Anda di halaman 1dari 8

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian

Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il
mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar), artinya menjadi sekutu atau serikat
(Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Pada kata dasarnya boleh dibaca syirkah dan boleh juga
dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah,
dibaca syirkah lebih fasih (afshah).

Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua
bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan
bagian lainnya. Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak
atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh
keuntungan. Lalu bagaimana dengan koperasi atau Sirkah Ta’awuniyah? Dari segi etimologi
kata “koperasi” berasal dan bahasa Inggris yaitu cooperation yang artinya bekerja sama.
Sedangkan dari segi terminologi koperasi ialah suatu perkumpulan atau organisasi yg
beranggotakan orang-orang atau badan hukum yg bekerja sama dengan penuh kesadaran
untuk meningkatkan kesejahteraan anggota atas dasar sukarela secara kekeluargaan.

Sebagian ulama menyebut koperasi dengan syirkah ta’awuniyah (persekutuan tolong


menolong) yaitu sutau perjanjian kerjasama antara dua orang atau lebih, yang satu pihak
menyediakan modal usaha, sedangkan pihak lain melakukan usaha atas dasar profit Sharing
(membagi untung) menurut perjanjian. Dalam koperasi ini terdapat unsur mudharobah
karena satu pihak memiliki modal dan pihak lain melakukan usaha atas modal tersebut.
Mahmud Syaltut berpendapat bahwa didalam syirkah ta’awuniyah tidak mengandung unsur
mudharabah yang dirumuskan para fuqoha. Sebab syirkah ta’awuniyah modal usahanya
adalah dari sejumlah anggota pemegang saham, dan usaha koperasi itu dikelola oleh
pengurus dan karyawan yang dibayar oleh koperasi menurut kedudukan dan fungsinya
masing-masing.

2. Hukum Syirkah

Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), dengan dalil dari Alquran dan As sunnah serta Ijma’,
yaitu:
1. Dasar dari Alqur’an Q.S. Annisa : 12
‫فهم شركاء في الثلث‬
Artinya:
“Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu”.

Dalam ayat tersebut Allah taala menerangkan bahwa saudara seibu jika lebih dari satu
maka mereka bersekutu dalam kepemilikan sepertiga harta warisan (dengan syarat syarat
yang telah ditentukan).

1
2. Dasar dari Hadits Qudsy

‫ففي الحديث القدسي فيما يروى عن أبي هريرة رفعه إلى النبي صلّى هللا عليه وسلم‬
‫ فإذا خانه خرجت‬،‫ «أنا ثالث الشريكين ما لم يخن أحدهما صاحبه‬:‫ إن هللا عز وجل يقول‬:‫قال‬
‫من بينهما» رواه أبو داود‬

Artinya:
“Dalam hadit qudsi, sebagaimana yang diriwayatkan oleh abu huroiroh dari Rasulullah
Shalallhu alaihi wasalam bersabda: sesungguhnya Allah azza wajala berkata : "Aku adalah
pihak ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama
salah seorang diantara mereka tidak berkhianat kepada peseronya. Apabila diantara
mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi)”.

‫ عامل أهل خيبر بشطر ما‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫عن عبد هللا بن عمر أن رسول هللا‬
‫أو ثمر‬.‫خرج منها من زرع رواه مسلم و أبو داود‬

Artinya:
"Rasulullah telah mempekerjakan penduduk Khaibar (orang-orangYahudi) dengan
mendapat bagian dari hasil panen tanaman dan buah.".

3. Dasar dari Ijma’ Ulama’

Adapun para ulama telah berijma’ mengenai bolehnya berserikat, disebabkan karena
diambilnya kesimpulan dari dalil-dalil diatas yang membolehkan diadakannya syirkah
namun harus memenuhi syarat dan rukunnya terlebih dahulu.

3. Rukun dan Syarat Syirkah

RUKUN Syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Rukun
syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:

1. Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat.


2. Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah)
melakukan tasharruf (pengelolaan harta).
3. Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan
(amal) dan modal (mal).

Menurut ulama Hanafiah, rukun syirkah hanya ijab dan qabul atau serah terima.
Sedangkan orang yang berakad dan obyek akad bukan termasuk rukun, tapi syarat. Dan
menurut jumhur ulama, rukun syirkah meliputi shighat (lafaz) ijab dan qabul, kedua orang
yang berakad, dan obyek akad.

2
SYARAT Syirkah merupakan perkara penting yang harus ada sebelum dilaksanakan
syirkah. Syarat tidak terwujud, maka akad syirkah itu batal. Adapun syarat sah akad ada 2
(dua) yaitu:

1. Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan


melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli.
2. Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi
hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha).

4. Macam-Macam Syirkah dan Sistem Syari’ah yang Diterapkan

Syirkah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1. SYIRKAH AL-AMLAK

Menurut Sayyid Sabiq, syirkah al-amlak adalah bila lebih dari satu orang
memiliki suatu jenis barang tanpa didahului aqad, baik bersifat ikhtiari atau jabari.
Syirkah al-amlak terbagi dua:

 Ikhtiari (perserikatan yang dilandasi pilihan orang yang berserikat), yaitu


perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat,
seperti dua orang sepakat membeli suatu barang, atau mereka menerima
harta hibah secara berserikat. Maka barang atau harta tersebut menjadi
harta serikat bagi mereka berdua.

 Jabari (perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan


orang yang berserikat), seperti harta warisan, menjadi milik bersama
orang-orang yang berhak menerima warisan.
Status harta dalam syirkah al-amlak adalah sesuai hak masing-masing, bersifat
mandiri secara hukum. Jika masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta
serikat itu, harus ada izin dari mitranya. Hukum yang terkait dengan syirkah al-
amlak dibahas secara luas dalam bab wasiat, waris, hibah dan wakaf.

2. SYIRKAH AL-‘UQUD

Akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam
perserikatan modal dan keuntungannya. Syirkah al-‘uqud terbagi lima:

 Syirkah al-‘inan (‫ان‬CC‫ركة العن‬CC‫)ش‬, yaitu perserikatan dalam modal (harta)


antara dua orang atau lebih, yang tidak harus sama jumlahnya.
Keuntungan dan kerugian dibagi dua sesuai prosentase yang telah
disepakati. Sedangkan kerugian menjadi tanggung jawab orang-orang
yang berserikat sesuai dengan prosentase penyertaan modal/saham
masing-masing. Para ulama sepakat, hukumnya boleh.

 Syirkah Abdan/A’mal, perserikatan yang dilakukan oleh dua pihak untuk


menerima suatu pekerjaan, seperti kerjasama seprofesi antara dua orang
arsitek atau tukang kayu dan pandai besi untuk menggarap sebuah proyek.
Hasil atau imbalan yang diterima dibagi bersama sesuai kesepakatan.

3
Menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah hukumnya
boleh. Ulama Malikiyah mengajukan syarat, yaitu bahwa kerja yang
dilakukan harus sejenis, satu tempat, serta hasil yang diperoleh dibagi
menurut kuantitas kerja masing-masing. Menurut ulama Syafi’iyah, Syi’ah
Imamiyah, perserikatan seperti ini hukumnya tidak sah, karena yang
menjadi obyek perserikatan adalah harta/modal, bukan kerja, disamping
pula, kerja seperti ini tidak dapat diukur, sehingga dapat menimbulkan
penipuan yang membawa kepada perselisihan.

 Syirkah al-Mudharabah, persetujuan antara pemilik modal dengan


pengelola untuk mengelola uang dalam bentuk usaha tertentu,
keuntungannya dibagi sesuai kesepakatan bersama, sedangkan kerugian
menjadi tanggungan pemilik modal saja.

 Syirkah Wujuh, serikat yang dilakukan dua orang atau lebih yang tidak
punya modal sama sekali, dan mereka melakukan suatu pembelian dengan
kredit serta menjualnya dengan harga tunai; sedangkan keuntungannya
dibagi bersama. Mirip seperti kerja makelar barang, bukan makelar kasus
(markus). Ulama Hanafiah, Hanabilah dan Zaidiyah menyatakan
hukumnya boleh, karena masing-masing pihak bertindak sebagai wakil
dari pihak lain, sehingga pihak lain itupun terikat pada transaksi yang
dilakukan mitra serikatnya. Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah
menyatakan tidak sah dan tidak dibolehkan, karena modal dan kerja dalam
perserikatan ini tidak jelas.

 Syirkah Mufawadhah, perserikatan dua orang atau lebih pada suatu


obyek, dengan syarat masing-masing pihak memasukkan modal yang
sama jumlahnya, serta melakukan tindakan hukum (kerja) yang sama pula.
Jika mendapat keuntungan dibagi rata, dan jika berbeda tidak sah. Masing-
masing pihak hanya boleh melakukan transaksi jika mendapat persetujuan
dari pihak lain (sebagai wakilnya), jika tidak, maka transaksi itu tidak sah.
Ulama Hanafiah dan Zaidiyah menyatakan bentuk perserikatan seperti ini
dibolehkan. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak
boleh, karena sulit untuk menentukan prinsip kesamaan modal, kerja dan
keuntungan dalam perserikatan itu, disamping tidak ada satu dalilpun yang
shahih yang bisa dijadikan dasar hukum. Tetapi mereka membolehkan
Mufawadhah seperti pandangan Malikiyah, yaitu boleh mufawadhah jika
masing-masing pihak yang berserikat dapat bertindak hukum secara
mutlak dan mandiri terhadap modal kerja, tanpa minta izin dan
musyawarah dengan mitra serikatnya.

4
5. Sistem Koperasi di Indonesia

1. Bentuk-bentuk Koperasi di Indonesia

Koperasi dapat dilihat dari dua segi, pertama dari segi bidang usahanya dan yang
kedua dipandang dari segi tujuannya.
Dari segi usahanya, koperasi dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

 Koperasi Yang Berusaha Tunggal (single purpose), yaitu koperasi yang


hanya menjalankan satu bidang usaha, seperti koperasi yang hanya berusaha
dalam bidang konsumsi, bidang kredit atau bidang produksi.

 Koperasi Serba Usaha, koperasi yang berusaha dalam berbagai bidang,


seperti koperasi yang melakukan pembelian dan penjualan.

Dari segi tujuannya, koperasi dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

 Koperasi Produksi, koperasi yang mengurus pembuatan barang-barang


yang bahan-bahannya dihasilkan oleh anggota koperasi.
 Koperasi Konsumsi, yaitu koperasi yang mengurus pembelian barang-
barang guna memenuhi kebutuhan anggotanya.
 Koperasi Kredit, yaitu koperasi yang memberikan pertolongan kepada
angota-anggotanya yang membutuhkan modal.

6. Istimbath Hukum Terhadap Sistem Koperasi di Indonesia


Mengenal status hukum berkoperasi bagi umat islam disandarkan pada kenyataan,
bahwa koperasi merupakan lembaga ekonomi yang dibangun oleh pemikiran barat, lepas
dari ajaran dan kultur islam. Artinya bahwa Al Qur’an dan Hadits tidak menyebutkan dan
tidak pula dilakukan orang pada zaman nabi. Kehadirannya di beberapa negara Islam
mengundang para ahli untuk menyoroti kedudukan hukumnya dalam Islam.

Asnawi Hasan memberikan hukum wajib setelah melihat ada kesesuaian diantaranya
pada bidang etis. Khalid Abdurrahman Ahmad, penulis buku al-Tafkir Al-Iqtishadi fi Al-
Islam (pemikir-pemikir ekonomi islam) berbeda pendapat dengan Asnawi Hasan, ia
berpendapat bahwa haram berkoperasi bagi umat islam, ia juga mengharamkan harta
yang diperoleh dari koperasi. Argumentasinya dalam mengharamkan koperasi ialah:

1. Disebabkan karena prinsip-prinsip keorganisasian yang tidak memenuhi syarat-


syarat yang ditetapkan syari’ah. Diantaranya yang dipersoalkan adalah
persyaratan anggota yang harus terdiri dari satu jenis golongan saja yang
dianggap akan membentuk kelompok-kelompok yang eksklusif.

2. Mengenai ketentuan-ketentuan pembagian keuntungan yang dilihat dari segi


pembelian atau penjualan di koperasi. Cara tersebut dianggap menyimpang dari
ajaran islam, karena menurut bentuk kerjasama dalam islam hanya mengenal
pembagian keuntungan atas dasar modal, atas jerih payah atau atas dasar
keduanya.

3. Didasarkan pada penilaiannya mengenai tujuan utama pembentukan koperasi


dengan persyaratan anggota dari golongan ekonomi lemah yang dianggapnya

5
hanya bermaksud untuk menentramkan mereka dan membatasi keinginannya serta
untuk mempermainkan mereka dengan ucapan-ucapan atau teori-teori yang utopia
(angan-angan/khayalan).

Pendapat tersebut belum menjadi kesepakatan/ijma para ulama. Sebagai bagian


bahasan yang bermaksud membuka spektrum hukum berkoporasi, maka selain melihat
segi-segi etis hukum berkoperasi dapat dipertimbangkan dari kaidah penetapan hukum,
ushul al-fiqh yang lain. Telah diketahui bahwa hukum Islam mengizinkan kepentingan
masyarakat atau kesejahleraan bersama melalui prinsip ishtishlah atau al-maslahah. Ini
berarti bahwa ekonomi Islam harus memberi prioritas pada kesejahleraan rakyat bersama
yang merupakan kepentingan masyarakat. Dengan menyoroti fungsi koperasi di
antaranya:

1. Sebagai alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat, dan

2. Alat pendemokrasian ekonomi nasional, dalam bentuk kegiatan-kegiatan sosial


yang dilakukan secara gotong royong atau dalam bentuk sumbangan berupa uang
yang berasal dari bagian laba koperasi yang disisihkan untuk tujuan-tujuan sosial.

Dengan demikian bahwa prinsip ishtishlah dipenuhi di sini dipenuhi oleh koperasi.
Demikian juga halnya, jika dilihat dari prinsip istihsan (metode preferensi). Menyoroti
koperasi menurut metode ini paling tidak dapat dilihat pada tingkat makro maupun mikro.
Tingkat makro berarti mempertimbangkan koperasi sebagai sistem ekonomi yang lebih
dekat dengan Islam dibanding kapitalisme dan sosialisme. Pada tingkat mikro berarti
dengan melihat terpenuhi prinsip.

hubungan sosial secara saling menyukai yang dicerninkan pada prinsip keanggotaan
terbuka dan sukarela, prinsip mementingkan pelayanan anggota dan prinsip solidaritas.

Dengan pendekatan kaidah istislah dan istihsan diatas, telah dapat diterangkan
dukungan islam terhadap koperasi. Hal ini desebutkan banyak segi-segi falsafah, etis dan
manajerial yang menunjukan keselarasan, kesesuaian dan kebaikan koperasi. Hasil
istimbath ini tidak sampai kepada wajib sebagaimana dikemukakan olah Khalid
Abdurrahman Ahmad.

Jika demikian halnya, lantas bagaimana hukum berkoperasi? Kembali pada sifat
koperasi sebagai praktek  muamalah, maka dapat ditetapkan hukum koperasi adalah
sesuai dengan ciri dan sifat-sifat koperasi itu sendiri dalam menjalankan roda
kegiatannya. Karena dalam kenyataannya, koperasi itu berbeda-beda substansi model
pergerakannya. Misalnya koperasi simpan pinjam berbeda dengan koperasi yang bergerak
dalam bidang usaha perdagangan dan jasa lainnya. Koperasi simpan pinjam bahkan
banyak yang lebih tinggi bunga yang ditetapkannya bagi para peminjam daripada bunga
yang ditetapkan oleh bank-bank konvensional. Tentunya hal seperti ini tidak diragukan
lagi adalah termasuk riba yang diharamkan. Adapun koperasi semacam kumpulan orang
yang mengusahakan modal bersama untuk suatu usaha perdagangan atau jasa yang
dikelola bersama dan hasil keuntungan dibagi bersama, selagi perdagangan atau jasa itu
layak dan tidak berlebihan di dalam mengambil keuntungan, maka dibolehkan, apalagi
jika keberadaan koperasi itu memudahkan dan meringankan bagi kepentingan masyarakat
yang bersangkutan. Dengan demikian dapat ditetapkan hukum koperasi adalah mubah
yang berarti di bolehkan jika sistemnya tidak keluar atau melenceng dari syari’at yang
telah ditentukan oleh ajaran Islam.

Oleh karena itu hukum koperasi harus dicari atas dasar ijtihad dengan pendekatan
induktif. Hal ini dapat dipahami melalui banyaknya ayat Al-Qur’an dan hadits yang
bersifat juz’iyat (parsial), baik yang bersifat filosofis, etis dan petunjuk-petunjuk praktis

6
dalam bertingkah laku sehari-hari Yang dapat mendasari segi-segi yang luas dari
koperasi. Juga terdapat tardisi pada zaman sahabat yang memberi gambaran ada
kesesuaian dengan prinsip-prinsip koperasi. Secara keseluruhan, memberikan pengertian
bahwa koperasi merupakan bentuk usaha yang islamis. Induksi ini juga direkomendir
oleh pertimbangan-pertimbangan atas dasar metode penetapan hokum al-Maslahah atau
istislah dan istihsan, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.

Dari keterangan diatas, disimpulkan bahwa penetapan hukum koperasi sebagai hal
yang mubah, pada khusunya melihat koperasi sebagai praktek muamalah, yang mengatur
hubungan-hubungan kemasyarakatan, adalah mubah atau dibolehkan selain hal-hal yang
secara tegas dilarang oleh agama. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-maidah ayat 2:

Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa
dan janganlah tolonng menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”.

Berdasarkan ayat Al-Qur’an diatas dapat dipahami bahwa menolong dalam kebajikan
dan dalam ketakwaan dianjurkan oleh Allah. Koperasi merupakan salah satu bentuk
tolong menolong, kerjasama dan saling menutupi kebutuhan. Dan itu adalah salah satu
wasilah untuk mencapai ketakwaan yang sempurna (haqa tuqatih).

Adapun salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Ahmad
dari Anas Bin Malik r.a berkata bahwa Rasullullah SAW bersabda:

Artinya:

“Tolonglah saudaramu yang menganiaya dan yang aniaya dan yang dianiaya,
sahabat bertanya: Ya Rasulullah aku dapat menolong orang yang dianiaya, tapi
bagaimana menolong yang menganiaya? Rasul menjawab: Kamu tahan dan
mencegahnya dari menganiaya itulah arti menolong daripadanya”.

Hadits tersebut dapat dipahami lebih luas, yaitu umat islam dianjurkan untuk
menolong orang-orang yang ekonominnya lemah (miskin) dengan cara berkoperasi dan
menolong orang-orang kaya jangan sampai menghisap darah orang-orang miskin, seperti
dengan cara memainkan harga, menimbun barang, membungakan uang dan cara yang
lainnya.

Di indonesia, pendapat hukum wajib berkoperasi bagi umat islam juga belum diterima,
argumentasinya yaitu:

1. Konsultasi mengakui ada tiga bangun usaha, jadi koperasi memang salah satu
bangun usaha selain swasta dan BUMN sekalipun terdapat arah koperasi
dijadikan soko guru perekonomian nasional.

2. Sumber-sumber ekonomi bagi umat islam terbentang luas. Umat islam dapat
mencari nafkah diluar keterkaitannya dengan badan-badan usaha, misalnya
melalui berkoperasi atau menjual jasa.

3. Sejak semula koperasi memerlukan kesukarelaan.

Secara kelembagaan koperasi masih terbatas jangkauannya sehingga belum selalu


mudah bagi rakyat umunya untuk berkoperasi.

Fakta syirkah koperasi tidak termasuk syirkah yang dibolehkan berdasarkan


kesepakatan pendapat ulama mazhab di atas karena tidak memenuhi salah satu bentuk

7
syirkah yang telah dibolehkan oleh syara’. Selain itu koperasi tidak memenuhi syarat-
syarat sah hukum syirkah dalam islam, yaitu:

1. Koperasi hanyalah kumpulan modal saja. Tidak ada orang/badan yang bertindak
sebagai pengelola. Yang ada hanyalah kesepakatan untuk menyerahkan modal
sejumlah nilai tertentu saja. Biasanya ada yang namanya simpanan pokok,
simpanan wajib, simpanan sukarela. Setelah mereka menyerahkan simpanan
tersebut, maka mereka bisa bergabung menjadi anggota. Kemudian mereka
membentuk kepengurusan yang bertugas mengelola koperasi tersebut. Pengurus
tidak selalu yang menjalankan kegiatan koperasi sehari-hari. Pengurus bisa
menggaji beberapa pegawai untuk menjalankan koperasi. Gaji pegawai ini
menjadi salah satu unsur biaya di dalam koperasi. Jelaslah bahwa koperasi tidak
bisa mewujudkan perseroan yang sah menurut syara’.

2. Pembagian laba koperasi berdasarkan hasil pembelian atau produksi. Padahal


dalam sistem Islam, pembagian laba berdasarkan modal atau kerja.

Selama bentuk syirkah koperasi masih menggunakan prinsip tersebut maka bentuk
syirkahnya adalah batal, walaupun tujuannya adalah untuk kebaikan dan tidak mengandung
bunga. Dalam Islam tujuan baik tidak menghalalkan segala cara sehingga jika caranya batil
maka hasil dari cara itu adalah batil. Wallahu A’lam bishowwa.

Terakhir kami ingatkan kembali sebuah firman Allah SWT Q.S. ayat 24:

Artinya:

“Dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka


berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal
shaleh; dan amat sedikitlah mereka itu.”

Anda mungkin juga menyukai