Anda di halaman 1dari 16

Referat

FAKTOR RISIKO MORBUS HANSEN

Oleh:
M. Renaldi Fahlevi, S.Ked
NIM 712019015

Pembimbing:
dr. Rilliani Hastuti, Sp.KK

DEPARTEMEN ILMU KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT A. RIVAI ABDULLAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT
FAKTOR RISIKO MORBUS HANSEN

Dipersiapkan dan disusun oleh


M. Renaldi Fahlevi, S.Ked
NIM 712019015

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah
Sakit A. Rivai Abdullah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang

Palembang, September 2020


Pembimbing

dr. Rilliani Hastuti, Sp.KK

ii
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, saya bisa menyelesaikan referat ini. Penulisan referat ini
dilakukan dalam rangka memenuhi syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit A.
Rivai Abdullah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, dari masa kepaniteraan klinik sampai pada penyusunan referat ini,
sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan referat ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada:
1) dr. Rilliani Hastuti, Sp.KK, selaku pembimbing yang telah
mengarahkan saya dalam penyusunan laporan kasus ini;
2) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan
bantuan dukungan material dan moral; dan
3) Rekan sejawat serta semua pihak yang telah banyak membantu
saya dalam menyelesaikan laporan kasus ini.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Palembang, September 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH .........................
iii DAFTAR ISI
................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1


1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2.Tujuan ................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 3
2.1 Definisi ............................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi ....................................................................................... 3
2.3 Etiologi ............................................................................................... 4
2.4 Faktor Risiko.........................................................................................5
2.5 Diagnosis............................................................................................. 10
2.6 Tatalaksana.......................................................................................... 18
BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 22

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang secara primer


menyerang saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran
nafas bagian atas, sistem retikuloendotel, mata, otot, tulang, dan testis.
Penyebab kusta adalah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler
obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu
Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak
dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980 dimana program Multi Drug
1
Treatment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi.
Lingkungan merupakan faktor penyumbang terbesar kejadian penyakit.
Lingkungan dapat menjadi tempat berkembang biaknya berbagai bakteri,
termasuk bakteri penyakit kusta. Rumah merupakan bagian dari
lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi kesehatan individu dan
masyarakat. Rumah yang menjadi tempat tinggal harus memenuhi syarat
kesehatan seperti memiliki jamban yang sehat, sarana air bersih, tempat
pembuangan sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi rumah yang
baik, pencahayaan yang cukup, kepadatan hunian rumah yang sesuai dan
lantai rumah yang terbuat bukan dari tanah.2
Sepanjang tahun 2013, Kementerian Kesehatan RI mencatat 16.825
kasus kusta baru, dengan angka kecacatan 6,82 per 10.000 penduduk.
Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dunia dengan kasus
baru penyakit kusta setelah India (134.752 kasus) dan Brasil (33.303 kasus).
Tahun 2014 Jawa Timur memiliki penderita baru sebesar 4.119 kasus
dengan Prevalensi Rate (PR) 1.07 per 10.000 penduduk. Kabupaten Ngawi
merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur dengan jumlah
penderita penyakit kusta terbanyak ke-16 dari 38 kabupaten/kota di Jawa
Timur.3
Berdasarkan Report of the International Leprosy Association
Technical Forum di Paris pada 22-28 Februari 2002 dilaporkan adanya

5
M.leprae pada debu, air untuk mandi dan mencuci di rumah penderita.
Perlunya kondisi fisik rumah yang memenuhi syarat kesehatan agar dapat
mencegah penyebaran M. leprae di lingkungan. Kondisi fisik rumah
mencakup jenis bahan bangunan rumah dan lokasi rumah seperti jenis
dinding, lantai dan atap. Jenis bahan bangunan rumah akan mempengaruhi
peresapan air dan jumlah debu dalam rumah. Menurut Ehler dan Stee,
sanitasi sebagai pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau
mengawasi faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan mata rantai
perpindahan penyakit. Sanitasi rumah yang perlu ditingkatkan untuk
mencegah penyebaran bakteri kusta antara lain pengadaan jamban rumah
tangga yang sehat, sarana air bersih.2,4

1.2. Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari referat ini adalah sebagai berikut:
a. Diharapkan bagi semua dokter muda agar dapat memahami mengenai
faktor risiko morbus hansen.
b. Diharapkan munculnya pola berpikir kritis bagi semua dokter muda
setelah dilakukan diskusi dengan dosen pembimbing klinik tentang faktor
risiko morbus hansen.
c. Diharapkan bagi semua dokter muda agar dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapatkan dalam kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) terutama faktor risiko morbus hansen.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang secara primer
menyerang saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran
nafas bagian atas, sistem retikuloendotel, mata, otot, tulang, dan testis.
Penyebab kusta adalah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler
obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu
Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak
dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980 dimana program Multi
Drug Treatment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan
diterapi.1

2.2 Epidemiologi
Diperkirakan sekitar 10 – 15 juta orang di dunia menderita penyakit MH,
terutama di iklim tropis dan subtropics seperti India, daerah Sahara di Afrika,
Amerika Tengah, Amerika Selatan, Kepulauan Pasifik serta Filipina.
Berdasarkan laporan WHO dari beberapa negara tercatat bahwa rata-rata
setelah selesai pengobatan MH terdapat 75% penderita MH dengan kecacatan,
sedang 25% penderita MH tidak mengalami kecacatan. 5 Menurut data Profil
Kesehatan Indonesia tahun 2011 dengan case detection rate (CDR) sebesar
8,03 per 100.000 penduduk, ditemukan jumlah kasus baru MH di Indonesia
sebanyak 19.4% orang yang meliputi 11.7% kasus laki-laki dan 7.7% kasus
perempuan. Pada awal tahun 2012 ditemukan jumlah kasus MH di Indonesia
sebayak 23.5%.6

2.3 Etiologi
Morbus Hansen disebabkan oleh M .leprae. Ditemukan oleh. Garmauer
Hansen (G.H) tahun 1874 di Norwegia. Kuman bersifat tahan asam, aerob,
berbentuk batang dengan ukuran 1-8 x 0,2-0,5 mikron dan bersifat obligat
intraselluler, gram positif, tidak bergerak. M. Leprae tumbuh lambat, untuk
membelah diri membutuhkan waktu 2-3 minggu, di luar tubuh manusia (dalam

7
kondisi tropis) kuman dapat bertahan sampai 9 hari, tumbuh pada tempratur 27-
30oC, masa inkubasinya 2-5 tahun.7
2.4 Faktor Risiko
a) Tingkat Pendidikan
Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada
masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik)
untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah) dan meningkatkan
kesehatannya. Tingkat pendidikan dianggap sebagai salah satu unsur yang
menentukan pengalaman dan pengetahuan seseorang, baik dalam ilmu
pengetahuan maupun kehidupan sosial.8
b) Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu
seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,
telinga dan sebagainya). Secara sendirinya, pada waktu penginderaan sampai
menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas
perhatian dan persepsi terhadap objek yang berbeda-beda.8
Pengetahuan yang baik diharapkan menghasilkan kemampuan
seseorang dalam mengetahui gejala, cara penularan penyakit kusta dan
penanganannya.
c) Personal Hygiene
Personal hygiene adalah tindakan pencegahan yang menyangkut
tanggung jawab individu untuk meningkatkan kesehatan serta membatasi
menyebarnya penyakit menular, terutama yang ditularkan secara kontak
langsung.9
d) Riwayat Kontak
Kusta merupakan penyakit infeksius, tetapi derajat infektivitasnya
rendah. waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan
tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa anak-
anak. Insidensi yang rendah pada pasien-pasien yang merupakan pasangan
suami istri (kusta yang diperoleh dari pasangannya) memberikan kesan
bahwa orang dewasa relatif tidak mudah terkena. Penyakit ini timbul akibat
kontak fisik yang erat dengan pasien yang terinfeksi, dan risiko ini menjadi
jauh lebih besar bila terjadi kontak dengan kasus lepromatosa. Sekret hidung
merupakan sumber utama terjadinya infeksi di masyarakat.10
8
e) Lama Kontak
Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas,
penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu
yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan.11
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi
dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh
(hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain.
Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta.
Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama
dengan penderita.12
f) Kelembaban Kamar
Kelembaban dipengaruhi oleh keadaan bangunan seperti dinding, jenis
lantai, ventilasi dan secara menyeluruh dipengaruhi oleh iklim dan cuaca.
Kamar yang lembab dapat menjadi tempat penularan penyakit. Kelembaban
udara dalam persyaratan kesehatan perumahan yang diatur menurut
Kepmenkes No. 829 tahun 1999 berkisar antara 40%-70%, jika di bawah
40% atau di atas 70% dapat menjadi media yang baik untuk bakteri-
bakteri.12
g) Suhu Kamar
Insidens tinggi pada daerah tropis dan subtropis yang panas dan
lembab. Insidens penyakit kusta di Indonesia pada maret 1999 sebesar 1,01
per 10.000 penduduk.7 Di luar hospes, dalam sekret kering dengan
temperatur dan kelembaban yang bervariasi, M. leprae dapat bertahan hidup
7-9 hari, sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan dapat bertahan hidup
sampai 46 hari.13
Ketentuan kualitas udara di dalam rumah khususnya suhu udara
nyaman apabila berkisar 18o sampai 30o C. M. Leprae yang bertahan hidup
lama dalam temperatur kamar dapat mempertinggi risiko penularan kusta
antar anggota keluarga yang menderita penyakit kusta. Pertumbuhan optimal
in vivo kuman kusta pada tikus pada suhu 270-300 C, hal ini berarti M.
leprae dapat hidup dengan ketentuan suhu udara yang nyaman yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.12
h) Jenis Pekerjaan

9
Jenis pekerjaan disini yaitu pekerjaan atau mata pencaharian sehari-
hari yang dilakukan responden, digolongkan menjadi pekerjaan ringan (tidak
bekerja, pelajar, pegawai kantor) dan pekerjaan berat (pekerja bangunan,
buruh, tukang batu, pekerja bengkel, penjahit, buruh angkut, pembantu,
petani dan nelayan).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nur Laily Af’idah (2012)
tentang analisis faktor risiko kejadian kusta di Kabupaten Brebes tahun
2010, prosentase jenis pekerjaan yang berisiko kusta sebesar 85,5% dan
yang tidak berisiko sebesar 14,5%. Uji statistik menunjukkan bahwa ada
hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian kusta.
i) Jenis Kelamin
Penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laki-laki lebih banyak
terkena dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1. Walaupun
ada beberapa daerah yang menunjukkan insidens ini hampir sama bahkan
ada daerah yang menunjukkan penderita wanita lebih banyak.13
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan
sebagian besar negara di dunia kecuali dibeberapa negara di Afrika
menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada wanita.
Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena
faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit menular
lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor risiko sebagai akibat
gaya hidupnya.12
j) Umur
Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Namun demikian, jarang
dijumpai pada umur yang sangat muda. Pernah dijumpai penderita kasus
tuberkuloid pada usia di atas 70 tahun sangat jarang. Frekuensi terbanyak
adalah 15-29 tahun.13
Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut
umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena
pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengan kata lain
kejadian penyakit sering terkait pada umur pada saat diketemukan dari pada
saat timbulnya penyakit. Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi
berdasarkan data prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit
mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta diketahui terjadi
10
pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai
lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan
produktif. Diagnosis umur kusta pada fenomena Lucio diketahui antara
umur 15 hingga 71 tahun dengan rata-rata umur 34 tahun.12
k) Jarak Rumah
Faktor lingkungan merupakan faktor yang memudahkan seseorang
kontak dengan kuman kusta (Mycobacterium leprae). Lingkungan fisik
(physical environment) yang ada di sekitar kita sangat berarti bagi
kehidupan kita. Kondisi lingkungan sekitar secara terus-menerus
memberikan pemaparan pada kita, jika lingkungan sesuai dengan kebutuhan
aktivitas manusia, maka dia akan mendorong bagi kondisi yang baik, dan
jika kondisi lingkungan tidak sesuai dengan kebutuhan sangat berpengaruh
terhadap kesehatan. Daerah endemitas yang tinggi serta kontak orang-orang
dengan penderita dengan kuman kusta akan lebih sering daripada daerah
dengan endemitas rendah.13

2.5 Diagnosis
Tabel 2.1.7 Diagnosis klinis menurut WHO5

Diagnosis PB MB
Lesi kulit (macula datar, 1) 1-5 lesi 1) >5 lesi
papul yang meninggi,
2) hipopigmentasi 2) distribusi lebih
nodus)
simetris
3) distribusi tidak
simetris 3) hilangnya sensasi
kurang jelas
4) hilangnya sensasi
yang jelas

Kerusakan saraf
menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
yang dipersarafi oleh
sraf yang terkena)

11
Apabila tidak diobati secara tepat maka akan menyebabkan kerusakan saraf
lebih lanjut, Gejala-gejala kerusakan saraf :5
i. N.ulnaris : 1) Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari
manis. 2) Clawing jari kelingking dan jari manis. 3) Atrofi hipotenar
dan otot interoseus sarta hedua otot lumbrikalis medial.
ii. N.medianus : 1) Anesthesia pada bagian ujung jari bagian anterior ibu
jari, dan jari tengah. 2) Tidak mampu aduksi ibu jari. 3) Clawing ibu jari
jari telunjuk dan jari tengah. 3) ibu jari kontraktur. 4) Atrofi otot tenar
dan kedua otot lumbrikais lateral.
iii. N.radialis : 1) Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari
telunjuk. 2) Tangan gantung ( wrist drop ). 3) Tak mampu ekstensi jari-
jari dan pergelangan tangan.
iv. N.poplitea lateralis : 1) Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan
dorsum pedis. 2) Kaki gantung (drop foot). 3) kelemahan otot peroneus.
v. N.tibialis posterior : 1) Anestesia telapak kaki. 2) Claw toes. 3) paralisis
otot intrinsic kaki dan kolaps arcus pedis.
vi. N.facialis : 1) Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan
lagoftalmus. 2) Cabang mandibular dan servikal menyebabkan
kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir.
vii. N.trigeminus : 1) anesthesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva
wajah. 2) atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.

2.6 Tatalaksana
Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi,
memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai
penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan efek terapeutik obat,
efek samping obat, ketersediaan obat, harga obat, dan kemungkinan penerapannya.5
Prosedur pemberian MDT menurut WHO adalah sebagai berikut:5

a) MDT untuk lepra tipe MB

Pada dewasa diberikan selama 12 bulan yaitu rifampisin 600 mg setiap bulan,
klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, dan dapsone 100 mg setiap
hari. Sedangkan pada anak-anak, diberikan selama 12 bulan dengan kombinasi

12
rifampisin 450 mg setiap bulan, klofamizin 150 mg setiap bulan dan 50 mg setiap
hari, serta dapsone 50 mg setiap hari

b) MDT untuk lepra tipe PB

Pada dewasa diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 600 mg


setiap bulan dan dapsone 100 mg setiap bulan. Pada anak-anak diberikan selama 6
bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan dan dapsone 50 mg setiap
bulan. Sedangkan pada anak-anak dengan usia dibawah 10 tahun, diberikan
kombinasi rifampisin 10 mg/kg berat badan setiap bulan, klofamizin 1 mg/kg berat
badan diberikan pada pergantian hari, tergantung dosis, dan dapsone 2 mg/kg berat
badan setiap hari.

Untuk pengobatan timbulnya reaksi lepra menurut Depkes RI 2007 adalah sebagai
berikut:6

a) Pengobatan reaksi reversal (tipe 1)

Pengobatan tambahan diberikan apabila disertai neuritis akut, obat pilihan


pertama adalahkorikosteroid. Biasanya diberikan prednison 40 mg/hari kemudian
diturunkan perlahan. Pengobatan harus secepatnya dan dengan dosis yang adekuat
untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara menndadak. Anggota gerak
yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Apabila diperlukan dapat diberikan
analgetik dan sedativa.

b) Pengobatan reaksi ENL (tipe 2)

Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain
prednison dengan dosis yang disesuaikan berat ringannya reaksi, biasanya diberikan
dengan dosis 15-30 mg/hari. Dosis diturunkan secara bertahap sampai berhenti
sama sekali sesuai perbaikan reaksi. Apabila diperlukan dapat ditambahkan
analgetik-antipiretik dan sedativa. Ada kemungkinan timbul ketergantungan
terhadap kortikosteroid, ENL akan timbul apabila obat tersebut dihentikan atau
diturunkan pada dosis tertentu sehingga penderita harus mendapatkan kortikosteroid
secara terus-menerus.Penderita lepra dengan diagnosis terlambat dan tidak
mendapat MDT mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Selain itu,

13
penderita dengan reaksi lepra terutama reaksi reversal lesi kulit multipel dan dengan
saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut.
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot. Keluhan yang timbul berupa nyeri saraf atau luka yang
tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan
sensibilitasnya, serta adanya kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya
memasang kancing baju, memegang benda kecil atau kesulitan berjalan.
Pencegahan kecacatan yang terbaik atau prevention of disability (POD) adalah
dengan melaksanakan diagnosis dini lepra, pemberian pengobatan MDT yang cepat
dan tepat, mengenali gejala dan tanda reaksi lepra yang disertai gangguan saraf serta
memulai pengobatan dengan kortikosteroid secepatnya. Memberikan edukasi pada
pasien tentang perawatan misalnya memakai kacamata, merawat kulit supaya tidak
kering dan lainnya apabila terdapat gangguan sensibilitas.

14
BAB III
KESIMPULAN

Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang secara primer menyerang


saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas,
sistem retikuloendotel, mata, otot, tulang, dan testis. Penyebab kusta adalah
Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009
telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis.

Diperkirakan sekitar 10 – 15 juta orang di dunia menderita penyakit MH,


terutama di iklim tropis dan subtropics seperti India, daerah Sahara di Afrika,
Amerika Tengah, Amerika Selatan, Kepulauan Pasifik serta Filipina. Berdasarkan
laporan WHO dari beberapa negara tercatat bahwa rata-rata setelah selesai
pengobatan MH terdapat 75% penderita MH dengan kecacatan, sedang 25%
penderita MH tidak mengalami kecacatan.
Faktor risiko Morbus Hansen yaitu tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan,
personal hygiene, riwayat kontak, lama kontak, kelembaban kamar, suhu kamar,
jenis pekerjaan, jenis kelamin, umur dan jarak rumah.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi.


Kusta. Dalam : Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi Kelima Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2010.
2. Norlatifah (2010) Hubungan Kondisi Fisik Rumah, Sarana Air Bersih
dan Karakteristik Masyarakat dengan Kejadian Kusta.
3. Kementrian Kesehatan RI (2015) . Hari Kusta Sedunia: Hilangkan
Stigma!Kusta Bisa Sembuh Tuntas. http:///www.depkes.go. Tanggal 02
September 2020.
4. Report of the International Leprosy Association, 2002. Technical forum.
Paris.
5. WHO.A guide to leprosy control. 2nd ed. Geneva: WHO, 1998:103-6
6. Depkes RI, 2007, Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta.
Diretorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dir.
Jen. P dan PL). Jakarta.
7. Mansjoer, Arif. 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III. Jakarta:
Aesculapius.
8. Soekidjo Notoatmodjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi.Jakarta
: Rineka Cipta.
9. Nur Nasry, Noor. 2006. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta :
Rineka Cipta.
10. Robin Graham. 2005. Dermatologi. Jakarta : Erlangga.
11. James Chin. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Terjemahan
oleh I Nyoman Kandun. Jakarta : Infomedika.
12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman
NasionalPengendalian Penyakit Kusta. Jakarta : Depkes RI.
13. Marwali Harahap. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates.

16

Anda mungkin juga menyukai