Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM IMUNOLOGI

NAMA-NAMA KELOMPOK 3:

1. MELANIA ARLIANA MEO


NPM: 19201038
2. MARIA YUNITA ASUNG
NPM: 19201036
3. MEDIATRIK TECIN
NPM: 19201037
4. YOSEP KOPERTINO SESO
NPM: 19201054
5. YONANSIUS SONAKRI
NPM: 19201053

FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN PERTANIAN

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA SANTU PAULUS RUTENG 2019


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................II

ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM IMUN PADA MANUSI……………….3

Indikator......................................................................................................................3

A. Pengertian Sistem Imun……………………………………………………..3


1. Antigen............................................................................................................5
2. Antibodi...........................................................................................................6
B. Struktur SistemImun........................................................................................7
C. Interaksi antara Antibodi dengan Antigen......................................................10
1. Fiksasi komplemen...........................................................................................10
2. Netralisasi.........................................................................................................11
3. Aglutinasi..........................................................................................................11
4. Presipitasi..........................................................................................................11
D. Sel-Sel yang Terlibat dalam Respon Sistem Imun............................................12
1. Sel B...................................................................................................................12
2. Sel T....................................................................................................................14
3. Makrofag.............................................................................................................17
E. Jenis Imunitas......................................................................................................18
1. Imunitas aktif.......................................................................................................18
2. Imunitas pasif.......................................................................................................18
F. Gangguan dalam Fungsi Sistem Imun..................................................................19
1. Alergi.....................................................................................................................19
2. Penyakit Autoimun................................................................................................20
3. PenyakitImunodefisiensi.......................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................26
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Imonologi atau imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit


infeksi.Gabungan sel,molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi
disebut system imun.Reaksi yang dikoordinasi sel-sel,molekul-molekul terhadap mikrobadan
bahan lainnya disebut respons imun.Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan
keutuhannya terhadap bahaya yang ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.

Mikroba dapat hidup ekstraseluler,melepas enzim dan menggunakan makanan yang banyak
mengandung gizi yang diperlukannya.Mikroba lain menginfeksi sel pejamu dan berkembang
biak intraseluler dengan menggunakan sunber energi sel pejamu.Baik mikroba ekstraseluler
maupun intrasesluler dapat menginfeksi subyek lain, menimbulkan penyakit dan kematian,tetapi
banyak juga yang tidak berbahaya bahkan berguna untuk pejamu.Pertahan Imun terdiri atas
system imun almiah atau nonspesifik (nature innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive
acquired).

B. Tujuan

1. Kita dapat mengetahui apa itu sistem imun.

2. Mengetahui fungsi dari sistem imun.

3. Memahami macam-macam sistem imun.

4. Mengetahui jenis-jenis antibodi.

5. Memahami penyebab turunya sistem imun.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sistem Imun

Sistem imun adalah suatu sistem kompleks yang memberikan respon imun

(humoral dan seluler) untuk menghadapi agens asing spesifik seperti bakteri, virus,

toksin, atau zat lain yang oleh tubuh dianggap “bukan bagian diri”. Sistem imun dapat

membedakan berbagai zat asing dan responnya terutama jika dibutuhkan. Respon imun

memiliki kemampuan untuk mengingat kembali kontak sebelumnya dengan suatu agens

tertentu, sehingga pajanan berikutnya akan menimbulkan respon yang lebih cepat dan

lebih besar (Sloane, 2004 : 255).

Sistem imun meliputi organ-organ limfoid primer (sumsum tulang belakang dan

kelenjar timus), jaringan limfoid sekunder (nodus limfe, limpa, adenoid, amandel,

bercak peyer pada usus halus, dan apendiks), juga beberapa sel lain yang dan produksi

sel (Sloane, 2004 : 252).


Respon imun itu dapat dinyatakan dengan salah satu dari dua mekanisme yang berlainan.
Beberapa respon imun dilakukan oleh sel-sel hidup, populasi khusus kimfosit. Respon seperti itu
dikatakan ditengahi sel. Respon imun yang lain dilakukan oleh molekul protein yang dinamai
antibodi, yang tersimpan dalam limfadan plasma darah (Kimball, 2005 : 540). Walaupun
demikian, respon imun terhadap “diri sendiri” dapat terjadi dan membentuk suatu kondisi yang
disebut autoimunitas. Autoimunitas dapat menyebabkan efek patologis pada tubuh (Sloane,
2004 : 255). Menurut Sloane 2004 : 255-257 menyatakan ada beberapa komponen dari sistem
imun yaitu antigen dan antibodi.

1. Antigen
Antigen adalah suatu zat yang menyebabkan respons imun spesifik. Antigen biasanya
biasanya berupa zat dengan berat molekul besar dan juga kompleks zat kimia seperti
proteindan polisakarida.
- Determinan antigenic (epitop) adalah kelompok kimia terkecil dari suatu antigen yang
dapat membangkitkan respons imun. Suatu antigen dapat memiliki dua atau lebih
molekul determinan antigenik, satu molekul pun dalam keadaan yang sesuai dapat
menstimulasi respons yang jelas.
- Hapten adalah senyawa kecil yang jika sendirian tidak dapat menginduksi respons imun,
tetapi senyawa ini menjadi imunogenik jika bersatu dengan carrier yang berat
molekulnya besar, seperti protein serum.
- Hapten dapat berupa obat, antibiotic, zat tambahan makanan, atau kosmetik.Ada banyak
senyawa dengan berat molekul kecil yang jika berkonjugasi dengan carrier dalam tubuh
dapat membentuk imunogenisitas. Misalnya, pada beberapa orang penisilin tidak
bersifat antigenic sampai penisilin tersebut bergabung dengan protein serum dan
mampu memicu respons imun.
2. Antibodi
Antibodi adalah suatu protein yang dihasilkan sistem imun sebagai respons terhadap
keberadaan antigen dan akan bereaksi khususnya dengan antigen tersebut. Sebuah
molekul antibodi terdiri dari empat rantai polipeptida: dua rantai berat identic dan dua
rantai ringan identik. Istilah berat dan ringan mengacu pada berat molekul relatifnya.
Rantai-rantai dihubungkan dengan ikatan disulfida (-S-S-) dan ikatan lain untuk
membentuk molekul berbentuk Y yang memiliki area hinge (engsel) fleksibel. Ini untuk
memungkinkan terjadinya perubahan bentuk saat bereaksi dengan jumlah antigen
maksimum. regia variable pada rantai berat dan ringan terletak di bagian ujung lengan Y.
regia ini membentuk dua sisi pengikat yang disebut bivalen.

-Regia variable pada antibodi yang berbeda memiliki rangkaian asam amino yang berbeda.

-Spesifitas suatu antibodi terhadap antigen tertentu bergantung pada struktur regia variabelnya.

Regia konstan terdiri dari lengan Y dan batang molekul, selalu identik pada semua antibodi dari
kelas yang sama. Kelas antibodi adalah sekelompok protein plasma yang disebut
immunoglobulin (Ig). Berikut lima kelas (isotope) immunoglobulin yaitu;

B. Struktur Sistem Imun


Jaringan dan organ yang merupakan sistem imun berserakan di seluruh tubuh. Pada
manusia (dan mamalia lain), organ-organ pusat sistem tersebut ialah sumsum tulang
belakang dan timus. Sumsum tulang mengandung sel-sel batang yang
menghasilkan seluruh sel darah. Kelima macam sel darah putih itu masing-masing
memainkan sedikit peranan dalam imunitas. Tetapi peranan utama diambil oleh monosit
(yang berkembang dalam jaringan menjadi makrofag) dan khususnya limfosit (Kimball,
2005 : 542). Walaupun semua limfosit tampak sama di bawah mikroskop cahaya, sekali-
kali tidak dalam fungsinya. Sebenarnya, limfosit merupakan kumpulan sel yang
amat beragam. Meskipun demikian, kebanyakan dari limfosit kita terdiri atas satu
diantara dua kategori utama: T limfosit dan B limfosit. Sel-sel yang akan dipastikan
menjadi T limfosit memulai hidupnya di dalam sumsum tulang. Akan tetapi,
segera meninggalkannya dan masuk ke dalam aliran darah ke timus. Disini
menjalani diferensiasi lebih lanjut dan bilamana hal ini selesai barulah siap melakukan
kerjanya.
B limfosit juga diproduksi di dalam sumsum tulang, tetapi berlainan dengan T limfosit,
yang pertama tadi menjadi matang sepenuhnya di sana. Meski demikian, B limfosit juga
meninggalkan sumsum tulang sebelum menjadi aktif dalam imunitas (Kimball, 2005 :
543).
Salah satu tugas utama sistem imun tersebut ialah membentuk pertahanan terhadap
bahan-bahan asing, yang dinamai antigen, yang memasuki tubuh. Baik sumsum tulang
maupun timus secara patut tidak untuk pertahanan ini. Maka diketahui bahwa sebelum
memulai kerjanya, baik B limfosit maupun T limfosit tersebarkan dari sumsum tulang
dan timus menjadi kelompok jaringan limfosit yang dibagikan ke seluruh tubuh. Sistem
ini terdiri atas limpa, sejumlah besar simpul limpa, tonsil, apendiks, dan sarang sel-sel
yang tersebar dimana-mana (Kimball, 2005 543). Produksi antibodi merupakan tanggung
jawab B limfosit. Akan tetapi, respon humoral terhadap banyak antigen juga memerlukan
bantuan T limfosit. Dengan suatu
cara, yang masih belum jelas, T limfosit memungkinkan B limfosit yang spesifik bagi
antigen untuk berbiak dan berkembang menjadi sel-sel plasma. Sel-sel plasma adalah
sel-sel yang sebenarnya mensekresi anti bodi (Kimball, 2005 : 543).
C. Interaksi antara Antibodi dengan Antigen
Menurut Sloane 2004 : 257 menyatakan sisi pengikat antigen pada region
variable antibodi akan berikatan dengan sisi penghubung determinan antigenic pada
antigen untuk membentuk kompleks antigen-antibodi (atau imun). Pengikatan
ini
memungkinkan inaktivasi antigen melalui proses fiksasi, netralisasi, aglutinasi, atau
presipitasi.
1. Fiksasi komplemen
terjadi jika bagian molekul antibodi mengikat komplemen. Ikatan molekul
komplemen diaktivasi melalui jalu “jalur klasik” yang memicu efek cascade untuk
mencegah terjadinya kerusakan akibat organisme atau toksin penyusup. Efek yang
paling penting meliputi:
-Opsonisasi. Partikel antigen diselubungi antibodi atau komponen komplemen
yang memfasilitasi proses fagositosis partikel. Selain itu, suatu produk protein berlekuk
dari cascade komplemen, C3b, juga berinteraksi dengan reseptor khusus pada neutrofil
dan makrofag, dan meningkatkan fagositosis.
-Sitolisis. Kombinasi dari faktor-faktor komplemen multiple mengakibatkan rupturnya
membran plasma bakteri atau penyusup lain dan menyebabkan isi selular keluar.
-Inflamasi. Produk komplemen berkontribusi dalam inflamasi akut melalui aktivasi sel
mast, basofil, dan trombosit darah.
2. Netralisasi
terjadi saat antibodi menutup sisi toksik antigen dan menjadikannya tidak
berbahaya.
3. Aglutinasi
(pengumpalan) terjadi jika antigen adalah materi partikulat, seperti bakteri atau sel-
sel merah.
4. Presipitasi
terjadi jika antigen dapat larut. Kompleks imun menjadi besar akibat hubungan
silang molekul antigen sehingga tidak dapat larut dan berpresipitasi. Reaksi
presipitasi antara antigen dan antibodi dapat dipakai secara klinis untuk mendeteksi
dan mengukur salah satu komponen berikut;
-Imunoelektroforesis adalah suatu metode untuk menganalisis campuran
antigen (protein) dan antibodinya. Protein digerakkan pada bidang listrik (elektroforesis)
untuk dipisahkan dan kemudian dibiarkan berdifusi dalam jeli agar tempat setiap
protein membentuk garis presipitin dengan antibodinya.
-Radioimunoassai (RIA) didasarkan pada pengikatan kompetitif secara radioaktif
antara antigen berlabel dan antigen tanpa label untuk sejumlah kecil antibodi. Metode ini
memungkinkan dilakukannya analisi terhadap antigen, antibodi, atau kompleks dalam
jumlah yang sangat kecil melalui pengukuran radioaktivasinya bukan melalui cara kimia.
D. Sel-Sel yang Terlibat dalam Respon Sistem Imun
1. Sel B
Fungsi sel B adalah antigen spesifik yang berproliferasi untuk merespons
antigen tertentu. Sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma non-ploriferasi yang
menyintesis dan mensekresi antibodi (Sloane, 2004 : 259). Setiap reseptor sel B
(B cell receptor) untuk suatu antigen adalah suatu molekul berbentuk Y yang terdiri dari
empat rantai polipeptida: dua rantai berat (heavy chain) yang identic dan dua rantai
ringan (light chain) yang identik, dengan jembatan disulfide yang menautkan rantai-rantai
itu. Rantai ringan dan berat masing-masing memiliki wilayah konstan (constant region,
C), tempan sekuens asam amino sedikit bervariasi diantara reseptor-reseptor yang
terdapat pada sel-sel B yang berbeda (Campbell, 2008 : 98)
Sekresi antibodi oleh sel B terseleksi secara klonal merupakan cirri utama respon
humoral. Aktivasi dari respons ini biasanya melibatkan sel B dan sel T penolong, serta
protein pada permukaan bakteri. Seperti yang ditunjukkan pada gambar, aktivasi sel B
oleh antigen dibantu oleh sitokin yang disekresikan dari sel T penolong yang telah
menjumpai antigen yang sama. Dirangsang oleh antigen sekaligus sitokin, sel B
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi klona sel plasma penyekresi antibodi dan klona
sel B ingatan (Campbell, 2008 : 105).
Jalur untuk pemprosesan antigen pada sel B berbeda dengan jalur pada sel-sel penyaji
antigen yang lain. Aktivasi sel B menyebabkan respons humoral yang kuat: sebuah sel B
yang teraktivasi memunculkan klona dari ribuan sel plasma, masing-masing menyekresi
kira-kira 2.000 molekul-molekul antibody setiap detik selama rentang hidup sel 4 hingga
5 hari. Lebih lanjut, sebagian besar antigen yang dikenali oleh sel B
mengandung epitop-epitop ganda.
Dengan demikian pemaparan terhadap suatu antigen tunggal normalnya
mengaktivasi berbagai sel B, dengan klona-klona sel plasma berbeda yang melawan
langsung epitop-epitop berbeda pada antigen yang sama (Campbell, 2008 : 105-106).
a. Respon imun primer, berlangsung dengan lambat karena pada awalnya, hanya ada
sedikit sel yang memiliki molekul antibodi permukaan atau resptor sel T untuk
merespons antigen;
b. Respons sekunder, pada pajanan terhadap antigen yang berikutnya
berlangsung lebih cepat dan lebih kuat karena tiruan tambahan dari sel B memori
berkembang dan sel T dapat meresponsnya (Sloane, 2004 : 261).

Seperti yang ditunjukkan pada gambar, aktivasi sel B oleh antigen dibantu oleh sitokin yang
disekresikan dari sel T penolong yang telah menjumpai antigen yang sama. Dirangsang oleh
antigen sekaligus sitokin, sel B berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi klona sel plasma
penyekresi antibodi dan klona sel B ingatan (Campbell, 2008 : 105). Jalur untuk pemprosesan
antigen pada sel B berbeda dengan jalur pada sel-sel penyaji antigen yang lain. Aktivasi sel B
menyebabkan respons humoral yang kuat: sebuah sel B yang teraktivasi memunculkan klona dari
ribuan sel plasma, masing-masing menyekresi kira-kira 2.000 molekul-molekul antibody setiap
detik selama rentang hidup sel 4 hingga 5 hari. Lebih lanjut, sebagian besar antigen yang
dikenali oleh sel B mengandung epitop-epitop ganda. Dengan demikian pemaparan
terhadap suatu antigen tunggal normalnya mengaktivasi berbagai sel B, dengan klona-klona
sel plasma berbeda yang melawan langsung epitop-epitop berbeda pada antigen yang sama
(Campbell,2008 : 105-106).

disebut CD4, ditemukan pada permukaan sebagian besar sel T penolong,


berikatan ke molekul MHC kelas II tersebut. CD4 membantu menjaga agar sel
T penolong dan sel penyaji antigen tetap bergabung. Saat kedua sel berinteraksi,
sinyal-sinyal dalam bentuk sitokin dipertukarkan di kedua arah (Campbell,
2008 : 104).

Setelah aktivasi oleh makrofag pembawa antigen, sel T pembantu


memiliki beberapa fungsi yaitu;
-Sel ini diperlukan untuk sintesis antibodi normal;
-Saat pengenalan antigen asing, sel T dan sel T pembantu melepas
interleukin-2 yang menginduksi proliferasi sel T sitotoksik;
-Beberapa sel T pembantu akan menolong sel T lain untuk merespons
antigen (Sloane, 2004 : 261-262).
Sel-sel T sitoksik adalah sel-sel efektor dalam respons kekebalan
diperantarai sel. Agar menjadi aktif, mereka membutuhkan molekul persinyalan
dari sel T penolong serta interaksi dengan sel penyaji antigen. Begitu
teraktivasi, sel T sitotoksik dapat menghilangkan sel sel tubh yang terkena
kanker dan sel tubuh yang terinveksi oleh virus atau patogen intraseluler
lainnya. Fragmen protein nondiri yang disintesis dalam sel target semacam itu
diasosiasikan dengan molekul MHC kelas I dan ditampilkan di permukaan sel,
tempat mereka dapat dikenali oleh sel T sitotoksik (Campbell, 2008 : 104). Sel
T sitotoksik (sel T pembunuh) mengenali dan menghancurkan sel yang
memperlihatkan antigen asing pada permukaannya (Sloane, 2004 : 261).
3. Makrofag
Secara fagositik menelan zat asing dan melalui kerja enzimatik
menguraikan materi yang tertelan untuk diekskresi dan untuk pemakaian ulang.
a. Makrofag memproses antigen terfagositosis melalui denaturasi atau
mencerna sebagian antigen untuk menghasilkan fragmen yang mengandung
determinan antigenik;
b. Makrofag akan meletakkan fragmen antigen pada permukaan selnya
sehingga terpapar untuk limfosit T tertentu. Ini merupakan langkah penting
dalam aktivasi sel T (Sloane, 2004 : 259).
E. Jenis Imunitas

1. Imunitas aktif

didapat akibat kontak langsung dengan mikroorganisme atau


toksin sehingga tubuh memproduksi antibodinya sendiri.
a. Imunitas aktif dapatan secara alami, terjadi jika seseorang terpapar suatu
penyakit dan sistem imun memproduksi antibodi serta limfosit khusus
Imunitas dapat bersifat seumur hidup (campak, cacar) atau sementara
(pneumonia pneumokokal, gonore);
b. Imunitas aktif dapatan secara buatan (terinduksi) merupakan hasil vaksinasi.
Vaksin dibuat dari patigen yang mati atau dilemahkan atau toksin yang telah
diubah. Vaksin ini dapat merangsang respons imun, tetapi tidakmenyebabkan
penyakit (Sloane, 2004 : 257).
3. Imunitas pasif
terjadi jika antibodi dipindah dari satu individu ke individu lain.
a. Imunitas pasif alami, terjadi pada janin saat antibodi lgG inu masuk
menembus plasenta. Antibodi lgG member perlindungan sementara
(mingguan sampai bulanan) pada sistem imun yang imatur;
b. Imunitas pasif buatan adalah imunitas yang diberikan melalui injeksi
antibodi yang diproduksi oleh orang atau hewan yang kebal karena pernah terpapar
suatu antigen (Sloane, 2004 : 259).
F. Gangguan dalam Fungsi Sistem Imun
Dalam bukunya Campbell 2008 : 109-111 menyatakan, walaupun kekebalan yang diperoleh
menawarkan perlindungan terhadap berbagai macam patogen, bukan berarti tipe kekebalan
tersebut selalu berhasil. Hubungan timbale balik yang sangat teregulasi di antara limfosit-
limfosit, sel-sel tubuh, dan zat-zat asing membangkitkan respon kekebalan yang member
perlindungan luar biasa terhadap banyak patogen. Ketika kelainan alergi, autoimun, atau
imunodefisiensi mengganggu keseimbangan yang rapuh ini, efek-efek yang timbul seringkali
parah dan mengancam jiwa.
1. Alergi
Alergi adalah respon-respon yang berlebihan (hipersensitif) terhadap antigen-
antigen tertentu yang disebut alergen (allergen). Allergen yang paling umum
melibatkan antibodi dari kelas IgE.
Hay fever, misalnya, terjadi ketika sel-sel plasma menyekresi antibodi IgE yang
spesifik terhadap antigen dipermukaan serbuk polen. Beberapa dari antibodi ini
melekat dengan menggunakan bagian dasarnya ke sel tiang dalam jaringan ikat.
Belakangan, ketika serbuk polen kembali memasuki tubuh, serbuk polen tersebut
melekat ke situs pengikat antigen IgE di permukaan sel tiang. Interaksi dengan serbuk
polen yang besar akan menaut-silangkan molekul-moleku IgE yang
bersebelahan, sehingga menginduksi sel tiang untuk melepaskan histamine dan agen-
agen peradangan yang lain dari granula (vesikel), suatu proses yang disebut
degranulasi (degranulation).
Peubahan-perubahan vaskular semacam itu muncul memunculkan gejala-gejala alergi
yang khas: bersin-bersin, mata berair, dan kontraksi otot polos yang dapat
menyebabkan kesulitan bernapas. Obat-obatan yang disebut antihistamin mengurangi
gejala-gejala alergi (dan inflamasi) dengan memblokir reseptor untuk histamine.

Respon alergi yang akut terkadang menyebabkan syok anafilatik (anaphylactic


shock), reaksi seluruh tubuh yang mengancam jiwa dan dapat terjadi dalam beberapa
detik setelah paparan terhadap suatu alergen.
2. Penyakit Autoimun
Pada beberapa orang, sistem kekebalan menyerang molekul-molekul tertentu
dalam tubuh, menyebabkan penyakit autoimun (autoimmune disease).
Hilangnya toleransi diri ini dapat hadir dalam berbagai bentuk. Dalam eritematosus
lupus sistemik (systemic lupus erythematosus), sering disebut lupus, sistem kekebalan
menghasilka antibodi yang menyerang histon dan DNA yang dilepaskan melalui
pemecahan normal sel-sel tubuh. Anibodi-antibodi yang reaktif terhadap diri sendiri
ini menyebabkan ruam-ruam kulit, demam, arthritis, dan gangguan ginjal.
Penyakit autoimun yang diperantarai antibodi lainnya, arthritis rematoid
(rheumatoid arthritis), menyebabkan kerusakan dan inflamasi yang menyakitkan di
kartilago dan tulang-tulang persendian. Pada diabetes mellitus Tipe 1, sel-sel
beta penghasil insulis di pankreas merupakan target dari sel T sitoksik autoimun.
Pada penyakit ini, sel-sel T menembus sistem saraf pusat, sehingga
menyebabkan penghancuran selubung myelin yang mengelilingi bagian-bagian dari
banyak neuron. Jenis kelamin, genetika, dan lingkungan semuanya mempengaruhi
kerentanan seseorang terhadap gangguan autoimun. Misalnya, anggota
keluarga tertentu menunjukkan kerentanan yang lebih tinggi terhadap gangguan
autoimun tertentu. Selain itu, banyak penyakit autoimun yang lebih sering
mempengaruhi perempuan dari pada laki-laki.
3. Penyakit Imunodefisiensi
Gangguan kelainan atau ketiadaan kemampuan sistem kekebalan untuk
melindungi tubuh terhadap patogen disebut imunodefisiensi
(imonodeficiency).
Imunodefisiensi bawaan (inborn imonodeficiency) meupakan akibat dari cacat genetis
atau perkembangan di dalam sistem kekebalan. Imunodefisiensi yang
diperoleh berkembang belakangan setelah paparan terhadap agen kimiawi atau
biologis. Apapun penyebab dan asal-usulnya, imunodefisiensi dapat menyebabkan
infeksi yang sering terjadi dan berulang-ulang serta peningkatan kerentanan terhadap
kanker tertentu. Paparan terhadap agen-agen tertentu bias menyebabkan
imunodefisiensi yang berkembang belakangan dalam kehidupan. Obat-obatan
yang digunakan untuk memerangi penyakit autoimun atau mencegah penolakan
cangkokan menekan sistem kekebalan, sehingga menyebabkan kondisi
imunodefisiensi. Sistem kekebalan juga ditekan oleh kanker tertentu, terutama
penyakit Hodgkin, yang merusak sistem limfatik.
Imunodefisiensi yang diperoleh berkisar dari kondisi sementara yang bias timbul dari
stress fisiologis hingga acquired immunodeficiency syndrome, atau
AIDS, yang tragis yang disebabkan oleh virus.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Sistem imun adalah suatu sistem kompleks yang memberikan respon imun

(humoral dan seluler) untuk menghadapi agens asing spesifik seperti bakteri, virus,

toksin, atau zat lain yang oleh tubuh dianggap “bukan bagian diri”. Sistem imun dapat

membedakan berbagai zat asing dan responnya terutama jika dibutuhkan. Respon imun

memiliki kemampuan untuk mengingat kembali kontak sebelumnya dengan suatu agens

tertentu, sehingga pajanan berikutnya akan menimbulkan respon yang lebih cepat dan

lebih besar (Sloane, 2004 : 255).

DAFTAR PUSTAKA
Campbell, dkk. 2008. Biologi Edisi Kedelapan Jilid 3. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kimball, J.W. 2005. Biologi Edisi Kelima Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sloane, E. 2004. Anatomi Fisiologi Manusia untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai