MAKALAH
Disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah kebutuhan dasar manusia
oleh:
Kelompok 7/ Kelas D
Yusuf Gito Afandi 172310101168
Yustika Dian Pawesti 172310101172
Erman Yudhi Wana P 172310101179
Annisa Tribekti Cantika Sari 172310101189
Imroatus Sholeha 172310101193
Aldi Rahardian Pujiono 172310101195
Azin Linggar Pramila 172310101197
i
HALAMAN PENGESAHAN
Tugas Makalah dengan Judul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan
Pemenuhan Aman dan Nyaman” yang disusun oleh:
Yusuf Gito Afandi NIM 172310101168
Yustika Dian Pawesti NIM 172310101172
Erman Yudhi Wana P NIM 172310101179
Annisa Tribekti C.S NIM 172310101189
Imroatus Sholiha NIM 172310101193
Aldi Rahardian P NIM 172310101195
Azin Linggar Pramila NIM 172310101197
Makalah ini disusun dengan pemikiran sendiri, bukan hasil jiplakan atau reproduksi
ulang makalah yang telah ada.
Mengetahui,
Penanggung jawab mata kuliah Dosen Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Pemenuhan Aman
dan Nyaman “ dengan tepat waktu.
Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih perlu banyak
perbaikan. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca untuk
perbaikan makalah ini agar lebih baik kedepannya.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................ iv
iv
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan dasar manusia merupakan kebutuhan yang diperlukan oleh
setiap individu. Menurut Abraham Maslow kebutuhan dasar manusia terdiri dari
lima tingkatan yang disebut dengan hierarki kebutuhan dasar manusia. Hierarki
kebutuhan manusia mengatur kehidupan dasar dalam lima tingkatan prioritas,
salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan rasa aman dan nyaman
(Potter & Perry, 2005). Kebutuhan akan rasa aman dan nyaman merupakan
suatu keadaan yang membuat seseorang merasa aman, nyaman dan terlindungi
baik fisik maupun psikologis, bebas dari rasa sakit terutama nyeri (Purwanto &
Karendehi, 2015).
Menurut International Association for the Study of Pain (IASP, 2017) nyeri
merupakan pengalaman tidak menyenangkan baik secara sensori maupun
emosional yang ditandai dengan kerusakan jaringan secara aktual atau potensial.
Jumlah penderita nyeri setiap tahunnya mengalami peningkatan, sebanyak 148
juta pasien mengalami nyeri setelah dilakukan tindakan pembedahan dan jumlah
ini meningkat sekitar 1,9% dari tahun 2011 yaitu 140 juta pasien (WHO, 2015).
Data dari RISKESDAS (2013) juga menunjukkan peningkatan sebesar 1,3%
dari 2007 hingga 2013 akibat cedera.
1
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
a. Menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
pemenuhan kebutuhan aman dan nyaman.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Menjelaskan review anatomi dan fisiologi
b. Menjelaskan definisi nyeri
c. Menjelaskan penyebab dan faktor risiko nyeri
d. Menjelaskan tentang tanda dan gejala nyeri
e. Menjelaskan patofisiologi nyeri
f. Menjelaskan penatalaksanaan secara farmakologis dan non-farmakologis
nyeri
g. Menjelaskan pengkajian terfokus nyeri
h. Menjelaskan diagnosa yang muncul akibat nyeri
i. Menjelaskan intervensi terhadap nyeri
j. Menjelaskan implementasi keperawatan
k. Evaluasi
2
BAB 2. TELAAH LITERATUR
2.1 Review Anatomi dan Fisiologi
Nyeri merupakan fungsi vital dari tubuh manusia. Mekanisme kerja dari
nyeri melibatkan nosiseptor dan sistem saraf pusat yang bertugas untuk
mengirim pesan atau stimulus ke otak. Nosiseptor adalah reseptor sensoris yang
bertanggung jawab untuk mendeteksi sinyal atau rangsangan bahaya dan
mengirimkannya ke sistem saraf. Nosiseptor terdapat di kulit, viscera, otot, dan
sendi. Ada dua jenis dari nosiseptor yaitu, serabut C dan serabut delta-A.
serabut C atau C fibers adalah serabut yang paling umum dan lambat dalam
menanggapi rangsang. Sedangkan, serabut delta-A diketahui lebih cepat
menyampaikan rangsang atau stimulus tajam kepada otak. Nosiseptor memiliki
bermacam saluran untuk melakukan transduksi yang mengirimkan sinyal ke
dalam sistem saraf pusat (Sally Robertson, 2016).
Sistem saraf pusat (SSP) atau central nervous system (CNS) merupakan
komando utama dari tubuh, sistem saraf pusat terdiri dari otak, batang otak dan
sumsum tulang belakang. Sedangkan sistem saraf perifer terdiri dari
jaringanjaringan saraf yang menghubungkan saraf- saraf tubuh ke sistem saraf
pusat. Apabila terjadi kerusakan pada sistem saraf pusat akan menimbulkan
gangguan neurologis yang disebut nyeri (Graham Rogers, 2016).
Mekanisme kerja dari nosiseptor dan sistem saraf pusat yaitu, ketika serabut
A-delta dan serabut C ini mentransmisikan impuls dari serabut saraf perifer,
maka hal tersebut memicu pelepasan mediator biokimia yang mengaktifkan
respon nyeri. Transmisi stimulus nyeri akan berlanjut di sepanjang serabut
aferen sampai transmisi tersebut berakhir di bagian kornu dorsalis medula
spinalis. Di dalam kornu dornalis medula spinalis terdapat meutrotransmittter.
Misal pada saat subtansi P dilepaskan akan menyebabkan suatu transmisi
sinapsis dari saraf perifer (sensori) ke saraf traktus. Hal ini memungkinkan
impuls saraf akan ditransmisikan lebih jauh ke dalam sistem saraf pusat.
Stimulus nyeri akan berjalan melalui serabut saraf di traktus spinotalamus yang
menyebrangi sisi yang berlawanan dengan medula spinalis. Setelah impuls
3
nyeri naik ke medula spinalis maka informasi ditransmisikan dengan cepat ke
pusat yang lebih tinggi di otak dan akan terjadi pembentukan retikular, sistem
limbik, talamus, korteks sensori, dan korteks asosiasi. Seiring dengan transmisi
stimulus nyeri, tubuh akan menyesuaikan diri dengan nyeri. Terdapat serabut-
serabut saraf yang disebut sistem nyeri desenden di traktus spinotalamus yang
berakhir di otak tengah, menstimulasi daerah tersebut untuk mengirim stimulus
kembali ke bawah kornu dorsalis di medula spinalis. Sistem nyeri desenden ini
bekerja dengan melepaskan neuroregulator yang menghambat transmisi
stimulus nyeri (Potter & Perry, 2005).
Gambar 2.1. Subtansi P dan neurotransmitter yang dilepaskan oleh serabut aferen
dan berakhir di kornu dorsalis di medulla spinalis.
4
Nyeri juga merupakan sensasi kompleks yang dapat dimanifestasikan atau
diekspresikan dalam berbagai cara tergantung individu itu sendiri. Rangsangan
nyeri umumnya dikategorikan ke dalam jenis seperti inflamasi, neuropatik, dan
nociceptive. Secara singkat, nyeri akibat inflamasi berhubungan dengan
mediator nyeri seperti interleukin, prostaglandin, dan sitokin. Contoh nyeri
inflamasi yaitu radang usus buntu dan rheumatoid arthritis. Nyeri neuropatik
mengacu pada rasa sakit yang dihasilkan dari kerusakan sistem saraf yang
menyampaikan informasi nociceptive ke sistem saraf pusat. Contoh nyeri
neuropatik yaitu nyeri akibat penyakit diabetes dan cedera tulang belakang.
Nyeri nociceptive mengacu pada ketidaknyamanan yang dihasilkan dari
pertemuan dengan stimulus nyeri yang berbahaya. Nyeri nosiseptif meliputi
nyeri termal, nyeri kimia, dan nyeri mekanis (Dan M McEntire, Daniel R
Kirkpatrick, Nicholas P Dueck, Mitchell J Kerfeld, Tyler A Smith, Taylor J
Nelson, Mark D Reisbig, & Devendra K Agrawal, 2017).
Nyeri secara umum dikategorikan menjadi dua macam yaitu nyeri kronik
dan nyeri akut dan setiap individu merespon nyeri dengan pengalaman yang
berbeda-beda. Nyeri akut adalah nyeri yang biasanya datang secara tiba-tiba
dan memiliki durasi waktu yang relatif singkat dalam proses penyembuhannya.
Nyeri akut disebabkan karena kerusakan jaringan seperti fraktur, otot, organ,
dan disertai dengan kecemasan atau tekanan emosional. Sedangkan nyeri
kronis dalam proses penyembuhannya lebih lama daripada nyeri akut. Nyeri
akut biasanya berhubungan dengan penyakit jangka panjang seperti
osteoartitis. Nyeri akut juga bisa disebabkan karena kerusakan jaringan, akan
tetapi lebih sering akibat kerusakan saraf (Potter & Perry, 2005).
5
Potter & Perry (2005) mengatakan bahwa rasa nyeri yang ditimbulkan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya
pada anak-anak dan lansia. Perbedaan usia pada anak-anak dan lansia akan
menunjukkan bagaimana respon mereka terhadap nyeri. Anak-anak
cenderung mengalami kesulitan dalam memahami nyeri, hal ini dikarenakan
anak-anak belum mampu mengungkapkan secara verbal dan
mengekspresikan nyeri baik kepada orang tua maupun petugas kesehatan.
Anak usia todler dan pra-sekolah tidak mampu mengingat penjelasan
tentang nyeri sebagai pengalaman yang dapat terjadi pada berbagai situasi.
Oleh karena itu seorang perawat harus melakukan pendekatan untuk
mendapatkan cara mengkaji nyeri pada anak-anak.
Berbeda dengan anak-anak, kemampuan klien lansia dalam memahami
nyeri dapat mengalami komplikasi dengan keberadaan berbagai penyakit
pada bagian tubuh yang sama. Apabila pasien lansia memiliki rasa nyeri
lebih dari satu, maka perawat harus melakukan pengkajian lebih rinci lagi.
Tidak semua lansia dapat mengekspresikan rasa nyerinya hal ini akan terjadi
ketika lansia mengalami kebingungan dalam mengingat pengalaman nyeri
dan kesulitan memberi penjelasan secara rinci tentang nyeri yang dirasakan.
b. Jenis Kelamin
Respon nyeri pada pasien pria dan wanita tidak berbeda. Tetapi toleransi
terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan merupakan hal
unik yang terjadi pada individu tanpa memperhatikan jenis kelamin.
c. Kebudayaan
Kebudayaan dapat mempengaruhi pasien dalam mengatasi ataupun
merespon nyeri. Hal ini terjadi karena individu mempelajari apa yang
diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka.
d. Makna nyeri
Makna nyeri dari individu ini sering dikatikan dengan latar belakang
budaya individu tersebut.
6
e. Perhatian
Seorang klien yang memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi dari nyeri itu sendiri
f. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas dapat
meningkatkan persepsi nyeri dan nyeri juga dapat menimbulkan perasaan
ansietas
g. Keletihan
Rasa lelah dapat menyebabkan rasa nyeri semakin insentif dan
menurunkan kemampuan koping. Teapi nyeri dapat sedikit lebih berkurang
setelah individu megalami periode tidur yang lelap
h. Pengalaman sebelumnya
Apabila individu sering mengalami nyeri tanpa pernah sembuh atau
mengalami nyeri jenis akut maka ansietas akan muncul. Namun sebaliknya
apabila individu merasakan nyeri dengan jenis yang sama dengan
sebelumnya dan dapat dihilangkan maka akan lebih mudah bagi individu
untuk mengintrepetasikan nyeri tersebut. Sehingga individu dapat
melakukan tindakan mandiri yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri
ketika sensasi tersebut datang lagi.
i. Gaya koping
Pengalaman nyeri merupakan pengalaman yang sangat kurang
menyenangkan. Contohnya ketika nyeri post operasi, kita akan
mendapatkan tindakan-tindakan keperawatan untuk mengurangi sensasi
nyeri sehingga mengharuskan untuk rawat inap. Hal tersebut dapat membuat
klien merasa kehilangan kontrol terhadap lingkungan dan dirinya. Dengan
demikian gaya koping mempengaruhi kemampuan individu tersebut untuk
mengatasi nyeri.
j. Dukungan keluarga dan Sosial
Seseorang yang mengalami nyeri terkadang bergantung pada keluarga
dan teman untuk memperoleh dukungan, bantuan, dan perlindungan.
7
Walaupun klien merasakan nyeri tetapi dengan hadirnya orang tercinta
disisinya mampu menimalkan rasa cemas atau ansietas dari nyeri
Ada faktor risiko lain yang ditimbulkan akibat nyeri ini yaitu kondisi
“Hospital stress”. Keadaan ini muncul dikarenakan pasien mengalami
kecemasan yang sangat tinggi akibat adanya nyeri post operative. Pengalaman
nyeri sebelumnya, lingkungan yang kurang bersahabat dengan klien
merupakan suatu faktor terjadinya “Hospital stress” (Kusuma Dewi, 2013).
2.5 Patofisiologis
Patofisiologis dari gangguan kebutuhan dari rasa aman dan nyaman yaitu
nyeri. Rasa nyeri dapat menghambat sistem imun. Rangsang nyeri akan
mengaktifkan catecholamine untuk diproduksi dalam jumlah yang banyak.
8
Produksi catecholamine yang meningkat akan mempengaruhi kerja dari sistem
cardiovaskular dengan cara meningkatkan tekanan darah dan nadi. Akibat
peningkatan tekanan darah dan nadi akan mengakibatkan hemodinamik yang
tidak stabil dan menyebabkan perfusi oksigen ke jaringan berkurang, kadar β-
endorfin yang disekresikan oleh kelenjar pituitari akan meningkat dan menekan
aktivitas dari makrofag. Ketika terjadi penekanan pada makrofag maka akan
terjadi menurunnya aktivitas dari sitokinin yang dilepaskan oleh makrofag
seperti TNF α, TGF β, IL-1, IL6, dan IL-8 yang berfungsi meningkatkan
kolagenasi. TGF β yang menurun akan menghambat dari proses penyembuhan
luka sehingga rasa nyeri juga akan masih tetap ada (Howard & A.Steinmann,
2010).
9
1. Transduksi (transduction) : perubahan energi stimulus menjadi energi
elektrik pada bagian ujung syaraf.
2. Transmisi (transmission) yakni Proses penyaluran impuls melalui saraf
sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut
C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami
modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan
sebagian ke traktus spinoretikularis.
3. Modulasi (modulation) : Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi
disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi
antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input
nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses
ascenden yang dikontrol oleh otak.
4. Persepsi (perseption) : Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari
proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan
menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri (Devi
Sarah, 2013).
10
Dan yang sering digunakan dalam terapi pemberian analgesik bagi penderita
nyeri post operasi yaitu ketolarak (toradol) (Urden, L. D., M.Stacy, K., &
E.Lough, M., 2010)
11
Intinya dalam teknik mengurangi persepsi nyeri ini, perawat lebih
mengutamakan keadaan lingkungan klien, dimana keadaan lingkungan klien
tidak memperburuk kondisi nyeri klien (Potter & Perry, 2005).
3. Teknik Distraksi
4. Hipnosis
12
dengan melamun yang bertujuan mengurangi ketakutan dan stres karena
individu berkonsentrasi hanya pada satu pikiran (Potter dan perry, 2005).
1. Metode PQRST
a. P (Provoking incident) atau pemicu, yang berarti pemicu dari nyeri atau
hal yang membuat pasien mengeluh nyeri.
13
b. Q = (Quality of Pain) kualitas nyeri atau tingkat nyeri itu sendiri.
c. R = (Region) yaitu area atau tempat terjadinya nyeri.
d. S = (Scale of pain) skala nyeri :
- Ringan: 0-4
- Sedang: 4-6
- Berat: 7-10
e. T = (Time of pain) atau waktu nyeri. Misal seperti nyeri seberapa sering
rasa nyeri datang.
(Muttaqin, 2011).
2. Visual Analog Scale
14
hasil dari pengjaian harus dilakukan pengukuran kembali dengan penggaris
(Evan, 2010).
3. Numeric Pain Rating Scale
15
2.8 Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
Diagnosa keperawatan menggambarkan kondisi pasien yang diobservasi di
lapangan secara singkat. Kondisi ini meliputi kondisi actual atau potensial atau
diagnosis sejahtera (Wilkinson Judith, 2017). Diagnosa keperawatan yang
mungkin muncul dari gangguan pemenuhan kebutuhan aman dan nyaman yaitu:
nyeri akut dan nyeri kronis.
Nyeri akut adalah awitan yang terjadi secara tiba-tiba atau lambat dari
intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau
diprediksi. Beberapa batasan karakteristik yang berhubungan dengan nyeri akut
menurut NANDA (2017), sebagai berikut:
a. Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar periksa nyeri untuk pasien
yang tidak dapat mengungkapkannya (misal, Neonatal Infant Pain Scale,
Pain Assasment Checklist for Senior with Limited Ability to
Communicate).
b. Diaforesis
c. Dilatasi pupil
d. Ekspresi wajah nyeri (misal, mata kurang bercahaya, tampak kacau,
gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus)
e. Fokus menyempit (misal, persepsi waktu, proses berpikir, interaksi orang
dengan lingkungan)
f. Fokus pada diri sendiri
g. Keluhan tentang intensitas menggunakan standar skala nyeri (skala
Wong-Baker FACES)
h. Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan standar
instrumen nyeri ( Brief Pain Inventory)
i. Laporan tentang perilaky nyeri/ perubahan aktivitas
j. Mengekspresikan perilaku (menangis, gelisah)
k. Perilaku distraksi
l. Perubahan pada parameter fisiologis (misal, tekanan darah, frekuensi
jantung dan pernapasan)
16
m. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
n. Perubahan selera makan
o. Putus asa
p. Sikap melindungi area nyeri
Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan nyeri akut, yaitu sebagai
berikut:
Nyeri kronis adalah awitan yang tiba-tiba atau lambat dengan intensitas
ringan hingga berat, terjadi secara konstan atau berulang tanpa akhir yang dapat
diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung lebih dari 3 bulan (NANDA, 2017).
a. Anoreksia
instrumen nyeri
17
h. Laporan tentang perilaku nyeri/ perubahan aktivitas
j. Agen pencedera
l. Cedera tabrakan
m. Distres emosi
n. Fraktur
o. Gangguan genetik
p. Gangguan imun
q. Gangguan isekemik
r. Gangguan metabolik
s. Gangguan muskuloskeletal kronis
u. Infiltrasi tumor
v. Solasi sosial
w. Jender wanita
x. Keletihan
18
HARI/TANGGAL/ DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENS RASIONAL PARAF
JAM KEPERAWAT I & NAMA
NO
AN
1. Selasa, 15 Mei 2018 Nyeri b.d aman Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam Pemberian Kelompok
dan nyaman klien dapat mengurangi atau bahkan analgesik 7
menghilangkan rasa nyeri, dengan kriteria
hasil: (2210)
1. Tentukan 1. Mengetahui
Indikator Skala Keterangan skala lokasi, jenis
4: ringan sebelum
19
yang menunjukkan 3: pengobata kontraindikasi
direkomen kadang-kadang n meliputi
dasikan
menunjukkan obat, dosis,
4: sering dan
menunjukkan n frekuensi
5: secara konsiste obat
menunjukkan analgesik
yang
Kontrol 1 4 1: sangat terganggu
terhadap diresepkan
2: banyak terganggu gu
gejala 3. Menghindari
3: cukup tergang 3. Cek
alergi akibat
4: sedikit terganggu adanya
obat yang
5: tidak riwayat
terganggu dikonsumsi
alergi obat
Manajemen
nyeri (1400)
Pastikan
perawatan 1. Menghindari
ketidakpatuha
1.
20
analgesik n pasien
bagi pasien terhadap
dilakukan konsumsi obat
dengan
pemantaua
n yang
ketat
2. Mengurangi
2. Dorong
dan atau
pasien
menghilangka
untuk
n rasa nyeri
mengguna
kan
obatobatan
penurun
nyeri yang
adekuat
3. Mengura ngi
3. Libatkan
tingkat
keluarga ansietas
dalam pasien
21
modalitas
penurun
nyeri
Terapi
latihan:
mobilitas
sendi (0224) 1. Menghin
1. Monitor dari
lokasi dan cedera
kecenderu tambahan
ngan adanya pada
nyeri dan daerah
ketidaknya lain
manan
selama
pergerakan
2. Lakukan
ROM aktif 2. meningk
dan pasif atkan
kelentura
22
n sendi
3. menghin
3. Bantu
pasien dari
untuk cedera
melakukan
tambahan
pergerakan
sendi yang pada saat
ritmis dan melakuka
teratur
sesuai n terapi
kadar nyeri latihan
yang bisa
ditoleransi,
ketahan
dan
pergerakan
sendi
23
2.10 Implementasi Keperawatan
Implementasi dalam keperawatan yang dapat dilakukan (Yuningtyas
Risqi, 2016) antara lain:
Evaluasi terbagi menjadi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif dan
evaluasi hasil atau sumatif. Evaluasi formatif proses harus segera dilaksanakan
setelah tindakan keperawatan selesai dilakukan. Sedangkan evaluasi sumatif
dilakukan pada akhir tindakan keperawatan secara paripurna. Penulisan
evaluasi meliputi empat komponen, yaitu SOAP. S berarti subjective (data
24
berupa keluhan pasien), O berarti objective (data berupa hasil pemeriksaan), A
berarti analysis (membandingkan data dengan teori), dan terakhir P yang
berarti planning (rencana tindakan) (Asmadi, 2008).
25
BAB 3. PENUTUP
1.3 Simpulan
3.1.1 Kebutuhan akan rasa aman dan nyaman merupakan suatu keadaan yang
membuat seseorang merasa aman, nyaman dan terlindungi baik fisik
maupun psikologis, bebas dari rasa sakit terutama nyeri.
3.1.2 Nyeri adalah suatu keadaan tidak menyenangkan yang dapat mengganggu
baik fisik, psiko, sosialbudaya, dan aktivitas-aktivitas lainnya.
3.1.3 Nyeri dibagi menjadi tiga yaitu nyeri akut, nyeri kronik, dan nyeri non-
maligna kronik.
3.1.4 Nyeri post operasi fraktur merupakan suatu perasaan tidak nyaman akibat
dari terputusnya kontinuitas tulang dan bersifat subjektif.
3.1.5 Setiap individu yang merasakan nyeri akan mengeskpresikannya dengan
cara yang berbeda. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
yaitu: usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna nyeri, perhatian, ansietas,
keletihan, pengalaman sebelumnya, gaya koping, dukungan sosial dan
keluarga.
3.1.6 Salah satu faktor risiko yang ditimbulkan akibat nyeri post operasi fraktur
yaitu hospital stress. Tanda dan gejala dari gangguan pemenuhan
kebutuhan aman dan nyaman khususnya nyeri yaitu demam, nyeri luka,
perubahan mental.
3.1.7 Ada 2 cara dalam penanggulangan nyeri, yang pertama adalah penanganan
secara farmakologis (pemberian analgesik) dan yang kedua secara non-
farmakologis (teknik relaksasi, teknik distraksi, terapi musik, teknik
napas dalam).
3.1.8 Nyeri post operasi akan menghambat sistem imun. Hal tersebut karena
nyeri akan meningkatkan catecholamine sehingga berpengaruh terhadap
tekanan darah dan nadi. Ketika terjadi peningkatan pada tekanan darah
nadi maka akan memicu tekanan pada sel marofag sehingga dapat
menurunkan aktivitas dari TGF β yang berfungsi sebagai kolagenasi.
Akibat menurunnya aktivitas dari TGF β akan menghambat proses
penyembuhan luka. Pengkajian yang dapat dilakukan yaitu dengan
26
menggunakan metode ABCDE (Ask, believe, choose, deliver, dan
empower) dan metode PQRST (provoking, quality, region, scale, dan
time).
3.1.9 Diagnosa yang mungkin muncul menurut NANDA (2015) yaitu
diaforesis, dilatasi pupil, dll. Intervensi keperawatan yang dapat
dilakukan salah satunya yaitu menggunakan terapi farmokologis dan
non-farmakologis untuk penangangan nyeri. Dan yang terakhir yaitu
implementasi dalam keperawatan yaitu melakukan pengkajian nyeri,
pemberian analgesik, dll.
1.4 Saran
3.1.10 Bagi Perawat
Sebagai perawat hendaknya lebih memahami segala aspek kebutuhan
dasar manusia dalam tahap-tahap asuhan keperawatan, khususnya
kepada pasien dengan gangguan pemenuhan aman dan nyaman
3.1.11 Bagi Instansi
Bagi instansi pendidikan diharapkan mampu membentuk pola motivasi
yang dapat diterapkan pada mahasiswa sejak dini, agar mendapat
pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
pemenuhan aman dan nyaman, sehingga menghasilkan perawat yang
memiliki dedikasi tinggi dalam proses keperawatan.
27
DAFTAR PUSTAKA
Adha Dedi. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Respon Terhadap
Nyeri Pasien Post Operasi Mayor di Irna Bedah RSUP Dr. Jamil Padang
2014. http://journal.mercubaktijaya.ac.id. [Diakses pada tanggal 7 Maret
2018].
Asmadi. (2008). Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba
Medika.
Brunner & Suddarth. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Debora, Oda. 2011. Proses Keperawatan Dan Pemeriksaan Fisk. Jakarta : Salemba
Medika.
Dewi, Kusuma. 2013. Upaya Penurunan Nyeri Pada Pasien Post Operasi Open
Fraktur. http://eprints.undip.ac.id [Diakses pada tanggal 15 Maret 2018)
Grace, Pierce A., dan Borley, Neil R., 2006. Nyeri Abdomen Kronik. Dalam:
Safitri, Amalia, ed. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi ketiga. Jakarta: Erlangga.
Hawker, G, A., Mian, S., Kendzerska, T., Frech, M. (2011). Measures of Adult
Pain. American College of Rheumatology. [Diakses pada tanggal 22 Mei
2018].
28
Howard, P. K., & A. Steinmann, R. 2010. Sheey’s Emergency Nursing Principles
And Practice (Sixth Edition ed.). St. Louis, Missouri: MOSBY Elsevier.
Judha, Mohama., Sudarti., Afroh Fauziah. 2012. Teori Pengukuran Nyeri Dan
Nyeri Persalinan.Yogyakarta: Nuha Medika
Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar ; RISKESDAS. Jakarta : Kemenkes RI.
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.
29
Sehono, Endrayani. 2010. Pengaruh Teknik Relaksasi Guided Imagery Terhadap
Penurunan Nyeri Pada Pasien Pasca Operasi Fraktur Di Rsud Dr. Moewardi
Surakarta. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Smeltzer, Suzanne C., Bare Brenda G., Hinkle Janice L., Cheever Kerry H., 2010.
Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical-Surgical Nursing., Edisi 12.
Philadelphia: Wolters Kluwer Health.
Sofiah, Wiwik., & Aisyah, Siti. 2017. Asuhan Keperawatan pada Klien yang
Mengalami Post Operasi Fraktur Femur dengan Gangguan Rasa Nyaman
Nyeri di RSUD Koja Jakarta Utara. http://conference.raharja.ac.id. [Diakses
pada tanggal 6 Maret 2018].
Urden, L. D., M.Stacy, K., & E.Lough, M. (2010).Critical Care Nursing (6ed.).St
Louis; Mosby Elvisier Inc.
Wilkinson, Judith M., Ahern, Nancy R. 2013. Buku Saku Diagnosis Keperawatan,
Edisi 9 Jakarta : EGC.
30
31
32