Anda di halaman 1dari 7

Wanita Dibalik Layar

By Miftahus Sa’adah

Semilir angin malam menyelinap melalui jendela yang dibiarkan setengah terbuka. Wanita
itu terus menerus memandangi pantulan dirinya di depan cermin. Hari ini hari ulang tahun
suaminya, Ia ingin tampil cantik agar suaminya senang ketika sampai di rumah. Ia bahkan
memesan kue kesukaan suaminya, tiramisu ukuran besar berlapis emas. Sekali lagi wanita
itu memoles lipstick merah pada bibirnya yang seksi, merapikan rambut, dan ritual terakhir
adalah menyemprotkan parfum mahal kesukaannya.

Jarum pendek pada jam dinding menunjukan angka sepuluh, namun tidak ada tanda
suaminya akan pulang. Ah, mungkin saja jalan sedang macet atau mungkin suaminya tadi
mampir ke salah satu toko bunga hanya demi membelikan dirinya setangkai mawar biru.
Wanita itu bahkan belum selesai memikirkan alasan mengapa suaminya terlambat pulang
ketika layar telfon genggamnya menunjukan notifikasi pesan bahwa suaminya tidak akan
pulang malam ini. Suaminya beralasan bahwa Ia terlalu lelah untuk membawa mobil
semalam ini karena banyaknya pekerjaan di perusahaan sehingga suaminya memutuskan
akan menginap saja disalah satu hotel dekat perusahaan.

Wajah wanita yang semula terlihat senang sekarang berubah menjadi merah padam.
Bagaimana mungkin suaminya berani menyia-nyiakan usahanya seharian ini. Suaminya
memang sering kali tidak pulang ke rumah, namun Ia tidak dapat memakluminya malam ini.
Ia kembali menatap pantulan wajahnya kemudian tersenyum sarkas. Suaminya pasti sedang
bersenang-senang dengan wanita lain, batinnya.

Wanita itu memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi dijalan yang lenggang. Tidak
peduli jika akan terjadi hal buruk padanya, Ia hanya ingin memastikan apakah dugaannya
benar atau tidak. Perjalanan yang harusnya memakan waktu sejam dapat Ia tempuh hanya
dengan waktu 20 menit. Sesampainya di hotel Ia segera menanyakan nomor kamar
suaminya. Resepsionis hotel yang sudah mengenalnya tidak curiga dengan apa yang terjadi,
toh mereka juga suami istri. Resepsionis hotel memberikan kartu cadangan kepada wanita
itu.

Wanita itu bergegas menaiki lift menuju kamar suaminya. Segera menempelkan kartu
pada gagang pintu. Matanya terbelalak, otaknya tak sanggup mencerna apa yang sedang Ia
lihat dengan kedua bola matanya sendiri. Suaminya, sedang bercinta dengan laki laki yang
tak lain dan tak bukan adalah sahabatnya sendiri. Wanita itu membekap mulutnya sendiri,
tak ingin berteriak. Ia cepat-cepat menutup pintu dan berlari menuju lift, seluruh badannya
gemetar bagai disambar petir disiang bolong.

Suaminya kaget mendengar suara pintu yang terbuka. Namun karena pencahayaan yang
kurang, Ia mengira itu hanyalah petugas kebersihan yang salah masuk kamar. Jam segini
apakah masih ada petugas kebersihan? Ah, siapapun itu Ia tidak ambil pusing. Yang jelas,
mereka sangat bersenang-senang malam itu.

Wanita itu menuju parkiran dengan langkah lunglai. Tidak, Ia tidak menangis, tidak ada
yang pantas Ia tangisi walau sebenarnya Ia sedang dipeluk oleh kecewa. Bergegas keluar
dari area hotel dan memacu mobilnya dengan kecepatan normal. Ia butuh udara segar malam
ini. Diputarnya lagu-lagu folk dari speaker mobilnya. Ia tidak menyangka hari ini akan
datang juga, Ia merasa terbang. Oh tidak, Ia merasa akan meledak dan puing puing tubuhnya
akan mengapung seperti asteroid sebelum akhirnya menabrak mars.

***

Keesokan pagi, suaminya pulang dengan sebuket mawar biru, mengecup mesra. Rutinitas.
Tidak ada pertengkaran, tidak ada tangisan, semuanya berjalan seperti biasa. Pernikahannya
memang baru seumur jagung, bahkan tidak terdaftar oleh negara. Namun wanita itu sekarang
menganggap laki-laki didepannya hanyalah seonggok patung kayu usang. Ia paham betul
alasan ia menikah laki-laki itu. Uang, kekuasaan, dan kedamaian. Harusnya wanita itulah
yang mendua dari laki-laki tua itu, bukan malah sebaliknya. Terkadang alur hidup menjijikan
seperti ini membuatnya muak.

“Aku akan pergi ke luar kota untuk beberapa saat,” ucap wanita itu

“Mengapa tiba-tiba?Apa ada hal yang sangat penting?,”tanya suaminya

Wanita itu menghela napas.

“Tidak, aku hanya perlu hiburan. Aku akan pergi sendiri, kau tidak perlu ikut,” wanita itu
menjawab pertanyaan suaminya dengan cepat seolah sudah tau apa yang akan ditanyakan
laki-laki itu berikutnya.

***
Wanita itu pergi melakukan hal yang ia sebut dengan menghibur diri selama sebulan. Ia
merasa sangat bahagia ketika memikiran rencana-rencana yang akan ia lakukan ketika pulang
hingga saraf-sarafnya menegang. Setelah berbulan-bulan lamanya, akhirnya Ia memiliki
momentum yang tepat untuk memanjakan dirinya lagi. Ia pikir, setelah menikah ia tidak
akan memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Wanita itu sekarang merasa dirinya seperti
pecandu narkoba yang baru saja mendapat paket sabu setelah menunggu berbulan-bulan
lamanya karena takut akan diciduk oleh aparat atau laksana drakula yang baru saja menyesap
darah dari cawan perak untuk memperpanjang hidupnya, wanita itu merasa hidup kembali.

Wanita itu kembali ke kediamannya dengan senyum bak mawar biru yang tengah mekar,
indah tak terperikan.

“Aku pulang,” kata wanita itu sambil tersenyum.

“Aku rasa liburanmu sangat menyenangkan, kau terlihat jauh lebih bahagia sekarang,”
sambut suaminya penuh mesra.

“Oh ya? Ngomong-ngomong aku membawakan beberapa hal bagus untukmu dan
sahabatku. Bisakah kita melakukan acara makan malam besok? Aku sendiri yang akan
memasak untuk kalian.”

“Tentu saja, apapun untuk ratu cantikku.”

***

Keesokan harinya ketiga orang itu duduk diruang makan. Wanita itu sangat bahagia, Ia
bahkan repot-repot menyiapkan sendiri hidangan dan mengatur meja makan. Ia ingin makan
malam ini berjalan lancar. Tidak ada yang boleh merusak makan malam istimewa ini,
bahkan semut sekalipun tidak.

“Aku memesan pisau khusus ini untukmu Eleana, seperti kesukaanmu,” kata sahabatnya
sambil mengeluarkan pisau mengkilap itu dari sebuah kotak beludru.

Wanita itu mengenakan sarung tangan sebelum menyentuh pisau. Kedua laki-laki di
hadapannya mengerinyit heran.

“Untuk pisau yang spesial, diperlukan perilaku spesial juga bukan, aku tidak akan menyia-
nyiakan pemberianmu,” ucap wanita itu sambil tersenyum simpul.
Wanita itu kemudian mengeluarkan dua buah kotak parfum lalu memberikan satu untuk
sahabatnya dan satu untuk suaminya.

“Aku membelinya sesuai selera kalian masing-masing, cobalah,” katanya sebelum menuju
dapur untuk mengambil segelas limun.

Ketika wanita tadi sedang sibuk dengan limun di dapur, dua laki-laki tadi mencoba
menyemprotkan parfum pemberian si wanita. Tiga kali semprotan, parfum yang sempurna.
Satu, dua, tiga. Dua tubuh itu jatuh terhempas membentur lantai marmer yang mengkilap.

Wajah wanita yang semulanya terkejut, seperdetik kemudian berubah menjadi senyuman.
Ia membopong mereka satu persatu menuju ruang bawah tanah. Pekerjaan yang cukup
menguras tenaga. Dua jam kemudian suaminya sadar, kepalanya terasa berat. Tubuhnya
dalam keadaan terikat.

“Akhirnya kau sadar juga.”

“Eleana apa yang terjadi?,” tanya suaminya heran.

“Eleana? Siapa Eleana? Namaku Alena. Aku sudah muak kau panggil dengan nama itu
tua bangka.”

“A apa maksudmu?”

“Rupanya kau lebih bodoh dari yang aku perkirakan. Apa kau masih ingat keluarga yang
kau bakar hidup-hidup setahun lalu?”

Wajah lelaki itu terkesiap. Bagaimana istrinya dapat mengetahui kejadian tersebut?
Bukankah media telah melaporkannya sebagai kebakaran yang diakibatkan oleh arus pendek?

“Terkejut bukan? Karena aku merasa kasihan dengan wajah bodohmu itu, maka akan
kuberitahu. Aku baru saja menuntaskan tugasku malam itu, malam yang melelahkan dengan
setumpuk mayat yang harus aku identifikasi. Ketika aku hampir sampai ke rumah, aku
berpapasan dengan beberapa laki-laki dengan penutup wajah. Mereka terlihat mencurigakan
sehingga aku memutuskan untuk mengambil gambar dan nomor plat dari mobil tersebut.
Aku melihat kobaran api tak jauh dari sana, rumahku terkukung api.”

Wanita itu menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dengan tenang, kemudian lanjut
bercerita.
“Aku tidak dapat menjumpai ayah dan ibuku di sana, mereka telah menjadi abu. Setelah
penyelidikan mendalam, aku menemukan fakta bahwa mereka mendapat kiriman makanan
dari salah satu restoran milikmu dan makanan tersebut telah dicampur dengan obat tidur.
Kau seharusnya lebih cerdas Paul, atau otak kotormu milikmu telah hangus bersama jasad
ayah ibuku malam itu?”

Ketika wanita itu sibuk bercerita sambil sesekali menyesap rokok yang ada di tangannya,
laki-laki yang wanita itu sebut sahabat ikut terbangun. Bingung dengan apa yang sedang
terjadi. Mengapa kami digantung terbalik dan diikat? Permainan apa ini? batinnya. Oh tidak,
apakah Eleana sudah mengetahui hubungan antara ia dan suaminya? Laki-laki itu sedikit
gemetar.

“Ternyata dirimu sudah sadar Evan, sabarlah sedikit nanti kita akan bermain. Aku sedang
memberi dongeng sebelum tidur terakhir untuk suamiku yang tercinta,”ucap wanita tersebut
sambil tersenyum kepada lelaki tadi.

Senyum yang menakutkan, ia terlihat seperti iblis wanita. Dua laki-laki itu mencoba
melepaskan ikatan namun hasilnya nihil, ikatannya terlalu rumit dan kuat.

“Sebulan sesudah kejadian itu, istrimu meninggal seolah-olah Ia telah mengalami


kecelakaan tunggal. Ah atau mungkin dirinya telah menabrak seekor rusa lucu kemudian
terperosok ke jurang? Hanya aku yang tau jawabannya. Aku adalah dalang atas kematian
istrimu dan aku lah yang mengidentifikasi mayatnya. Aku memberi data palsu, dan kau tidak
peduli. Kau meminta untuk menyudahi penyelidikan. Di hari pemakamannya, aku datang
seolah turut berduka cita. Kau yang sedari awal tidak peduli akan istrimu dan tergoda akan
kecantikan diriku.”

Wanita itu bangkit dari sofa, mengeluarkan pisau dari kotak beludru pemberian
sahabatnya. Jari-jemari lentiknya kemudian mengambil sesuatu dari lemari dan
memasukannya ke mulut dua pria tadi. Permainan telah dimulai.

“Tenanglah ini tidak akan menyakitkan, hanya akan terasa seperti digigit semut kecil.”

Wanita itu mulai mencabut satu persatu gigi suaminya dengan paksa. Darah mengucur
dari mulut pria tua itu. Ia kemudian menyayat wajah pria itu dengan pisau, sedikit demi
sedikit, seakan tidak mau karya seninya rusak. Pria tua itu menangis, memberi isyarat melalui
matanya agar wanita itu berbaik hati melepaskannya. Sementara laki-laki disamping
suaminya berusaha berteriak minta tolong. Usaha yang sia-sia karena tidak akan ada yang
mendengar mereka. Posisi rumah yang jauh dari keramaian dan bahkan tidak memiliki
tetangga telah memperlancar si wanita dalam melakukan aksinya. Kedua laki-laki
dihadapannya berusaha meminta maaf. Namun Ia tidak terpengaruh sedikitpun. Ia kemudian
berpindah ke lelaki yang ternyata adalah selingkuhan suaminya

“Evan, Apa kau pernah memikirkan perasaanku? Kau sebut dirimu sebagai sahabatku
namun kau buat aku kecewa karena kau berselingkuh dengan tua bangka ini. Tidakkah kau
tau betapa sakitnya aku ketika melihatmu dengannya? Malam itu, aku kira aku akan
membunuh seorang wanita kemudian menjadikannya makanan anjing peliharaanku. Namun
kau buat aku kecewa dengan berselingkuh dengan pria tua ini sehingga aku harus menahan
hasrat membunuh itu selama sebulan. Kau tak lain hanyalah parasit pengganggu
kesenanganku.”

Wanita tersebut melucuti pakaian pria tadi, dan menguliti kemaluannya seolah-olah Ia
tengah mengupas sebuah mentimun. Harusnya dua pria itu telah pingsan, namun posisi
mereka yang digantung terbalik membuat mereka tetap sadar walau sedang merasakan sakit
yang luar biasa.

”Kalian tau apa yang lebih menjijikan dari babi yang memakan kotorannya sendiri?
Manusia yang tidak pernah puas akan pasangannya. Kalian khianati kepercayaan orang
sekitar demi memuaskan nafsu binatang kalian. Dan kau Evan, bagaimana ekspresi orang
tuamu ketika tau bahwa kau adalah budak seksual pria tua ini? Hahaha manusia-manusia
menyedihkan. Kalian bahkan tidak hebat diatas ranjang,” wanita itu mengatakan hal tadi
seperti pelawak di televisi yang sedang melakukan stand up comedy.

Ia lalu memasukan besi tajam panas ke dubur dua pria tersebut. Mengulitinya bagaikan
kambing, memotong jari-jari lalu mengeluarkan isi-isi perut mereka. Wanita itu sangat
senang ketika bola mata kedua laki-laki di hadapannya hampir copot karena menahan sakit
dan lolongan tertahan ketika nyawa kedua pria tadi sedang dicabut yang bahkan lebih
menyedihkan dari suara keledai. Rencana yang telah dipikirkannya selama sebulan terakhir
berjalan secara sempurna sesuai perkiraannya. Tiga tetes racun yang ia selipkan dalam
penyemprot parfum juga tidak dapat terdeteksi oleh dua laki-laki di hadapannya. Manusia-
manusia lengah.
Wanita itu mengambil salah satu piringan hitam dan memutarnya diatas gramofon.
Lantunan Rondo Alla Turca karya Mozart mengiringi tubuhnya yang menari-nari diatas
kubangan darah seperti anak kecil yang kesenangan bermain air ketika hujan turun. Wanita
itu tersenyum didepan cermin. Tangannya yang berlumuran darah perlahan bergerak menuju
cermin, menulis sesuatu dalam bahasa spanyol, Adios Bitchachos.

Anda mungkin juga menyukai