Nyeri Kepala Primer
Nyeri Kepala Primer
SEFALGIA PRIMER
Penyusun:
Denisa Widyaputri (1206256075)
Regina Putri Apriza (1206244390)
Pembimbing:
dr. Freddy Sitorus, SpS
Kami yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa makalah yang
berjudul “Sefalgia Primer” ini kami susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata kami melakukan tindakan plagiarisme, kami akan bertanggung
jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada
kami.
Nyeri kepala merupakan salah satu gejala kelainan sistem saraf yang paling banyak dialami oleh
populasi di seluruh dunia. Hampir setiap individu pernah merasakan nyeri kepala setidaknya sebanyak
satu kali dalam hidupnya. Gejala ini dapat ditemukan di berbagai tempat, pada seluruh jenjang usia, ras,
maupun tingkatan sosioekonomi. Lebih dari 50% populasi berusia dewasa di seluruh dunia mengalami
episode nyeri kepala dalam satu tahun terakhir, dengan 30% di antaranya berupa migren. Nyeri kepala
juga menyebabkan disabilitas tertinggi ke-3 di dunia berdasarkan studi oleh Global Burden of Disease
Study pada tahun 2013. Tidak hanya menyebabkan rasa tidak nyaman, nyeri kepala juga
menurunkan kualitas hidup dan produktivitas, sehingga berdampak pula pada kerugian secara
sosial dan ekonomi. Dalam sebuah penelitian di Inggris, diperkirakan 25 juta hari sekolah atau
bekerja hilang setiap tahunnya akibat migren; di mana dampak ekonominya setara dengan
perpaduan antara nyeri kepala tension type dan nyeri kepala akibat penggunaan obat berlebihan
jika digabungkan menjadi satu.
Meskipun menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sangat umum ditemui di seluruh dunia,
namun nyeri kepala sering kali dianggap tidak serius dan tidak berbahaya, sehingga tidak
didiagnosis dengan tepat. Pada umumnya, individu yang mengalami nyeri kepala akan
mengonsumsi obat-obatan pereda nyeri kepala yang dijajakan secara umum, tanpa berobat ke
tenaga kesehatan. Pada studi epidemiologi di Amerika Serikat dan Inggris, ditemukan hanya
sekitar 50% individu dengan migren yang berkunjung ke dokter akibat masalah nyeri kepala
yang dihadapinya dalam 1 tahun terakhir dan hanya 2/3 di antaranya yang didiagnosis dengan
tepat. Individu dengan nyeri kepala juga sering kali tidak mendapatkan pengobatan yang efektif
dan adekuat.
Nyeri kepala dapat muncul tanpa adanya penyakit yang mendasarinya (primer) atau disebabkan oleh
penyakit lainnya (sekunder). Pada makalah ini akan dibahas mengenai nyeri kepala (sefalgia) primer
berdasarkan dari ilustrasi kasus.
BAB II
ILUSTRASI KASUS
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada Senin, 12 Juni 2017.
Keluhan Utama
Nyeri kepala berdenyut di sisi kiri pada 1 minggu yang lalu.
Sekitar 30-60 menit sebelum nyeri kepala muncul, pasien selalu merasa melihat kilatan
cahaya sesaat (hanya beberapa detik) di kedua mata. Terdapat pula daerah warna-warni
hingga cahaya putih yang terlihat dengan bentuk garis menyerupai zigzag. Daerah sekitar
penglihatan tampak buram. Rasa nyeri seperti tertusuk, rasa baal, ataupun gangguan
berbahasa sesaat sebelum terjadinya nyeri disangkal.
Sehari-harinya, pasien mengonsumsi obat propranolol dan thyrozol sejak 3 bulan lalu
karena didiagnosis mengalami hipertiroid. Pasien mengeluhkan adanya penurunan berat
badan, tremor, denyut jantung meningkat, dan peningkatan nafsu makan sejak 1 tahun lalu.
Pasien juga menyadari adanya benjolan di daerah leher. Kini, setelah mengonsumsi obat
secara teratur, keluhan tersebut sudah berkurang, disertai dengan adanya peningkatan berat
badan > 10 kg dalam 3 bulan terakhir.
Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Frekuensi Nadi : 82 x/menit
Suhu : 36,5oC
Pernapasan : 18 x/menit
Saturasi O2 : 99%
Status Gizi
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 155 cm
Indeks Massa Tubuh : 24,97 (overweight)
Status Generalis
Organ Hasil Pemeriksaan Fisik
Prespirasi normal, turgor kulit normal, tidak ada purpura, tidak ada bercak
Kulit
merah
Rambut Hitam, persebaran merata, tidak mudah rontok pada penarikan
Kepala Normosefal, tidak ada alopesia, tidak tampak deformitas
Mata Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Tidak ada deviasi trakhea, tidak ada pembesaran KGB, teraba pembesaran
Leher
kelenjar tiroid, JVP 5-2 cmH2O
Iktus kordis tidak terlihat dan tidak teraba. Tidak ada thrill, tapping,
Jantung
heaving, lifting. S1 dan S2 normal, tidak ada gallop, tidak ada murmur.
Gerakan dada statis dan dinamis simetris, ekspansi dan fremitus kedua
Paru lapang paru simetris, sonor pada kedua lapang paru, suara napas vesikuler,
tidak ada wheezing, tidak ada ronki.
Supel, tidak ada nyeri tekan. hepar, lien, dan ginjal tidak teraba membesar.
Abdomen
Shifting dullness (-). Bising usus (+) 5x/menit.
Ekstremitas Akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada edema, tidak ada deformitas
Pemeriksaan Neurologis
1. Skala Koma Glasgow : E4 M6 V5
2. Pupil
Ukuran : 3 mm/ 3 mm
Bentuk : bulat/ bulat
Refleks cahaya langsung : +/+
Refleks cahaya konsensual : +/+
Konvergensi : normal
Isokorik : ya
5. Motorik
Ekstremitas atas
Tonus : eutoni, spastisitas dan rigiditas negatif
Trofi : eutrofi, tidak terdapat atrofi
Kekuatan :
5 5 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5 5 5
Ekstremitas bawah
Tonus : eutoni, spastisitas dan rigiditas negatif
Trofi : eutrofi, tidak terdapat atrofi
Refleks fisiologis
Biceps : +2/+2
Triceps : +2/+2
Patella : +2/+2
Achilles : +2/+2
Refleks patologis
Hoffman-tromner : -/-
Babinsky : -/-
Chaddock : -/-
Schaeffer : -/-
Oppenheim : -/-
Gordon : -/-
Mendel Bechtrew : -/-
Rossolimo : -/-
6. Sensorik
Ekteroseptif
Raba : normal
Nyeri : tidak dievaluasi
Suhu : tidak dievaluasi
7. Proprioseptif
Sikap : normal
Getar/vibrasi : tidak dievaluasi
Posisi : normal
8. Koordinasi
Disdidokokinesis : normal
Knee to heel test : normal
9. Fungsi luhur
Berbicara : normal
Orientasi waktu : normal
Orientasi orang : normal
Orientasi tempat : normal
2.5 Resume
Pasien perempuan, usia 21 tahun, datang dengan keluhan nyeri kepala berdenyut di sisi kiri
pada 1 minggu lalu. Pertama kali muncul sejak 5 tahun lalu. Nyeri dirasakan di daerah
temporal kiri hingga retroorbita kiri. Durasi nyeri dapat mencapai 8 jam apabila tidak
diberikan obat. Nyeri dikatakan hilang timbul, tidak semakin memberat, VAS 4-5. Saat
nyeri kepala kambuh, terdapat fotofobia dan fonofobia. Terkadang lakrimasi bilateral.
Frekuensi munculnya nyeri kepala diperkirakan 3 kali dalam 1 minggu. Nyeri kepala dipicu
oleh kurang tidur, stress, emosi, serta 3 hari sebelum menstruasi hingga 2-3 hari pertama
periode menstruasi. Nyeri kepala membaik dengan natrium diklofenak 50 mg, suasana
gelap, dan tidur. Nyeri kepala dirasakan mengganggu aktivitas sehari-hari dan
menyebabkan sulit tidur. Sekitar 30-60 menit sebelum nyeri kepala muncul, pasien
mengalami aura visual berupa fotopsia dan skotoma. Ibu kandung pasien memiliki keluhan
migren sejak usia remaja. Sehari-harinya, pasien mengonsumsi obat propranolol dan
thyrozol sejak 3 bulan lalu karena didiagnosis hipertiroid. Pada pemeriksaan fisik,
didapatkan teraba pembesaran di kelenjar tiroid yang difus. Tanda vital, status generalis,
kesadaran, pupil, motorik, sensorik, proprioseptif, koordinasi, dan fungsi luhur dalam batas
normal. Pada pemeriksaan penunjang (14 Maret 2017) didapatkan FT4 1.93 dan TPAb
10.62.
2.6 Diagnosis
Diagnosis klinis :
1. Migren dengan aura
2. Grave’s disease perbaikan
Diagnosis topis :
1. Cortical spreading depression pada korteks serebri, neurovaskular
2. Reseptor thyrotropin pada kelenjar tiroid
Diagnosis etiologis :
1. Genetik (70%)
2. Autoimun
Diagnosis patologis :
1. Vasodilatasi pembuluh darah
2. Hiperplasia folikel, intraseluler droplet koloid, cell scalloping
2.7 Penatalaksanaan
Edukasi:
o Menghindari faktor-faktor pencetus
o Pemaparan mengenai penyakit yang berkaitan dengan genetik dan dapat
kambuh sewaktu-waktu
o Membatasi penggunaan obat agar tidak terjadi penyalahgunaan atau overuse
Medikamentosa:
o Natrium diklofenak 50 mg prn nyeri
o Thyrozol 10 mg x1
o Propanolol 20 mg x 2
2.8 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Epidemiologi
Sakit kepala merupakan salah satu kelainan tersering pada sistem saraf di seluruh
dunia yang dialami oleh berbagai usia, ras, maupun tingkatan sosioekonomi. Diperkirakan
lebih dari separuh populasi berusia 18-65 tahun pernah mengalami setidaknya satu kali
gejala sakit kepala dalam satu tahun terakhir, dengan 30% di antaranya dalam bentuk
migren. Gejala sakit kepala selama lebih dari 15 hari setiap bulannya dialami oleh 1.7-4%
populasi dewasa di seluruh dunia.1
Berdasarkan suatu studi yang dilakukan oleh Global Burden of Disease Study pada
tahun 2013, migren merupakan penyebab disabilitas tertinggi ke-6 di seluruh dunia.
Kelainan sakit kepala secara kolektif menduduki posisi ke-3 tertinggi.1
Sakit kepala tidak hanya menyebabkan ketidaknyamanan, melainkan juga
menimbulkan disabilitas, gangguan kualitas hidup, dan kerugian finansial. Keluhan sakit
kepala yang berkepanjangan juga berdampak pada penurunan kesehatan mental, seperti
ansietas dan depresi, terutama yang disebabkan oleh migren.1
Tabel 1. Rata-rata prevalensi (%) populasi berusia 18-65 tahun yang mengalami berbagai
jenis nyeri kepala berdasarkan studi populasi region WHO2
Migren ditemukan pada 11% populasi dewasa di seluruh dunia dengan angka
kejadian mencapai tiga kali lebih tinggi pada wanita dikarenakan adanya pengaruh
hormonal. Migren lebih jarang ditemukan pada anak-anak maupun lanjut usia.
Berdasarkan ekstrapolasi dari prevalensi migren dan insiden serangan diperkirakan
terdapat 3.000 serangan migren setiap harinya pada 1.000.000 populasi umum.2
Episode tension-type merupakan kelainan sakit kepala yang paling sering
ditemukan, diperkirakan terdapat pada lebih dari 70% pada beberapa populasi. Di
seluruh dunia, prevalensi sakit kepala tension-type bervariasi dengan rata-rata 42%
pada dewasa, dengan angka kejadian pada wanita lebih tinggi dibandingkan pria. Sakit
kepala tension-type kronik ditemukan pada 1-3% populasi dewasa.2
B. Klasifikasi
Secara umum, nyeri kepala diklasifikasikan menjadi primer, sekunder, dan tipe
lainnya. Pada nyeri kepala primer, maka nyeri kepala muncul akibat overaktivitas
sensitif nyeri pada kepala, tanpa disebabkan oleh penyebab lainnya. Lain halnya dengan
nyeri kepala sekunder yang disebabkan oleh penyakit atau kondisi lainnya, seperti
infeksi, trauma, vaskular, tumor, kelainan psikiatri, dan lain-lain. Pada umumnya, nyeri
kepala sekunder lebih berbahaya dibandingkan dengan nyeri kepala primer. Nyeri
kepala primer dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: migren, tension-type, trigeminal
autonomic cephalalgia, dan nyeri kepala primer lainnya.
1. Migren
Migren diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, yaitu:3
1.1 Migren tanpa aura
1.2 Migren dengan aura
1.2.1 Migren dengan aura tipikal
1.2.1.1 Aura tipikal dengan sakit kepala
1.2.1.2 Aura tipikal tanpa sakit kepala
1.2.2 Migren dengan aura batang otak
1.2.3 Migren hemiplegik
1.2.3.1 Familial hemiplegic migrain (FHM)
1.2.3.2 Sporadic hemiplegic migrain
1.2.4 Migren retinal
1.3 Migren kronik
1.4 Komplikasi migren
1.4.1 Status migrenosus
1.4.2 Aura persisten tanpa infark
1.4.3 Migrainous infarction
1.4.4 Migrain aura-triggered seizure
1.5 Migren probable
1.5.1 Migren probable tanpa aura
1.5.2 Migren probable dengan aura
1.6 Sindrom Episodik terkait migren
1.6.1 Gangguan gastrointestinal rekuren
1.6.2 Benign paroxysmal vertigo
1.6.3 Benign paroxysmal toritocllis
Selain dua kategori berdasarkan aura, terdapat pula kategori migren lainnya yaitu migren:3
Migren Kronik
Ditandai dengan sakit kepala pada lebih dari 15 hari per bulan selama lebih dari
3 bulan, dengan memenuhi gejala migren setidaknya 8 hari per bulan.
Komplikasi Migren
Terdapat beberapa migren yang termasuk ke dalam subtipe ini, di antaranya
status migrenosus, yaitu serangan migren yang melemahkan berlangsung selama lebih
dari 72 jam. Kategori lainnya adalah aura persisten tanpa infark, yang ditandai dengan
gejala aura selama 1 minggu atau lebih tanpa bukti infark pada pencitraan neurologi.
Gejalanya umumnya bilateral dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan hingga
bertahun-tahu. Lain halnya dengan infark migrainous yang ditandai dengan satu atau
lebih gejala aura migren berkaitan dengan lesi iskemik otak yang tampak pada
pencitraan neurologi. Di samping itu, terdapat pula kategori migrain aura-triggered
seizure yang ditandai dengan kejang dipicu oleh serangan migren dengan aura.
Probable Migrain
Kategori ini sebelumnya dikenal dengan migrainous disorder yang ditandai
dengan serangan menyerupai migren namun kurang satu atau lebih gejala untuk dapat
memenuhi kriteria subtipe migren dan tidak termasuk ke dalam kriteria kelainan nyeri
kepala lainnya.
Sindrom Episodik terkait Migren
Kategori ini sebelumnya dikenal dengan sindrom periodik pada masa kanak-
kanak. Kondisi lainnya yang ditemukan pada pasien ini ialah episode motion sickness
dan kelainan tidur periodik, termasuk sleep walking, sleep talking, night terrors, dan
bruxism. Selain itu, dapat pula ditemukan dengan adanya nyeri atau rasa tidak nyaman
pada daerah abdomen yang berkaitan dengan migren. Lain halnya dengan migren
abdominal yang merupakan kelainan idiopatik yang umumnya ditemukan pada anak-
anak sebagai suatu serangan rekuren beserta nyeri perut dengan intensitas sedang
hingga berat, terkait dengan gejala vasomotor, mual, dan muntah, berlangsung selama
2-72 jam dan adanya kondisi normal antarepisode.
Benign paroxysmal vertigo juga termasuk ke dalam kategori ini. Ditandai
dengan serangan singkat rekuren vertigo yang berlangsung tanpa ada tanda-tanda dan
mereda secara spontan. Dalam penegakkan diagnosis kategori ini, perlu untuk
dieksklusi kemungkinan tumor fossa posterior, kejang, dan kelainan vestibular.
Sementara itu, pada benign paroxysma torticollis terdapat episode rekuren dari
miringnya kepala ke salah satu sisi, dengan rotasi ringan, dan dapat mereda secara
spontan. Kondisi ini terjadi pada bayi dan anak-anak, dengan onset pada tahun pertama.
Patogenesis Migren
Tension headache ini paling sering ditemukan dibandingkan dengan jenis nyeri
kepala lainnya. Nyeri kepala tension didefinisikan sebagai nyeri kepala yang kronik,
rekuren, yang disebabkan oleh penyebab yang tidak tampak, serta tidak termasuk dalam
fitur migren atau sindrom sakit kepala lainnya. Mekanisme patofisiologi yang
mendasarinya belum diketahui. Pada bentuk klasiknya, nyeri kepala ini merupakan
kelainan kronik yang dimulai pada usia di atas 20 tahun. Gejala yang muncul berupa
serangan bilateral, tanpa rasa berdenyut, serta tidak berkaitan dengan mual, muntah,
atau gangguan visual sebagai gejala prodromal. Nyeri dirasakan tumpul, dapat pula
disertai dengan rasa penuh, terikat, atapun adanya tekanan. Lokasi terjadinya tension
headache umumnya di daerah oksipitonukal, temporal, frontal, atau difus pada daerah
atas dari kranium. Durasi nyeri kepala ini bervariasi dari hitungan jam hingga hari.
Wanita lebih banyak mengalami tension headache dibandingkan laki-laki. Tension
headache sering kali terjadi bersamaan dengan migren. Berbeda dengan migren,
tension headache umumnya tidak menyebabkan gangguan dalam aktivitas sehari-hari,
memiliki onset yang lebih bertahap dibandingkan migren, serta jarang muncul pada
masa anak-anak ataupun remaja. Tension headache juga lebih banyak ditemukan pada
wanita.4,5
Selama ini tension headache diduga disebabkan oleh kontraksi berlebih dari otot-
otot kranioservikal dan berkaitan dengan konstriksi pada arteri kulit kepala (scalp).
Namun, belum diketahui secara pasti bagaimana mekanisme-mekanisme ini dapat
menyebabkan munculnya tension headache, terutama dengan onset kronik. Dengan
electromyographic (EMG), ditemukan bahwa sebagian besar pasien dengan tension
headache tidak menunjukkan adanya kontraksi otot kranioservikal yang persisten.
Anderson dan Frank juga menemukan tidak adanya perbedaan derajat kontraksi otot
antara individu dengan migren dan tension headache. Akan tetapi, studi yang dilakukan
oleh Sakai et al menunjukkan adanya pengerasan otot perikranial dan trapezius pada
pasien dengan tension headache. Nitrat oksida diperkirakan berperan dalam terjadinya
tension headache, terutama dengan membentuk sensitisasi sentral terhadap stimulasi
sensoris dari struktur kranial.4
a. Cluster Headache
Sebelumnya, cluster headache dikenal dengan istilah neuralgia siliari; eritro-
melalgia kepala; eritroprosoplagia Bing; hemikrania angioparalitika; kemikrania
neuralgiformis kronika; histaminic cephalalgia; Horton’s headache, dan lainnya.
Nyeri kepala yang masuk dalam kategori ini umumnya sangat berat, unilateral,
konstan, tidak berdenyut, dan berlangsung selama 15 menit hingga 3 jam, sebanyak
1-8x per hari. Gejala umumnya disertai dengan injeksi konjungtiva ipsilateral,
lakrimasi, kongesti nasal, rhinorrhea, berkeringat pada wajah, miosis, ptosis,
dan/atau edema kelopak mata, beserta agitasi. Biasanya gejala muncul di malam
hari, sehingga menyebabkan pasien terbangun dari tidur. Sehari-harinya, gejala
muncul di waktu yang sama (periode sirkadian), selama beberapa minggu hingga
bulan. Di antara kejadian, pasien akan terbebas dari rasa nyeri kepala selama
hitungan bulan ataupun tahun. Penyebabnya belum diketahui, namun dari
functional MRI dapat ditemukan adanya aktivasi hipotalamus, terutama daerah
posterior pada grey matter, selama serangan. Siklus serangan diduga terkait
mekanisme hipotalamik dalam mengatur ritme sirkadian. Pada onset nyeri kepala,
region nukleus suprakiasmatik tampak lebih aktif pada PET (May et al). Aktivasi
hipotalamik ditemukan pula pada migren, SUNCT (short-lasting unilateral
neuralgiform attacks with conjunctival injection and tearing), hemikrania
paroksismal kronik, dan hemikrania kontinu.3-5
Cluster headache lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan
perempuan, dan umumnya dimulai pada usia yang lebih tua dibandingkan migren.
Usia rata-rata onset ialah 20-40 tahun. Nyeri kepala jenis ini juga jarang ditemukan
berkaitan dengan riwayat keluarga. Rasa nyeri kepala yang diasakan awalnya
seperti sensasi terbakar di daerah lateral hidung atau tertekan di daerah belakang
mata. Episode juga dapat diperberat dengan penggunaan alkohol atau obat-obatan
vasodilator.3-5
Dalam klasifikasinya, cluster headache dibagi ke dalam episodik dan kronik.
Pada cluster headace episodik, serangan terjadi pada suatu periode selama 7 hari
hingga 1 tahun yang dipisahkan oleh periode bebas nyeri yang berlangsung
setidaknya 1 bulan. Sementara itu, pada cluster headache tipe kronik, serangan
berlangsung selama lebih dari 1 tahun tanpa remisi, atau dengan periode remisi yang
kurang dari 1 bulan.3
Nyeri kepala pada beberapa orang juga memiliki karakteristik migren dan
cluster headache, seperti migranous neuralgia dan cluster migrain (Kudrow).
Lance merumuskan perbedaan-perbedaan yang penting di antara keduanya: 4
Migren Cluster Headache
Pallor Flushing pada sisi yang terkena
Tekanan normal Peningkatan tekanan intraokular
Penurunan suhu Peningkatan suhu pada daerah dahi dan
pipi
Dapat pula bilateral Selalu unilateral
b. Hemikrania Paroxysmal
Hemikrania paroksismal ditandai dengan serangan berat, nyeri unilateral, pada
daerah orbital, supraorbital, temporal, atau kombinasi di antaranya, yang
berlangsung selama 2-30 menit dan beberapa kali dalam sehari. Serangan ini juga
berkaitan dengan injeksi konjungtiva ipsilateral, lakrimasi, kongesti nasal,
rhinorrhea, berkeringat pada dahi dan wajah, miosis, ptosis, dan/atau edema
kelompak mata, serta berespon terhadap pemberian indomethacin. Berbeda dengan
cluster headache, pada hemikrania paroxysmal, insidensi tidak didominasi oleh
laki-laki. Onset biasanya pada usia dewasa. Hemikrania paroksismal
diklasifikasikan menjadi episodik dan kronik dengan ketentuan waktu yang serupa
dengan cluster headache.3
Chronic paroxysmal hemicrania merupakan nama yang diberikan oleh Sjaastad
dan Dale untuk bentuk nyeri kepala unilateral repetitif secara cepat yang
menyerupai cluster headache namun memiliki beberapa fitur yang berbeda. Durasi
lebih pendek (2 – 45 menit) dibandingkan cluster headache dan biasanya terkena
ke region temporoorbital satu sisi, beserta hiperemia konjungtival, rhinorrhea, dan
beberapa kasus sindrom Horner parsial. Pada kasus serangan berat juga ditemukan
adanya ekimosis. Tidak seperti cluster headache, hemikrania paroksismal kronik
lebih umum pada wanita dibandingkan laki-laki (3:1). 4
d. Hemicrania continua
Nyeri kepala persisten, unilateral, berkaitan dengan injeksi konjungtiva,
lakrimasi, kongesti nasal, rhinorrhea, berkeringat di dahi dan wajah, miosis, ptosis,
dan/atau edema kelopak mata, ebserta agitasi; serta sensitif terhadap indometasin.
Dalam kategori ini sering pula ditemui gejala migren seperti fotofobia dan
fonofobia.3
Nyeri kepala yang termasuk ke dalam kategori ini memiliki manifestasi klinis yang
heterogen. Patogenesis kelainan-kelainan ini masih sulit dipahami dan tata laksananya
didasarkan pada laporan dan trial. Kelainan-kelainan nyeri kepala primer dalam kategori ini
dipicu oleh berbagai aktivitas, seperti batuk, maneuver Valsava, beraktivitas, suhu dingin, dan
lain-lainnya tanpa adanya kelainan intrakranial. Nyeri kepala primer thunderclap ditandai
dengan nyeri kepala berintesitas tinggi dengan onset yang cepat, menyerupai rupturnya
aneurisma otak, tanpa adanya kelainan patologi intrakranial. Pada nyeri kepala akibat tekanan
eksternal, terjadi kompresi dari jaringan-jaringan lunak perikranial, seperti akibat penggunaan
topi, helm, ataupun kacamata, tanpa adanya kerusakan pada kuit kepala. Nyeri kepala
nummular ditandai dengan nyeri dengan durasi yang bervariasi, namun cenderung kronik, pada
area kecil yang berbatas tegas di daerah kulit kepala, tanpa adanya lesi struktural. Sementara
itu, pada nyeri kepala hipnik, terjadi serangan nyeri kepala yang frekuen, hanya selama tidur,
menyebabkan individu menjadi terbangun dan bertahan hingga 4 jam, tanpa adanya
karakteristik yang berkaitan dengan gejala dari patologi lainnya. Pada NDPH (new daily
persistent headache), nyeri kepala persisten, onset harian, dan mudah diingat. Nyeri kurang
memiliki karakteristik fitur, dan dapat menyerupai migren atau tension headache, ataupun
keduanya.3
C. Pendekatan Klinis Nyeri Kepala
a. Anamnesis
1. Penjalaran
Penjalaran nyeri kepala dapat menentukan letak lesi. Berikut merupakan radiasi atau
proyeksi pada nyeri kepala.5
2. Onset
Selain itu, perlu digali mengenai onset nyeri kepala. Berikut merupakan diagnosis
banding nyeri kepala berdasarkan klasifikasi onset5
Tabel 2. Diagnosis Banding Nyeri Kepala5
3. Faktor Pencetus
- Pasca operasi mata atau gigi5
- Eksaserbasi akut sinusitis kronik atau hay fever5
- Infeksi virus, tekanan psikologis, stres emosional, lelah, menstruasi, konsumsi
makanan yang mengandung nitrit (hotdog, salami, ham, saus), feniletilamin
(coklat), tiramin (keju), dan terpapar cahaya terang5
- Faktor presipitasi alkohol (biasanya pada tipe klaster) 5
- Mengunyah atau makan (pada neuralgia glosofaringeal, tic douloureux, klaudikasio
dagu yang dikaitkan dengan arteritis giant cell, atau disfungsi temporomandibular)
5
5. Karakteristik Nyeri
a. Berdenyut pada migren5
b. Sensasi terikat atau tertekan menetap pada TTH5
c. Nyeri tumpul dan menetap pada lesi massa intrakranial5
d. Nyeri tajam dan tertusuk pada neuralgia trigeminal5
e. Nyeri seperti alat pemecah es pada migren, klaster, atau arteritis giant cell5
6. Lokasi Nyeri
a. Unilateral pada beberapa kasus klaster dan sebagian besar pada migren
sementara TTH nyeri dirasakan bilateral5
b. Ocular atau retroorbital dapat disebabkan sebagai gangguan mata seperti iritis
akut, glaukoma, neuritis optik, inflamasi retroorbital. Namun dapat juga terjadi
pada migren dan klaster5
c. Paranasal di satu atau beberapa sinus sering disebabkan sinusitis akut5
d. Fokal pada lesi massa intrakranial, namun dapat juga bifrontal atau bioccipital
jika sudah meningkatkan TIK5
e. Pada oksipital seperti diikat pada TTH. Diagnosis lain yaitu iritasi meningeal
akibat infeksi atau perdarahan serta gangguan pada sendi, otot, atau ligamen
pada servikal
f. Nyeri pada N. V1 seperti terbakar pada neuralgia postherpetol5
g. Nyeri tertusuk pada N.V2 dan V3 pada neuralgia trigeminal5
h. Faring dan meatus auditorius eksternal pada neuralgia glosofaring5
7. Gejala Lain
a. Penurunan berat badan pada kanker, arteritis giant cell, atau depresi5
b. Demam atau menggigil pada infeksi sistemik atau meningitis5
c. Sesak atau gejala penyakit jantung pada endokarditis infektif dan menyebabkan
abses otak5
d. Gangguan pengelihatan pada gangguan okular (misalnya glaukoma), migren,
atau proses intrakranial termasuk nerbus optikus atau traktus ataupun jaras
visual sentral5
e. Mual dan muntah pada migren, nyeri post trauma dan massa intrakranial.
Beberapa migren menyebabkan diare atau gejala pencernaan lainnya5
f. Fotofobia pada migren, meningitis akut, dan perdarahan subaraknoid5
g. Mialgia pada TTH, infeksi birus sistemik, dan arteritis giant cell5
h. Lakrimasi dan rinorea ipsilateral selama serangan tipikal pada klaster5
i. Kehilangan kesadaran transien pada migren (basilar migren) dan neuralgia
glosofaring (sinkop kardiak) 5
8. Informasi Tambahan
a. Pola Nyeri
Pada lesi akibat massa, nyeri kepala biasanya maksimal pada saat bangun, sama
seperti pada sinusitis. Nyeri ini biasanya meningkat setiap waktu. Pada klaster nyeri
biasanya terjadi saat bangun tidur, pada waktu yang sama setiap hari dan malam.
TTH biasanya terjadi saat stres dan maksimal saat akhir dari kegiatan harian.
Migren terjadi secara episodik dan memburuk saat menstruasi. 5
b. Pemeriksaan Fisik
A. Tanda Vital
B. Pemeriksaan Umum
a. Berat badan5
b. Kulit5
c. Scalp, wajah, dan kepala
Nyeri pada scalp adalah karakteristik migren. Kelainan pada mata, telinga,
sinus, gigi, serta bruit pada kepala harus diperiksa untuk menyingkirkan
diagnosis banding. 5
d. Leher
Pemeriksaan spasme, cedera, artritis, dan tanda rangsang meningeal5
e. Jantung dan Paru
Sumber abses otak dapat berasal dari jantung dan paru5
C. Pemeriksaan Neurologis
a. Status mental5
b. Nervus kranial5
c. Pemeriksaan motorik5
d. Pemeriksaan sensorik5
Nyeri kepala kronis perlu dibedakan primer atau sekunder. Jika gejala
mengarah pada nyeri kepala primer dan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan
adanya penyakit sekunder dan gangguan neurologis, maka dapat dipikirkan
diagnosis migren, TTH, atau klaster. 5
D. Diagnosis
Terdapat beberapa instrumen untuk menyaring migren pada pasien nyeri
kepala, termasuk menilai derajat keparahan dan disabilitas yang ditimbulkan.
Contihnya yaitu ID-Migrain TM dan Migrain Screen Questionnaire (MS-Q). Pada
anak dapat digunakan Pediatric migrain disability assessment (PedMIDAS).8
Penegakkan diagnosis migren ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis
IHS yang membagi migren menjadi migren tanpa aura dan migren dengan aura. 8
3. Terapi Profilaksis
Sebelum memberikan profilaksis migren, perlu diperhatikan perubahan
pola hidup untuk mendukung kerja obat yang meliputi SEEDS yaitu: 8
- Sleep hygiene: tidur cukup dengan jadwal teratur
- Eating schedules: makan teratur dan bergizi
- Exercise regimen: olahraga teratur
- Drinking water: minum air putih yang cukup
- Stress reduction: mengurangi stres
Prinsip pemberian profilaksis yaitu dimulai dengan dosis inisial
terendah lalu ditingkatkan hingga mencapai efektivitas maksimal atau jika
terdapat efek samping yang tidak dapat ditoleransi. Efek klinis biasanya terlihat
setelah 2-3 bulan pengobatan. Jika setelah 6-12 bulan migren mulai terkontrol,
dosis pengobatan profilaksis diturunkan perlahan hingga dapat dihentikan. 8
a. Indikasi
- Adanya gangguan aktivitas sehari-hari karena serangan migren walaupun telah
mendapatkan pengobatan medikamentosa maupun abortif
- Frekuensi serangan terlalu sering sehingga berisiko terjadi medication overuse
(ditandai dengan nyeri kepala yang berlangsung setidaknya 15 hari dalam
sebulan setidaknya 3 bulan. Terapi dengan menghentikan obat yang
menyebabkan medication overuse secara mendadak kecuali pada obat analgesik
narkotik atau sedatif. Dapat juga digunakan kortikosteroid)
- Mengalami serangan nyeri kepala migren sedang sampai berat lebih dari 3 hari
dalam 1 bulan dan tidak responsif dengan pemberian terapi abortif
- Mengalami serangan migren berulang >2x/minggu dan mengganggu aktivitas
walaupun telah diberikan terapi abortif yang adekuat
- Migren yang berlangsung sering dan >48 jam
- Pengobatan abortif gagal atau tidak efektif
- Muncul gejala dan kondisi luar biasa seperti migren basiler hemiplegik atau
aura yang memanjang
- Keinginan pasien untuk menggunakan obat profilaksis
b. Tujuan
- Menurunkan frekuensi serangan hingga >50%
- Menurunkan intensitas dan durasi serangan
- Meningkatkan respons terapi abortif
- Meningkatkan kemampuan fingsional dan menurunkan disabilitas
- Mencegah medication overuse
- Mencegah rebound headache saat penghentian penggunaan obat abortif
F. Komplikasi
1. Status Migrenosus
Serangan migren yang berlangsung selama lebih dari 72 jam. Biasanya
terjadi akibat medication overuse. 8
Kriteria diagnostik:8
- Terjadi pada pasien migren dengan atau tanpa aura dan/atau memiliki
riwayat serangan yang tipikal sebelumnya kecuali durasi dan keparahannya
- Tidak remisi dalam >72 jam dan nyeri dan/atau gejala lainnya melemahkan
pasien
- Tidak memenuhi kriteria diagnosis nyeri kepala lainnya
3. Infark Migren
Satu atau lebih gejala aura migren terkait dengan lesi otak iskemik yang
terbukti pada neuroimaging. Biasanya terjadi pada sirkulasi posterior dan pada
wanita muda. Terdapat peningkatan risiko terhadap stroke iskemik pada pasien
migren dengan aura sebesar 2 kali lipat namun mekanismenya masih belum
diketahui. 8
Kriteria diagnostik: 8
- Serangan migren yang memenuhi kriteria B dan C
- Terjadi pada pasien migren dengan aura dengan riwayat tipikal sebelumnya
namun gejala aura terjadi <60 menit
- Terdapat infark iskemik di area yang relevan pada neuroimaging
- Tidak memenuhi kriteria diagnosis nyeri kepala lainnya
G. Prognosis
Migren merupakan penyakit yang bersifat kronik tetapi dapat terjadi remisi
dalam waktu panjang. Pada migren dengan onset anak-anak, 62% akan bebas
serangan selama 2 tahun atau lebih pada saat pubertas. Keparahan dan frekuensi
migren cenderung menurun seiring pertambahan usia. Setelah 15 tahun seringkali
mengalami migren, 30% laki-laki dan 40% perempuan tidak lagi mengalami
serangan di usia lanjut. 8
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis I
Klinis Migrain dengan aura
Pasien sudah mengeluhkan nyeri kepala serupa selama 5 tahun terakhir sebanyak >5
kali serangan yang berlangsung selama 8 jam jika tidak diobati. Nyeri kepala juga
terjadi unilateral, kualitas berdenyut, intensitas nyeri sedang (VAS= 4-5), serta
terdapat fotofobia dan fonofobia. Pada pasien juga terdapat aura visual yaitu fotopsia
dan skotoma. Nyeri juga memburuk dengan aktivitas dan mereda dengan suasana
gelap, tidur, serta natrium diklofenak.
Topis Cortical spreading depression, neurovascular pada korteks serebri
Cortical spreading depression
Leao dan Cutter mengemukakan teori cortical spreading depression yang kemudian
dibuktikan dengan perfusion-weighted MRI (Woods et al) dan SPECT, di mana pada
terjadinya serangan migren yang disertai dengan aura visual ditemukan adanya
penurunan aliran darah dimulai dari korteks oksipital, kemudian menyebar ke kedua
hemisfer. Didukung pula oleh Lashley dengan teori spreading oligemia.
Neurovaskular
- Studi oleh Harold Wolff menunjukkan adanya distensi dan pulsasi berlebihan dari
cabang arteri carotid eksternal
- Studi oleh Iversen et al dengan USG menunjukkan adnaya dilatasi arteri temporal
superior pada sisi yang mengalami migren selama terjadinya serangan. Ditemukan
pula dilatasi arteri serebral madia
Etiologi Genetik
Patologi Vasodilatasi pembuluh darah
Diagnosis II
Klinis Hipertiroid
Pasien sudah didiagnosis hipertiroid 3 bulan yang lalu, mengonsumsi propanolol dan
thyrozol. Terdapat keluhan penurunan berat badan, tremor, berdebar-debar, dan
peningkatan nafsu makan. Pasien juga mengeluh adanya benjolan di daerah leher.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tiroid teraba membesar. Dari pemeriksaan
penunjang diperoleh FT4 1.93 dan TPAb 10.62.
Topis Reseptor thyrotropin pada kelenjar tiroid
Kelenjar tiroid mengalami stimulasi berlebihan akibat autoantibodi pada reseptor
thyrotropin, dan sekresi tirotropin pituitary menjadi tersupresi dikarenakan
peningkatan hormon tiroid.
Etiologi Autoimun
Patologi Hiperplasia folikel, intraseluler droplet koloid, cell scalloping
Diagnosis Kerja
Diagnosis Banding
B. Tata Laksana
1. Terapi abortif
Pasien mengatakan jika terjadi serangan biasanya mengonsumsi natrium diklofenak
dan keluhan membaik. Oleh karena itu, terapi abortif yang dapat diberikan pada pasien
yaitu natrium diklofenak dengan dosis 50 mg setiap kali serangan.
2. Terapi Non-medikamentosa
Pasien diedukasi untuk menghindari faktor pencetus seperti perubahan pola tidur,
makanan atau minuman (keju, coklat, MSG, alkohol), stres, ataupun rutinitas harian
lainnya. Pasien juga diedukasi mengenai gaya hidup SEEDS yaitu perlu menjadwalkan
tidur yang cukup, makan teratur dan bergizi, berolahraga secara teratur, minum air putih
yang cukup, dan megurangi stres
3. Terapi Profilaksis
Pasien memenuhi indikasi untuk diberikan terapi profilaksis yaitu serangan >2 kali per
minggu disertai adanya gangguan aktivitas sehari-hari akibat nyeri kepala. Pasien
dalam pengobatan hipertiroid dengan propranolol 2x20 mg. Obat ini dapat sekaligus
menjadi terapi profilaksis terhadap migrain pasien.
C. Prognosis
Ad vitam : bonam
Migrain dengan aura maupun Grave’s disease cenderung tidak mengancam nyawa.
Pasien perempuan, usia 21 tahun, datang dengan keluhan nyeri kepala berdenyut di sisi kiri
pada 1 minggu lalu. Pertama kali muncul sejak 5 tahun lalu. Nyeri dirasakan di daerah temporal
kiri hingga retroorbita kiri. Durasi nyeri dapat mencapai 8 jam apabila tidak diberikan obat.
Nyeri dikatakan hilang timbul, tidak semakin memberat, VAS 4-5. Saat nyeri kepala kambuh,
terdapat fotofobia dan fonofobia. Terkadang lakrimasi bilateral. Frekuensi munculnya nyeri
kepala diperkirakan 3 kali dalam 1 minggu. Nyeri kepala dipicu oleh kurang tidur, stress,
emosi, serta 3 hari sebelum menstruasi hingga 2-3 hari pertama periode menstruasi. Nyeri
kepala membaik dengan natrium diklofenak 50 mg, suasana gelap, dan tidur. Nyeri kepala
dirasakan mengganggu aktivitas sehari-hari dan menyebabkan sulit tidur. Sekitar 30-60 menit
sebelum nyeri kepala muncul, pasien mengalami aura visual berupa fotopsia dan skotoma. Ibu
kandung pasien memiliki keluhan migren sejak usia remaja. Sehari-harinya, pasien
mengonsumsi obat propranolol dan thyrozol sejak 3 bulan lalu karena didiagnosis hipertiroid.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan teraba pembesaran di kelenjar tiroid yang difus. Tanda
vital, status generalis, kesadaran, pupil, motorik, sensorik, proprioseptif, koordinasi, dan fungsi
luhur dalam batas normal. Pada pemeriksaan penunjang (14 Maret 2017) didapatkan FT4 1.93
dan TPAb 10.62.
Pasien didiagnosis migrain dengan aura dan Grave’s disease. Tata laksana yang direncanakan
untuk pasien meliputi edukasi, pemberian natrium diklofenak 50 mg bila nyeri, Thyrozol 10
mg (1x/hari), dan Propanolol 20 mg (2x/hari). Prognosis pada pasien ini mencakup ad vitam:
bonam, ad functionam: dubia ad bonam, dan ad sanationam: dubia ad bonam.
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO: Headache disorders [Internet]. World Health Organization. 2016 [cited 10 June
2017]. Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs277/en/
2. WHO, Lifting The Burden. Atlas of headache disorders and resources in the world 2011
[Internet]. 1st ed. Trento: World Health Organization; 2011 [cited 10 June 2017]. Available
from:
http://www.who.int/mental_health/management/who_atlas_headache_disorders.pdf?ua=1
3. Headache Classification Committee of the International Headache Society (IHS). The
International Classification of Headache Disorders, 3rd Edition. Cephalalgia. 2013
Jul;33(9):629-808
4. Ropper A, Samuels M, Victor M, Adams R. Adams and Victor's principles of neurology.
10th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2014.
5. Aminoff M, Greenberg D, Simon R. Clinical neurology. 8th ed. [S.l.]: McGraw-Hill
Education; 2012.
6. Risk factors for migrain and migrain progression-lessons learned from epidemiologic
studies. Neurology Reviews. 2008 June;16(6):24,26. Available from:
http://www.mdedge.com/neurologyreviews/article/73426/headache-migrain/risk-factors-
migrain-and-migrain-progression/page/0/1
7. Bigal M, Lipton R. Modifiable Risk Factors for Migrain Progression. Headache: The
Journal of Head and Face Pain. 2006;46(9):1334-1343.
8. Aninditha T, Rasyid A. Nyeri kepala. In: Aninditha T, Wiratman W, editor. Buku ajar
neurologi. Tangerang: Penerbit Kedokteran Indonesia; 2017