Anda di halaman 1dari 57

Referat

Manajemen Nyeri, Chocking, Pengenalan Pasien Kritis

Oleh:
Anindia Elok SUsanti, S.Ked.
NIM 712019006

Pembimbing:
dr. Mayang Indah Lestari, Sp.An.

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
Manajemen Nyeri, Chocking, Pengenalan Pasien Kritis

Dipersiapkan dan disusun oleh


Anindia Elok Susanti
NIM 712019006

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang

Palembang, Agustus 2020


Pembimbing

dr. Mayang Indah Lestari, Sp.An.

ii
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya bisa menyelesaikan referat ini. Penulisan referat ini dilakukan
dalam rangka memenuhi syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik di
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Saya
menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
kepaniteraan klinik sampai pada penyusunan referat ini, sangatlah sulit bagi saya
untuk menyelesaikan referat ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada:
1) dr. Mayang Indah Lestari, Sp.An. selaku pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan referat ini;
2) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral; dan
3) Rekan sejawat serta semua pihak yang telah banyak membantu saya dalam
menyelesaikan referat ini.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.

Palembang, Agustus 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................i
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH.................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN.....................................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajemen Nyeri Pasca Pembedahan.........................................................3
2.2 Chocking....................................................................................................23
2.3 Pengenalan Pasien Kritis............................................................................26
BAB III. SKENARIO KASUS............................................................................40
BAB IV. KESIMPULAN.....................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................48

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang dirasakan


mengganggu dan menyakitkan, sebagai akibat adanya kerusakan jaringan aktual
dan potensial yang menyebabkan seseorang mencari perawatan kesehatan.3 Salah
satu stimulasi penyebab nyeri adalah karena adanya pembedahan. Pembedahan
atau operasi adalah semua tindak pengobatan yang menggunakan cara invasive
dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani,
pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan.5
Pembedahan merupakan suatu kekerasan atau trauma bagi penderita, dan salah
satu keluhan yang sering dikemukakan setelah pembedahan adalah adanya nyeri.
Nyeri tersebut disebabkan karena rusaknya jaringan akibat sayatan operasi sebagai
stimulus sehingga menyebabkan pelepasan substansi kimia seperti histamin,
bradikinin, asetilkolin, dan substansi P.Postaglandin yang bergabung dengan
lokasi nosiseptor untuk memulai transmisi neural yang berawal dari serabut
perifer memasuki medula spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute
saraf dan akhirnya sampai di dalam massa berwarna abu-abu di medula spinalis.
Pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus
nyeri sehingga tidak mencapai otak atau bisa juga ditransmisi tanpa hambatan ke
korteks serebral yang akan diinterpretasikan otak sebagai nyeri.7
Tersedak merupakan kondisi gawat darurat yang harus cepat di tangani, bila
terlalu lama akan mengakibatkan kekurangan oksigen dan mengakibatkan
kematian.8 Tersedak merupakan kondisi tersumbatnya saluran pernafasan oleh
benda asing yang berupa makanan, mainan, dan lain-lain.4 Tersedak dapat terjadi
bila makanan atau benda asing yang seharusnya menuju kerongkongan tetapi
malah berakhir di tenggorokan karena berbagai sebab. Di Indonesia sendiri,
menurut data yang diperoleh dari RSUD dr Harjono Ponorogo Kota Semarang
tahun 2009 ditemukan kasus tersedak sebanyak 157 orang. Kasus tersedak ini
semakin menurun pada tahun 2010 menjadi 112 orang. Berdasarkan survei dari
Departemen Dinas Kesehatan Nasional kasus tersedak ini terjadi disebabkan oleh

1
biji-bijian yaitu 105 kasus, akibat kacang-kacangan yaitu 82 kasus , tersedak
akibat sayuran sebesar 79 kasus, serta penyebab lainnya yaitu tersedak karena
logam, makanan, dan tulang ikan.3
Pasien sakit kritis adalah pasien dengan penyakit atau kondisi yang
mengancam keselamatan jiwa pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini
sering kita jumpai di Intensive Care Unit (ICU) dan biasanya membutuhkan
berbagai macam alat kedokteran yang berguna untuk memantau kondisi dan juga
untuk menjaga kelangsungan hidup pasien tersebut, misalnya ventilator, alat
dialisis, dan masih banyak lainnya. Pengunaan alat - alat ini akan menyebabkan
adanya pengurangan aktivitas dan mobilitas pasien secara signifikan yang dapat
menimbulkan komplikasi1,2
Di dunia telah diperkenalkan sistem scoring pendeteksian dini atau
peringatan dini untuk mendeteksi adanya perburukan keadaan pasien dengan
penerapan Early Warning Score (EWS). EWS telah diterapkan banyak Rumah
sakit di Inggris terutama National Health Service, Royal College of Physicians
yang telah merekomendasikan National Early Warning Score (NEWS) sebagai
standarisasi untuk penilaian penyakit akut, dan digunakan pada tim multidsiplin
(NHS Report, 2012). EWS lebih berfokus kepada mendeteksi kegawatan sebelum
hal tersebut terjadi, sehingga diharapkan dengan tatalaksana yang lebih dini,
kondisi yang mengancam jiwa dapat tertangani lebih cepat atau bahkan dapat
dihindari, sehingga output yang dihasilkan lebih baik.5 Penggunaan EWS sangat
berkaitan erat dengan peran perawat yang melakukan observasi harian tanda-tanda
vital. Perawat melaksanakan asuhan keperawatan, sebagai care giver memberikan
pelayanan dengan melakukan pengkajian harian serta memonitoring keadaan
pasien, ketika terjadi perburukan keadaaan, orang pertama yang mengetahui
adalah perawat. Early Warning Score merupakan standar nasional dari akreditasi
rumah sakit (SNARS).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Nyeri Pasca Pembedahan


A. Definisi
Nyeri adalah sensasi tidak menyenangkan sebagai respon dari luka
baik secara fisik maupun fisiologi. Respon nyeri di transmisikan dari sistem
saraf perifer ke sistem saraf pusat dan diatur dari pusat yang lebih tinggi.
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri
didefinisikan sebagai sensori subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual
maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Dari
definisi dan konsep nyeri di atas dapat di tarik dua kesimpulan.9 Jadi nyeri
terjadi karena adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception)
ataupun tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain without
nociception).10
Nyeri dalam persalinan merupakan hal yang normal sebagai warning
system yang menunjukkan bahwa waktu persalinan sudah tiba. Nyeri dalam
persalinan timbul akibat kontraksi otot-otot dinding rahim yang disebabkan
oleh janin yang mulai berputar mencari jalan lahir, Menurut Cunningham
“Nyeri persalinan, sebagai kontraksi miometrium, merupakan proses
fisiologis dengan intensitas yang berbeda pada masing- masing individu”.
Nyeri yang membatasi mobilisasi paska operasi dengan kondisi stress
induced hypercoagulable dapat meningkatkan insiden dari deep vein
thrombosis. Pelepasan katekolamin pada respon nyeri menimbulkan takikardi
dan hipertensi sistemik yang dapat memicu myocardial iskemik pada pasien
dengan komorbid awal pada system kardiovaskular. 11
Oleh karenanya penanganan nyeri paska pembedahan sejak awal
dengan penanganan dan pendekatan yang tepat merupakan hal penting yang
menentukan prognosis perjalanan nyeri tersebut. Kualitas dan perjalanan dari

3
suatu nyeri yang tidak tertangani dengan baik dapat berakibat buruk bagi
kualitas hidup penderitanya.1
B. Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:
a. Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran
mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam dan terlokalisasi
b. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat
rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat
c. Nyeri viseral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya
(pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi
menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih
viseral dan nyeri alih parietal.
Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis
yaitu:2
Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan
timbulnya nyeri
Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler,
kontinyu)
Aksis IV : awitan terjadinya nyeri
Aksis V : etiologi nyeri
Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi:7
a. Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral.
Stimulasi nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung
akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel
imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.

4
b. Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi
primer pada sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada
jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan
terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas
dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau
adanya sara tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat
menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara
mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang
kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP).
SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering
menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik
konvensional.

c. Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya
cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien
tenang.
Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
1. Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini
ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi,
hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah :
menyeringai atau menangis Bentuk nyeri akut dapat berupa:
a. Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa
b. Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan
jaringan ikat
c. Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral
2. Nyeri kronik

5
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda aktivitas
otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang
tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau
awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan.
Nyeri ini disebabkan oleh :
1. kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
2. non kanker akibat trauma, proses degenerasi.
Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Nyeri onkologik
b. Nyeri non onkologik
Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:
a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari
hari dan menjelang tidur.
b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang
bila penderita tidur.
c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak
dapat tidur dan dering terjaga akibat nyeri.

C. Patofisiologi
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh,
seperti pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi
akan mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya
dan dapat menimbulkan nyeri. akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator
seperti zat-zat algesik, sitokin serta produkproduk seluler yang lain, seperti
metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat
menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik.12
Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan
sampai dirasakan nyeri adalah disebut sebagai sebuah proses elektrofisiologis.
Ada 4 proses yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu:13
1. Transduksi

6
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas
listrik di reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti
prostaglandin dari sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast,
serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat
berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).
2. Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor
saraf perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan
serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana
impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh
traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya
impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui
neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan
sebagai persepsi nyeri.
3. Modulasi
Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang
dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi
ini juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau
meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri.
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari
proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya
menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri.
Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf
A yang bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin
(konduksi lambat). Serat A delta mempunyai diameter lebih besar dibanding
dengan serat C. Serat A delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30
m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Walaupun keduanya peka
terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki perbedaan, baik

7
reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu
posterior. Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus
mekanik dan termal, sedangkan serabut C peka terhadap berbagai stimulus
noksius, meliputi mekanik, termal dan kimiawi. Oleh karena itu reseptor
serabut C disebut juga sebagai polymodal nociceptors. Demikian pula
neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps adalah asam
glutamat, sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga
substansi P (neurokinin) yang merupakan polipeptida.10
Sensitisasi Perifer. Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan
menyebabkan terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi
terlepasnya mediator inflamasi dari sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih
dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang melepaskan mediator kimia
yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler
sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma.13
Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator inflamasi
seperti ion kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan
produk-produk siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam
arakidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator kimia inilah yang
menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut di atas. Akibat dari
sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri
sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang
ditandai dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada
daerah jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh
adanya perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun
sekitarnya..
Sensitisasi Sentral. Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai
akibat pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu
dorsalis medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat
seirama dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan
sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius.
Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir

8
dari serabut aferen pertama dan second-order neuron sebagai neuron
penerima dari neuron pertama. Second-order neuron-lah yang memainkan
peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus
noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua
jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif
responsif terhadap impuls dari serabut A dan serabut C. Neuron kedua disebut
wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus
noksius maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya
respon treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi
peningkatan signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi.13
Tindakan pembedahan mengakibatkan trauma pada jaringan yang akan
menyebabkan pelepasan mediator inflamasi sehingga menimbulkan nyeri
yang poten. Semakin meningkatnya tindakan pembedahan akan semakin
banyak pula orang yang mengalami nyeri akut akibat pembedahan.13

D. Pengukuran Intensitas Nyeri


Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh
psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri
merupakan masalah yang relatif sulit. Ada beberapa metoda yang umumnya
digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara lain: 12,14
a. Verbal Rating Scale (VRSs)
Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10 untuk menggambarkan
tingkat nyeri. Dua ujung ekstrem juga digunakan pada skala ini, sama
seperti pada VAS atau skala reda nyeri. Skala numerik verbal ini lebih
bermanfaat pada periode pascabedah, karena secara alami verbal / kata-
kata tidak terlalu mengandalkan koordinasi visual dan motorik. Skala
verbal menggunakan kata - kata dan bukan garis atau angka untuk
menggambarkan tingkat nyeri. Skala yang digunakan dapat berupa tidak
ada nyeri, sedang, parah. Hilang/redanya nyeri dapat dinyatakan sebagai
sama sekali tidak hilang, sedikit berkurang, cukup berkurang, baik/ nyeri

9
hilang sama sekali. Karena skala ini membatasi pilihan kata pasien, skala
ini tidak dapat membedakan berbagai tipe nyeri.

Gambar 2.1. Verbal Rating Scale

b. Numerical Rating Scale (NRSs)


Dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitif terhadap dosis, jenis
kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik daripada VAS terutama untuk
menilai nyeri akut. Namun, kekurangannya adalah keterbatasan pilihan
kata untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak memungkinkan untuk
membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan dianggap terdapat jarak
yang sama antar kata yang menggambarkan efek analgesik.

Gambar 2.2. Numerical Rating Scale

c. Visual Analogue Scale (VASs)


Visual analog scale (VAS) adalah cara yang paling banyak digunakan
untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan secara visual
gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang pasien. Rentang
nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda
pada tiap sentimete. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa
angka atau pernyataan deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada
nyeri, sedangkan ujung yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang
mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal. VAS juga

10
dapat diadaptasi menjadi skala hilangnya/reda rasa nyeri. Digunakan
pada pasien anak >8 tahun dan dewasa. Manfaat utama VAS adalah
penggunaannya sangat mudah dan sederhana. Namun, untuk periode
pasca bedah, VAS tidak banyak bermanfaat karena VAS memerlukan
koordinasi visual dan motorik serta kemampuan konsentrasi.

Gambar 2.3. Visual Analog Scale

11
d. McGill Pain Questionnaire (MPQ)
Metoda ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejal
nyeri yang dirasakan. Metoda ini menggambarkan nyeri dari berbagai
aspek antara lain sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri
digambarkan dengan merangking dari ”0” sampai ”3”.
e. The Faces Pain Scale
Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk
menilai intensitas nyeri pada anak-anak.

Gambar 2.4. Faces Pain Scale

E. Diagnostik Nyeri
Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Berkenaan dengan hal ini
diagnostik nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya
nyeri. Langkah ini meliputi langkah anamnesa, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan kalau perlu pemeriksaan radiologi serta
pemeriksaan imaging dan lain-lain. Dengan demikian diagnostik terutama
ditujukan untuk mencari penyebab. Dengan menanggulangi penyebab,
keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pemeriksaan laboratorium spesifik
untuk menegakkan diagnosa nyeri tidak ada.7,10
Pemeriksaan terhadap nyeri harus dilakukan dengan seksama yng
dilakukan sebelum pengobatan dimulai, secara teratur setelah pengobatan
dimulai, setiap saat bila ada laporan nyeri baru dan setelah interval terapi 15-
30 menit setelah pemberian parenteral dan 1 jam setelah pemberian peroral.12
Dalam melakukan anamnesis terhadap nyeri kita harus mengatahui
bagaimana kualitas nyeri yang diderita meliputi awitan, lama, dan variasi
yang ditimbulkan untuk mengetahui penyebab nyeri. Selain itu, kita juga

12
harus mengetahui lokasi dari nyeri yang diderita apakah dirasakan diseluruh
tubuh atau hanya pada bagian tubuh tertentu. intensitas nyeri juga penting
ditanyakan untuk menetapkan derajat nyeri. Tanyakan pula keadaan yang
memperberat atau memperingan nyeri. Tanyakan pula tentang penyakit
sebelumnya, penggobatan yang pernah dijalani, dan alergi obat.12
Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan
patofisiologi nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk
mendapatkan hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri
menyebabkan stimulus simpatik seperti takikardia, hiperventilasi dan
hipertensi. Pemeriksaan Glasgow come scale rutin dilaksanakan untuk
mengetahui apakah ada proses patologi di intracranial. Pemeriksaan khusus
neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat penting dilakukan dan
yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia, hiperastesia, hiperpatia
dan alodinia pada daerah nyeri yang penting menggambarkan kemungkinan
nyeri neurogenik. 12
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengatahui
penyebab dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan
laboratorium dan imaging seperti foto polos, CT scan, MRI atau bone scan.12

F. Mekanisme Kerja Obat Analgetik


Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral.
Golongan obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan
mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa
prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik opioid bekerja di sentral
dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga
terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal
tidak terjadi. Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat
yang mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang
lepas ini akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi,
edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga

13
prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu
rangsangan nyeri (nosiseptif).4,8
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis
sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari
enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal
ini menghasilkan kedua efek yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi)
maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan
perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan dua isoenzim, yaitu
ubiquitously dan constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang
diinduksikan inflamasi COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa
lambung, parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses
homeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan
fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan
terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi,
demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien di medulla
spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam
sensitisasi sentral.

G. Manajemen Nyeri
1. Farmakologis
World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk
meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun,
formula ini dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena
memiliki strategi yang logis untuk mengatasi nyeri. Formulasi ini
menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan adalah Obat
Anti- Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol yang merupakan
obat-obatan yang bekerja di perifer. Apabila dengan obat-obatan ini, nyeri
tidak dapat teratasi, maka diberikan obat-obatan golongan opioid lemah
seperti kodein dan dextropropoxyphene. Apabila regimen ini tidak juga

14
dapat mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan
golongan opioid kuat, misalnya morfin.12

Gambar 2.5. WHO Analgesic Ladder

Baru-baru ini dikembangkan World Federation of Societies of


Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic Ladder telah dikembangkan untuk
mengobati nyeri akut. Pada awalnya, nyeri dapat dianggap sebagai
keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik yang
kuat. Biasanya, nyeri pasca operasi akan berkurang seiring berjalannya
waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan dapat
dihentikan. Anak tangga kedua adalah pemulihan penggunaan rute oral
untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak lagi diperlukan dan
analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi
dari obat-obat yang berkerja di perifer dan opioid lemah. Langkah terakhir
adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan menggunakan
obatobatan yang bekerja di perifer.15

Gambar 2.6. WFSA Analgesic Ladder

15
Gambar 2.7. Pemilihan Farmakologis untuk manajemen nyeri

16
Analgesik Non-Opioid
Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum
digunakan diseluruh dunia adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS,
yang merupakan obat-obatan utama untuk nyeri ringan sampai
sedang.5,9 Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara
luas di seluruh dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat
karena segera dimetabolisme menjadi asam salisilat yang memiliki
sifat analgesik dan, mungkin anti-inflamasi.15
Dalam dosis terapeutik, asam salisilat memiliki waktu paruh
hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga dosis tinggi
akan mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin
dapat berkurang apabila diberika bersama-sama dengan antasida.
Dosis berkisar dari minimal 500mg, per oral, setiap 4 jam hingga
maksimum 4 g, per oral per hari. Aspirin memiliki efek samping yang
cukup besar pada saluran pencernaan, menyebabkan mual, gangguan
dan perdarahan gastrointestinal akibat efek antiplateletnya yang
irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan aspirin untuk pain relief
pascaoperasi harus dihindari apabila masih tersedia obat-obatan
alternatif lainnya.10 Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
memiliki dua efek, analgesik dan antiinflamasi. Semua OAINS
bekerja dengan cara yang sama dan karenanya tidak ada gunanya
memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada
umumnya, lebih berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan
kulit, mukosa buccal, dan permukaan sendi tulang.3,8
Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya
dan lamanya tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus
selama jangka waktu yang panjang maka dipilih obat dengan waktu
paruh yang panjang dan efek klinis yang lama. Namun, obat-obatan
kelompok ini memiliki insiden tinggi untuk efek samping penggunaan
jangka panjang dan harus digunakan dengan hati-hati. Semua OAINS

17
mempunyai aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan
pemanjangan waktu perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat
sintesis prostaglandin dalam mukosa lambung dan dengan demikian
menghasilkan pendarahan lambung sebagai efek samping.15
Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain
adalah: setiap riwayat ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal;
operasi yang berhubungan dengan kehilangan darah yang banyak,
asma, gangguan ginjal sedang hingga berat, dehidrasi dan setiap
riwayat hipersensitif untuk OAINS atau aspirin. Ibuprofen merupakan
obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara klinis efektif,
murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah
dibandingkan dengan OAINS dan asam mefenamat. Apabila rute oral
tidak tersedia obat dapat diberikan dengan rute lain seperti supositoria,
injeksi atau topikal. Aspirin dan sebagian besar OAINS tersedia
sebagai supositoria dan diserap dengan baik.15

Opioid Lemah
Codeine Merupakan opioid lemah yang berasal dari opium
alkaloid (seperti morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin,
memiliki efek yang dapat diprediksi bila diberikan secara oral dan
efektif terhadap rasa sakit ringan hingga sedang. Codeine dapat
dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus berhati-hati untuk

18
tidak melampaui maksimum dosis yang dianjurkan bila menggunakan
kombinasi parasetamol tablet. Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg
setiap 4 jam dengan maksimum 300 mg setiap hari.
Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan dengan metadon
tetapi memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal ini sering
dipasarkan dalam kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan
yang sama seperti Codeine harus diawasi. Dosis berkisar dari 32.5mg
(dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai 60mg setiap 4 jam
dengan maksimum 300mg setiap hari.15
Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer
sangat berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit
yang berlebihan tidak diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan
digunakan: Parasetamol 500 mg / codeine 8 mg tablet, 2 tablet setiap 4
jam sampai maksimum 8 tablet perhari. Apabila analgesia tidak
mencukupi - Parasetamol 1g secara oral dengan Kodein 30 sampai
60mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum 4 dosis dapat digunakan.
Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgesik sentral dengan afinitas rendah
pada reseptor mu dan kelemahan analgesiknya 10-20 % dari morfin.
Tramal dapat diberikan secara oral dan dapat diulang setiap 4-6 jam
dengan dosis maksimal 400 mg per hari. Opioid Kuat Nyeri hebat
yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral membutuhkan
opioid kuat sebagai analgesianya. Rute oral mungkin tersedia pada
pasien yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga opioid
kuat seperti morfin dapat digunakan karena morfin sangat efektif per
oral. Bila pasien tidak dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara
pemberian lain harus dilakukan.15

19
Morfin
Morfin paling larut dalam air dibandingkan golongan opioid lainnya
dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting). Morfin memiliki
dua sifat yang mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) yaitu depresi
(analgesi, sedasi, perubahan emosi dan hipoventilasi alveolar) dan
stimulasi (stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiperaktif
refleks spinal, konvulsi dan sekresi hormon anti diuretik / ADH).
Morfin juga menyebabkan hipotensi ortostatik. Kontra indikasi
pemakaian morfin pada kasus asma dan bronkitis kronis karena efek
bronkokontriksinya. Efek sampingnya juga menyebabkan pruritus,
konstipasi dan retensio urin. Morfin dapat diberikan secara sub kutan,
intra muskular, intra vena, epidural dan intra tekal. Dosis anjuran
untuk mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/kgBB secara sub
kutan, intra muskular dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat
dewasa dapat diberikan 1-2 mg intra vena dan diulang sesuai
kebutuhan. Untuk megurangi nyeri dewasa paska bedah dan nyeri
persalinan digunakan dosis 2-4 mg epidural atau 0,05-0,2 mg
intratekal, dan ini dapat diulang antara 6-12 jam.15
Petidin
Petidin (meperidin, Demerol) adalah zat sintetik yang formulanya
sangat berbeda dengan morfin, tetapi memiliki efek klinik dan efek
samping yang mendekati sama. Perbedaan dengan morfin adalah
sebagai berikut:
5. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang
lebih larut dalam air
6. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan
normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat.
7. Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut,
kekaburan pandangan, dan takikardi.

20
8. Seperti morfin, dapat menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap
sfingter Oddi lebih ringan.
9. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetar pasca bedah
yang tidak ada hubungan dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg
iv pada dewasa. Sedangkan morfin tidak.
10. Lama kerja petidin lebih pendek daripada morfin.
Fentanyl
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan
100 kali morfin, lebih larut dalam lemak dan menembus sawar
jaringan dengan mudah. Efek depresi nafas lebih lama dibandingkan
dengan efek analgesiknya. Dosis 1-3 µg/kgBB analgesiknya
berlangsung kira-kira 30 menit, karena itu hanya digunakan untuk
anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.15
Anestesi Lokal Respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait
dengan berkurangnya perdarahan dan nyeri yang teratasi dengan baik.
Ada beberapa teknik anestesi lokal sederhana yang dapat dilanjutkan
ke periode pasca-operasi untuk memberikan pain relief yang efektif. 10
Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti
Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama
beberapa jam. Apabila nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang
atau dengan menggunakan infus. Blokade pleksus atau saraf perifer
akan memberikan analgesia selektif di bagian-bagian tubuh yang
terkait oleh pleksus atau saraf tersebut.12
PCA (Patient Control Analgesia) Pasien dikontrol nyerinya dengan
memberikan obat analgesik itu sendiri dengan memakai alat (pump),
dosis diberikan sesuai dengan tingkatan nyeri yang dirasakan. PCA
bisa diberikan dengan cara Intravenous Patient Control Analgesia
(IVPCA) atau Patient Control Epidural Analgesia (PCEA), namun
dengan cara ini memerlukan biaya yang mahal baik peralatan maupun
tindakannya.12

21
Agent % solution Duratio Max. single % Comments
for n dose mg/kg. solution
analgesic (hours) (Total mg in for
blocks adults* see infusion
footnote)
Lignocaine
Rapid
onset.
Dense
motor
block.
Infiltration 0.5-1 1-2 7 -
Epidural 1-2 1-2 (500) 0.3-0.7
Plexus or 0.75-1.5 1-3 0.5-1.0
nerve
Mepivacaine Rapid
onset.
Dense
motor
block.
Longer
action than
lignocaine.
Infiltration 0.5-1 1.5-3 7 -
Epidural 1-2 1.5-3 (500) 0.3-0.7
Plexus or 0.75-1.5 2-4 0.5-1.0
nerve
Prilocaine Rapid
onset.
Dense
motor
block. Least
toxic amide
agent.
Methaema-
globinaemia
>600mg
Infiltration 0.5-1 1-2 8.5 -
Epidural 2-3 1-3 (600) 0.5-1
Plexus or 1.5-2 1.5-3 0.75-
nerve 1.25

Bupivacaine Avoid
0.75% in
obstetrics.
Mainly
sensory
block at low
concen-
trations.

22
Cardiotoxic
after rapid
IV
injection.
Infiltration 0.125-0.25 1.5-6 3.5 -
Epidural 0.25-0.75 1.5-5 (225) 0.0625-
0.125
Plexus or 0.25-0.5 8-24+ 0.125- 0.25
nerve
Chloroprocaine Lowest
systemic
toxicity of
all agents.
Motor /
sensory
deficits may
follow
intrathecal
injection.

Infiltration 1 0.5-1 14 -
2. Non Farmakologis
Berikut ini merupakan tabel yang menyajikan terapi non farmakologis
yang sering dipakai.12

2.2 Chocking (Tersedak)


A. Definisi
Choking (tersedak) adalah tersumbatnya saluran napas akibat benda asing
secara total atau sebagian, sehingga menyebabkan korban sulit bernapas dan
kekurangan oksigen, bahkan dapat segera menimbulkan kematian.7

23
Tersedak merupakan pembunuh tercepat, lebih cepat dibandingkan
gangguan breathing dan circulation. Pada orang dewasa, tersedak paling sering
terjadi ketika makanan tidak dikunyah sempurna, serta makan sambil
berbicara atau tertawa. Pada anak-anak, penyebab tersedak adalah tidak
dikunyahnya makanan dengan sempurna dan makan terlalu banyak pada satu
waktu. Selain itu, anak-anak juga sering memasukkan benda-benda padat kecil
ke dalam mulutnya. Penyebab bayi tersedak diantaranya adalah posisi
menyusui yang salah dan terlalu banyak susu yang masuk kedalam mulut bayi
yang tidak seimbang dengan kemampuan bayi menyedotnya, sehingga
membuat bayi kesulitan bernapas, dan menghalangi keluar masuknya udara,
sehingga pada saat inspirasi, laring terbuka dan minuman atau benda asing
masuk kedalam laring, kemudian benda asing itu terjepit di sfingter laring.8
Tersedak merupakan suatu kegawat daruratan yang sangat berbahaya,
karena dalam beberapa menit akan terjadi kekurangan oksigen secara general
atau menyeluruh sehingga hanya dalam hitungan menit klien akan kehilangan
reflek nafas, denyut jantung dan kematian secara permanen dari batang otak,
dalam bahasa lain kematian dari individu tersebut. Ketika tersedak, anak
mungkin sudah tidak bisa mengeluarkan suara dengan jelas untuk mengatakan
sakitnya, anak merasa tercekik dan berusaha untuk batuk dan kemudian akan
membuat usaha napas tersengal-sengal. Sianosis akan terjadi, kepala dan leher
terlihat kongesti/membengkak, disertai penurunan kesadaran.12

B. Gejala
Pengenalan tanda-tanda tersedak merupakan kunci dari keberhasilan
penanganan. Benda asing dapat menyebabkan penyumbatan yang ringan atau
berat. Penyelamat harus segera melakukan penanganan jika korban tersedak
menunjukkan tanda-tanda penyumbatan yang berat, yaitu tanda-tanda
pertukaran udara yang buruk dan kesulitan bernapas, antara lain batuk tanpa
suara, kebiruan, dan ketidakmampuan untuk berbicara atau bernapas.3
Korban dapat sambil memegang atau mencengkeram lehernya. Hal itu
merupakan tanda umum dari tersedak. Segera tanyakan, “Apa anda tersedak?”

24
Jika korban mengiyakan dengan bersuara dan masih dapat bernapas, ini dapat
menunjukkan korban mengalami sumbatan saluran napas yang ringan. Jika
korban mengiyakan dengan menganggukkan kepalanya tanpa berbicara, ini
dapat menunjukkan korban mengalami sumbatan saluran napas yang berat.
Pada bayi yang tersedak, harus diperhatikan apakah ada perubahan sikap
menyebabkan bayi karena mereka belum bisa melakukan tanda umum
tersedak. Perubahan yang mungkin terlihat adalah kesulitan bernapas, batuk
yang lemah, dan suara tangisan lemah.4

C. Penanganan
 Penanganan tersedak pada anak-anak dan orang dewasa
Terdapat beberapa manuver yang terbukti efektif untuk menangani
tersedak, antara lain back blow (tepukan di punggung), abdominal
thrust (hentakan pada perut) disebut juga dengan manuver Heimlich,
dan chest thrust (hentakan pada dada).13
a. Tepukan di punggung (back blow)
Tepukan di punggung (back blow) dilakukan dengan memberikan
lima kali tepukan di punggung korban. Berikut cara melakukan
tepukan di punggung (back blow):
1) Berdiri di belakang korban den sedikit bergeser kesamping.
2) Miringkan korban sedikit ke depan dan sangga dada korban
dengan salah satu tangan.
3) Berikan lima kali tepukan di punggung bagian atas di antara
tulang belikat menggunakan tangan bagian bawah.
b. Manuver hentakan pada perut (Heimlich Manuver)
Heimlich Manuver hentakan pada perut hanya boleh dilakukan
untuk anak berusia diatas 1 tahun dan dewasa. Manuver hentakan
pada perut dapat membuat korban batuk yang diharapkan cukup
kuat untuk menghilangkan sumbatan pada saluran napas. Manuver
hentakan pada perut membuat tekanan (penekanan) pada paru-paru
dan memaksa udara keluar. Udara yang dipaksa keluar juga akan
memaksa keluar benda yang membuat korban tersedak.

25
Berikut cara melakukan manuver hentakan pada perut:
1) Miringkan korban sedikit ke depan dan berdiri di belakang
korban dan letakkan salah satu kaki di sela kedua kaki korban.
2) Buat kepalan pada satu tangan dengan tangan lain menggenggam
kepalan tangan tersebut. Lingkarka tubuh korban dengan kedua
lengan kita.
3) Letakkan kepalan tangan pada garis tengah tubuh korban tepat di
bawah tulang dada atau di ulu hati.
4) Buat gerakan ke dalam dan ke atas secara cepat dan kuat untuk
membantu korban membatukkan benda yang menyumbat saluran
napasnya. Manuver ini terus diulang hingga korban dapat kembali
bernapas atau hingga korban kehilangan kesadaran.
5) Jika korban kehilangan kesadaran, baringkan korban secara
perlahan sehingga posisinya terlentang dan mulai lakukan RJP.
Setiap saluran napas dibuka saat RJP, penyelamat harus memeriksa
apakah terdapat benda asing pada mulut korban dan mengambilnya
apabila menemukannya.
c. Manuver hentakan pada dada (chest thrust)
Apabila korban tersedak sedang hamil atau mengalami kegemukan,
manuver hentakan pada perut mungkin tidak efektif. Pada
keadaaan-keadaan tersebut, dapat dilakukan manuver hentakan pada
dada.
1) Letakkan tangan di bawah ketiak korban
2) Lingkari dada korban dengan lengan kita
3) Letakkan bagian ibu jari pada kepalan di tengah-tengah tulang
dada korban (sama seperti tempat melakukan penekanan dada pada
RJP)
4) Genggam kepalan tangan tersebut dengan tangan satunya dan
hentakan ke dalam dan ke atas.
 Penanganan tersedak pada bayi

26
Perlu diketahui bahwa manuver hentakan pada perut tidak
direkomendasikan untuk bayi dengan usia di bawah 1 tahun karena
dapat menyebabkan cedera pada organ dalamnya sehingga untuk
mengatasi tersedak dilakukan manuver tepukan di punggung dan
hentakan pada dada.8
Berikut langkah-langkah manuver tepukan punggung dan hentakan
dada pada bayi:
a. Posisikan bayi menelungkup dan lakukan tepukan di punggung
dengan menggunakan pangkal telapak tangan sebanyak lima kali.
b. Kemudian, dari posisi menelungkup, telapak tangan kita yang bebas
menopang bagian belakang kepala bayi sehingga bayi berada diantara
kedua tangan kita (tangan satu menopang bagian belakang kepala bayi,
dan satunya menopang mulut dan wajah bayi).
c. Lalu, balikan bayi sehingga bayi berada pada posisi menengadah
dengan telapak tangan yang berada di atas paha menopang belakang
kepala bayi dan tangan lainnya bebas.
d. Lakukan manuver hentakan pada dada sebanyak lima kali dengan
menggunakan jari tengah dan telunjuk tangan yang bebas di tempat
yang sama dilakukan penekanan dada saat RJP pada bayi.
e. Jika korban menjadi tidak sadar, lakukan RJP
f. Jika penyelamat tidak yakin dengan apa yang harus dilakukan,
segera aktivasi SPGDT, jangan ditunda. Penyelamat mungkin dapat
berhasil menghentikan korban tersedak sebelum bantuan datang
namun akan lebih baik jika korban ditangani oleh tenaga medis. Jika
masih terdapat benda asing pada saluran napas, tenaga medis yang
datang dapat melakukan penanganan segera dan membawa korban ke
rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.

D. Pencegahan
Setengah dari orang-orang dewasa tidak tahu apa yang harus dilakukan
agar anak tidak tesedak. Selain itu, survey yang dilakukan The Home Safety

27
Council menemukan banyak masyarakat Amerika Serikat yang tidak peduli
dan tidak tahu penyebab tersedak bisa terjadi, dikarenakan pendidikan yang
ibu miliki, pengetahuan yang kurang tentang perawatan anak serta informasi
yang kurang dan didukung umur ibu.4
Informasi dan edukasi dibutuhkan, karenanya, tidak hanya keamanan dan
pencegahan kecelakaan, tapi juga penanganan yang cepat dan tepat. Salah satu
upaya agar informasi dapat dipahami dan dapat memberikan dampak
perubahan perilaku masyarakat khususnya keluarga adalah dengan
menggunakan edukasi sebagai salah satu metode tersampainya informasi. Hal
ini dikarenakan edukasi merupakan salah satu cara pendekatan pada keluarga
yang baik dan efektif dalam rangka memberikan atau menyampaikan pesan
atau informasi kesehatan dengan tujuan untuk mengubah perilaku dengan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan keluarga. Sehingga masyarakat
tidak hanya sadar, tahu, dan mengerti tetapi juga mau dan bisa melakukan
suatu anjuran yang ada hubungan dengan kesehatan yaitu tentang pencegahan
dan pelaksananaan tersedak pada anak sehingga adakan meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam melakukannya.5
Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah bayi tersedak,
diantaranya dengan memperhatikan cara menyusui yang baik dan benar sesaat
sebelum menyusui. Tersedak memang sepintas terlihat sepele, namun jika di
lakukan dengan penanganan yang salah akan menyebabkan fatal. Sebagai
tenaga kesehatan harus benar-benar dapat menjelaskan di dalam melakukan
edukasi tentang penanganan tersedak, lebih baik mencegah dari pada
menangani. Menyendawakan bayi adalah salah satu upaya mengeluarkan gas
yang ikut masuk ke dalam perutnya saat ia menyusu. Biasanya, bayi baru lahir
belum tahu cara menyusu yang benar atau masih bingung cara menyusu dari
botol, sehingga, saat mengenyot puting susu ibunya atau dot, terdengar suara
atau mengecap. Saat hal itu, udara dari luar ikut masuk ke dalam mulutnya.
Jika tidak disendawakan, maka bayi akan gumoh (muntah), atau bahkan dapat
tersedak air susunya sendiri.7

2.3. Pengenalan Pasien Kritis

28
A. Definisi
Sakit kritis adalah proses semua penyakit yang menyebabkan
ketidakstabilan fisiologis yang mengarah ke disabilitas/kecacatan atau
kematian dalam beberapa menit atau beberapa jam secara signifikan. Pada
kebanyakan pasien, sakit kritis didahului oleh periode penurunan fisiologis,
tetapi bukti menunjukkan bahwa tanda-tanda awal ini seringkali
terlewatkan.18
Pasien yang sakit kritis adalah pasien yang memiliki salah satu risiko besar
akan kematian; keparahan penyakit harus dideteksi sejak awal dan mengambil
langkah yang tepat dalam menilai, mendiagnosis serta penatalaksanaanya.18

29
B. Penilaian Awal Pasien Kritis
1. Diagnosis Pasien Kritis di ruangan
Dokter jaga ruangan atau perawat perlu memiliki pengetahuan yang baik
tentang pasien yang beresiko dan berkembang menjadi kritis, gejala dini
pasien yang berpotensi kritis, pemantauan pasien yang beresiko kritis,
melakukan monitoring selama di perjalanan dari ruangan ke ICU.19

Gambar 2.8. Penilaian awal pasien kritis

2. Pasien yang Beresiko Penyakit Kritis


Beberapa kelompok pasien beresiko tinggi menjadi kritis oleh karena
asal penyakitnya, keadaan fisiologis yang tidak dapat menahan

30
perkembangan penyakit, monitoring yang tidak lengkap atau karena
penanganan yang kurang optimal. Pasien-pasien seperti ini perlu mendapat
perhatian yang lebih serius terhadap tanda perburukan serta perlunya
tindakan yang sesuai dengan segera untuk menghentikan proses perburukan
tersebut.
Pasien yang beresiko menjadi kritis yaitu : Pasien emergensi, komorbid
serius seperti penyakit jantung, penyakit paru, pasca bedah mayor, pasca
bedah disertai komorbid kardiovaskuler, diabetes, penyakit paru dan lain-
lain.20
3. Riwayat dan Tanda Penyakit Kritis
Sebagian besar pasien sebelum masuk perawatan ICU mempunyai
riwayat difungsi fisiologis yang seringkali berkembang hingga perlu
mendapatkan resusitasi kardiopulmonar. Kelainan patofisiologis yang utama
sebelum terjadi henti jantung adalah gejala respiratorik, metabolik, jantung
dan neurologik dan hal ini biasanya berhubungan. Riwayat klinik yang
berdasarkan kriteria fisiologis telah diidentifikasi menghasilkan protokol
dasar pengawasan atau sistem skoring untuk mendiagnosis ancaman atau
timbulnya penyakit kritis. Sebagai contoh adalah sistem Skor dari bagian
ICU adalah Early Warning Score.20

C. Early Warning Score (EWS)


Skor penilaian dini (Early Warning Score) merupakan salah satu
deteksi dini untuk memprediksi adanya perburukan dengan tujuan untuk
mengidentifikasi perburukan klinis yang terjadi pada pasien yang sudah
mempunyai beberapa kebutuhan medis.21,22
Studi observasional menunjukkan bahwa pasien sering menunjukkan
tanda-tanda perburukkan klinis hingga 24 jam sebelum peristiwa klinis yang
serius membutuhkan intervensi intensif. System skor peringatan dini (EWS)
sering digunakan oleh tim perawatan rumah sakit untuk mengenali tanda-
tanda awal perburukan klinis dan memicu perawatan yang lebih intensif
seperti meningkatkan perhatian keperawatan, memberi tahu penyedia

31
perawatan, atau mengaktifkan tim respon cepat atau tim darurat medis.
Penggunaan EWS telah meningkat sejak Institute for Healthcare
Improvement meluncurkan 100.000 lives campaign di tahun 2004, dimana
penggunaan tim respon cepat direkomendasikan untuk menyelamatkan
nyawa. Banyak system rumah sakit telah menerapkan penggunaan skor
EWS dan meskipun bukti menunjukkan bahwa hal ini mengarah pada
peningkatan penggunaan tim respon cepat dan penerimaan ke ruang
perawatan intensif (Intensive Care Unit).23

D. Klasifikasi EWS
1. National Early Warning Score (NEWS)
NEWS didasarkan pada sistem penilaian agregat sederhana di mana
skor dialokasikan untuk fisiologis pengukuran, sudah direkam dalam
praktek rutin, ketika pasien datang atau sedang dimonitor di Rumah Sakit.
Di Inggris, Royal College of Physicians mengembangkan Skor
Peringatan Dini Nasional (NEWS) pada tahun 2012 untuk menggantikan
skor lokal atau regional. Skor NEWS adalah upaya EWS nasional terbesar
hingga saat ini dan telah diadopsi di luar Inggris.
Versi kedua dari skor diperkenalkan pada 2017. Versi yang direvisi
dioptimalkan untuk identifikasi sepsis, target oksigen alternatif pada orang
dengan penyakit paru-paru yang mendasarinya, dan timbulnya delirium.
Panduan implementasi tambahan dikeluarkan pada Maret 2020.27
Sementara banyak rumah sakit masih menggunakan skor lain, telah
diusulkan bahwa semua organisasi layanan kesehatan harus menggunakan
skor yang sama untuk kepentingan keselamatan pasien. Terdapat enam
parameter fisiologis sederhana membentuk dasar sistem penilaian yaitu : 27
- Laju Pernafasan (Respiratory rate)
Laju pernafasan normal pada orang dewasa adalah 12 sampai dengan
20 kali per menit. Laju pernafasan harus dihitung selama satu menit
agar data akurat. Peningkatan laju pernafasan menjadi tanda yang
berpengaruh kuat terhadap adanya distres dan kegawatan akut. Pada

32
skoring EWS, laju pernafasan kurang dari 8 atau lebih dari 24 kali per
menit menjadi tanda (warning) kegawatan untuk segera ditangani.
Penanganan kegawatan dilakukan untuk mempertahankan kecukupan
oksigen ketika terjadi peningkatan maupun penurunan laju pernafasan
sesuai algoritma EWS.
- Saturasi Oksigen
Saturasi oksigen merupakan pengukuran kadar oksigen dalam darah.
Pemeriksaan oksigen tanpa prosedur invasi sering digunakan di rumah
sakit dengan penggunakan oksimetri. Kadar oksigen dalam darah yang
terdeteksi pada oksimetri memiliki nilai normal 97-100%. Pada
skoring EWS saturasi oksigen menjadi salah satu parameter yang
mengindikasikan adanya distres pernafasan. Tanda awal dimana tubuh
berkompensasi terhadap kurangnya oksigen dalam tubuh (hypoxia)
dengan meningkatkan laju pernafasan. Jika saturasi oksigen kurang
dari 90% maka perlu dilakukan tindakan pemberian oksigen.
- Tekanan darah sistolik (systolic blood pressure)
Pengukuran tekanan darah dilakukan pada kondisi istirahat. Sekurang-
kurangnya dua puluh menit setelah melakukan aktivitas dan dilakukan
pada lengan tanpa terhambat oleh kain tebal dan sejenisnya. Tujuannya
adalah agar diperoleh hasil yang lebih akurat. Terjadinya hipotensi
mengindikasikan adanya gangguan pada sistem sirkulasi terkait adanya
sepsis, penurunan volume darah, gagal jantung, gangguan irama
jantung, depresi neurologis dan efek terapi atau medikasi.Peningkatan
tekanan darah sistole diatas 200 mmHg dapat terjadi karena adanya
distres, nyeri dan panik, tergantung pada kondisi klinis pasien. Pada
penggunaan skoring EWS tekanan darah sistol dibawah 100 mmHg
menjadi tanda awal perburukan (deterioration).
- Denyut nadi (pulse rate)
Pengkajian nadi perlu dikaji irama, kekuatan, dan frekuensi. Frekuensi
nadi dihitung selama satu menit tanpa melakukan aktivitas. Nadi yang
cepat (takikardi) mengindikasikan adanya sepsis pada sistem sirkulasi
dan pembuluh darah, penurunan volume darah, aritmia, gangguan

33
metabolik seperti hepertiroid, keracunan obat dan dapat terjadi karena
gejala simtomatik yang ditimbulkan dari efek obat antikolonergik
Berdasarkan algoritma EWS, jika frekuensi nadi kurang dari 40 kali
per menit atau lebih dari 130 kali per menit maka perlu memanggil tim
gawat darurat.
- Tingkat Kesadaran (level of consciousness or new confusion)
Status neurologis dapat dinilai cepat dengan mengkaji tingkat
kesadaran pasien. Pengkajian tingkat kesadaran menjadi satu
kesatuan bersama pengukuran tanda-tanda vital. Pada area
keperawatan di ICU, umum digunakan Score ACVPU untuk
menilai kesadaran yang juga merupakan indikator dalam skoring
EWS.
- Alert : Pasien sadar penuh, mampu membuka mata spontan,
berespon terhadap suara (walaupun ada kebingungan) dan
fungsi motorik baik.
- Confusion : Pasien bisa saja alert, tetapi pasien bingung dan
disorientasi.
- Voice : Pasien menunjukkan respon saat diajak bicara, walaupun
respon mata, suara dan gerakan tidak berfungsi penuh. Seperti
saat ditanya keluhan, pasien hanya merintih atau menggerakkan
jarinya.
- Pain : Pasien berespon terhadap rangsang nyeri. Seperti fleksi
atau ekstensi ekstremitas atas.
- Unresponsive : Pasien tidak berespon secara verbal, visual
maupun motorik, keaadaan ini sering disebut dengan kondisi
tidak sadar (unconscious).
- Suhu (Temperature)
Suhu normal orang dewasa adalah antara 36,5 0C dan 37,20C.
Pengukuran suhu dilakukan minimal dua kali dalam sehari kecuali
pada pasien terminal dan paliatif (National Early Warning Score).
Peningkatan suhu (hipertermi) dan penurunan suhu yang ekstrim

34
(hipotermi) termasuk dalam dasar parameter sistem EWS yang
merefleksikan sensitivitas suhu tubuh dan menjadi penanda adanya
kerusakan pada sistem organ tubuh.
Penghitungan Skor NEWS
Menjelang akhir abad ke-20 bukti yang terkumpulkan menunjukkan
bahwa pasien di bangsal rumah sakit mengalami kematian serta kerugian
yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa serangan jantung atau kematian biasanya didahului oleh beberapa
jam fisiologi yang kacau. Rekomendasi dibuat untuk menempatkan system
di tempat untuk menggunakan informasi ini untuk mengidentifikasi dan
menanggapi perburukan yang sebelumnya tidak dikenali pada pasien.
Sebagai tanggapan, EWS pertama diterbitkan pada tahun 1997.23,24

Gambar 2.9. Penilaian Pasien dengan Skor NEWS27

35
Gambar 2.10. Interpretasi risiko scoring nilai NEWS27

Gambar 2.11. Lembar Observasi Scoring NEWS27

36
2. Pediatric Early Warning Score (PEWS)
Sistem PEWS dikembangkan untuk memberikan penilaian yang dapat
direproduksi terhadap status klinis anak saat dirawat di rumah sakit.
Sebagian besar penelitian yang menyelidiki PEWS mengevaluasi
kegunaannya dalam pengaturan rawat inap. Studi terbatas mengevaluasi
efektivitas dan intefrasi PEWS di departemen darurat pediatrik.28,29

Tabel 2.1. Pediatric Early Warning Score


Komponen 0 1 2 3
Perilaku Bermain/se Tidur Iritabel Letargi/bingung,
suai atau
berkurangnya
respons terhadap
nyeri
Kardiovaskular Merah Pucat atau Abu-abu atau Abu-abu atau
jambu atau waktu pengisian waktu mottled atau
waktu kapiler 3 detik pengisian waktu pengisian
pengisian kapiler 4 kapiler ≥ 5 detik
kapiler 1-2 detik atau atau takikardia >
detik takikardi > 20 30 laju normal
laju normal atau bradikardi.
Respirasi Normal, >10 diatas >20 diatas ≥ 5 dibawah
tidak ada normal, normal, normal dengan
retraksi penggunaan otot retraksi atau retraksi, merintih
bantu napas atau fiO2 30% atau fiO2 50%
fiO2 30% atau 3 atau 6 atau 8 L/menit.
L/menit L/menit
Skor 2 tambahan untuk ¼ jam nebulisasi (terus menerus) atau muntah persisten setelah
operasi

Pediatric Early Warning Score mempunyai skor total antara 0-13, skor
total ≥ 4 atau skor 3 pada salah satu domain PEWS, hal ini mencerminkan
nilai kritis yang mebutuhkan tindakan konsultatif.25,26

3. Modified Early Warning Score


Dimodifikasi untuk memenuhi persyaratan banyak orang dalam berbagai
situasi klinis.
Tabel 2.2. Penilaian Modified Early Warning Score

37
Gambar 2.12. Algoritma observasi dengan Scoring MEWS

4. Modified Early Obstetric Warning Score (MEOWS)


Modifikasi Skor Obstetri Peringatan Dini (MEOWS) telah dirancang
untuk memungkinkan pengakuan dini terhadap penurunan fisik pada wanita
yang mengalami partus dengan memantau parameter fisiologis mereka. Skor
> 0 memicu penggunaan 'panggilan kaskade' yang memberikan instruksi
spesifik mengenai tingkat pemantauan, rujukan untuk saran, ulasan, dan
tindakan segera untuk dipertimbangkan.30
Tabel 2.3. Penilaian Modified Early Obstetric Warning Score

38
39
E. Indikasi Penggunaan Skor EWS
Berdasarkan panduan klinis Early Warning Score (EWS), terdapat
beberapa kriteria pasien yang perlu dilakukan skoring EWS, meliputi :
- Pasien dewasa yang dirawat baik di ruang rawat penyakit dalam
maupun bedah.
- Semua pasien di area pelayanan rumah sakit, termasuk dalam
perawatan ODC (One Day Care), kateterisasi jantung, OPD (Out
Patient Departement) dan area perawatan khusus lainnya.
- Pasien dengan karakteristik khusus yaitu pasien anak-anak (pediatric),
ibu hamil (Obstetric) dan unit pelayanan khusus (ICU, ICCU, HCU,
HD) dengan menggunakan standar EWS yang telah dimodifikasi
(Modified Early Warning Score) seperti Pediatric Early Warning
Score (PEWS) dan Obstetric Early Warning Score (OEWS).
Berdasarkan National Health Services menyebutkan bahwa ada beberapa
pengecualian pasien yang tidak perlu dilakukan skoring EWS, meliputi:
pasien dengan penyakit terminal, pasien rawat inap yang sudah direncanakan
pulang, dan pasien-pasien yang tidak membutuhkan observasi
berkesinambungan.

F. Tingkat Perawatan Pasien Sakit Kritis


- Tingkat 0
Pasien-pasien stabil yang kebutuhannya dapat dipenuhi oleh perawatan di
bangsal rutin
- Tingkat 1
- Pasien yang kondisinya berisiko memburuk dan memerlukan
observasi klinis secara cermat yang dapat dilakukan di bangsal
umum
- Pasien yang baru-baru ini direlokasi dari tingkat perawatan yang
lebih tinggi yang kebutuhannya dapat dipenuhi dengan anjuran dan
dukungan dari tim perawatan klinis

40
- Tingkat 2 (HCU)
Pasien yang memerlukan pemantauan yang lebih mendetail (missal
tekanan darah arteri invasif, CVP). Bantuan untuk kegagalan sistem organ
tunggal, termasuk ventilasi tekanan positif non-invasif
Pasien-pasien pasca operasi tertentu (misal setelah operasi besar pada
pasien- pasien berisiko tinggi)
Pasien yang baru pindah dari perawatan tingkat 3 Tingkat 3 (ICU)
Pasien yang membutuhkan bantuan pernapasan lanjut (intubasi trakea dan
ventiasi mekanis)
Pasien-pasien dengan MOFS (multiple organ failure syndrome)

Gambar 2.13. Penatalaksanaan Pasien

41
BAB III
SKENARIO KASUS

Kasus 1: Manajemen Nyeri


Seorang perempuan berusia 26 tahun pasca operasi SC mengeluh kesakitan. Anda
yang bertugas sebagai dipanggil oleh perawat. Bagaimana tatalaksana manajemen
nyeri pasien tersebut?
Tatalaksana:
1. Farmakologis
Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali
diberikan adalah Obat Anti- Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol
yang merupakan obat-obatan yang bekerja di perifer. Apabila dengan obat-
obatan ini, nyeri tidak dapat teratasi, maka diberikan obat-obatan golongan
opioid lemah seperti kodein dan dextropropoxyphene. Apabila regimen ini
tidak juga dapat mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah
obat-obatan golongan opioid kuat, misalnya morfin.12
2. Non Farmakologis

Proses melahirkan yang sekarang sering dilakukan yaitu seksio


sesarea (SC) atas indikasi tertentu menjadi pilihan baik dokter maupun
pasien. Proses melahirkan adalah suatu proses emosional dimana

42
membutuhkan bonding antara ibu dan anak, sehingga mobilisasi ibu setelah
dilakukan SC sangatlah penting. Pembiusan pada SC dilakukan dengan spinal
anesthesia, epidural anesthesia, combine spinal and epidural anesthesia, dan
pembiusan.17 Seorang dokter anestesi akan mempertimbangkan pilihan
anestesi sesuai dengan kondisi ibu dan anak. Nyeri akut pascaoperasi yang
tidak mendapat penanganan yang adekuat menimbulkan respon patologis
yang muncul akibat aktivasi nosiseptor setelah trauma jaringan. Selanjutnya
akan terjadi aktivasi simpatoneural dan neuroendokrin yang berujung pada
gangguan seperti, takikardia, hipertensi, hiperglikemia, imunosupresi,
penurunan aliran darah regional atau stasis vena, dan agregasi trombosit.
Nyeri pascaoperasi yang muncul pada saat istirahat biasanya sedang,
rata- rata skala VAS antara 3 hingga 4 dari 10 selama 2–3 hari pertama
pascaoperasi. Skor nyeri ini tetap muncul walaupun sudah mendapatkan
terapi parenteral. Sementara itu, nyeri saat aktivitas, seperti batuk atau
berjalan memiliki rata-rata skala VAS 7 hingga 8. Nyeri saat aktivitas bersifat
sedang hingga berat bertahan selama beberapa hari hingga beberapa minggu
berikutnya. Analgesi Lokal Infiltrasi adalah suatu teknik yang memberikan
obat anestesi lokal yang diencerkan, dan diberikan adjuvant dari beberapa
obat seperti Non Steroid Antiinflamatory Drugs (NSAID), epinephrine, dan
opioid. Pemberian adjuvan dipilih sesuai dengan kondisi pasien, hal tersebut
berkaitan juga dengan jalur penanganan nyeri yang dibutuhkan oleh seorang
anestesiolog. Teknik pemberian obatobatan disebut multimodal local
infiltration analgesia. 18
Pemberian Local Infiltration Analgesia (LIA) pada pasien setelah
menjalani SC akan dapat mengurangi kebutuhan opioid. Obat-obat lokal
anestesi yang pada akhirnya diserap secara sistemik dapat mempengaruhi
jumlah sekresi Air Susu Ibu (ASI), namun tidak terdokumentasi membawa
pengaruh terhadap proses menyusui. Opioid memiliki efek samping pada
produksi ASI ibu dan pada foto kontras yang dilakukan pada pasien yang
menerima morphin dan pethidine terdapat transfer ke produksi ASI sehingga
dapat menyebabkan sedasi pada bayi. Pasien yang diberikan LIA diharapkan

43
dapat mengurangi nyeri dan hal ini sangat bermanfaat pada mobilisasi ibu,
proses menyusui, mengurangi postnatal depresssion.18
Menurut penelitian Yanti (2018) membandingkan manajemen nyeri
pasca operasi SC yang diberikan intervensi dengan LIA dan Parasetamol.
Ditemukan hasil pemberian intervensi LIA dapat lebih menurunkan VAS
pasien dibandingkan pemberian intervensi paracetamol intravena.18
Lokal Infiltrasi Analgesik (LIA) yang diberikan adalah ketorolac
sebesar 30 mg yang berperan menghambat produksi mediator eicosanoid pada
perifer dan menghambat respon kerusakan jaringan. Sintesis eicosanoid
diinisiasi oleh aktivasi fosfolipase A2 dan pelepasan asam arakidonat dari
membran fosfolipid. Selanjutnya asam arakidonat akan diubah dalam jalur
siklooksigenase (COX) dan lipoksigenase menjadi prostaglandin,
tromboksan, dan leukotriene yang berperan memberikan efek analgesic
lokal.18

Kasus 2: Chocking (Tersedak)


Seorang laki-laki retardasi mental berusia 22 tahun sedang berobat rutin ke rumah
sakit dengan ibunya. Ibu memanggil pertolongan orang sekitar karena anaknya
tersedak makanan dan tampak sesak. Anda yang kebetulan sedang berjalan di
sekitar dan mendengar suara ibu tersebut. Bagaimana tatalaksana yang akan anda
lakukan?
Tatalaksana:
3. Penanganan tersedak pada anak-anak dan orang dewasa
Terdapat beberapa manuver yang terbukti efektif untuk menangani tersedak,
antara lain back blow (tepukan di punggung), abdominal thrust (hentakan pada
perut) disebut juga dengan manuver Heimlich, dan chest thrust (hentakan pada
dada).13
a. Tepukan di punggung (back blow)
Tepukan di punggung (back blow) dilakukan dengan memberikan lima kali
tepukan di punggung korban. Berikut cara melakukan tepukan di punggung
(back blow):

44
1) Berdiri di belakang korban den sedikit bergeser kesamping.
2) Miringkan korban sedikit ke depan dan sangga dada korban dengan salah
satu tangan.
3) Berikan lima kali tepukan di punggung bagian atas di antara tulang
belikat menggunakan tangan bagian bawah.
b. Manuver hentakan pada perut (Heimlich Manuver)
Heimlich Manuver hentakan pada perut hanya boleh dilakukan untuk anak
berusia diatas 1 tahun dan dewasa. Manuver hentakan pada perut dapat
membuat korban batuk yang diharapkan cukup kuat untuk menghilangkan
sumbatan pada saluran napas.
Berikut cara melakukan manuver hentakan pada perut:
1) Miringkan korban sedikit ke depan dan berdiri di belakang korban dan
letakkan salah satu kaki di sela kedua kaki korban.
2) Buat kepalan pada satu tangan dengan tangan lain menggenggam kepalan
tangan tersebut. Lingkarka tubuh korban dengan kedua lengan kita.
3) Letakkan kepalan tangan pada garis tengah tubuh korban tepat di bawah
tulang dada atau di ulu hati.
4) Buat gerakan ke dalam dan ke atas secara cepat dan kuat untuk membantu
korban membatukkan benda yang menyumbat saluran napasnya.
Manuver ini terus diulang hingga korban dapat kembali bernapas atau
hingga korban kehilangan kesadaran.
5) Jika korban kehilangan kesadaran, baringkan korban secara perlahan
sehingga posisinya terlentang dan mulai lakukan RJP. Setiap saluran
napas dibuka saat RJP, penyelamat harus memeriksa apakah terdapat
benda asing pada mulut korban dan mengambilnya apabila
menemukannya.
c. Manuver hentakan pada dada (chest thrust)
Apabila korban tersedak sedang hamil atau mengalami kegemukan, manuver
hentakan pada perut mungkin tidak efektif. Pada keadaaan-keadaan tersebut,
dapat dilakukan manuver hentakan pada dada.
1) Letakkan tangan di bawah ketiak korban

45
2) Lingkari dada korban dengan lengan kita
3) Letakkan bagian ibu jari pada kepalan di tengah-tengah tulang dada
korban (sama seperti tempat melakukan penekanan dada pada RJP)
4) Genggam kepalan tangan tersebut dengan tangan satunya dan hentakan ke
dalam dan ke atas.

Kasus 3: Pengenalan Pasien Kritis


Seorang laki-laki berusia 75 tahun dirawat di bangsal penyakit dalam karena
menderita DM tipe 2 tidak terkontrol dengan gangren diabetikum pedis dextra.
Anda bertugas sebagai dokter jaga bangsal. Saat Anda periksa, kesadaran pasien
somnolen dengan tanda vital tekanan darah 80/60 mmHg, nadi 110 x/menit (isi
dan tekanan baik), laju napas 28 x/menit, SpO2 97% (kanul binasal 3 liter/menit),
suhu 38,8oC. Berapa skor EWS pasien ini? Bagaimana tatalaksana yang akan anda
lakukan?
Dalam menentukan skor EWS pada kasus ini dihitung dari laju pernapasan
yaitu 28 x/menit yaitu skor nya 3 (≥25 x/menit), dijumlahkan dengan saturasi
oksigen (SpO2 scale 1) 97% dengan skor 0 (≥96%), SpO2 scale tidak dijumlahkan
karena hanya digunakan dibawah petunjuk kualifikasi klinis seperti apabila
kisaaran saturasi sekitar 88-92% contohnya pada kasus hypercapnea respiration
failure. Untuk penilaian udara atau oksigen, skor nya 2 (3 liter/menit), tekanan
darah sistolik skor nya 3 (≤90 mmHg), denyut nadi nya memiliki skor 1 (91-110)
x/menit), kesadarannya memiliki skor 3 (CVPU). Untuk temperatur memiliki skor
1 (38,1-39,0 celcius). Jika dijumlahkan hasilnya adalah 13 yang memiliki
penilaian risiko klinis yang tinggi dengan respon emergency.
Pada pasien dengan kondisi kritis harus diperhatikan jalur nafas nya dengan
memperhatikan initial assessment nya dari (airway, breathing, circulation,
disability), immediate management (airway, breathing, circulation), monitoring
seperti Heart rate (EKG), laju napas (SpO2), tekanan darah, GCS (ukuran dan
reaksi pupil), urine output, serta perhatikan juga dari initial investigations (hitung
cairan darah, urea dan elektrolit, glukosa, analisis gas darah, koagulasi, kultur ,
chest x-ray, EKG).

46
Luka yang tak kunjung sembuh pada kaki pasien ini merupakan salah satu
gejala dari komplikasi kronik DM yaitu vaskulopati dimana terjadi ketidakrataan
permukaan lapisan dalam arteri sehingga aliran lamellar berubah menjadi turbulen
yang berakibat pada mudahnya terbentuk trombus. Pada stadium lanjut seluruh
lumen arteri akan tersumbat dan mana kala aliran kolateral tidak cukup, akan
terjadi iskemia dan bahkan gangren yang luas. Ulkus diabetes mempunyai
kecenderungan terjadi pada beberapa daerah yang menjadi tumpuan beban
terbesar, seperti tumit, area kaput metatarsal di telapak, ujung jari yang menonjol
(pada jari pertama dan kedua).
Hal tersebut dapat ditatalaksana dengan :
- Kendali metabolik, pengendaliannya sebaik mungkin seperti pengendalian
kadar glukosa darah, lipid, albumin, hemoglobin, dan sebagainya.
- Kendali vaskular, perbaikan asupan vascular (dengan operasi atau
angioplasty), biasanya dibutuhkan pada keadaan ulkus iskemik
- Kendali infeksi, jika terlihat tanda-tanda klinis infeksi harus diberikan
pengobatan infeksi secara agresif (adanya kolonisasi pertumbuh
anorganisme pada hasil usap namun tidak terdapat tanda klinis, bukan
merupakan infeksi).
- Kendali luka, pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara teratur
dengan konsep TIME yaitu Tissue. debridement, Inflamation and infection
control, Moisture balance, Epithelial edge advancement.
- Kendali tekanan, mengurangi tekanan pada kaki karena dapat menyebabkan
ulkus.
- Penyuluhan, dengan memberi edukasi mengenai perawatan kaki secara
mandiri
Pada infeksi berat harus dirawat dirumah sakit, dengan pemberian
antibiotika yang mencakup gram posistif dan gram negatif, serta aerobik dan
anaerobik. Pilihan antibiotika intravena untuk infeksi berat meliputi imipenem-
cilastatin, B lactam B-lactamase (ampisilin-sulbactam dan piperacilin-
tazobactam) dan cephalosporin spektrum luas. Apabila hasil kultur belum ada,

47
maka yang dilakukan di lapangan adalah pemberian antibiotik triple blind
therapy yang terdiri atas Ceftriaxone, Ciprofloxacin, dan Metronidazole.
Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa
pemberian dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa bisa diberikan dextrose
40% sebanyak 25 cc), diikuti dengan infus D5% atau D10%. Periksa glukosa
darah 15 menit setelah pemberian i.v tersebut.
Untuk manajemen penurunan suhu tubuh diberikan parasetamol infus,
dengan sediaan 10 mg/ml.

48
BAB IV
KESIMPULAN

1. Nyeri pasca bedah merupakan suatu reaksi fisiologis yang kompleks terhadap
kerusakan jaringan yang terjadi akibat pembedahan. Manajemen nyeri
pascaoperatif yang pertama kali diberikan adalah Obat Anti- Inflamasi non
steroid, Aspirin, atau Paracetamol, apabila dengan obat-obatan ini, nyeri tidak
dapat teratasi, maka diberikan obat-obatan golongan opioid lemah seperti
kodein dan dextropropoxyphene. Apabila tidak juga dapat mencapai kontrol
nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan opioid kuat,
misalnya morfin
2. Terdapat beberapa manuver yang terbukti efektif untuk menangani tersedak,
antara lain back blow (tepukan di punggung), abdominal thrust (hentakan
pada perut) disebut juga dengan manuver Heimlich, dan chest thrust
(hentakan pada dada).
3. Skor penilaian dini (Early Warning Score) merupakan salah satu deteksi dini
untuk memprediksi adanya perburukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi
perburukan klinis yang terjadi pada pasien yang sudah mempunyai beberapa
kebutuhan medis. Pada pasien didapatkan skor 13 yang merupakan respon
emergensi. Tatalaksana nya meliputi pemberian dextrose, parasetamol, serta
tatalaksana gangrene diabetikum.

49
50
DAFTAR PUSTAKA

1. Hazinski, M.F. ect (2015). Highlights of the 2015 American Heart


Association guidelines update for CPR and ECG.Texas: American Heart
Association.
2. Andersen, L. W., Holmberg, M. J., Berg, K. M., Donnino, M. W., &
Granfeldt, A. (2019). In-Hospital Cardiac Arrest: A Review. JAMA,
321(12), 1200–1210. https://doi.org/10.1001/jama.2019.1696
3. Afroh F, Judha M, Sudarti. 2012. Teori Pengukuran Nyeri & Nyeri
Persalinan, Nuha Medika: Yogyakarta
4. Nurul S, Gezy WG, Andy P, & Doddy T. Implementasi Early Warning
Score pada Kejadian Henti Jantung di Ruang Perawatan RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung yang Ditangani Tim Code Blue Selama Tahun 2017.
Jurnal Anestesi Perioperatif. 2019. 7(1) : 33-41.
5. Niegsch M, Fabritius ML, Anhej J. Imperfect implementation of an early
warning scoring system in Danish Teaching Hospital: a cross-sectional
study. PloS One. 2013;8(7):1–6.

6. Hartawan, Gusti. 2017. Terapi Oksigen (O2). Bagian/SMF Anestesiologi


dan Terapi Intensif. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
https://simdos.unud.ac.id/
7. American heart Association. (2014). Out-of-Hospital Cardiac Arrest.
https://www.heart.org/-/media/files/about-us/policy-research/fact-
sheets/out-of-hospital-cardiac-arrest.pdf?la=en.
8. American College of Surgeons Comittee on Trauma. 2014. Advanced
Trauma Life Support for Doctors (ATLS) Student Course Manual. 8th ed.
Chicago, IL : American College of Surgeons.
9. Paulus K, I Ketut S. Multimodal Analgesia pada Manajemen Nyeri Paska-
Bedah : Sebuah laporan kasus. Medicina. 2019. 50(2) : 300-303.
10. Hines RL, Usman RD, Vadivelu N. Essential of Pain Management.
Springer. 2011: 651-55.

51
11. Reddi D, Curran N. Chronic Pain After Surgery: Pathophysiology, Risk
Factors and Prevention. Postgraduate Medical Journal. 2014;90:222–
227.
12. AHA. 2015. Fokus Utama Pembaruan Pedoman American Heart
Association 2015 Untuk CPR dan ECC. American Heart Association.
13. Charldton ED, Wilson I, Eltringham R. Update in Anesthesia: a Journal
for Anaesthetists in Developing Countries. The Management of
Postoperative Pain. 2009:1-17.ISSN 1353-4882.
14. Ganthikumar, K. (2016). Indikasi dan Keterampilan Resusitasi Jantung
Paru (RJP). Directory of Open Access Journals, 6(1), 58–64.
15. Morgan EG Jr, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th
Edition. 2006. United State. McGraw-Hill Companies, Inc.
16. Eroglu, S., Onur, O., Urgan, O., Denizbasi, A., & Akoglu, H. (2014). Blue
code: Is it a real emergency? World J Emerg Med, Vol 5, No 1, 20-23.

17. Soenarjo, Jatmiko H & dkk. Anestesiologi. Semarang: Bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Undip/RSUP Dr.
Kariadi Semarang, 2013
18. Rogayah, R. 2009. The Principle Of Oxigen Therapy. Departemen
Pulmonologi Dan Respiratori FK UI. Jakarta.
19. Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi bahasa
Indonesia, Vol. 8. EGC. Jakarta.
20. Smith, ME, et al.Early Warning System Scores for Clinical Deterioration
in Hospitalized Patients : A Systematic Review. Annals of the American
Thoracic Society. 2014 : 145-165.
21. Gerry, Stephen, et al. Early Warning Scores for Detecting Deterioration in
Adult Hospital Patients : A systematic Review Protocol. British Medical
Journal. 2017.
22. Hogan, Helen, et al. Preventable deaths due to problems in care in English
acute hospitals : A retrospective case record review study. British Medical
Journal. 2012 : 737-745.

52
23. NHS. National Early Warning Score (NEWS) Standardising the
assessment of acute illness severity in the NHS. 2017. Diunduh dari
https://www.rcplondon.ac.uk/projects/outputs/national-early-warning-
score-news-2
24. Gold, Delia, L, et al. Evaluating the Pediatric Early Warning Score
(PEWS) System for Admitted Patients in the Pediatric Emergency
Department. Acad Emerg Med. 2014 : 1249-1256.
25. Nahdi, Suud. Pediatric Early Warning System. Child Health BC. 2016.
26. NHS. Trust Guideline for the use of the Modified Early Obstetric Warning
Score (MEOWS) in Detecting the Seriously III and Deteriorating Woman.
Norfolk and Norwich University Hospitals. 2018.

27. William, C., Wheeler, D. Criteria for ICU Admission and Severity of
Illness Scoring. 2018. Diunduh pada tanggal 30 Juni 2020 di
https://www.researchgate.net/publication/244924471_Criteria_for_ICU_a.

53

Anda mungkin juga menyukai