Anda di halaman 1dari 51

A.

Pengertian Shalat

Sholat berasal dari bahasa Arab As-Sholah ( ), sholat menurut


Bahasa (Etimologi) berarti Do'a dan secara terminology / istilah, para
ahli fiqih mengartikan secara lahir dan hakiki.
Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan
yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang
dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat – syarat yang
telah ditentukan (Sidi Gazalba,88).
Adapun scara hakikinya ialah” berhadapan hati (jiwa) kepada
Allah, secara yang mendatangkan takut kepada-Nya serta
menumbuhkan didalam jiwa rasa kebesarannya dan kesempurnaan
kekuasaan-Nya”atau” mendahirkan hajat dan keperluan kita kepada
Allah yang kita sembah dengan perkataan dan pekerjaan atau
dengan kedua-duanya. (Hasbi Asy-Syidiqi, 59).
Dalam pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi
antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk, ibadah yang di
dalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa
perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan
diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang
telah ditentukan syara’ (Imam Bashari Assayuthi, 30).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
shalat adalah merupakan ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan
dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan
salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara”. Juga
shalat merupakan penyerahan diri (lahir dan bathin) kepada Allah
dalam rangka ibadah dan memohon rido-Nya

B. Makna Shalat, Dasar Hukum dan Tujuan Shalat

Dalam Ilmu fiqih, shalat adalah satu bentuk ibadah yang dimulai
dengan takbir dan diakhiri dengan salam serta diwujudkan dengan
perbuatan-perbuatan tertentu disertai dan dengan ucapan-ucapan
tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu pula.
Pemakaian kata shalat dalam ibadah ini, adalah karena didalam
pelaksanaan ibadah shalat mengandung doa-doa, baik yang berupa
permohonan rahmat ampunan dan lain sebagainya, sehingga
tampak dengan jelas hubungan arti shalat secara kebahasaa dan
makna shalat menurut fiqih.
Adapun dasar hokum diwajibkan shalat adalah firman Allah SWT
dalam Qs. Al-Baqarah (2) 110:

Artinya:
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kenbaikan apa
saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat
pahalanya pada sisi Allah SWT. Sesungguhnya Allah Maha Melihat
apa-apa yang kamu kerjakan.
Dalam ayat yang lain, Allah SWT. Menjelaskan tentang manfaat
Shalat bagi orang-orang yang melaksanakannya. Hal ini dapat dilihat
dalam Qs. Al-Ankabut (29) : 45. :

Artinya:
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-
Quran) dan dirikanlah Shalat. Sesungguhnya Shalat itu mencegah
dari (perbuatan-Perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya
mengingat Allah (Shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Para Ahli Hukum Islam sepakat bahwa seseorang yang dengan
sengaja meninggalkan, melalaikan dan bertujuan untuk menendang,
mengingkari wajib Shalatnya maka ia disebut sebagai golongan yang
kafir atau yang keluar dari agama islam. Demikian pula orang yang
dengan sengaja meninggalkan Shalat sedang ia masih beriman dan
menyakini kewajiban Shalat ini. Beberapa pendapat bahkan
menyebutkan bahwa meskipun perbuatan meningglakan ibadah
Shalat ini disebabkan karena lalai, alpa, atau lantaran suatu halangan
yang diakui oleh syariat Islam, orang tersebut juga dihukumi kafir.
Menurut Sayyid Sabiq, denagn mengutip perkataan Ibnu
Qayyim, kemungkinan orang yang meninggalkan Shalat itu karena
terlalu sibuk mengurusi harta, kerajaan, kekuasaan ataupun
dengannya. Padahal barangsiapa yang tidak Shalat karena bimbang
dengan hartanya, maka ia akan senasib dengan Karun. Barangsiapa
yang gemar meningglakan Shalat karena gemar mengurusi Negara
atau kerajaan, maka ia bisa digolongkan dalam golongan Fir’aun.
Sementara itu barangsiapa yang gemar meningglkan Shalat lantaran
terpedaya oleh kebesaran, kekuasaan, dan urusan pemerintahan,
maka ia berteman dengan Hamam. Dan barangsiapa yang
melalaikan Shalat karena disibukkan dengan urusan bisnisnya
disamakan dengan Ubay Bin Khalf.
Sholat dalam agama islam menempati kedudukan yang tidak
dapat ditandingi oleh ibadat manapun juga, ia merupakan tiang
agama dimana ia tak dapat tegak kecuali dengan itu
Adapun tujuan didirikannya shalat menurut Al-Qur’an dalam
surah Al –Ankabut : 45
‫صلَوةَ تَ ْنهَى ع َِن ْالفَحْ َشا ِء َو ْال ُم ْن َك َر‬
َّ ‫صلَوةَ اِ َّن ال‬
َّ ‫َواَقِي ِْم ال‬
Artinya:
Kerjakanlah shalat sesungguhnya shalat itu bisa mencegah
perbuatan keji dan munkar.
Juga allah mengfirmankannya dalam surah An-Nuur: 56.
َ‫صالَةَ َوآتُوْ ال َّز َكوةَ َواَ ِط ْيعُوْ اال َّرسُوْ َل لَ َعلَ ُك ْم تُرْ َح ُموْ ن‬
َّ ‫َواَقِ ْي ُموْ ال‬
Artinya :
Dan kerjakanlah shalat, berikanlah zakat, dan taat kepada Rasul,
agar supaya kalian semua diberi rahmat
Dari dalil – dalil Al-Qur'an di atas tidak ada kata – kata perintah
shalat dengan perkataan “laksanakanlah” tetapi semuanya dengan
perkataan “dirikanlah”. Dari unsur kata – kata melaksanakan itu
tidak mengandung unsur batiniah sehingga banyak mereka yang
Islam dan melaksanakan shalat tetapi mereka masih berbuat keji dan
munkar. Sementara kata mendirikan selain mengandung unsur lahir
juga mengandung unsur batiniah sehingga apabila shalat telah
mereka dirikan, maka mereka tidak akan berbuat jahat.
C. Macam-Macam Shalat

Dilihat dari hokum melaksanakannya, secara umum Shalat


dibagi menjadi dua, yaitu Shalat Fardhu dan Shalat Sunat. Shalat
fardhu dibagi menjadi dua yaitu shalat fardhu Ain dan Shalat Fardhu
Kifayah. Demikian pula Shalat Sunat dibagi dua, yaitu Shalat Sunah
Muakkadah dan Shalat Sunnah Gairu Mukkadah.
1. Shalat Fardhu

Shalat fardhu atau disebut juga shalat wajib, yaitu shalat yang
harus dikerkjakan dan tidak boleh ditinggalkan. Artinya jika
dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan berdosa. Shalat
Fardhu ini dibagi menjadi dua macam yaitu Shalat Fardhu Ain dan
Shalat Fardu Kifayah.
Shalat Fardu Ain, yaitu Shalat yang harus dikerjakan oleh setiap
orang. Shalat ini senbanyak lima kali dalam sehari semalam.,
mengingat sabda Rasulullah saw, ketika ditanya oleh seorang
penduduk najd tentang kewajiban-kewajiban dalam agama Islam.
Dan satu diantara kewajiban-kewajiban tersebut, yaitu Shalat lim kali
dalam sehari semalam, di mana beliau bersabda yang artinya
“Shalat lima (kali) dalam satu hari satu malam”
Adapun yang dimaksud Shalat lima Waktu, yaitu Shalat Dluhur ,
Shalat Ashar, Shalat Maghrib, Shalat Isya dan Shalat Subuh.
Termasuk dalam pengrtian Shalat lima waktu, yaitu Shalat Jumat,
yang menurut jumhur ulama, diwajibkan kepada setiap orang laki-
laki muslim yang bukan budak, tidak sedang bepergian atau sakit.
Kewajiban Shalat Jumat ini didasarkan atas firman Allah swt. Dalam
Qs. Al-Jumu’ah (62): 9 :

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseur untuk menunaikan
sembahyang pada hari jumat, maka bergegaslah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu
lebih baik bagimu jikia kamu mengetahui.”
Shalat Fardhu Kifayah, yaitu Shalat yang diwajibkan kepada
sekelompok kaum muslimin, yang apabila telah ada salah seorang
atau sebagian dari mereka yang mengerjakannya, maka terlepaslah
kewajiban tersebut dari mereka semua. Sebaliknya, jika tidak ada
seorangpun dari mereka yang mengerjakan, maka berdosalah
mereka semua. Sebagai Contoh Shalat Fardhu Kifayah adalah Shalat
Jenazah. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa shalat Jenazah
hukumnya Fardhu Kifayah.

2. Shalat Sunat
Shalat Sunat disebut juga dengan Sholat tathawu’ Shalat
Nawafil, Shalat Mandub, dan Shalat Mustahab, yaitu Shalat yang
dianjurkan untuk dikerjakan. Artinya, diberi pahala kepada yang
mengerjakannya dan tidak berdosa bagi yang meninggalkannya.
Semua Shalat selain Shalat-shalat yang diwajibkan termasuk dalam
kategori shalat sunat, mengingat hadis dari talhah Ubaidillah yang
menerangkan bahwa ketika Nabi ditanya oleh seorang penduduk
Najd tentang Shalat selain yang diwajibkan Beliau menjawab
“tidak, kecuali kamu mengerjakan Shalat Sunat (Lebih baik
bagimu)”
Shalat Sunat dibagi menjadi dua, yaitu shalat Sunat Muakkadah
dan Shalat Suinat Gairu Muakkadah. Shalat sunat Muakkadah adalah
Shalat Sunat yang selalu dikerjakan atau jarang sekali tidak
dikerjakan oleh Rasulullah saw. Seperti Shalat Witir, Shalat hari Raya
dan lain-lain.
Shalat Sunat Gairu Muakkadah yaitu Shalat Sunat yang tidak
selalu dikerjakan oleh rasulullah saw, seperti Shalat Dhuha, dan
Shalat-Shalat rawatib yang Tidak Muakkadah.
Semua Shalat, termasuk Shalat Sunat Dilakukan adalah dalam
rangka keridhaan Allah SWT. Namun, shalat Sunat jika dilihat dari
segi ada dua tindaknya sebab-sebab dilakukannya, dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu Shalat Sunat yang bersebab dan Shalat
Sunat yang tidak bersebab.
Shalat Sunat yang bersebab yaitu Shalat Sunat yang dilakukan
karena ada sebeb-sebab tertentu seperti shalat istisqa’ (minta hujan)
dilakukan karena terjadi kemarau yang panjang, Shalat Kusuf
(gerhana) dilakukan karena terjadi gerhana Matahari atau gerhana
bulan, dan lain sebagainya.
Shalat Sunat yang tidak bersebab, yaitu Shalat Sunat yang
dilakukan karena tidak ada shalat tertentu, seperti shalat witir, shalat
dhuha dan lain sebagainya.

D. Syarat Wajib dan Syarat Sah Shalat

Shalat dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat sahnya, yaitu

1. Islam, Artinya orang yang bukan Islan tidak diwajibkan Shalat


2. Suci dari Hadas kecil dan hadas Besar
3. Berakal, orang yang tidak berakal tidak wajib shalat.
4. Balig dan dewasa, kebalighan seseorang dapat diketahui dari
tanda-tanda:
a. Berusia 15tahun
b. Sudah keluar Mani
c. Sudah mimpi Basah
d. Sudah haid Bagi perempuan
5. Telah sampai dakwah islam
6. Melihat atau mendengar, melihat atau mendengar menajadi
syarat wajib shalat. Olehnya itu orang buta dan tuli sejak
dilahirkan tidak dituntut oleh hukum karena tidak ada jalan
baginya untuk belajar hukum-hukum syara’
7. Terjaga kesadarannya. Oleh karena itu orang yang tidur, orang
yang gila dan orang yang lupa tidak wajib mengerjakan shalat
8. Menrtahui waktu hadirnya shalat
9. Suci Badan, pakaian, dan tempat shalat dari najis.
10. Menutup aurat. Batas aurat bagi laki-laki adalah bagian
tubuh yang berada antara lutut kaki dan pusar. Sedangkan
perempuan seluruh tubuh kecuali telapak tangannya dan
mukannya.
11. Mengadap Kiblat.

E. Rukun Shalat

Rukun bisa juga disebut fardhu. Perbedaan antara syarat dan


rukun adalah bahwa syarat adalah sesuatu yang harus ada pada
suatu pekerjaan amal ibadah sebelum perbuatan amal ibadah itu
dikerjakan, sedangkan pengertian rukun atau fardhu adalah sesuatu
yang harus ada pada suatu pekerjaan/amal ibadah dalam waktu
pelaksanaan suatu pekerjaan/amal ibadah tersebut.
Rukun Shalat ada 13 yaitu :
1. Niat, artinya mengeja sesuatu perbuatan. Bahwa perbuatan
tersebut merupakan suatu perbuatan yang ikhtiari ( kemauan
sendiri), tidak terpaksa. Sedangkan menurut pengertian Syara’
niat dalah mengeja sesuatu perbuatan karena mengikuti perintah
Allah dan memohon Rida-nya.
2. Berdiri Bagi Yang Kuasa. Apabila tidak kuasa untuk berdiri maka
shalat boleh dilaksanakan sambil berbaring. Jika berbaring tidak
bisa, maka dikerjakan sambil terlentang. Jika terlentangpun tidak
mampu maka shalat dilakukan sesuai kemampuan. Hal ini karena
wajib dilaksanakan bagi siapa saja yang ingatannya masih ada.
3. Takbiratul ihram atau membaca Allahu Akbar.
4. Membaca Surah Al-fatihah. Para ulama sepakat bahwa membaca
surah Al-Fatihah merupakan hal yang wajib dilakukan dalam
shalat.
5. Ruku’ serta tuma’nina (berhenti sejenak). Ruku adalah
merendahkan kepala dengan kedua belah tangan memegang
lutu, rukuk yang sempurna akanmembentuk sudut 90derajat
sementara Tuma’ninah adalah berhenti sebentar, tidak bergerak
antara gerakan turun dan naik.
6. I’tidal serta Tuma’ninah. I’tidal artinya berdiri tegak setelah
melakukan rukuk. Posisi berdirinya seperti ketika membaca Al-
fatihah. Sedangakan Tuma’ninah adalah posisi tetap ditempat,
tidak bergerak antara gerakan bangkit dan rukuk dan gerakan
mau sujud.
7. Sujud dua kali seta Tuma’ninah. Posisi sujud yang sempurna
tubuh membentuk sudut 45derajat. Artinya tulang punggung
harus lurus, tidak melengkung kebawah atau keatas. Ada tujuh
anggota badan yang harus menyentuh lantai ketika sujud. Yaitu
wajah ( dahi dan hidung), dua telapak tangan, dua dengkul, dan
dua ujung jari kakai yang jari-jarnya menyentuh lantai.
8. Duduk diantara dua sujud seta tuma’ninah. Duduk diantara dua
sujud dengan posisi pantat menduduku betis sedangkan ujung
jari terlipat.
9. Duduk tahiyat Akhir
10. Membaca Salawat atas nabi saw, waktu membacanya adalah
ketika duduk akhir sesudah membaca Tashadud Akhir.
11. Mengucapkan Salam pertama. Salam yang pertama berbarengan
dengan menoleh muka jesebelah kanan.
12. Tertib. Yaitu meletakkan tiap-tiap rukun sesuai dengan urutan
dan tempatnya masing-masing sesuai dengan urutan yang telah
dicontohkan oleh rasulullah Saw.
Dari ketiga belas rukun sholat tersebut, dapat dikelompokkan
menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Rukun qalbi, mencakup satu rukun yaitu niat.
2. Rukun qauli, mencakup lima rukun yaitu : takbiratul ihram,
membaca al-fatihah, membaca tasyahud akhir, membaca
sholawat dan salam.
3. Rukun fi’li, mencakup enam rukun, yaitu berdiri, ruku’, i’tidal,
sujud, duduk diantara dua sujud, duduk tasyahud akhir.Adapun
rukun yang ketiga belas, yaitu tertib, merupakan gabungan dari
qauli dan fi’li.

F. SUNNAH-SUNNAH SHALAT

Sunnah-sunnah shalat terbagi dua, yaitu sunnah ab’adh dan sunnah

hai-at.

1. Sunnah ab’adh, yaitu amalan sunnah yang apabila tertinggal/tidak


dikerjakan maka harus diganti dengan sujud sahwi. Sunnah ab’adh
ada 6 macam :
a. Duduk tasyahud awal
b. Membaca tasyahud awal
c. Membaca do’a qunut pada waktu shalat shubuh dan pada akhir
sholat witir setelah pertengahan ramadhan.
d. Berdiri ketika membaca do’a qunut.
e. Membaca sholawat kepada Nabi pada tasyahud awal.
f. Membaca shalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud akhir.

2. Sunnah hai-at, yaitu amalan sunnah yang apabila tertinggal/tidak


dikerjakan tidak disunnahkan diganti dengan sujud sahwi. Yang
termasuk sunnah hai-at adalah sebagai berikut :

a. Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram sampai


sejajar tinggi ujung jari dengan telinga atau telapak tangan
sejajar dengan bahu. Kedua telapak tangan
terbuka/terkembang dan dihadapkan ke kiblat.

b. Meletakkan kedua tangan di antara dada dan pusar, telapak


tangan kanan memegang pergelangan tangan kiri.

c. Mengarahkan kedua mata ke arah tempat sujud.

d. Membaca do’a iftitah

e. Diam sebentar sebelum membaca surat Al-Fatihah.

g. Membaca ta’awuz sebelum membaca surat Al-Fatihah.

“Apabila kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta


perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. An-
Nahl : 98).
h. Mengeraskan bacaan surat Al-Fatihah dan surat pada sholat
maghrib, isya dan shubuh.
i. Diam sebentar sebelum membaca “aamiiin” setelah membaca
Al-Fatihah.
j. Membaca “aamiiin” setelah selesai membaca Al-Fatihah.
k. Membaca surat atau beberapa ayat setelah membaca Al-
Fatihah bagi imam maupun bagi yang sholat munfarid pada
rakaat pertama dan kedua, baik shalat fardhu maupun sholat
sunnah.
l. Membaca takbir intiqal (penghubung antara rukun yang satu
dengan yang lain)
m.Mengangkat tangan ketika akan ruku, bangun dari ruku’.
n. Meletakkan kedua telapak tangan dengan jari-kari terkembang
di atas lutut ketika ruku’.
o. Membaca tasbih ketika ruku’, yaitu “subhaana robbiyal
‘azhiimi”, sebagian ulama ada yang menambahkan dengan
lafazh “wabihamdih”.
p. Duduk iftirasyi (bersimpuh) pada semua duduk dalam sholat
kecuali pada duduk tasyahud akhir. Cara duduk iftirasyi adalah
duduk di atas telapak kaki kiri, dan jari-jari kaki kanan
dipanjatkan ke lantai.
q. Membaca do’a ketka duduk di antara dua sujud.
r. Meletakkan kedua telapak tangan di atas paha etika duduk
iftirasyi maupun tawarruk.
s. Meregangkan jari-jari tangan kiri dan mengepalkan tangan
kanan kecuali jari telunjuk pada duduk iftirasyi tasyahud awal
dan duduk tawarruk.
t. Duduk istirahat sebentar sesudah sujud jedua sebelum berdiri
pada rakaat pertama dan ketiga.
u. Membaca doa pada tasyahud akhir yaitu setelah membaca
tasyahud dan sholawat.
v. Mengucapkan salam yang kedua dan menengok ke kanan pada
salam yang pertama dan menengok ke kiri pada salam yang
kedua.

G. Hal-Hal yang Makruh dalam Shalat


1. Memejamkan kedua mata
2. Menoleh tanpa keperluan
3. Meletakan tangan dilantai ketika sujud
4. Banyak melakukan kegiatan yang sia-sia
H. Hal-hal yang Membatalkan Shalat

1. Meninggalkan dari salah satu rukun shalat atau dengan


sengaja memutuskan rukun sebelum sempurna, seperti
melakukan I’tidal sebelum sempurna rukuk
2. Meninggalkan salah satu syarat. Misalnya melakukan shalat
pada dirinya sedangkan junub, atau ia tidak menghadap
kiblat.
3. Berkata-kata dengan sengaja dengan perkataan yang biasa
ditujukan kepada manusia, kecuali lupa.
4. Banyak bergerak.
5. Makan dan minum.
6. Menambah rukun fi’li, seperti sujud tiga kali.
7. Tertawa. Adapun batuk, bersin tidaklah membatalkan
sholat.
8. Mendahului imam sebanyak 2 rukun, khusus bagi makmum.

I. Shalat jamaah, imam dan Makmum.

Shalat jamaah artinya shalat yang dilakukan secara bersama-


sama, dimana salah seorang diantaranya bertindak sebagai
pemimpin yang disebut imim, ia berdiri paling depan dan gerak
gerinya diikuti. Sementara beberapa orang yang ada dibelakangnya
yang mengikuti gerak gerik imim didssebut makmum.
Hikmah terpenting dari diisyaratkannya shalat berjamaah
adalah agar kaum muslimin senantiasa berada dalam kebersamaan,
kekompakan serta mengajarkan solidaritas bersama. Dalam shalat
terkandung nilai-nilai egalitiarisme. Didalamnya diajarkan
kesetaraan, yang dating lebih awal berhak menempati shaf pertama
dan begitu juga sebaliknya tanpa memandang status social.
Untuk imam, maka lebih utama diangkat menjadi imam bukan
ukuran kedudukan pangkat ataupun jabatan, melainkan standar
ketaatan mengamalkan agama. Ketaatan kepada imam juga dapat
dijewantahkan dalam kehidupan sehari-hari terhadap ketaatan
kepada pemerintah ( ulil amri), tentu saja sepanjang perintah itu
menyeru kepada kebaikan dan melarang keburukan. (amar ma’ruf
nahi munkar).
Dalil yang menunjukkan diisyaratkannya shalat berjamaah
adalah Qs. Al-Nisa (4): 120 :

Artinya:
“Dan apabila kamu berada ditengah-tengah mereka
(sahabatmuy) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama
mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
bersamamu”
Dalam Shalat jamaah, jika makmun hanya seseorang maka ia
berdiri disebelah kanan belakang imam, dan jikia lebih dari
seseorang maka berbaris hendak dirapatkan dan diratakan, serta
tidak membuat shaf baru sebelum shaf didepan penuh. Apabila
makmumnya terdiri dari laki-laki, anak-anak, dan perempuan, maka
laki-laki menempati shaf yang paling depan kemudian anak-anak dan
yang paling belakang adalah anak-anak.
Dalam Shalat jamaah, ketika imam membaca ayat atau surat
dalam Al-Quran dengan suara kereas makmum tidak usah membaca,
melainkan harus mendengarkan. Mengingat firman Allah swt dalam
Qs. Al-A’raf (7):204:

Artinya:
Dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik
dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.
Menuru ulama Malikiyah, hanabilah dan Hadawiyah, makmum
tidak membaca Surah Al-Fatihah ketika imam membacanya dengan
keraas. Sedangkan menurut ulama hanafiyah, makmum tidak
membaca Surah Al-Fatihah, baik dikala imam membaca dengan
keras atau dibaca dengan keras.
Apabila terjadi kekeliruan pada perbuatan atau becaan imam
hendaklah makmum mengingatkannya. Untuk mengingatkan imam
perbuatan yang keliru mengucapkan tasbih (subhanallah) bagi
makmum laki-laki dan bertepuk tangan bagi wanita.

J. Shalat Jumat dan Syarat Sahnya


Shalat jumat adalah shalat dua rakaat yang dilaksanakan setelah
khutbah pada waktu shalat dluhur pada hari jumat. Hokum shalat
jumat adalah fardhu ‘ain. Bahkan dalam suatu hadis disebutkan
bahwa barangsiapa yang meninggalkan shlat jumat sebanyak tiga kali
bertiurut-turut, maka Allah SWT, akan mengeraskan hatinya. Adapun
dasar pelaksanaannya adalah Qs. Al-Jumu’ah (62): 9 :

Artinya:
“hai orang-orang yang beriman, apabila diseur untuk menunaikan
sembahyang pada hari jumat, maka bergegaslah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu
lebih bagus darimu jika kamu mengetahui”
Syarat-syarat wajib Jumat.
1. Orang Islam.
2. Baligh, anak kecil tidak diwajibkan shalat jumat, tetapi bagi
anak kecil yang sudah mengerti dan dapat menjaga dirinya
dari najis dianjurkan untuk diajak melaksanakan shalat jumat
sebagai wahana latihan.
3. Berakal. Orang gila tidak wajib melaksanakan shalat jumat.
4. Laki-laki.
5. Sehat. Orang yang sakit tidak wajib melaksanakannya.
6. Yidak sedang dlama perjalanan yang memungkinkan ia lepas
dari kewajiban untuk melaksankan shalat jumat.
Syarat Sah mendirikan shalat jumat:

1. Dilaksanakan disuatu lokasi yang dihuni suatu masyarakat.


2. Dilaksanakan secara berjamaah.
3. Dikerjakan pada waktu shalat dluhur
4. Didahului oleh dua khutbah.
Khutbah Jumat
Rukun Khutbah
1. Mengucapkan pujian kepada Allah Swt.
2. Membaca Shalawat atas Nabi.
3. Mengucapkan kalimat Syahadat.
4. Isi khutbah mengajak untuk meningkatkan taqwa
5. Membaca ayat suci al-quran pada salah satu khutbah.
6. Berdoa untuk umat islam pada khutbah kedua.
Syarat Khutbah.
1. Khutbah dilakukan ketika masuk waktu shalat dluhur.
2. Sewaktu berkhutbah, khatub hendaklah berdiri jika
mampu.
3. Khatib hendaklah duduk diantara dua khutbah.
4. Khutbah disampaikan dengan suara keras, jelas, sehingga
dapat didengar dan dimengerti oleh jamaah.
5. Antara khutbah pertama dan khutbah kedua dilaksanakan
secara berturut-turut dan hanya diselingi dengan duduk
sebentar sebagai jedah antara kedua khutbah tersebut.
6. Khatib hendaklah suci dari hadas.
7. Khatib hendaklah menutup aurat.
Halangan Jumat.
1. Sakit.
2. Dalam perjalanan / Bepergian.
3. Hujan deras atau banjir yang membuat orang sukar untuk
berangkat ketempat shalat jumat.
K. Shalat Jamak dan Shalat Qashar

Jamak menurut bahasa adalah mengumpulkan. Sedangkan


menurut istilah fiqih, jamak adalah mengumpulkan dua shalat
Fardhu yang lima dikerjakan dalam satu waktu.
Dari kelima wajktu shalat hanya empat shalat fardhu yang
boleh dilakukan jamak, yaitu dhuhur, ashar, maghrib, dan Isya.
Sedangkan shalat subuh tidak bisa dijamak.
Pelaksanaan jama’ dapat dilakukan dalam dua bentuk yaitu:
1. Apabila dua shalat dilakukan dalam satu waktu, sedangkan
pelasanaannya dilakukan pada waktu shalat terdahulu, maka
jamak yang demikian disebut jama taqdim (jamak yang
didahulukan). Misalnya menjamak antara shalat dhuhur dan
Ashar, dilaksanakan pada waktu dhuhur.
2. Apabila dua shalat dikumpulkan dalam satu waktu,
sedangkan pelaksanaannya dilakukan pada waktu shalat
yang terakhir maka disebut Jamak ta’khir (jamak diakhirkan).
Misalnya menjamak antara shalat Dhuhur dengan Asha,
maka dilakukan pada waktu ashar.
L. Shalat Jenazah

Dasar hokum melakukan shalat Jenazah adalah Hadis


Rasulullah saw yang menyatakan “Shalatlah olehmu orang-orang
yang mati” (HR.Ibn.Majah). hokum Shalat Jenazah adalah Fardu
Kifayah. Artinya jika kewajiban itu dilaksanakan oleh segelincir orang
saja, maka sudah gugur kewajiban. Namun, jika tidak ada sama sekali
orang yang melaksanakannya maka seluruh anggota ,masyarakat
yang ada dilingkungan itu akan mendapat dosa.
Syarat Melayatkan Jenazah:
1. Sama seperti melaksanakan shalat lainnya, dalam shalat jenazah
diisyaratkan menutup aurat, suci badan, pakaian dan tempat dari
najis, dan menghadap kiblat.
2. Dilakukan setelah mayat dimandikan dan dikafani
3. Letak mayat itu disebelah kiblay yang melayatkan, kecuali jik
shalat itu dilaksanakan diatas kubur atau shalat ghaib.
Rukun Shalat Jenazah

1. Niat
2. Takbir 4 kali termasuk di dalamnya takbiratul ihram.
3. Membaca sUrah Al-fatihah setelah takbiratul ikhram.
4. Membaca shalawat nabi setelah takbir kedua
5. Berdiri jika mampu
6. Memberi salam

Sunat Shalat Jenazah

1. Mengangkat tangan pada saat menucapkan takbir-takbir yang


keempat.
2. Merendahkan suara bacaan (israr)
3. Membaca At-taawudz
4. Hendaknya dilakukan secara berjamaah.
M. Shalat-Shalat Sunat

Umat islam senantiasa dianjurkan untuk melakukan shalat


sunat, antara lain terdapat dalam hadis dari Rabi’ah Bin malik yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan kepada saya
dengan sabdanya “Bermohonlah, “maka saya menjawab: saya
mohon kepadamu agar saya dapat menemanimu disurga, kemudia
beliau bersabda: dan apakah selain itu ? saya menjawab: Ya Cuma
itu, beliau bersabda: maka bantulah saya, agar berhasil
permohonanmu itu dengan membanyakkan sujud (sunat)” (HR.
Muslim dan Rabi’ah Nin Malik)
Diantara Shalat-shalat Sunat tersebut yaitu:
1. Shalat Sunat rawatib Muakkadah.
Shalat Sunat rawatib Muakkadah, yaitu shalat sunat
Muakkadah yang mengiringi Shalat-Shalat Fardhu, yakni dua
rakaat sebelum shalat dhuhur, dua rakaat stelahnya, dua rakaat
setelah shalar Maghrib, dua rakaat sesudah Shalat isya dan dua
rakaat sebelum Shalat Subuh.
Dalam Hadis dari Ummu habibah yang diriwayatkan oleh Al-
Tirmiddziy. Diterangkan bahwa empat rakaat sebelum dhuhur dan
dua rakaat setelahnya. Dan dalah hadis lain juga dari Ummu
Habibah yang diriwayatkan oleh Ahmad< Ibnu Majah, Abu daud,
dan Al-Tirmiddziy diterangkan bahwa empat rakaat sebelum
dhuhur dan empat rakaat sesudahnya.
2. Shalat Sunat Rawatib ghairu Muakkadah
Shalat Sunat rawatib Ghairu Muakkadah adalah shalat-shalat
Sunat Gairu Muakkadah yang mengiringi Shalat fardhu, yakni
empat rakaan sebelum Isya dan Dua rakaat sesudanhya.
3. Shalat Witir.
Shalat witir adalah salah satu dari shalat-shalat yang
menurut Jumhur ulama hukumnya Sunat Muakkadah. Hal ini
dapat Dilihat dalam hadis ytang menyatakan bahwa Rasulullah
saw. Melakukan shalat witir setiap malam, dan penghabisan
witirnya diujung malam. Shalat witir dilakukan antara (setelah)
Shalat Isya sampai terbit fajar. Dalam sebuah riwayat
diriwayatkan bahwa nabi saw melakukan melakukan Shalat Witir
dengan 13 rakaat, sebelas rakaat, Sembilan rakaat, tujuh rakaat,
lima rakaar, tiga rakaat, dan satu rakaat.
Para ulama berbeda pendapat mengenai membaca doa
Qunut dalam shalat Witir. Sebagian para sahabat berpenadapat
bahwa diisyaratkan membaca doa qunut setelah rukuk pada
rakaat terakhir setiap shalat witir. Menurut Ulama Syafi’iah,
membaca doa Qunut pada Shalat Witir hanay setelah
pertengahan bulan Ramadhansampai habis Bulan ramadhan.
4. Shalat lail
Shalat lail artinya Shalat malam, yaitu melakukan Shalat
Tahajjud dan Shalat witir. Banyak ayat dalam AlQuran yang
mengajarkan agar umat islam Shalat Lail, salah satunya yaitu Qs.
Al-Isra (17): 79 :

Artinya:
“dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajjudlah
kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-
mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ketempat terpuji.
Waktu melaksanakan Shalat Lail adalah sebagaimana waktu
melaksanakan shalat witur, yaitu antara Shalat Isya sampai terbit
fajar. Sedangkan waktu yang utama adalah pada sepertiga malam
yang terakhir.
Mengenai Jumlah rakaatnya, Sayyid sabiq dalam Kitabnya
“Fiqhus sunnah” menerangkan bahwa Shalat lail tidak mempunyai
jumlah rakaat yang tertentu dan tidak ada batasan tertentunya.
Maka Shalat Lail sudah terlaksan, meskipun hanya dengan
melaksanakan shalat witir satu rakaat.
5. Shalat lail pada Bulan ramdhan (tarawih)
Shalat lail pada bulan ramadhan disebut juga shalat tarawih.
Anjuran untuk melakukan Shalat lail atau tarawih ini pada bulan
ramadhan sesuai dalah Hadis Abu Huraerah
“Rasulullah saw. Menganjurkan untuk mengerjakan Shalat
(tarawih) pada bual Ramadhan, beliau tidak memerintahkan
dengan suatu keharusan (kewajiban). Kemudian beliau bersabda:
barangsiapa yang mengerjakan Shalat (tarawih) pada bulan
ramadhan karena iman dan mengarapkan pahala, niscaya
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al-jama’ah dari Abu
Huraerah)
Adapun jumlah rakaat shalat tarawih adalah sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim, bahwa Nabi saw.
Melakukan Shalat lail baik bulan Ramadhan ataupun bulan yang
lain tidak lebih dari 11 rakaat. Akan tetapi mulai pada masa umar
Bin Khattab, orang-orang mengerjakan Shalat tarawih 21rakaat.
Adapun pelaksanaannya boleh dilakukan dengan berjamaah dan
boleh sendiri.
6. Shalat Idain
Shalat ‘Idain yaitu shalat dua hari raya, Idul Fitri dan Idul
Adha. Saat idul Fitri dilakukan setiap tanggal 1syawal dan shalat
Idul Adha pada tanggal !0 Zulhijjah. Waktu melaksanakan shalat
‘idai ini yakni antara semenajk terbitnya matahari sampai dengan
condongnya kebarat. Namun, disunatkan mengawalkan (lebih
pagi) pada Shalat Idul Adha dan sedikit mengakhirkan pada Shalat
Idul Fitri.
Jumlah Rakaat Shalat Idain adalah masing-masing dua rakaat
dan dilakukan berjamaah, boleh dimesjid dan boleh pula di tanah
lapang.
Adapun pelaksanaan shalat ‘idain ini adalah apda rakaat
pertama setelah takbiratul Ihram dan membaca doa iftitah,
disunatkan takbir tujuh kali, dan pada rakaat kedua setelah takbir
initiqal disunatkan takbir lima kali. Baik pada hari raya Idul Fitri
Maupun Idul Adha. Disunatkan mengumandangkan takbir untuk
hari raya idul fitri didasarkan pada Qs. Al-Baqarah (2) :185,
sedangkan untuk Idul Adha Qs. Al-Baqarag (2): 203 dan Qs. Al-hajj
(22):37.
7. Shalat Dhuha
Dasar disunatkan shalat dhuha antara lain hadis dari Abu
Huraerah yang menerangkan “kekasihku saw. Telah berwasiat
kepadaku dengan tiga perkara: puasa, tiga hari pada tiap bulan,
shalat dhuha dua rakaat dan shalat witir sebelum tidur.”
Waktu melaksanakan shalat Dhuha mulai ketika matahari
setinggi tombak (18derajat) dan berakhir manakala matahari telah
condong kearah barat, tetapi disunatkan ketikamatahari sudah
agak tinggi atau sudah terasa panas. Adapun jumlah rakaat
sebagaimana hadis diatas ada dua rakaat, ada juga boleh lebih.
8. Shalat tahiyyatu Mesjid
Shalat tahiyyatul Mesjid adalah shalat dua rakaat ketika
masuk di mesjid.l Rasulullah saw bersabda
“Apabila seseorang diantara kamu masuk mesjid, janganlah
duduk sebelum shlat dua rakaat.
9. Shalat istikharah
Seseorang apabila ragu atau bingung terhadap sesuatu hal
yang sedang dihadapi, maka disunatkan shalat dua rakaat, selain
shalat wajib. Kemudia setelah selesai shalat hendaklah membaca
tahmid, shalawat kepada nabi saw, dan berdoa, dimana dalam
doa tersebut disebutka urusannya.
10. Shalat Jusuf (gerhana)
Shalat Kusuf adalah shalat dua rakaat yang dilakukan karena
(ketika) terjadi gerhana, baik gerhana bulan maupun matahariu.
Menurut Jumhur Ulama pada masing-masing rakaat dilakukan
rukuk dua kali, jelasnya setelah membaca surah Al-fatihah dan
Surat atau Ayat Al._quran, kemudian rukuk. Setelah itu kemudian
berdiri membaca Al-Fatihah dan surah kemudia rukuk lagi.
Kemudia sujud dua kali sebagaimana dalam shalat lain dan
dilakukan seperti itu pada rakaat kedua.
11. Shalat Istisqa’
Shalat Istisqa adalah Shalat dua rakaat yang dilakukan
karena terjadi kemarau panjang, mohon kepada Allah SWT agar
diturunkan hujan. Shalat ini dilakukan dengan jamaah dan
khutbah. Sedangkan pelasanaan khutbahnya dapat sebelum atau
sesudah shalat.
N. Sujud Sahwi
Suduh Sahwi adalah Sujud dua kali sebelum atau sesudah
salam, dengan
mengucapkan takbir ktika akan sujud dan akan bangun dari sujud
karena ada beberapa sebab. Jika sebab diketahui sebelum
mengucapkan salam, sujud sahwi dilakukan sebelum salam, dan jika
sebab itu diketahui setelah salam, maka dilakukan setelah salam.
Adapun sebab-sebab tersebut adalah:
1. Telah mengucapkan salam sebelum sempurna bilangan rakaat
shalat, jika terjadi demikian, harus disempurnakan bilangna
rakaatnya, kemudian setelah salam dilakukan sujud sahwi.
2. Apabila kelebihan dalam shalat.
3. Apabila kelupaan membaca tashadud yang pertama
4. Apabila terjadi keledupan tentang bilangan rakaat yang telah
dilakukan, kemudian disempurnakan kekurangannya dan sujud
sahwi sebelum salam.
O. Sujud Tialawah

Sujud Tilawah adalah sujud sekali denagn bertakbir ketika akan


sujud dan ketika bangun dari sujud, karena membaca dan
mendengar ayat sajadah. Menurut Jumhur Ulama hokum melakukan
sujud Tilawah adalah sunat, baik bagi yang membaca maupun yang
mendengar, dan dapat dilakukan pula ketika shalat baik berjamaah
maupun sendiri. Dalam shlat Jamaah, makmum hanya mengikuti
imam, makmum melakukan sujud tilawah manakala imam
melakukannya, dan makmum tidak melakukannya manakala imam
juga tidak melakukannya.
Hadis yang menerangkan sujud tilawah, antara lain Hadis dari
Ibnu Umar “Bahwa nabi saw. Membaca Al-Quran, maka dibaca
sebuah surah yang didalamnya terdapat aya sajadah, kemudian
beliau sujud dan kamipun sujud bersamanay” (HR. Bukhari dan
Muslim)
P. Hikamah Shalat

1. Shalat mengajarkan Kedisiplinan.


2. Shalat mengajarkan Latihan Konsentrasi
3. Shalat mengajarkan Latihan kebersihan
4. Shalat mengajarkan Kebersamaan.
PUASA

A. Makna Puasa dan Dasar Hukum Puasa


Secara lughawi puasa dimaknai dengan menahan diri,
meninggalkan atau menutup diri dari segala sesuatu, baik dalam
bentuk ucapan maupun perbuatan. Sedangkan secara syara’ yang
dimaksud puasa adalah menahan diri dari suatu yang merusak
ibadah puasa pada waktu tertentu, mulai dari terbitnya fajar hingga
terbenamnya matahari dengan niat. Hukum puasa pada bulan
Ramadhan adalah wajib bagi setiap muslim yang mukallaf. Adapun
perintah melakukan puasa adalah dalam QS. Al-Baqarah (2): 182
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa.”
Puasa tidak hanya diwajibkan kepada umat Muhammad saw
saja, akan tetapi ibadah puasa merupakan kewajiban yang telah
dipergilirkan Allah swt, kepada setiap umat dan Nabinya sebelum
datangnya islam. Rasulullah saw. Sebelum diwajibkan puasa
Ramadhan selalu melakukan puasa tiga hari setiap bulan, hingga
Allah swt, mewajibkan kepada umat islam berpuasa di bulan
Ramadhan. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Al-Quran dalam
surah Al-Baqarah diatas.
Puasa termasuk salah satu ibadah yang utama, dan merupakan
salah satu rukun islam. Banyak nash-nash Alquran dan hadis
Rasulullah saw, yang menunjukkan keutaman ibadah puasa. Bagi
orang yang berpuasa, Allah swt menyediakan surge yang khusus
yang disebut surge al-Rayyan, sebagaimana diterangkan dalam
sebuah hadis:

Artinya:
“Sesungguhnya di dalam surga ada pintu yang disebut al-
Rayyan, maka dipanggilah pada hari kiamat. Di manakah orang-
orang yang berpuasa.”, apabila mereka telah masuk, pintu itu
pun ditutup.” (HR. Ibnu Huzaemah)
Keutamaan bulan Ramadhan sangat istimewa, khususnya bagi
orang-orang yang senang beribadat dan menginginkan rahmat dan
ridha Allah swt. Puasa di bulan Ramadhan adalah fardhu’ain bagi
setiap muslim. Hanya orang-orang yang diberikan dispensasi
(rukhsah) yang diperbolehkan meninggalkan kewajiban puasa di
bulan Ramadhan. Selain yang mendapatkan halangan untuk
berpuasa, maka haram hukumnya berbuka puasa pada bulan
Ramadhan.
Penentuan awal bulan Ramadhan merupakan hal yang
terpenting dalam pelaksanaan puasa Ramadhan. Dalam hal ini QS.
Al-Baqarah (2): 185 memberikan petunjuk:

Terjemahannya:
“Dan barang siapa di antara kamu yang melihat bulan, maka
berpuasalah…”
Adapun cara menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan
dapat dilakukan dengan menempuh dua langkah yaitu:
1. Dengan melihat bulan (rukyat)
Bulan yang harus dilihat pada awal dan akhir Ramadhan
adalah bulan sabit kecil bahkan hanya seberkas redup berada
du ufuk (hamper sejajar dengan garis horizon bumi) dan
waktunya hamper bersamaan dengan terbenamnya
matahari, dimana sinar matahari masih kuat, dan
menyulitkan penglihatan. Tentu saja kondisi bulan seperti ini
tidak dapat dilihat oleh setiap orang, melainkan hanya orang-
orang yang pernah belajar ilmu astronomi (ilmu falak) saja
yang bisa mengetahui.
2. Dengan perhitungan matematis (hisab)
Dalam ilmu astronomi diketahui bahwa anggota planet bima
sakti mengelilingi matahari termasuk bumi. Bulan sebagai
anggota bima sakti, selain mengelilingi matahari, juga
mengelilingi bumi. Proses mengelilingi matahari juga
mengelilingi bumi. Proses mengelilingi ini membentuk pola-
pola tertentu yang teratur dalam disiplin ilmu astronomi
disebut garis edar (manazil). Garis edar bumi terhadap
matahari dan bulan terhadap bumi ini dapat ditentukan
melalui hitungan dengan perangkat ilmu hisab ini, dapatlah
ditentukan awal waktu shalat dan awal akhir dari
pelaksanaan Ramadhan.
Lazimnya, di Indonesia umat islam masih terjebak pada
perbedaan mana yang lebih penting dan menentukan dalam
penentuan awal dan akhir Ramadhan ini. Apakah hisab lebih utama
disbanding rukyat atau sebaliknya? Padahal, kedua metode ini
sama-sama penting, dan saling melengkapi. Bersyukurlah, negara
ini mempunyai satu lembaga yang disebut Kementrian Agama yang
telah membentuk suatu lembaga khusus menangani persoalan ini,
yang disebut lembaga Hisab Rukyat. Di situ terhimpun sejumlah ahli
yang merupakan perwakilan dari seluruh organisasi masyarakat
islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Perti, dan lain-lain. Oleh
karena itu, ketika terjadi silang pendapat dalam menetukan awal
dan akhir Ramadhan yang paling aman adalah berpegang pada
ketetapan yang kuat tersebut.

B. Macam-macam Puasa
Puasa bila ditinjau dari segi pelaksanaan hukumnya dibedakan
atas:
1. Puasa wajib yang meliputi puasa bulan Ramadhan, puasa
Kifarat, puasa Nazar dan puasa Qadha.
2. Puasa sunat atau puasa tathawu yang meliputi puasa enam
hari bulan syawal, puasa senin kamis, puasa hari arafah
(tanggal 9 Zulhijjah), kecuali bagi orang yang sedang
melaksanakan ibadah haji tidak disunatkan, puasa hari Syura
(10 Muharram), puasa bulan Syaban, puasa tengah bulan
(tanggal 13, 14, 15 bulan Qamariah).
3. Puasa makruh, yaitu puasa yang dilakukan terus menerus
sepanjang masa kecuali bulan haram. Di samping itu, makruh
puasa pada setiap sabtu saja atau setiap jumat saja.
4. Puasa haram, yaitu haram berpuasa pada waktu-waktu:
 Hari raya Idul Fitri (1 Syawal)
 Hari raya Idul Adha (10 Zulhijjah)
 Hari-hari Tasyri’ (11, 12, dan 13 Zulhijjah)

C. Syarat Wajib Puasa


Para ulama ahli fiqh membedakan syarat-syarat puasa atas
syarat wajib puasa dan syarat sah puasa.
Adapun syarat wajib puasa meliputi:
 Berakal (aqil). Orang yang gila tidak diwajibkan puasa
 Baligh (sampai umur). Oleh karena itu, anak-anak belum
wajib puasa
 Kuat berpuasa (Qadir). Orang yang tidak kuat berpuasa,
baik karena tua atau sakit yang tidak dapat diharapkan
kesembuhannya, tidak diwajibkan atasnya puasa, tapi
wajib bayar fidyah.

Adapun syarat sah puasa, meliputi:

 Islam. Orang yang bukan islam (kafir) tidak sah puasanya,


demikian pula orang yang murtad.
 Mumayiz (mengerti dan mampu membedakan yang baik
dengan yang tidak baik).
 Suci dari darah haid, nifas dan wiladah. Wanita diwajibkan
puasa selama mereka tidak haid. Jika mereka haid, maka
tidak wajib puasa pada bulan Ramadhan tetapi diwajibkan
mengerjakan qadha sebanyak puasa yang ditinggalkan
setelah selesai bulan puasa. Nifas dan wiladah disamakan
dengan haid. Bedanya, bila sang ibu itu menyusui anaknya
ia boleh membayar fidyah. Disinilah letak perbedaan
antara meninggalkan shalat dan meninggalakan puasa
bagi orang yang sedang haid. Pada shalat, orang yang haid
lepas sama sekali kewajiban shalat, sedangkan pada
puasa tidak lepas, tetapi ditunda untuk dibayar (di qadha)
pada waktu yang lain.
 Dikerjakan dalam waktu/hari yang dibolehkan puasa.

D. Rukun Puasa
Rukun puasa meliputi:
1. Niat
Kedudukan niat dalam ajaran islam penting sekali, karena
menyangkut dengan kemauan. Hadis Rasulullah saw. Yang
diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan:

Artinya:
“Sesungguhnya segala amal perbuatan tergantung kepada
niat, dan setiap manusia hanya memperoleh menurut apa
yang diniatkannya.”
Pada fuqaha berpandapat bahwa niat adalah elemen
pokok yang menentukan sebuah ibadah. Niat puasa adalah
bagian dari puasa itu. Puasa dianggap sah apabila diniatkan
untuk melakukannya karena Allah swt setiap pekerjaan atau
ibadah harus didasarkan kepada niat.
Niat adalah pekerjaan hati dan oleh karenanya dilakukan
dengan hati, melafalkan niat dengan ucapan hukumnya
adalah sunat. Niat yang baik adalah melakukan sesuatu
karena Allah swt olehnya itu amal yang dilakukan bukan
karena Allah swt. Akan ditolak. Adapun waktu niat puasa
adalah ketika malam hari. Akan tetapi, yang lebih utama
adalah setelah makan sahur menjelang terbinya fajar. Namun
untuk menjaga supaya tidak terlupakan, maka niat puasa itu
boleh dilakukan setelah buka puasa, setelah tarawih atau
sebelum tidur malam.
2. Menahan diri dari makan dan minum dan hal-hal yang
membatalkan puasa
Makan dan minum harus ditinggalkan apabila sedang
berpuasa. Demikian pula dengan hal-hal yang dapat
membatalkan puasa dan mengurangi pahala puasa yang
harus ditinggalkan. Allah swt. Berfirman dalam QS. Al-
Baqarah (2): 187:

Terjemahannya:
“ Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”

E. Halangan Puasa
Pada prinsipnya puasa merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh setiap orang islam. Namun, syariat islam
menetapkan kebolehan atau keringanan dan pengecualian
(rukhsa) untuk meninggalkan puasa bagi orang-orang tertentu
serta dalam kondisi tertentu.
1. Orang sakit
Orang sakit diberikan keringanan untuk tidak melakukan
puasa. Ini karena apabila dipaksakan tetap berpuasa, maka
sakitnya akan bertambah parah dan memperlambat proses
penyembuhan. Allah swt. Mengingatkan dalam QS. Al-
Baqarah (2): 185:

Terjemahannya:
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak ,menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.”
2. Sedang dalam perjalanan
Orang yang sedang melakukan perjalan diberikan keringanan
untuk tidak melaksanakan puasa, namun melaksanakan
puasa dalam perjalanan, apabila memungkinkan untuk
berpuasa adalah lebih baik. Perjalanan yang mendapatkan
dispensasi menurut para ulama adalah perjalanan jauh yang
cukup melelahkan. Mereka menentukan bahwa jarak yang
sudah mendapatkan dispensasi untuk tidak berpuasa adalah
80,64 km lebih. Kendatipun demikian, jika mampu maka
tetap melangsungkan puasa lebih utama.
3. Orang tua yang lemah
Orang tua yang lemah dan tidak kuat lagi untuk berpuasa
atau orang yang memang lemah keadaannya, bukan karena
tua, maupun orang sakit yang sudah lama menahun, maka
boleh meninggalkan puasa, dan satu setiap kali meninggalkan
puasa, harus membayar fidyah, yaitu dengan cara
menyerahkan beras atau makanan pokok yang
mengenyangkan, sekiranya cukup untuk dimakan sehari
dengan tanpa harus menqadha puasanya.
Fidyah diberikan kepada fakir miskin. Adapun jumlahnya
adalah sebanyak kelaziman kebutuhan makan dia dalam
sehari. Para ulama menyebutkan dengan ukuran satu mud
atau ¾ liter. Adapun dalilnya adalah firman Allah swt dalam
QS. Al-Baqarah (2): 184:

Terjemahannya
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak puasa) membayar fidyah, (yaitu): member
makan seorang miskin.”
4. Ibu hamil dan menyusui
Perempuan yang sedang hamil atau sedang menyusui diberi
kemudahan dan keringanan oleh Allah swt untuk
meninggalkan kewajiban puasa. Puasa yang ditinggalkan itu
boleh dibayar dengan fidyah.

F. Batalnya puasa
Adapu perkara yang dapat membatalkan puasa sehingga wajib
mengganti (menqadha) jika melakukannya adalah:
1. Makan dan minum
Sebagaimana dijelaskan oleh Allah swt, dalam QS. Al-Baqarah
(2) 187:

Terjemahannya:
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam.
Apabila makan dan minum dilakukan dalam keadaan lupa,
maka puasanya tidak batal dan Nabi menyuruh untuk
menyempurnakan (melanjutkan) puasanya.
2. Muntah dengan sengaja
Muntah yang tidak disengaja seperti mabuk dalam
perjalanan dan lain-lainnya tidak membatalkan puasa.
Muntah yang disengaja adalah suatu perbuatan yang dapat
menyebabkan dirinya muntah seperti merogoh/menyolok
tenggorokannya sendiri atau dengan sengaja mencium
sesuatu yang bau yang dapat menyebabkan keluarnya
muntah. Dasar hukumnya adalah hadis Rasulullah saw.
Artinya:
“Barang siapa terpaksa muntah, tidaklah wajib mengqadha
puasanya, dan barang siapa yang mengusahakan muntah
dengan sengaja maka hendaklah ia mengqadha puasanya.”
3. Haid dan nifas
Perempuan yang sedang haid dan nifas diharamkan
melakukan puasa, meskipun hanya beberapa saat lagi
menjelang buka puasa.
4. Keluar mani
Keluar mani yang dimaksud di sini adalah keluar mani baik
akibat pandangan atau berkhayal tentang sesuatu yang
erotis, atau sengaja dikeluarkan (mastrubasi) membatalkan
puasa.
5. Gila
Orang gila pada siang ahri membatalkan puasa.
6. Batal niat
Batal niat puasa menyebabkan batalnya puasa, meskipun
tidak ada hal lain yang membatalkan sebagimana sabda Nabi
saw yang artinya: “sesungguhnya amal perbuatan itu
tergantung pada niatnya, dan tiap orang hanya akan
mendapat apa yang ia niatkan.” (HR. Mutafaq). Batal niat
mungkin karena ada kehendak untuk membatalakan puasa.
Dengan demikian batal pula puasanya, misalnya ada
kehendak untuk makan dan minum dalam perjalanan.
7. Bersetubuh pada siang hari
Suami istri yang melakukan persetubuhan pada siang hari
ketika puasa bukan saja membatalkan puasa, tetapi juga
dikenakan membayar kifarat puasa. Kifarat adalah sanksi
atau hukuman. Hukuman bagi pelaku persetubuhan pada
siang hari di bulan puasa adalah:
 Memerdekakan hamba sahaya
 Berpuasa dua bulan berturut-turut
 Bersedekah kepada 60 orang fakir miskin dengan
makanan yang mengenyangkan pada hari itu.

G. Sunat puasa
Sunat puasa adalah amalan-amalan utama yang dicontohkan
oleh Nabi yang dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa.
Adapun sunat puasa adalah:
1. Menyegarkan berbuka
Apabila telah tiba waktu berbuka puasa, yaitu terbenamnya
matahari, maka hendaklah segara berbuka puasa. Rasulullah
saw bersabda yang artinya: “Manusia senantiasa dalam
kebaikan selama mereka menyegarkan berbuka puasa.” (HR.
Bukhari Muslim)
2. Berbuka dengan kurma
Sekiranya memungkinkan hendaklah berbuka puasa dengan
kurma dan segelas air, sebagaimana kebiasaan Nabi
Muhammad saw.
3. Berbuka sebelum shalat magrib
Sebagaimana diterangkan dalam hadis Rasulullah saw bahwa
Rasulullah ketika tiba magrib beliau segera berbuka dengan
memakan kurma dan minum segelas air kemudian
melaksanakan shalat magrib, tidak langsung makan.
4. Berdoa waktu buka puasa
5. Bersahur
Bersahur adalah makan tengah malam atau menjelang terbit
fajar. Rasulullah saw, menganjurkan untuk makan sahur
karena dalam sahur ada keberkahan, sebagimana sabda
rasulullah saw: yang artinya: “Bersahurlah, sesungguhnya di
dalam bersahur itu terdapat berkah.” Adapun pelaksanaan
sahur yang baik adalah dengan cara mengkhirkannya,
maksudnya, mengundurkan hingga mendekati terbitnya
fajar.
6. Memberikan makanan untuk berbuka
Pada bulan Ramadhan disunatkan untuk memberikan
hidangan berbuka kepada orang yang berpuasa, sebagimana
sabda Rasulullah saw: “Barang siapa member makanan untuk
berbuka bagi orang yang berpuasa itu dengan tidak
mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa.” (HR.
Turmudziy)
7. Memperbanyak sedekah
8. Tadarrus
Tadarrus adalah mengaji dan mengkaji alquran. Hal ini
karena alquran diturunkan pada Bulan Ramadhan untuk kali
pertamanya kepada Nabi Muhammad saw, selain itu, setiap
amalan juga akan dilipatgandakan. Kemudian pada bulan
Ramadhan, Jibril mereview hafalan Alquran yang telah
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu,
sangat wajar jika kedua ibadah ini dapat memberikan syafaat
bagi yang melakukannya.
9. Beri’tikaf
Secara bahasa i’tikaf berarti mengurung diri. Sedangkan
menurut syara’ adalah berdiam diri di dalam mesjid sebagai
wujud ketaatan kepada Allah swt, dengan melakukan ibadah
baik yang wajib maupun yang sunat. I’tikaf merupakan
kesempatan untuk meningkatkan pengabdian dan ketaatan
serta permohonan doa dan ibadah lainnya untuk
mendaptkan keridhaan Allah swt.
Sebetulnya setiap saat dapat saja dilakukan I’tikaf. Namun
secara khusus, Nabi Muhammad melakukannya secara
kontinyu pada sepuluh hari terakhir pada bula Ramadhan.
10. Shalat tarawih
Shalat tarawih merupakan qiyamul lail (shalat malam), dan
melaksanakan shalat tarawih hukumnnya sunat. Hal ini juga
sebagai upaya menghidupkan hari-hari dan malam-malam
Bulan Ramadhan.

H. Puasa-puasa Sunat
Selain puasa yang diwajibkan bagi umat islam dalam bulan
Ramadhan, juga disyariatkan puasa-puasa sunnah untuk
mendulang pahala pada bulan-bulan selainnya. Berikut adalah
jenis-jenis puasa sunnah dalam satu tahun:
Puasa 6 hari dibulan Syawwal
Puasa senin dan kamis
Puasa Nabi Daud a.s
Puasa tiga hari dalam sebulan
Puasa arafah
Puasa dibulan Muharram, khususnya pada hari Asyura (10
muharram)
Puasa dibulan Sya’ban

I. Hikmah Puasa
Hikmah puasa tersebut sangat banyak baik untuk kepentingan
pribadi maupun untuk kepentingan umat (masyarakat) pada
umumnya. Di antara hikmah-hikmah tersebut yang terpenting dan
mampu dijangkau oleh akal pikiran manusia sampai saat ini antara
lain:
1. Memelihara kesehatan jasmani (Badaniyah)
Dengan kita berpuasa maka seperti ibarat sebuah mesin,
organ-organ pencernaan tersebut diservis dan dibersihkan,
sehinggah setelah menjalankan ibadah puasa di bulan
Ramadhan Insya Allah kita menjadi sehat baik secara jasmani
maupun secara rohani. Hal ini memang sudah disabdkan oleh
Rasulullah saw dalam satu hadistnya yang diriwayatkan oleh
Ibnu Suny dan Abu Nu’aim, dari Abu Hurairah, Rasulullah
bersabda: “Berpuasalah maka kamu akan sehat.” (HR. Ibnu
Suny dan Abu Nu’aim). Juga dalam hadist yang lain dari Abu
Hurairah, Rasulullah bersabda: “Bagi tiap-tiap sesuatu itu
ada pembersihnya dan pembersih badan kasar (jasad) ialah
puasa.” (HR. Ibnu Majah)
2. Membersihkan rohani dari sifat-sifat hewani menuju kepada
sifat-sifat malaikat
Hal ini ditandai dengan kemampuan orang berpuasa untuk
meninggalkan sifat-sifat hewani seperti makan, minum
(disiang hari). Mampu menjaga panca indera dari perbuatan-
perbuatan maksiat dan memusatkan pikiran dan perasaan
untuk berzikir kepada Allah (zikrullah). Hal ini merupakan
manifestasi (perwujudan) dari sifat-sifat malaikat, sebab
malaikat merupakan makhluk yang paling dekat dengan
Allah, selalu berzikir kepada Allah, selalu bersih, dan doanya
selalu diterima.
Dengan demikian maka wajarlah bagi orang yang berpuasa
mendaptkan fasilitas dari Allah yaitu dipersamakan dengan
malaikat. Hal ini diperkuat oleh sabda Rasulullah dalam salah
satu hadistnya yang diriwayatkan oleh Turmudzi yaitu:
“Ada tiga golongan yang tidak ditolak doa mereka yaitu
orang yang berpuasa sampai ia berbuka, kepala Negara
yang adil, dan orang yang teraniaya.” (HR. Turmudzi)
3. Menumbuhkan kepekaan sosial
Mengingat dan merasakan penderitaan orang lain merasakan
lapar dan haus juga memberikan pengalaman kepada kita
bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan orang lain.
Sebab pengalaman lapar dan haus yang kita rasakan akan
segera berakhir hanya dengan beberapa jam, sementara
penderitaan orang lain entah yang kapan berakhir. Dari sini,
semestinya puasa akan menumbuhkan dan memantapkan
rasa solidaritas kita kepada kaum muslimin lainnya yang
mengalami penderitaan yang hingga kini masih belum
teratasi, seperti penderitaan saudara-saudara kita di Ambon
atau Maluku, Aceh dan di berbagai wilayah lain di Tanah Air
serta yang terjadi di berbagai belahan dunia lainnya seperti
Irak, Iran, Palestina dan sebagainya.
Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya “Al-Ibadah Fi al-Islam”
mengungkapkan ada lima rahasia puasa yang biasa dirasakan
kenikmatannya:
 Menguatkan Jiwa
Dalam hidup, tak sedikit kita dapati manusia yang
didominasi oleh hawa nafsunya, lalu manusia itu menuruti
apa pun yang menjadi keinginannya meskipun keinginan
itu merupakan sesuatu yang batil dan mengganggu serta
merugikan orang lain. Karenanya, di dalam islam ada
perintah memerangi hawa nafsu dalam arti berusaha
untuk bisa mengendalikannya, bukan membunuh nafsu
yang membuat manusia tidak mempunyai keinginan
terhadap sesuatu yang bersifat duniawi. Dengan ibadah
puasa, maka manusia akan berhasil mengendalikan hawa
nafsunya yang membuat jiwanya menjadi kuat, bahkan
dengan demikan, manusia akan memperoleh derajat yang
tinggi seperti layaknya malaikat yang suci dan ini akan
membuatnya mampu mengetuk dan membuka pintu-
pintu langit hingga segala doa-doanya dikabulkan oleh
Allah swt, Rasulullah saw bersabda yang artinya:
“Ada tiga golongan orang yang tidak ditolak doa-doanya,
mereka orang yang berpuasa hingga berpuasa hingga
berbuka, pemimpin yang adil dan doa orang yang
dizalimi.” (HR. Tirmidzi)
 Mendidik kemauan
Puasa mendidik seseorang untuk memiliki kemauan yang
sungguh-sungguh dalam kebaikan, meskipun untuk
melaksanakan kebaikan itu terhalang oleh berbagai
kandala. Puasa yang baik akan membuat seseorang terus
mempertahankan keinginannya yang baik, meskipun
peluang untuk menyimpang begitu besar. Karena itu,
Rasullulah saw., menyatakan:
“Puasa itu setengah dari kesabaran.”
 Menyehatkan badan
Di samping kesehatan dan kekuatan rohani, puasa yang
baik dan benar juga akan memberikan pengaruh positif
berupa kesehatan jasmani. Hal ini tidak hanya dinyatakan
oleh Rasulullah saw, tetapi juga sudah dibuktikan oleh
para dokter atau ahli-ahli kesehatan dunia yang membuat
kita tidak perlu meragukannya lagi.
4. Mengenal nilai kenikmatan
Dalam hidup ini, sebenarnya sudah begitu banyak
kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia, tapi banyak
pula manusia yang tidak pandai mensyukurinya. Dapat satu
tidak terasa nikmat karena menginginkan dua, dapat dua
tidak terasa nikmat karena menginginkan tiga dan begitulah
seterusnya. Padahal kalau manusia mau memperhatikan dan
menerungi, apa yang diperolehnya sebenarnya sudah sangat
menyenangkan karena begitu banyak orang yang
memperoleh sesuatu tidak lebih banyak atau tidak lebih
mudah dari apa yang kita peroleh.
5. Mengingat dan merasakan penderitaan orang lain
Merasakan lapar dan haus juga memberikan pengalaman
kepada kita bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan
orang lain. Sebab pengalaman lapar dan haus yang kita
rasakan akan segera berakhir hanya dengan beberapa jam,
sementara penderitaan orang lain entah kapan akan
berakhir. Dari sini, semestinya puasa akan menumbuhkan
dan memantapkan rasa solidaritas kepada kaum muslimin
lainnya yang mengalami penderitaan.
Oleh karena itu, sebagai symbol dari rasa solidaritas itu,
sebelum Ramadhan berakhir, kita diwajibkan untuk
menunaikan zakat agar dengan demikian setahap demi
setahap kita bisa mengatasi persoalan-persoalan umat yang
menderita. Bahkan zakat itu tidak hanya lagi bagi
kepentingan orang yang miskin dan menderita, tapi juga bagi
kita yang mengeluarkannya agar dengan demikian, hilang
kekotoran jiwa kita yang berkaitan dengan harta seperti gila
harta, kikir dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai