Anda di halaman 1dari 45

PRESENTASI KASUS

SEFALGIA PRIMER

Penyusun:
Denisa Widyaputri (1206256075)
Regina Putri Apriza (1206244390)

Pembimbing:
dr. Freddy Sitorus, SpS

MODUL PRAKTIK KLINIK NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL CIPTO MANGUNKUSUMO
JUNI 2017
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Kami yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa makalah yang
berjudul “Sefalgia Primer” ini kami susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Universitas Indonesia.

Jika di kemudian hari ternyata kami melakukan tindakan plagiarisme, kami akan bertanggung
jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada
kami.

Jakarta, 13 Juni 2017

(Denisa Widyaputri) (Regina Putri Apriza)


BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri kepala merupakan salah satu gejala kelainan sistem saraf yang paling banyak dialami oleh
populasi di seluruh dunia. Hampir setiap individu pernah merasakan nyeri kepala setidaknya sebanyak
satu kali dalam hidupnya. Gejala ini dapat ditemukan di berbagai tempat, pada seluruh jenjang usia, ras,
maupun tingkatan sosioekonomi. Lebih dari 50% populasi berusia dewasa di seluruh dunia mengalami
episode nyeri kepala dalam satu tahun terakhir, dengan 30% di antaranya berupa migren. Nyeri kepala
juga menyebabkan disabilitas tertinggi ke-3 di dunia berdasarkan studi oleh Global Burden of Disease
Study pada tahun 2013. Tidak hanya menyebabkan rasa tidak nyaman, nyeri kepala juga
menurunkan kualitas hidup dan produktivitas, sehingga berdampak pula pada kerugian secara
sosial dan ekonomi. Dalam sebuah penelitian di Inggris, diperkirakan 25 juta hari sekolah atau
bekerja hilang setiap tahunnya akibat migren; di mana dampak ekonominya setara dengan
perpaduan antara nyeri kepala tension type dan nyeri kepala akibat penggunaan obat berlebihan
jika digabungkan menjadi satu.

Meskipun menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sangat umum ditemui di seluruh dunia,
namun nyeri kepala sering kali dianggap tidak serius dan tidak berbahaya, sehingga tidak
didiagnosis dengan tepat. Pada umumnya, individu yang mengalami nyeri kepala akan
mengonsumsi obat-obatan pereda nyeri kepala yang dijajakan secara umum, tanpa berobat ke
tenaga kesehatan. Pada studi epidemiologi di Amerika Serikat dan Inggris, ditemukan hanya
sekitar 50% individu dengan migren yang berkunjung ke dokter akibat masalah nyeri kepala
yang dihadapinya dalam 1 tahun terakhir dan hanya 2/3 di antaranya yang didiagnosis dengan
tepat. Individu dengan nyeri kepala juga sering kali tidak mendapatkan pengobatan yang efektif
dan adekuat.

Nyeri kepala dapat muncul tanpa adanya penyakit yang mendasarinya (primer) atau disebabkan oleh
penyakit lainnya (sekunder). Pada makalah ini akan dibahas mengenai nyeri kepala (sefalgia) primer
berdasarkan dari ilustrasi kasus.
BAB II
ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Nn. BPKA
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 19 Agustus 1996
Usia : 21 tahun
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Komp. Kranggan Permai, Cibubur
Pekerjaan : Mahasiswa
Status Pernikahan : Belum Menikah
Tanggal Pemeriksaan : 12 Juni 2017

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada Senin, 12 Juni 2017.

Keluhan Utama
Nyeri kepala berdenyut di sisi kiri pada 1 minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluhkan nyeri kepala berdenyut pada sisi kiri pada 1 minggu yang lalu. Nyeri
kepala dirasakan selama 8 jam apabila tidak minum obat. Nyeri dirasakan selalu di daerah
sisi kiri di atas telinga, terkadang sampai ke daerah sekitar mata kiri. Nyeri dikatakan hilang
timbul, tidak semakin memberat, dengan VAS 4-5. Sensasi nyeri seperti terikat atau
tertindih disangkal. Saat nyeri kepala kambuh, pasien mengeluhkan rasa silau jika terkena
cahaya dan terasa kepala menjadi semakin penuh dan nyeri jika mendengar suara bising
atau berisik selama ±30 menit. Terkadang keluar air mata dari kedua mata saat nyeri kepala
dirasakan. Mual, muntah, serta keluarnya cairan dari hidung atau telinga saat nyeri kepala
disangkal. Rasa lemas, tangan atau kaki sulit digerakkan, mata sulit dibuka, sulit menelan,
bicara pelo, pandangan kabur, gangguan penghidu, kejang, maupun kesadaran menurun
saat terjadinya nyeri kepala disangkal. Batuk, pilek, ataupun nyeri di daerah pipi atau dahi
disangkal. Demam ataupun sesak napas disangkal. Trauma di daerah kepala disangkal.
BAK dan BAB dikatakan normal seperti biasa.
Nyeri kepala serupa sudah dirasakan sejak 5 tahun yang lalu. Nyeri kepala rata-rata muncul
3 kali dalam 1 minggu, terutama jika kurang tidur, emosi, stress, serta 3 hari sebelum
menstruasi hingga 2-3 hari pertama periode menstruasi. Nyeri juga diperburuk dengan
aktivitas. Nyeri kepala membaik apabila pasien tidur atau berada dalam ruangan yang
gelap. Pada saat nyeri kambuh, pasien mengonsumsi natrium diklofenak 50 mg sebanyak
1 tablet dan dirasakan membaik. Nyeri tidak lebih buruk saat bangun tidur di pagi hari.
Nyeri kepala tidak diperberat dengan batuk ataupun bersin. Nyeri kepala dirasakan
mengganggu aktivitas sehari-hari dan menyebabkan sulit tidur.

Sekitar 30-60 menit sebelum nyeri kepala muncul, pasien selalu merasa melihat kilatan
cahaya sesaat (hanya beberapa detik) di kedua mata. Terdapat pula daerah warna-warni
hingga cahaya putih yang terlihat dengan bentuk garis menyerupai zigzag. Daerah sekitar
penglihatan tampak buram. Rasa nyeri seperti tertusuk, rasa baal, ataupun gangguan
berbahasa sesaat sebelum terjadinya nyeri disangkal.

Sehari-harinya, pasien mengonsumsi obat propranolol dan thyrozol sejak 3 bulan lalu
karena didiagnosis mengalami hipertiroid. Pasien mengeluhkan adanya penurunan berat
badan, tremor, denyut jantung meningkat, dan peningkatan nafsu makan sejak 1 tahun lalu.
Pasien juga menyadari adanya benjolan di daerah leher. Kini, setelah mengonsumsi obat
secara teratur, keluhan tersebut sudah berkurang, disertai dengan adanya peningkatan berat
badan > 10 kg dalam 3 bulan terakhir.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah mengalami demam berdarah sebanyak 6 kali dan demam tifoid sebanyak 2
kali. Pasien memiliki alergi terhadap makanan seafood. Riwayat gangguan tumbuh
kembang maupun kelainan bawaan disangkal. Riwayat pembedahan disangkal. Riwayat
hipertensi, diabetes mellitus, maupun kelainan jantung disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu kandung pasien mengalami migren sejak remaja hingga saat ini. Riwayat hipertensi,
diabetes mellitus, maupun kelainan jantung pada keluarga disangkal. Riwayat keganasan
pada keluarga disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan mahasiswa kedokteran di salah satu universitas negeri di Jakarta. Saat
ini, pasien tinggal bersama dengan ayah, ibu, dan satu orang adik laki-laki. Pasien tidak
merokok maupun menggunakan narkoba. Riwayat penggunaan jarum suntik bergantian
disangkal. Riwayat konsumsi alkohol disangkal. Pasien gemar mengonsumsi cokelat, keju,
makanan berminyak, makanan mengandung MSG, dan makanan berpengawet.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan dilakukan pada Senin, 12 Juni 2017

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan


Kesadaran : Compos mentis
Pola pikir : Koheren

Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Frekuensi Nadi : 82 x/menit
Suhu : 36,5oC
Pernapasan : 18 x/menit
Saturasi O2 : 99%

Status Gizi
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 155 cm
Indeks Massa Tubuh : 24,97 (overweight)

Status Generalis
Organ Hasil Pemeriksaan Fisik
Prespirasi normal, turgor kulit normal, tidak ada purpura, tidak ada bercak
Kulit
merah
Rambut Hitam, persebaran merata, tidak mudah rontok pada penarikan
Kepala Normosefal, tidak ada alopesia, tidak tampak deformitas
Mata Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Tidak ada deviasi trakhea, tidak ada pembesaran KGB, teraba pembesaran
Leher
kelenjar tiroid, JVP 5-2 cmH2O
Iktus kordis tidak terlihat dan tidak teraba. Tidak ada thrill, tapping,
Jantung
heaving, lifting. S1 dan S2 normal, tidak ada gallop, tidak ada murmur.
Gerakan dada statis dan dinamis simetris, ekspansi dan fremitus kedua
Paru lapang paru simetris, sonor pada kedua lapang paru, suara napas vesikuler,
tidak ada wheezing, tidak ada ronki.
Supel, tidak ada nyeri tekan. hepar, lien, dan ginjal tidak teraba membesar.
Abdomen
Shifting dullness (-). Bising usus (+) 5x/menit.
Ekstremitas Akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada edema, tidak ada deformitas

Pemeriksaan Neurologis
1. Skala Koma Glasgow : E4 M6 V5

2. Pupil
 Ukuran : 3 mm/ 3 mm
 Bentuk : bulat/ bulat
 Refleks cahaya langsung : +/+
 Refleks cahaya konsensual : +/+
 Konvergensi : normal
 Isokorik : ya

3. Tanda Rangsang Meningeal


 Kaku kuduk : tidak ada
 Bruzinsky I : tidak ada
 Bruzinsky II : tidak ada
 Lasegue : >700 / >700
 Kernig : >1350 / >1350
4. Saraf Kranialis
Nervus Kranialis Hasil Pemeriksaan
N. I Normal
N. II OD OS
Visus 1/60 1/60
Lapang Pandang Normal; sesuai dengan Normal; sesuai dengan
pemeriksa pemeriksa
Warna Normal Normal
N. III, IV, VI OD OS
Kelopak mata Normal Normal
Kedudukan bola mata Normal Normal
Gerakan bola mata n. III Normal Normal
Gerakan bola mata n. IV Normal Normal
Gerakan bola mata n. VI Normal Normal
N. V Kanan Kiri
Sensorik Normal Normal
Motorik Normal Normal
Refleks Kornea Positif Positif
N. VII Kanan Kiri
Motorik otot wajah Normal Normal
Kelenjar air mata Normal Normal
Kelenjar liur Normal Normal
Pengecapan lidah Normal
Sensorik retroaurikuler Normal Normal
N. VIII Kanan Kiri
Romberg dipertajam Normal Normal
Stepping test Normal Normal
Past pointing Normal Normal
N. IX, X
Arkus faring Simetris Simetris
Uvula Di tengah
Refleks muntah Tidak dievaluasi
Disfonia Tidak ada
N. XI
M. trapezius Normal Normal
M. sternocleidomastoideus Normal Normal
N. XII
Saat lidah istirahat Normal
Saat lidah dijulurkan Normal
Disartria Tidak ada

5. Motorik
Ekstremitas atas
 Tonus : eutoni, spastisitas dan rigiditas negatif
 Trofi : eutrofi, tidak terdapat atrofi
 Kekuatan :
5 5 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5 5 5

Ekstremitas bawah
 Tonus : eutoni, spastisitas dan rigiditas negatif
 Trofi : eutrofi, tidak terdapat atrofi

Refleks fisiologis
 Biceps : +2/+2
 Triceps : +2/+2
 Patella : +2/+2
 Achilles : +2/+2

Refleks patologis
 Hoffman-tromner : -/-
 Babinsky : -/-
 Chaddock : -/-
 Schaeffer : -/-
 Oppenheim : -/-
 Gordon : -/-
 Mendel Bechtrew : -/-
 Rossolimo : -/-

6. Sensorik
Ekteroseptif
Raba : normal
Nyeri : tidak dievaluasi
Suhu : tidak dievaluasi

7. Proprioseptif
Sikap : normal
Getar/vibrasi : tidak dievaluasi
Posisi : normal

8. Koordinasi
Disdidokokinesis : normal
Knee to heel test : normal

9. Fungsi luhur
Berbicara : normal
Orientasi waktu : normal
Orientasi orang : normal
Orientasi tempat : normal

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Hasil Satuan Nilai Normal
Hematologi (14 Maret 2017)
Leukosit 9.3 1000/uL 3.6-11
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0.0 % 0.0-1.0
Eosinofil 2.0 % 2.0-4.0
Neutrofil 67.0 % 50.0-70.0
Limfosit 24.0 ↓ % 25.0-40.0
Monosit 7.0 % 2.0-8.0
Trombosit 340 1000/uL 150-440
Hemoglobin 12.1 g/dl 11.7-15.5
Hematokrit 35.4 % 35-47
Eritrosit 4.62 106/ uL 3.8-5.2
MCV 76.7 fL 80-100
MCH 26.2 pg 26-34
MCHC 34.2 g/dl 32-36
RDW-CV 13.3 % 11.5-14.5
LED 18 mm/jam 0-20
Endokrinologi (14 Maret 2017)
FT4 1.93 ↑ ng/dl 0.89 – 1.76
TPAb 10.62 ↑ IU/L ≤ 1.75

2.5 Resume
Pasien perempuan, usia 21 tahun, datang dengan keluhan nyeri kepala berdenyut di sisi kiri
pada 1 minggu lalu. Pertama kali muncul sejak 5 tahun lalu. Nyeri dirasakan di daerah
temporal kiri hingga retroorbita kiri. Durasi nyeri dapat mencapai 8 jam apabila tidak
diberikan obat. Nyeri dikatakan hilang timbul, tidak semakin memberat, VAS 4-5. Saat
nyeri kepala kambuh, terdapat fotofobia dan fonofobia. Terkadang lakrimasi bilateral.
Frekuensi munculnya nyeri kepala diperkirakan 3 kali dalam 1 minggu. Nyeri kepala dipicu
oleh kurang tidur, stress, emosi, serta 3 hari sebelum menstruasi hingga 2-3 hari pertama
periode menstruasi. Nyeri kepala membaik dengan natrium diklofenak 50 mg, suasana
gelap, dan tidur. Nyeri kepala dirasakan mengganggu aktivitas sehari-hari dan
menyebabkan sulit tidur. Sekitar 30-60 menit sebelum nyeri kepala muncul, pasien
mengalami aura visual berupa fotopsia dan skotoma. Ibu kandung pasien memiliki keluhan
migren sejak usia remaja. Sehari-harinya, pasien mengonsumsi obat propranolol dan
thyrozol sejak 3 bulan lalu karena didiagnosis hipertiroid. Pada pemeriksaan fisik,
didapatkan teraba pembesaran di kelenjar tiroid yang difus. Tanda vital, status generalis,
kesadaran, pupil, motorik, sensorik, proprioseptif, koordinasi, dan fungsi luhur dalam batas
normal. Pada pemeriksaan penunjang (14 Maret 2017) didapatkan FT4 1.93 dan TPAb
10.62.
2.6 Diagnosis
Diagnosis klinis :
1. Migren dengan aura
2. Grave’s disease perbaikan

Diagnosis topis :
1. Cortical spreading depression pada korteks serebri, neurovaskular
2. Reseptor thyrotropin pada kelenjar tiroid

Diagnosis etiologis :
1. Genetik (70%)
2. Autoimun

Diagnosis patologis :
1. Vasodilatasi pembuluh darah
2. Hiperplasia folikel, intraseluler droplet koloid, cell scalloping

2.7 Penatalaksanaan
 Edukasi:
o Menghindari faktor-faktor pencetus
o Pemaparan mengenai penyakit yang berkaitan dengan genetik dan dapat
kambuh sewaktu-waktu
o Membatasi penggunaan obat agar tidak terjadi penyalahgunaan atau overuse
 Medikamentosa:
o Natrium diklofenak 50 mg prn nyeri
o Thyrozol 10 mg x1
o Propanolol 20 mg x 2

2.8 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Epidemiologi
Sakit kepala merupakan salah satu kelainan tersering pada sistem saraf di seluruh
dunia yang dialami oleh berbagai usia, ras, maupun tingkatan sosioekonomi. Diperkirakan
lebih dari separuh populasi berusia 18-65 tahun pernah mengalami setidaknya satu kali
gejala sakit kepala dalam satu tahun terakhir, dengan 30% di antaranya dalam bentuk
migren. Gejala sakit kepala selama lebih dari 15 hari setiap bulannya dialami oleh 1.7-4%
populasi dewasa di seluruh dunia.1
Berdasarkan suatu studi yang dilakukan oleh Global Burden of Disease Study pada
tahun 2013, migren merupakan penyebab disabilitas tertinggi ke-6 di seluruh dunia.
Kelainan sakit kepala secara kolektif menduduki posisi ke-3 tertinggi.1
Sakit kepala tidak hanya menyebabkan ketidaknyamanan, melainkan juga
menimbulkan disabilitas, gangguan kualitas hidup, dan kerugian finansial. Keluhan sakit
kepala yang berkepanjangan juga berdampak pada penurunan kesehatan mental, seperti
ansietas dan depresi, terutama yang disebabkan oleh migren.1

Tabel 1. Rata-rata prevalensi (%) populasi berusia 18-65 tahun yang mengalami berbagai
jenis nyeri kepala berdasarkan studi populasi region WHO2

Migren ditemukan pada 11% populasi dewasa di seluruh dunia dengan angka
kejadian mencapai tiga kali lebih tinggi pada wanita dikarenakan adanya pengaruh
hormonal. Migren lebih jarang ditemukan pada anak-anak maupun lanjut usia.
Berdasarkan ekstrapolasi dari prevalensi migren dan insiden serangan diperkirakan
terdapat 3.000 serangan migren setiap harinya pada 1.000.000 populasi umum.2
Episode tension-type merupakan kelainan sakit kepala yang paling sering
ditemukan, diperkirakan terdapat pada lebih dari 70% pada beberapa populasi. Di
seluruh dunia, prevalensi sakit kepala tension-type bervariasi dengan rata-rata 42%
pada dewasa, dengan angka kejadian pada wanita lebih tinggi dibandingkan pria. Sakit
kepala tension-type kronik ditemukan pada 1-3% populasi dewasa.2

B. Klasifikasi
Secara umum, nyeri kepala diklasifikasikan menjadi primer, sekunder, dan tipe
lainnya. Pada nyeri kepala primer, maka nyeri kepala muncul akibat overaktivitas
sensitif nyeri pada kepala, tanpa disebabkan oleh penyebab lainnya. Lain halnya dengan
nyeri kepala sekunder yang disebabkan oleh penyakit atau kondisi lainnya, seperti
infeksi, trauma, vaskular, tumor, kelainan psikiatri, dan lain-lain. Pada umumnya, nyeri
kepala sekunder lebih berbahaya dibandingkan dengan nyeri kepala primer. Nyeri
kepala primer dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: migren, tension-type, trigeminal
autonomic cephalalgia, dan nyeri kepala primer lainnya.
1. Migren
Migren diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, yaitu:3
1.1 Migren tanpa aura
1.2 Migren dengan aura
1.2.1 Migren dengan aura tipikal
1.2.1.1 Aura tipikal dengan sakit kepala
1.2.1.2 Aura tipikal tanpa sakit kepala
1.2.2 Migren dengan aura batang otak
1.2.3 Migren hemiplegik
1.2.3.1 Familial hemiplegic migrain (FHM)
1.2.3.2 Sporadic hemiplegic migrain
1.2.4 Migren retinal
1.3 Migren kronik
1.4 Komplikasi migren
1.4.1 Status migrenosus
1.4.2 Aura persisten tanpa infark
1.4.3 Migrainous infarction
1.4.4 Migrain aura-triggered seizure
1.5 Migren probable
1.5.1 Migren probable tanpa aura
1.5.2 Migren probable dengan aura
1.6 Sindrom Episodik terkait migren
1.6.1 Gangguan gastrointestinal rekuren
1.6.2 Benign paroxysmal vertigo
1.6.3 Benign paroxysmal toritocllis

Secara umum, migren dibagi menjadi dua subtipe mayor:


A. Migren tanpa Aura
Migren tanpa aura dikenal pula dengan sebutan migren umum atau simpleks
hemikrania. Diagnosis ini ditandai dengan sakit kepala berulang dengan serangan
yang bertahan selama 4-72 jam. Pada umumnya, migren bersifat unilateral,
berdenyut, dengan intensitas sedang sampai berat, dipicu oleh aktivitas fisik rutin
dan berkaitan dengan rasa mual dan/atau fotofobia dan fonofobia.3
Meskipun demikian, migren pada anak-anak maupun remaja (berusia kurang
dari 18 tahun) umumnya bilateral dibandingkan pada dewasa. Nyeri unilateral
dimulai pada awal masa remaja atau masa dewasa awal. Sakit kepala migren
biasanya di daerah frontotemporal. Serangan migren juga dapat berkaitan dengan
gejala autonomi kranial dan allodynia kutaneus. Di samping itu, migren tanpa aura
juga berkaitan dengan menstruasi.3

B. Migren dengan Aura


Awalnya migren dengan aura dikenal dengan istilah migren klasik; migren
oftalmika, hemiparestesi, hemiplegik, atau afasik; migren komplikata. Migren
dengan aura ditandai dengan serangan rekuren selama beberapa menit, unilateral,
disertai gejala sistem saraf pusat lainnya yang berkembang dengan cepat dan diikuti
dengan sakit kepala yang terkait dengan migren.3
Aura merupakan kompleks dari gejala-gejala neurologi yang terjadi sebelum
munculnya sakit kepala, namun dapat pula terjadi setelah fase nyeri dimulai, atau
berlanjut selama terjadinya nyeri kepala. Salah satu jenis aura yang paling sering
ditemukan pada migren adalah aura visual (90%). Aura ini sering kali muncul
sebagai suatu spektrum fortifikasi: gambaran zigzag dekat poin fiksasi yang
menyebar dengan cepat ke kanan atau kiri dan asumsi bentuk cembung lateral
dengan dengan angulated scintillating edge, menyisakan skotoma relative pada saat
bangun. Pada kasus lainnya, skotoma tanpa munculnya fenomena ini dapat terjadi;
hal ini dapat dianggap sebagai suatu onset akut, tetapi dengan pemeriksaan yang
lebih seksama dapat ditemukan secara bertahap. Pada anak-anak dan remaja,
terdapat gejala visual bilateral yang lebih tidak tipikal, namun dapat
merepresentasikan suatu aura. Aura visual dapat dinilai dengan suatu skala.3
Di samping aura visual, dapat pula ditemukannya gangguan sensori, seperti rasa
tertusuk (pins and needles) yang berpindah secara perlahan hingga ke berbagai
bagian atau sisi tubuh, wajah, dan/atau lidah. Rasa baal dapat pula ditemukan.
Gejala aura lainnya yang lebih jarang ditemukan adalah gangguan bicara, seperti
afasia. Sementara itu, apabila terdapat kelemahan motorik maka dapat
dikategorikan ke dalam migren hemiplegi.
Berbagai gejala aura yang berbeda dapat terjadi secara berurutan, diawali
dengan visual, kemudian sensori dan afasia; namun dapat pula dalam rangkaian
tahapan lainnya. Durasi aura umumnya 1 jam, tetapi gejala motorik dapat bertahan
lebih lama.

Migren dengan aura diklasifikasikan menjadi:3


a. Migren dengan aura tipikal
Migren dengan aura ditandai dengan adanya suatu aura yang terdiri atas
gejala visual dan/atau sensori dan/atau berbicara atau bahasa, tetapi tanpa
kelemahan motorik, serta ditandai perkembangan bertahap, dengan durasi
masing-masing gejala tidak lebih dari 1 jam, dan dapat kembali seperti semula
secara komplit.
b. Migren dengan aura batang otak
Kategori ini awalnya dikenal dengan istilah migren arteri basilar, migren
basilar, migren tipe basilar. Keluhan ditandai dengan migren beserta gejala aura
yang berasal dari batang otak, tanpa adanya kelemahan motorik.
c. Migren hemiplegik
Ditandai dengan migren beserta aura yang mencakup kelemahan
motorik. Migren hemiplegik ini diklasifikan menjadi familial dan sporadik.
Pada migren hemiplegik tipe familial, terdapat adanya migren hemiplegik pada
setidaknya keluarga derajat 1 atau 2.
d. Migren retinal
Migren kategori ini sangat jarang ditemukan. Ditandai dengan hilangnya
penglihatan monokular yang transien.

Selain dua kategori berdasarkan aura, terdapat pula kategori migren lainnya yaitu migren:3
 Migren Kronik
Ditandai dengan sakit kepala pada lebih dari 15 hari per bulan selama lebih dari
3 bulan, dengan memenuhi gejala migren setidaknya 8 hari per bulan.
 Komplikasi Migren
Terdapat beberapa migren yang termasuk ke dalam subtipe ini, di antaranya
status migrenosus, yaitu serangan migren yang melemahkan berlangsung selama lebih
dari 72 jam. Kategori lainnya adalah aura persisten tanpa infark, yang ditandai dengan
gejala aura selama 1 minggu atau lebih tanpa bukti infark pada pencitraan neurologi.
Gejalanya umumnya bilateral dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan hingga
bertahun-tahu. Lain halnya dengan infark migrainous yang ditandai dengan satu atau
lebih gejala aura migren berkaitan dengan lesi iskemik otak yang tampak pada
pencitraan neurologi. Di samping itu, terdapat pula kategori migrain aura-triggered
seizure yang ditandai dengan kejang dipicu oleh serangan migren dengan aura.
 Probable Migrain
Kategori ini sebelumnya dikenal dengan migrainous disorder yang ditandai
dengan serangan menyerupai migren namun kurang satu atau lebih gejala untuk dapat
memenuhi kriteria subtipe migren dan tidak termasuk ke dalam kriteria kelainan nyeri
kepala lainnya.
 Sindrom Episodik terkait Migren
Kategori ini sebelumnya dikenal dengan sindrom periodik pada masa kanak-
kanak. Kondisi lainnya yang ditemukan pada pasien ini ialah episode motion sickness
dan kelainan tidur periodik, termasuk sleep walking, sleep talking, night terrors, dan
bruxism. Selain itu, dapat pula ditemukan dengan adanya nyeri atau rasa tidak nyaman
pada daerah abdomen yang berkaitan dengan migren. Lain halnya dengan migren
abdominal yang merupakan kelainan idiopatik yang umumnya ditemukan pada anak-
anak sebagai suatu serangan rekuren beserta nyeri perut dengan intensitas sedang
hingga berat, terkait dengan gejala vasomotor, mual, dan muntah, berlangsung selama
2-72 jam dan adanya kondisi normal antarepisode.
Benign paroxysmal vertigo juga termasuk ke dalam kategori ini. Ditandai
dengan serangan singkat rekuren vertigo yang berlangsung tanpa ada tanda-tanda dan
mereda secara spontan. Dalam penegakkan diagnosis kategori ini, perlu untuk
dieksklusi kemungkinan tumor fossa posterior, kejang, dan kelainan vestibular.
Sementara itu, pada benign paroxysma torticollis terdapat episode rekuren dari
miringnya kepala ke salah satu sisi, dengan rotasi ringan, dan dapat mereda secara
spontan. Kondisi ini terjadi pada bayi dan anak-anak, dengan onset pada tahun pertama.

Patogenesis Migren

Gambar 1. Patogenesis Migren5

Pada migren, faktor genetik menjadi penentu yang cukup signifikan.


Predisposisi genetik pada penderita migren diduga dapat ditranslasi menjadi defisit
neurologis regional, sakit kepala unilateral, ataupun keduanya. Dalam beberapa tahun
terakhir ini, teori yang digunakan dalam pathogenesis migren ialah teori Harold Wolff,
di mana nyeri kepala disebabkan oleh distensi dan pulsasi berlebihan dari cabang arteri
karotid eksternal. Oleh karena itu, nyeri kepala berdenyut pada migren dapat dikurangi
dengan kompresi arteri karotid komunis, serupa halnya dengan studi oleh Graham dan
Wolff di mana nyeri kepala dan amplitudo pulsasi arteri ekstrakranial dapat menurun
setelah pemberian ergotamine secara intravena.4
Studi lainnya oleh Olsen et al menggunakan metode inhalasi xenon
menunjukkan adanya reduksi regional sirkulasi serebral yang menyebar dari regio
okspital saat munculnya gejala neurologis migren. Berdasarkan hal tersebut, mereka
menyimpulkan penurunan aliran darah konsisten dengan spreading cortical depression.
Woods et al dalam studinya menemukan adanya penurunan aliran darah yang dimulai
di korteks oksipital dan menyebar secara perlahan ke kedua sisinya, pada individu
dengan serangan migren disertai penglihatan kabur, dengan menggunakan perfusion-
weighted MRI. Hal ini mendukung teori spreading cortical depression oleh Leao dan
Cutter. Namun, sebuah studi menggunakan SPECT (Single-Photon Emission Computed
Tomography) pada 20 pasien saat dan setelah terjadinya serangan migren tanpa aura
menunjukkan tidak adanya perubahan fokal aliran darah serebral; serta tidak terdapat
perubahan setelah pemberian sumatriptan secara subkutan (Ferrari el at, 1995).4
Penelitian oleh Iversen et al dengan menggunakan ultrasonografi menunjukkan
adanya dilatasi arteri temporal superior pada sisi yang mengalami migren selama
periode berlangsungnya serangan nyeri kepala. Dengan menggunakan transcranial
Doppler juga ditemukan adanya dilatasi arteri-arteri serebral media. Akan tetapi,
hipotesis vaskular ini masih bersifat tidak menentu. Lashley juga menemukan adanya
gangguan kortikal pada permukaan otak dengan laju 2-3 mm/menit dan penurunan
aliran darah regional selama terjadinya aura yang dimulai di daerah lobus oksipital dan
menyebar secara perlahan yang dikenal dengan “spreading oligemia.”4
Moskowitz mengemukankan teori terjadinya aura dan nyeri pada migren
sebagai akibat dari mekanisme neural yang berawal di nervus trigerminal. Teori ini
didasarkan pada inervasi pembuluh darah ekstrakranial dan intracranial oleh small
unmyelinated fibers dari nervus trigerminal yang berfungsi dalam nyeri dan autonomy
(kompleks “trigeminovaskular”). Teori ini memberikan penjelasan nyeri migren pada
ganglion trigeminal. Aktivasi dari serat-serat ini bisa melepaskan substansi P, calcitonin
gene-related peptide (CGRP), dan peptida lainnya ke dinding pembuluh darah,
sehingga mensensitisasi sistem trigeminal ke pembuluh darah kranial, dan
meningkatkan permeabilitasnya, kemudian memicu terjadinya respon inflamasi. Blau,
Dexter, Drummond, dan Lance meyakini ada atau tidaknya nyeri kepala tidak
bergantung hanya pada faktor vaskular ekstrakranial.4
Faktor Risiko Migren
Berdasarkan studi FrHE, populasi yang mengalami nyeri kepala kronik
umumnya perempuan, berusia muda, memiliki berat badan yang berlebih, mengalami
depresi, tingkat pendidikan rendah, dan penggunaan obat-obatan yang berlebihan. Di
samping itu, mengorok dan adanya trauma kepala diduga juga berkaitan dengan nyeri
kepala kronik harian. Penggunaan berlebih obat-obat pereda nyeri yang mengandung
kafein, narkotik maupun barbiturat, juga meningkatkan risiko nyeri kepala kronik
harian. Konsumsi harian kafein, gangguan tidur, dan stress dalam kehidupan sehari-
hari juga berperan dalam meningkatkan risiko nyeri kepala kronik harian.6,7
Indeks Massa Tubuh (IMT) menjadi salah satu predictor kuat prgoresi migren.
Individu dengan IMT>30 berisiko 5 kali lipat lebih tinggi mengalami nyeri kepala
kronik harian. Semakin sering terjadinya nyeri kepala dalam sehari juga berpengaruh
pada berlanjutnya nyeri kepala tersebut menjadi kronik.6

2. Nyeri Kepala Tension-Type


Nyeri kepala tipe tension ini diklasifikasikan menjadi:3
2.1 Nyeri Kepala Tension-type Infrekuen Episodik
2.1.1 Nyeri Kepala Tension-type Infrekuen Episodik terkait nyeri perikranial
2.1.2 Nyeri Kepala Tension-type Infrekuen Episodik tidak terkait nyeri
perikranial
2.2 Nyeri Kepala Tension-type Frekuen Episodik
2.2.1 Nyeri Kepala Tension-type Frekuen Episodik terkait nyeri perikranial
2.2.2 Nyeri Kepala Tension-type Frekuen Episodik tidak terkait nyeri perikranial
2.3 Nyeri Kepala Tension-type Kronik
2.3.1 Nyeri Kepala Tension-type Kronik terkait nyeri perikranial
2.3.2 Nyeri Kepala Tension-type Kronik tidak terkait nyeri perikranial
2.4 Nyeri Kepala Tension-type Kronik Probabel
2.4.1 Nyeri Kepala Tension-type Kronik Probabel Infrekuen Episodik
2.4.2 Nyeri Kepala Tension-type Kronik Probabel Frekuen Episodik
2.4.3 Nyeri Kepala Tension-type Kronik Probabel Infrekuen Episodik

Tension headache ini paling sering ditemukan dibandingkan dengan jenis nyeri
kepala lainnya. Nyeri kepala tension didefinisikan sebagai nyeri kepala yang kronik,
rekuren, yang disebabkan oleh penyebab yang tidak tampak, serta tidak termasuk dalam
fitur migren atau sindrom sakit kepala lainnya. Mekanisme patofisiologi yang
mendasarinya belum diketahui. Pada bentuk klasiknya, nyeri kepala ini merupakan
kelainan kronik yang dimulai pada usia di atas 20 tahun. Gejala yang muncul berupa
serangan bilateral, tanpa rasa berdenyut, serta tidak berkaitan dengan mual, muntah,
atau gangguan visual sebagai gejala prodromal. Nyeri dirasakan tumpul, dapat pula
disertai dengan rasa penuh, terikat, atapun adanya tekanan. Lokasi terjadinya tension
headache umumnya di daerah oksipitonukal, temporal, frontal, atau difus pada daerah
atas dari kranium. Durasi nyeri kepala ini bervariasi dari hitungan jam hingga hari.
Wanita lebih banyak mengalami tension headache dibandingkan laki-laki. Tension
headache sering kali terjadi bersamaan dengan migren. Berbeda dengan migren,
tension headache umumnya tidak menyebabkan gangguan dalam aktivitas sehari-hari,
memiliki onset yang lebih bertahap dibandingkan migren, serta jarang muncul pada
masa anak-anak ataupun remaja. Tension headache juga lebih banyak ditemukan pada
wanita.4,5
Selama ini tension headache diduga disebabkan oleh kontraksi berlebih dari otot-
otot kranioservikal dan berkaitan dengan konstriksi pada arteri kulit kepala (scalp).
Namun, belum diketahui secara pasti bagaimana mekanisme-mekanisme ini dapat
menyebabkan munculnya tension headache, terutama dengan onset kronik. Dengan
electromyographic (EMG), ditemukan bahwa sebagian besar pasien dengan tension
headache tidak menunjukkan adanya kontraksi otot kranioservikal yang persisten.
Anderson dan Frank juga menemukan tidak adanya perbedaan derajat kontraksi otot
antara individu dengan migren dan tension headache. Akan tetapi, studi yang dilakukan
oleh Sakai et al menunjukkan adanya pengerasan otot perikranial dan trapezius pada
pasien dengan tension headache. Nitrat oksida diperkirakan berperan dalam terjadinya
tension headache, terutama dengan membentuk sensitisasi sentral terhadap stimulasi
sensoris dari struktur kranial.4

3. Cephalalgia Autonom Trigeminal


Klasifikasi dari Trigeminal Autonomic Cephalalgias (TACs) ini meliputi:3
3.1 Cluster headache
3.1.1 Cluster Headache Episodik
3.1.2 Cluster Headache Kronik
3.2 Hemikrania Paroksismal
3.2.1 Hemikrania Paroksismal Episodik
3.2.2 Hemikrania Paroksismal Kronik
3.3 Short-lasting unilateral neuralgiform headache attacks
3.3.1 Short-lasting unilateral neuralgiform headache attacks with conjunctival
injection and tearing (SUNCT)
3.3.1.1 SUNCT Episodik
3.3.1.2 SUNCT Kronik
3.3.2 Short-lasting unilateral neuralgiform headache attacks with cranial
autonomic symptoms (SUNA)
3.3.2.1 SUNA Episodik
3.3.2.2 SUNA Kronik
3.4 Hemikrania continua
3.5 Probable trigeminal autonomic cephalalgia
3.5.1 Probable Cluster Headache
3.5.2 Probable Paroxysmal Hemicrania
3.5.3 Probable Short-Lasting Unilateral Neuralgiform Headache Attacks
3.5.4 Probable Hemicrania Continua

a. Cluster Headache
Sebelumnya, cluster headache dikenal dengan istilah neuralgia siliari; eritro-
melalgia kepala; eritroprosoplagia Bing; hemikrania angioparalitika; kemikrania
neuralgiformis kronika; histaminic cephalalgia; Horton’s headache, dan lainnya.
Nyeri kepala yang masuk dalam kategori ini umumnya sangat berat, unilateral,
konstan, tidak berdenyut, dan berlangsung selama 15 menit hingga 3 jam, sebanyak
1-8x per hari. Gejala umumnya disertai dengan injeksi konjungtiva ipsilateral,
lakrimasi, kongesti nasal, rhinorrhea, berkeringat pada wajah, miosis, ptosis,
dan/atau edema kelopak mata, beserta agitasi. Biasanya gejala muncul di malam
hari, sehingga menyebabkan pasien terbangun dari tidur. Sehari-harinya, gejala
muncul di waktu yang sama (periode sirkadian), selama beberapa minggu hingga
bulan. Di antara kejadian, pasien akan terbebas dari rasa nyeri kepala selama
hitungan bulan ataupun tahun. Penyebabnya belum diketahui, namun dari
functional MRI dapat ditemukan adanya aktivasi hipotalamus, terutama daerah
posterior pada grey matter, selama serangan. Siklus serangan diduga terkait
mekanisme hipotalamik dalam mengatur ritme sirkadian. Pada onset nyeri kepala,
region nukleus suprakiasmatik tampak lebih aktif pada PET (May et al). Aktivasi
hipotalamik ditemukan pula pada migren, SUNCT (short-lasting unilateral
neuralgiform attacks with conjunctival injection and tearing), hemikrania
paroksismal kronik, dan hemikrania kontinu.3-5
Cluster headache lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan
perempuan, dan umumnya dimulai pada usia yang lebih tua dibandingkan migren.
Usia rata-rata onset ialah 20-40 tahun. Nyeri kepala jenis ini juga jarang ditemukan
berkaitan dengan riwayat keluarga. Rasa nyeri kepala yang diasakan awalnya
seperti sensasi terbakar di daerah lateral hidung atau tertekan di daerah belakang
mata. Episode juga dapat diperberat dengan penggunaan alkohol atau obat-obatan
vasodilator.3-5
Dalam klasifikasinya, cluster headache dibagi ke dalam episodik dan kronik.
Pada cluster headace episodik, serangan terjadi pada suatu periode selama 7 hari
hingga 1 tahun yang dipisahkan oleh periode bebas nyeri yang berlangsung
setidaknya 1 bulan. Sementara itu, pada cluster headache tipe kronik, serangan
berlangsung selama lebih dari 1 tahun tanpa remisi, atau dengan periode remisi yang
kurang dari 1 bulan.3
Nyeri kepala pada beberapa orang juga memiliki karakteristik migren dan
cluster headache, seperti migranous neuralgia dan cluster migrain (Kudrow).
Lance merumuskan perbedaan-perbedaan yang penting di antara keduanya: 4
Migren Cluster Headache
Pallor Flushing pada sisi yang terkena
Tekanan normal Peningkatan tekanan intraokular
Penurunan suhu Peningkatan suhu pada daerah dahi dan
pipi
Dapat pula bilateral Selalu unilateral

b. Hemikrania Paroxysmal
Hemikrania paroksismal ditandai dengan serangan berat, nyeri unilateral, pada
daerah orbital, supraorbital, temporal, atau kombinasi di antaranya, yang
berlangsung selama 2-30 menit dan beberapa kali dalam sehari. Serangan ini juga
berkaitan dengan injeksi konjungtiva ipsilateral, lakrimasi, kongesti nasal,
rhinorrhea, berkeringat pada dahi dan wajah, miosis, ptosis, dan/atau edema
kelompak mata, serta berespon terhadap pemberian indomethacin. Berbeda dengan
cluster headache, pada hemikrania paroxysmal, insidensi tidak didominasi oleh
laki-laki. Onset biasanya pada usia dewasa. Hemikrania paroksismal
diklasifikasikan menjadi episodik dan kronik dengan ketentuan waktu yang serupa
dengan cluster headache.3
Chronic paroxysmal hemicrania merupakan nama yang diberikan oleh Sjaastad
dan Dale untuk bentuk nyeri kepala unilateral repetitif secara cepat yang
menyerupai cluster headache namun memiliki beberapa fitur yang berbeda. Durasi
lebih pendek (2 – 45 menit) dibandingkan cluster headache dan biasanya terkena
ke region temporoorbital satu sisi, beserta hiperemia konjungtival, rhinorrhea, dan
beberapa kasus sindrom Horner parsial. Pada kasus serangan berat juga ditemukan
adanya ekimosis. Tidak seperti cluster headache, hemikrania paroksismal kronik
lebih umum pada wanita dibandingkan laki-laki (3:1). 4

c. Short-lasting unilateral neuralgiform headache attacks


Ditandai dengan serangan berintensitas sedang atau berat, unilateral,
berlangsung dalam hitungan detik hingga menit, setidaknya satu kali dalam sehari,
dan biasanya berkaitan dengan lakrimasi prominan dan kemerahan pada mata
ipsilateral. Terdapat dua subtipe dari kategori ini, yaitu short-lasting unilateral
neuralgiform headache attacks with conjunctival injection and tearing (SUNCT)
dan short-lasting unilateral neuralgiform headache attacks with cranial autonomy
symptoms (SUNA). Keduanya dibagi lagi ke dalam episodic dan kronik.3

d. Hemicrania continua
Nyeri kepala persisten, unilateral, berkaitan dengan injeksi konjungtiva,
lakrimasi, kongesti nasal, rhinorrhea, berkeringat di dahi dan wajah, miosis, ptosis,
dan/atau edema kelopak mata, ebserta agitasi; serta sensitif terhadap indometasin.
Dalam kategori ini sering pula ditemui gejala migren seperti fotofobia dan
fonofobia.3

e. Probable trigerminal autonomic cephalalgia


Ditandai dengan serangan nyeri kepala yang termasuk dalam tipe 3. Trigeminal
autonomic cephalalgia, tetapi tidak memiliki salah satu fitur yang dibutuhkan untuk
memenuhi keseluruhan kriteria untuk subtipe sebelumnya dan tidak termasuk
kriteria dari kelainan nyeri kepala lainnya.3

4. Kelainan Sakit Kepala Lainnya


Berdasarkan International Headache Classification III pada tahun 2013, klasifikasi
nyeri kepala primer lainnya mencakup:3
4.1 Nyeri kepala batuk primer
4.2 Nyeri kepala latihan primer
4.3 Nyeri kepala primer terkait dengan aktivitas seksual
4.4 Nyeri kepala thunderclap primer
4.5 Nyeri kepala terinduksi dingin
4.6 Nyeri kepala tekanan eksternal
4.7 Nyeri kepala terasa menusuk primer
4.8 Nyeri kepala nummular
4.9 Nyeri kepala hipnik
4.10 New daily persistent headache (NDPH)

Nyeri kepala yang termasuk ke dalam kategori ini memiliki manifestasi klinis yang
heterogen. Patogenesis kelainan-kelainan ini masih sulit dipahami dan tata laksananya
didasarkan pada laporan dan trial. Kelainan-kelainan nyeri kepala primer dalam kategori ini
dipicu oleh berbagai aktivitas, seperti batuk, maneuver Valsava, beraktivitas, suhu dingin, dan
lain-lainnya tanpa adanya kelainan intrakranial. Nyeri kepala primer thunderclap ditandai
dengan nyeri kepala berintesitas tinggi dengan onset yang cepat, menyerupai rupturnya
aneurisma otak, tanpa adanya kelainan patologi intrakranial. Pada nyeri kepala akibat tekanan
eksternal, terjadi kompresi dari jaringan-jaringan lunak perikranial, seperti akibat penggunaan
topi, helm, ataupun kacamata, tanpa adanya kerusakan pada kuit kepala. Nyeri kepala
nummular ditandai dengan nyeri dengan durasi yang bervariasi, namun cenderung kronik, pada
area kecil yang berbatas tegas di daerah kulit kepala, tanpa adanya lesi struktural. Sementara
itu, pada nyeri kepala hipnik, terjadi serangan nyeri kepala yang frekuen, hanya selama tidur,
menyebabkan individu menjadi terbangun dan bertahan hingga 4 jam, tanpa adanya
karakteristik yang berkaitan dengan gejala dari patologi lainnya. Pada NDPH (new daily
persistent headache), nyeri kepala persisten, onset harian, dan mudah diingat. Nyeri kurang
memiliki karakteristik fitur, dan dapat menyerupai migren atau tension headache, ataupun
keduanya.3
C. Pendekatan Klinis Nyeri Kepala
a. Anamnesis
1. Penjalaran
Penjalaran nyeri kepala dapat menentukan letak lesi. Berikut merupakan radiasi atau
proyeksi pada nyeri kepala.5

Gambar 2. Penjalaran Nyeri Kepala5

2. Onset
Selain itu, perlu digali mengenai onset nyeri kepala. Berikut merupakan diagnosis
banding nyeri kepala berdasarkan klasifikasi onset5
Tabel 2. Diagnosis Banding Nyeri Kepala5

3. Faktor Pencetus
- Pasca operasi mata atau gigi5
- Eksaserbasi akut sinusitis kronik atau hay fever5
- Infeksi virus, tekanan psikologis, stres emosional, lelah, menstruasi, konsumsi
makanan yang mengandung nitrit (hotdog, salami, ham, saus), feniletilamin
(coklat), tiramin (keju), dan terpapar cahaya terang5
- Faktor presipitasi alkohol (biasanya pada tipe klaster) 5
- Mengunyah atau makan (pada neuralgia glosofaringeal, tic douloureux, klaudikasio
dagu yang dikaitkan dengan arteritis giant cell, atau disfungsi temporomandibular)
5

- Kontrasepsi oral dan nitrat (migren) 5


- Diprovokasi batuk (lesi struktural fosa posterior) 5
4. Gejala Prodromal (Aura)
Aura dapat berupa scintillating scotoma atau perubahan pandangan lain yang sering
terjadi pada migren dan terkadang pada pasien kejang dengan nyeri kepala postictal5

5. Karakteristik Nyeri
a. Berdenyut pada migren5
b. Sensasi terikat atau tertekan menetap pada TTH5
c. Nyeri tumpul dan menetap pada lesi massa intrakranial5
d. Nyeri tajam dan tertusuk pada neuralgia trigeminal5
e. Nyeri seperti alat pemecah es pada migren, klaster, atau arteritis giant cell5

6. Lokasi Nyeri
a. Unilateral pada beberapa kasus klaster dan sebagian besar pada migren
sementara TTH nyeri dirasakan bilateral5
b. Ocular atau retroorbital dapat disebabkan sebagai gangguan mata seperti iritis
akut, glaukoma, neuritis optik, inflamasi retroorbital. Namun dapat juga terjadi
pada migren dan klaster5
c. Paranasal di satu atau beberapa sinus sering disebabkan sinusitis akut5
d. Fokal pada lesi massa intrakranial, namun dapat juga bifrontal atau bioccipital
jika sudah meningkatkan TIK5
e. Pada oksipital seperti diikat pada TTH. Diagnosis lain yaitu iritasi meningeal
akibat infeksi atau perdarahan serta gangguan pada sendi, otot, atau ligamen
pada servikal
f. Nyeri pada N. V1 seperti terbakar pada neuralgia postherpetol5
g. Nyeri tertusuk pada N.V2 dan V3 pada neuralgia trigeminal5
h. Faring dan meatus auditorius eksternal pada neuralgia glosofaring5

7. Gejala Lain
a. Penurunan berat badan pada kanker, arteritis giant cell, atau depresi5
b. Demam atau menggigil pada infeksi sistemik atau meningitis5
c. Sesak atau gejala penyakit jantung pada endokarditis infektif dan menyebabkan
abses otak5
d. Gangguan pengelihatan pada gangguan okular (misalnya glaukoma), migren,
atau proses intrakranial termasuk nerbus optikus atau traktus ataupun jaras
visual sentral5
e. Mual dan muntah pada migren, nyeri post trauma dan massa intrakranial.
Beberapa migren menyebabkan diare atau gejala pencernaan lainnya5
f. Fotofobia pada migren, meningitis akut, dan perdarahan subaraknoid5
g. Mialgia pada TTH, infeksi birus sistemik, dan arteritis giant cell5
h. Lakrimasi dan rinorea ipsilateral selama serangan tipikal pada klaster5
i. Kehilangan kesadaran transien pada migren (basilar migren) dan neuralgia
glosofaring (sinkop kardiak) 5

8. Informasi Tambahan
a. Pola Nyeri
Pada lesi akibat massa, nyeri kepala biasanya maksimal pada saat bangun, sama
seperti pada sinusitis. Nyeri ini biasanya meningkat setiap waktu. Pada klaster nyeri
biasanya terjadi saat bangun tidur, pada waktu yang sama setiap hari dan malam.
TTH biasanya terjadi saat stres dan maksimal saat akhir dari kegiatan harian.
Migren terjadi secara episodik dan memburuk saat menstruasi. 5

Gambar 3. Pola Temporal Sakit Kepala5


b. Kondisi Meredakan Nyeri
Migren membaik dengan suasana gelap, tidur, muntah, atau menekan arteri
temporal ipsilateral. Nyeri akibat massa intrakranial berkurang bila pasien berdiri.
5

c. Kondisi Memperberat Nyeri


Perubahan posisi kepala, batuk, bersin meningkatkan TIK sehingga memperberat
nyeri pada massa intrakranial tetapi dapat pula terjadi pada migren. Emosi seperti
marah, kegembiraan, dan iritasi dapat memperburuk migren dan TTH. 5
d. Riwayat Nyeri Kepala

b. Pemeriksaan Fisik
A. Tanda Vital
B. Pemeriksaan Umum
a. Berat badan5
b. Kulit5
c. Scalp, wajah, dan kepala
Nyeri pada scalp adalah karakteristik migren. Kelainan pada mata, telinga,
sinus, gigi, serta bruit pada kepala harus diperiksa untuk menyingkirkan
diagnosis banding. 5
d. Leher
Pemeriksaan spasme, cedera, artritis, dan tanda rangsang meningeal5
e. Jantung dan Paru
Sumber abses otak dapat berasal dari jantung dan paru5
C. Pemeriksaan Neurologis
a. Status mental5
b. Nervus kranial5
c. Pemeriksaan motorik5
d. Pemeriksaan sensorik5

Nyeri kepala kronis perlu dibedakan primer atau sekunder. Jika gejala
mengarah pada nyeri kepala primer dan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan
adanya penyakit sekunder dan gangguan neurologis, maka dapat dipikirkan
diagnosis migren, TTH, atau klaster. 5
D. Diagnosis
Terdapat beberapa instrumen untuk menyaring migren pada pasien nyeri
kepala, termasuk menilai derajat keparahan dan disabilitas yang ditimbulkan.
Contihnya yaitu ID-Migrain TM dan Migrain Screen Questionnaire (MS-Q). Pada
anak dapat digunakan Pediatric migrain disability assessment (PedMIDAS).8
Penegakkan diagnosis migren ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis
IHS yang membagi migren menjadi migren tanpa aura dan migren dengan aura. 8

1. Migren tanpa Aura


A. Setidaknya 5 serangan yang memenuhi kriteria B-D8
B. Nyeri kepala minimal berlangsung 4-72 jam (baik belum diobati maupun sudah
diobati tetapi belum berhasil) 8
C. Nyeri kepala memiliki minimal dua karakteristik berikut: 8
1. Unilateral
2. Kualitas berdenyut
3. Intensitas nyeri sedang sampai berat
4. Diperberat aktivitas fisik rutin ataupun tidak rutin (berjalan jauh, naik tangga)
D. Terdapat salah satu gejala penyerta berikut: 8
1. Mual dan/atau muntah
2. Fotofobia dan fonofobia
E. Nyeri kepala tidak berhubungan dengan penyakit lain8

2. Migren dengan Aura


Migren dengan aura merupakan serangan nyeri kepala berulang yang
didahului oleh adanya gejala neurologis fokal reversibel secara bertahap dalam
waktu 5-20 menit. Gejala neurologis fokal ini disebut sebagai aura dan berlangsung
dalam waktu kurang dari 60 menit. 8
a. Setidaknya sudah terjadi 2 serangan nyeri kepala yang memenuhi kriteria migren
tanpa aura8
b. Terdapat aura tipikal berupa visual atau sensoris dan atau gangguan berbahasa8
c. Nyeri kepala tidak berkaitan dengan penyakit lain.8
E. Tata Laksana
Tujuan tata laksana migren adalah untuk mengurangi serangan dan
menurunkan intensitas beratnya serangan agar tidak mengganggu aktivitas. Hal ini
dapat dilakukan dengan menghindari pencetus dan penggunaan terapi yang sesuai.
Pasien perlu diedukasi mengenai terapi karena jika tidak adekuat akan menurunkan
ambang nyeri sehingga lebih sulit diatasi. Secara umum, terapi migren dibagi
menjadi tiga kategori yaitu abortif, nonmedikamentosa, dan profilaksis.8
1. Terapi Abortif
Merupakan terapi yang diperlukan lada serangan akut serta untuk
menghentikan progresi nyeri. Prinsipnya pengobatan harus diberikan sesegera
mungkin dengan obat yang onsetnya cepat. Obat dipilih berdasarkan durasi dan
intensitas nyeri, gejala penyerta, derajat disabilitas, respons terhadap pengobatan,
dan penyakit komorbid. Pada pasien yang disertai keluhan mual dan muntah, perlu
diberikan obat melalui rektal, nasal, subkutan, atau intravena. Terapi abortif terdiri
dari dua yaitu nonspesifik dan spesifik8
a. Terapi Abortif Nonspesifik
Untuk pasien migren ringan sampai sedang atau serangan berat yang
berespons baik terhadap obat yang sama. Obat yang dapat digunakan yaitu
golongan NSAID atau analgesik over the counter (OTC) lainnya. Berikut
merupakan pilihan obat yang dapat digunakan: 8
Tabel 3. Obat Abortif Nonspesifik8
Obat Dosis Dosis Maksimal
Paracetamol 500-1000 mg tiap 6-8 jam 4 g/hari
Ibuprofen 400-800 mg tiap 6 jam 2,4 g/hari
Natrium naproksen 275-550 mg tiap 2-6 jam 1,5 g/hari
Kalium diklofenak 50-100 mg/hari dosis tunggal
Metoklopramid (efektif 10 mg IV atau oral 20-30
menghilangkan nyeri yang menit sebelum atau
disertai mual dan muntah, bersamaan dengan
memperbaiki motilitas pemberian analgetik,
lambung, meningkatkan NSAID, atau ergotamin
absorpsi obat dalam usus,
dan efektif dikombinasikan
dengan dihidroergotamin
intravena)
Ketorolak 60 mg IM per 15-30 menit 12 mg/hari dan tidak lebih
dari 5 hari
Butorfanol spray 1 mg sediaan nostril diulang 4 spray/hari, 2 kali seminggu
tiap 1 jam
Proklorperazin 25 mg oral atau supositoria 75 mg/hari
Steroid (deksametason,
metilprednisolon) pilihan
obat untuk stasus migrenosus

b. Terapi Abortif Spesifik


Obat ini harus dikonsumsi pada sesegera mungkin pada saat awitan
serangan agar dapat efektif secara maksimal. Mual dan muntah merupakan
karakteristik yang menonjol dari migren dan juga merupakan efek samping
yang umum dari obat antimigren, oleh sebab itu, administrasi melalui jalur lain
selain peroral atau tambahan antiemesis akan lebih baik. Obat yang dapat
digunakan pada terapi ini yaitu8
a. Agonis 5HT1B/1D yaitu golongan triptan seperti sumatriptan 6 mg subkutan
atau sumatiptan 50-100 mg peroral. Dikontraindikasikan pada pasien dengan
hipertensi atau penyakit kardiovaskular lainnya. 8
b. Derivat ergot misalnya ergotamin 1-2 mg yang dapat diberikan secara oral,
subkutan, per rektal. Dikontraindikasikan pada pasien dengan hipertensi atau
penyakit kardiovaskular lainnya8
c. Antagonis reseptor kalsitonin misalnya telcagepant, olcegepant8

Indikator keberhasilan terapi abortif antara lain yaitu: 8


- Pasien bebas nyeri setelah 2 jam pengobatan
- Terdapat perbaikan nyeri dari skala 2 (sedang) atau 3 (berat) menjadi skala 1
(ringan) atau 0 (tidak ada nyeri kepala) setelah 2 jam
- Efikasi pengobatan konsisten pada 2-3 serangan
- Tidak ada nyeri kepala rekuren atau tidak ada penggunaan obat kembali dalam
24 jam setelah pengobatan terakhir berhasil
2. Terapi Nonmedikamentosa
Pasien diedukasi untuk menghindari faktor pencetus seperti perubahan
pola tidur, makanan atau minuman (keju, coklat, MSG, alkohol), stres, cahaya
terang, cahaya kelap-kelip, perubahan cuaca, tempat yang tinggi (gunung atau
pesawat udara), ataupun rutinitas harian lainnya. 8

3. Terapi Profilaksis
Sebelum memberikan profilaksis migren, perlu diperhatikan perubahan
pola hidup untuk mendukung kerja obat yang meliputi SEEDS yaitu: 8
- Sleep hygiene: tidur cukup dengan jadwal teratur
- Eating schedules: makan teratur dan bergizi
- Exercise regimen: olahraga teratur
- Drinking water: minum air putih yang cukup
- Stress reduction: mengurangi stres
Prinsip pemberian profilaksis yaitu dimulai dengan dosis inisial
terendah lalu ditingkatkan hingga mencapai efektivitas maksimal atau jika
terdapat efek samping yang tidak dapat ditoleransi. Efek klinis biasanya terlihat
setelah 2-3 bulan pengobatan. Jika setelah 6-12 bulan migren mulai terkontrol,
dosis pengobatan profilaksis diturunkan perlahan hingga dapat dihentikan. 8

a. Indikasi
- Adanya gangguan aktivitas sehari-hari karena serangan migren walaupun telah
mendapatkan pengobatan medikamentosa maupun abortif
- Frekuensi serangan terlalu sering sehingga berisiko terjadi medication overuse
(ditandai dengan nyeri kepala yang berlangsung setidaknya 15 hari dalam
sebulan setidaknya 3 bulan. Terapi dengan menghentikan obat yang
menyebabkan medication overuse secara mendadak kecuali pada obat analgesik
narkotik atau sedatif. Dapat juga digunakan kortikosteroid)
- Mengalami serangan nyeri kepala migren sedang sampai berat lebih dari 3 hari
dalam 1 bulan dan tidak responsif dengan pemberian terapi abortif
- Mengalami serangan migren berulang >2x/minggu dan mengganggu aktivitas
walaupun telah diberikan terapi abortif yang adekuat
- Migren yang berlangsung sering dan >48 jam
- Pengobatan abortif gagal atau tidak efektif
- Muncul gejala dan kondisi luar biasa seperti migren basiler hemiplegik atau
aura yang memanjang
- Keinginan pasien untuk menggunakan obat profilaksis

b. Tujuan
- Menurunkan frekuensi serangan hingga >50%
- Menurunkan intensitas dan durasi serangan
- Meningkatkan respons terapi abortif
- Meningkatkan kemampuan fingsional dan menurunkan disabilitas
- Mencegah medication overuse
- Mencegah rebound headache saat penghentian penggunaan obat abortif

Tabel 4. Obat Profilaksis Migren8


Golongan Cara Kerja Indikasi Contoh Obat Efek Samping
Antidepresan Inhibisi NE dan Migren dengan - Amitriptilin Sedasi, berat
Trisiklik ambilan komorbid 30-150 mg/hari badan
serotonin, depresi, - Nortriptilin bertambah,
menurunkan ansietas, atau 25-100 mg/hari mulut kering,
regulasi reseptor gangguan tidur - Doksepin 30- dan pandangan
beta-adrenergik 150 mg/hari kabur
dan eksitasi,
meningkatkan
regulasi reseptor
GABA-B, dan
inhibisi
reuptake
adenosin oleh
neuron
SSRI Inhibisi Migren dengan - Fluoksetin 10- Ansietas, mual,
reuptake komorbid 80 mg/hari muntah, mudah
serotonin depresi, lelah, anoreksia,
memiliki (level of penambahan
toleransi lebih evidence U) berat badan,
baik daripada pusing, dan
antidepresan disfungsi
trisiklik seksual
SNRI - Venlafaxine Insomnia,
150 mg/hari ansietas, gugup,
dimula dengan disfungsi
extended seksual
release 37,5 mg
di minggu
pertama, 75 mg
di minggu
kedua, dan 150
mg di minggu
berikutnya
Beta blocker Menurunkan Pasien dengan - Timolol 20-30 Disfungsi ereksi
fungsi komorbid mg/hari dan kondisi
adrenergik dan hipertensi - Propanolol mudah lelah
menghalangi 120-140
kerja reseptor mg/hari
presinaps - Nadolol 40-
noradrenergik 240 mg/hari
dan enzim - Atenolol 50-
tirosin 100 mg/hari
hidroksilase - Metoprolol
100-200
mg/hari
Calcium Reduksi Migren dengan - Diltiazem 60- Konstipasi,
channel blocker pelepasan aura atau 90 mg, 4x/hari hipotensi, dan
glutamat dan migrainous - Nikardipin, edema perifer
inhibisi infarction. nifedipin,
Pasien dengan nimodipin,
pelepasan komorbid verapamil (level
serotonin hipertensi, of evidence U)
asma, dan
penyakit
Raynaud
ACE Inhibitor Kontraindikasi - Lisinopril 20 Batuk, cepat
pada pasien /hari lelah sakit
angioedema dan kepala, dan
pasien hamil diare
ARB Kontraindikasi - Kandesartan Nyeri kepala,
pada kehamilan 16 mg/hari mual, nyeri
perut, mialgia,
atralgia
Sodium Meningkatkan Kontraindikasi - Sodium Mual, dispepsia,
Valproat kadar GABA di pada perempuan valproat 500- cepat lelah, dan
otak, usia reproduksi 1500 mg/hari peningkatan
meningkatkan karena berat badan
sintesis GABA, teratogenik
inhibisi
degradasi
GABA, dan
menghiperpolari
sasi membran
pascasinaps
dengan cara
meningkatkan
konduksi
potasium,
menurunkan
resopons
glutamat
Topiramat Berkaitan - Topiramat 50 Cepat lelah,
dengan kanal mg dan 100 kehilangan berta
natrium dan mg/hari badan,
kalsium, diberikan dalam anoreksia,
reseptor GABA dosis awal parestesia, dan
A, dan reseptor rendah (15-25 kesulitan
glutamat, serta mg/hari saat jam mengingat
efek inhibisi tidur) dan
enzim karbonik dinaikkan
anhidrase perlahan tiap 2-
3 minggu
Gabapentin Bekerja oada Level of
neurotransmitter evidence U
glisin dan
glutamat

F. Komplikasi
1. Status Migrenosus
Serangan migren yang berlangsung selama lebih dari 72 jam. Biasanya
terjadi akibat medication overuse. 8
Kriteria diagnostik:8
- Terjadi pada pasien migren dengan atau tanpa aura dan/atau memiliki
riwayat serangan yang tipikal sebelumnya kecuali durasi dan keparahannya
- Tidak remisi dalam >72 jam dan nyeri dan/atau gejala lainnya melemahkan
pasien
- Tidak memenuhi kriteria diagnosis nyeri kepala lainnya

2. Aura Persisten tanpa Infark


Gejala aura persisten selama 1 minggu atau lebih tanpa adanya bukti
infark pada neuroimaging. Gejala ini jarang terjadi. Biasanya bersifat bilateral
dan dapat bertahan beberapa bulan hingga tahun.8
Kriteria diagnosis: 8
- Aura yang memenuhi kriteria B
- Terjadi pada pasien dengan migren dengan aura dan terdapat aura tipikal
sebelumnya
- Tidak ada bukti infark pada neuroimaging
- Tidak memenuhi kriteria diagnosis nyeri kepala lainnya

3. Infark Migren
Satu atau lebih gejala aura migren terkait dengan lesi otak iskemik yang
terbukti pada neuroimaging. Biasanya terjadi pada sirkulasi posterior dan pada
wanita muda. Terdapat peningkatan risiko terhadap stroke iskemik pada pasien
migren dengan aura sebesar 2 kali lipat namun mekanismenya masih belum
diketahui. 8
Kriteria diagnostik: 8
- Serangan migren yang memenuhi kriteria B dan C
- Terjadi pada pasien migren dengan aura dengan riwayat tipikal sebelumnya
namun gejala aura terjadi <60 menit
- Terdapat infark iskemik di area yang relevan pada neuroimaging
- Tidak memenuhi kriteria diagnosis nyeri kepala lainnya

4. Migrain aura-triggered seizure


Merupakan kejang yang dipicu oleh serangan migren dengan aura.
Migren dan epilepsi merupakan contoh prototipikal gangguan otak
paroksismal.8
Kriteria diagnosis:
- Kejang yang memenuhi kriteria diagnostik salah satu tipe dari bangkitan
epilepsi
- Terjadi pada pasien migren dengan aura, dan pada saat atau 1 jam setelah
serangan migren dengan aura
- Tidak memenuhi kriteria diagnosis nyeri kepala lainnya

G. Prognosis
Migren merupakan penyakit yang bersifat kronik tetapi dapat terjadi remisi
dalam waktu panjang. Pada migren dengan onset anak-anak, 62% akan bebas
serangan selama 2 tahun atau lebih pada saat pubertas. Keparahan dan frekuensi
migren cenderung menurun seiring pertambahan usia. Setelah 15 tahun seringkali
mengalami migren, 30% laki-laki dan 40% perempuan tidak lagi mengalami
serangan di usia lanjut. 8
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis I
Klinis Migrain dengan aura
Pasien sudah mengeluhkan nyeri kepala serupa selama 5 tahun terakhir sebanyak >5
kali serangan yang berlangsung selama 8 jam jika tidak diobati. Nyeri kepala juga
terjadi unilateral, kualitas berdenyut, intensitas nyeri sedang (VAS= 4-5), serta
terdapat fotofobia dan fonofobia. Pada pasien juga terdapat aura visual yaitu fotopsia
dan skotoma. Nyeri juga memburuk dengan aktivitas dan mereda dengan suasana
gelap, tidur, serta natrium diklofenak.
Topis Cortical spreading depression, neurovascular pada korteks serebri
Cortical spreading depression
Leao dan Cutter mengemukakan teori cortical spreading depression yang kemudian
dibuktikan dengan perfusion-weighted MRI (Woods et al) dan SPECT, di mana pada
terjadinya serangan migren yang disertai dengan aura visual ditemukan adanya
penurunan aliran darah dimulai dari korteks oksipital, kemudian menyebar ke kedua
hemisfer. Didukung pula oleh Lashley dengan teori spreading oligemia.

Neurovaskular
- Studi oleh Harold Wolff menunjukkan adanya distensi dan pulsasi berlebihan dari
cabang arteri carotid eksternal
- Studi oleh Iversen et al dengan USG menunjukkan adnaya dilatasi arteri temporal
superior pada sisi yang mengalami migren selama terjadinya serangan. Ditemukan
pula dilatasi arteri serebral madia
Etiologi Genetik
Patologi Vasodilatasi pembuluh darah
Diagnosis II
Klinis Hipertiroid
Pasien sudah didiagnosis hipertiroid 3 bulan yang lalu, mengonsumsi propanolol dan
thyrozol. Terdapat keluhan penurunan berat badan, tremor, berdebar-debar, dan
peningkatan nafsu makan. Pasien juga mengeluh adanya benjolan di daerah leher.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tiroid teraba membesar. Dari pemeriksaan
penunjang diperoleh FT4 1.93 dan TPAb 10.62.
Topis Reseptor thyrotropin pada kelenjar tiroid
Kelenjar tiroid mengalami stimulasi berlebihan akibat autoantibodi pada reseptor
thyrotropin, dan sekresi tirotropin pituitary menjadi tersupresi dikarenakan
peningkatan hormon tiroid.
Etiologi Autoimun
Patologi Hiperplasia folikel, intraseluler droplet koloid, cell scalloping

Diagnosis Kerja

1. Migren dengan Aura


2. Grave’s disease

Diagnosis Banding

Diagnosis Karakteristik Temuan pada Pasien


Banding
Nyeri Kepala Primer
Migren Nyeri kepala episodik, berdenyut, Nyeri kepala episodik,
unilateral, durasi 4-72 jam, minimal 5 berdenyut, unilateral, durasi 8
kali serangan, disertai mual muntah, jam, >5 kali serangan,
fotofobia, fonofobia, diperburuk fotofobia, fonofobia,
dengan aktivitas, menstruasi, stres, diperberat menstruasi, stress,
emosi, membaik dengan suasana gelap, emosi, membaik dengan tidur
tidur.
TTH Nyeri kepala seperti diikat atau Nyeri kepala saat stress dan
tertekan menetap, bilateral, tumpul, emosi
difus, terjadi saat stres, emosi, dan
maksimal saat akhir dari kegiatan
harian. Biasanya bersifat kronik.
Klaster Nyeri unilateral, lakrimasi, kongesti Nyeri kepala unilateral,
nasal, rinorea, berkeringat pada wajah, lakrimasi
miosis, ptosis, dan/atau edema kelopak
mata, beserta agitasi. Nyeri tidak
berdenyut. Biasanya di malam hari.
Terdapat periode bebas nyeri.
Nyeri Kepala Sekunder
Sinusitis kronik Riwayat pilek, anosmia/ hiposmia, Tidak ditemukan
nyeri wajah, hidung tersumbat,
rinorrhea, post nasal drip
Keganasan Nyeri kepala onset kronik, nyeri Nyeri kepala kronik
tumpul dan menetap, progresif,
terdapat penurunan berat badan,
riwayat keganasan dalam keluarga
Peningkatan TIK Penurunan kesadaran, muntah Tidak ditemukan
proyektil, papil edema, pupil anisokor,
cushing triad, diperberat batuk, bersin,
posisi kepala
Meningitis Demam, kaku kuduk, tanda rangsang Tidak ditemukan
meningeal positif
Neuralgia Nyeri tajam, tertusuk, terdistribusi Nyeri unilateral, timbul
trigeminal sesuai divisi nervus trigeminal, mendadak, terdapat periode
unilateral, timbul mendadak, durasi bebas nyeri
beberapa detik hingga 2 menit, diantara
serangan terdapat periode bebas nyeri

B. Tata Laksana
1. Terapi abortif
Pasien mengatakan jika terjadi serangan biasanya mengonsumsi natrium diklofenak
dan keluhan membaik. Oleh karena itu, terapi abortif yang dapat diberikan pada pasien
yaitu natrium diklofenak dengan dosis 50 mg setiap kali serangan.
2. Terapi Non-medikamentosa
Pasien diedukasi untuk menghindari faktor pencetus seperti perubahan pola tidur,
makanan atau minuman (keju, coklat, MSG, alkohol), stres, ataupun rutinitas harian
lainnya. Pasien juga diedukasi mengenai gaya hidup SEEDS yaitu perlu menjadwalkan
tidur yang cukup, makan teratur dan bergizi, berolahraga secara teratur, minum air putih
yang cukup, dan megurangi stres
3. Terapi Profilaksis
Pasien memenuhi indikasi untuk diberikan terapi profilaksis yaitu serangan >2 kali per
minggu disertai adanya gangguan aktivitas sehari-hari akibat nyeri kepala. Pasien
dalam pengobatan hipertiroid dengan propranolol 2x20 mg. Obat ini dapat sekaligus
menjadi terapi profilaksis terhadap migrain pasien.

C. Prognosis
Ad vitam : bonam
Migrain dengan aura maupun Grave’s disease cenderung tidak mengancam nyawa.

Ad functionam : dubia ad bonam


Migrain dengan aura dapat menyebabkan gangguan dalam kehidupan sehari-hari. Begitu
pula pada pasien ini yang mengeluhkan terganggunya aktivitas apabila terjadi serangan
migren. Grave’s disease tidak mengganggu fungsi apabila dikontrol secara teratur dengan
obat.

Ad sanationam : dubia ad bonam


Pada pasien ini, frekuensi terjadinya serangan migren tergolong sering, mencapai
3x/minggu. Di samping itu, pasien juga memiliki faktor predisposisi genetik. Oleh karena
itu, pada pasien ini kemungkinan untuk kambuh cukup tinggi. Meskipun demikian, untuk
mencegah kekambuhan, pasien dapat diberikan obat profilaksis dan menghindari faktor
pencetus.
BAB V
KESIMPULAN

Pasien perempuan, usia 21 tahun, datang dengan keluhan nyeri kepala berdenyut di sisi kiri
pada 1 minggu lalu. Pertama kali muncul sejak 5 tahun lalu. Nyeri dirasakan di daerah temporal
kiri hingga retroorbita kiri. Durasi nyeri dapat mencapai 8 jam apabila tidak diberikan obat.
Nyeri dikatakan hilang timbul, tidak semakin memberat, VAS 4-5. Saat nyeri kepala kambuh,
terdapat fotofobia dan fonofobia. Terkadang lakrimasi bilateral. Frekuensi munculnya nyeri
kepala diperkirakan 3 kali dalam 1 minggu. Nyeri kepala dipicu oleh kurang tidur, stress,
emosi, serta 3 hari sebelum menstruasi hingga 2-3 hari pertama periode menstruasi. Nyeri
kepala membaik dengan natrium diklofenak 50 mg, suasana gelap, dan tidur. Nyeri kepala
dirasakan mengganggu aktivitas sehari-hari dan menyebabkan sulit tidur. Sekitar 30-60 menit
sebelum nyeri kepala muncul, pasien mengalami aura visual berupa fotopsia dan skotoma. Ibu
kandung pasien memiliki keluhan migren sejak usia remaja. Sehari-harinya, pasien
mengonsumsi obat propranolol dan thyrozol sejak 3 bulan lalu karena didiagnosis hipertiroid.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan teraba pembesaran di kelenjar tiroid yang difus. Tanda
vital, status generalis, kesadaran, pupil, motorik, sensorik, proprioseptif, koordinasi, dan fungsi
luhur dalam batas normal. Pada pemeriksaan penunjang (14 Maret 2017) didapatkan FT4 1.93
dan TPAb 10.62.

Pasien didiagnosis migrain dengan aura dan Grave’s disease. Tata laksana yang direncanakan
untuk pasien meliputi edukasi, pemberian natrium diklofenak 50 mg bila nyeri, Thyrozol 10
mg (1x/hari), dan Propanolol 20 mg (2x/hari). Prognosis pada pasien ini mencakup ad vitam:
bonam, ad functionam: dubia ad bonam, dan ad sanationam: dubia ad bonam.
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO: Headache disorders [Internet]. World Health Organization. 2016 [cited 10 June
2017]. Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs277/en/
2. WHO, Lifting The Burden. Atlas of headache disorders and resources in the world 2011
[Internet]. 1st ed. Trento: World Health Organization; 2011 [cited 10 June 2017]. Available
from:
http://www.who.int/mental_health/management/who_atlas_headache_disorders.pdf?ua=1
3. Headache Classification Committee of the International Headache Society (IHS). The
International Classification of Headache Disorders, 3rd Edition. Cephalalgia. 2013
Jul;33(9):629-808
4. Ropper A, Samuels M, Victor M, Adams R. Adams and Victor's principles of neurology.
10th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2014.
5. Aminoff M, Greenberg D, Simon R. Clinical neurology. 8th ed. [S.l.]: McGraw-Hill
Education; 2012.
6. Risk factors for migrain and migrain progression-lessons learned from epidemiologic
studies. Neurology Reviews. 2008 June;16(6):24,26. Available from:
http://www.mdedge.com/neurologyreviews/article/73426/headache-migrain/risk-factors-
migrain-and-migrain-progression/page/0/1
7. Bigal M, Lipton R. Modifiable Risk Factors for Migrain Progression. Headache: The
Journal of Head and Face Pain. 2006;46(9):1334-1343.
8. Aninditha T, Rasyid A. Nyeri kepala. In: Aninditha T, Wiratman W, editor. Buku ajar
neurologi. Tangerang: Penerbit Kedokteran Indonesia; 2017

Anda mungkin juga menyukai