Anda di halaman 1dari 63

Referat

TRANSPOR PASIEN, MANAJEMEN NYERI, CHOCKING,


PENGENALAN PASIEN KRITIS

Oleh :
Arif Rifai, S.Ked
71 2019 003

Dosen Pembimbing :
dr. Mayang Indah Lestari, Sp.An

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGIDAN TERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Referat dengan Judul

Transpor Pasien, Manajemen Nyeri, Chocking, Pengenalan Pasien Kritis

Disusun oleh:

Arif Rifai, S.Ked

71 2019 003

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior (KKS) di Bagian Anestesiologi Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang,
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang periode 21 – 27
Desember 2020.

Palembang,Desember 2020
Pembimbing,

dr. Mayang Indah Lestari, Sp. An

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
“Transpor Pasien, Manajemen Nyeri, Chocking, Pengenalan Pasien Kritis”,
sebagai salah satu tugas individu di Bagian Anestesiologi Dan Terapi Intensif di
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu tercurah
kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan
pengikutnya sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan ini belum sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan
pertimbangan perbaikan di masa mendatang.
Dalam penyelesaian referat ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan
maupun tulisan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih terutama kepada:
1. dr.Mayang Indah Lestari, Sp. An, selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak ilmu, saran, dan bimbingan selama penyusunan
referat ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan refrat ini.
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan
Allah SWT. Amin.

Palembang,Desember 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................ii
KATA PENGANTAR.................................................................................iii
DAFTAR ISI................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.............................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Transpor Pasien............................................................................4
2.2. Manajemen Nyeri Pascabedah.....................................................7
2.3. Chocking....................................................................................25
2.4. Pasien Kritis...............................................................................31

BAB IIISKENARIO KASUS


3.1. Skenario kaus.............................................................................48

BAB IV KESIMPULAN
4.1. Simpulan....................................................................................55

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................56

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Transfer pasien adalah proses memindahkan pasien dari satu lokasi atau

ruangan ke lokasi atau ruangan yang lain. Sebelum memindahkan pasien ke unit
yang dituju di rumah sakit, harus dipastikan pasien dalam keadaan stabil,
melakukan serah terima dengan unit yang dituju dan unit tersebut sudah siap
untuk menerima pasien.5
Tindakan pembedahan mengakibatkan trauma pada jaringan yang akan
menyebabkan pelepasan mediator inflamasi sehingga menimbulkan nyeri yang
poten. Semakin meningkatnya tindakan pembedahan akan semakin banyak pula
orang yang mengalami nyeri akut akibat pembedahan.3 Penilaian nyeri yang
teratur dan berulang harus dilakukan untuk menilai keadekuatan terapi analgesia
yang sedang berjalan. Saat ini ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk
mengukur intensitas nyeri, yaitu: Verbal Analogue Scale, Verbal Numerical
Analogue Scale, Visual Analogue Scale, dan Pain Relief Scale. Visual Analogue
Scale (VAS) dan Skala Numerik Verbal (SNV) merupakan cara pengukuran nyeri
yang sering digunakan pada penelitian yang berhubungan dengan nyeri setelah
pembedahan karena mudah untuk diaplikasikandan mudah dimengerti oleh pasien
dengan tingkat pendidikan rendah.1,2Analgesi Lokal Infiltrasi adalah suatu teknik
yang memberikan obat anestesi lokal yang diencerkan, dan diberikan adjuvant
dari beberapa obat seperti Non Steroid Antiinflamatory Drugs (NSAID),
epinephrine, dan opioid. Pemberian adjuvan dipilih sesuai dengan kondisi pasien,
hal tersebut berkaitan juga dengan jalur penanganan nyeri yang dibutuhkan oleh
seorang anestesiolog.
Menurut statistik Dewan Keselamatan Nasional, obstruksi jalan napas benda
asing (Foreign Body Airway Obstruction) adalah penyebab utama keempat
kematian yang tidak disengaja, yang mengakibatkan 5.051 kematian yang tercatat
pada tahun 2015. Pada anak-anak di bawah usia 16 tahun, obstruksi jalan napas
benda asing adalah salah satupenyebab utama kematian karena
kecelakaan.4Karena prevalensi dan kecepatan ketidaksadaran dan kematian yang

1
terkait dengan tersedak, semua orang, termasuk orang-orang di luar bidang
kesehatan, harus memiliki pemahaman dasar tentang cara merawat korban yang
tersedak.Manuver sederhana yang diajarkan kepada orang awam seperti manuver
Heimlich telah terbukti menyelamatkan hidup.Selain obstruksi jalan napas benda
asing lengkap yang langsung mengancam jiwa, obstruksi jalan nafas parsial dapat
menghambat pertukaran gas dan menyebabkan dispnea, pneumonia, dan
pembentukan abses.5
Sasaran keselamatan pasien yang ditetapkan oleh Joint Commission
International bagi rumah sakit dinyatakan bahwa rumah sakit harus meningkatkan
kewaspadaan dan respons terhadap perubahan kondisi pasien.6 Instrumen yang
dikembangkan untuk dapat menentukan pasien yang perlu dipantau secara lebih
intensif serta menentukan tindakan resusitasi yang perlu dilakukan adalah
earlywarning score (EWS).6Early warning score dapat memprediksi kejadian
henti jantung dalam 48 jam. Penelitian yang dilaksanakan di New Zeland
dinyatakan bahwa implementasi EWS mampu menurunkan angka kejadian henti
jantung di rumah sakit secara signifikan.Pada populasi Asia juga ditemukan
bahwa EWS menurunkan kejadian henti jantung di rumah sakit secara bermakna. 7
Penelitian di Denmark dinyatakan implementasi EWS jangka panjang masih
belum cukup baik. Implementasi yang tidak baik dapat menyebabkan hasil
penilaian EWS yang tidak benar.8

1.2. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari referat ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan bagi semua dokter muda agar dapat memahami transpor pasien,
manajemen nyeri, chocking, pengenalan pasien kritis.
2. Diharapkan munculnya pola berpikir kritis bagi semua dokter muda setelah
dilakukan diskusi dengan dosen pembimbing klinik tentang tranpor pasien,
manajemen nyeri, chocking, pengenalan pasien kritis.
3. Diharapkan bagi semua dokter muda agar dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapatkan dalam kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) terutama transpor pasien, manajemen nyeri, chocking, pengenalan
pasien kritis.

2
1.3. Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
a. Bagi institusi, diharapkan laporan kasus ini dapat menambah bahan
referensi dan studi kepustakaan dalam bidang ilmu anestesi terutama
tentang transpor pasien, manajemen nyeri, chocking, pengenalan pasien
kritis
b. Bagi penulis selanjutnya, diharapkan referat ini dapat dijadikan
landasan untuk penulisan referat selanjutnya.
1.3.2 Manfaat Praktis
a. Bagi dokter muda, diharapkan referat ini dapat membantu dalam
mengaplikasikan transpor pasien, manajemen nyeri, chocking,
pengenalan pasien kritispada kegiatan kepaniteraan klinik senior
(KKS).
b. Bagi tenaga kesehatan lainnya, diharapkan referat ini dapat menjadi
bahan masukan untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan terutama
dalam memberikan informasi atau edukasi kesehatan berupa upaya
pencegahan kepada pasien dan keluarga terutama untuk
penatalaksanaan jalan napas.
c. Bagi pasien dan keluarga pasien, diharapkan referat ini dapat
memberikan pemahaman mengenai pentingnya upaya pencegahan
primer sebelum terjadi dan upaya pencegahan sekunder untuk
menghindari komplikasi yang lebih berat apabila sudah terjadi.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Transport Pasien


Pengertian Transport Pasien
Transfer pasien adalah proses memindahkan pasien dari satu lokasi

atau ruangan ke lokasi atau ruangan yang lain. 5


Transfer pasien terdiri dari:
1. Transfer pasien internal (intra hospital transfer)
Proses memindahkan pasien dari satu bagian/unit/ ruangan ke bagian/

unit/ ruanagan yang lain di dalam rumah sakit.


2. Transfer pasien eksternal (inter hospital transfer)

Proses memindahkan pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain

atau suatu lokasi ke lokasi lain di luar rumah sakit.

Indikasi Transfer Internal


1. Transfer untuk tujuan diagnostik, misalnya pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan EEG
2. Transfer pasien untuk tujian tindakan medis atau tindakan operasi
dikamar operasi
3. Transfer pasien untuk tujuan terapi yaitu ke ruang ransport al
(HD)
4. Transfer pasien untuk tujuan perawatan selanjutnya, yaitu ke
ruang rawat inap dan ruang perawatan intensif (IMC dan atau
ICU).5

Transfer pasien Internal


Jadi transfer Internal meliputi ;5

4
a. Transfer pasien dari Instalasi Gawat Darurat (IGD) ke Instalasi Radiologi,
Instalasi Rawat inap, Instalasi Perawatan Intensif (IMC dan atau ICU), dan
Instalasi Bedah Sentral (IBS)
b. Transfer pasien dari Instalasi Rawat Jalan ke Instalasi Laboratorium,
Instalasi Radiologi, Instalasi Rawat Inap, Instalasi Perawatan Intensif
(IMC dan atau ICU), Instalasi Hemodialisis, Instalasi Bedah Sentral (IBS)
c. Transfer pasien dari Instalasi Rawat Inap ke Instalasi Radiologi, Instalasi
Perawatan Intensif (IMC dan atau ICU), Instalasi Hemodialisis, Instalasi
bedah Sentral (IBS)
d. Transfer pasien dari Instalasi Intensif (IMC dan atau ICU) ke Instalasi
Radiologi, Instalasi Rawat Inap, Intalasi Bedah Sentral (IBS)
e. Transfer pasien dari Instalasi Bedah Sentral (IBS) ke Instalasi Radiologi,
………Instalasi Rawat Inap, Instalasi Perawatan Intensif (IMS dan atau ICU)
f. Transfer pasien dari Instalasi Hemodialisis ke Instalasi Rawat Inap,
Instalasi Perawatan Intensif (IMC dan atau ICU)
Sebelum memindahkan pasien ke unit yang dituju di rumah sakit, harus
dipastikan pasien dalam keadaan stabil, melakukan serah terima dengan
unit yang dituju dan unit tersebut sudah siap untuk menerima pasien.
Transfer pasien dapat menggunakan kriteria pasien sebagai berikut :5
Level pasien Kriteria
0 Pasien yang membutuhkan perawatan di ruang rawat inap
biasa
1  Pasien dengan risiko mengalami perburukan kondisi,
dirawat di ruang rawat inap biasa dengan saran dan
dukungan dokter jaga bangsal atau case manager
 Pasien yang baru dipindahkan dari ruang perawatan
intensif (IMC dan atau ICU) ke ruang rawat inap
biasa dengan saran dan duku dukungan dokter jaga
bangsal atau case manager
2  Pasien yang memerlukan observasi ketat atau
intervensi tindakan khusus
 Pasien yang mengalami kegagalan satu system organ
 Pasien yang membutuhkan perawatan pasca operasi

5
3 Pasien yang mengalami kegagalan multiorgan, sehingga
membutuhkan bantuan/penunjang kegagalan multi organ
dalam jangka waktu lama dan alat bantu pernapasan

Stabilisasi Sebelum Transfer


1. Transfer internal dilakukan dalam kondisi pasien sudah stabil (untuk
UGD dan kamar operasi)
2. Pasien kritis dari bangsal harus segera ditransfer sesuai MEWS, kecuali
dalam keadaan henti jantung dan atau nafas
a. A= Airway adalah mempertahankan jalan nafas dengan teknik
manual atau menggunakan alat bantu. Tindakan ini mungkin akan
banyak memanipulasi leher sehingga harus diperhatikan untuk
menjaga stabilitas tulang leher (cervical spine control)
b. B= Breathing adalah menjaga pernafasan/ ventilasi dapat
berlangsung dengan baik
c. C= Circulation adalah mempertahankan sirkulasi bersama dengan
tindakan untuk menghentikan perdarahan (hemorrhage control)
d. D= Disability adalah pemeriksaan untuk mendapatkan kemungkinan
adanya gangguan neurologis
e. E=Exposure/ environment control adalah pemeriksaan pada seluruh
tubuh penderita untuk melihat jejas atau tanda-tanda kegawatan yang
mungkin tidak terlihat dengan menjaga supaya tidak terjadi
hipotermi
3. Keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya
dilakukan pada saat itu juga
4. Dokumentasikan dalam rekam medis dan lembar observasi pasien
tentang kondisi pasien, tindakan stabilitas, pemberian cairan, pemberian
obat-obatan, dan observasi pasien
Setelah pasien dalam kondisi se-stabil mungkin, maka dapat dilakukan
transfer pasien sesuai dengan kriteria/ level pasien.5

2.2 Manajemen Nyeri Pasca Bedah


Definisi Nyeri

6
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
2
dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut
International Association for Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan
sebagai sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Dari definisi dan konsep nyeri
di atas dapat di tarik dua kesimpulan.9 Jadi nyeri terjadi karena adanya
kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception) ataupun tanpa adanya
kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception).10
Nyeri pasca bedah merupakan suatu reaksi fisiologis yang kompleks
terhadap kerusakan jaringan yang terjadi akibat pembedahan. Umumnya,
perhatian utama pasien tentang pembedahan adalah seberapa besar nyeri yang
akan mereka alami setelah prosedur pembedahan. Nyeri paska bedah
mengakibatkan efek fisiologis tambahan yang bersifat akut yang dapat
bermanifestasi pada berbagai system organ. Namun suatu respon inflamasi
yang tidak dikendalikan dengan tepat, justru akan membawa pasien ke dalam
kondisi morbiditas yang nyata. Sebagai contoh, nyeri pada kuadran atas
abdomen atau daerah dinding thoraks seringkali menimbulkan suatu sensasi
tidak nyaman hingga nyeri yang membuat pasien enggan untuk menarik nafas
dalam.Pada kondisi selanjutnya justru membawa pasien kepada kondisi
hipoventilasi. Yang selanjutnya memicu atelektasis dengan penurunan
hubungan ventilasi menuju perfusi, dan peningkatan kerjadian arterial
hypoxemia dan pneumonia.11
Nyeri yang membatasi mobilisasi paska bedah dengan kondisi stress
induced hypercoagulable dapat meningkatkan insiden dari deep vein
thrombosis. Pelepasan katekolamin pada respon nyeri menimbulkan takikardi
dan hipertensi sistemik yang dapat memicu myocardial iskemik pada pasien
dengan komorbid awal pada system kardiovaskular.11
Oleh karenanya penanganan nyeri paska pembedahan sejak awal dengan
penanganan dan pendekatan yang tepat merupakan hal penting yang
menentukan prognosis perjalanan nyeri tersebut. Kualitas dan perjalanan dari

7
suatu nyeri yang tidak tertangani dengan baik dapat berakibat buruk bagi
kualitas hidup penderitanya.11

Klasifikasi Nyeri
The International Association for the Study of Pain (IASP)
mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan.2,
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nyeri merupakan
suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan
komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).9 Sedangkan nyeri akut
disebabkan oleh stimulasi noxious atau stimulasi yang tidak menyenangkan
akibat trauma, proses suatu penyakit atau akibat fungsi otot atau viseral yang
terganggu. Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya
mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan.9

A.Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi: 10

- Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini
ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom (takikardi, hipertensi,
hiperhidrosis, pucat dan midriasis) dan perubahan wajah (menyeringai
atau menangis). Bentuk nyeri akut dapat berupa nyeri somatik luar
(nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa) Nyeri somatik dalam (nyeri
tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat) Nyeri viseral (nyeri
akibat disfungsi organ visceral).
- Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda
aktivitas otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa
nyeri yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi)
atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. 13
Nyeri ini disebabkan oleh kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut
saraf, ataupun non kanker akibat trauma, proses degenerasi.

B. Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi: 9,10

8
- Nyeri Somatik
Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk,
mudah dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit,
jaringan subkutan, membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan
peritoneum. Nyeri insisi bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi
peritoneal adalah nyeri somatik. Penyakit yang menyebar pada dinding
parietal, yang menyebabkan rasa nyeri menusuk disampaikan oleh
nervus spinalis. Pada bagian ini dinding parietal menyerupai kulit
dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi pada
peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum
viseralis tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri
parietal biasanya terlokalisasi langsung pada daerah yang rusak.
Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari
nyeri viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama.
Sebagai contoh, rangsang nyeri berasal dari apendiks yang inflamasi
melalui serat – serat nyeri pada sistem saraf simpatis ke rantai simpatis
lalu ke spinal cord pada T10 ke T11.
Nyeri ini menjalar ke daerah umbilikus dan nyeri menusuk dan
kram sebagai karakternya. Sebagai tambahan, rangsangan nyeri berasal
dari peritoneum parietal dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding
abdomen, rangsangan ini melewati nervus spinalis masuk ke spinal cord
pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk berlokasi langsung pada
permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan bawah Nyeri
somatik luar→Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan
subkutan dan membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti
terbakar, tajam dan terlokalisasi. Sementara Nyeri somatik dalam→
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat
rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat.
- Nyeri viseral
Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks
kontraksi otototot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang
ketika proses inflamasi terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena

9
invasi malignan dari organ lunak dan keras sering digambarkan dengan
nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri
tajam bila organ padat terkena. Penyebab nyeri viseral termasuk
iskemia, peregangan ligamen, spasme otot polos, distensi struktur lunak
seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter. Distensi pada
organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin
iskemia karena kompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan
distensi berlebih dari jaringan. Nyeri karena perangsangan organ viseral
atau membran yang menutupinya (pleura parietalis, perikardium,
peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri visceral
terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih
parietal. Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada
lima aksis yaitu:10
Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan
timbulnya nyeri
Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal,
reguler, kontinyu)
Aksis IV : awitan terjadinya nyeri
Aksis V : etiologi nyeri

C.Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi: 10

- Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi
nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun
dan ujung saraf sensoris dan simpatik.

- Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi
primer pada sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada
jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan

10
terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas
dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau
adanya rasa tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat
menyebakan terjadinya allodynia atau sensasi rasa sakit yang tidak
biasa pada kulit yang disebabkan oleh suatu kontak sederhana yang
sebenarnya tidak menimbulkan rasa sakit. Hal ini mungkin terjadi
secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang
kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP) yang
merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering
menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik
konvensional.10
- Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya
cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien
tenang.

D.Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:


- Nyeri onkologik
- Nyeri non onkologik

E. Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:


- Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas
sehari-hari dan hilang pada waktu istirahat
- Nyeri sedang nyeri terus-menerus, yang membuat aktivitas terganggu
dan hanya hilang bila penderita tidur.
- Nyeri berat adalah nyeri terus-menerus sepanjang hari, penderita tidak
dapat tidur dan sering terjaga akibat nyeri.

Patofisiologi
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya
kerusakan jaringan. Kejadian sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh

11
stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini
berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus
dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem
nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang
membantu perbaikan jaringan yang rusak.7 Nyeri inflamasi merupakan salah
satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas
akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang
mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi
akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti
pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan
mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan
dapat menimbulkan nyeri.12 Rangkaian proses perjalanan yang menyertai
antara kerusakan jaringan sampai dirasakan nyeri adalah disebut sebagai
sebuah proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti suatu proses
nosisepsi yaitu:13
- Transduksi
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas
listrik di reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti
prostaglandin dari sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast,
serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat
berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).
- Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor
saraf perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan
serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana
impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh
traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya
impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui
neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan
sebagai persepsi nyeri.
- Modulasi

12
Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang
dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi
ini juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau
meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri.
- Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari
proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya
menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri.
Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf
A yang bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin
(konduksi lambat). Serat A delta mempunyai diameter lebih besar dibanding
dengan serat C. Serat A delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30
m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Walaupun keduanya peka
terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki perbedaan, baik
reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu
posterior. Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus
mekanik dan termal, sedangkan serabut C peka terhadap berbagai stimulus
noksius, meliputi mekanik, termal dan kimiawi. Oleh karena itu reseptor
serabut C disebut juga sebagai polymodal nociceptors. Demikian pula
neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps adalah asam
glutamat, sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga
substansi P (neurokinin) yang merupakan polipeptida.10
Sensitisasi Perifer. Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan
menyebabkan terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi
terlepasnya mediator inflamasi dari sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih
dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang melepaskan mediator kimia
yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler
sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma.13
Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator inflamasi
seperti ion kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan
produk-produk siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam

13
arakidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator kimia inilah yang
menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut di atas. Akibat dari
sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri
sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang
ditandai dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada
daerah jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh
adanya perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun
sekitarnya..
Sensitisasi Sentral. Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai
akibat pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu
dorsalis medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat
seirama dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan
sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius.
Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir
dari serabut aferen pertama dan second-order neuron sebagai neuron
penerima dari neuron pertama. Second-order neuron-lah yang memainkan
peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus
noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua
jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif
responsifterhadap impuls dari serabut A dan serabut C. Neuron kedua disebut
wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus
noksius maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya
respon treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi
peningkatan signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi.13
Tindakan pembedahan mengakibatkan trauma pada jaringan yang akan
menyebabkan pelepasan mediator inflamasi sehingga menimbulkan nyeri
yang poten. Semakin meningkatnya tindakan pembedahan akan semakin
banyak pula orang yang mengalami nyeri akut akibat pembedahan.13

Pengukuran Intensitas Nyeri


Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi
oleh psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas

14
nyeri merupakan masalah yang relatif sulit.Ada beberapa metoda yang
umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara lain: 12,14
a. Verbal Rating Scale (VRSs)
Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang
dirasakan.Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang
menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang
ada.Metoda ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat
pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi
beberapa kategori nyeri yaitu:

Gambar 2.1.Verbal Rating Scale

b. Numerical Rating Scale (NRSs)


Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari
intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri
yang dirasakan dari angka 0-10. ”0” menggambarkan tidak ada nyeri
sedangkan ”10” menggambarkan nyeri yang hebat.

Gambar 2.2.Numerical Rating Scale

c. Visual Analogue Scale (VASs)


Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri.
Metoda ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan

15
keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai
angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan.
Keuntungan menggunakan metoda ini adalah sensitif untuk mengetahui
perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat
digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat
digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar
diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.

Gambar 2.3.Visual Analog Scale

d. McGill Pain Questionnaire (MPQ)


Metoda ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejal
nyeri yang dirasakan. Metoda ini menggambarkan nyeri dari berbagai
aspek antara lain sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri
digambarkan dengan merangking dari ”0” sampai ”3”.
e. The Faces Pain Scale
Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk
menilai intensitas nyeri pada anak-anak.

16
Gambar 2.4.Faces Pain Scale

Diagnostik Nyeri
Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Berkenaan dengan hal ini
diagnostik nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya
nyeri. Langkah ini meliputi langkah anamnesa, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan kalau perlu pemeriksaan radiologi serta
pemeriksaan imaging dan lain-lain. Dengan demikian diagnostik terutama
ditujukan untuk mencari penyebab. Dengan menanggulangi penyebab,
keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pemeriksaan laboratorium spesifik
untuk menegakkan diagnosa nyeri tidak ada.7,10
Pemeriksaan terhadap nyeri harus dilakukan dengan seksama yng
dilakukan sebelum pengobatan dimulai, secara teratur setelah pengobatan
dimulai, setiap saat bila ada laporan nyeri baru dan setelah interval terapi 15-
30 menit setelah pemberian parenteral dan 1 jam setelah pemberian peroral.12
Dalam melakukan anamnesis terhadap nyeri kita harus mengatahui
bagaimana kualitas nyeri yang diderita meliputi awitan, lama, dan variasi
yang ditimbulkan untuk mengetahui penyebab nyeri. Selain itu, kita juga
harus mengetahui lokasi dari nyeri yang diderita apakah dirasakan diseluruh
tubuh atau hanya pada bagian tubuh tertentu. intensitas nyeri juga penting
ditanyakan untuk menetapkan derajat nyeri. Tanyakan pula keadaan yang
memperberat atau memperingan nyeri. Tanyakan pula tentang penyakit
sebelumnya, penggobatan yang pernah dijalani, dan alergi obat.12
Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan
patofisiologi nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk
mendapatkan hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri
menyebabkan stimulus simpatik seperti takikardia, hiperventilasi dan
hipertensi. Pemeriksaan Glasgow come scale rutin dilaksanakan untuk

17
mengetahui apakah ada proses patologi di intracranial. Pemeriksaan khusus
neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat penting dilakukan dan
yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia, hiperastesia, hiperpatia
dan alodinia pada daerah nyeri yang penting menggambarkan kemungkinan
nyeri neurogenik.12
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengatahui
penyebab dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan
laboratorium dan imaging seperti foto polos, CT scan, MRI atau bone scan.12

Mekanisme Kerja Obat Analgetik


Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral.
Golongan obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan
mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa
prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik opioid bekerja di sentral
dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga
terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal
tidak terjadi. Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat
yang mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang
lepas ini akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi,
edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga
prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu
rangsangan nyeri (nosiseptif).4,8
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis
sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari
enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal
ini menghasilkan kedua efek yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi)
maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan
perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan dua isoenzim, yaitu
ubiquitously dan constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang
diinduksikan inflamasi COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa
lambung, parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses
homeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan

18
fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan
terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi,
demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien di medulla
spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam
sensitisasi sentral.
Manajemen Nyeri
Farmakologis
World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan
untuk meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker.
Namun, formula ini dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut
karena memiliki strategi yang logis untuk mengatasi nyeri. Formulasi
ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan adalah
Obat Anti- Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol yang
merupakan obat-obatan yang bekerja di perifer. Apabila dengan obat-
obatan ini, nyeri tidak dapat teratasi, maka diberikan obat-obatan
golongan opioid lemahseperti kodein dan dextropropoxyphene.
Apabila regimen ini tidak juga dapat mencapai kontrol nyeri yang
efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan opioid kuat,
misalnya morfin.12

Gambar 2.5. WHO Analgesic Ladder

Baru-baru ini dikembangkan World Federation of Societies


of Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic Ladder telah dikembangkan
untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya, nyeri dapat dianggap
sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan
analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri pasca operasi akan berkurang

19
seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan
melalui suntikan dapat dihentikan. Anak tangga kedua adalah
pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid
kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat
diperoleh dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat yang
berkerja di perifer dan opioid lemah. Langkah terakhir adalah ketika
rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan menggunakan obatobatan
yang bekerja di perifer.10

Gambar 2.6.WFSAAnalgesic Ladder

Gambar 2.7.Pemilihan Farmakologis untuk manajemen nyeri

20
Analgesik Non-Opioid
Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum
digunakan diseluruh dunia adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS,
yang merupakan obat-obatan utama untuk nyeri ringan sampai
sedang.5,9 Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara
luas di seluruh dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat
karena segera dimetabolisme menjadi asam salisilat yang memiliki
sifat analgesik dan, mungkin anti-inflamasi.10
Dalam dosis terapeutik, asam salisilat memiliki waktu paruh
hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga dosis tinggi
akan mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin
dapat berkurang apabila diberika bersama-sama dengan antasida.
Dosis berkisar dari minimal 500mg, per oral, setiap 4 jam hingga
maksimum 4 g, per oral per hari. Aspirin memiliki efek samping yang
cukup besar pada saluran pencernaan, menyebabkan mual, gangguan
dan perdarahan gastrointestinal akibat efek antiplateletnya yang

21
irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan aspirin untuk pain relief
pascaoperasi harus dihindari apabila masih tersedia obat-obatan
alternatif lainnya.10 Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
memiliki dua efek, analgesik dan antiinflamasi. Semua OAINS
bekerja dengan cara yang sama dan karenanya tidak ada gunanya
memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada
umumnya, lebih berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan
kulit, mukosa buccal, dan permukaan sendi tulang.3,8
Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya
dan lamanya tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus
selama jangka waktu yang panjang maka dipilih obat dengan waktu
paruh yang panjang dan efek klinis yang lama. Namun, obat-obatan
kelompok ini memiliki insiden tinggi untuk efek samping penggunaan
jangka panjang dan harus digunakan dengan hati-hati. Semua OAINS
mempunyai aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan
pemanjangan waktu perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat
sintesis prostaglandin dalam mukosa lambung dan dengan demikian
menghasilkan pendarahan lambung sebagai efek samping.10
Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain
adalah: setiap riwayat ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal;
operasi yang berhubungan dengan kehilangan darah yang banyak,
asma, gangguan ginjal sedang hingga berat, dehidrasi dan setiap
riwayat hipersensitif untuk OAINS atau aspirin. Ibuprofen merupakan
obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara klinis efektif,
murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah
dibandingkan dengan OAINS dan asam mefenamat. Apabila rute oral
tidak tersedia obat dapat diberikan dengan rute lain seperti supositoria,
injeksi atau topikal. Aspirin dan sebagian besar OAINS tersedia
sebagai supositoria dan diserap dengan baik.10

22
Opioid Lemah
Codeine Merupakan opioid lemah yang berasal dari opium
alkaloid (seperti morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin,
memiliki efek yang dapat diprediksi bila diberikan secara oral dan
efektif terhadap rasa sakit ringan hingga sedang. Codeine dapat
dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus berhati-hati untuk
tidak melampaui maksimum dosis yang dianjurkan bila menggunakan
kombinasi parasetamol tablet. Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg
setiap 4 jam dengan maksimum 300 mg setiap hari.
Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan dengan metadon
tetapi memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal ini sering
dipasarkan dalam kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan
yang sama seperti Codeine harus diawasi. Dosis berkisar dari 32.5mg
(dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai 60mg setiap 4 jam
dengan maksimum 300mg setiap hari.10
Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer
sangat berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit
yang berlebihan tidak diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan
digunakan: Parasetamol 500 mg / codeine 8 mg tablet, 2 tablet setiap 4
jam sampai maksimum 8 tablet perhari.Apabila analgesia tidak
mencukupi - Parasetamol 1g secara oral dengan Kodein 30 sampai
60mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum 4 dosis dapat digunakan.

23
Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgesik sentral dengan afinitas rendah
pada reseptor mu dan kelemahan analgesiknya 10-20 % dari morfin.
Tramal dapat diberikan secara oral dan dapat diulang setiap 4-6 jam
dengan dosis maksimal 400 mg per hari.Opioid Kuat Nyeri hebat yang
berasal dari organ dalam dan struktur viseral membutuhkan opioid
kuat sebagai analgesianya. Rute oral mungkin tersedia pada pasien
yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga opioid kuat
seperti morfin dapat digunakan karena morfin sangat efektif per oral.
Bila pasien tidak dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara
pemberian lain harus dilakukan.10

Morfin
Morfin paling larut dalam air dibandingkan golongan opioid lainnya
dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting). Morfin memiliki
dua sifat yang mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) yaitu depresi
(analgesi, sedasi, perubahan emosi dan hipoventilasi alveolar) dan
stimulasi (stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiperaktif
refleks spinal, konvulsi dan sekresi hormon anti diuretik / ADH).
Morfin juga menyebabkan hipotensi ortostatik. Kontra indikasi
pemakaian morfin pada kasus asma dan bronkitis kronis karena efek
bronkokontriksinya. Efeksampingnya juga menyebabkan pruritus,
konstipasi dan retensio urin. Morfin dapat diberikan secara sub kutan,
intra muskular, intra vena, epidural dan intra tekal. Dosis anjuran
untuk mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/kgBB secara sub
kutan, intra muskular dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat
dewasa dapat diberikan 1-2 mg intra vena dan diulang sesuai

24
kebutuhan. Untuk megurangi nyeri dewasa paska bedah dan nyeri
persalinan digunakan dosis 2-4 mg epidural atau 0,05-0,2 mg
intratekal, dan ini dapat diulang antara 6-12 jam.10
Petidin
Petidin (meperidin, Demerol) adalah zat sintetik yang formulanya
sangat berbeda dengan morfin, tetapi memiliki efek klinik dan efek
samping yang mendekati sama. Perbedaan dengan morfin adalah
sebagai berikut:
- Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang
lebih larut dalam air
- Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan
normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat.
- Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut,
kekaburan pandangan, dan takikardi.
- Seperti morfin, dapat menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap
sfingter Oddi lebih ringan.
- Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetar pasca bedah
yang tidak ada hubungan dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg
iv pada dewasa. Sedangkan morfin tidak.
- Lama kerja petidin lebih pendek daripada morfin.

Fentanyl
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan
100 kali morfin, lebih larut dalam lemak dan menembus sawar
jaringan dengan mudah. Efek depresi nafas lebih lama dibandingkan
dengan efek analgesiknya. Dosis 1-3 µg/kgBB analgesiknya
berlangsung kira-kira 30 menit, karena itu hanya digunakan untuk
anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.10
Anestesi Lokal Respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait
dengan berkurangnya perdarahan dan nyeri yang teratasi dengan baik.
Ada beberapa teknik anestesi lokal sederhana yang dapat dilanjutkan
ke periode pasca-operasi untuk memberikan pain relief yang

25
efektif.10Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang
seperti Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama
beberapa jam. Apabila nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang
atau dengan menggunakan infus. Blokade pleksus atau saraf perifer
akan memberikan analgesia selektif di bagian-bagian tubuh yang
terkait oleh pleksus atau saraf tersebut.12
PCA (Patient Control Analgesia) Pasien dikontrol nyerinya dengan
memberikan obat analgesik itu sendiri dengan memakai alat (pump),
dosis diberikan sesuai dengan tingkatan nyeri yang dirasakan. PCA
bisa diberikan dengan cara Intravenous Patient Control Analgesia
(IVPCA) atau Patient Control Epidural Analgesia (PCEA), namun
dengan cara ini memerlukan biaya yang mahal baik peralatan maupun
tindakannya.12

Agent % Duratio Max. single % Comments


solution n dose mg/kg. solution
for (hours) (Total mg for
analgesic in adults* infusion
blocks see
footnote)
Lignocaine
Rapid
onset.
Dense
motor
block.

Infiltration 0.5-1 1-2 7 -


Epidural 1-2 1-2 (500) 0.3-0.7
Plexus or 0.75-1.5 1-3 0.5-1.0
nerve
Mepivacaine Rapid
onset.
Dense
motor
block.
Longer
action than
lignocaine.

Infiltration 0.5-1 1.5-3 7 -


Epidural 1-2 1.5-3 (500) 0.3-0.7
Plexus or 0.75-1.5 2-4 0.5-1.0
nerve

26
Prilocaine Rapid
onset.
Dense
motor
block. Least
toxic amide
agent.
Methaema-
globinaemia
>600mg

Infiltration 0.5-1 1-2 8.5 -


Epidural 2-3 1-3 (600) 0.5-1
Plexus or 1.5-2 1.5-3 0.75-
nerve 1.25

Bupivacaine Avoid
0.75% in
obstetrics.
Mainly
sensory
block at low
concen-
trations.
Cardiotoxic
after rapid
IV
injection.

Infiltration 0.125-0.25 1.5-6 3.5 -


Epidural 0.25-0.75 1.5-5 (225) 0.0625-
0.125
Plexus or 0.25-0.5 8-24+ 0.125- 0.25
nerve
Chloroprocaine Lowest
systemic
toxicity of
all agents.
Motor /
sensory
deficits may
follow
intrathecal
injection.

Infiltration 1 0.5-1 14 -

2.1.1.1. Manajemen non Farmakologis

27
Berikut ini merupakan tabel yang menyajikan terapi non farmakologis
yang sering dipakai.12

2.3 Chocking

Definisi

Choking (tersedak) adalah respons fisiologis terhadap sumbatan tiba-


tiba saluran udara. Obstruksi jalan nafas benda asing (FBAO) menyebabkan
asfiksia dan merupakan kondisi yang menakutkan, terjadi sangat akut,
dengan pasien sering tidak dapat menjelaskan apa yang terjadi pada mereka.
Jika parah, dapat mengakibatkan hilangnya kesadaran dan kematian dengan
cepat jika pertolongan pertama tidak dilakukan dengan cepat dan berhasil.
Pengakuan dan respons segera adalah yang paling penting.4
Beberapa faktor membuat anak sangat rentan tersedak.Jalan nafas
seorang anak jauh lebih kecil daripada jalan orang dewasa.Karena hambatan
udara berbanding terbalik dengan radius penampang ke kekuatan keempat,
objek kecil dapat memiliki efek drastis pada kemampuan bernapas anak.
Seorang anak tidak menghasilkan kekuatan yang sama ketika batuk sebagai
orang dewasa, sehingga upaya mereka mungkin tidak cukup untuk mengusir
benda asing.Selain itu, anak-anak biasanya memasukkan benda-benda ke
dalam mulut mereka, mulai dari bayi ketika mereka menemukan lingkungan
mereka.4

28
Makanan bulat lebih cenderung menyebabkan tersedak fatal pada anak-
anak, dengan hot dog yang paling umum, diikuti oleh permen, kacang-
kacangan, dan anggur. Di antara barang-barang non-makanan, balon lateks
dilaporkan menjadi penyebab utama tersedak fatal pada anak-anak.9 Balon
lateks dapat sesuai dengan jalan napas membentuk segel ketat sehingga
sangat berbahaya bagi anak-anak.4
Untuk orang dewasa, hasil otopsi dari 200 korban tersedak
menunjukkan daging, ikan, dan sosis bertanggung jawab atas kematian
dalam 71% kasus diikuti oleh roti dan produk roti (12%) dan buah-buahan
dan sayuran (7%).4

Epidemiologi
Insiden episode tersedak yang tidak fatal sulit diukur karena banyak
dari kejadian ini bersifat sementara dan tidak menghasilkan kunjungan ke
rumah sakit. Dari anak-anak yang menerima perawatan untuk tersedak tidak
fatal, makanan adalah pencetus yang paling umum, dengan 59,5% kasus
diikuti oleh barang-barang bukan makanan, seperti koin, kelereng, balon, dan
kertas, dengan 31,4%. Dalam 9,1% kasus, penyebabnya tidak diketahui.4
Di antara anak-anak, tingkat tersedak tertinggi di antara bayi kurang
dari satu tahun, dan lebih dari 75% insiden tersedak terjadi pada anak-anak di
bawah 3 tahun. Tidak ada perbedaan signifikan yang muncul dalam tingkat
tersedak antara anak laki-laki dan perempuan.4
Di antara orang dewasa, kondisi yang terkait dengan risiko tersedak
yang lebih tinggi termasuk penyakit Alzheimer, parkinsonisme, stroke
sebelumnya, cacat intelektual atau perkembangan, gigi yang buruk,
keracunan, disfagia bersama dengan obat-obatan psikotropika, dan usia lanjut.
Para peneliti mengamati tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat
tersedak antara pria dan wanita. Perkiraan tingkat tersedak fatal untuk orang
dewasa berusia 18 hingga 64 tahun adalah 0,1 per 100000 dan 0,7 per 100000
untuk mereka yang berusia di atas 65 tahun.19

Etiologi

29
Obstruksi jalan napas dapat terjadi di mana saja dari faring ke bronkus.
Obstruksi pada laring, di atas pita suara, memiliki prognosis yang lebih baik
karena manuver terapeutik cenderung lebih efektif daripada ketika obstruksi
terjadi di bawah laring, yang mungkin memerlukan pengangkatan dengan
instrumentasi.19 Juga, tingkat obstruksi penting karena obstruksi parsial masih
akan memungkinkan jalan udara dan dapat memberikan waktu tambahan
sebelum pasien menjadi hipoksia. Kejang dan edema terjadi akibat obstruksi
jalan napas dan menjadi lebih parah seiring berjalannya waktu.Secara
bersamaan upaya pasien untuk mengeluarkan objek menurun seiring waktu,
membuat pengusiran spontan dari objek yang diajukan lebih kecil
kemungkinannya.Meskipun tidak mungkin untuk dikendalikan, jumlah udara
yang terperangkap di paru-paru pada saat obstruksi total akan memengaruhi
tekanan yang dihasilkan oleh tindakan terapeutik, seperti dorongan perut,
untuk mengangkat objek.19
Stridor, suara pernapasan bernada sangat tinggi, adalah pemeriksaan
fisik umum yang ditemukan pada obstruksi jalan napas.Penyebabnya
disebabkan oleh aliran turbulen yang cepat melalui saluran napas yang
sempit.Pengurangan aliran udara meningkatkan energi yang dikeluarkan
untuk menggerakkan udara melintasi jalan napas, menghasilkan aliran udara
turbulen dan, selanjutnya, stridor dan gangguan pernapasan.20Stridor biasanya
terdengar pada saat inspirasi tetapi juga dapat terdengar saat kedaluwarsa
pada obstruksi berat. Stridor biphasic ini menunjukkan obstruksi jalan nafas
yang berat dan menetap pada tingkat glotis, subglotis, atau trakea atas.21

Diagnosis

Pendekatan terhadap pasien yang tersedak harus dimulai dengan


penilaian ABC (jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi). Dokter harus fokus
pada warna kulit, tingkat kesadaran, dan kerja pernapasan, mencatat retraksi
dinding dada, hidung melebar, dan penggunaan otot-otot tambahan.22
Obstruksi jalan nafas yang lengkap akan menyebabkan kegagalan pernapasan
jika tidak dikenali dan diobati sejak dini. Tiba-tiba timbulnya gangguan

30
pernapasan disertai dengan batuk, stridor, mengi, atau tersedak waran
tindakan muncul dan harus menimbulkan kecurigaan tinggi untuk
FBAO.Pasien yang tersedak mungkin menunjukkan tanda universal untuk
obstruksi jalan napas dengan memegang lehernya dengan kedua tangan.
Ketika pasien stabil, dan clincian dapat memperoleh riwayatnya, perhatian
khusus harus fokus pada usia (baik sangat muda atau lanjut usia), kecacatan
intelektual atau neuromuskuler, dan peristiwa pemicu seperti makan atau
bermain dengan mainan.22
Fitur pemeriksaan fisik klasik termasuk stridor dan suara serak untuk
benda asing laryngotracheal dan mengi unilateral dan penurunan suara nafas
untuk benda asing di bronkus.Pemeriksaan faring harus dilakukan, dan jika
ada benda asing yang terlihat, mungkin harus diangkat tetapi hindari menyapu
dengan jari. Pemeriksaan faring juga harus mengevaluasi penyebab stridor
dan gangguan pernapasan lainnya seperti epiglotis dan abses peritonsillar.22
Sementara riwayat batuk dan tersedak tiba-tiba adalah yang paling
diprediksi FBAO, penyedia layanan harus memiliki kecurigaan klinis yang
tinggi untuk FBAO karena sejumlah besar pasien datang tanpa batuk, stridor,
atau mengi. Dengan tidak adanya temuan pemeriksaan fisik ini, penyedia
harus memperhatikan faktor-faktor risiko seperti usia atau cacat dan temuan
rontgen dada atelektasis, hiperinflasi paru, atau pneumonia. Sementara
timbulnya gejala yang tiba-tiba adalah yang paling umum, diagnosis tidak
dapat dikesampingkan berdasarkan durasi gejala karena banyak pasien yang
hadir lebih dari 24 jam setelah aspirasi benda asing.22

Evaluasi
Walaupun diagnosis FBAO sering didasarkan pada riwayat dan fisik,
radiografi mungkin berguna untuk mengkonfirmasi diagnosis tetapi tidak
boleh digunakan untuk mengecualikan diagnosis, karena radiografi normal
pada lebih dari 50% benda asing trakea. 23 Radiografi lateral dan frontal tegak
dari leher direkomendasikan untuk dugaan obstruksi jalan nafas atas,
sementara pandangan inspirasi dan ekspirasi dada dapat ditambahkan untuk
obstruksi jalan nafas bawah.23 Karena kebanyakan benda asing bersifat

31
radiolusen, tanda-tanda obstruksi tidak langsung seperti distensi hipofaring
yang berlebihan dan pembengkakan jaringan lunak prevertebral dapat
membantu dalam diagnosis. Jika benda asing tersebut berada di bagian yang
lebih rendah dari jalan napas, foto thoraks dapat mengungkapkan hiperinflasi
unilateral, atelektasis, atau pergeseran mediastinum. Pandangan ekspirasi
telah menunjukkan untuk meningkatkan akurasi diagnostik karena paru-paru
yang terkena akan tetap ringan karena udara tetap terperangkap jauh dari
benda asing.23

Tatalaksana
Seorang anak dengan dugaan obstruksi jalan nafas yang masih dapat
mempertahankan beberapa derajat ventilasi harus dibiarkan membersihkan
jalan nafas dengan batuk.Jika anak tidak dapat batuk, menyuarakan, atau
bernapas, langkah-langkah yang muncul diperlukan untuk membersihkan
jalan napas. Untuk bayi di bawah usia satu tahun, urutan bergantian dari lima
pukulan punggung dan lima dorongan dada dilakukan sampai benda tersebut
hilang atau bayi menjadi tidak responsif. Dorongan perut tidak boleh
dilakukan pada bayi karena hati mereka lebih rentan terhadap cedera.24
Untuk anak yang tersedak, usianya lebih dari satu tahun, dorongan
perut subdiaphragmatic (mis., Manuver Heimlich) harus dilakukan sampai
membersihkan objek. Jika bayi atau anak menjadi tidak responsif, segera
mulai kompresi dada.Setelah 30 kompresi, jalan nafas harus menjalani
evaluasi, dan jika benda asing terlihat, itu membutuhkan pengangkatan, tetapi
sapuan jari tidak boleh dilakukan karena mereka dapat mendorong benda
asing ke bawah ke laring.Serangkaian 30 kompresi dan dua napas harus
berlanjut sampai objek dikeluarkan. 24
Perawatan untuk orang dewasa dengan FBAO lengkap sama dengan
perawatan seorang anak di mana seorang pengamat melakukan manuver
Heimlich sampai mengeluarkan benda asing atau CPR jika pasien kehilangan
kesadaran. Jika tidak ada yang hadir untuk membantu dalam manuver
Heimlich, individu yang tersedak dapat mengatur sendiri dengan tinjunya
atau dengan bersandar pada benda keras seperti bagian belakang kursi. Untuk
pasien yang sedang hamil atau obesitas yang tidak wajar, tekanan perut

32
mungkin tidak layak, dan tekanan dada terhadap tulang dada pasien dapat
dilakukan.25
Jika langkah-langkah pendukung kehidupan dasar yang dijelaskan di
atas tidak menghilangkan penghalang, laringoskopi langsung harus dilakukan
dengan upaya untuk menghapus benda asing dengan forceps dan / atau
sedotan Magill. Jika objek tersebut masih menyebabkan penyumbatan dan
dokter percaya bahwa benda asing itu berada di atas level pita suara, maka
dilakukan prosedur cricothyrotomy dengan ventilasi trans-trakea. Jika benda
asing bersarang di bawah tingkat pita suara, penyedia dapat mencoba intubasi
endotrakeal dengan tabung endotrakeal (ET) yang digunakan untuk
memajukan benda asing ke dalam bronkus induk utama kanan. Tabung ET
kemudian harus ditarik di atas carina untuk memungkinkan ventilasi paru-
paru kiri, dan persiapan harus dilakukan untuk bronkoskopi di ruang
operasi.22
Ketika FBAO parsial dicurigai, bronkoskopi diagnostik harus sangat
dipertimbangkan, bahkan tanpa adanya temuan radiologis.Riwayat kejadian
aspirasi yang disaksikan, temuan pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis
harus layak dipertimbangkan untuk menentukan perlunya
bronkoskopi.Namun, pemeriksaan fisik negatif dan temuan radiologis saja
tidak boleh digunakan untuk menyingkirkan FBAO. Sebuah studi multi-tahun
dengan 431 pasien menentukan bahwa meskipun pemeriksaan fisik negatif
dan temuan radiologis, sepertiga dari pasien ini masih ditemukan memiliki
benda asing dengan bronkoskopi.22

Prognosis
Prognosis FBAO tergantung pada derajat obstruksi dan durasi hipoksia.
Pasien dengan FBAO parsial yang dapat membersihkan jalan napas memiliki
sedikit atau tidak ada komplikasi dan dapat dikelola berdasarkan faktor risiko
yang ada untuk kejadian aspirasi di masa depan. Dalam FBAO lengkap,
kehilangan kesadaran terjadi dalam hitungan detik hingga menit. Untuk
pasien yang membutuhkan CPR, hasilnya sangat suram karena mortalitas

33
mencapai 90% untuk keluar dari serangan jantung di rumah sakit, dan dari
mereka yang bertahan hidup untuk masuk rumah sakit, mortalitas mencapai
60% -70%.26 Sementara hasil neurologis memburuk dengan meningkatnya
durasi hipoksia, prognosisnya seringkali sulit diprediksi. Temuan yang
menandakan prognosis yang lebih buruk termasuk tidak adanya refleks
cahaya pupil, refleks kornea absen, status mioklonus epileptikus, dan pola
EEG ganas yang didefinisikan sebagai penindasan burst, penindasan umum,
koma alfa, status epileptikus pasca-anoksik, atau latar belakang yang tidak
reaktif.26 Karena kesulitan dalam memprediksi hasil yang menguntungkan,
pedoman merekomendasikan menunda penarikan langkah-langkah yang
menopang hidup sampai setidaknya 72 jam setelah kembalinya sirkulasi
spontan (ROSC).26

Komplikasi
Komplikasi FBAO yang paling ditakuti adalah hipoksia yang
mengakibatkan henti napas, cedera otak anoksik, dan kematian.Komplikasi
jangka panjang dari benda asing yang tidak terdiagnosis adalah atelektasis,
pneumonia, atau bronkiektasis, kadang-kadang membutuhkan lobektomi atau
segmentektomi.Juga tidak jarang pengobatan FBAO memiliki efek samping
yang merusak.Komplikasi dari manuver Heimlich termasuk cedera pada perut
atau visera toraks dan regurgitasi isi lambung. Untuk pasien yang
membutuhkan bronkoskopi, komplikasi potensial termasuk perdarahan,
infeksi, perforasi jalan napas, dan pneumotoraks.27

2.4 Pasien Kritis


Definisi
Sakit kritis adalah proses semua penyakit yang menyebabkan
ketidakstabilan fisiologis yang mengarah ke disabilitas/kecacatan atau
kematian dalam beberapa menit atau beberapa jam secara signifikan. Pada
kebanyakan pasien, sakit kritis didahului oleh periode penurunan fisiologis,
tetapi bukti menunjukkan bahwa tanda-tanda awal ini seringkali
terlewatkan.28

34
Pasien yang sakit kritis adalah pasien yang memiliki salah satu risiko besar
akan kematian; keparahan penyakit harus dideteksi sejak awal dan mengambil
langkah yang tepat dalam menilai, mendiagnosis serta penatalaksanaanya.28

. Penilaian Awal Pasien Kritis


A. Diagnosis Pasien Kritis di ruangan
Dokter jaga ruangan atau perawat perlu memiliki pengetahuan yang baik
tentang pasien yang beresiko dan berkembang menjadi kritis, gejala dini
pasien yang berpotensi kritis, pemantauan pasien yang beresiko kritis,
melakukan monitoring selama di perjalanan dari ruangan ke ICU.29

Gambar 2.8. Penilaian awal pasien kritis

B. Pasien yang Beresiko Penyakit Kritis

35
Beberapa kelompok pasien beresiko tinggi menjadi kritis oleh karena
asal penyakitnya, keadaan fisiologis yang tidak dapat menahan
perkembangan penyakit, monitoring yang tidak lengkap atau karena
penanganan yang kurang optimal. Pasien-pasien seperti ini perlu mendapat
perhatian yang lebih serius terhadap tanda perburukan serta perlunya
tindakan yang sesuai dengan segera untuk menghentikan proses perburukan
tersebut.
Pasien yang beresiko menjadi kritis yaitu : Pasien emergensi, komorbid
serius seperti penyakit jantung, penyakit paru, pasca bedah mayor, pasca
bedah disertai komorbid kardiovaskuler, diabetes, penyakit paru dan lain-
lain.30

C. Riwayat dan Tanda Penyakit Kritis


Sebagian besar pasien sebelum masuk perawatan ICU mempunyai
riwayat difungsi fisiologis yang seringkali berkembang hingga perlu
mendapatkan resusitasi kardiopulmonar.Kelainan patofisiologis yang utama
sebelum terjadi henti jantung adalah gejala respiratorik, metabolik, jantung
dan neurologik dan hal ini biasanya berhubungan.Riwayat klinik yang
berdasarkan kriteria fisiologis telah diidentifikasi menghasilkan protokol
dasar pengawasan atau sistem skoring untuk mendiagnosis ancaman atau
timbulnya penyakit kritis. Sebagai contoh adalah sistem Skor dari bagian
ICU adalah Early Warning Score.30

Early Warning Score (EWS)


A. Definisi
Skor penilaian dini (Early Warning Score) merupakan salah satu
deteksi dini untuk memprediksi adanya perburukan dengan tujuan untuk
mengidentifikasi perburukan klinis yang terjadi pada pasien yang sudah
mempunyai beberapa kebutuhan medis.31,32
Studi observasional menunjukkan bahwa pasien sering menunjukkan
tanda-tanda perburukkan klinis hingga 24 jam sebelum peristiwa klinis yang
serius membutuhkan intervensi intensif. System skor peringatan dini (EWS)

36
sering digunakan oleh tim perawatan rumah sakit untuk mengenali tanda-
tanda awal perburukan klinis dan memicu perawatan yang lebih intensif
seperti meningkatkan perhatian keperawatan, memberi tahu penyedia
perawatan, atau mengaktifkan tim respon cepat atau tim darurat medis.
Penggunaan EWS telah meningkat sejak Institute for Healthcare
Improvement meluncurkan 100.000 lives campaign di tahun 2004, dimana
penggunaan tim respon cepat direkomendasikan untuk menyelamatkan
nyawa. Banyak system rumah sakit telah menerapkan penggunaan skor
EWS dan meskipun bukti menunjukkan bahwa hal ini mengarah pada
peningkatan penggunaan tim respon cepat dan penerimaan ke ruang
perawatan intensif (Intensive Care Unit).33

B. Sejarah
Menjelang akhir abad ke-20 bukti yang terkumpulkan menunjukkan
bahwa pasien di bangsal rumah sakit mengalami kematian serta kerugian
yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa serangan jantung atau kematian biasanya didahului oleh beberapa
jam fisiologi yang kacau. Rekomendasi dibuat untuk menempatkan system
di tempat untuk menggunakan informasi ini untuk mengidentifikasi dan
menanggapi perburukan yang sebelumnya tidak dikenali pada pasien.
Sebagai tanggapan, EWS pertama diterbitkan pada tahun 1997.34,35
EWS adalah alat sederhana untuk mengurangi bahaya yang tidak perlu
terjadi dirumah sakit.Model prediksi klinis ini menggunakan tanda-tanda
vital pasien yang diukur untuk memantau kesehatan mereka selama tinggal
di rumah sakit dan mengidentifikasi kemungkinan perburukan mereka,
dicirikan sebagai kematain atau masuk ke unit perawatan intensif (ICU).Jika
pasien menunjukkan tanda-tanda memburuk, EWS memicu peringatan
sehingga perawatan dapat ditingkatkan. EWS yang juga sering disebut
sebagai track and trigger score, sering diterapkan sebagai bagian dari
system peringatan dini atau system EWS. Ini adalah system computer yang
merekam tanda-tanda vital, secara otomatis atau secara manual dan

37
kemudian mengimplementasikan algoritma EWS untuk menunjukkan risiko
pasien mengalami kemunduran.33
Sekarang ada banyak EWS yang tersedia. EWS secara rutin digunakan di
beberapa negara termasuk Belanda, Amerika Serikat dan Australia dan
penggunaannya di rumah sakit Inggris dimandatkan sebagai standar
perawatan oleh Institut Nasional untuk kesehatan dan keunggulan klinis
(National Institute For Health and Clinical Excellence). Berdasarkan
statistik episode rumah sakit, kami memperkirakan bahwa EWS digunakan
lebih dari 120 juta kali per tahun di NHS di Inggris saja, sebuah perkiraan
konservatif yang mungkin meremehkan total yang sebenarnya.33,34
EWS telah diturunkan menggunakan berbagai pendekatan. Beberapa
telah dikembangkan menggunakan metode statistic untuk prediksi klinis,
dengan menghubungkan pengamatan (tanda-tanda vital) untuk hasil
(misalnya kematian, masuk ICU) melalui model regresi. Lainnya telah
didasarkan pada konsensus klinis tanpa pemodelan statistic.Meskipun
sekarang ada banyak model prediksi klinis di banyak bidang kedokteran dan
perawatan kesehatan, pada praktiknya banyak dari model ini jarang
digunakan. Tinjauan sistematis model prediksi klinis di area klinis lainnya
semuanya menyimpulkan bahwa banyak yang tidak berkembang dengan
baik dan bahwa mereka jarang dan tidak tepat dievaluasi(sering disebut
validasi) yang diuji dalam pengaturan yang berbeda yang mereka
kembangkan. Tidak ada kesepakatan bersama tentang mana dari puluhan
EWS yang tersedia berkinerja terbaik. Yang paling problematis, bukti
terbaru menunjukkan bahwa EWS tidak memecahkan masalah yang mereka
rancang untuk kerusakan yang tidak diakui pada pasien di rumah sakit tetap
menjadi masalah besar.34,36

C. Klasifikasi EWS
1. National Early Warning Score (NEWS)
NEWS didasarkan pada sistem penilaian agregat sederhana di mana
skor dialokasikan untuk fisiologis pengukuran, sudah direkam dalam
praktek rutin, ketika pasien datang atau sedang dimonitor di Rumah Sakit.

38
Di Inggris, Royal College of Physicians mengembangkan Skor
Peringatan Dini Nasional (NEWS) pada tahun 2012 untuk menggantikan
skor lokal atau regional. Skor NEWS adalah upaya EWS nasional terbesar
hingga saat ini dan telah diadopsi di luar Inggris.
Versi kedua dari skor diperkenalkan pada 2017.Versi yang direvisi
dioptimalkan untuk identifikasi sepsis, target oksigen alternatif pada orang
dengan penyakit paru-paru yang mendasarinya, dan timbulnya delirium.
Panduan implementasi tambahan dikeluarkan pada Maret 2020.37
Sementara banyak rumah sakit masih menggunakan skor lain, telah
diusulkan bahwa semua organisasi layanan kesehatan harus menggunakan
skor yang sama untuk kepentingan keselamatan pasien. Terdapat enam
parameter fisiologis sederhana membentuk dasar sistem penilaian yaitu :37
- Laju Pernafasan (Respiratory rate)
Laju pernafasan normal pada orang dewasa adalah 12 sampai dengan
20 kali per menit.Laju pernafasan harus dihitung selama satu menit
agar data akurat.Peningkatan laju pernafasan menjadi tanda yang
berpengaruh kuat terhadap adanya distres dan kegawatan akut.Pada
skoring EWS, laju pernafasan kurang dari 8 atau lebih dari 24 kali per
menit menjadi tanda (warning) kegawatan untuk segera
ditangani.Penanganan kegawatan dilakukan untuk mempertahankan
kecukupan oksigen ketika terjadi peningkatan maupun penurunan laju
pernafasan sesuai algoritma EWS.
- Saturasi Oksigen
Saturasi oksigen merupakan pengukuran kadar oksigen dalam darah.
Pemeriksaan oksigen tanpa prosedur invasi sering digunakan di rumah
sakit dengan penggunakan oksimetri.Kadar oksigen dalam darah yang
terdeteksi pada oksimetri memiliki nilai normal 97-100%.Pada skoring
EWS saturasi oksigen menjadi salah satu parameter yang
mengindikasikan adanya distres pernafasan.Tanda awal dimana tubuh
berkompensasi terhadap kurangnya oksigen dalam tubuh (hypoxia)
dengan meningkatkan laju pernafasan.Jika saturasi oksigen kurang dari
90% maka perlu dilakukan tindakan pemberian oksigen.
- Tekanan darah sistolik (systolic blood pressure)

39
Pengukuran tekanan darah dilakukan pada kondisi istirahat.Sekurang-
kurangnya dua puluh menit setelah melakukan aktivitas dan dilakukan
pada lengan tanpa terhambat oleh kain tebal dan sejenisnya.Tujuannya
adalah agar diperoleh hasil yang lebih akurat. Terjadinya hipotensi
mengindikasikan adanya gangguan pada sistem sirkulasi terkait adanya
sepsis, penurunan volume darah, gagal jantung, gangguan irama
jantung, depresi neurologis dan efek terapi atau medikasi.Peningkatan
tekanan darah sistole diatas 200 mmHg dapat terjadi karena adanya
distres, nyeri dan panik, tergantung pada kondisi klinis pasien. Pada
penggunaan skoring EWS tekanan darah sistol dibawah 100 mmHg
menjadi tanda awal perburukan (deterioration).
- Denyut nadi (pulse rate)
Pengkajian nadi perlu dikaji irama, kekuatan, dan frekuensi.Frekuensi
nadi dihitung selama satu menit tanpa melakukan aktivitas.Nadi yang
cepat (takikardi) mengindikasikan adanya sepsis pada sistem sirkulasi
dan pembuluh darah, penurunan volume darah, aritmia, gangguan
metabolik seperti hepertiroid, keracunan obat dan dapat terjadi karena
gejala simtomatik yang ditimbulkan dari efek obat antikolonergik.Nadi
yang lambat juga menjadi indikator penting klinis pasien.Seperti efek
obat-obatan golongan beta bloker, hipotermi, depresi neurologis,
hipertiroid dan sumbatan pembuluh darah jantung. Berdasarkan
algoritma EWS, jika frekuensi nadi kurang dari 40 kali per menit atau
lebih dari 130 kali per menit maka perlu memanggil tim gawat darurat.
- Tingkat Kesadaran (level of consciousness or new confusion)
Status neurologis dapat dinilai cepat dengan mengkaji tingkat
kesadaran pasien.Pengkajian tingkat kesadaran menjadi satu
kesatuan bersama pengukuran tanda-tanda vital.Pada area
keperawatan di ICU, umum digunakan Score ACVPU untuk
menilai kesadaran yang juga merupakan indikator dalam skoring
EWS.
- Alert : Pasien sadar penuh, mampu membuka mata spontan,
berespon terhadap suara (walaupun ada kebingungan) dan
fungsi motorik baik.

40
- Confusion : Pasien bisa saja alert, tetapi pasien bingung dan
disorientasi.
- Voice : Pasien menunjukkan respon saat diajak bicara, walaupun
respon mata, suara dan gerakan tidak berfungsi penuh. Seperti
saat ditanya keluhan, pasien hanya merintih atau menggerakkan
jarinya.
- Pain : Pasien berespon terhadap rangsang nyeri. Seperti fleksi
atau ekstensi ekstremitas atas.
- Unresponsive : Pasien tidak berespon secara verbal, visual
maupun motorik, keaadaan ini sering disebut dengan kondisi
tidak sadar (unconscious).
- Suhu (Temperature)
Suhu normal orang dewasa adalah antara 36,50C dan
37,20C.Pengukuran suhu dilakukan minimal dua kali dalam sehari
kecuali pada pasien terminal dan paliatif (National Early Warning
Score).Peningkatan suhu (hipertermi) dan penurunan suhu yang
ekstrim (hipotermi) termasuk dalam dasar parameter sistem EWS yang
merefleksikan sensitivitas suhu tubuh dan menjadi penanda adanya
kerusakan pada sistem organ tubuh.

Penghitungan Skor NEWS


Menjelang akhir abad ke-20 bukti yang terkumpulkan menunjukkan
bahwa pasien di bangsal rumah sakit mengalami kematian serta kerugian
yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa serangan jantung atau kematian biasanya didahului oleh beberapa
jam fisiologi yang kacau. Rekomendasi dibuat untuk menempatkan system
di tempat untuk menggunakan informasi ini untuk mengidentifikasi dan
menanggapi perburukan yang sebelumnya tidak dikenali pada pasien.
Sebagai tanggapan, EWS pertama diterbitkan pada tahun 1997.33,34

41
Gambar 2.9. Penilaian Pasien dengan Skor NEWS37

Gambar 2.10. Interpretasi risiko scoring nilai NEWS37

42
Gambar 2.11. Lembar Observasi Scoring NEWS37

2. Pediatric Early Warning Score (PEWS)


Sistem PEWS dikembangkan untuk memberikan penilaian yang dapat
direproduksi terhadap status klinis anak saat dirawat di rumah
sakit.Sebagian besar penelitian yang menyelidiki PEWS mengevaluasi
kegunaannya dalam pengaturan rawat inap. Studi terbatas mengevaluasi
efektivitas dan intefrasi PEWS di departemen darurat pediatrik.38,39

Tabel 2.1.Pediatric Early Warning Score


Komponen 0 1 2 3
Perilaku Bermain/se Tidur Iritabel Letargi/bingung,
suai atau

43
berkurangnya
respons terhadap
nyeri
Kardiovaskular Merah Pucat atau Abu-abu atau Abu-abu atau
jambu atau waktu pengisian waktu mottled atau
waktu kapiler 3 detik pengisian waktu pengisian
pengisian kapiler 4 kapiler ≥ 5 detik
kapiler 1-2 detik atau atau takikardia >
detik takikardi > 20 30 laju normal
laju normal atau bradikardi.
Respirasi Normal, >10 diatas >20 diatas ≥ 5 dibawah
tidak ada normal, normal, normal dengan
retraksi penggunaan otot retraksi atau retraksi, merintih
bantu napas atau fiO2 30% atau fiO2 50%
fiO2 30% atau 3 atau 6 atau 8 L/menit.
L/menit L/menit
Skor 2 tambahan untuk ¼ jam nebulisasi (terus menerus) atau muntah persisten setelah
operasi

Pediatric Early Warning Score mempunyai skor total antara 0-13, skor
total ≥ 4 atau skor 3 pada salah satu domain PEWS, hal ini mencerminkan
nilai kritis yang mebutuhkan tindakan konsultatif.35,36

3. Modified Early Warning Score


Dimodifikasi untuk memenuhi persyaratan banyak orang dalam berbagai
situasi klinis.
Tabel 2.2. Penilaian Modified Early Warning Score

44
Gambar 2.12. Algoritma observasi dengan Scoring MEWS

4. Modified Early Obstetric Warning Score (MEOWS)


Modifikasi Skor Obstetri Peringatan Dini (MEOWS) telah dirancang
untuk memungkinkan pengakuan dini terhadap penurunan fisik pada wanita
yang mengalami partus dengan memantau parameter fisiologis mereka. Skor
> 0 memicu penggunaan 'panggilan kaskade' yang memberikan instruksi
spesifik mengenai tingkat pemantauan, rujukan untuk saran, ulasan, dan
tindakan segera untuk dipertimbangkan.40

Tabel 2.3. Penilaian Modified Early Obstetric Warning Score

D. Indikasi Penggunaan Skor EWS

45
Berdasarkan panduan klinis Early Warning Score (EWS), terdapat
beberapa kriteria pasien yang perlu dilakukan skoring EWS, meliputi :
- Pasien dewasa yang dirawat baik di ruang rawat penyakit dalam
maupun bedah.
- Semua pasien di area pelayanan rumah sakit, termasuk dalam
perawatan ODC (One Day Care), kateterisasi jantung, OPD (Out
Patient Departement) dan area perawatan khusus lainnya.
- Pasien dengan karakteristik khusus yaitu pasien anak-anak (pediatric),
ibu hamil (Obstetric) dan unit pelayanan khusus (ICU, ICCU, HCU,
HD) dengan menggunakan standar EWS yang telah dimodifikasi
(Modified Early Warning Score) seperti Pediatric Early Warning
Score (PEWS) dan Obstetric Early Warning Score (OEWS).
Berdasarkan National Health Services menyebutkan bahwa ada beberapa
pengecualian pasien yang tidak perlu dilakukan skoring EWS, meliputi:
pasien dengan penyakit terminal, pasien rawat inap yang sudah direncanakan
pulang, dan pasien-pasien yang tidak membutuhkan observasi
berkesinambungan.

2.3.4. Tingkat Perawatan Pasien Sakit Kritis 41


- Tingkat 0
Pasien-pasien stabil yang kebutuhannya dapat dipenuhi oleh perawatan di
bangsal rutin
- Tingkat 1
Pasien yang kondisinya berisiko memburuk dan memerlukan observasi
klinis secara cermat yang dapat dilakukan di bangsal umum
- Pasien yang baru-baru ini direlokasi dari tingkat perawatan yang lebih
tinggi yang kebutuhannya dapat dipenuhi dengan anjuran dan dukungan
dari tim perawatan klinis
- Tingkat 2 (HCU)
Pasien yang memerlukan pemantauan yang lebih mendetail (missal
tekanan darah arteri invasif, CVP). Bantuan untuk kegagalan sistem organ
tunggal, termasuk ventilasi tekanan positif non-invasif

46
Pasien-pasien pasca operasi tertentu (misal setelah operasi besar pada
pasien- pasien berisiko tinggi)
Pasien yang baru pindah dari perawatan tingkat 3 Tingkat 3 (ICU)
Pasien yang membutuhkan bantuan pernapasan lanjut (intubasi trakea dan
ventiasi mekanis)
Pasien-pasien dengan MOFS (multiple organ failure syndrome)

Gambar 2.13. Penatalaksanaan Pasien

BAB III
SKENARIO KASUS

47
3.1 Transport Pasien
Anda bertugas sebagai dokter jaga ICU dan diminta untuk merujuk pasien ke
ICU rumah sakit tersier di kota anda. Bagaimana tatalaksana transpor pasien
tersebut? (Tuliskan referensi jawaban anda)
Pembahasan:
Pada kasus ini termasuk dalam kategori transfer pasien eksternal (inter
hospital transfer) yang artinya proses memindahkan pasien dari satu rumah
sakit ke rumah sakit lain.Untuk tatalaksana transpor pasien
1. Keputusan melakukan trasnpor: berdasarkan indikasi dan kebutuhan
pelayanan pasien
2. Pengambil keputusan untuk transpor dilakukan oleh DPJP (sepengetahuan
dan persetujuan)
3. Koordinasi sebelum transport dengan menghubungi unit yang akan dituju
4. Petugas transport yaitu dua orang profesional (dokter/perawat) yang
memiliki kompetensi dan pengalaman
5. Persiapan obat dan alat (transpor monitor, BP reader, kit intubasi ETT &
resusitasi manual, O2, suction, obat (adrenalin, atropine, dll), cairan infus,
obat tambahan pasien sesuai resep
6. Melakukan stabilisasi sebelum transpor
7. Monitor selama transpor pasien (keluhan pasien, keadaan umum, tanda
vital, jalan nafas, dokumentasikan dalam formulir transpor, EKG dan pulse
oxymetri)
8. Serah terima pasien (berikan informasi pasien: identitas pasien, dokter
yang merawat, riwayat alergi, transpor media, keadaan umum,
pemeriksaan penunjang, terapi, alergi, rencana tindakan, formulir transpor
dam lembar observasi)
9. Audit dan jaminan mutu (dokumentasi)

3.2 Manajemen Nyeri Pasca Bedah

48
Seorang perempuan berusia 26 tahun pasca operasi SC mengeluh
kesakitan.Anda yang bertugas sebagai dipanggil oleh perawat.Bagaimana
tatalaksana manajemen nyeri pasien tersebut? (Tuliskan referensi jawaban anda)
Dalam hal upaya mendapatkan efek analgesik yang optimal, tujuan utama kita
adalah menciptakan kondisi yang baik untuk suatu proses penyembuhan luka.
Opioid kerja singkat menjadi pilihan yang sangat berguna, namun efek depresi
pada sistem respirasi dan kardiovaskuler hingga keluhan mual dan muntah yang
dialami pasien merupakan hal yang sama pentingnya dan harus dievaluasi secara
berkala, atas pertimbangan inilah selain penggunaan opioid kontinyu berkembang
pendekatan secara multi modalitas. Pendekatan dalam teknik analgesik regional
dan anestesi lokal. Serta penggunaan kombinasi dari beberapa golongan obat
seperti: asetaminofen, NSAID, α agonis dan beberapa neurofarmaka terbukti
efektif dalam meredakan nyeri.12
Mengingat bahwa pemberian analgesia parenteral ataupun obat penenang
tanpa pengawasan yang baik justru dapat membawa pasien kedalam kondisi yang
memperburuk proses ventilasi selain menimbulkan resiko obstruksisistem
kardiovaskuler. Suatu gagasan tentang opioid-free analgesia dalam manajemen
nyeri pasca bedah telah dikemukakan, seiring peningkatan jumlah dan
kompleksitas jenis operasi pada pasien yang mendapatkan intravenous opioid
based patient controlled analgesia (IVPCA) dan sentral neuoroaksial (epidural
analgesia) yang secara umum bukan merupakan teknik yang yang praktis untuk
manajemen nyeri.Atas alasan itu tatalaksana nyeri pasca bedah yang efektif
menjadi suatu tantangan yang unik bagi para praktisi untuk mengembangkan
kombinasi dari berbagai modalitas yang lebih efektif, mudah untuk
dikomunikasikan, serta dapat diterima sesuai dengan hak dan keinginan pasien.12
Proses melahirkan yang sekarang sering dilakukan yaitu seksio sesarea (SC)
atas indikasi tertentu menjadi pilihan baik dokter maupun pasien. Proses
melahirkan adalah suatu proses emosional dimana membutuhkan bonding antara
ibu dan anak, sehingga mobilisasi ibu setelah dilakukan SC sangatlah penting.
Pembiusan pada SC dilakukan dengan spinal anesthesia, epidural anesthesia,
combine spinal and epidural anesthesia, dan pembiusan.17 Seorang dokter anestesi
akan mempertimbangkan pilihan anestesi sesuai dengan kondisi ibu dan anak.

49
Nyeri akut pascaoperasi yang tidak mendapat penanganan yang adekuat
menimbulkan respon patologis yang muncul akibat aktivasi nosiseptor setelah
trauma jaringan. Selanjutnya akan terjadi aktivasi simpatoneural dan
neuroendokrin yang berujung pada gangguan seperti, takikardia, hipertensi,
hiperglikemia, imunosupresi, penurunan aliran darah regional atau stasis vena,
dan agregasi trombosit.1
Nyeri pascaoperasi yang muncul pada saat istirahat biasanya sedang, rata-
rata skala VAS antara 3 hingga 4 dari 10 selama 2–3 hari pertama pascaoperasi.
Skor nyeri ini tetap muncul walaupun sudah mendapatkan terapi
parenteral.Sementara itu, nyeri saat aktivitas, seperti batuk atau berjalan memiliki
rata-rata skala VAS 7 hingga 8.Nyeri saat aktivitas bersifat sedang hingga berat
bertahan selama beberapa hari hingga beberapa minggu berikutnya.Analgesi
Lokal Infiltrasi adalah suatu teknik yang memberikan obat anestesi lokal yang
diencerkan, dan diberikan adjuvant dari beberapa obat seperti Non Steroid
Antiinflamatory Drugs (NSAID), epinephrine, dan opioid.Pemberian adjuvan
dipilih sesuai dengan kondisi pasien, hal tersebut berkaitan juga dengan jalur
penanganan nyeri yang dibutuhkan oleh seorang anestesiolog.Teknik pemberian
obatobatan disebut multimodal local infiltration analgesia. 18
Pemberian Local Infiltration Analgesia (LIA) pada pasien setelah menjalani
SC akan dapat mengurangi kebutuhan opioid. Obat-obat lokal anestesi yang pada
akhirnya diserap secara sistemik dapat mempengaruhi jumlah sekresi Air Susu Ibu
(ASI), namun tidak terdokumentasi membawa pengaruh terhadap proses
menyusui. Opioid memiliki efek samping pada produksi ASI ibu dan pada foto
kontras yang dilakukan pada pasien yang menerima morphin dan pethidine
terdapat transfer ke produksi ASI sehingga dapat menyebabkan sedasi pada bayi.
Pasien yang diberikan LIA diharapkan dapat mengurangi nyeri dan hal ini sangat
bermanfaat pada mobilisasi ibu, proses menyusui, mengurangi postnatal
depresssion.18
Menurut penelitian Yanti (2018) membandingkan manajemen nyeri pasca
operasi SC yang diberikan intervensi dengan LIA dan Parasetamol. Ditemukan
hasil pemberian intervensi LIAdapat lebih menurunkan VAS pasien dibandingkan
pemberian intervensi paracetamol intravena.18

50
Lokal Infiltrasi Analgesik (LIA) yang diberikan adalah ketorolac sebesar 30
mg yang berperan menghambat produksi mediator eicosanoid pada perifer dan
menghambat respon kerusakan jaringan.Sintesis eicosanoid diinisiasi oleh aktivasi
fosfolipase A2 dan pelepasan asam arakidonat dari membran fosfolipid.
Selanjutnya asam arakidonat akan diubah dalam jalur siklooksigenase (COX) dan
lipoksigenase menjadi prostaglandin, tromboksan, dan leukotriene yang berperan
memberikan efek analgesic lokal.18

3.3 Manajemen Chocking


Seorang laki-laki retardasi mental berusia 22 tahun sedang berobat rutin ke
rumah sakit dengan ibunya.Ibu memanggil pertolongan orang sekitar karena
anaknya tersedak makanan dan tampak sesak.Anda kebetulan sedang berjalan di
sekitar dan mendengar suara ibu tersebut. Bagaimana tatalaksana yang akan anda
lakukan? (Tuliskan referensi jawaban anda)
Dari kasus tersebut menurut teori dapat kita lakukan penatalaksanaan pada
orang dewasa karena ia sudah berusia 22 tahun.Perawatan untuk orang dewasa
dengan FBAO lengkap sama dengan perawatan seorang anak di mana seorang
pengamat melakukan manuver Heimlich sampai mengeluarkan benda asing atau
CPR jika pasien kehilangan kesadaran. Jika tidak ada yang hadir untuk membantu
dalam manuver Heimlich, individu yang tersedak dapat mengatur sendiri dengan
tinjunya atau dengan bersandar pada benda keras seperti bagian belakang kursi.25
Jika langkah-langkah pendukung kehidupan dasar yang dijelaskan di atas
tidak menghilangkan penghalang, laringoskopi langsung harus dilakukan dengan
upaya untuk menghapus benda asing dengan forceps dan / atau sedotan Magill.
Jika objek tersebut masih menyebabkan penyumbatan dan dokter percaya bahwa
benda asing itu berada di atas level pita suara, maka dilakukan prosedur
cricothyrotomy dengan ventilasi trans-trakea. Jika benda asing bersarang di bawah
tingkat pita suara, penyedia dapat mencoba intubasi endotrakeal dengan tabung
endotrakeal (ET) yang digunakan untuk memajukan benda asing ke dalam
bronkus induk utama kanan. Tabung ET kemudian harus ditarik di atas carina
untuk memungkinkan ventilasi paru-paru kiri, dan persiapan harus dilakukan
untuk bronkoskopi di ruang operasi.22

51
Ketika FBAO parsial dicurigai, bronkoskopi diagnostik harus sangat
dipertimbangkan, bahkan tanpa adanya temuan radiologis.Riwayat kejadian
aspirasi yang disaksikan, temuan pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis harus
layak dipertimbangkan untuk menentukan perlunya bronkoskopi. Namun,
pemeriksaan fisik negatif dan temuan radiologis saja tidak boleh digunakan untuk
menyingkirkan FBAO.22

3.4 Manajemen Pasien Kritis


Pada kasus didapatkan pasien laki-laki berusia 75 tahun dirawat di bangsal
penyakit dalam karena menderita DM tipe 2 tidak terkontrol dengan gangren
diabetikum pedis dextra.Anda bertugas sebagai dokter jaga bangsal. Saat Anda
periksa, kesadaran pasien somnolen, tanda vital tekanan darah 80/60 mmHg, nadi
110 x/menit (isi dan tekanan baik) laju napas 28 x/menit, SpO2 97% (kanul
binasal 3 liter/menit), suhu 38,8 C. Berapa skor EWS pasien ini? Bagaimana
tatalaksana yang anda lakukan? (Tuliskan referensi jawaban anda)
Dalam menentukan skor EWS pada kasus ini dihitung dari laju pernapasan
yaitu 28 x/menit yaitu skor nya 3 (≥25 x/menit), dijumlahkan dengan saturasi
oksigen (SpO2 scale 1) 97% dengan skor 0 (≥96%), SpO2 scale tidak dijumlahkan
karena hanya digunakan dibawah petunjuk kualifikasi klinis seperti apabila
kisaaran saturasi sekitar 88-92% contohnya pada kasus hypercapnea respiration
failure.Untuk penilaian udara atau oksigen, skor nya 2 (3 liter/menit), tekanan
darah sistolik skor nya 3 (≤90 mmHg), denyut nadi nya memiliki skor 1 (91-110)
x/menit), kesadarannya memiliki skor 3 (CVPU). Untuk temperatur memiliki skor
1 (38,1-39,0 celcius). Jika dijumlahkan hasilnya adalah13 yang memiliki penilaian
risiko klinis yang tinggi dengan respon emergency.
Pada pasien dengan kondisi kritis harus diperhatikan jalur nafas nya dengan
memperhatikan initial assessment nya dari (airway, breathing, circulation,
disability), immediate management (airway, breathing, circulation), monitoring
seperti Heart rate (EKG), laju napas (SpO2), tekanan darah, GCS (ukuran dan
reaksi pupil), urine output, serta perhatikan juga dari initial investigations (hitung
cairan darah, urea dan elektrolit, glukosa, analisis gas darah, koagulasi, kultur ,
chest x-ray, EKG).

52
Gangren diabetik adalah gangrene yang dijumpai pada penderita diabetes
mellitus, sedangkan gangrene adalah kematian jaringan karena obstruksi
pembuluh darah yang memberikan nutrisi ke jaringan tersebut dan merupakan
salah satu bentuk komplikasi dari penyakit diabetes mellitus. Gangrene diabetik
dapat terjadi pada setiap bagian tubuh yang terendah terutama pada ekstremitas
bawah. Diabetes mellitus dalam waktu yang lanjut akan menyebabkan komplikasi
angiopathy dan neuropathy yang merupakan penyebab dasar terjadinya gangrene.
Pengobatan terhadap gangrene basah dapat dilakukan dengan cara tirah baring
dan kontrol kadar glukosa darah dengan diet, insulin atau oral anti diabetik,
dilakukan debridement. Kompres/rendam dengan air hangat, jangan dengan air
panas atau dingin. Beri “topical antibiotic” dan beri antibiotik sistemik yang
sesuai kultur atau dengan antibiotik spektrum luas. Apabila hasil kultur belum
ada, maka yang dilakukan di lapangan adalah pemberian antibiotik triple blind
therapy yang terdiri atas Ceftriaxone, Ciprofloxacin, dan Metronidazole.
Kombinasi ini dimaksudkan sebagai antibiotik spektrum luas, yang dapat
mencegah berkembangnya bakteri gram positif, gram negatif, maupun bakteri
anaerob.42
Pengobatan dari gangrene kering dapat dilakukan dengan cara tirah baring dan
kontrol kadar glukosa darah dengan diet, insulin, atau obat anti diabetik. Tindakan
amputasi untuk mencegah meluasnya gangrene, tetapi harus dengan indikasi yang
sangat jelas. Memperbaiki sirkulasi guna mengatasi/mencegah angiopathy dengan
pemberian obat-obatan anti platelet agregasi seperti aspirin, dipyridamol atau
pentoxyvillin.42
Untuk manajemen penurunan suhu tubuh diberikan parasetamol infus, apabila
berat badan 50 kg atau lebih dapat diberikan 650 mg tiap 4 jam atau 1000 mg tiap
6 jam, dosis tunggal maksimal adalah 1000 mg per dosis, total dosis mg harian
4000 mg.43
Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa
pemberian dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa bisa diberikan dekstrose
40% sebanyak 25 cc), diikuti dengan infus D5% atau D10%. Periksa glukosa
darah 15 menit setelah pemberian i.v tersebut. Bila kadar glukosa darah belum
mencapai target, dapat diberikan ulang pemberian dextrose 20%. Selanjutnya

53
lakukan monitoring glukosa darah setiap 1-2 jam kalau masih terjadi hipoglikemia
berulang pemberian Dekstrose 20% dapat diulang. Lakukan evaluasi terhadap
pemicu hipoglikemia.42

BAB IV
KESIMPULAN

54
1. Transfer pasien adalah proses memindahkan pasien dari satu lokasi atau

ruangan ke lokasi atau ruangan yang lain. Transfer pasien terdiri dari:
a. Transfer pasien internal (intra hospital transfer)
b. Transfer pasien eksternal (inter hospital transfer)
2. Manajemen nyeri pascaoperatif bertujuan sebagai penanganan nyeri akut
pada pasien yang telah mengalami pembedahan. Manajemen nyeri
pascabedah sebaiknya diberikan aanalgesicnon opioid seperti NSAID
terlebih dahulu, jika kurang efektif bisa diberikan analgesik opioid lemah
hingga kuat.
3. Tersedak adalah respons fisiologis terhadap sumbatan tiba-tiba saluran
udara. Obstruksi jalan nafas benda asing (FBAO) menyebabkan asfiksia.
Pendekatan terhadap pasien yang tersedak harus dimulai dengan penilaian
ABC (jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi) setelah itu dilakukan
manuver Heimlich sampai mengeluarkan benda asing atau CPR jika
pasien kehilangan kesadaran.
4. Skor penilaian dini (Early Warning Score) merupakan salah satu deteksi
dini untuk memprediksi adanya perburukan dengan tujuan untuk
mengidentifikasi perburukan klinis yang terjadi pada pasien yang sudah
mempunyai beberapa kebutuhan medis. Pada pasien didapatkan skor 13
yang merupakan respon emergensi. Tatalaksana nya meliputi pemberian
dextrose, parasetamol, serta tatalaksana gangrene diabetikum.

DAFTAR PUSTAKA

55
1. Yanti P & Willy YK. Pemberian Lidocain-Ketorolac sebagai Analgesi
Lokal Infiltrasi dibandingkan dengan Parasetamol Intravena untuk
Manajemen Nyeri Pascaoperasi Seksio Sesarea (SC) di RSUD Mgr.
Gabriel Manek, SVD Atambua.
2. Marsaban AHM, Bagianto H, Maas EM. Mekanisme dan Patofisiologi
Nyeri, Panduan dan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. Perhimpunan Dokter
Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia, 2009: 1–9.
3. Hines RL, Usman RD, Vadivelu N. Essential of Pain Management.
Springer. 2011: 651-55.
4. Haley D, Jeffrey C. Foreign Body Airway Obstruction (FBAO). Stats
Pearls book (Internet). 2020.
5. Cirilli AR. Emergency evaluation and management of the sore throat.
Emerg. Med. Clin. North Am. 2013 May;31(2):501-15.
6. Nurul S, Gezy WG, Andy P, & Doddy T. Implementasi Early Warning
Score pada Kejadian Henti Jantung di Ruang Perawatan RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung yang Ditangani Tim Code Blue Selama Tahun 2017.
Jurnal Anestesi Perioperatif. 2019. 7(1) : 33-41.
7. Nishijima I, Oyadomari S, Maedomari S, Toma R, Igei C, Kobata S, dkk.
Use of a modified early warning score system to reduce the rate of in-
hospital cardiac arrest. J Intensive Care Med. 2016;4(1):12. 12.
8. Niegsch M, Fabritius ML, Anhej J. Imperfect implementation of an early
warning scoring system in Danish Teaching Hospital: a cross-sectional
study. PloS One. 2013;8(7):1–6.
9. Kemenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/ 523/2015 tentang Formularium Nasional. Jakarta:
Menteri Kesehatan RI;2015
10. Charldton ED, Wilson I, Eltringham R. Update in Anesthesia: a Journal
for Anaesthetists in Developing Countries. The Management of
Postoperative Pain. 2009:1-17.ISSN 1353-4882.
11. Paulus K, I Ketut S. Multimodal Analgesia pada Manajemen Nyeri Paska-
Bedah : Sebuah laporan kasus. Medicina. 2019. 50(2) : 300-303.

56
12. Suseno E, Carrey M, Jonathan YE, et al. Pencegahan Nyeri Kronis Pasca-
Operasi. J Maj Ked. Andalas. 2017:40(1);40-51.
13. Reddi D, Curran N. Chronic Pain After Surgery: Pathophysiology, Risk
Factors and Prevention. Postgraduate Medical Journal. 2014;90:222–
227.
14. Yudiyanta, Khoirunnisa N, Novitasari RW. Assessment Nyeri. J
Neurologi Gadjah Mada. 2015:42(3). 214-234
15. Ilmiasih R. Promosi Manajemen Nyeri Nonfarmakologi Oleh Keluarga
pada Pasien Post Operasi di Ruang BCH RSUPN dr. Ciptomangun
Kusumo Jakarta. J Kep Muhammadiyah Malang. 2013:4(2);116-121.
16. Gaskin DJ, Richard P. The Economic Costs of Pain in the United States.
The Journal of Pain. 2012;13:715–724.
17. Morgan EG Jr, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th
Edition. 2006. United State. McGraw-Hill Companies, Inc.
18. Brennan TJ. Pathophysiology of postoperative pain. 2011;152 (3): 33–40.
19. Hemsley B, Steel J, Sheppard JJ, Malandraki GA, Bryant L, Balandin S.
Dying for a Meal: An Integrative Review of Characteristics of Choking
Incidents and Recommendations to Prevent Fatal and Nonfatal Choking
Across Populations. Am J Speech Lang Pathol. 2019 Aug 09;28(3):1283-
1297.
20. Escobar ML, Needleman J. Stridor. Pediatr Rev. 2015 Mar;36(3):135-7.
21. Pfleger A, Eber E. Assessment and causes of stridor. Paediatr Respir Rev.
2016 Mar;18:64-72.
22. Pfleger A, Eber E. Management of acute severe upper airway obstruction
in children. Paediatr Respir Rev. 2013 Jun;14(2):70-7. 
23. Darras KE, Roston AT, Yewchuk LK. Imaging Acute Airway Obstruction
in Infants and Children. Radiographics. 2015 Nov-Dec;35(7):2064-79.
24. Berg MD, Schexnayder SM, Chameides L, Terry M, Donoghue A, Hickey
RW, Berg RA, Sutton RM, Hazinski MF. Part 13: pediatric basic life
support: 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Circulation. 2010 Nov 02;122(18 Suppl 3):S862-75.

57
25. Ojeda Rodriguez JA, Brandis D. StatPearls [Internet]. StatPearls
Publishing; Treasure Island (FL): Nov 26, 2019. Abdominal Thrust
Maneuver (Heimlich).
26. Fugate JE. Anoxic-Ischemic Brain Injury. Neurol Clin. 2017
Nov;35(4):601-611
27. Divarci E, Toker B, Dokumcu Z, Musayev A, Ozcan C, Erdener A. The
multivariate analysis of indications of rigid bronchoscopy in suspected
foreign body aspiration. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 2017
Sep;100:232-237.
28. Robertson, L., Al-hadad, M. 2013. Recognizing The Critically Ill Patient.
Diunduh pada tanggal 29 Juni 2020 di
https://www.anaesthesiajournal.co.uk/article/S1472-0299(12)00266- 4/.
29. Metkus, T., Kim S. 2015. Bedside Diagnosis In The Intensive Care Unit.
Diunduh pada tanggal 29 Juni 2020 di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4627420/
30. Sheperd, S. 2018. Criteria for Care Intensive Care Unit Admission.
Diunduh pada tanggal 1 Juli 2020 di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1115908/
31. Dewi, Rismalah. Pediatric Early Warning Score : Bagaimana Langkah
Kita Selanjutnya ? Sari Pediatri. 2016. Vol (18) No (1) : 68-73.
32. Ahmad, Zaky S, Soeharto, Setyowati & Fathoni. Efektivitas Vital Pac
Early Warning Score sebagai Deteksi Dini Perburukan Pasien Access
Block di IGD dr. Iskak Tulungagung. JK Mesencephalon. 2017 : 47-49.
33. Smith, ME, et al.Early Warning System Scores for Clinical Deterioration
in Hospitalized Patients : A Systematic Review. Annals of the American
Thoracic Society. 2014 : 145-165.
34. Gerry, Stephen, et al. Early Warning Scores for Detecting Deterioration in
Adult Hospital Patients : A systematic Review Protocol. British Medical
Journal. 2017.
35. Hogan, Helen, et al. Preventable deaths due to problems in care in English
acute hospitals : A retrospective case record review study. British Medical
Journal. 2012 : 737-745.

58
36. Damen, Johanna A, et al. Prediction models for cardiovascular disease risk
in the general population : systematic review. British Medical Journal.
2016.

37. NHS. National Early Warning Score (NEWS) Standardising the


assessment of acute illness severity in the NHS. 2017. Diunduh dari
https://www.rcplondon.ac.uk/projects/outputs/national-early-warning-
score-news-2
38. Gold, Delia, L, et al. Evaluating the Pediatric Early Warning Score
(PEWS) System for Admitted Patients in the Pediatric Emergency
Department. Acad Emerg Med. 2014 : 1249-1256.
39. Nahdi, Suud. Pediatric Early Warning System. Child Health BC. 2016.
40. NHS. Trust Guideline for the use of the Modified Early Obstetric Warning
Score (MEOWS) in Detecting the Seriously III and Deteriorating Woman.
Norfolk and Norwich University Hospitals. 2018.

41. William, C., Wheeler, D. Criteria for ICU Admission and Severity of
Illness Scoring. 2018. Diunduh pada tanggal 30Juni 2020 di
https://www.researchgate.net/publication/244924471_Criteria_for_ICU_a.
42. Erin, Dwi. 2015. Gangrene Diabetik pada Penderita Diabetes Melitus. J
Agromed Unila. 2(4):408-412.
43. Perkumpulan Endrokinologi Indonesia. 2015. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.

59

Anda mungkin juga menyukai