Disusun Oleh:
Pembimbing:
Dr. Bambang Yudadi Sp. B
1
LEMBAR PENGESAHAN
Referat dengan judul:
Advanced Trauma Life Support
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
RSAU Dr. Esnawan Antariksa
Periode 19 April-26 Juni 2021
Disusun oleh:
NIM 112019052
1 2 3 4 5
Pengumpulan data
Analisa masalah
Penguasaan teori
Referensi
Pengambilan keputusan
klinis
Cara penyajian
Bentuk Laporan
Total
Komentar penilai
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas nikmat yang diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah Referat dengan judul “Advanced Trauma Life Support”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik di Stase
Ilmu Bedah. Dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama
kepada dr. Bambang Yudadi, Sp.B selaku pembimbing atas pengarahannya selama penulis
belajar dalam Kepaniteraan Klinik. Dan kepada para dokter dan staff Ilmu Bedah RSAU Dr.
Esnawan Antariksa, serta rekan-rekan seperjuangan dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah.
Penulis sangat terbuka dalam menerima kritik dan saran karena penyusunan makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi setiap orang yang
membacanya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Gawat darurat (emergency) merupakan suatu kondisi yang membahayakan dan mengancam
jiwa seseorang dan diperlukan penanganan yang segera dan untuk menghindari kecacatan
hingga kematian. Keadaan gawat darurat ini berpacu dengan waktu, karena waktu sangat
penting, pendekatan sistematis yang dapat dilakukan dengan cepat dan akurat diterapkan
sangat penting. Untuk menentukan kondisi ini suatu kegawatdaruratan dibutuhkan suatu
penilaian disebut dengan “inisial penilaian,” mencakup elemen-elemen yaitu persiapan,
triase, survei primer (ABCDEs) dengan segera resusitasi pasien dengan cedera yang
mengancam jiwa, tambahan untuk survei primer dan resusitasi pertimbangan perlunya
pemindahan pasien survei sekunder (evaluasi head-to-toe dan riwayat pasien), tambahan
untuk survei sekunder, pemantauan pasca resusitasi lanjutan dan evaluasi ulang. Keadaan ini
dapat terjadi oleh berbagai factor seperti kecelakaaan, bencana alam maupun kondisi sistemik
dari seseorang. Keadaan gawat darurat ini dapat terjadi pada banyak orang sehingga
diperlukan tindakan yang segera. Segala sesuatu bisa berupa penyakit maupun trauma yang
menyebabkan ancaman terhadap fungsi-fungsi vital tubuh antara lain jalan nafas dan fungsi
nafas, Fungsi sirkulasi Fungsi otak dan kesadaran
BAB II
Klasifikasi ATLS3
ATLS membuat klasifikasi pendarahan berdasarkan persentase volume kehilangan darah,
sebagai berikut:
Kelas I, dengan kehilangan volume darah hingga maksimal 15% of blood volume.
Kelas II, dengan kehilangan volume darah antara 15-30% dari total volume.
Kelas III, dengan kehilangan darah antara 30-40% dari volume pada sirkulasi darah.
Kelas IV, dengan kehilangan yang lebih besar daripada 40% volume sirkulasi darah.
Standar World Health Organization
WHO menetapkan skala gradasi ukuran risiko yang dapat diakibatkan oleh pendarahan
sebagai berikut:
Grade 0 tidak terjadi pendarahan
Langkah-langkah ATLS1-3
Pada prinsipnya ATLS menganut pedoman ABCDE (Airway, Breathing, Circulation,
Disabilitydan Exposure) pada setiap kasus emergensi, apapun itu, dan juga prinsip ini
menjadi prosedur tetap dasar yang sama yang dianut oleh seluruh dunia. Pada ATLS kita
mengenal tentang initial assessment (atau penilaian awal) yang mana terdiri dari:
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinarnbungan
9. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik
Urutan kejadian diatas diterapkan seolah-seolah berurutan namun dalam praktek sehari-hari
dapat dilakukan secara bersamaan dan terus menerus.
I. PERSIAPAN
Persiapan untuk pasien trauma terjadi dalam dua perbedaan pengaturan klinis: di lapangan
dan di rumah sakit. Pertama, selama fase pra-rumah sakit, acara dikoordinasikan dengan dokter
di rumah sakit penerima. Kedua, selama fase rumah sakit, persiapan dilakukan untuk
memfasilitasi resusitasi pasien trauma yang cepat. Sistem pra-rumah sakit idealnya disiapkan
untuk memberi tahu penerima di rumah sakit sebelum personel mengangkut pasien dari tempat
kejadian. Ini memungkinkan mobilisasi dari anggota tim trauma rumah sakit, jadi semua ada
personel dan sumber daya yang diperlukan departemen darurat (ED) pada saat kedatangan
pasien.Selama fase pra-rumah sakit, penyedia menekankan pemeliharaan jalan nafas, kontrol
perdarahan eksternal dan syok, imobilisasi pasien, dan segera transportasi ke fasilitas terdekat
yang sesuai, lebih disukai pusat trauma terverifikasi. Penyedia pra-rumah sakit harus berusaha
semaksimal mungkin untuk meminimalkan waktu adegan.
A. Fase Pra-Rumah Sakit
a. Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dan petugas lapangan
b. Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum penderita mulai
diangkut dari tempat kejadian.
c. Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti waktu
kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian dan riwayat penderita.
II. TRIASE
Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya
yang tersedia. Dua jenis triase :
A. Multiple Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan rumah sakit.
Penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan
mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
B. Mass Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah sakit. Penderita
dengan kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan waktu, perlengkapan
dan tenaga yang paling sedikit akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
Untuk mengidentifikasi secara cepat korban yang membutuhkan stabilisasi segera (
perawatan di lapangan ) dan mengidentifikasi korban yang hanya dapat diselamatkan dengan
pembedahan darurat ( life saving surgery) digunakan label / kartu sebagai kode dentifikasi.
Pemberian label kondisi pasien pada musibah massal :
a) Label hijau
Sebagai penanda kelompok korban yang tidak memerlukan pengobatan atau
pemberian pengobatan dapat ditunda. mencakup korban yang mengalami fraktur
minor, luka minor, luka bakar minor, korban dalam kategori ini setelah pembalutan
luka dan atau pemasangan bidai dapat dipindahkan pada akhir operasi lapangan.
Korban dengan prognosis infaust, jika masih hidup pada akhir operasi lapangan juga
akan dipindahkan ke fasilitas kesehatan. Ditempatkan di ruang tunggu untuk
dipulangkan.
b) Label kuning
Sebagai penanda korban yang memerlukan pengawasan ketat, tertapi perawatan dapat
ditunda sementara. Termasuk dalam kategori ini adalah korban dengan risiko syok (
korban dengan gangguan jantung,,trauma abdomen), fraktur multiperl, fraktur
femur/pelvis, luka bakar luas, gangguan kesadaran atau trauma kopala, korban dengan
status yang tidak jelas. Semua korban dalam kategori ini harus diberikan infus,
pengawasan ketat terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi, dan diberikan
perawatan sesegera mungkin.
c) Label merah
Penanda jirban yang membutuhkan stabilisasi segera dan korban yang mengalami
syok oleh berbagai kausa, gangguan pernapasan, trauma kepala dengan pupil
anisokor, perdarahan eksternal massif. Pemberian perawatan lapangan intensif
ditujukan bagi korban yang mempunyai kemungkinan hidup lebih besar, sehingga
setelah perawatan di lapangan ini penderita lebih dapat mentoleransi proses
pemindahan ke rumah sakit, dan lebih siap untuk menerima perawatan yang lebih
invasif. Triase ini korban dapat dikategorisasikan kembali dari status merah menjadi
kuning. Penderita dengan cedera berat ditempatkan di ruang resusitasi UGD dan
disiapkan dipindahkan ke kamar operasi mayor UGD apabila sewaktu-waktu akan
dilakukan operasi
d) Label biru
Penderita dalam keadaan berat terancam jiwanya. Ditempatkan di ruang resusitasi
UGD disiapkan untuk masuk intensive care unit atau masuk kamar operasi.
e) Label hitam
Penderita sudah meninggal. Ditempatkan di kamar jenazah
III. PRIMARY SURVEY
Primary Survey, merupakan penilaian cepat oleh tenaga kesehatan terhadap keadaan
yang mengancam nyawa. Penilaian dilakukan pada primary survey mulai dari A, B, C,D, E.
Selama survei primer, kondisi mengancam jiwa diidentifikasi dan diperlakukan dalam urutan
yang diprioritaskan berdasarkan efek cedera pada pasien fisiologi, karena pada awalnya
mungkin tidak mungkin mengidentifikasi cedera anatomi spesifik. Misalnya jalan nafas
kompromi dapat terjadi akibat trauma kepala, cedera yang menyebabkan syok, atau trauma
fisik langsung jalan napas.
A. Airway (jalan nafas, yang dimulai dari hidung dan mulut ke arah trachea)
Setelah evaluasi awal pasien trauma, kaji dulu jalan napas untuk memastikan patensi.
Penilaian cepat ini untuk tanda-tanda obstruksi jalan nafas termasuk pemeriksaan benda
asing; mengidentifikasi wajah, mandibula, dan / atau fraktur trakea / laring dan cedera lain
yang dapat menyebabkan obstruksi jalan napas; dan menyedot membersihkan akumulasi
darah atau sekresi yang mungkin menyebabkan atau menyebabkan obstruksi jalan napas.
Mulailah mengukur untuk membangun jalan napas paten sambil membatasi serviks gerakan
tulang belakang. Prioritas pertama adalah manajemen jalan napas: membersihkan jalan nafas,
penyedotan, pemberian oksigen, dan membuka serta mengamankan jalan napas.
Saat menilai dan mengelola jalan napas pasien, Berhati-hatilah untuk mencegah
gerakan berlebihan pada tulang belakang leher. Berdasarkan mekanisme trauma, berasumsi
bahwa ada cedera tulang belakang. Pemeriksaan neurologis saja tidak mengecualikan
diagnosis serviks cedera tulang belakang. Tulang belakang harus dilindungi mobilitas yang
berlebihan untuk mencegah perkembangan atau perkembangan defisit. Tulang belakang leher
dilindungi dengan kerah serviks. Kapan manajemen jalan nafas perlu, kerah servikal dibuka,
dan tim anggota secara manual membatasi gerak serviks tulang belakang
Ada 2 hal yang penting
− Harus mengenal macam - macam penyebab gangguan airway
− Harus mengetahui teknik dasar dan teknik lanjutan untuk menjaga patensi airway
Gambar 2. Gambar jalan napas dan tatalaksana cervikal
Penyebab gangguan airway yang utama adalah obstruction / sumbatan, hal ini dapat sebabkan
baik oleh karena:
1. Posisi kepala (sniffing position)
2. Adanya darah dan gigi yang patah dalam rongga mulut (akan tampak suara gurgling)
3. Lidah yang jatuh ke belakang (akan tampak suara snoring)
4. Fraktur pada laring, atau edema pada laring akibat luka bakar (akan tampak suara snoring)
5. Adanya trauma multiple pada wajah
6. GCS 8 atau kurang - cedera kepala berat (CKB)
Teknik dasar dan teknik lanjutan untuk menjaga patensi airway dapat dilakukan dengan
bantuan alat, maupun tanpa bantuan alat.
1. Jaw thrust dan Chin lift Manuver
2. Nasofaring dan orofaringeal airway
3. Intubasi Nasotrakheal dan Orotrakheal
4. Needle Crycothyroidektomy
5. Surgical Crycothyroidektomy
Pada pasien sadar dan bisa "berbicara", dapat kita anggap sementara airway-nyaclear*
B: Breathing
Patensi jalan nafas saja tidak menjamin adekuat ventilasi. Pertukaran gas yang memadai
diperlukan untuk memaksimalkan oksigenasi dan karbon dioksida eliminasi. Ventilasi
membutuhkan fungsi yang memadai paru-paru, dinding dada, dan diafragma; karena itu,
dokter harus memeriksa dan mengevaluasi dengan cepat setiap komponen. Untuk menilai
distensi vena jugularis secara memadai, posisi trakea, dan ekskursi dinding dada, buka leher
dan dada pasien. Lakukan auskultasi untuk memastikan aliran gas di paru-paru. Inspeksi
visual dan palpasi dapat mendeteksi luka pada dinding dada yang mungkin mengganggu
ventilasi. Ketuk dari toraks juga dapat mengidentifikasi kelainan, tetapi selama resusitasi
bising evaluasi ini mungkin menjadi tidak akurat. Cedera yang secara signifikan mengganggu
ventilasi di jangka pendek termasuk pneumotoraks ketegangan, massif hemotoraks,
pneumotoraks terbuka, dan trakea atau cedera bronkial. Cedera ini harus diidentifikasi selama
survei utama dan seringkali membutuhkan segera perhatian untuk memastikan ventilasi yang
efektif. Karena tension pneumothorax mengganggu ventilasi dan sirkulasi secara dramatis
dan akut, dekompresi dada harus segera dilakukan jika dicurigai dengan evaluasi klinis.
Setiap pasien yang cedera harus
menerima suplemen oksigen. Jika pasien tidak diintubasi, oksigen harus dikirimkan oleh
perangkat reservoir topeng untuk mencapai oksigenasi optimal. Gunakan oksimeter denyut
untuk memantau kecukupan saturasi oksigen hemoglobin. Sederhana pneumotoraks,
hemotoraks sederhana, tulang rusuk retak, flail chest, dan memar paru bisa mengganggu
ventilasi ke tingkat yang lebih rendah dan biasanya diidentifikasi selama survei sekunder.
Pneumotoraks sederhana dapat diubah menjadi pneumotoraks tegangan jika a pasien
diintubasi dan ventilasi tekanan positif diberikan sebelum dekompresi pneumotoraks dengan
tabung dada. Breathing juga mempunyai 2 keharusan yang penting untuk diketahui yakni:4,6
- Harus mengenal macam - macam penyebab gangguan breathing
- Harus mengetahui bagaimana penatalaksanaan awal gangguan breathing.
o Penyebab gangguan breathing (yang biasanya terjadi oleh karena keadaan
traumatik)
1. Tension Pneumothorak
2. Open Pneumothorak
3. Hemothorak Massive
Tension Pneumothorak:
Adalah kondisi dimana adanya tekanan positif didalam paru, akibat trauma tumpul dada yang
pada akhirnya membuat paru disisi yang sakit menjadi kolaps, sehingga muncul gejala sesak
yang nampak pada pasien.
Diagnosis tension pneumothoraks adalah diagnosis klinis, yang ditandai dengan:
- sesak nafas yang hebat pada pasien post trauma
- adanya suara nafas yang hilang pada salah satu hemithorak dan asimetri
- adanya pergeseran trakhea dari midline ke arah yang sehat
- adanya peningkatan tekanan vena leher (dapat juga tidak)
- adanya hiperresonansi pada saat dilakukan perkusi
Diagnosis bisa dibantu dengan pemeriksaan foto rontgen.
Suatu kondisi yang hampir mirip dengan tension pneumothorak, namun lebih jelas karena
tampak luka tembus yang terbuka pada dinding dada yang disertai dengan gejala :
− Sesak nafas
− Adanya suara nafas yang menurun pada hemithorak yang terluka dan asimetri
− Adanya pergeseran trakhea dari midline ke arah yang sehat
− Adanya peningkatan tekanan vena leher (dapat juga tidak)
− Adanya hiperresonansi pada saat dilakukan perkusi
Hemothorak Massive
Adalah kondisi perdarahan intra thorak akibat trauma yang dapat teraklumulasi hingga 1,5
liter, dengan gejala :
- sesak nafas
- adanya suara nafas yang menurun pada hemithorak yang sakit dan asimetri
- adanya suara yang redup pada saat dilakukan perkusi
Tension Pneumothorak.
Keadaan klinis yang mendukung adanya keadaan tension pneumothorak mengharuskan
tenaga kesehatan secara dini untuk melakukan needle thoracosintesis. Needle thoracosintesis
adalah prosedur invasif menggunakan jarum kaliber besar yang di insersi pada sela iga II
midclavicula hemithorak yang sakit.7
IV. RESUSITASI
a. Re-evaluasi ABCDE
b. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20
mL/kg pada anak dengan tetesan cepat
c. Evaluasi resusitasi cairan
a)Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal
b) Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin )
serta awasi tanda-tanda syok
d. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal.
a) Respon cepat
- Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
- Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian
darah
- Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
- Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin
masih diperlukan
b) Respon Sementara
- Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
- Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
- Konsultasikan pada ahli bedah
c) Tanpa respon
- Konsultasikan pada ahli bedah
- Perlu tindakan operatif sangat segera
- Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade
jantung atau kontusio miokard
- Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya
Nasogastric Tube
Kateter Urine
Ditujukan untuk monitoring resusitasi emergency yang telah dilakukan, dengan tetap
mengingat kontraindikasi sebelum pemasangannya. Jika terdapat adanya ruptur uretra,
makaschistostomy harus segera dipertimbangkan. Output urine yang baik pada orang dewasa
adalah 0,5ml/kgbb/jam, sedangkan anak - anak dan bayi berkisar 1-2ml/kgbb/jam
Foley Catheter
Pulse Oxymetri
Pemeriksaan sederhana, dengan alat yang begitu minimalis, namun mempunyai manfaat
yang cukup besar dalam waktu-waktu yang krusial. Pulse oxymetri, hanya mengukur saturasi
oksigen (O2) dan denyut jantung, artinya tekan parsial oksigen (PaO2) tidak terukur dengan
alat ini, walaupun sebenarnya PaO2 tersebut masih dapat di prediksi berdasarkan kadar
saturasi
O2 yang terbaca. Saturasi yang baik adalah 100%, walaupun 98% masih diijinkan. Namun
pada kadar dibawah 98% tersebut menjadi warning.
Pulse Oxymetri
Foto Rontgen
Dalam primary survey hanya ada 3 foto yang diijinkan untuk dilakukan dalam upaya untuk
menunjang proses resusitasi, yakni foto rontgen cervical, thoraks, dan pelvis.
Kondisi pasien sangat dipengaruhi oleh mekanisme cedera. Pengetahuan tentang mekanisme
cedera dapat meningkatkan pemahaman pasien keadaan fisiologis dan memberikan petunjuk
untuk diantisipasi cedera. Beberapa cedera dapat diprediksi berdasarkan arah dan jumlah energi
yang terkait dengan mekanisme cedera. Pola cedera adalah juga dipengaruhi oleh kelompok
umur dan aktivitas. Cedera dibagi menjadi dua kategori besar: tumpul dan trauma tembus (lihat
Biomekanik Cedera).Jenis cedera lain yang informasi sejarahnya penting termasuk cedera termal
dan yang disebabkannya oleh lingkungan berbahaya
b. Pemeriksaan Fisik
Selama survei sekunder, pemeriksaan dilakukan secara head to toe mengikuti urutan kepala,
struktur maksilofasial, tulang belakang leher dan leher, dada, perut dan panggul, perineum /
rektum / vagina, sistem muskuloskeletal,dan sistem neurologis. Karena edema di sekitar mata
nantinya bisa menghalangi pemeriksaan mendalam, mata harus dievaluasi ulang untuk:
•• Ketajaman visual
•• Ukuran pupil
•• Perdarahan konjungtiva dan / atau fundus
•• Cedera penetrasi
•• Lensa kontak (lepaskan sebelum terjadi edema)
•• Dislokasi lensa
•• Jebakan mata
semua struktur tulang, penilaian oklusi, intraoral pemeriksaan, dan penilaian jaringan lunak.
Trauma maksilofasial yang tidak berhubungan dengan obstruksi jalan napas atau perdarahan
besar harus diobati hanya setelah pasien stabil dan mengancam nyawa cedera telah ditangani.
Atas kebijaksanaan spesialis yang sesuai, manajemen definitif mungkin ditunda dengan aman
tanpa mengorbankan perawatan. Pasien dengan fraktur midface mungkin juga mengalami fraktur
dari pelat cribriform. Untuk pasien ini, lambung intubasi harus dilakukan melalui jalur oral.
Pasien dengan trauma maksilofasial atau kepala harus dianggap mengalami cedera tulang
belakang leher (misalnya, fraktur dan / atau cedera ligamen), dan tulang belakang leher gerakan
harus dibatasi. Tidak adanya defisit neurologis tidak mengecualikan cedera pada tulang belakang
leher, dan cedera tersebut harus dianggap sampai evaluasi tulang belakang leher selesai. Evaluasi
mungkin termasuk seri radiografi dan / atau CT, yang seharusnya diperiksa oleh dokter yang
berpengalaman dalam mendeteksi fraktur tulang belakang leher secara radiografi.
Pemeriksaan leher termasuk pemeriksaan, palpasi, dan auskultasi. Nyeri tulang belakang leher,
emfisema subkutan, deviasi trakea, dan Fraktur laring dapat ditemukan pemeriksaan secara rinci.
Arteri karotis harus dipalpasi dan auskultasi untuk bising. Tanda potensi yang umum cedera
adalah tanda sabuk pengaman. cedera paling utama adalah vaskular serviks akibat dari luka
tembus; namun, kekuatan tumpul ke leher atau cedera traksi dari keharusan pengekangan dapat
mengakibatkan gangguan intimal, diseksi, dan trombosis. Bisa cedera karotis tumpul hadir
dengan koma atau tanpa temuan neurologis. CT angiografi, angiografi, atau ultrasonografi
dupleks mungkin diperlukan untuk mengecualikan kemungkinan mayor cedera vaskular serviks
saat mekanisme cedera menyarankan kemungkinan ini.
Perlindungan tulang belakang leher yang berpotensi tidak stabil cedera sangat penting bagi
pasien yang memakai semua jenis helm pelindung, dan sangat hati-hati harus diambil saat
melepas helm. Cedera tembus ke leher berpotensi melukai beberapa sistem organ. Luka yang
meluas platysma tidak boleh dieksplorasi secara manual, diperiksa dengan instrumen, atau
dirawat oleh individu di UGD yang tidak terlatih untuk menangani cedera tersebut. Bedah
konsultasi untuk evaluasi dan manajemen mereka diindikasikan. Ditemukannya perdarahan
arteri aktif, hematoma yang meluas, bruit arteri, atau jalan napas kompromi biasanya
membutuhkan evaluasi operasi. Kelumpuhan ekstremitas atas yang tidak dapat dijelaskan atau
terisolasi harus meningkatkan kecurigaan cedera akar saraf serviks dan harus didokumentasikan
secara akurat.
Evaluasi visual dada, anterior dan posterior, dapat mengidentifikasi kondisi seperti pneumotoraks
evaluasi lengkap dinding dada membutuhkan palpasi seluruh kandang dada, termasuk tulang
selangka, tulang rusuk, dan tulang dada. Tekanan internal bisa menyakitkan jika tulang dada
retak atau ada pemisahan kostokondral. Kontusio dan hematoma pada dada dinding akan
memperingatkan dokter akan kemungkinan cedera okultisme. Cedera dada yang signifikan dapat
bermanifestasi dengan nyeri, dispnea, dan hipoksia. Evaluasi meliputi inspeksi, palpasi,
auskultasi dan perkusi, dada dan rontgen dada. Auskultasi dilakukan tinggi pada dinding dada
anterior untuk pneumotoraks dan di dasar posterior untuk hemothorax. Meskipun temuan
auskultasi sulit untuk dievaluasi lingkungan yang bising, mereka bisa sangat membantu. Bunyi
jantung jauh dan tekanan nadi menurun dapat mengindikasikan tamponade jantung. Selain itu,
jantung tamponade dan pneumotoraks tegangan disarankan dengan adanya vena leher yang
membengkak hipovolemia terkait dapat meminimalkan atau menghilangkan penemuan ini.
Perkusi di dada mendemonstrasikan hyperresonace. Rontgen dada atau FAST dapat
mengonfirmasi adanya hemotoraks atau pneumotoraks sederhana. Fraktur tulang rusuk mungkin
ada, tetapi mungkin juga tidak terlihat pada x-ray. Sebuah mediastinum yang melebar dan
lainnya tanda-tanda radiografi bisa menunjukkan ruptur aorta.
Cedera perut harus diidentifikasi dan dirawat secara agresif. Mengidentifikasi cedera spesifik
lebih sedikit penting daripada menentukan apakah operatif intervensi diperlukan. Pemeriksaan
awal yang normal perut tidak mengecualikan signifikan cedera intraabdominal. Pengamatan
yang ketat dan sering evaluasi ulang perut, lebih disukai dengan cara yang sama pengamat,
penting dalam mengelola perut tumpul trauma, karena lama kelamaan, perut pasien temuan bisa
berubah. Keterlibatan awal seorang ahli bedah sangat penting. Fraktur panggul dapat dicurigai
dengan identifikasi ekimosis pada sayap iliaka, pubis, labia, atau skrotum. Nyeri pada palpasi
cincin panggul adalah temuan penting pada pasien yang waspada. Tambahan, penilaian denyut
perifer dapat mengidentifikasi cedera vaskular. Pasien dengan riwayat hipotensi yang tidak
dapat dijelaskan, cedera neurologis, gangguan sensorium sekunder alkohol dan / atau obat lain,
dan perut samar-samar temuan harus dipertimbangkan calon DPL, ultrasonografi perut, atau,
jika hemodinamik temuan normal, CT abdomen. Fraktur Panggul atau tulang rusuk bawah juga
bisa menghalangi pemeriksaan diagnostik perut yang akurat, karena meraba perut bisa
menimbulkan rasa sakit dari area ini.
Perineum harus diperiksa apakah ada kontusio, hematoma, laserasi, dan perdarahan uretra.
Pemeriksaan rektal dapat dilakukan untuk menilai adanya darah dalam lumen usus, integritas
dinding rektal, dan kualitas nada sfingter. Pemeriksaan vagina harus dilakukan pada pasien yang
berisiko mengalami cedera vagina. Dokter harus kaji keberadaan darah di kubah vagina dan
laserasi vagina. Selain itu, tes kehamilan harus dilakukan pada semua wanita usia subur.
Ekstremitas harus diperiksa untuk kemungkinan memar dan deformitas. Palpasi tulang dan
pemeriksaan identifikasi fraktur okultisme. Tanpa cedera ekstremitas yang signifikan bisa ada
patah tulang terlihat pada pemeriksaan atau rontgen. Pecahnya ligamen menyebabkan
ketidakstabilan sendi. Muscletendon cedera unit mengganggu gerakan aktif struktur yang
terpengaruh. Sensasi terganggu dan / atau kehilangan kekuatan kontraksi otot sukarela bisa
disebabkan oleh cedera saraf atau iskemia, termasuk akibatnya untuk sindrom kompartemen.
Pemeriksaan muskuloskeletal tidak lengkap tanpa pemeriksaan pasien kembali. Kecuali jika
punggung pasien diperiksa, cedera yang signifikan bisa terlewatkan. evaluasi motorik dan
sensorik pada ekstremitas, juga sebagai evaluasi ulang tingkat kesadaran pasien dan ukuran serta
respons pupil. Skor GCS memfasilitasi deteksi perubahan dan tren awal di status neurologis
pasien. Konsultasi awal dengan ahli bedah saraf diperlukan untuk pasien dengan cedera kepala.
Pantau pasien sering terjadi penurunan tingkat kesadaran dan perubahan dalam pemeriksaan
neurologis, seperti ini temuan dapat mencerminkan memburuknya intrakranial cedera. Jika
pasien dengan cedera kepala memburuk secara neurologis, kaji ulang oksigenasi, kecukupannya
ventilasi dan perfusi otak (ABCDE). Intervensi bedah intrakranial atau tindakan untuk
mengurangi tekanan intrakranial mungkin dilakukan perlu. Ahli bedah saraf akan memutuskan
apakah kondisi seperti hematoma epidural dan subdural membutuhkan evakuasi, dan apakah
tengkorak tertekan ,patah tulang membutuhkan intervensi operasi.
• 13-15, cedera
kepala ringan
• Fraktur • Maloklusi
• Luka dalam
mulut/gigi
• Nyeri
punggung hebat
• IVP
• Tentukan • Perlukaan • CT Scan
instabilitas perineum, dengan kontras
pelvis (hanya rektum, vagina
satu kali)
• Inspeksi
perineum
• Pem.
Rektum/vagina
• Kompartemen
• Defisit
neurologis
Tujuan dari bantuan hidup dasar adalah menormalkan kembali sistem tubuh antara lain yaitu :
- Sirkulasi pernapasan
- Sirkulasi peredaran darah
Penanganan bantuan hidup dasar merupakan suatu tindakan untuk mencegah terjadinya
kematian. Dari jenis kematian dibagi 2 yaitu :
Mati klinis : Keadaan tanpa napas dan nadi yang baru terjadi sekitar 4-6 menit
(bersifat reversible) belum terjadi kerusakan sel-sel otak.
Mati biologis : suatu keadaan tanpa napas dan denyut nadi yang terjadi lebih dari 8
menti, atau adanya tanda-tanda mati.
Tanda-tanda kematian berupa :
Adanya kekakuan mayat
Terdapat kebiruan disekitar tubuh
Suhu tubuh dingin
Pupil tidak ada refleks dan melebar
Gangguan Mati dalam
Airway Sumbatan 3-5’
Breathing Henti nafas 3-5’
Circulation Shock berat 1-2 jam
Disability Coma 1-2 minggu
Doktrin pertolongan pasien gawat adalah Time saving is life saving, dimana waktu dan data
dasar untuk bertindak sangat terbatas. Sehingga diperlukan konsep berpikir sederhana,
tindakan sistematik dan ketrampilan yang memadai dalam menolong pasien. Prognosis pasien
trauma paling baik pada jam pertama atau yang disebut ”The Golden Hour”.
Trauma meruupakan salah satu yang membutuhkan tindakan bantuan dasar, trauma di negara
berkembang banyak menghadapi kendala sehingga menyebabkan perbedaan konsep
penanganan. Yang disebabkan oleh berbagai macam kendala berupa sumber dana, sumber
fasilitas dan komunikasi yang terbatas. Karena oleh karena keterbatasan ini maka tetap berarah
ke pertolongan individu, membantu dan mengembangkan sistem dan melihat ke arah prevensi.
Pedoman penanganan Hidup dasar (Basic and Advance Life Therapy Support) adalah A, B, C.
Basic and Advance Life Therapy Support (dulu) :
Airway
Breathing
Circulation
Drugs
ECG
Fibrilation Treatment
Basic and Advance Life Therapy Suppport (Sekarang) :
Airway
Breathing
Circulation
Disabilty
Exposure/ Enviroment
Tujuan:
1. Evaluasi korban dengan cepat dan tepat
2. Resusitasi & stabilisasi korban sesuai prioritas.
3. Menentukan kebutuhan korban cukup/melebihi fasilitas yang ada.
4. Mengatur cara rujukan antar rumah sakit.
5. Menjamin bahwa penanganan korban sudah optimum.
BAB III
KESIMPULAN
Advanced Trauma Life Support merupakan suatu adalah program pelatihan untuk penyedia
medis dalam manajemen kasus trauma akut , yang dikembangkan oleh American College of
Surgeons . Program serupa tersedia untuk penyedia perawatan langsung seperti paramedis.
Dan salah satu yang kompetensi yang harus dikuasai oleh para tenaga medis terutama dalam
manajemen kasus kegawatdaruratan pada pasien trauma. Kompetensi ini merupakan prosedur
yang terdiri dari tahapan-tahapan dalam manajemen kasus trauma. Kompetensi ini menjadi
standar penerapan kasus gawat darurat oleh para dokter, perawat maupun tenaga medis
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA