Nim : 18.1115
UTS Orientalisme
Untuk dapat mengenal karakter dasar Al-Qur'ary kita dapat menelaahnya lewat 3
pendekatan berikut ini.
a. Substansi Al-Qur'an yang dibedakan secara mandiri dan objektif dari diri Rasulullah, sehingga
menutup kemungkinan teori Al-Qur'an bersumber dari manusia (diri Rasulullah).
b. Substansi Al-Qur'an yang tak terikat dengan konteks sosiohistoris pada masa diturunkannya
baik dari segi isi, gaya bahasa, maupun premis-premis dasarnya.
c. Tantangan Al-Qur'an kepada semua objek lawan-lawannya untuk mendatangkan teks yang
sama dengan Al-Qur'an atau yang kemudian dikenal dengan teori i' jaz.
Ketiga pendekatan tadi secara keseluruhan telah memberikan sebuah fakta tak
terbantahkan bahwa AI-Qur'an bukanlah perkataan atau karangan manusia sehingga lebih
tepat dianggap sebagai mukjizat dari Zat Yang Mahakuasa.
M. Arkoun mengolah isu historisitas Al-Qur'an dari sudut pandang sejarah turunnya
hingga proses kodifikasinya. Ia menilai telah terjadi titik perubahan yang krusial dalam alur
historisitas Al-Qur'an yang tecermin dalam perubahan wacana wahyu verbal kepada korpus
tertulis, yaitu mushaf.
Dalam imajinasi M. Arkoury umat Islam harus membongkar wacana yarrg mengurat-
mengakar selama berabad-abad itu dan membersihkan wahyu verbal Al-Qur'an dari
lempengan-lempengan sejarah hingga lahir wacana asli Al-Qur'an seperti saat ia pertama kali
diturunkan..
2) Periode di mana Al-Qur'an ditransmisikan kepada kita melalui Rasul yang masih berupa
wacana lisan (verbal).
4) Periode tafsir-tafsir Al-Qur'an yang telah dikembangkan dan dimapankan sehingga untuk
memahami Al-Qur'an harus melalui perantara ortodoksi yang telah membakukan teks dan tafsir
Al-Qur'an.
Selain itu, kekeliruan Frame Work dan kecacatan metodologi orientalis dalam kajian Al-
Qur'an dapat dikategorikan dalam beberapa poin berikut.
1. Kekeliruan mereka dalam memproyeksikan sejarah Islam dan sejarah kodifikasi ilmu dan
sumber-sumber Islam primer berikut kemunculan pelbagai aliran pemikiran dalam tradisi
intelektual Islam. Semua itu mereka teropong menurut ukuran dan frame realita keilmuan
terkini yang mereka hadapi. Hal yang kecil bisa dengan mudah mereka besar-besarkan dan
sebaliknya, fakta persoalan yang serius dan besar sering mereka remehkan dan kecilkan.
2. Kekeliruan mereka dalam menyeleksi dan menghimpun seluruh fakta keilmuan yang terkait
dengan satu kasus. Seringkali orientalis sengaja mengambil sebagian riwayat dan menepikan
riwayat lain, lalu segera memberi justifikasi padahal belum dilakukan prosedur-prosedur baku
dalam ilmu seleksi riwayat, seperti induksi semua iwayat, kritik sanad (mata rantai hadits), dan
mentarjih yang paling kuat dari sekian banyak riwayat yang berbeda.
3. Kekeliruan mereka dalam memosisikan sejarah umat manusia yang berbeda bangsa dan
periode peradaban. Seluruh rangkaian sejarah umat manusia harus linier mengikuti frame dan
pengalaman mereka bahwa setiap bangsa diatur oleh kaidah benturan antarkelas yang setiap
benturan atau gesekan peradaban itu lalu memunculkan kelas-kelas sosial seperti kelompok kiri
dan kanan, otoritas, kasta yang menanjak atau sedang turun, revolusi kaum proletar dan
tipologi kesadaran yang bertentangan. Artinya, seluruh sejarah manusia terutama sejarah Islam
dan umat Islam harus mengikuti desain dan model perkembangan sosial yang pernah dan
sedang terjadi di Barat. Hal ini diperburuk lagi oleh peminggiran pengaruh spiritualitas atau
religiusitas sebuah kelompok perhimpunan suatu bangsa dalam membangun peradabannya.
Meneropong sejarah Islam dan umat Islam tak bisa hanya melalui sudut pandang filsafat
materialistik dan di sisi lain mementahkan semua motif keagamaan.
Ada fakta-fakta yang tak terbantahkan seputar masalah ini. Menurut pengamatan Ustadz
M. 'lzzah Darwazah (hidup pada rentang antara 1887-1984), ternyata surah-surah Makkiyah
yang paling awal sekalipun telah mengandung arti penting tulisan bagi eksistensi Al-Qur'an.
'lzzah menyebut misalnya surah an-Nahl yang Makkiyah. Di dalam surah tersebut terdapat dua
ayat yang cukup signifikan,
Dan apabila Kami mengganti suatu ayat dengan ayat yang lain,dan Allah lebih mengetahui
apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, Sesungguhnya engkau ( Muhammad ) hanya
mengada a da s ai a.' Sebenarnye kebanyakan mereka tidak mengetahui Katakanlah,'
Rohulkudus (libri) menurunkan Al-Qur'an itu dari Tuhanmu dengan kebenaran, untuk
meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petuniuk serta kabar gembira bagi
orang yang berserah diri (kepada Allah)."' (an-Nahl:101-102) Peristiwa turunnya ayat itu
dimanfaatkan orang-orang musyrik untuk mendiskreditkan Al-Qur'an sehingga sebagian
pemeluk Islam murtad kembali seperti yang diisyaratkan oleh ayat itu. Peristiwa tersebut di
antaranya mengindikasikan bahwa ayatayat Al-Qur'an saat itu telah terkodifikasi. Karena Nabi
saw. telah perintahkan sahabatnya untuk meletakkan satu ayat di tempat ayat lain sesuai apa
yang diwahyukan kepada beliau. Jika Al-Qur'an saat itu belum atau tidak dikodifikasi, tentu
tidak mungkin menjadi sasaran tembak kelompok penentang Nabi saw..
Tak hanya itu, 'Izzah bahkan mensinyalir bahwa beberapa surah Makkiyah yang
dikategorikan dalam kelompok surahsurah yang turun lebih awal di Mekah, dan periode
pertengahan juga telah memuat bukti-bukti materiil bahwa Al-Qur'an sudah dikodifikasi sesaat
setelah ditanzilkan. Kemudian dibaca luas oleh para sahabat dan terdengar oleh kaum
musyrikin persis seperti yang dimiliki kaum muslimin kininya.
Arkoun menolak mushaf 'Utsmani sebagai acuan referensial Islam satu-satunya. Untuk
mendekonstruksi mushaf 'Utsmani, ia mengintrodusir istilah antropologis pengganti mushaf
yaitu " Korpus Resmi Tertutup yang Final". Ia pun mengecam upaya kodifikasi Khalifah 'IJtsman,
"Kontroversi hebat yang terjadi di kalangan umat Islam perdana (generasi sahabat) telah
mendorong khalifah. ke-3 'Utsman untuk mengambil langkah kodifikasi keseluruhan teks wahyu
dalam sebuah korpus yang disebut sebagai mushaf. Lalu diumumkanlah finalitas korpus itu
dengan membakukan teks Al-Qur'an yang sudah tak mungkin dapat berubah lagi. Rezim
'Utsman juga segera memusnahkan naskah-naskah sahabat lain agar tidak memicu perbedaan
seputar validitas ayat dan surah-surah yang ditetapkan dalam mushaf 'utsman. Itulah sebabnya
saya mengkristalkan peristilahan antropologis untuk Al-Qur'an yang ada sekarang sebagai
Korpus Resmi Tertutup