Anda di halaman 1dari 6

NAMA : Salma Fauziandini

NPM : 270110180165
KELAS :C

TUGAS GEOLOGI LINGKUNGAN


Bahaya Geologi dan Upaya Mitigasi daerah Kecamatan Gedebage, Bandung Timur

Gambar 1. Peta Kota Bandung dan Batas – batas Wilayahnya


(Sumber: Perda 2 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang & Wilayah Kota Bandung)
Kota Bandung bagian Timur, khususnya Kawasan Gedebage yang terletak di antara
107o36’ Bujur Timur dan 60 o55’ Lintang Selatan terus mengalami perkembangan infrastruktur
dari tahun ke tahun. Berdasarkan Perda RT RW Kota Bandung No. 18 Tahun 2011, pusat primer
ke-2 Kota Bandung (2011-2031) ditetapkan di Bandung Timur, yaitu di Kawasan Gedebage. Pola
penggunaan lahan di kawasan seluas 2.602,12 ha ini meliputi penggunaan lahan belum terbangun
(sawah, tegalan dan tanah kosong) dengan persentase mencapai 55,34 %, dan disusul oleh lahan
pemukiman sebesar 35,83 %.
Dahulu, kawasan Gedebage hanya dikenal sebagai terminal peti kemas dan Pasar Induk
Gedebage, namun seiring kemajuan pembangunan, kawasan ini di kenal sebagai lokasi Stadion
komersial lainnya berupa apartemen, hotel, ruko, pusat belanja, dan perkantoran. Maka dari itu,
selain menjadikan Kawasan Gedebage sebagai Pusat Primer ke-2 Kota Bandung, Pemerintah Kota
Bandung juga berencana mendirikan “Bandung Technopolis” yaitu sebuah kawasan yang
didirikan secara khusus untuk memfasilitasi pengembangan bisnis dibidang teknologi Informasi.
Perkembangan ruang wilayah Kawasan Gedebage, berupa struktur dan pola pemanfaatan
ruang telah mewujudkan prinsip pembangunan yang berkelanjutan, namun di sisi lain, dalam
melakukan pembangunan, perlu ditinjau kondisi lahan secara geologi guna mempersiapkan
skenario yang tepat dalam menghadapi dan mengatasi bahaya geologi yang akan terjadi. Bahaya
geologi yang berpotensi tinggi terjadi di Kawasan Gedebage adalah banjir dan gempa bumi.

Identifikasi Bahaya Geologi


Potensi bencana banjir di Kawasan Gedebage disebabkan oleh permukaan lahan yang
relatif datar dan disusun oleh jenis tanah alluvial. Kondisi tanah ini mudah tergerus air dan dapat
menyebabkan banjir dengan tingkat sedimentasi tinggi. Selain kondisi permukaan dan jenis
tanahnya, Kawasan Gedebage merupakan kawasan dengan pola dan intensitas hujan yang rapat,
juga merupakan titik lahan terendah dan merupakan pertemuan beberapa DAS sungai dengan
daerah tingkapan air yang luas. Kawasan ini dipengaruhi oleh 4 DAS, yaitu DAS Cipanjalu, DAS
Cisaranten, DAS Cinambo dan DAS Cibiru. Namun Secara alamiah, di Kawasan Gedebage juga
mengalir beberapa buah sungai dengan arah aliran utara-selatan, yaitu sungai Cisaranten yang
bermuara di Cipamokolan yang mengalir sepanjang sisi barat Gedebage tetapi tidak
mempengaruhi Kawasan Gedebage secara langsung.

Gambar 2. Daerah Aliran Sungai di Kawasan Gedebage.


Secara umum, faktor utama penyebab banjir adalah sistem drainase yang tidak bekerja
secara optimal, sehingga air hujan yang turun tidak mampu tertampung dan pada akhirnya meluber
ke jalan. Secara periodik, Kawasan Gedebage dan beberapa kawasan di sekitarnya telah
mengalami banjir sejak tahun 1986 dengan luasan sekitar 8.000 ha. Kelurahan dengan tingkat
intensitas banjir tinggi adalah kelurahan rancabolang dan cimencrang dimana ketinggian banjir
dapat mencapai 50 cm.

Gambar 3. Peta Genangan Banjir Kawasan Gedebage dan Sekitarnya.


Selain bahaya geologi berupa banjir, Kawasan Gedebage memiliki potensi gempa bumi.
Wilayah Kota Bandung sendiri dekat dengan sumber – sumber gempa bumi, yakni dilalui oleh
sesar – sesar aktif, seperti Sesar Lembang, Sesar Cicalengka, Sesar Cileunyi-Tanjungsari, Sesar
Jati, dan Sesar Legok Kole (Marijiyono drr., 2007). Selain aktivitas sesar, kegempaan yang terjadi
di wilayah Kota Bandung juga disebabkan dari aktivitas penunjaman kerak samudera di selatan
Pulau Jawa. Secara geologis, Kawasan Gedebage tersusun dari endapan danau purba (lakustrin)
yang didominasi oleh jenis tanah aluvial. Secara fisik, endapan material ini merupakan endapan
lempung yang lunak, sehingga beresiko tinggi saat mengalami guncangan gempa bumi.

Gambar 4. Peta Tingkat Kerentanan Gempabumi di Kota Bandung.


Berdasarkan mikrozonasi bahaya gempa bumi di wilayah Kota Bandung yang dilakukan
oleh Marijiyono dan Afnimar (2011), dihasilkan Peta Sebaran Nilai Faktor Penguatan Gelombang
Wilayah Kota Bandung seperti pada gambar di bawah. Nilai faktor penguatan untuk wilayah Kota
Bandung hasil pengolahan data miktotremor berkisar antara 2,1 sampai 17. Nilai tersebut
menunjukkan tingkat kerawanan relatif terhadap bahaya gempa bumi.
Disamping dekat dengan sumber – sumber gempa, sebagian wilayah juga berpotensi
mengalami penguatan gelombang karena faktor geologi permukaan. Hasil pengukuran
mikrotremor yang menunjukkan nilai faktor penguatan > 9 kali (sangat tinggi) terdapat di wilayah
bagian tenggara Kota Bandung. Wilayah ini berkorelasi bagus dengan kondisi geologi permukaan
yang berupa endapan lakustrin yang bersifat lunak. Wilayah ini disimpulkan sebagai zona yang
rawan terhadap gempa bumi.

Gambar 5. Nilai Faktor Penguatan Gelombang Wilayah Kota Bandung.

Upaya Mitigasi Struktural dan Non-struktural


Untuk menghadapi dan mengurangi resiko terjadinya bencana geologi, diperlukan upaya
mitigasi, baik struktural maupun non-struktural. Mitigasi struktural dapat dilakukan dengan
menyesuaikan konstruksi bangunan tertentu pada area yang rawan bencana, sedangkan mitigasi
non-struktural merupakan upaya manusia untuk beradaptasi dengan alam. Berikut upaya mitigasi
banjir dan gempa bumi yang dapat dilakukan di Kawasan Gedebage.
 Mitigasi Struktural:
a. Sistem Drainase, Sistem drainase di Kawasan Gedebage perlu dievaluasi kembali dengan
memperhatikan kawasan yang terdampak banjir dan juga hasil pemodelan banjir,
b. Membuat Waduk/ Danau Buatan, suatu wilayah yang akan dibangun waduk/ danau perlu
dilakukan pengkajian pada beberapa aspek seperti hidrologi, topografi, geologi, serta
sosial dan budaya,
c. Melakukan Naturalisasi Sungai,
d. Mematuhi Standard Kualitas Bangunan, hal ini dilakukan untuk memastikan bangunan
kuat terhadap getaran atau gempa,
e. Membangun Fasilitas Umum dengan Standar Kualitas yang Tinggi,
f. Mengalokasikan komponen ruang untuk pemukiman guna mengurangi tingkat padat
hunian di daerah rawan bencana, serta mengalokasikan industri, perkantoran dan
perdagangan yang dinilai masih tersebar secara tidak teratur.
 Mitigasi Non-struktural:
a. Memberikan literasi dan pemahaman mulai dari keluarga di rumah, kemudian di
masyarakat sekitar mengenai bahaya geologi yang berpotensi terjadi di daerah tempat
tinggal,
b. Membuat Sistem Peringatan Dini, melalui alat perekam yang telah dipasang di saluran
irigasi, sungai, waduk, ataupun danau yang dapat dijadikan acuan dalam memprediksi
datangnya banjir,
c. Meningkatkan sistem komunikasi dalam menginformasikan adanya bahaya geologi yang
datang,
d. Menentukan dan Membuat Jalur Evakuasi, penentuan dan pembuatan jalur dilakukan
setelah melakukan beberapa kajian mengenai kondisi lahan dan peta kerawanan bencana,
e. Membuat Sumur Resapan Air,
f. Melakukan penanaman pohon di sekitar daerah resapan air dan pemukiman penduduk,
g. Konservasi Hulu DAS, Konservasi ini dapat berupa pembangunan terasering, penerapan
sistem agroforestri, ataupun reboisasi.
Daftar Pustaka

Marijiyono, & Afnimar. (2011). Mikrozonasi Bahaya Gempa Bumi di Wilayah Kota Bandung
Berdasarkan Data Mikrotremor. Bandung: JSDG Vol.21 No.1.
Pratama, D., Yusup, Y., & Sarwono. (2021). Zonasi Tingkat Kerentanan Gempabumi berdasarkan
Faktor Lingkungan, Fisik, Sosial, dan Ekonomi di Kota Bandung Tahun 2018. Surakarta:
Jurnal Pendidikan Geografi UNS Vol.1 No.1.
Raharjo, Paulus P. (2017). Understanding and Identifying Natural Hazard for Bandung City
Preparedness and Mitigation against Natural Disaster. MATEC Web of Conferences 103,
07011 (DOI: 10.1051/matecconf/20171030 ISCEE 2016 7011).
Suharyono, & Kadri, Trihono. (2008). Model Simulasi HEC-HMS pada Sistem Pengendalian
Banjir Kawasan Gedebage Bandung. Jakarta: Jurnal Sipil Vol. 8, No. 2, September 2008:
69 – 78.
Triana, D., Hadi, Tb Sofwan, & Husain, M. Kamil. (2017). Mitigasi Bencana Melalui Pendekatan
Kultural Dan Struktural. Yogyakarta: Prosiding Seminar Nasional XII “Rekayasa
Teknologi Industri dan Informasi 2017.
Yuniartanti, Rizki Kirana. (2018). Structural and Non-Structural Flood Mitigation for Rontu
Watershed in Bima City. Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Vol. 2 No.
2, Oktober 2018 : 137-150 (E-ISSN:2579-5511/P-ISSN:2579-6097).
Yura, M. Hilmi., Darwin, Ira S., & Fardani, Irland. (2019). Penggunaan Network Analyst Dalam
Pemetaan Shelter dan Jalur Evakuasi Bencana Gempa Bumi di Kawasan Permukiman
Padat. Bandung: Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 5, No. 2 (ISSN: 2460-
6480).

Anda mungkin juga menyukai