dan Tenaga Kefarmasian
sebagai pemberi pelayanan telah banyak dilakukan, akan tetapi
dirasakan masih belum memadai karena kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang berkembang sangat cepat tidak seimbang dengan
perkembangan hukum.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan


hukum, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan
hukum serta menata kembali berbagai perangkat hukum yang
mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian agar dapat berjalan
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka
perlu mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam suatu peraturan
pemerintah.

Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur:

1. Asas dan Tujuan Pekerjaan Kefarmasian;

2. Penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan,


Produksi, Distribusi, atau Penyaluran dan Pelayanan Sediaan
Farmasi;

3. Tenaga Kefarmasian;

4. Disiplin Tenaga Kefarmasian; serta

5. Pembinaan dan Pengawasan;

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3 . . .
-3-

Pasal 3

Yang dimaksud dengan :

a. ”Nilai Ilmiah” adalah Pekerjaan Kefarmasian harus didasarkan


pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh dalam
pendidikan termasuk pendidikan berkelanjutan maupun
pengalaman serta etika profesi.

b. ”Keadilan” adalah penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian


harus mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata
kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau serta
pelayanan yang bermutu.

c. ”Kemanusiaan” adalah dalam melakukan Pekerjaan


Kefarmasian harus memberikan perlakuan yang sama dengan
tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial dan
ras.

d. ”Keseimbangan” adalah dalam melakukan Pekerjaan


Kefarmasian harus tetap menjaga keserasian serta
keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat.

e. ”Perlindungan dan keselamatan” adalah Pekerjaan


Kefarmasian tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan
semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat
kesehatan pasien.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2) . . .
-4-

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan tata cara dalam ayat ini untuk sektor
pemerintah mengikuti peraturan yang berlaku.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Yang dimaksud dengan ”Cara Pembuatan Yang Baik” adalah
petunjuk yang menyangkut segala aspek dalam produksi dan
pengendalian mutu meliputi seluruh rangkaian pembuatan obat
yang bertujuan untuk menjamin agar produk obat yang
dihasilkan memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan
sesuai dengan tujuan penggunaannya.

Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keharusan memperbaharui Standar Prosedur Operasional
dimaksudkan agar dapat mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan meningkatkan mutu pelayanan yang lebih
baik.

Pasal 12 . . .
-5-

Pasal 12

Kewajiban untuk melakukan pencatatan dimaksudkan sebagai alat


kontrol dalam rangka pengawasan mutu Sediaan Farmasi yang
disesuaikan dengan prosedur Cara Pembuatan yang Baik.

Pasal 13

Kewajiban mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan disamping


sebagai tuntutan etika profesi juga dalam rangka untuk
meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Yang dimaksud dengan “Cara Distribusi Obat Yang Baik” adalah


suatu pedoman yang harus diikuti dalam pendistribusian obat yang
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21 . . .
-6-

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Penggantian obat merek dagang dengan obat generik yang


sama dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada
pasien yang kurang mampu secara finansial untuk tetap dapat
membeli obat dengan mutu yang baik.

Huruf c

Cukup jelas

Pasal 25

Ayat (1)

Dalam ketentuan ini Apoteker yang mendirikan Apotek dengan


modal sendiri melakukan sepenuhnya Pekerjaan Kefarmasian.

Ayat (2)

Dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari


pekerjaan kefarmasian dilakukan oleh yang tidak memiliki
kompetensi dan wewenang.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 26 . . .
-7-

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Ayat (1)
Pemberian obat oleh dokter pada dasarnya mempunyai hubungan
sangat erat dengan Pekerjaan Kefarmasian di mana obat pada
dasarnya mempunyai fungsi mempengaruhi atau menyelidiki
sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan
kesehatan, oleh karena itu perlu dijaga kerahasiaannya dan
agar tidak menimbulkan dampak negatif kepada pasien.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kendali mutu” dalam ayat ini adalah
suatu sistem pemberian Pelayanan Kefarmasian yang efektif,
efisien, dan berkualitas dalam memenuhi kebutuhan
Pelayanan Kefarmasian.

Yang . . .
-8-

Yang dimaksud dengan “kendali biaya” adalah Pelayanan


Kefarmasian yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan
didasarkan pada harga yang sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “audit kefarmasian” adalah upaya


evaluasi secara profesional terhadap mutu Pelayanan
Kefarmasian yang diberikan kepada masyarakat yang dibuat
oleh Organisasi Profesi atau Asosiasi Institusi Pendidikan
Farmasi.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Ayat (1)

Keahlian dan kewenangan Tenaga Kefarmasian dibuktikan


dengan memiliki surat izin praktik.

Terhadap tenaga kesehatan di luar Tenaga Kefarmasian juga


dapat diberikan kewenangan melakukan Pekerjaan
Kefarmasian yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3) . . .
-9-

Ayat (3)
Standar kefarmasian pada sarana produksi adalah cara
pembuatan yang baik (Good Manufacturing Practices), pada
sarana distribusi adalah cara distribusi yang baik (Good
Distribution Practices), dan pada sarana pelayanan adalah cara
pelayanan yang baik (Good Pharmacy Practices).

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sertifikat kompetensi” adalah
pernyataan tertulis bahwa seseorang memiliki kompetensi.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41 . . .
- 10 -

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Ayat (1)
Adaptasi dilakukan melalui evaluasi terhadap kemampuan
untuk menjalankan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50 . . .
- 11 -

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Dalam hal Apoteker dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian,


pelaksanaan pelayanan Kefarmasian tetap dilakukan oleh
Apoteker dan tanggung jawab tetap berada di tangan
Apoteker.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58 . . .
- 12 -

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5044


BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.322, 2011 KEMENTERIAN KESEHATAN. Registrasi. Izin.
Tenaga Kefarmasian.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 889/MENKES/PER/V/2011
TENTANG
REGISTRASI, IZIN PRAKTIK, DAN IZIN KERJA
TENAGA KEFARMASIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 37 ayat (4),


Pasal 42 ayat (4), Pasal 50 ayat (3) Peraturan Pemerintah
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Registrasi,
Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063);

www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 2

3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah


Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5072);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3637);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3781);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
8. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta
Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I
Kementerian Negara;
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/Per/
VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
REGISTRASI, IZIN PRAKTIK, DAN IZIN KERJA TENAGA
KEFARMASIAN.

www.djpp.kemenkumham.go.id
3 2011, No.322

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional.
2. Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian,
yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
3. Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
4. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten
Apoteker;
5. Sertifikat kompetensi profesi adalah surat tanda pengakuan terhadap
kompetensi seorang Apoteker untuk dapat menjalankan pekerjaan/praktik
profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi.
6. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap tenaga kefarmasian yang telah
memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu
serta diakui secara hukum untuk menjalankan pekerjaan/praktik profesinya.
7. Registrasi ulang adalah pencatatan ulang terhadap tenaga kefarmasian yang
telah diregistrasi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.
8. Surat Tanda Registrasi Apoteker, yang selanjutnya disingkat STRA adalah
bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah
diregistrasi.
9. Surat Tanda Registrasi Apoteker Khusus, yang selanjutnya disingkat STRA
Khusus adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker
warga negara asing lulusan luar negeri yang akan melakukan pekerjaan
kefarmasian di Indonesia.
10. Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian, yang selanjutnya
disingkat STRTTK adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada
Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah diregistrasi.

www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 4

11. Surat Izin Praktik Apoteker, yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat
izin yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik
kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian.
12. Surat Izin Kerja Apoteker, yang selanjutnya disebut SIKA adalah surat izin
praktik yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan
pekerjaan kefarmasian pada fasilitas produksi atau fasilitas distribusi atau
penyaluran.
13. Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian, yang selanjutnya disebut
SIKTTK adalah surat izin praktik yang diberikan kepada Tenaga Teknis
Kefarmasian untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas
kefarmasian.
14. Komite Farmasi Nasional, yang selanjutnya disingkat KFN adalah lembaga
yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan yang berfungsi untuk meningkatkan
mutu Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian dalam melakukan pekerjaan
kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.
15. Organisasi profesi adalah organisasi tempat berhimpun para Apoteker di
Indonesia.
16. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pembinaan kefarmasian dan
alat kesehatan.
17. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
BAB II
REGISTRASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 2
(1) Setiap tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib
memiliki surat tanda registrasi.
(2) Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. STRA bagi Apoteker; dan
b. STRTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian.

www.djpp.kemenkumham.go.id
5 2011, No.322

Pasal 3
(1) STRA dan STRTTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikeluarkan
oleh Menteri.
(2) Menteri mendelegasikan pemberian:
a. STRA kepada KFN; dan
b. STRTTK kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Pasal 4
(1) Apoteker warga negara asing lulusan luar negeri yang akan menjalankan
pekerjaan kefarmasian di Indonesia dalam rangka alih teknologi atau bakti
sosial harus memiliki STRA Khusus.
(2) STRA khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh KFN
untuk jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun.
(3) Untuk dapat menjalankan pekerjaan kefarmasian, Apoteker yang telah
memiliki STRA Khusus tidak memerlukan SIPA atau SIKA, tetapi wajib
melapor kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pasal 5
(1) Apoteker lulusan luar negeri yang akan menjalankan pekerjaan
kefarmasian di Indonesia harus melakukan adaptasi pendidikan.
(2) Adaptasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada
institusi pendidikan Apoteker yang terakreditasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 6
STRA dan STRTTK berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang
selama memenuhi persyaratan.
Bagian Kedua
Persyaratan Registrasi
Pasal 7
(1) Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah Apoteker;
b. memiliki sertifikat kompetensi profesi;
c. memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;

www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 6

d. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
memiliki surat izin praktik; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.
(2) Selain memenuhi pesyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Apoteker lulusan luar negeri harus memenuhi:
a. memiliki surat keterangan telah melakukan adaptasi pendidikan
Apoteker dari institusi pendidikan yang terakreditasi; dan
b. memiliki surat izin tinggal tetap untuk bekerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan
keimigrasian bagi Apoteker warga negara asing.
Pasal 8
Untuk memperoleh STRTTK, Tenaga Teknis Kefarmasian harus memenuhi
persyaratan:
a. memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya;
b. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki
surat izin praktik;
c. memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang telah
memiliki STRA, atau pimpinan institusi pendidikan lulusan, atau organisasi
yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan
d. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
kefarmasian.
Bagian Ketiga
Sertifikat Kompetensi Profesi
Pasal 9
(1) Sertifikat kompetensi profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf b dikeluarkan oleh organisasi profesi setelah lulus uji kompetensi.
(2) Sertifikat kompetensi profesi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat
dilakukan uji kompetensi kembali setelah habis masa berlakunya.
Pasal 10
(1) Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan profesi dianggap telah lulus uji
kompetensi dan dapat memperoleh sertifikat kompetensi profesi secara
langsung.

www.djpp.kemenkumham.go.id
7 2011, No.322

(2) Permohonan sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


diajukan oleh perguruan tinggi secara kolektif 1 (satu) bulan sebelum
pelantikan dan pengucapan sumpah Apoteker baru.
(3) Organisasi profesi harus memberitahukan kepada KFN mengenai sertifikat
kompetensi yang dikeluarkan paling lama 2 (dua) minggu sebelum
pelantikan dan pengucapan sumpah Apoteker.
Pasal 11
(1) Uji kompetensi dilakukan oleh organisasi profesi melalui pembobotan
Satuan Kredit Profesi (SKP).
(2) Pedoman penyelenggaraan uji kompetensi ditetapkan oleh KFN.
Bagian Keempat
Tata Cara Memperoleh Surat Tanda Registrasi
Pasal 12
(1) Untuk memperoleh STRA, Apoteker mengajukan permohonan kepada
KFN dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir
1 terlampir.
(2) Surat permohonan STRA harus melampirkan:
a. fotokopi ijazah Apoteker;
b. fotokopi surat sumpah/janji Apoteker;
c. fotokopi sertifikat kompetensi profesi yang masih berlaku;
d. surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat
izin praktik;
e. surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi; dan
f. pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan
ukuran 2 x 3 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(3) Permohonan STRA dapat diajukan dengan menggunakan teknologi
informatika atau secara online melalui website KFN.
(4) KFN harus menerbitkan STRA paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak
surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 2 terlampir.

www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 8

Pasal 13
(1) Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan dapat memperoleh STRA secara
langsung.
(2) Permohonan STRA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh
perguruan tinggi secara kolektif setelah memperoleh sertifikat kompetensi
profesi 2 (dua) minggu sebelum pelantikan dan pengucapan sumpah
Apoteker baru dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 3 terlampir.
Pasal 14
(1) Untuk memperoleh STRTTK, Tenaga Teknis Kefarmasian harus
mengajukan permohonan kepada kepala dinas kesehatan provinsi dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 4 terlampir.
(2) Surat permohonan STRTTK harus melampirkan:
a. fotokopi ijazah Sarjana Farmasi atau Ahli Madya Farmasi atau Analis
Farmasi atau Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker;
b. surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat
izin praktik;
c. surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
kefarmasian;
d. surat rekomendasi kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki
STRA, atau pimpinan institusi pendidikan lulusan, atau organisasi yang
menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan
e. pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan
ukuran 2 x 3 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(3) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi harus menerbitkan STRTTK paling lama
10 (sepuluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan
lengkap menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 5
terlampir.
Bagian Kelima
Registrasi Ulang
Pasal 15
(1) Registrasi ulang dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 atau Pasal 14 dengan melampirkan surat tanda registrasi yang
lama.
(2) Registrasi ulang harus dilakukan minimal 6 (enam) bulan sebelum STRA
atau STRTTK habis masa berlakunya.

www.djpp.kemenkumham.go.id
9 2011, No.322

Bagian Keenam
Pencabutan STRA dan STRTTK
Pasal 16
(1) STRA atau STRTTK dapat dicabut karena:
a. permohonan yang bersangkutan;
b. pemilik STRA atau STRTTK tidak lagi memenuhi persyaratan fisik
dan mental untuk menjalankan pekerjaan kefarmasian berdasarkan
surat keterangan dokter;
c. melakukan pelanggaran disiplin tenaga kefarmasian; atau
d. melakukan pelanggaran hukum di bidang kefarmasian yang dibuktikan
dengan putusan pengadilan.
(2) Pencabutan STRA disampaikan kepada pemilik STRA dengan tembusan
kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dan organisasi profesi.
(3) Pencabutan STRTTK disampaikan kepada pemilik STRTTK dengan
tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis
Kefarmasian.
BAB III
IZIN PRAKTIK DAN IZIN KERJA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 17
(1) Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian
wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja.
(2) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan
kefarmasian;
b. SIPA bagi Apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian;
c. SIKA bagi Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas
produksi atau fasilitas distribusi/penyaluran; atau
d. SIKTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan pekerjaan
kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.

www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 10

Pasal 18
(1) SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian
atau SIKA hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas kefarmasian.
(2) Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian berupa
puskesmas dapat menjadi Apoteker pendamping di luar jam kerja.
(3) SIPA bagi Apoteker pendamping dapat diberikan untuk paling banyak 3
(tiga) tempat fasilitas pelayanan kefarmasian.
(4) SIKTTK dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas
kefarmasian.
Pasal 19
SIPA, SIKA, atau SIKTTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dikeluarkan
oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian
dilakukan.
Pasal 20
SIPA, SIKA, atau SIKTTK masih tetap berlaku sepanjang:
a. STRA atau STRTTK masih berlaku; dan
b. tempat praktik/bekerja masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIPA,
SIKA, atau SIKTTK.
Bagian Kedua
Tata Cara Memperoleh SIPA, SIKA, dan SIKTTK
Pasal 21
(1) Untuk memperoleh SIPA atau SIKA, Apoteker mengajukan permohonan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan
kefarmasian dilaksanakan dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 6 terlampir.
(2) Permohonan SIPA atau SIKA harus melampirkan:
a. fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN;
b. surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat
keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari
pimpinan fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran;
c. surat rekomendasi dari organisasi profesi; dan
d. pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4
sebanyak 2 (dua) lembar;

www.djpp.kemenkumham.go.id
11 2011, No.322

(3) Dalam mengajukan permohonan SIPA sebagai Apoteker pendamping harus


dinyatakan secara tegas permintaan SIPA untuk tempat pekerjaan
kefarmasian pertama, kedua, atau ketiga.
(4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIPA atau
SIKA paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permohonan
diterima dan dinyatakan lengkap dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 7 atau Formulir 8 terlampir.
Pasal 22
(1) Untuk memperoleh SIKTTK, Tenaga Teknis Kefarmasian mengajukan
permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat
pekerjaan kefarmasian dilaksanakan dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 9 terlampir.
(2) Permohonan SIKTTK harus melampirkan:
a. fotokopi STRTTK;
b. surat pernyataan Apoteker atau pimpinan tempat pemohon
melaksanakan pekerjaan kefarmasian;
c. surat rekomendasi dari organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis
Kefarmasian; dan
d. pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4
sebanyak 2 (dua) lembar.
(3) Dalam mengajukan permohonan SIKTTK harus dinyatakan secara tegas
permintaan SIKTTK untuk tempat pekerjaan kefarmasian pertama, kedua,
atau ketiga.
(4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIKTTK
paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan
dinyatakan lengkap dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 10 terlampir.
Bagian Ketiga
Pencabutan
Pasal 23
(1) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut SIPA, SIKA
atau SIKTTK karena:
a. atas permintaan yang bersangkutan;
b. STRA atau STRTTK tidak berlaku lagi;

www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 12

c. yang bersangkutan tidak bekerja pada tempat yang tercantum dalam


surat izin;
d. yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan fisik dan mental
untuk menjalankan pekerjaan kefarmasian berdasarkan pembinaan dan
pengawasan dan ditetapkan dengan surat keterangan dokter;
e. melakukan pelanggaran disiplin tenaga kefarmasian berdasarkan
rekomendasi KFN; atau
f. melakukan pelanggaran hukum di bidang kefarmasian yang dibuktikan
dengan putusan pengadilan.
(2) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan kepada
pemilik SIPA, SIKA, atau SIKTTK dengan tembusan kepada Direktur
Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan organisasi profesi atau
organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian.
Bagian Keempat
Pelaporan
Pasal 24
(1) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan
pemberian SIPA, SIKA, dan SIKTTK serta pencabutannya setiap 3 (tiga)
bulan sekali kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
(2) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi wajib melaporkan rekapitulasi pemberian
SIPA, SIKA, dan SIKTTK serta pencabutannya setiap 6 (enam) bulan
sekali kepada Direktur Jenderal.
BAB IV
KOMITE FARMASI NASIONAL
Pasal 25
(1) Untuk meningkatkan dan menjamin mutu tenaga kefarmasian dalam
melakukan pekerjaan kefarmasian, Menteri membentuk KFN.
(2) KFN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unit non struktural
yang bertanggung jawab kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
Pasal 26
KFN mempunyai tugas:
a. sertifikasi dan registrasi;
b. pendidikan dan pelatihan berkelanjutan; dan
c. pembinaan dan pengawasan.

www.djpp.kemenkumham.go.id
13 2011, No.322

Pasal 27
(1) Susunan organisasi KFN terdiri dari:
a. Divisi Sertifikasi dan Registrasi;
b. Divisi Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan; dan
c. Divisi Pembinaan dan Pengawasan.
(2) Anggota KFN ditetapkan oleh Menteri berdasarkan usulan Direktur
Jenderal berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang
berasal dari:
a. Kementerian Kesehatan 2 (dua) orang;
b. Badan Pengawas Obat dan Makanan 1 (satu) orang;
c. Organisasi profesi 3 (tiga) orang;
d. Organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian 1 (satu)
orang;
e. Perhimpunan dari Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia 1 (satu)
orang; dan
f. Kementerian Pendidikan Nasional 1 (satu) orang.
(3) Persyaratan keanggotaan KFN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. latar belakang pendidikan bidang farmasi;
c. sehat jasmani dan rohani; dan
d. untuk anggota KFN yang berasal dari organisasi atau perhimpunan
harus diusulkan oleh organisasi atau perhimpunan yang bersangkutan
kepada Direktur Jenderal.
(4) Masa bakti keanggotaan KFN adalah 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih
kembali maksimal 1 (satu) periode.
(5) Ketua KFN harus Apoteker dan ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 28
(1) Divisi Sertifikasi dan Registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1) huruf a bertugas:
a. menyiapkan rancangan cetak biru sertifikasi dan registrasi;
b. menyusun pedoman tata laksana sertifikasi dan registrasi; dan
c. melaksanakan registrasi.
(2) Divisi Pendidikan dan Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27

www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 14

ayat (1) huruf b mempunyai tugas:


a. menyusun cetak biru pengembangan pendidikan berkelanjutan;
b. menyusun pedoman pengembangan pendidikan berkelanjutan; dan
c. menetapkan angka Satuan Kredit Profesi (SKP) pada pelaksanaan
pengembangan pendidikan berkelanjutan.
(3) Divisi Pembinaan dan Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1) huruf c mempunyai tugas melaksanakan pembinaan dan
pengawasan terhadap tenaga kefarmasian dalam melaksanakan pekerjaan
kefarmasian.
Pasal 29
(1) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (3), KFN dapat membentuk tim ad hoc.
(2) Tim ad hoc bertugas menyelesaikan dugaan pelanggaran disiplin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dugaan pelanggaran disiplin diatur oleh
KFN.
Pasal 30
(1) KFN dalam melaksanakan tugasnya dibantu sekretariat.
(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang
Sekretaris.
(3) Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dan
bertanggung jawab kepada Sekretaris Direktorat Jenderal pada
Kementerian Kesehatan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
Pasal 31
Sekretariat KFN mempunyai tugas:
a. memberikan pelayanan administrasi umum untuk mendukung pelaksanaan
tugas KFN;
b. memproses penerbitan, pengesahan, dan mengirimkan STRA; dan
c. mengelola keuangan, kearsipan, personalia, dan kerumahtanggaan KFN.
Pasal 32
Pembiayaan kegiatan KFN dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) sektor kesehatan melalui Daftar Isian Pelaksana Anggaran
(DIPA) Direktorat Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.

www.djpp.kemenkumham.go.id
15 2011, No.322

BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 33
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan dan penerapan Peraturan
Menteri ini dilakukan oleh Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, organisasi dan/atau
perhimpunan terkait sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing.
(2) Kegiatan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diarahkan untuk:
a. melindungi pasien dan masyarakat dalam hal pelaksanaan pekerjaan
kefarmasian yang dilakukan oleh tenaga kefarmasian;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu pekerjaan kefarmasian sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat, dan tenaga
kefarmasian.
(3) Hasil pembinaan dan pengawasan yang dilakukan setiap institusi
dilaporkan secara berjenjang kepada Direktur Jenderal.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
(1) Apoteker yang telah memiliki Surat Penugasan atau Surat Izin Kerja
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 184/Menkes/Per/ II/1995
tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti dan Ijin Kerja Apoteker
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
695/Menkes/Per/VI/2007, dianggap telah memiliki STRA, SIPA, atau
SIKA berdasarkan Peraturan Menteri ini.
(2) Asisten Apoteker dan Analis Farmasi yang telah memiliki Surat Izin
Asisten Apoteker dan Surat Izin Kerja Asisten Apoteker berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 679/Menkes/SK/V/2003 tentang
Registrasi dan Izin Kerja Asisten Apoteker, dianggap telah memiliki
STRTTK dan SIKTTK berdasarkan Peraturan Menteri ini.
(3) Apoteker atau Asisten Apoteker dan Analis Farmasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib mengganti Surat Penugasan,
Surat Izin Kerja, Surat Izin Asisten Apoteker, atau Surat Izin Kerja Asisten
Apoteker dengan STRA dan SIPA/SIKA atau STRTTK dan SIKTTK
paling lambat 31 Agustus 2011 sesuai dengan Peraturan Menteri ini.

www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 16

Pasal 35
(1) Dalam rangka mengganti surat penugasan dan/atau SIK dengan STRA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), dilakukan dengan cara
mendaftar melalui website KFN.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-
lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tanggal 31 Agustus 2011 dengan
melampirkan:
a. fotokopi Kartu Tanda Penduduk/Surat Izin Mengemudi/Paspor;
b. fotokopi ijazah Apoteker;
c. SIK atau Surat Penugasan; dan
d. pas foto terbaru berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan
ukuran 2x3 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(3) Setelah mendapatkan STRA untuk pertama kalinya, Apoteker wajib
mengurus SIPA dan SIKA di dinas kesehatan kabupaten/kota tempat
pekerjaan kefarmasian dilakukan.
Pasal 36
(1) Dalam rangka mengganti SIAA atau SIK Asisten Apoteker dengan
STRTTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), dilakukan
dengan cara mendaftar melalui dinas kesehatan provinsi.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-
lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tanggal 31 Agustus 2011 dengan
melampirkan:
a. fotokopi Kartu Tanda Penduduk/Surat Izin Mengemudi/Paspor;
b. fotokopi ijazah Tenaga Teknis Kefarmasian;
c. SIAA atau SIK Asisten Apoteker; dan
d. pas foto terbaru berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan
ukuran 2x3 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(3) Setelah mendapatkan STRTTK untuk pertama kalinya, Tenaga Teknis
Kefarmasian wajib mengurus SIKTTK di dinas kesehatan kabupaten/kota
tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan.
Pasal 37
Masa berlaku STRA, STRTTK, SIPA, SIKA, dan SIKTTK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 diberikan berdasarkan tanggal kelahiran
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian yang bersangkutan.

www.djpp.kemenkumham.go.id
17 2011, No.322

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka;
a. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 184/Menkes/Per/II/1995 tentang
Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti dan Izin Kerja Apoteker;
b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 679/Menkes/SK/V/2003 tentang
Registrasi dan Izin Kerja Asisten Apoteker; dan
c. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 695/Menkes/Per/VI/2007 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
184/Menkes/Per/II/1995 tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti
dan Izin Kerja Apoteker;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 39
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Mei 2011
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

ENDANG RAHAYU SEDYANINGSIH

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 01 Juni 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR

www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 18

Formulir 1
............, ....... 20....

Hal : Permohonan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)

Yang terhormat,
Ketua Komite Farmasi Nasional
di
Jakarta

Dengan hormat,

Bersama ini kami mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat


Tanda Registrasi Apoteker (STRA) sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja
Tenaga Kefarmasian dengan data-data sebagai berikut:
Nama Lengkap : …………………………………………...............
Tempat, tanggal lahir : …………………………………………...............
Jenis Kelamin : …………………………………………...............
Lulusan : …………………………………………...............
Tahun lulusan : …………………………………………...............
Alamat rumah : ………………………………………................
telp…………………....................
Alamat kantor : ……………………….....................................
telp/fax……………………………….
Nomor Hp : ……………………………...............................
E-mail : …………………………………………...............
No. Sertifikat Kompetensi : …………………………………………...............
Tgl. Sertifikat Kompetensi : …………………………………………...............

Sebagai bahan pertimbangan bersama ini kami lampirkan :


a. fotokopi ijazah Apoteker;
b. fotokopi surat sumpah/janji Apoteker;
c. fotokopi sertifikat kompetensi profesi yang masih berlaku;
d. surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat
izin praktik;
e. surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi;
f. pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan
ukuran 2 x 3 cm sebanyak 2 (dua) lembar;
g. fotokopi surat keterangan selesai adaptasi pendidikan Apoteker dan
persyaratan bekerja sesuai peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan dan keimigrasian*

Demikian, atas perhatian dan perkenannya kami ucapkan terima kasih

Pemohon,
Tanda Tangan
Pas Foto
4 x 6 cm

(………………………….)
Nama Terang
Tembusan:
1. Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
2. Pengurus Pusat Organisasi Profesi.

www.djpp.kemenkumham.go.id
19 2011, No.322

Formulir 2

KEMENTERIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

SURAT TANDA REGISTRASI APOTEKER (STRA)


NOMOR :

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang


Pekerjaan Kefarmasian dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja
Tenaga Kefarmasian, kepada :

Nama : ……………………………………………..
Tempat dan tanggal lahir : ……………………………………………..
Lulusan : ……………………………………………..
Tahun : …………………………………................

Dinyatakan telah teregistrasi sebagai tenaga kefarmasian dengan nomor


registrasi..., dan diberi kewenangan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian
di seluruh wilayah Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Surat Tanda Registrasi Apoteker ini berlaku sampai dengan tanggal


.......................................

Ditetapkan di :JAKARTA
pada tanggal :

KETUA KOMITE FARMASI NASIONAL,

Pas Foto
4 x 6 cm

Tembusan :
Pengurus Pusat Organisasi Profesi.

www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 20

Formulir 3

KOP NAMA FAKULTAS/JURUSAN FARMASI

..........,......20....
Nomor :
Lampiran :
Hal : Permohonan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)

Yang terhormat,
Ketua Komite Farmasi Nasional
di
Jakarta

Dengan hormat,

Bersama ini kami mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat


Tanda Registrasi Apoteker (STRA) bagi ..... ( ) orang Apoteker baru
lulusan Fakultas/Jurusan Farmasi Universitas.....Tahun 20...sesuai
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang
Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, dengan data
terlampir.

Pelantikan dan pengucapan sumpah Apoteker akan dilaksanakan


tanggal ................ bertempat di ................

Demikian, atas perhatian dan perkenannya kami ucapkan terima kasih.

Pemohon,
Tanda Tangan

(………………………….)
Nama terang Dekan/
Ketua Jurusan/
Kepala Sekolah

www.djpp.kemenkumham.go.id
21 2011, No.322

DAFTAR NAMA APOTEKER BARU


FAKULTAS.................UNIVERISTAS ..............
TAHUN 20...

TGL
NO NAMA TEMPAT TGL LAHIR PAS PHOTO
LULUS

www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 22

Formulir 4

Hal : Permohonan Surat Tanda Registrasi


Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK)

Yang terhormat,
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi................
di
....................

Bersama ini kami mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat


Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK) sesuai Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin
Praktik dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, dengan data-data sebagai
berikut:

Nama Lengkap : ....................................................................


Tempat, tanggal lahir : ....................................................................
Jenis Kelamin : .....................................................................
Lulusan : SMF/D3 Farmasi/Sarjana Farmasi* ............
Tahun lulusan : ....................................................................
Alamat rumah : ....................................................................
telp ............................................................
Nama sarana : ...................................................................
Alamat sarana : ...................................................................
telp/fax ......................................................
Nomor Hp : ....................................................................
E-mail : ....................................................................

Sebagai bahan pertimbangan bersama ini kami lampirkan :


a. fotokopi ijazah Sarjana Farmasi atau Ahli Madya Farmasi atau Analis
Farmasi atau Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker;
b. surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat
izin praktik;
c. surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
kefarmasian;
d. surat rekomendasi kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki STRA,
atau pimpinan institusi pendidikan lulusan, atau organisasi yang
menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan
e. pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan
ukuran 2 x 3 cm sebanyak 2 (dua) lembar.

Demikian, atas perhatian dan perkenannya kami ucapkan terima kasih.

Pemohon,
Tanda Tangan
Pas Foto
4x6

(………………………….)
Nama Terang
* : diisi salah satu yang sesuai

www.djpp.kemenkumham.go.id
23 2011, No.322

Formulir 5

DINAS KESEHATAN PROVINSI

SURAT TANDA REGISTRASI TENAGA TEKNIS KEFARMASIAN (STRTTK)


NOMOR :

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan


Kefarmasian dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang
Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, kepada :

Nama : .........................................................
Tempat dan tanggal lahir : .........................................................
Lulusan : SMK/D3 Farmasi/ Perguruan Tinggi
Farmasi*………................................
Tahun : ........................................................

Dinyatakan telah teregistrasi sebagai Tenaga Teknis Kefarmasian dengan nomor


registrasi..., dan diberi kewenangan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di seluruh
wilayah Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian ini berlaku sampai dengan tanggal
............

Dikeluarkan di : .......................
pada tanggal : ........................

Kepala Dinas Kesehatan


Provinsi ...............................

Pas foto
4 x 6 cm

Tembusan:
Dinas Kesehatan Kab/Kota ................

* : diisi salah satu yang sesuai

www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 24

Formulir 6

Hal : Permohonan Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)/Surat Izin Kerja (SIK) *

Yang terhormat,
Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota…………..
di
................

Dengan hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama Lengkap : ...................................................................
No. STRA : ...................................................................
Tempat, tanggal lahir : ...................................................................
Pendidikan terakhir : ...................................................................
Tempat Praktik/Kerja : ................................................................
Alamat Praktik lain** : 1. ...............................................................
2. ...............................................................
Alamat Rumah : ...................................................................
telp…………………………………………........
Nomor Hp : ...................................................................
E-mail : ...................................................................
No. Sertifikat Kompetensi : ......................................................
Tgl. Sertifikat Kompetensi : ......................................................

Dengan ini mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat Izin Praktik


Apoteker (SIPA) / Surat Izin Kerja (SIK)* sesuai Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin
Kerja Tenaga Kefarmasian.

Sebagai bahan pertimbangan bersama ini kami lampirkan :


a. fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN;
b. surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat
keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari
pimpinan fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran;
c. surat rekomendasi dari organisasi profesi; dan
d. pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4
sebanyak 2 (dua) lembar.

Demikian, atas perhatian dan perkenannya kami ucapkan terima kasih

Pemohon,

(………………………….)
Nama terang
Tembusan :
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.......
* : diisi sesuai permohonan (SIPA / SIK)
** : untuk SIPA sebagai Apoteker Pendamping

www.djpp.kemenkumham.go.id
25 2011, No.322

Formulir 7
DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA

SURAT IZIN PRAKTIK APOTEKER (SIPA)


NOMOR :

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang


Pekerjaan Kefarmasian dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja
Tenaga Kefarmasian, yang bertanda tangan di bawah ini, Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota..............memberikan Izin Praktik Apoteker
kepada :

( Nama )

Tempat / Tgl. Lahir : ...............................................


Alamat : ................................................
No. STRA : ................................................
STRA berlaku sampai dengan : .........................................(tgl/bln/tahun)
Untuk berpraktik sebagai : Apoteker
Alamat Praktik : .....................................................
...........................................................
Masa berlaku SIPA : .......................................................

Dengan ketentuan sebagai berikut :


1. Penyelenggaraan pekerjaan/praktik kefarmasian di fasilitas pelayanan
kefarmasian harus selalu mengikuti paradigma pelayanan kefarmasian
dan perkembangan ilmu pengetahuan dana teknologi serta ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Surat izin ini batal demi hukum apabila bertentangan dengan angka 1 di
atas dan pekerjaan kefarmasian dilakukan tidak sesuai dengan yang
tercantum dalam surat izin.

Dikeluarkan di:……………
Pas foto pada tanggal :………………
4x6
Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota...............

(........................................)

Tembusan :
1. Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan;
2. Ketua Komite Farmasi Nasional;
3. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi....;
4. Organisasi Profesi.

www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 26

Formulir 8
DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA

SURAT IZIN KERJA APOTEKER (SIKA)


NOMOR :

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang


Pekerjaan Kefarmasian dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja
Tenaga Kefarmasian, yang bertanda tangan di bawah ini, Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota..............memberikan Izin Kerja Apoteker kepada
:

( Nama )
Tempat / Tgl. Lahir : ........................................................
Alamat : ........................................................
No. STRA : ........................................................
STRA berlaku sampai dengan : ........................................(tgl/bln/tahun)
Untuk berpraktik sebagai : Apoteker
Alamat Sarana : ...........................................................
...........................................................
Masa berlaku SIK : ...........................................................

Dengan ketentuan sebagai berikut :


1. Penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian di fasilitas produksi/distribusi/
penyaluran harus mematuhi ketentuan Cara Pembuatan Obat Yang
Baik/Cara Distribusi Obat Yang Baik dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Surat izin ini batal demi hukum apabila bertentangan dengan angka 1 di
atas dan pekerjaan kefarmasian dilakukan tidak sesuai dengan yang
tercantum dalam surat izin.

Dikeluarkan di ……………
pada tanggal ………………

pas foto Kepala Dinas Kesehatan


4x6 Kabupaten/Kota...............

(.....................................)

Tembusan :
1. Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
2. Ketua Komite Farmasi Nasional
3. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi....
4. Organisasi Profesi

www.djpp.kemenkumham.go.id
27 2011, No.322

Formulir 9
........................,.....20.......

Hal : Permohonan memperoleh


Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian (SIKTTK)

Yang Terhormat,
Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota…………..
di
................

Dengan hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini,


Nama Lengkap : .............................................................................
No. STRTTK : .............................................................................
Tempat/tanggal lahir : ....................................................................
Jenis Kelamin : ....................................................................
Lulusan : SMF/D3 Farmasi/Sarjana Farmasi*
Tahun lulusan : ....................................................................
Alamat rumah : ....................................................................
telp………………...................................…....
Nama Sarana ke-1 : ...................................................................
Alamat : ...................................................................
Nama Sarana ke-2 : ....................................................................
Alamat : ...................................................................
Nama Sarana ke-3 : ...................................................................
Alamat : ...................................................................
Nomor Hp : ...................................................................
E-mail : ...................................................................

Dengan ini mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat Izin Kerja


Tenaga Teknis Kefarmasian (SIKTTK) sesuai Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin
Kerja Tenaga Kefarmasian.

Sebagai bahan pertimbangan bersama ini kami lampirkan :


a. fotokopi STRTTK;
b. surat pernyataan Apoteker atau pimpinan tempat pemohon melaksanakan
pekerjaan kefarmasian**;
c. surat rekomendasi dari organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis
Kefarmasian; dan
d. pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4
sebanyak 2 (dua) lembar.

Demikian, atas perhatian dan perkenannya kami ucapkan terima kasih.

Pemohon,

(………………………….)
Nama terang
Tembusan:
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi...

* : diisi salah satu yang sesuai


** : tidak berlaku bagi TTK yang bekerja di toko obat

www.djpp.kemenkumham.go.id
2011, No.322 28

Formulir 10
DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA

SURAT IZIN KERJA TENAGA TEKNIS KEFARMASIAN (SIKTTK)


NOMOR :

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan


Kefarmasian dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/Menkes/Per/V/2011
tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, yang
bertanda tangan di bawah ini, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota..............memberikan Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian
kepada :

( Nama )

Tempat / Tgl. Lahir : ......................................................


Alamat : ......................................................
No. STRTTK : ......................................................
STRTTK berlaku sampai dengan: ......................................................
Untuk kerja sebagai : Sarjana Farmasi/ Ahli Madya Farmasi/ Analis
Farmasi/ Asisten Apoteker*
Pada sarana Kesehatan
Nama Sarana ke-1 : Sarana Produksi/ Distribusi/ Pelayanan
Kefarmasian
.................................................................
Alamat : ...............................................................
Nama Sarana ke-2 : ...............................................................
Alamat : ...............................................................
Nama Sarana ke-3 : ...............................................................
Alamat : ...............................................................
Masa berlaku SIKTTK : ...............................................................

Dengan ketentuan sebagai berikut :


1. Penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian fasilitas produksi/distribusi/
pelayanan kefarmasian harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Surat izin ini batal demi hukum apabila bertentangan dengan angka 1 di atas
dan pekerjaan kefarmasian dilakukan tidak sesuai dengan yang tercantum
dalam surat izin.

Dikeluarkan di ……………
pada tanggal ………………
pas foto Kepala Dinas Kesehatan
4x6 Kabupaten/Kota...............

(........................................)
Tembusan :
1. Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
2. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi....
3. Organisasi Profesi
4. Apoteker pemilik SIPA/SIK tempat TTK bekerja

*: diisi salah satu yang sesuai

www.djpp.kemenkumham.go.id
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 3 TAHUN 2015

TENTANG

PEREDARAN, PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN PELAPORAN


NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN PREKURSOR FARMASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


28/Menkes/Per/I/1978 tentang Penyimpanan
Narkotika, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
688/Menkes/Per/VII/1997 tentang Peredaran
Psikotropika, dan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 912/Menkes/Per/VIII/1997 tentang
Kebutuhan Tahunan dan Pelaporan Psikotropika
perlu disesuaikan dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 14 ayat (3), Pasal 36 ayat (2), Pasal
42, dan Pasal 44 Undang–Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, dan Pasal 9 ayat (3), Pasal
14 ayat (6) dan Pasal 15 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan
tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan
Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang


Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3671);
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5062);

3. Undang-Undang...
-2-

3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5072);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3781);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang
Prekursor (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5126);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 96, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5419);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5533);
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1144/Menkes/Per/lll/2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 585)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 35 Tahun 2013 (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 741);

11. Peraturan...
-3-

11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
721) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2013 (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 442);
12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar
Farmasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 370) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
585);
13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2013
tentang Impor dan Ekspor Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 178);
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014
tentang Klinik (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 232);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG


PEREDARAN, PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN
PELAPORAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN
PREKURSOR FARMASI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-
golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang tentang
Narkotika.

2. Psikotropika...
-4-

2. Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun


sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktivitas mental dan perilaku.
3. Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia
yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan
proses produksi industri farmasi atau produk antara, produk ruahan,
dan produk jadi yang mengandung ephedrine, pseudoephedrine,
norephedrine/phenylpropanolamine, ergotamin, ergometrine, atau
Potasium Permanganat.
4. Penyaluran adalah setiap kegiatan distribusi Narkotika, Psikotropika
dan Prekursor Farmasi dalam rangka pelayanan kesehatan atau
kepentingan ilmu pengetahuan.
5. Penyerahan adalah setiap kegiatan memberikan narkotika,
psikotropika dan prekursor farmasi, baik antar penyerah maupun
kepada pasien dalam rangka pelayanan kesehatan.
6. Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri
Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan
obat.
7. Pedagang Besar Farmasi yang selanjutnya disingkat PBF adalah
perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk
pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat
dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
8. Instalasi Farmasi Pemerintah adalah sarana tempat menyimpan dan
menyalurkan sediaan farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah,
baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha
Milik Daerah dalam rangka pelayanan kesehatan, yang dalam Undang-
Undang mengenai Narkotika dan Psikotropika disebut Sarana
Penyimpanan Sediaan Farmasi Pemerintah.
9. Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah unit pelaksana fungsional yang
menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah
Sakit.
10. Instalasi Farmasi Klinik adalah bagian dari klinik, yang dalam
Undang-Undang mengenai Narkotika dan Psikotropika disebut Balai
Pengobatan, yang bertugas menyelenggarakan, mengoordinasikan,
mengatur, dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta
melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian.

11. Apotek...
-5-

11. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan


praktek kefarmasian oleh Apoteker.
12. Toko Obat adalah sarana yang memiliki izin untuk menyimpan obat-
obat bebas dan obat-obat bebas terbatas untuk dijual secara eceran.
13. Lembaga Ilmu Pengetahuan adalah lembaga pendidikan dan pelatihan
serta lembaga penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan
oleh pemerintah ataupun swasta yang dapat menggunakan narkotika,
psikotropika, dan prekursor farmasi untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
14. Importir Terdaftar Psikotropika yang selanjutnya disingkat IT
Psikotropika adalah pedagang besar farmasi yang mendapat izin untuk
mengimpor psikotropika guna didistribusikan kepada industri farmasi
dan lembaga ilmu pengetahuan sebagai pengguna akhir psikotropika.
15. Importir Terdaftar Prekursor Farmasi yang selanjutnya disingkat IT
Prekursor Farmasi adalah pedagang besar farmasi yang mendapat izin
untuk mengimpor prekursor farmasi guna didistribusikan kepada
industri farmasi dan lembaga ilmu pengetahuan sebagai pengguna
akhir prekursor farmasi.
16. Kepala Balai adalah Kepala Unit Pelaksana Teknis di lingkungan
Badan Pengawas Obat dan Makanan.
17. Kepala Badan adalah Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian
yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan obat dan makanan.
18. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian
Kesehatan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pembinaan
kefarmasian dan alat kesehatan.
19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang kesehatan.

Pasal 2

Pengaturan peredaran, penyimpanan, pemusnahan dan pelaporan


Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam Peraturan Menteri
ini meliputi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi untuk
kepentingan pelayanan kesehatan atau pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.

BAB II...
-6-

BAB II
PEREDARAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 3

Peredaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi terdiri dari


Penyaluran dan Penyerahan.

Pasal 4

Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang diedarkan harus


memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu.

Pasal 5

(1) Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat


jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari
Menteri.
(2) Untuk mendapatkan izin edar Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara untuk mendapat izin edar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 6

(1) Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika dan PBF atau


Instalasi Farmasi Pemerintah yang menyalurkan Narkotika wajib
memiliki izin khusus dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Izin khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Izin Khusus Produksi Narkotika;
b. Izin Khusus Impor Narkotika; atau
c. Izin Khusus Penyaluran Narkotika.
(3) Lembaga Ilmu Pengetahuan yang memperoleh, menanam, menyimpan,
dan menggunakan Narkotika dan/atau Psikotropika untuk
kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memiliki izin dari
Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 7...
-7-

Pasal 7

Peredaran Narkotika dalam bentuk obat jadi yang digunakan dalam


program terapi dan rehabilitasi medis dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Penyaluran

Paragraf 1
Umum

Pasal 8

Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib


memenuhi Cara Distribusi Obat yang Baik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 9

(1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya


dapat dilakukan berdasarkan:
a. surat pesanan; atau
b. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk
pesanan dari Puskesmas.
(2) Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya
dapat berlaku untuk masing-masing Narkotika, Psikotropika, atau
Prekursor Farmasi.
(3) Surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis
Narkotika.
(4) Surat pesanan Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat
digunakan untuk 1 (satu) atau beberapa jenis Psikotropika atau
Prekursor Farmasi.
(5) Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
harus terpisah dari pesanan barang lain.

Paragraf 2...
-8-

Paragraf 2
Penyaluran Narkotika Golongan I

Pasal 10

(1) Penyaluran Narkotika Golongan I hanya dapat dilakukan oleh


perusahaan PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor
Narkotika kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk untuk
kebutuhan laboratorium.
(2) Penyaluran Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker
penanggung jawab dan/atau Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir
1 terlampir.

Paragraf 3
Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi Dalam Bentuk Bahan Baku

Pasal 11

(1) Penyaluran Narkotika dalam bentuk bahan baku hanya dapat


dilakukan oleh perusahaan PBF milik Negara yang memiliki Izin
Khusus Impor Narkotika kepada Industri Farmasi dan/atau Lembaga
Ilmu Pengetahuan.
(2) Penyaluran Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker
penanggung jawab produksi dan/atau Kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 1 terlampir.

Pasal 12

(1) Penyaluran Psikotropika dalam bentuk bahan baku hanya dapat


dilakukan oleh PBF yang memiliki izin sebagai IT Psikotropika kepada
Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
(2) Penyaluran Psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker
penanggung jawab produksi dan/atau Kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 2 terlampir.
Pasal 13...
-9-

Pasal 13

(1) Penyaluran Prekursor Farmasi berupa zat/bahan pemula/bahan


kimia atau produk antara/produk ruahan hanya dapat dilakukan oleh
PBF yang memiliki izin IT Prekursor Farmasi kepada Industri Farmasi
dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
(2) Penyaluran Prekursor Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker
penanggung jawab produksi dan/atau Kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 3 terlampir.

Paragraf 4
Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi Dalam Bentuk Obat Jadi

Pasal 14

(1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam


bentuk obat jadi hanya dapat dilakukan oleh:
a. Industri Farmasi kepada PBF dan Instalasi Farmasi Pemerintah;
b. PBF kepada PBF lainnya, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit,
Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan;
c. PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika
kepada Industri Farmasi, untuk penyaluran Narkotika;
d. Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat kepada Instalasi Farmasi
Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Rumah Sakit milik
Pemerintah, dan Instalasi Farmasi Tentara Nasional Indonesia atau
Kepolisian; dan
e. Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah kepada Instalasi Farmasi
Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Klinik
milik Pemerintah Daerah, dan Puskesmas.
(2) Selain kepada PBF lainnya, Apotek, Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Pemerintah dan Lembaga Ilmu Pengetahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, PBF dapat menyalurkan Prekursor Farmasi
golongan obat bebas terbatas kepada Toko Obat.

Pasal 15...
- 10 -

Pasal 15

Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk


obat jadi oleh Industri Farmasi kepada PBF hanya dapat dilakukan oleh
Industri Farmasi pemilik izin edar.

Pasal 16

(1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam


bentuk obat jadi hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan
dari Apoteker penanggung jawab atau Kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan untuk kebutuhan penelitian dan pengembangan, dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 1,
Formulir 2 dan Formulir 4 terlampir.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
untuk penyaluran kepada Instalasi Farmasi Pemerintah, surat
pesanan dapat ditandatangani oleh Apoteker yang ditunjuk.
(3) Dalam hal penyaluran Prekursor Farmasi dari PBF kepada Toko Obat,
hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Tenaga
Teknis Kefarmasian dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 4 terlampir.

Pasal 17

(1) Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang


dilakukan oleh Industri Farmasi, PBF, atau Instalasi Farmasi
Pemerintah harus dilengkapi dengan:
a. surat pesanan;
b. faktur dan/atau surat pengantar barang, paling sedikit memuat:
1. nama Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi;
2. bentuk sediaan;
3. kekuatan;
4. kemasan;
5. jumlah;
6. tanggal kadaluarsa; dan
7. nomor batch.
(2) Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan melalui jasa
pengangkutan hanya dapat membawa Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi sesuai dengan jumlah yang tecantum dalam surat
pesanan, faktur, dan/atau surat pengantar barang yang dibawa pada
saat pengiriman.
Bagian Ketiga...
- 11 -

Bagian Ketiga
Penyerahan

Paragraf 1
Umum

Pasal 18

(1) Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya


dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi.
(2) Dalam hal Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan kepada pasien, harus dilaksanakan oleh Apoteker di
fasilitas pelayanan kefarmasian.
(3) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara
langsung sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian.
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penyerahan Prekursor Farmasi yang termasuk golongan obat bebas
terbatas di Toko Obat dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian.

Paragraf 2
Penyerahan Narkotika dan Psikotropika

Pasal 19

(1) Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika hanya dapat dilakukan


oleh:
a. Apotek;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik; dan
e. dokter.
(2) Apotek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat
menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika kepada:
a. Apotek lainnya;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik;
e. dokter; dan
f. pasien.

(3) Penyerahan...
- 12 -

(3) Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d hanya dapat dilakukan
untuk memenuhi kekurangan jumlah Narkotika dan/atau
Psikotropika berdasarkan resep yang telah diterima.
(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus berdasarkan
surat permintaan tertulis yang ditandatangani oleh Apoteker
penanggung jawab dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 5 terlampir.
(5) Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi
Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan Narkotika dan/atau
Psikotropika kepada pasien berdasarkan resep dokter.

Pasal 20

(1) Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh Apotek kepada Dokter


hanya dapat dilakukan dalam hal:
a. dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan
Narkotika dan Psikotropika melalui suntikan; dan/atau
b. dokter menjalankan tugas atau praktik di daerah terpencil yang
tidak ada Apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berdasarkan
surat permintaan tertulis yang ditandatangani oleh dokter yang
menangani pasien dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 6 terlampir.

Pasal 21

(1) Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh dokter kepada pasien


hanya dapat dilakukan dalam hal:
a. dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan
Narkotika dan Psikotropika melalui suntikan;
b. dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan
memberikan Narkotika melalui suntikan;
c. dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan
memberikan Psikotropika; atau
d. dokter menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada
Apotek berdasarkan surat penugasan dari pejabat yang berwenang.
(2) Surat penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
termasuk sebagai izin penyimpanan Narkotika dan Psikotropika untuk
keperluan pengobatan.
Paragraf 3...
- 13 -

Paragraf 3
Penyerahan Prekursor Farmasi

Pasal 22

(1) Penyerahan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan oleh:


a. Apotek;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik;
e. dokter; dan
f. Toko Obat.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat
keras kepada:
a. Apotek lainnya;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi
Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan
obat keras kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat keras sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d hanya dapat
dilakukan untuk memenuhi kekurangan jumlah Prekursor Farmasi
golongan obat keras berdasarkan resep yang telah diterima.
(5) Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas oleh
Apotek kepada Apotek lainnya, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah
Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, dan Toko Obat hanya dapat dilakukan
untuk memenuhi kekurangan kebutuhan harian Prekursor Farmasi
golongan obat bebas terbatas yang diperlukan untuk pengobatan.
(6) Penyerahan Prekursor Farmasi oleh Apotek kepada dokter hanya
dapat dilakukan apabila diperlukan untuk menjalankan tugas/praktik
di daerah terpencil yang tidak ada Apotek atau sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23...
- 14 -

Pasal 23

(1) Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), ayat (5),
dan ayat (6) harus berdasarkan surat permintaan tertulis yang
ditandatangani oleh Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian
penanggung jawab atau dokter yang menangani pasien dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 7,
Formulir 8, dan Formulir 9 terlampir.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas oleh
Apotek kepada Toko Obat, hanya dapat dilakukan berdasarkan surat
permintaan tertulis yang ditandatangani oleh Tenaga Teknis
Kefarmasian dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 8 terlampir.
(3) Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas kepada
pasien harus memperhatikan kerasionalan jumlah yang diserahkan
sesuai kebutuhan terapi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB III
PENYIMPANAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 24

Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di


fasilitas produksi, fasilitas distribusi, dan fasilitas pelayanan kefarmasian
harus mampu menjaga keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.

Pasal 25

(1) Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi


dapat berupa gudang, ruangan, atau lemari khusus.
(2) Tempat penyimpanan Narkotika dilarang digunakan untuk
menyimpan barang selain Narkotika.
(3) Tempat penyimpanan Psikotropika dilarang digunakan untuk
menyimpan barang selain Psikotropika.
(4) Tempat...
- 15 -

(4) Tempat penyimpanan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku


dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Prekursor
Farmasi dalam bentuk bahan baku.

Pasal 26

(1) Gudang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang
dilengkapi dengan pintu jeruji besi dengan 2 (dua) buah kunci yang
berbeda;
b. langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi;
c. jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji
besi;
d. gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker
penanggung jawab; dan
e. kunci gudang dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab dan
pegawai lain yang dikuasakan.
(2) Ruang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat;
b. jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji
besi;
c. mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
d. kunci ruang khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung
jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan;
dan
e. tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker
penanggung jawab/Apoteker yang ditunjuk.
(3) Lemari khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. terbuat dari bahan yang kuat;
b. tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci
yang berbeda;
c. harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk
Instalasi Farmasi Pemerintah;
d. diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum,
untuk Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas,
Instalasi Farmasi Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan ; dan
e. kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung
jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.

Pasal 27...
- 16 -

Pasal 27

Penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib


memenuhi Cara Produksi Obat yang Baik, Cara Distribusi Obat yang
Baik, dan/atau standar pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Penyimpanan Narkotika atau Psikotropika

Pasal 28

(1) Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika harus memiliki tempat


penyimpanan Narkotika berupa gudang khusus, yang terdiri atas:
a. gudang khusus Narkotika dalam bentuk bahan baku; dan
b. gudang khusus Narkotika dalam bentuk obat jadi.
(2) Gudang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam
penguasaan Apoteker penanggung jawab.

Pasal 29

(1) Industri Farmasi yang memproduksi Psikotropika harus memiliki


tempat penyimpanan Psikotropika berupa gudang khusus atau ruang
khusus, yang terdiri atas:
a. gudang khusus atau ruang khusus Psikotropika dalam bentuk
bahan baku; dan
b. gudang khusus atau ruang khusus Psikotropika dalam bentuk obat
jadi.
(2) Gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berada dalam penguasaan Apoteker penanggung jawab.

Pasal 30

(1) PBF yang menyalurkan Narkotika harus memiliki tempat


penyimpanan Narkotika berupa gudang khusus.
(2) Dalam hal PBF menyalurkan Narkotika dalam bentuk bahan baku dan
obat jadi, gudang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
terdiri atas:
a. gudang khusus Narkotika dalam bentuk bahan baku; dan
b. gudang khusus Narkotika dalam bentuk obat jadi.

(3) Gudang...
- 17 -

(3) Gudang khusus untuk tempat penyimpanan Narkotika sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berada dalam penguasaan
Apoteker penanggung jawab.

Pasal 31

(1) PBF yang menyalurkan Psikotropika harus memiliki tempat


penyimpanan Psikotropika berupa gudang khusus atau ruang khusus.
(2) Dalam hal PBF menyalurkan Psikotropika dalam bentuk bahan baku
dan obat jadi, gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus terdiri atas:
a. gudang khusus atau ruang khusus Psikotropika dalam bentuk
bahan baku; dan
b. gudang khusus atau ruang khusus Psikotropika dalam bentuk obat
jadi.
(3) Gudang khusus atau ruang khusus untuk tempat penyimpanan
Psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berada
dalam penguasaan Apoteker penanggung jawab.

Pasal 32

(1) Instalasi Farmasi Pemerintah yang menyimpan Narkotika atau


Psikotropika harus memiliki tempat penyimpanan Narkotika atau
Psikotropika berupa ruang khusus atau lemari khusus.
(2) Ruang khusus atau lemari khusus tempat penyimpanan Narkotika
atau Psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam
penguasaan Apoteker penanggung jawab atau Apoteker yang ditunjuk.

Pasal 33

(1) Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi Farmasi


Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan harus memiliki tempat
penyimpanan Narkotika atau Psikotropika berupa lemari khusus.
(2) Lemari khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam
penguasaan Apoteker penanggung jawab.

Pasal 34

Dokter praktik perorangan yang menggunakan Narkotika atau


Psikotropika untuk tujuan pengobatan harus menyimpan Narkotika atau
Psikotropika di tempat yang aman dan memiliki kunci yang berada di
bawah penguasaan dokter.
Bagian Ketiga...
- 18 -

Bagian Ketiga
Penyimpanan Prekursor Farmasi

Pasal 35

(1) Industri Farmasi yang menggunakan Prekursor Farmasi dalam bentuk


bahan baku untuk memproduksi Prekursor Farmasi atau PBF yang
menyalurkan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku harus
memiliki tempat penyimpanan Prekursor Farmasi berupa gudang
khusus atau ruang khusus.
(2) Gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berada dalam penguasaan Apoteker penanggung jawab.

Pasal 36

(1) Industri Farmasi yang memproduksi Prekursor Farmasi dalam bentuk


obat jadi, PBF yang menyalurkan Prekursor Farmasi dalam bentuk
obat jadi, atau Instalasi Farmasi Pemerintah harus menyimpan
Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi dalam gudang
penyimpanan obat yang aman berdasarkan analisis risiko.
(2) Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan harus menyimpan Prekursor
Farmasi dalam bentuk obat jadi di tempat penyimpanan obat yang
aman berdasarkan analisis risiko.

BAB IV
PEMUSNAHAN

Pasal 37

Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya


dilakukan dalam hal:
a. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku
dan/atau tidak dapat diolah kembali;
b. telah kadaluarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan
dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa
penggunaan;
d. dibatalkan izin edarnya; atau
e. berhubungan dengan tindak pidana.

Pasal 38...
- 19 -

Pasal 38

(1) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a sampai


dengan huruf d dilaksanakan oleh Industri Farmasi, PBF, Instalasi
Farmasi Pemerintah, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi
Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, Dokter atau Toko Obat.
(2) Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang memenuhi
kriteria pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a
sampai dengan huruf d yang berada di Puskesmas harus
dikembalikan kepada Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah setempat.
(3) Instalasi Farmasi Pemerintah yang melaksanakan pemusnahan harus
melakukan penghapusan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
(4) Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang
berhubungan dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 huruf e dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 39

Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus


dilakukan dengan:
a. tidak mencemari lingkungan; dan
a. tidak membahayakan kesehatan masyarakat.

Pasal 40

Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan


dengan tahapan sebagai berikut:
a. penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas
pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan
menyampaikan surat pemberitahuan dan permohonan saksi kepada:
1. Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan,
bagi Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat;
2. Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas
Obat dan Makanan setempat, bagi Importir, Industri Farmasi, PBF,
Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau Instalasi Farmasi Pemerintah
Provinsi; atau
3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar/Balai
Pengawas Obat dan Makanan setempat, bagi Apotek, Instalasi
Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi
Pemerintah Kabupaten/Kota, Dokter, atau Toko Obat.
b. Kementerian...
- 20 -

b. Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas


Kesehatan Provinsi, Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan
setempat, dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menetapkan petugas
di lingkungannya menjadi saksi pemusnahan sesuai dengan surat
permohonan sebagai saksi.
c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada huruf b.
d. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan
baku, produk antara, dan produk ruahan harus dilakukan sampling
untuk kepentingan pengujian oleh petugas yang berwenang sebelum
dilakukan pemusnahan.
e. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi
harus dilakukan pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi
sebelum dilakukan pemusnahan.

Pasal 41

Dalam hal Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi


dilakukan oleh pihak ketiga, wajib disaksikan oleh pemilik Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dan saksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 huruf b.

Pasal 42

(1) Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas


pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan
yang melaksanakan pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi harus membuat Berita Acara Pemusnahan.
(2) Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
paling sedikit memuat:
a. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan;
b. tempat pemusnahan;
c. nama penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas
distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan
lembaga/dokter praktik perorangan;
d. nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain
badan/sarana tersebut;
e. nama dan jumlah Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
yang dimusnahkan;
f. cara pemusnahan; dan

g. tanda tangan...
- 21 -

g. tanda tangan penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas


distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/
dokter praktik perorangan dan saksi.
(3) Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat
dalam rangkap 3 (tiga) dan tembusannya disampaikan kepada
Direktur Jenderal dan Kepala Badan/Kepala Balai menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 10 terlampir.

BAB V
PENCATATAN DAN PELAPORAN

Bagian Kesatu
Pencatatan

Pasal 43

(1) Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek,


Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik,
Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau dokter praktik perorangan yang
melakukan produksi, Penyaluran, atau Penyerahan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib membuat pencatatan
mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi.
(2) Toko Obat yang melakukan penyerahan Prekursor Farmasi dalam
bentuk obat jadi wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan
dan/atau pengeluaran Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi.
(3) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling
sedikit terdiri atas:
a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi;
b. jumlah persediaan;
c. tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan
d. jumlah yang diterima;
e. tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan;
f. jumlah yang disalurkan/diserahkan;
g. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau
penyaluran/penyerahan; dan
h. paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.

(4) Pencatatan...
- 22 -

(4) Pencatatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) harus dibuat sesuai dengan dokumen penerimaan dan
dokumen penyaluran termasuk dokumen impor, dokumen ekspor
dan/atau dokumen penyerahan.

Pasal 44

Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen


penyaluran, dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib disimpan secara
terpisah paling singkat 3 (tiga) tahun.

Bagian Kedua
Pelaporan

Pasal 45

(1) Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika, Psikotropika, dan


Prekursor Farmasi wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan
laporan produksi dan penyaluran produk jadi Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi setiap bulan kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan Kepala Badan.
(2) PBF yang melakukan penyaluran Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi wajib membuat,
menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat
jadi setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan
tembusan Kepala Badan/Kepala Balai.
(3) Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Badan.
(4) Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah wajib membuat, menyimpan,
dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi atau Kabupaten/Kota setempat
dengan tembusan kepada Kepala Balai setempat.

(5) Pelaporan...
- 23 -

(5) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(4) paling sedikit terdiri atas:
a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi;
b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan;
c. tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan;
d. jumlah yang diterima;
e. tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran;
f. jumlah yang disalurkan; dan
g. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran
dan persediaan awal dan akhir.
(6) Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik,
Lembaga Ilmu Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib
membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan
penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika, setiap bulan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan
Kepala Balai setempat.
(7) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling sedikit terdiri
atas:
a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi;
b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan;
c. jumlah yang diterima; dan
d. jumlah yang diserahkan.
(8) Puskesmas wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan
pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4)
dan ayat (6) dapat menggunakan sistem pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi secara elektronik.
(10) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4)
dan ayat (6) disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan
berikutnya.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi diatur oleh Direktur
Jenderal.

BAB VI...
- 24 -

BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 46

Menteri, Kepala Badan, Kepala Balai, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi,


dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini sesuai dengan
tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.

Pasal 47

Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenai


sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 48

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, setiap Industri Farmasi,
PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi
Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, atau Lembaga Ilmu Pengetahuan
dalam melakukan penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan/atau
Prekursor Farmasi harus menyesuaikan dengan ketentuan penyimpanan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini paling lambat 3 (tiga)
tahun sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 49

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:


1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28/Menkes/Per/I/1978 tentang
Penyimpanan Narkotika;
2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 688/Menkes/Per/VII/1997
tentang Peredaran Psikotropika; dan
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 912/Menkes/Per/VIII/1997
tentang Kebutuhan Tahunan dan Pelaporan Psikotropika,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 50...
- 25 -

Pasal 50

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Januari 2015

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

NILA FARID MOELOEK

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Januari 2015

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 74


Formulir 1

SURAT PESANAN NARKOTIKA


Nomor : ............................

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : ........
Jabatan : ........

Mengajukan pesanan Narkotika kepada :


Nama Distributor : ........
Alamat : ........
Telp : ........

dengan Narkotika yang dipesan adalah:


(Sebutkan nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam
bentuk angka dan huruf)

Narkotika tersebut akan dipergunakan untuk :


Nama Sarana : ........
(Industri Farmasi/PBF/Apotek/Puskesmas/Instalasi
Farmasi Rumah Sakit/Instalasi Farmasi Klinik/Instalasi
Farmasi Pemerintah/Lembaga Ilmu Pengetahuan) *

Alamat Sarana : ........

Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun


Pemesan

Tanda tangan dan stempel

Nama Apoteker/Kepala Lembaga Ilmu


Pengetahuan
No. SIKA /SIPA/NIP

*) coret yang tidak perlu

Catt:
- Satu surat pesanan hanya berlaku untuk satu jenis Narkotika
- Surat Pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 2

SURAT PESANAN PSIKOTROPIKA


Nomor : ............................

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : ........
Jabatan : ........

Mengajukan pesanan Psikotropika kepada :


Nama Distributor : ........
Alamat : ........
Telp : ........

dengan Psikotropika yang dipesan adalah:


(Sebutkan nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam
bentuk angka dan huruf)

Psikotropika tersebut akan dipergunakan untuk :


Nama Sarana : ........
(Industri Farmasi/PBF/Apotek/Puskesmas/Instalasi
Farmasi Rumah Sakit/Instalasi Farmasi Klinik/Instalasi
Farmasi Pemerintah/Lembaga Ilmu Pengetahuan) *

Alamat Sarana : ........

Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun


Pemesan

Tanda tangan dan stempel

Nama Apoteker/Kepala Lembaga Ilmu


Pengetahuan
No. SIKA /SIPA/NIP

*) coret yang tidak perlu

Catt:
Surat Pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 3

SURAT PESANAN BAHAN BAKU PREKURSOR FARMASI


Nomor : ............................

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : ........
Jabatan : ........

Mengajukan pesanan Bahan Baku Prekursor Farmasi kepada:


Nama Distributor : ........
Alamat : ........
Telp : ........

dengan Bahan Baku Prekursor Farmasi yang dipesan adalah:


(Sebutkan nama bahan baku dan jumlah dalam bentuk angka dan huruf)

Bahan Baku Prekursor Farmasi tersebut akan dipergunakan untuk:


Nama Sarana : ........
(Industri Farmasi/Lembaga Ilmu Pengetahuan) *

Alamat Sarana : ........

Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun


Pemesan

Tanda tangan dan stempel

Nama Apoteker Penanggung


Jawab/Kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan
No. SIKA /SIPA/NIP

*) coret yang tidak perlu

Catt:
Surat Pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 4

SURAT PESANAN OBAT JADI PREKURSOR FARMASI


Nomor : ............................

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : ........
Jabatan : ........

Mengajukan pesanan Obat Jadi Prekursor Farmasi kepada:


Nama Distributor : ........
Alamat : ........
Telp : ........

dengan Obat Jadi Prekursor Farmasi yang dipesan adalah:


(Sebutkan nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam
bentuk angka dan huruf)

Obat Jadi Prekursor Farmasi tersebut akan dipergunakan untuk:


Nama Sarana : ........
(Industri Farmasi/PBF/Apotek/Puskesmas/Instalasi
Farmasi Rumah Sakit/Instalasi Farmasi Klinik/Toko
Obat/Instalasi Farmasi Pemerintah/Lembaga Ilmu
Pengetahuan) *

Alamat Sarana : ........

Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun


Pemesan

Tanda tangan dan stempel

Nama Apoteker/Tenaga Teknis


Kefarmasian Penanggung Jawab
/Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan
No. SIKA /SIPA/SIKTTK/NIP

*) coret yang tidak perlu

Catt:
Surat Pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 5

SURAT PERMINTAAN NARKOTIKA/PSIKOTROPIKA*

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : ........
Jabatan : ........
Nama Sarana : ........
(Apotek/Puskesmas/Instalasi Farmasi Rumah
Sakit/Instalasi Farmasi Klinik) *

Mengajukan permintaan Narkotika/Psikotropika* kepada :


Nama Sarana : Apotek......
Alamat : ........

Dengan Narkotika/Psikotropika* yang diminta adalah:


(Sebutkan nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam
bentuk angka dan huruf)

Yang akan digunakan untuk memenuhi kekurangan Narkotika/Psikotropika*


dalam melayani resep:
(Sebutkan nomor resep, tanggal resep, nama pasien, jumlah dalam resep,
nama fasilitas pelayanan yang menerbitkan resep)

Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun


Pemesan

Tanda tangan dan stempel

Nama Apoteker
No. SIK /SIPA

*) coret yang tidak perlu

Catt:
- Satu Surat Permintaan hanya berlaku untuk satu resep
- Surat Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
- Dilampirkan kopi resep
Formulir 6

SURAT PERMINTAAN NARKOTIKA/PSIKOTROPIKA*

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : ........
Jabatan : ........
No. SIP : ........

Mengajukan permintaan Narkotika/Psikotropika* kepada :


Nama Sarana : Apotek......
Alamat : ........

Dengan Narkotika/Psikotropika* yang diminta adalah:


(Sebutkan nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam
bentuk angka dan huruf)

Narkotika/Psikotropika* tersebut akan dipergunakan untuk praktik dokter :


Nama Dokter : ........
Alamat Praktik : ........

Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun


Pemesan

Tanda tangan dan stempel

Nama Dokter
No. SIP

*) coret yang tidak perlu

Catt:
- Satu Surat Permintaan hanya berlaku untuk satu jenis
Narkotika/Psikotropika
- Surat Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 7

SURAT PERMINTAAN PREKURSOR FARMASI GOLONGAN OBAT KERAS

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : ........
Jabatan : ........
Nama Sarana : ........
(Apotek/Puskesmas/Instalasi Farmasi Rumah
Sakit/Instalasi Farmasi Klinik) *

Mengajukan permintaan Prekursor Farmasi Golongan Obat Keras kepada:


Nama Sarana : Apotek......
Alamat : ........

Dengan Prekursor Farmasi Golongan Obat Keras yang diminta adalah:


(Sebutkan nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam
bentuk angka dan huruf)

Yang akan digunakan untuk memenuhi kekurangan Prekursor Farmasi


Golongan Obat Keras dalam melayani resep:
(Sebutkan nomor resep, tanggal resep, nama pasien, jumlah dalam resep,
nama fasilitas pelayanan yang menerbitkan resep)

Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun


Pemesan

Tanda tangan dan stempel

Nama Apoteker
No. SIK /SIPA

*) coret yang tidak perlu

Catt:
- Satu Surat Permintaan hanya berlaku untuk satu resep
- Surat Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
- Dilampirkan kopi resep
Formulir 8

SURAT PERMINTAAN PREKURSOR FARMASI


GOLONGAN OBAT BEBAS TERBATAS

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : ........
Jabatan : ........
Nama Sarana : ........
(Apotek/Puskesmas/Instalasi Farmasi Rumah
Sakit/Instalasi Farmasi Klinik/Toko Obat) *

Mengajukan permintaan Prekursor Farmasi Golongan Obat Bebas Terbatas


kepada:
Nama Sarana : Apotek......
Alamat : ........

Dengan Prekursor Farmasi Golongan Obat Bebas Terbatas yang diminta


adalah:
(Sebutkan nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam
bentuk angka dan huruf)

Yang akan digunakan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan harian


Prekursor Farmasi Golongan Obat Bebas Terbatas yang diperlukan untuk
pengobatan pada tanggal...

Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun


Pemesan

Tanda tangan dan stempel

Nama Apoteker/Tenaga Teknis


Kefarmasian
No. SIK/SIPA/SIKTTK

*) coret yang tidak perlu

Catt:
- Satu Surat Permintaan hanya berlaku untuk satu Prekursor Farmasi
Golongan Obat Bebas Terbatas
- Surat Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 9

SURAT PERMINTAAN PREKURSOR FARMASI

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : ........
Jabatan : ........
No. SIP : ........

Mengajukan permintaan Prekursor Farmasi kepada :


Nama Sarana : Apotek......
Alamat : ........

Dengan Prekursor Farmasi yang diminta adalah:


(Sebutkan nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam
bentuk angka dan huruf)

Prekursor Farmasi tersebut akan dipergunakan untuk praktik dokter :


Nama Dokter : ........
Alamat Praktik : ........

Nama Kota, Tanggal, Bulan, Tahun


Pemesan

Tanda tangan dan stempel

Nama Dokter
No. SIP

Catt:
- Satu Surat Permintaan hanya berlaku untuk satu jenis Prekursor Farmasi
- Surat Permintaan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
Formulir 10

BERITA ACARA PEMUSNAHAN NARKOTIKA


Nomor :........../ .../20..

Pada hari ini... tanggal... bulan... tahun... sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor... Tahun… tentang Peredaran,
Penyimpanan dan Pemusnahan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
Farmasi, kami yang bertandatangan di bawah ini:

Nama Apoteker/Pimpinan : ........


SIPA/SIK : ........
Nama Sarana : ........
Alamat Sarana : ........

Dengan disaksikan oleh : ........


1. Nama : .................... (tulis nama saksi dari Kemenkes)
Jabatan : ........
NIP : ........

2. Nama : ................. (tulis nama saksi dari Badan POM)


Jabatan : ........
NIP : ........

3. Nama : ... (tulis nama saksi dari sarana bersangkutan)


Jabatan : ........
SIPA/SIKTTK : ........

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa pada pukul....., bertempat di.........,


kami telah memusnahkan sejumlah Narkotika sebagaimana tersebut dalam
lampiran.

Pemusnahan ini kami lakukan dengan cara.............


Berita acara ini dibuat rangkap 4 (empat), dan dikirimkan kepada:
1. Kementerian Kesehatan RI c.q. Ditjen Bina Kefarmasisan dan Alat
Kesehatan
2. Badan POM RI
3. Dinas Kesehatan Provinsi...........
4. Pertinggal
Demikian Berita Acara ini kami buat dengan sesungguhnya agar dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.

Mengetahui: Nama Kota, Tgl, Bln, Tahun


Direktur, Penanggung Jawab/ Pimpinan

Tanda tangan dan stempel Tanda tangan

(Nama Apoteker/Pimpinan)
SIK/SIPA/NIP

Saksi-saksi:
1. Petugas Kementerian Kesehatan RI,

Tanda tangan

(.....................)

2. Petugas Badan POM

Tanda tangan

(.....................)

3. Petugas sarana yang bersangkutan

Tanda tangan

(.....................)
Lampiran Berita Acara Pemusnahan Narkotika:
Nomor :................./............../ 20

Daftar Narkotika yang dimusnahkan:


Keterangan
No. Urut Nama Obat Satuan Jumlah Harga
(Rusak/Expire)

Mengetahui: Nama Kota, Tgl, Bln, Tahun


Direktur, Penanggung Jawab/ Pimpinan

Tanda tangan dan stempel Tanda tangan

(Nama Apoteker/Pimpinan)
SIK/SIPA/NIP

Saksi-saksi:
1. Petugas Kementerian Kesehatan RI,

Tanda tangan

(.....................)

2. Petugas Badan POM

Tanda tangan

(.....................)

3. Petugas sarana yang bersangkutan

Tanda tangan

(.....................)
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 73 TAHUN 2016
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun


2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek masih belum memenuhi
kebutuhan hukum di masyarakat sehingga perlu
dilakukan perubahan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang


Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3671);
-2-

2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang


Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5062);
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);
4. Undang­Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang­Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 96, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5419);
8. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen, sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 145 Tahun
-3-

2015 tentang Perubahan Kedelapan atas Keputusan


Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan
Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 322);
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 1508);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur
yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga
kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian.
3. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien.
4. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau
dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk
paper maupun electronic untuk menyediakan dan
menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang
berlaku.
5. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat
tradisional dan kosmetika.
-4-

6. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk


produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi
atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.
7. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin
dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat
orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia,
dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki
fungsi tubuh.
8. Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan yang
ditujukan untuk penggunaan sekali pakai (single use)
yang daftar produknya diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
9. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus
sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah
jabatan apoteker.
10. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang
membantu apoteker dalam menjalani Pekerjaan
Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi, dan Analis Farmasi.
11. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada
Kementerian Kesehatan yang bertanggung jawab di
bidang kefarmasian dan alat kesehatan.
12. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang
selanjutnya disingkat Kepala BPOM adalah Kepala
Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang
mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan.
13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
-5-

Pasal 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian;
dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari
penggunaan Obat yang tidak rasional dalam rangka
keselamatan pasien (patient safety).

Pasal 3
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi
standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
(2) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. perencanaan;
b. pengadaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan;
e. pemusnahan;
f. pengendalian; dan
g. pencatatan dan pelaporan.
(3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pengkajian Resep;
b. dispensing;
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
d. konseling;
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy
care);
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
-6-

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sediaan


Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai dan pelayanan farmasi klinik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 4
(1) Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek harus didukung oleh ketersediaan sumber
daya kefarmasian yang berorientasi kepada
keselamatan pasien.
(2) Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. sumber daya manusia; dan
b. sarana dan prasarana.

Pasal 5
(1) Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di
Apotek, harus dilakukan evaluasi mutu Pelayananan
Kefarmasian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi mutu
Pelayananan Kefarmasian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.

Pasal 6
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus
menjamin ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang aman,
bermutu, bermanfaat, dan terjangkau.

Pasal 7
Penyelenggarakan Pelayanan Kefarmasian di Apotek wajib
mengikuti Standar Pelayanan Kefarmasian sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri ini.
-7-

Pasal 8
Apotek wajib mengirimkan laporan Pelayanan
Kefarmasian secara berjenjang kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi, dan
kementerian kesehatan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 9
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri,
kepala dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan
fungsi masing-masing.
(2) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melibatkan organisasi profesi.

Pasal 10
(1) Pengawasan selain dilaksanakan oleh Menteri, kepala
dinas kesehatan provinsi dan kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
Ayat (1), khusus terkait dengan pengawasan sediaan
farmasi dalam pengelolaan sediaan farmasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a
dilakukan juga oleh Kepala BPOM sesuai dengan tugas
dan fungsi masing-masing.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Kepala BPOM dapat melakukan pemantauan,
pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap
pengelolaan sediaan farmasi di instansi pemerintah
dan masyarakat di bidang pengawasan sediaan
farmasi.
-8-

Pasal 11
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan
provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan
pengawasan yang dilakukan oleh Kepala BPOM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.

Pasal 12
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan
Menteri ini dapat dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
c. pencabutan izin.

Pasal 13
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku,
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1162)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1169),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 14
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-9-

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

NILA FARID MOELOEK

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Januari 2017

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 50

uju
-10-

LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 73 TAHUN 2016
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN
DI APOTEK

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menyebutkan bahwa praktik kefarmasian meliputi pembuatan
termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian Obat, pelayanan Obat
atas Resep dokter, pelayanan informasi Obat serta pengembangan
Obat, bahan Obat dan Obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan kewenangan pada peraturan perundang-undangan,
Pelayanan Kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula
hanya berfokus kepada pengelolaan Obat (drug oriented) berkembang
menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan Obat dan
pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun
2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian menyatakan bahwa Pekerjaan
Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian atau penyaluran Obat, pengelolaan Obat, pelayanan
Obat atas Resep dokter, pelayanan informasi Obat, serta
pengembangan Obat, bahan Obat dan Obat tradisional. Pekerjaan
kefarmasian tersebut harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Peran Apoteker
dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan
-11-

perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien.


Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pemberian informasi
Obat dan konseling kepada pasien yang membutuhkan.
Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan
terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses
pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah
terkait Obat (drug related problems), masalah farmakoekonomi, dan
farmasi sosial (socio- pharmacoeconomy). Untuk menghindari hal
tersebut, Apoteker harus menjalankan praktik sesuai standar
pelayanan. Apoteker juga harus mampu berkomunikasi dengan
tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk
mendukung penggunaan Obat yang rasional. Dalam melakukan
praktik tersebut, Apoteker juga dituntut untuk melakukan
monitoring penggunaan Obat, melakukan evaluasi serta
mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Untuk
melaksanakan semua kegiatan itu, diperlukan Standar Pelayanan
Kefarmasian.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
di bidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi Pelayanan
Kefarmasian dari pengelolaan Obat sebagai komoditi kepada
pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam
pengertian tidak saja sebagai pengelola Obat namun dalam
pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian
informasi untuk mendukung penggunaan Obat yang benar dan
rasional, monitoring penggunaan Obat untuk mengetahui tujuan
akhir, serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan.

B. Ruang Lingkup
Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua) kegiatan,
yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan
pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh
sumber daya manusia, sarana dan prasarana.
-12-

BAB II
PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN BAHAN
MEDIS HABIS PAKAI

Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis


Pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan.
A. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola
penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.

B. Pengadaan
Untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka
pengadaan Sediaan Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

C. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian
jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang
tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

D. Penyimpanan
1. Obat/bahan Obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan
pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi
dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah
sekurang- kurangnya memuat nama Obat, nomor batch dan
tanggal kadaluwarsa.
2. Semua Obat/bahan Obat harus disimpan pada kondisi yang
sesuai sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
3. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk
penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi
4. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk
sediaan dan kelas terapi Obat serta disusun secara alfabetis.
-13-

5. Pengeluaran Obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out)


dan FIFO (First In First Out)

E. Pemusnahan dan penarikan


1. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai
dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan Obat
kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau
psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pemusnahan Obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan
oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain
yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.
Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan
menggunakan Formulir 1 sebagaimana terlampir.
2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima)
tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh
Apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di
Apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang
dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep
menggunakan Formulir 2 sebagaimana terlampir dan
selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota.
3. Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan
dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
4. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi
standard/ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan
oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM
(mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik
izin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan
kepada Kepala BPOM.
5. Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai
dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh
Menteri.
-14-

F. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan
jumlah persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan
sistem pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran.
Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan,
kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta
pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan
menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik.
Kartu stok sekurang- kurangnya memuat nama Obat, tanggal
kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa
persediaan.

G. Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi
pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok),
penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya
disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal.
Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk
kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan
laporan lainnya.
Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan
lainnya.
Petunjuk teknis mengenai pencatatan dan pelaporan akan diatur
lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
-15-

BAB III
PELAYANAN FARMASI KLINIK

Pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan


Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien
berkaitan dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. pengkajian dan pelayanan Resep;
2. dispensing;
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
4. konseling;
5. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

A. Pengkajian dan Pelayanan Resep


Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian
farmasetik dan pertimbangan klinis.
Kajian administratif meliputi:
1. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
2. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor
telepon dan paraf; dan
3. tanggal penulisan Resep.
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
1. bentuk dan kekuatan sediaan;
2. stabilitas; dan
3. kompatibilitas (ketercampuran Obat).
Pertimbangan klinis meliputi:
1. ketepatan indikasi dan dosis Obat;
2. aturan, cara dan lama penggunaan Obat;
3. duplikasi dan/atau polifarmasi;
4. reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping
Obat, manifestasi klinis lain);
5. kontra indikasi; dan
6. interaksi.
-16-

Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian


maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep.
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan
ketersediaan, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai termasuk peracikan Obat, pemeriksaan, penyerahan
disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan Resep
dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian Obat
(medication error).
Petunjuk teknis mengenai pengkajian dan pelayanan Resep akan
diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.

B. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian
informasi Obat.
Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai
berikut:
1. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep:
a. menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep;
b. mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan
dengan memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa
dan keadaan fisik Obat.
2. Melakukan peracikan Obat bila diperlukan
3. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
a. warna putih untuk Obat dalam/oral;
b. warna biru untuk Obat luar dan suntik;
c. menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk
suspensi atau emulsi.
4. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah
untuk Obat yang berbeda untuk menjaga mutu Obat dan
menghindari penggunaan yang salah.
Setelah penyiapan Obat dilakukan hal sebagai berikut:
1. Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan
pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada
etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah Obat
(kesesuaian antara penulisan etiket dengan Resep);
2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;
3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;
-17-

4. Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat;


5. Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal yang
terkait dengan Obat antara lain manfaat Obat, makanan dan
minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara
penyimpanan Obat dan lain-lain;
6. Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara
yang baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin
emosinya tidak stabil;
7. Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau
keluarganya;
8. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf oleh
Apoteker (apabila diperlukan);
9. Menyimpan Resep pada tempatnya;
10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan
menggunakan Formulir 5 sebagaimana terlampir.
Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau
pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada
pasien yang memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan
dengan memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.

C. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak
memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam
segala aspek penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain,
pasien atau masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk Obat
Resep, Obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus,
rute dan metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik
dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan
menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga,
sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain.
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi:
1. menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan;
2. membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan
masyarakat (penyuluhan);
3. memberikan informasi dan edukasi kepada pasien;
-18-

4. memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa


farmasi yang sedang praktik profesi;
5. melakukan penelitian penggunaan Obat;
6. membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah;
7. melakukan program jaminan mutu.
Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk
membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat
dengan menggunakan Formulir 6 sebagaimana terlampir.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan
Informasi Obat :
1. Topik Pertanyaan;
2. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan;
3. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon);
4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain
seperti riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui,
data laboratorium);
5. Uraian pertanyaan;
6. Jawaban pertanyaan;
7. Referensi;
8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, pertelepon) dan data
Apoteker yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.

D. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku
dalam penggunaan Obat dan menyelesaikan masalah yang
dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan
three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai
rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model.
Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga
pasien sudah memahami Obat yang digunakan.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati
dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui).
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya:
TB, DM, AIDS, epilepsi).
-19-

3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus


(penggunaan kortikosteroid dengan tappering down/off).
4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit
(digoksin, fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat
untuk indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga
termasuk pemberian lebih dari satu Obat untuk penyakit yang
diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis Obat.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahap kegiatan konseling:
1. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien
2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui
Three Prime Questions, yaitu:
a. Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda?
b. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian
Obat Anda?
c. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang
diharapkan setelah Anda menerima terapi Obat tersebut?
3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan
kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat
4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan
masalah penggunaan Obat
5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda
tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang
diberikan dalam konseling dengan menggunakan Formulir 7
sebagaimana terlampir.

E. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care)


Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat
melakukan Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah,
khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan
penyakit kronis lainnya.
Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh
Apoteker, meliputi :
1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan
dengan pengobatan
-20-

2. Identifikasi kepatuhan pasien


3. Pendampingan pengelolaan Obat dan/atau alat kesehatan di
rumah, misalnya cara pemakaian Obat asma, penyimpanan insulin
4. Konsultasi masalah Obat atau kesehatan secara umum
5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan
Obat berdasarkan catatan pengobatan pasien
6. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah
dengan menggunakan Formulir 8 sebagaimana terlampir.

F. Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan terapi Obat yang efektif dan terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.
Kriteria pasien:
1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
2. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
3. Adanya multidiagnosis.
4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
5. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
6. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat
yang merugikan.
Kegiatan:
1. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
2. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien
yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan Obat dan
riwayat alergi; melalui wawancara dengan pasien atau keluarga
pasien atau tenaga kesehatan lain
3. Melakukan identifikasi masalah terkait Obat. Masalah terkait Obat
antara lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian
Obat tanpa indikasi, pemilihan Obat yang tidak tepat, dosis terlalu
tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi Obat yang tidak
diinginkan atau terjadinya interaksi Obat
4. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan
menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi
akan terjadi
-21-

5. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi


rencana pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek
terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki
6. Hasil identifikasi masalah terkait Obat dan rekomendasi yang
telah dibuat oleh Apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga
kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
7. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi Obat
dengan menggunakan Formulir 9 sebagaimana terlampir.

G. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat
yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis
normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Kegiatan:
1. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi
mengalami efek samping Obat.
2. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
3. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional
dengan menggunakan Formulir 10 sebagaimana terlampir.
Faktor yang perlu diperhatikan:
1. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.
2. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
-22-

BAB IV
SUMBER DAYA KEFARMASIAN

A. Sumber Daya Manusia


Pelayanan Kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh Apoteker,
dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis
Kefarmasian yang memiliki Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin
Praktik
Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian Apoteker harus
memenuhi kriteria:
1. Persyaratan administrasi
1. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang
terakreditasi
2. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
3. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku
4. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)
2. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda
pengenal.
3. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing
Professional Development (CPD) dan mampu memberikan
pelatihan yang berkesinambungan.
4. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan
pengembangan diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop,
pendidikan berkelanjutan atau mandiri.
5. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap
peraturan perundang undangan, sumpah Apoteker, standar
profesi (standar pendidikan, standar pelayanan, standar
kompetensi dan kode etik) yang berlaku.
Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang apoteker harus
menjalankan peran yaitu:
1. Pemberi layanan
Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi
dengan pasien. Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya
pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan.
-23-

2. Pengambil keputusan
Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil
keputusan dengan menggunakan seluruh sumber daya yang
ada secara efektif dan efisien.
3. Komunikator
Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien
maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi
pasien. Oleh karena itu harus mempunyai kemampuan
berkomunikasi yang baik.
4. Pemimpin
Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi
pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian
mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta
kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil
keputusan.
5. Pengelola
Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia,
fisik, anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus
mengikuti kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi
informasi tentang Obat dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan Obat.
6. Pembelajar seumur hidup
Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap
dan keterampilan profesi melalui pendidikan berkelanjutan
(Continuing Professional Development/CPD)
7. Peneliti
Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah
dalam mengumpulkan informasi Sediaan Farmasi dan
Pelayanan Kefarmasian dan memanfaatkannya dalam
pengembangan dan pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian.

B. Sarana dan Prasarana


Apotek harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan
prasarana Apotek dapat menjamin mutu Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai serta kelancaran praktik
Pelayanan Kefarmasian.
-24-

Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang


Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi sarana yang memiliki
fungsi:
1. Ruang penerimaan Resep
Ruang penerimaan Resep sekurang-kurangnya terdiri dari
tempat penerimaan Resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta
1 (satu) set komputer. Ruang penerimaan Resep ditempatkan
pada bagian paling depan dan mudah terlihat oleh pasien.
2. Ruang pelayanan Resep dan peracikan (produksi sediaan secara
terbatas)
Ruang pelayanan Resep dan peracikan atau produksi
sediaan secara terbatas meliputi rak Obat sesuai kebutuhan dan
meja peracikan. Di ruang peracikan sekurang-kurangnya
disediakan peralatan peracikan, timbangan Obat, air minum
(air mineral) untuk pengencer, sendok Obat, bahan pengemas
Obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan
Resep, etiket dan label Obat. Ruang ini diatur agar
mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup, dapat
dilengkapi dengan pendingin ruangan (air conditioner).
3. Ruang penyerahan Obat
Ruang penyerahan Obat berupa konter penyerahan Obat
yang dapat digabungkan dengan ruang penerimaan Resep.
4. Ruang konseling
Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja
dan kursi konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet,
poster, alat bantu konseling, buku catatan konseling dan
formulir catatan pengobatan pasien.
5. Ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi,
temperatur, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin
mutu produk dan keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus
dilengkapi dengan rak/lemari Obat, pallet, pendingin ruangan
(AC), lemari pendingin, lemari penyimpanan khusus narkotika
dan psikotropika, lemari penyimpanan Obat khusus, pengukur
suhu dan kartu suhu.
-25-

6. Ruang arsip
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang
berkaitan dengan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai serta Pelayanan Kefarmasian
dalam jangka waktu tertentu.
-26-

BAB V
EVALUASI MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN

Evaluasi mutu di Apotek dilakukan terhadap:


A. Mutu Manajerial
1. Metode Evaluasi
a. Audit
Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan
kualitas pelayanan dengan pengukuran kinerja bagi yang
memberikan pelayanan dengan menentukan kinerja yang
berkaitan dengan standar yang dikehendaki. Oleh karena
itu, audit merupakan alat untuk menilai, mengevaluasi,
menyempurnakan Pelayanan Kefarmasian secara sistematis.
Audit dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil
monitoring terhadap proses dan hasil pengelolaan.
Contoh:
1. audit Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai lainnya (stock opname)
2. audit kesesuaian SPO
3. audit keuangan (cash flow, neraca, laporan rugi laba)
b. Review
Review yaitu tinjauan/kajian terhadap pelaksanaan
Pelayanan Kefarmasian tanpa dibandingkan dengan standar.
Review dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil
monitoring terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi dan
seluruh sumber daya yang digunakan.
Contoh:
1. pengkajian terhadap Obat fast/slow moving
2. perbandingan harga Obat
c. Observasi
Observasi dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil
monitoring terhadap seluruh proses pengelolaan Sediaan
Farmasi.
Contoh:
1. observasi terhadap penyimpanan Obat
2. proses transaksi dengan distributor
3. ketertiban dokumentasi
-27-

2. Indikator Evaluasi Mutu


a. kesesuaian proses terhadap standar
b. efektifitas dan efisiensi

B. Mutu Pelayanan Farmasi Klinik


1. Metode Evaluasi Mutu
a. Audit
Audit dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil
monitoring terhadap proses dan hasil pelayanan farmasi
klinik.
Contoh:
1. audit penyerahan Obat kepada pasien oleh Apoteker
2. audit waktu pelayanan
b. Review
Review dilakukan oleh Apoteker berdasarkan hasil
monitoring terhadap pelayanan farmasi klinik dan seluruh
sumber daya yang digunakan.
Contoh: review terhadap kejadian medication error
c. Survei
Survei yaitu pengumpulan data dengan menggunakan
kuesioner. Survei dilakukan oleh Apoteker berdasarkan
hasil monitoring terhadap mutu pelayanan dengan
menggunakan angket/kuesioner atau wawancara langsung
Contoh: tingkat kepuasan pasien
d. Observasi
Observasi yaitu pengamatan langsung aktivitas atau
proses dengan menggunakan cek list atau perekaman.
Observasi dilakukan oleh berdasarkan hasil monitoring
terhadap seluruh proses pelayanan farmasi klinik.
Contoh : observasi pelaksanaan SPO pelayanan
2. Indikator Evaluasi Mutu
Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu
pelayanan adalah:
a. Pelayanan farmasi klinik diusahakan zero deffect dari
medication error;
b. Standar Prosedur Operasional (SPO): untuk menjamin mutu
pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan;
-28-

c. Lama waktu pelayanan Resep antara 15-30 menit;


d. Keluaran Pelayanan Kefarmasian secara klinik berupa
kesembuhan penyakit pasien, pengurangan atau hilangnya
gejala penyakit, pencegahan terhadap penyakit atau gejala,
memperlambat perkembangan penyakit.
-29-

BAB VI
PENUTUP

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek ditetapkan sebagai


acuan pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Untuk keberhasilan
pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek diperlukan
komitmen dan kerjasama semua pemangku kepentingan. Hal tersebut
akan menjadikan Pelayanan Kefarmasian di Apotek semakin optimal dan
dapat dirasakan manfaatnya oleh pasien dan masyarakat yang pada
akhirnya dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

NILA FARID MOELOEK


Formulir 1

BERITA ACARA PEMUSNAHAN OBAT KADALUWARSA/RUSAK

Pada hari ini ........................ tanggal................ bulan..................... tahun


..................... sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek , kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama Apoteker Pengelola Apotek : ……………………………………
Nomor SIPA : ……………………………………
Nama Apotek : ……………………………………
Alamat Apotek : ……………………………………

Dengan disaksikan oleh :


1 Nama : ………………………………………
NIP : ………………………………………
Jabatan : ………………………………………
2 Nama : ………………………………………
NIP : ………………………………………
Jabatan : ………………………………………

Telah melakukan pemusnahan Obat sebagaimana tercantum dalam daftar


terlampir.
Tempat dilakukan pemusnahan :................................................................

Demikianlah berita acara ini kami buat sesungguhnya dengan penuh


tanggung jawab.
Berita acara ini dibuat rangkap 4 (empat) dan dikirim kepada :
1.Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota
2.Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan
3.Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
4.Arsip di Apotek

……………………………….20……..

Saksi-saksi yang membuat berita acara


1
……………………………………… ………………………………………
NIP. NO. SIPA.

2
……………………………………..
NIP
DAFTAR OBAT YANG DIMUSNAHKAN

No. Nama Obat Jumlah Alasan


Pemusnahan

……………………………….20……..

Saksi-saksi yang membuat berita acara


1
……………………………………… ………………………………………
NIP. NO. SIPA.

2
……………………………………..
NIP
Formulir 2

BERITA ACARA PEMUSNAHAN RESEP

Pada hari ini ........................ tanggal................ bulan..................... tahun


..................... sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek , kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama Apoteker Pengelola Apotek : ……………………………………
Nomor SIPA : ……………………………………
Nama Apotek : ……………………………………
Alamat Apotek : ……………………………………

Dengan disaksikan oleh :


1 Nama : ………………………………………
NIP : ………………………………………
Jabatan : ………………………………………
2 Nama : ………………………………………
NIP : ………………………………………
Jabatan : ………………………………………

Telah melakukan pemusnahan Resep pada Apotek kami, yang telah


melewati batas waktu penyimpanan selama 5 (lima) tahun, yaitu :
Resep dari tanggal....................sampai dengan tanggal ..............................
Seberat .............................. kg.
Resep Narkotik.................. lembar
Tempat dilakukan pemusnahan : ……………………………………………………

Demikianlah berita acara ini kami buat sesungguhnya dengan penuh


tanggung jawab.

Berita acara ini dibuat rangkap 4 (empat) dan dikirim kepada :


1.Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota
2.Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan
3.Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
4.Arsip di Apotek

……………………………….20……..

Saksi-saksi yang membuat berita acara


1
……………………………………… ………………………………………
NIP. NO.SIPA.

2
……………………………………..
NIP
Formulir 3

FORMULIR PELAPORAN PEMAKAIAN NARKOTIKA

Nama Sat Saldo Pemasukan Pemasukan Penggunaan Penggunaan Saldo


Narkotika uan Awal Dari Jumlah Untuk Jumlah Akhir

…….………….,...........20….

Apoteker
Formulir 4

FORMULIR PELAPORAN PEMAKAIAN PSIKOTROPIKA

Nama Satuan Saldo Pemasuk Pemasukan Penggunaan Penggunaan Saldo


Psikotropika Awal an Dari Jumlah Untuk Jumlah Akhir

…….………….,...........20….

Apoteker
Formulir 5

CATATAN PENGOBATAN PASIEN

Nama Pasien :
Jenis Kelamin :
Umur :
Alamat :
No. Telepon :

No Tanggal Nama Nama Catatan Pelayanan


Dokter Obat/Dosis/Cara Apoteker
Pemberian
Formulir 6

DOKUMENTASI PELAYANAN INFORMASI OBAT

No. …..... Tanggal : …………………………….. Waktu : …… Metode :


Lisan/Tertulis/Telepon )*
1. Identitas Penanya
Nama ………………………………………………….. No. Telp.
…………………………………
Status : Pasien / Keluarga Pasien / Petugas Kesehatan
(………………………………………..)*
2. Data Pasien
Umur : …….tahun; Tinggi : ….... cm; Berat : ………kg; Jenis kelamin :
Laki-laki/Perempuan )*
Kehamilan : Ya (……minggu)/Tidak )* Menyusui :
Ya/Tidak )*
3. Pertanyaan
Uraian Pertanyaan :
………………………………………………………………………………………………
……………..
………………………………………………………………………………………………
……………..
………………………………………………………………………………………………
……………..
Jenis Pertanyaan:
Identifikasi Obat Stabilitas Farmakokinetika
Interaksi Obat Dosis Farmakodinamika
Harga Obat Keracunan Ketersediaan Obat
Kontra Indikasi Efek Samping Lain-lain
Cara Pemakaian Obat …………………..
Penggunaan
Terapeutik
4. Jawaban
……………………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………………..
5. Referensi
……………………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………………..
6. Penyampaian Jawaban : Segera/Dalam 24 jam/Lebih dari 24 jam )*
Apoteker yang menjawab :
…………………………………………………………………………
Tanggal : ……………………………… Waktu : ………………………………….
Metode Jawaban : Lisan/Tertulis/Telepon )*
Formulir 7

DOKUMENTASI KONSELING

Nama Pasien :
Jenis kelamin :
Tanggal lahir :
Alamat :
Tanggal konseling :
Nama Dokter :
Diagnosa :
Nama obat, dosis :
dan cara
pemakaian
Riwayat alergi :
Keluhan :
Pasien pernah : Ya/tidak
datang konseling
sebelumnya:
Tindak lanjut

Pasien Apoteker
.................... .................
Formulir 8

DOKUMENTASI PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH


(HOME PHARMACY CARE)

Nama Pasien :
Jenis Kelamin :
Umur :
Alamat :
No. Telepon :

No Tanggal Kunjungan Catatan Pelayanan


Apoteker

................... 20....
Apoteker
Formulir 9

DOKUMENTASI PEMANTAUAN TERAPI OBAT

Nama Pasien :
Jenis Kelamin :
Umur :
Alamat :
No. Telepon :

No Tanggal Catatan Nama Obat, Identifikasi Rekomendasi/


Pengobatan Dosis, Cara Masalah Tindak Lanjut
Pasien Pemberian terkait Obat
Riwayat
penyakit

Riwayat
penggunaan
obat

Riwayat alergi

........................,20....

Apoteker
Formulir 10
FORMULIR MONITORING EFEK SAMPING OBAT (MESO)

Nama Apotek :
Alamat :
Kabupaten/Kota :
Provinsi :
Triwulan/Tahun :

Informasi Obat

Informasi Pasien Ben No Obat Pemberian KTD/ESO


Na tuk Bets yang Nama
No ma Sedi digun Pelapor
Ob aan akan
at bersa
maan
Riwayat
Nama/ Jenis Um Ca Dosis/ Tang Tang Desk Tang Tangg Kesud KTD/ESO
Inisial Kelam ur ra Waktu gal gal ripsi gal al ahan yang
pasien in Mula Akhir Mula Akhir pernah
dialami
1.
2.
3.
4.
…….………….,...........20…

Apoteker
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2017
TENTANG
APOTEK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan aksesibilitas,


keterjangkauan, dan kualitas pelayanan kefarmasian
kepada masyarakat, perlu penataan penyelenggaraan
pelayanan kefarmasian di Apotek;
b. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pemberian Izin Apotik sebagaimana telah diubah
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pemberian Izin Apotik perlu disesuaikan dengan
perkembangan dan kebutuhan hukum;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Apotek;

Mengingat : 1. Ordonansi Obat Keras (Sterkwerkende Geneesmiddelen


Ordonanntie, Staatsblad 1949:419);
-2-

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang


Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3671);
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5062);
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
5. Undang­Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang­Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang­Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
6. Undang­Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5607);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3781);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang
Prekursor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
-3-

2010 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik


Indonesia Nomor 5126);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Undang­Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5419);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 229, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5942);
12. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2015 tentang
Kementerian Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 59);
13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin
Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 322)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin
Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1137);
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 50);
15. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2015
tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan
Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekusor Farmasi
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
74);
16. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 1508);
-4-

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG APOTEK.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker.
2. Fasilitas Kefarmasian adalah sarana yang digunakan
untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.
3. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan
pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan
Tenaga Teknis Kefarmasian.
4. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai
Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan
Apoteker.
5. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang
membantu Apoteker dalam menjalankan pekerjaan
kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi dan Analis Farmasi.
6. Surat Tanda Registrasi Apoteker yang selanjutnya
disingkat STRA adalah bukti tertulis yang diberikan oleh
konsil tenaga kefarmasian kepada apoteker yang telah
diregistrasi.
7. Surat Izin Apotek yang selanjutnya disingkat SIA adalah
bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota kepada Apoteker sebagai izin untuk
menyelenggarakan Apotek.
8. Surat Izin Praktik Apoteker yang selanjutnya disingkat
SIPA adalah bukti tertulis yang diberikan oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Apoteker
sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan
praktik kefarmasian.
9. Surat Izin Praktik Tenaga Teknis Kefarmasian yang
selanjutnya disingkat SIPTTK adalah bukti tertulis yang
-5-

diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota


kepada tenaga teknis kefarmasian sebagai pemberian
kewenangan untuk menjalankan praktik kefarmasian.
10. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi,
atau dokter hewan kepada Apoteker, baik dalam bentuk
kertas maupun elektronik untuk menyediakan dan
menyerahkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
bagi pasien.
11. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat
tradisional, dan kosmetika.
12. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin
dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat
orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia,
dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi
tubuh.
13. Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan yang
ditujukan untuk penggunaan sekali pakai (single use)
yang daftar produknya diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
14. Organisasi Profesi adalah Ikatan Apoteker Indonesia.
15. Kepala Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan
yang selanjutnya disebut Kepala Balai POM adalah
kepala unit pelaksana teknis di lingkungan Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
16. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang
selanjutnya disebut Kepala Badan, adalah Kepala Badan
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pengawasan obat dan makanan.
17. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah kepala
daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
kabupaten/kota.
-6-

18. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada


Kementerian Kesehatan yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang kefarmasian dan alat kesehatan.
19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.

Pasal 2
Pengaturan Apotek bertujuan untuk:
a. meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek;
b. memberikan perlindungan pasien dan masyarakat dalam
memperoleh pelayanan kefarmasian di Apotek; dan
c. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian
dalam memberikan pelayanan kefarmasian di Apotek.

BAB II
PERSYARATAN PENDIRIAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 3
(1) Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri
dan/atau modal dari pemilik modal baik perorangan
maupun perusahaan.
(2) Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek
bekerjasama dengan pemilik modal maka pekerjaan
kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh
Apoteker yang bersangkutan.

Pasal 4
Pendirian Apotek harus memenuhi persyaratan, meliputi:
a. lokasi;
b. bangunan;
c. sarana, prasarana, dan peralatan; dan
d. ketenagaan.
-7-

Bagian Kedua
Lokasi

Pasal 5
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengatur
persebaran Apotek di wilayahnya dengan memperhatikan
akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan
kefarmasian.

Bagian Ketiga
Bangunan

Pasal 6
(1) Bangunan Apotek harus memiliki fungsi keamanan,
kenyamanan, dan kemudahan dalam pemberian
pelayanan kepada pasien serta perlindungan dan
keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang
cacat, anak­anak, dan orang lanjut usia.
(2) Bangunan Apotek harus bersifat permanen.
(3) Bangunan bersifat permanen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat merupakan bagian dan/atau terpisah
dari pusat perbelanjaan, apartemen, rumah toko, rumah
kantor, rumah susun, dan bangunan yang sejenis.

Bagian Keempat
Sarana, Prasarana, dan Peralatan

Pasal 7
Bangunan Apotek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
paling sedikit memiliki sarana ruang yang berfungsi:
a. penerimaan Resep;
b. pelayanan Resep dan peracikan (produksi sediaan secara
terbatas);
c. penyerahan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
d. konseling;
e. penyimpanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan; dan
f. arsip.
-8-

Pasal 8
Prasarana Apotek paling sedikit terdiri atas:
a. instalasi air bersih;
b. instalasi listrik;
c. sistem tata udara; dan
d. sistem proteksi kebakaran.

Pasal 9
(1) Peralatan Apotek meliputi semua peralatan yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian.
(2) Peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara
lain meliputi rak obat, alat peracikan, bahan pengemas
obat, lemari pendingin, meja, kursi, komputer, sistem
pencatatan mutasi obat, formulir catatan pengobatan
pasien dan peralatan lain sesuai dengan kebutuhan.
(3) Formulir catatan pengobatan pasien sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan catatan mengenai
riwayat penggunaan Sediaan Farmasi dan/atau Alat
Kesehatan atas permintaan tenaga medis dan catatan
pelayanan apoteker yang diberikan kepada pasien.

Pasal 10
Sarana, prasarana, dan peralatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 9 harus dalam keadaan
terpelihara dan berfungsi dengan baik.

Bagian Kelima
Ketenagaan

Pasal 11
(1) Apoteker pemegang SIA dalam menyelenggarakan Apotek
dapat dibantu oleh Apoteker lain, Tenaga Teknis
Kefarmasian dan/atau tenaga administrasi.
(2) Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memiliki surat
izin praktik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
-9-

BAB III
PERIZINAN

Bagian Kesatu
Surat Izin Apotek

Pasal 12
(1) Setiap pendirian Apotek wajib memiliki izin dari Menteri.
(2) Menteri melimpahkan kewenangan pemberian izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa SIA.
(4) SIA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
selama memenuhi persyaratan.

Pasal 13
(1) Untuk memperoleh SIA, Apoteker harus mengajukan
permohonan tertulis kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dengan menggunakan Formulir 1.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
ditandatangani oleh Apoteker disertai dengan
kelengkapan dokumen administratif meliputi:
a. fotokopi STRA dengan menunjukan STRA asli;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker;
d. fotokopi peta lokasi dan denah bangunan; dan
e. daftar prasarana, sarana, dan peralatan.
(3) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak
menerima permohonan dan dinyatakan telah memenuhi
kelengkapan dokumen administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota menugaskan tim pemeriksa untuk
melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan
Apotek dengan menggunakan Formulir 2.
(4) Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus melibatkan unsur dinas kesehatan
kabupaten/kota yang terdiri atas:
-10-

a. tenaga kefarmasian; dan


b. tenaga lainnya yang menangani bidang sarana dan
prasarana.
(5) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak tim
pemeriksa ditugaskan, tim pemeriksa harus melaporkan
hasil pemeriksaan setempat yang dilengkapi Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dengan menggunakan Formulir 3.
(6) Paling lama dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja sejak
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerima laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan dinyatakan
memenuhi persyaratan, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota menerbitkan SIA dengan tembusan
kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi, Kepala Balai POM, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, dan Organisasi Profesi dengan
menggunakan Formulir 4.
(7) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dinyatakan masih belum memenuhi
persyaratan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus
mengeluarkan surat penundaan paling lama dalam
waktu 12 (dua belas) hari kerja dengan menggunakan
Formulir 5.
(8) Tehadap permohonan yang dinyatakan belum memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (7),
pemohon dapat melengkapi persyaratan paling lambat
dalam waktu 1 (satu) bulan sejak surat penundaan
diterima.
(9) Apabila pemohon tidak dapat memenuhi kelengkapan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengeluarkan Surat
Penolakan dengan menggunakan Formulir 6.
(10) Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam
menerbitkan SIA melebihi jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), Apoteker pemohon dapat
menyelenggarakan Apotek dengan menggunakan BAP
sebagai pengganti SIA.
-11-

Pasal 14
(1) Dalam hal pemerintah daerah menerbitkan SIA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6), maka
penerbitannya bersama dengan penerbitan SIPA untuk
Apoteker pemegang SIA.
(2) Masa berlaku SIA mengikuti masa berlaku SIPA.

Bagian Kedua
Perubahan Izin

Pasal 15
(1) Setiap perubahan alamat di lokasi yang sama atau
perubahan alamat dan pindah lokasi, perubahan
Apoteker pemegang SIA, atau nama Apotek harus
dilakukan perubahan izin.
(2) Apotek yang melakukan perubahan alamat di lokasi yang
sama atau perubahan alamat dan pindah lokasi,
perubahan Apoteker pemegang SIA, atau nama Apotek,
wajib mengajukan permohonan perubahan izin kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Terhadap Apotek yang melakukan perubahan alamat di
lokasi yang sama atau perubahan nama Apotek
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak perlu
dilakukan pemeriksaan setempat oleh tim pemeriksa.
(4) Tata cara permohonan perubahan izin bagi Apotek yang
melakukan perubahan alamat dan pindah lokasi atau
perubahan Apoteker pemegang SIA sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengikuti ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

BAB IV
PENYELENGGARAAN

Pasal 16
Apotek menyelenggarakan fungsi:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai; dan
-12-

b. pelayanan farmasi klinik, termasuk di komunitas.

Pasal 17
(1) Apotek hanya dapat menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai kepada:
a. Apotek lainnya;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik;
e. dokter;
f. bidan praktik mandiri;
g. pasien; dan
h. masyarakat.
(2) Penyerahan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a sampai dengan huruf d hanya dapat dilakukan
untuk memenuhi kekurangan jumlah sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dalam hal:
a. terjadi kelangkaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai di fasilitas distribusi;
dan
b. terjadi kekosongan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di fasilitas
pelayanan kesehatan.
(3) Penyerahan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e sampai dengan huruf h hanya dapat dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 18
(1) Apotek wajib memasang papan nama yang terdiri atas:
a. papan nama Apotek, yang memuat paling sedikit
informasi mengenai nama Apotek, nomor SIA, dan
alamat; dan
-13-

b. papan nama praktik Apoteker, yang memuat paling


sedikit informasi mengenai nama Apoteker, nomor
SIPA, dan jadwal praktik Apoteker.
(2) Papan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dipasang di dinding bagian depan bangunan atau
dipancangkan di tepi jalan, secara jelas dan mudah
terbaca.
(3) Jadwal praktik Apoteker sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b harus berbeda dengan jadwal praktik
Apoteker yang bersangkutan di fasilitas kefarmasian lain.

Pasal 19
Setiap Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian harus
bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur
operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati
hak pasien dan mengutamakan kepentingan pasien.

Pasal 20
Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di Apotek harus
menjamin ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan
Bahan Medis Habis Pakai yang aman, bermutu, bermanfaat,
dan terjangkau.

Pasal 21
(1) Apoteker wajib melayani Resep sesuai dengan tanggung
jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada
kepentingan masyarakat.
(2) Dalam hal obat yang diresepkan terdapat obat merek
dagang, maka Apoteker dapat mengganti obat merek
dagang dengan obat generik yang sama komponen
aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan
dokter dan/atau pasien.
(3) Dalam hal obat yang diresepkan tidak tersedia di Apotek
atau pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis di
dalam Resep, Apoteker dapat mengganti obat setelah
berkonsultasi dengan dokter penulis Resep untuk
pemilihan obat lain.
-14-

(4) Apabila Apoteker menganggap penulisan Resep terdapat


kekeliruan atau tidak tepat, Apoteker harus
memberitahukan kepada dokter penulis Resep.
(5) Apabila dokter penulis Resep sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) tetap pada pendiriannya, maka Apoteker
tetap memberikan pelayanan sesuai dengan Resep
dengan memberikan catatan dalam Resep bahwa dokter
sesuai dengan pendiriannya.

Pasal 22
(1) Pasien berhak meminta salinan Resep.
(2) Salinan Resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disahkan oleh Apoteker.
(3) Salinan Resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus sesuai aslinya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 23
(1) Resep bersifat rahasia.
(2) Resep harus disimpan di Apotek dengan baik paling
singkat 5 (lima) tahun.
(3) Resep atau salinan Resep hanya dapat diperlihatkan
kepada dokter penulis Resep, pasien yang bersangkutan
atau yang merawat pasien, petugas kesehatan atau
petugas lain yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 24
(1) Pengadaan obat dan/atau bahan obat di Apotek
menggunakan surat pesanan yang mencantumkan SIA.
(2) Surat pesanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus ditandatangani oleh Apoteker pemegang SIA
dengan mencantumkan nomor SIPA.

Pasal 25
(1) Apotek dapat bekerja sama dengan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan dan asuransi lainnya.
-15-

(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan berdasarkan rekomendasi dinas kesehatan
kabupaten/kota.

BAB V
PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB

Pasal 26
(1) Apabila Apoteker pemegang SIA meninggal dunia, ahli
waris Apoteker wajib melaporkan kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus menunjuk Apoteker lain
untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
(3) Apoteker lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
melaporkan secara tertulis terjadinya pengalihan
tanggung jawab kepada Pemerintah Daerah
kabupaten/kota dalam jangka waktu 3 x 24 (tiga kali dua
puluh empat) jam dengan menggunakan Formulir 7.
(4) Pengalihan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disertai penyerahan dokumen Resep Apotek,
narkotika, psikotropika, obat keras, dan kunci
penyimpanan narkotika dan psikotropika.

BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 27
Pembinaan dilakukan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan
provinsi dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota secara
berjenjang sesuai dengan kewenangannya terhadap segala
kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan kefarmasian di
Apotek.

Pasal 28
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini
dilakukan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi,
-16-

dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai


dengan tugas dan fungsi masing-masing.
(2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat melibatkan Organisasi Profesi.

Pasal 29
(1) Pengawasan selain dilaksanakan oleh Menteri, kepala
dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1), khusus terkait dengan pengawasan sediaan
farmasi dalam pengelolaan sediaan farmasi dilakukan
juga oleh Kepala Badan sesuai dengan tugas dan fungsi
masing-masing.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Badan dapat melakukan pemantauan, pemberian
bimbingan, dan pembinaan terhadap pengelolaan
sediaan farmasi di instansi pemerintah dan masyarakat
di bidang pengawasan sediaan farmasi.

Pasal 30
(1) Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan
provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan
pengawasan yang dilakukan oleh Kepala Badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.

Pasal 31
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan
Menteri ini dapat dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan
-17-

c. pencabutan SIA.

Pasal 32
(1) Pencabutan SIA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (2) huruf c dilakukan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota berdasarkan:
a. hasil pengawasan; dan/atau
b. rekomendasi Kepala Balai POM.
(2) Pelaksanaan pencabutan SIA sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan setelah dikeluarkan teguran
tertulis berturut­turut sebanyak 3 (tiga) kali dengan
tenggang waktu masing­masing 1 (satu) bulan dengan
menggunakan Formulir 8.
(3) Dalam hal Apotek melakukan pelanggaran berat yang
membahayakan jiwa, SIA dapat dicabut tanpa peringatan
terlebih dahulu.
(4) Keputusan Pencabutan SIA oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota disampaikan langsung kepada Apoteker
dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, kepala
dinas kesehatan provinsi, dan Kepala Badan dengan
menggunakan Formulir 9 sebagaimana terlampir.
(5) Dalam hal SIA dicabut selain oleh dinas kesehatan
kabupaten/kota, selain ditembuskan kepada
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), juga ditembuskan
kepada dinas kabupaten/kota.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 33
(1) Permohonan izin Apotek yang telah diajukan sebelum
berlakunya Peraturan Menteri ini tetap diproses
berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan
dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik sebagaimana telah
diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan atas
-18-

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pemberian Izin Apotik.
(2) Izin Apotek yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 922/MENKES/PER/X/1993
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pemberian Izin Apotik dinyatakan masih tetap
berlaku sampai dengan 5 (lima) tahun sejak Peraturan
Menteri ini diundangkan.
(3) Apotek yang telah melakukan pelayanan kefarmasian
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pemberian Izin Apotik sebagaimana telah diubah
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pemberian Izin Apotik wajib menyesuaikan dengan
ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lama 2
(dua) tahun sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku.

Pasal 34
(1) Apotek rakyat berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 284/MENKES/PER/III/2007 tentang Apotek
Rakyat yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53
Tahun 2016 tentang Pencabutan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 284/MENKES/PER/III/2007 tentang
Apotek Rakyat harus menyesuaikan diri menjadi Apotek
mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
(2) Dalam hal apotek rakyat tidak menyesuaikan diri
menjadi Apotek sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
apotek rakyat dapat menyesuaikan diri menjadi toko
-19-

obat/pedagang eceran obat mengikuti ketentuan dalam


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
167/KAB/B.VIII/1972 tentang Pedagang Eceran Obat
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1331/MENKES/SK/X/2002 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
167/KAB/B.VIII/1972 tentang Pedagang Eceran Obat.
(3) Penyesuaian diri apotek rakyat menjadi Apotek atau toko
obat/pedagang eceran obat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) paling lama 6 (enam) bulan sejak
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53 Tahun 2016
tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
284/MENKES/PER/III/2007 tentang Apotek Rakyat
diundangkan.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 35
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 922/MENKES/PER/X/1993
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotik, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 36
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-20-

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Januari 2017

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

NILA FARID MOELOEK

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Februari 2017

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 276


-21-

Lampiran:
Formulir 1

Hal : Permohonan Surat Izin Apotek (SIA)

Yang terhormat,
Kepala Dinas Kesehatan/Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu *)

Kabupaten/Kota ...............................
di
...........................

Dengan hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini,


Nama Lengkap : ...................................................................................
No. KTP : ...................................................................................
Alamat : ...................................................................................
...................................................................................
Telepon ......................................................................
NPWP : ...................................................................................
No. STRA : ...................................................................................
Masa berlaku STRA sampai : ...........................................(tanggal bulan tahun)
Dengan ini mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat Izin Apotek,
pada:

Nama Apotek : ...................................................................................


Alamat Apotek : ...................................................................................
...................................................................................
Telepon : ...................................................................................
Desa/Kelurahan : ...................................................................................
Kecamatan : ...................................................................................
Kabupaten/Kota : ...................................................................................

Sebagai bahan pertimbangan bersama ini kami lampirkan :


a. fotokopi STRA;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk;
c. fotokopi NPWP;
d. fotokopi peta lokasi dan denah bangunan;
e. daftar prasarana, sarana, dan peralatan;

Demikian, atas perhatian dan perkenannya kami ucapkan terima kasih.

Pemohon,

(………………………….…..)
Nama Lengkap

*) : Diisi sesuai dengan permohonan


-22-

Formulir 2

DINAS KESEHATAN/
PENYELENGGARA PELAYANAN TERPADU SATU PINTU *)

KABUPATEN / KOTA ................................................

Nomor : (tanggal bulan tahun)


Lampiran :
Perihal : Penugasan Pemeriksaan

Kepada Yth.
Ketua Tim Pemeriksa Apotek
di-
...................................................

Sehubungan dengan surat dari Apoteker......................................................... (nama


pemohon) Tanggal ......................................................... (tanggal/bulan/tahun)
perihal Permohonan Surat Izin Apotek (SIA), maka dengan ini kami tugaskan
Saudara segera melaksanakan pemeriksaan terhadap Apotek pada:
Nama Apotek : ………...................................................................................
Alamat Apotek : ............................................................................................
............................................................................................
Telepon : ............................................................................................
Desa/Kelurahan : ............................................................................................
Kecamatan : ............................................................................................
Kabupaten/Kota : ............................................................................................

Hasil pelaksanaan pemeriksaan tersebut supaya disampaikan dalam bentuk


Berita Acara Pemeriksaan (BAP) selambat-lambatnya dalam waktu 6 (enam) hari
kerja sejak surat ini diterima.

Demikianlah untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Kepala Dinas Kesehatan/penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu*)


Kabupaten / Kota …………………………………................

(…………………………………..................)
NIP………………………………….............

Catatan:
*) : Diisi sesuai instansi pemberi izin.
-23-

Formulir 3

BERITA ACARA PEMERIKSAAN APOTEK

Pada hari ini, tanggal ................ bulan ................ tahun ................, kami yang
bertanda tangan di bawah ini:

1. Nama : ...................................................................................
NIP : ...................................................................................
Pangkat/Golongan : ...................................................................................
Jabatan : ...................................................................................

2. Nama : ...................................................................................
NIP : ...................................................................................
Pangkat/Golongan : ...................................................................................
Jabatan : ...................................................................................

Berdasarkan surat tugas dari Kepala Dinas Kesehatan/penyelenggara


Pelayanan Terpadu Satu Pintu*) Kabupaten / Kota ………………………………....,
nomor .................................................. tanggal ..........................................,
hal Penugasan Pemeriksaan, telah melakukan pemeriksaan setempat terhadap:

Nama Apotek : ...................................................................................


Alamat Apotek : ...................................................................................
...................................................................................
Telepon : ...................................................................................
Desa/Kelurahan : ...................................................................................
Kecamatan : ...................................................................................
Kabupaten/Kota : ...................................................................................
-24-

HASIL PEMERIKSAAN

Penilaian

Memenuhi syarat
Tidak memenuhi
Hasil

syarat
No Perincian Persyaratan
Pengamatan

I. Lokasi 1. Memenuhi
Persyaratan
kesehatan
lingkungan
2. Apotek dapat
didirikan pada
lokasi yang sama
dengan kegiatan
pelayanan dan
komoditi lainnya
diluar sediaan
farmasi
II. Bangunan 1. Permanen
2. Memperhatikan
fungsi, keamanan,
kenyamanan dan
kemudahan dalam
pemberian
pelayanan serta
perlindungan dan
keselamatan bagi
semua orang
III.Sarana/prasarana
Sarana
1. Ruang Pendaftaran/ Ada sesuai kebutuhan
Penerimaan Resep
2. Ruang Pelayanan
Resep dan Peracikan
a. Timbangan minimal 1 set
miligram dan anak
timbangan yang
sudah ditera
b. Timbangan gram minimal 1 set
dengan anak
timbangan yang
sudah ditera
-25-

Penilaian

Memenuhi syarat
Tidak memenuhi
Hasil

syarat
No Perincian Persyaratan
Pengamatan

c. Wadah pengemas ada dengan jumlah


dan pembungkus sesuai kebutuhan
obat
d. Etiket ada dengan jumlah
sesuai kebutuhan
e. Wastafel
3. Ruang Penyerahan
Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan
4. Ruang untuk
konseling bagi pasien
a. Tempat untuk
mendisplai
informasi obat
b. Buku Referensi
- Buku standar
- Kumpulan
peraturan
perundang­
undangan yang
berhubungan
c. Dokumen
Pelayanan
Kefarmasian
- Formulir
Pelayanan
Informasi Obat
(PIO)
- Buku catatan
konseling
- Formulir catatan
pengobatan
pasien
- Formulir
Monitoring Efek
Samping Obat
- Formulir Home
Pharmacy Care
-26-

Penilaian

Memenuhi syarat
Tidak memenuhi
Hasil

syarat
No Perincian Persyaratan
Pengamatan

5. Ruang penyimpanan Ada sesuai dengan


sediaan farmasi kebutuhan
a. Lemari dan rak
untuk
penyimpanan obat
b. Lemari pendingin
c. Lemari untuk
penyimpanan
narkotika dan
psikotropika
d. Pendingin ruangan
e. Pengatur suhu Harus memenuhi
(termohigrometer) persyaratan
6. Ruang administrasi
dan penyimpanan
data
a. Blanko pesanan ada dengan jumlah
obat sesuai kebutuhan
b. Blanko kartu stok ada dengan jumlah
obat sesuai kebutuhan
c. Blanko salinan ada dengan jumlah
Resep sesuai kebutuhan
d. Blanko faktur dan ada dengan jumlah
blanko nota sesuai kebutuhan
penjualan
e. Buku pencatatan ada dengan jumlah
obat narkotika sesuai kebutuhan
f. Buku pesanan ada dengan jumlah
obat narkotika sesuai kebutuhan
g. Form laporan obat
narkotika
7. Ruang lainnya sesuai
kebutuhan pelayanan
Prasarana
1. Instalasi air bersih Sumber air tersedia
2. Instalasi listrik Listrik tersedia dan PLN /
cukup generator
-27-

Penilaian

Memenuhi syarat
Tidak memenuhi
Hasil

syarat
No Perincian Persyaratan
Pengamatan

3. Instalasi sirkulasi Ventilasi harus


udara memenuhi persyaratan
hiegene
Penerangan Harus cukup terang
sehingga menjamin
pelaksanaan tugas dan
fungsi praktik
Apoteker
4. Pencegahan dan Alat Pemadam Api
penanggulangan Ringan (APAR)
kebakaran
5. Prasarana lain sesuai
kebutuhan
a. Toilet
b. Tempat sampah
IV. Sumber Daya Manusia
(SDM)
1. Apoteker Sekurang-kurangnya 1 ..........
orang orang
2. Tenaga Teknis ..........
Kefarmasian orang
-28-

Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut di atas, maka Apotek


...................................................... dinyatakan memenuhi/tidak memenuhi
persyaratan**) untuk melaksanakan praktik kefarmasian.

Demikianlah Berita Acara kami buat sesungguhnya dengan penuh tanggung


jawab. Berita Acara ini dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan dikirim kepada :

1. Dinas Kesehatan Provinsi


2. Pemohon
3. Arsip

.................................................(tanggal bulan tahun)

Yang membuat Berita Acara

1. 2.
(…………………………………..............) (…………………………………..............)
NIP…………………………………........ NIP………………………………….........

Mengetahui,

Kepala Dinas Kesehatan/ Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu*)


Kabupaten / Kota …………………………………................

(…………………………………..................)
NIP………………………………….............

Catatan:
*) : Diisi sesuai instansi pemberi izin.
**) : Coret yang tidak perlu.
-29-

Formulir 4

DINAS KESEHATAN/PENYELENGGARA PELAYANAN TERPADU


SATU PINTU *)
KABUPATEN / KOTA ................................................

SURAT IZIN APOTEK (SIA)


NOMOR .................................................................................

Yang bertanda tangan di bawah ini, Kepala Dinas Kesehatan/ Penyelenggara


Pelayanan Terpadu Satu Pintu*) Kabupaten/Kota …………............. memberikan
Izin Apotek:

Nama Apotek : .............................................................................


Alamat Apotek : .............................................................................
.............................................................................
Telepon : .............................................................................
Desa/Kelurahan : .............................................................................
Kecamatan : .............................................................................
Kabupaten/Kota : .............................................................................
Masa berlaku SIA sampai : ...........................................(tanggal/bulan tahun)

kepada:
Nama Lengkap : ..............................................................................
Tempat, tanggal lahir : ..............................................................................
Alamat Rumah : ..............................................................................
No. STRA : ..............................................................................
Masa berlaku STRA sampai: ............................................(tanggal/bulan tahun)
No. SIPA : ..............................................................................
Masa berlaku SIPA sampai : ...........................................(tanggal/bulan tahun)

Dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan pekerjaan/praktik kefarmasian di Apotek harus mengikuti


standar dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. SIA ini batal demi hukum apabila bertentangan dengan angka 1 di atas dan
pekerjaan/praktik kefarmasian dilakukan tidak sesuai dengan yang
tercantum dalam SIA.

Dikeluarkan di : …………………………………..................
Pada tanggal : …………………………………..................
-30-

Kepala Dinas Kesehatan/ Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu*)


Kabupaten / Kota …………………………………................

(…………………………………..................)
NIP………………………………….............

Tembusan :
1. Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan;
2. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi ……………………………
3. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota …………………………… (jika Izin
dikeluarkan oleh penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu)
4. Kepala Balai Besar/Balai POM di ……………………………

Catatan:
*) : Diisi sesuai instansi pemberi izin.
-31-

Formulir 5

DINAS KESEHATAN/
PENYELENGGARA PELAYANAN TERPADU SATU PINTU *)

KABUPATEN/KOTA ................................................

Nomor : (tanggal bulan tahun)


Lampiran :
Perihal : Penundaan Pemberian Izin Apotek

Kepada Yth.
Apoteker ..........................................
di-
...................................................

Sehubungan dengan surat Saudara Tanggal .........................(tanggal/bulan/tahun)


perihal Permohonan Surat Izin Apotek (SIA), maka dengan ini kami beritahukan
bahwa kami belum dapat menyetujui permohonan izin tersebut karena:

1. .................................................................................................................
2. .................................................................................................................
3. .................................................................................................................
Selanjutnya kepada Saudara kami minta melengkapi kekurangan tersebut
selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal surat ini.

Demikianlah untuk dimaklumi.

Kepala Dinas Kesehatan/Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu*)


Kabupaten / Kota …………………………………................

(…………………………………..................)
NIP………………………………….............

Catatan:
*) : Diisi sesuai instansi pemberi izin.
-32-

Formulir 6

DINAS KESEHATAN/
PENYELENGGARA PELAYANAN TERPADU SATU PINTU *)

KABUPATEN/KOTA ................................................

Nomor : (tanggal bulan tahun)


Lampiran :
Perihal : Penolakan Pemberian Izin Apotek

Kepada Yth.
Apoteker ..........................................
di-
...................................................

Sehubungan dengan surat Saudara Tanggal .........................(tanggal/bulan/tahun)


perihal Permohonan Surat Izin Apotek (SIA), maka dengan ini kami beritahukan
bahwa kami tidak dapat menyetujui permohonan izin tersebut karena:

1. .................................................................................................................
2. .................................................................................................................
3. .................................................................................................................

Demikianlah untuk dimaklumi.

Kepala Dinas Kesehatan/Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu*)


Kabupaten / Kota …………………………………................

(…………………………………..................)
NIP………………………………….............

Catatan:
*) : Diisi sesuai instansi pemberi izin.
-33-

Formulir 7

LAPORAN PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB


PELAYANAN KEFARMASIAN

Pada hari ini ...............tanggal ...................bulan...................tahun..................


sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. ...................................tentang
Apotek, saya yang bertanda tangan dibawah ini,
a. Apoteker Pemegang SIA yang baru/pengganti
Nama Lengkap : ...................................................................................
Nomor STRA : ...................................................................................
Alamat : ...................................................................................
Telepon : ...................................................................................

Telah menerima pengalihan tanggung jawab dari :

b. Apoteker Pemegang SIA yang Lama


Nama Lengkap : ...................................................................................
Nomor STRA : ...................................................................................
Alamat : ...................................................................................
Telepon : ...................................................................................
No. SIA : ...................................................................................
Nama Apotek : ...................................................................................
Alamat Apotek : ...................................................................................

Dalam pengalihan tanggung jawab ini telah dilakukan penyerahan :


1. Resep-resep
Dari tanggal ........................sampai dengan tanggal......................berjumlah
..........................lembar
2. Obat-obat Narkotika dan Psikotropika sebagaimana tercantum dalam daftar
terlampir. Kunci-kuci lemari penyimpanan terdiri dari ........................buah.
3. Obat Keras tertentu / Bahan Berbahaya dan obat lainnya sebagaimana
daftar terlampir. Kunci- kunci lemari penyimpanan terdiri dari ...........buah.
4. Lain-lain yang dianggap perlu.

Demikian Laporan Pengalihan Tanggung Jawab ini dibuat dengan sebenarnya.


Surat Surat Pengalihan Tanggung Jawab dibuat rangkap 2 (dua) dan
dikirimkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Nama Kota, tanggal bulan tahun


Apoteker Penanggungjawab Apotek Pengganti

(………………………….…..)

Nama Lengkap
-34-

Formulir 8

PEMERINTAH DAERAH
KABUPATEN/ KOTA ……………………………….

Nomor :
Lampiran : Peringatan ke satu/dua/tiga*

Kepada Yth.
Apotek ..............

di ­

Sesuai dengan Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) Nomor ……………. tanggal
………………atas nama …………….. untuk Apotek................ dengan nomor SIA
.................. tanggal.................. dengan lokasi ………….. setelah kami
mengadakan pemeriksaan diketahui bahwa Apotek Saudara tidak memenuhi
ketentuan perizinan yang berlaku antara lain :
1. ……………
2. ……………
3. ……………

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, kami minta Saudara untuk


memenuhi ketentuan perizinan yang berlaku.
Demikian untuk kiranya menjadi perhatian Saudara.

Kepala Dinas Kesehatan / Kepala Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten/


Kota……………………

NIP….……………………………………………….

Tembusan Kepada Yth,


1. Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alkes
2. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
3. Arsip

Catatan :
*) pilih yang sesuai
-35-

Formulir 9

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA ………………

NOMOR …………………………….

TENTANG

PENCABUTAN IZIN APOTEK

KEPALA DINAS KESEHATAN/ KEPALA PELAYANAN PERIZINAN TERPADU


KABUPATEN/KOTA……………………

MENIMBANG : Bahwa Apotek telah melakukan pelanggaran yaitu:


1. ……………………………………………
2. ……………………………………………
3. ……………………………………………
4. ……………………………………………
MENGINGAT : 1. Undang­undang Obat Keras (St. 1937 No. 541)
2. Undang­Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3671);
3. Undang­Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5062);
4. Undang­undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengaman Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3781);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 5044);
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 1508);
-36-

8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 31 Tahun


2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang
Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja Tenaga
Kefarmasian (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 1137);
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
50);
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2017
tentang Apotek.

Memperhatikan : Berita Acara Hasil Pemeriksaan Tim Pemeriksa


Kabupaten/Kota ……………….. Nomor ………………………..
perihal Usul Pencabutan Surat Izin Apotek .......................

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PENCABUTAN IZIN APOTEK ……

Kesatu : Mencabut Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan/


Kepala Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten/Kota
……………. Nomor ……………… Tanggal …………………..
Tentang Surat Izin Apotek ............
Kedua : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di …………………………
pada Tanggal …………………………

Kepala Dinas Kesehatan/ Kepala Pelayanan Perizinan Terpadu


Kabupaten/Kota ………

NIP……………………………………………

Tembusan Kepada Yth:


1. Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
2. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
3. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR
889/MENKES/PER/V/2011 TENTANG REGISTRASI, IZIN PRAKTIK, DAN
IZIN KERJA TENAGA KEFARMASIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin
Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian perlu
disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan
hukum;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Kesehatan tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 889/Menkes/Per/V/2011
tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga
Kefarmasian;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);
-2-

2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang


Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5072);
3. Undang­Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang­Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);
4. Undang­Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3781);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
7. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2015 tentang
Kementerian Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 59);
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin
Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 322);
-3-

9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015


tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 1508);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN
NOMOR 889/MENKES/PER/V/2011 TENTANG
REGISTRASI, IZIN PRAKTIK, DAN IZIN KERJA TENAGA
KEFARMASIAN.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kesehatan


Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin
Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 322) diubah
sebagai berikut :

1. Nomenklatur yang berbunyi Surat Izin Kerja harus


dibaca dan dimaknai sebagai Surat Izin Praktik.

2. Ketentuan ayat (2) Pasal 17 diubah, sehingga Pasal 17


berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

(1) Setiap tenaga kefarmasian yang akan


menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib
memiliki surat izin sesuai tempat tenaga
kefarmasian bekerja.
(2) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. SIPA bagi Apoteker; atau
b. SIPTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian.
-4-

3. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga Pasal 18


berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1) SIPA bagi Apoteker di fasilitas kefarmasian hanya


diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas
kefarmasian.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) SIPA bagi Apoteker di
fasilitas pelayanan kefarmasian dapat diberikan
untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas
pelayanan kefarmasian.
(3) Dalam hal Apoteker telah memiliki Surat Izin
Apotek, maka Apoteker yang bersangkutan hanya
dapat memiliki 2 (dua) SIPA pada fasilitas
pelayanan kefarmasian lain.
(4) SIPTTK dapat diberikan untuk paling banyak 3
(tiga) tempat fasilitas kefarmasian.

4. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga Pasal 19


berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19

SIPA atau SIPTTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal


17 diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota
atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang
di kabupaten/kota tempat Tenaga Kefarmasian
menjalankan praktiknya.

Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal


diundangkan.
-5-

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Juli 2016

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

NILA FARID MOELOEK

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Agustus 2016

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 1137

Anda mungkin juga menyukai