Anda di halaman 1dari 11

Gregorius Wahyu Gusti Tanditasik

A031191197

PAJAK PENGHASILAN (OBJEK, TARIF, DAN PTKP)

A. Jenis-Jenis Objek Pajak


Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
termasuk:
 Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-undang ini;
 hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
 laba usaha;
 keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
 keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
 keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
 keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama
dan dalam bentuk apa pun;
 keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi
yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
 keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan;
 penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
 bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang;
 dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
 royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
 sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
 penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
 keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
 keuntungan selisih kurs mata uang asing;
 selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
 premi asuransi;
 iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
 tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
 penghasilan dari usaha berbasis syariah;
 imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
 surplus Bank Indonesia.
Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
 penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi;
 penghasilan berupa hadiah undian;
 penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura;
 penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan; dan
 penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.

B. Pengurang Objek Pajak


Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
 biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain: biaya pembelian bahan; biaya berkenaan dengan pekerjaan
atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan
yang diberikan dalam bentuk uang; bunga, sewa, dan royalti; biaya perjalanan;
biaya pengolahan limbah; premi asuransi; biaya promosi dan penjualan yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; biaya
administrasi; dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;
 penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun;
 iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
 kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan;
 kerugian selisih kurs mata uang asing;
 biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
 biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
 piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat telah dibebankan
sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; Wajib Pajak harus
menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal
Pajak; dan telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri
atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara
kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam
penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa
utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu. Syarat telah
dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan
dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu tidak
berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil yang
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
 sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
 sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
 biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
 sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah; dan
 sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan Biaya tersebut diatas didapat
kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak
berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

C. Yang Tidak Termasuk Objek Pajak


Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh, berikut ini adalah yang
dikecualikan dari objek pajak:
 bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak
yang bersangkutan; dan
 harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
 warisan;
 harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal;
 penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib
Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan
norma penghitungan khusus (deemed profit);
 pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa;
 dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau
badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: dividen berasal
dari cadangan laba yang ditahan; dan bagi perseroan terbatas, badan usaha
milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan
saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh
lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
 iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai;
 penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
 bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
 penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut
merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek
di Indonesia;
 beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
 sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4
(empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
 bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

D. Kompensasi Kerugian
1. Pengertian Kompensasi Kerugian Fiskal
Kompensasi kerugian fiskal adalah skema ganti rugi yang dilakukan oleh wajib pajak
badan maupun wajib pajak orang pribadi yang berdasarkan pembukuannya mengalami
kerugian. Kompensasi tersebut akan dilakukan pada tahun berikutnya secara berturut-turut
hingga 5 tahun. Pada umumnya, sebuah perusahaan memiliki 2 jenis perhitungan
keuangan, yaitu perhitungan komersial dan perhitungan fiskal. Pada perhitungan fiskal lebih
ditekankan ke penyusunan laporan perpajakan yang ada pada SPT dan pertimbangan
konsekuensi perpajakannya dalam perusahaan.
Lalu, apakah fungsi dari perhitungan fiskal itu sendiri? Jadi, perhitungan fiskal bagi
perusahaan berfungsi sebagai informasi keuangan perusahaan yang nantinya akan
ditujukan secara khusus ke otoritas pajak sebagai salah satu bentuk kepatuhan pajak (tax
compliance). Berdasarkan hasil perhitungan tersebut akan diketahui apakah wajib pajak
mengalami kerugian fiskal atau tidak.
2. Dasar Hukum
Dasar hukum kompensasi kerugian fiskal ada pada UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 6
ayat 2 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Dalam UU tersebut disebutkan bahwa:
“Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai
tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun.”
Adapun arti dari pengurangan pada ayat (1) pernyataan di atas adalah sebagai
berikut:
 Pengurangan biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan
kegiatan usaha.
 Penyusutan atas pengeluaran agar memperoleh harta berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk mendapatkan hak dan atas biaya lain yang memiliki
masa manfaat lebih dari 1 tahun.
 Iuran ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
 Kerugian yang terjadi akibat penjualan dan pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan terkait.
 Kerugian yang disebabkan oleh selisih kurs mata uang asing.
 Pengurangan atas biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang
dilakukan di Indonesia.
 Biaya beasiswa, pelatihan, dan magang.
 Piutang yang ternyata tidak dapat ditagih.
 Bentuk sumbangan yang dialokasikan dalam rangka penanggulangan bencana
nasional yang mana ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
 Biaya sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan
di Indonesia yang mana ketentuannya juga diatur dengan PP.
 Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya juga diatur dengan
PP.
 Sumbangan untuk fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dalam PP.
 Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan PP.
3. Kompensasi Kerugian Fiskal Berdasarkan UU PPh
Terdapat beberapa hal penting yang perlu Anda ketahui mengenai kompensasi
kerugian fiskal berdasarkan UU PPh. Mari simak uraiannya berikut ini:
 Kerugian fiskal sebagaimana dijelaskan dalam UU PPh adalah kerugian
berdasarkan ketetapan pajak yang telah diterbitkan DJP serta kerugian
berdasarkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak (self assessment) dalam hal tidak
ada atau belum diterbitkan ketetapan pajak oleh DJP.
 Kompensasi kerugian fiskal muncul jika dalam tahun pajak sebelumnya terdapat
kerugian fiskal (SPT Tahunan dilaporkan Nihil atau Lebih Bayar tetapi ada
kerugian fiskal).
 Kerugian fiskal terjadi karena pada saat penghasilan bruto dikurang biaya,
hasilnya mengalami kerugian.
 Kerugian fiskal dapat dikompensasikan dengan laba neto fiskal dimulai pada
tahun pajak berikutnya secara berturut-turut sampai dengan lima tahun.
 Ketentuan tentang jangka waktu pengakuan kompensasi kerugian fiskal telah
diberlakukan sejak 2009.
 Jika di kemudian hari berdasarkan ketetapan pajak hasil pemeriksaan
menunjukkan jumlah kerugian fiskal yang berbeda dari kerugian yang
berdasarkan SPT Tahunan PPh atau hasil pemeriksaan menjadi tidak rugi,
kompensasi kerugian fiskal tersebut harus segera direvisi sesuai dengan
ketentuan atau prosedur pembetulan SPT sebagaimana dalam Undang-Undang
Ketentuan Umum Perpajakan.
Sebagai catatan, kompensasi kerugian fiskal tidak akan berlaku bagi wajib pajak
yang seluruh penghasilannya bersifat final atau bukan merupakan objek pajak. Selain itu,
kerugian yang diterima dari luar negeri tidak bisa diikutsertakan dalam perhitungan
kompensasi kerugian fiskal.
4. Contoh Sederhana Perhitungan Kompensasi Kerugian Fiskal
Guna memberikan gambaran kepada Anda mengenai contoh perhitungan
kompensasi kerugian fiskal, mari simak contoh sederhananya berikut ini:
Pada 2014, PT Sinar Rembulan mengalami kerugian fiskal sebanyak Rp300 juta.
Kerugian tersebut dapat dikompensasikan hingga tahun 2019, dengan uraian sebagai
berikut:
Tahun 2014:
Kerugian fiskal = Rp300 juta.

Tahun 2015:
Laba fiskal = Rp100 juta. Nanti, pada 2016, kerugian fiskalnya dapat dikurangi, sehingga
hanya tersisa Rp200 juta.

Tahun 2016:
Rugi fiskal = Rp30 juta. Pada tahun ini wajib pajak belum perlu membayarkan pajak.
Sedangkan sisa kerugian fiskal pada 2016 tetap Rp200 juta, dan memiliki saldo kerugian
fiskal tambahan sebesar Rp30 juta pada 2018. Kedua kerugian ini tidak dapat digabungkan.

Tahun 2017:
Laba fiskal = Rp75 juta, maka laba tersebut akan digunakan untuk mengurangi kerugian
fiskal pada 2016. Jadi, saldo kerugian fiskal 2016 berkurang sebesar Rp125 juta.
Sedangkan saldo rugi fiskal pada 2018 tetap Rp30 juta.
Tahun 2018:
Laba fiskal = Rp30 juta. Maka saldo rugi fiskal tahun 2016 akan dikurangkan, sehingga sisa
Rp95 juta. Sedangkan, rugi fiskal pada 2018 jumlahnya tidak berubah.

Tahun 2019:
Laba fiskal: Rp75 juta, maka saldo rugi fiskal tahun 2016 akan dikurangkan lagi, sehinga,
tersisa Rp20 juta. Sedangkan rugi fiskal tahun 2018 tetap Rp30 juta.

Berdasarkan contoh di atas, dapat diketahui bahwa pada 2015, 2017, 2018, dan
2019 menghasilkan laba fiskal, kerugian tahun 2016 dapat dikompensasi atau
diperhitungkan. Pada tahun ke 5, yakni 2019, masih terdapat sisa kompensasi kerugian
sebesar Rp30 juta. Jumlah ini tidak dapat dikompensasikan lagi karena telah melewati batas
waktu 5 tahun, sehingga sisa Rp30 juta tersebut dikatakan hangus.

E. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan Tarif pajak


Sesuai dengan pasal 7 UU Pajak Penghasilan No 36 Tahun 2008, Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan jumlah pendapatan wajib pajak pribadi yang
dibebaskan dari PPh Pasal 21. Dalam penghitungan PPh 21, PTKP berfungsi sebagai
pengurang penghasilan neto wajib pajak (WP).
PTKP ini bisa dikatakan sebagai dasar untuk penghitungan PPh 21. Jika penghasilan
wajib pajak tidak melebihi PTKP maka wajib pajak tidak dikenakan pajak penghasilan Pasal
21. Sebaliknya, jika penghasilan wajib pajak melebihi PTKP maka penghasilan neto setelah
dikurangi PTKP itulah yang menjadi dasar penghitungan PPh 21. Dalam praktiknya ketika
para wajib pajak melaporkan SPT Tahunan, masih banyak diantara mereka yang belum
mengetahui mengenai tarif PTKP. Padahal hal tersebut merupakan dasar yang dijadikan
untul penghitungan PPh 21. Dari Penghasilan Bruto dikurangi biaya-biaya kemudian menjadi
penghasilan neto, dari penghasilan neto itu dikurangi oleh PTKP, dan akhirnya menjadi
Penghasilan Kena Pajak.
Selain aturan yang tertera dalam pasal 7 UU No 36 Tahun 2008, terdapat juga
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) RI No. 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian PTKP.
Dalam aturan baru ini, jumlah PTKP untuk wajib pajak orang pribadi adalah
Rp54.000.000,00 setahun atau Rp Rp4.500.000,00 per bulan. Sementara cara
penghitungannya diuraikan secara detail melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.
PER-16/PJ/2016. Jadi jika wajib Pajak berpenghasilan hingga Rp4.500.000,00 sebulan,
berdasarkan aturan PTKP 2021, pendapatan hingga Rp4.500.000,00 per bulan dibebaskan
dari pungutan PPh 21. Pembebasan tersebut didasarkan pada ambang batas tarif PTKP.
Jika penghasilan tahunan melebihi ambang batas, maka wajib pajak harus membayar PPh
21.
Meski begitu, wajib pajak tetap harus melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan
(SPT) PPh. Ketentuan ini berlaku hingga wajib pajak memperoleh status Non-Efektif (NE)
dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Besar Tarif PTKP 2021


Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016, berikut tarif
PTKP yang ditetapkan hingga saat ini adalah:
 Untuk Wajib Pajak orang pribadi akan menjadi Rp54.000.000,00 (lima puluh
empat juta rupiah);
 Untuk Wajib Pajak yang kawin mendapat tambahan sebesar Rp4.500.000,00
(empat juta lima ratus ribu rupiah);
 Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami sebesar Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah);
 Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam
garis keturunan lurus serta anak angkat sebesar Rp4.500.000,00 (empat juta
lima ratus ribu rupiah), maksimal 3 (tiga) orang setiap keluarga.
 Keluarga sedarah yang dimaksud dalam poin 4 (empat) adalah orang tua
kandung, saudara kandung dan anak.
 Sementara yang dimaksud keluarga semenda adalah mertua, anak tiri, dan ipar.
Agar lebih jelas dan mudah dipelajari, berikut tabel tarif lengkap PTKP 2021 yang
mengacu pada pada PMK No.101/PMK.010/2016:
Keterangan Status Besaran PTKP

WP Tidak Kawin Tanpa Tanggungan Tidak Kawin/TK0 Rp54.000.000


WP Tidak Kawin, punya 1 Tanggungan Tidak Kawin/TK1 Rp58.500.000
WP Tidak Kawin, punya 2 Tanggungan Tidak Kawin/TK2 Rp63.000.000
WP Tidak Kawin, punya 3 Tanggungan Tidak Kawin/TK3 Rp67.500.000
WP Kawin Tanpa Tanggungan Kawin/K0 Rp58.500.000
WP Kawin, punya 1 Tanggungan Kawin/K1 Rp63.000.000
WP Kawin, punya 2 Tanggungan Kawin/K2 Rp67.000.000
WP Kawin, punya 3 Tanggungan Kawin/K3 Rp72.000.000
WP Kawin dan Penghasilan Istri Kawin/K/I/0 Rp112.500.000
digabung Penghasilan Suami Tanpa
Tanggungan
WP Kawin dan Penghasilan Istri Kawin/K/I/1 Rp117.000.000
digabung Penghasilan Suami, Punya 1
Tanggungan
WP Kawin dan Penghasilan istri Kawin/K/I/2 Rp121.500.000
digabung Penghasilan Suami, Punya 2
Tanggungan
WP Kawin dan Penghasilan Istri Kawin/K/I/3 Rp126.000.000
digabung Penghasilan Suami, Punya 3
Tanggungan
Jika dilihat dari tabel tersebut, diketahui bahwa tiap bertambahnya tanggungan,
maka bertambah pula tarif PTKP sebanyak Rp4,5 juta. Tarif PTKP saat ini bukanlah tarif
baku yang muncul sejak diberlakukannya tarif PTKP sejak 1984, melainkan telah mengalami
beberapa kali pergantian. Kenaikan tarif terbesar yaitu terjadi saat PTKP dari tahun 2015 ke
2016, yakni dari Rp36.000.000 menjadi Rp54.000.000 untuk PTKP Orang Pribadi Lajang
dan Tidak Punya Tanggungan.

Anda mungkin juga menyukai