Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MATA KULIAH MENULIS PROSA DAN PUISI

KUMPULAN PUISI
Ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Menulis Prosa dan
Puisi dengan dosen pengampu Dr. Karkono, S.S., M.A.

Disusun oleh:
Kelompok 9

Amaliah 200212606016
Amanda Salsa Aziziana 200212606037
Dhimas Noviandhi 200212606043
Miftahus Sa'adah 200212606042

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA PROGRAM STUDI


BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
APRIL 2021
Daftar Isi

Sampul
Daftar Isi ................................................................................................................................1
Kepedihan Yang Tak Kunjung Berakhir Puisi Amaliah ........................................................2
Senyum Malaikat Tenggelam di Wajahnya Puisi Amanda Salsa Aziziana............................4
Kemarilah Rindu Puisi Dhimas Noviandhi.............................................................................6
Langkah Kaki Terlupakan Puisi Miftahus Sa'adah ................................................................7

1
Kepedihan Yang Tak Kunjung Berakhir

Puisi Amaliah

Semua tahu.. akan ada masa indah dibalik rumitnya kehidupan. Semua juga tahu.. dibalik
kesusahan pasti ada jalan kemudahan. Kepedihan ini berbeda, kepedihan yang terus mengalir
tiada henti. Banyak manusia berteriak kapan semua ini berakhir. Rasa putus asa yang
menggebu gebu seakan kehidupan terasa mati. Ini bukan tentang soal hidup tetapi lebih dari
rasa kemanusiaan yang hilang. Entah apakah tuhan yang gagal dalam menciptakan makhluk
atau memang inilah skenario yang dibuat olehnya.

Tiada hari tanpa tangisan anak kecil yang masa kecilnya diambil demi kekuasaan. Setiap
detik dan waktu yang selalu mendetakkan jantung untuk bersiap meninggalkan kehidupan.
Entah dimana letak hati mereka. Mereka yang haus akan kekuasaan. Mereka yang haus akan
darah para umat yang menyembah tuhan. Mereka yang terlahir menjadi prajurit yang tak
punya hati. Mereka yang selalu menjadi pengecut yang menindas manusia-manusia tak
berdosa.

Rintihan kesakitan yang terus membuat pita suara ini menjerit. Darah yang selalu
menyelimuti tubuh. Wajah ceria yang semakin memudar bahkan telah hilang. Mata mereka
telah tertutup. Rasa kemanusiaan yang musnah. Mereka tidak akan membiarkan orang tak
berdosa itu mendapat kebahagiaan. Rasa ingin merdeka yang menggebu bagi mereka yang
pantang menyerah melawan penindasan ini. Hanya doa yang dapat menyelamatkan mereka.
Banyak dukungan yang diupayakan oleh berbagai negara, Namun tak kunjung berhasil.

Sampai pada hari fitri, dimana para manusia kembali kepada fitrahnya. Mereka justru
merenggut hari itu. Para tentara itu tidak akan direstui tuhan untuk menginjak surga nya.
Sampai pada akhirnya yang tertindas hanya dapat memasrahkan diri kepada sang pencipta.
Mereka selalu memimpikan penindasa ini berakhir. Sudah banyak negara berupaya
mengabulkan mimpi itu. Mungkin tuhan bertindak lain untuk mereka untuk tetap sabar dan
tabah menerima keadaan.

Rasa hati penuh dendam, memiliki mimpi terus tertidur daripada bangun dan membuka mata,
kemudian melihat orang yang disayangi menjerit penderitaan di hari bahagia. Rasa kecewa
yang berat mengapa tuhan tak adil dalam hidup ini. Mengapa pula mereka tak dijinkan untuk
hidup tenang dan bahagia. Mengapa tuhan terus memberikan luka penderitaan untuk mereka.
Dosa besar apa yang telah mereka perbuat. Tetap saja ini bukan tentang salah mereka tetapi
tentang kekuasaan. Terus saja kekuasaan memusnahkan rasa kemanusiaan.

Mereka yang berbaju loreng dengan wibawa seorang pahlawan. Kini menjadi seorang
pengecut yang buta akan dosa. Mereka tuduk pada kekuasaan yang kejam. Tak pernah
menggunakan hati nnurani dan akal pikiran. Mereka bagaikan kera yang selalu merebut
apapun yang diinginkan. Entah apakah yang ada dipikiran mereka. Ingin rasa kekejaman ini
berakhir dan hanya senyum bahagia yang ,mengisi hari-hari. Tiada lagi tangisan. Tetapi apa
mungkin senyum itu hanya dilihat di dunia lain. Palestina..yakni negara yang kuat akan
2
penderitaan. Tak pernah ada rasa putus asa. rasa dendam yang tak pernah tersampaikan.
Tuhan akan membuat kalian tersenyum pada masanya nanti. Skenario tuhan yang akan
mengakhiri penderitaan ini.

Senyum Malaikat Tenggelam di Wajahnya

3
: Para Martir, Palestina

Puisi Amanda Salsa Aziziana

Allahu Akbar…
Allahu Akbar…
Seruan takbir dari bibir para martir, tidakkah itu menggetarkan hatimu
Memberitakan kekuatan yang lebih besar dari kegelisahan kematian
Beradu dengan dentuman keras yang kapan saja siap meluluhlantahkan
Nyalinya tak sekarat meski senjata laras panjang membidik lurus tumpuan sujudnya

Saban hari dihujani kematian orang terkasih, duka berdengung selalu di telinga
Mana yang lebih perih dari membersihkan darah-darah dengan derai kehilangan
Anak-anak itu kehilangan ciuman ibu serta pelukan ayah yang paling aman
Mereka melepasnya dengan bangga, “Ayah Ibuku syahid hari ini.”
Orang tua yang kehilangan anaknya berbisik di telinga yang membeku itu,
“Anakku, nanti kabarkan padaku bagaimana rasanya jannah.”

Nyatanya kuat mereka menjadi hamba yang taat


Dalam tudung kekejaman yang buta kemanusiaan
Ia masih kokoh mendirikan perintah Tuhan, tak gentar mengimani
Mengangkat tangan dan berdoa untuk kedamaian bernafas yang luput darinya
Barang sekali pun tak pernah ia kecewa dan meneriaki penciptanya,
“Tuhan ini tidak Adil!” Tidak, ia percaya Tuhan akan menolong kebenaran

Mereka adalah hamba Tuhan yang luar biasa


Satu pukulan lawan membangkitkan keberanian ratusan kali
Tidak ada ketakutan yang membatasinya, mau seribu roket pun melawan kerikil kecil
Demi Tuhan Yang Maha Pengasih mereka lebih dari percaya bahwa cinta akan menang
“Kau mendapat dukungan untuk menyerang kami. Sungguh, tidak akan kau dapati dukungan
dari Tuhanku yang Maha Besar.”
Mereka hidup untuk surga, untuk Tuhan yang memeluk mereka menguatkan

Allahu Akbar …
4
Sunnah tarawih di bulan suci Ramadan tidak lepas dari genggaman iman dan takwa
Dilaksanakan dengan tenang meski tahu akan diserang kapan saja
Menyelinaplah dalam kepalanya, aku yakin tidak ada sedikit pun pikiran,
“Bagaimana jika aku mati?” atau kekhawatiran, “Bagaimana jika nanti aku cacat?”
Sebab mereka hidup untuk surga, untuk Tuhan yang mencintai hamba yang yakin pada-Nya

Sedikitlah merasa tertampar imanmu


Ada yang masih mampu khidmat dalam salat bahkan saat terlihat maut mendekat
Ditembak, diinjak, ditarik, ditendang, diseret
Bukan lagi tak mampu, hanya saja ada pasrah yang lebih besar dari ikhtiar seseorang
Ia tunjukkan senyuman paling ikhlas, tanpa dendam dan kebencian
Mengabarkan pada dunia, “Cinta akan menang!”

Lengkung sabit dapat kau lihat selalu di wajahnya


Ikhlas meyakini jikalau ia mati, ia menjejaki jalan yang benar
Barangkali ini adalah gambaran malaikat di dunia
Dengan ketaatan dan cinta yang mulia
Meski terbalut luka-luka nanar yang tragis
Meski perang ini tetap mengundang tangis miris

(2021)

Ramadhan Tahun Ini


Puisi Dhimas Noviandhi
5
Ramadhan tahun ini, berbeda dengan ramadhan sedianya. Cerita duka menumpang tindih di
atas suka. Tak serta dan tak mudah, layaknya dulu kala belia.

Ramadhan tahun ini, masih identik dengan hujan kemarin sore. Semua berjalan berjauhan,
bersapa diri tanpa bersentuh tubuh, merenggangkan yang hampir menyatu. Jarak sejengkal
jadi sewindu, yang tadinya rabu malah jadi minggu. Namun, memaklumi menjadi keharusan,
demi keselamatan rakyat bumi.

Sampul hijau identik ketupat, berganti warna merah tua yang tampak bercampur dengan biru
laut. Puing baja diangkat, bak pisang dibelah tiga. Namun, beratnya teramat, seperti dihujani
oleh ribuan busur dengan ujung yang berlapis kobaran api, tajam dan membara.

Bendera kuning pun meninggi, hormat kanan dilayangkan, dan teriakan air mata pun
membanjiri langit yang abu. Masih membekas, aroma lautan yang penuh isak tangis. Sang
bumi pun turut terluka, meneriakkan rasa sakit yang lama dideritanya, menggetarkan
sebagian nusantara.

Bendera kuning kian meninggi. Kotak kardus dilayangkan dari jalan ke jalan, rumah ke
rumah, masjid ke masjid, memberi kesempatan bagi si kaya murah hati berbagi rezeki.

Lebaran tahun ini, lebih berasa dari biasa. Berasa sulit memeluk ayah bunda, berasa sulit
mencium adik kakak, berasa sulit bersalam sanak saudara. Lebih berasa dari yang biasa,
berasa sepi tanpa dirinya, sunyi jarak yang semakin menjauhkan kita.

Kala garis akhir sudah hampir di ujung pandang, lagi, lagi, dan lagi, isak tangis teriak
terdengar menggelegar. Layang harapan para korban, berharap ini akan berakhir, malah kian
menyayat hati. Bukan bersiap menyambut saudara, justru berlindung dengan keluarga yang
utama.

Bendera kuning sudah di puncak pelipis, dan sudah kita lewati garis finis. Terbuka pintu
kemenangan, kemenangan untuk kita. Mereka? Masih harus berjalan melewati jurangnya.
Tiada henti tiada tau, kapan garis finis akan dibuat.

Lebaran tahun ini, berbeda dari kemarin. Semua tawa yang mengudara, adalah buah jadi
sebuah tangis yang tak bersuara. Isak bahagia yang mereka tebar, adalah buah matang dari
sakit pilu yang dipikul.

Yang berbahagia, yang selamat sentosa, yang masih dicinta,

Selamat hari raya.

Langkah Kaki Terlupakan


Puisi Miftahus Sa’adah

6
Gelombang kesengsaraan kian ganas menerjang kehidupan. Di barat, timur, selatan, dan
utara semua orang mengeluhkan nasib sial yang sedang duduk manis mempermainkan
benang kehidupan yang kian lama kian memendek. Tak dapat ku bendung lagi tangisan
malam itu. Di sudut sejadah haru, ku simpan sejuta kepiluan yang kian membiru. Sepanjang
waktu bersimpuh sedih, mengutuk waktu yang bahkan tak sempat mampir ke peraduan. Ku
kirimkan sesal sepanjang hari, atas keadilan yang tak kunjung datang.

Ketika mentari sampai ke peristirahatan terdengar langkah-langkah sunyi dari kaki mahluk
korban kekuasaan pemerintahan. Kesana kesini mengais sisa-sisa kehidupan dari mereka
yang tengah tertidur di bawah atap kerakusan. Bagaikan pelangi, mereka pun berwarna-
warni. Melantunkan nyanyian sumbang kehidupan yang berlagak sebagai tirani.

Mereka yang tak punya rasa, memandang keji langkah kaki menyedihkan sebagai simbol
keputusasaan. Berlindung di balik tirai kekayaan, menertawakan perjuangan seorang budak
yang tak sempat mengenyam pendidikan. Mereka yang tak punya dosa, memandang hina
langkah kaki menyedihkan. Di balik sujud simpuh dan ketakutan akan siksaan tuhan,
menyimpan sebuah kesombongan menganggap diri anak pilihan tuhan. Mereka yang
perkasa, tak peduli kepada langkah kaki menyedihkan lantaran kasta yang dianggap tak
setara.

Tak taukah mereka? Langkah kaki yang mereka anggap hina itu, adalah langkah kaki yang
membawa pengharapan besar di atas pundaknya. Dengan kaki ringkihnya terus berjalan
menuju perempatan, berharap tuhan berpihak padanya dan sudi mengirimkan secercah
harapan. Pikirannya tak lagi karuan lantaran mengingat ada perut tua dan perut muda harus
Ia isi esok hari. Tak seperti mereka yang duduk di atas kursi kekuasaan dan keangkuhan,
langkah kaki itu harus meniti tajamnya pedang kehidupan setiap hari.

Belenggu kemiskinan kian menyiksa ketika dingin malam menusuk tulang berbalut kulit.
Mereka yang memiliki kekuasaan menggeliat bagaikan ulat di atas ranjang penuh dengan
harta haram. Tak cukup lagikah? Berapa banyak lagi yang ingin kau renggut dari langkah
kaki menyedihkan itu? Tak cukup lagikah hak yang telah kau renggut dari mereka yang
bahkan tak punya kepastian untuk menyambung kehidupan? Berapa lama lagi kau akan
menggoyangkan kakimu di atas tahta yang kau bangun dari air mata dan darah mereka yang
memiliki langkah kaki menyedihkan itu?

Mereka yang memiliki kekuasaan merasa telah berada di atas awan. Tak lagi mereka
hiraukan suara-suara yang dahulu mereka bujuk untuk membangun kekuasaan. Tak mereka
ingat lagi janji-janji kebangkitan yang mereka dahulu bisikan kepada pemilik langkah kaki
menyedihkan.

Langkah kaki menyedihkan memudar bersama mentari yang telah kembali dari peraduan.
Waktunya untuk sejenak beristirahat. Karena malam ini langkah-langkah itu harus bergerak
lagi ke peraduan, mengutuk keadilan yang tak kunjung sudi bertemu dengan puan.

7
8

Anda mungkin juga menyukai