ANGIOEDEMA
Disusun Sebagai Tugas Mengikuti kepanitraan Klinik Stase Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Umum Haji Medan
Pembimbing :
dr. SatriaYanis, Sp.KK
Disusun oleh:
1. Brian Perkasa 19360235
2. Nurcahaya ropleni I.S 19360260
3. Retna purnama sari 19360210
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga Paper ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dengan judul
“ANGIOEDEMA”.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih
jauh dari kesempurnaan, baik dara cara penulisannya, penggunaan tata bahasa, dan dalam
penyajiannya sehingga penulis menerima saran dan kritik konstruktif dari semua pihak.
Namun terlepas dari semua kekurangan yang ada, semoga dapat bermanfaat bagi
pembacanya.
Penulis tak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada dr.Satria Yanis,Sp.KK
yang telah membimbing dan mengarahkan kami dalam menyelesaikan paper ini. Penulis
juga berterima kasih kepada rekan-rekan yang telah bekerja sama membantu menyusun
paper ini.
Akhirnya semoga paper ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan,
khususnya di bidang kedokteran. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Aamiin
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angioedema adalah pembengkakan akut yang disebabkan karena
meningkatnya permeabilitas pembuluh darah pada jaringan lunak wajah, alat
genitalia, atau jaringan lunak sekitar sendi. Pembengkakan terjadi pada dermis dan
dibawah kulit atau jaringan submukosa. Angioedema dapat muncul bersamaan
dengan urtikaria biasa atau muncul sendiri sebagai gejala dari reaksi alergi tipe I,
reaksi pseudoalergi, atau urtikaria kronik yang muncul kembali. Bibir, telapak
tangan, telapak kaki tungkai, dan alat genitalia merupakan bagian tubuh yang sering
terkena. Angioedema yang terjadi pada saluran gastrointestinal dan saluran
pernafasan dapat menyebabkan disfagia, dyspnea, nyeri abdomen, mual, dan
muntah.
Kadang-kadang dapat bersifat akut pada 20% populasi. Insidensi
angioedema terjadi sekitar 0,5% dan usia, ras, jenis kelamin, pekerjaan, musim
dapat berperan terjadinya angioedema. Sebanyak 45% pasien angioedema terjadi
karena gangguan autoimunnya. Rata-rata faktor penyebab dari angioedema ini bisa
disebankan adanya reaksi hipersensitivitas IgE. Mediasi imun kompleks,dan rilis
non imunologis atau nediator-mediator yang lain.
Angioedema secara garis besar terdiri atas Acquired Angioedema,
Angioedema-eosinophilia syndrome, dan hereditary angioedema, Idiopatic
Angioedema. Acquired Angioedema sangat karang terjadi pada anak-anak. Hal ini
berhubungan dengan kerusakan ploriferasi sel B pada autoantibodi yang
berhubungan langsung dengan inhibisi protein C1.
Banyak hal yang bisa memicu terjadinya angioedema, infeksi virus,
obatobatan dan makanan. Pada anak-anak, telur, susu, kacang, kedelai gandum
adalah penyebab kebanyakan alergi. Ikan, makanan laut, kacang-kacangan, kacang
tanah merupakan penyebab utama pada orang dewasa.
Pendekatan terhadap pasien dalam mendiagnosis angioedema harus secara
sistematos, dan riwayat merupakan komponen terpenting. Dimulai dari anamnesis
komprehensiv terhadap pasien, mencari penyababnya, dan melakukan pemeriksaan
1
2
A. Definisi
Angioedema (giant urticaria, Quincke edema, dan angioneurotic edema)
adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas vaskular
pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan submukosa atau membran
mukosa.
Angioedema adalah urtika yang mengenai lapisan kulit yang lebih dalam
daripada dermis, dapat di submukosa, atau di subkutis, juga dapat mengenai saluran
napas, saluran cerna dan organ kardiovakular. Kulit dapat nampak normal dan
menimbulkan lebih keluhan sakit dan rasa terbakar dibandingkan rasa gatal.
Edema mendadak pada dermis bagian bawah dan subkutis dengan
manifestasi edema sewarna kulit atau eritema pada area predileksi, yang sering
disertai keterlibatan lapisan submukosa. Kadang-kadang disertai gejala subyektif
nyeri atau panas, rasa gatal jarang ada. Angioedema disebut akut jika berlangsung
kurang dari 6 mingg, sedangkan serangan yang menetap melebihi 6 minggu
dianggap kronik.
B. Epidemiologi
Urtikaria dan angioedema sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa
lebih banyak dibandingkan dengan usia muda. Ditemukan 40% bentuk urtikaria
saja, 49% urtikaria bersama-sama dengan angioedema dan 11% angioedema saja.
Tidak ada perbedaan frekuensi jenis kelamin, baik laki-laki maupun wanita. Umur,
ras, jabatan/pekerjaan, letak geografis, dan perubahan musim dapat mempengaruhi
hipersensitivitas yang diperankan oleh IgE.
Hereditary angioedema (HAE) adalah penyakit autosomal dominan dan
karena itu mempengaruhi 50% dari keturunan dari kedua jenis kelamin. Sering,
riwayat penyakit ini didapatkan pada beberapa generasi, namun mutasi baru yang
terjadi, dan tidak jarang ditemukan riwayat keluarga negatif. Acquired angioedema
(AAE) sangat jarang, biasanya pada orang tua yang memiliki paraproteinemia atau
3
4
keganasan seperti limfoma. Angioedema terkait dengan inhibitor ACE terjadi pada
0,1-0,2% dari pasien yang diobati.
C. Etiologi
Angioedema dengan etiologi yang diidentifikasi yang disebabkan oleh
hipersensitivitas, ransangan fisik, penyakit autoimun atau infeksi, ACE inhibitor,
NSAIDs dan defisiensi C1-inhibitor.
Hipersensitivitas yang dipicu oleh buah segar, kerang, coklat, kacang-kacangan,
tomat, dan berbagai obat, termasuk produk susu yang tercemar penicillin serta
akibat pajanan dari hewan atau kapang disebabkan masing-masing oleh inhalasi
tepung sari (pollen), bulu binatang, dan spora kapang.
Ransangan fisik seperti dingin, tekanan, stress dan panas, sinar matahari, air atau
bahan kimia seperti latex.
Penyakit autoimun (lupus eritematous sistemik, hipertiroid, artritis pada demam
reumatik dan arthritis rheumatoid juvenilis) atau infeksi (bakteri, virus, jamur,
maupun infestasi parasit)
ACE inhibitors merupakan kontraindikasi pada pasien dengan riwayat
angioedema idiopatik dan defisiensi C1-inhibitor
NSAIDs (ibuprofen dan aspirin).
Defisiensi C1-INH yang dapat timbul sebagai kelainan bawaan dominan autosom
atau sebagai kelainan didapat.
D. Klasifikasi
Pembengkakan yang terjadi pada angioedema merupakan hasil
dari peningkatan permeabilitas vaskuler lokal pada jaringan submukosa dan
subkutaneus. Angioedema dapat diklasifikasikan menjadi allergic angioedema,
pseudoallergic angioedema, non-allergic angioedema dan idiopathic angioedema.
a. Allergic angioedema
Allergic angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria. Angioedema
biasanya akan mucul dalam waktu 30 menit sampai 2 jam setelah terpajan
allergen. Allergic angioedema dapat disebabkan oleh obat, makanan, bahan
kontras.
5
d. Idiopathic angioedema
Istilah idiopatik merujuk pada suatu penyakit atau kondisi tanpa
diketahui penyebabnya. Berdasarkan respon terhadap terapi, beberapa kasus
mungkin saja dimediasi oleh aktivasi mast cell. Hal yang menjadi pemicu paling
sering adalah panas, dingin, stress emosional, dan latihan. Aktivasi dan
degranulasi mast cell dianggap menjadi penyebabnya. Diagnosis angioedema
7
E. Gejala Klinis
Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar atau tertusuk. Klinis tampak
eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak
lebih pucat. Bentuknya dapat papular dan besarnya dapat lentikular, nummular,
sampai plakat. Urtikaria dan/atau angioedema bila mengenai jaringan yang lebih
dalam sampai dermis dan jaringan submukosa atau subkutan, juga beberapa organ
misalnya saluran cerna dan napas.
Erupsi urtikaria menimbulkan gatal, dapat mengenai setiap bagian tubuh
dari kepala sampai ujung kaki, dan muncul bersamaan, dalam waktu 24 sampai 72
jam, dengan lesi lama menghilang dan lesi baru muncul. Walaupun bersifat
swasirna, angioedema pada saluran napas bagian atas dapat menyancam nyawa
akibat sumbatan laring, sedangkan kelainan pada makanan dapat menimbulkan
kolik abdomen, dengan atau tanpa mual dan muntah.
F. Diagnosis
Kriteria Diagnostik Klinis:
1. Anamnesis
1. Gejala objektif berupa edema kulit mendadak pada area predileksi.
2. Gejala subjektif berupa rasa nyeri atau rasa terbakar, dan gatal ringan.
3. Dapat disertai atau tidak disertai urtikaria. Sebanyak 43,8% angioedema
alergi disertai urtikaria.
4. Dapat disertai kesulitan menelan atau bernafas apabila ada keterlibatan
8
Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis, diagnosis urtikaria dan
angioedema mudah ditegakkan, namun beberapa pemeriksaan diperlukan untuk
membuktikan penyebabnya, misalnya:
1. Pemeriksaaan darah, urin rutin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi
yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.
2. Pemeriksaan gigi, teling-hidung-tenggorok, serta usapan vagina perlu untuk
menyingkirkan adanya infeksi fokal.
3. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.
4. Tes kulit, meskipun terbatas penggunaannya dapat digunakan dalam menentukan
diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test), serta tes intradermal
dapat dipergunakan untuk mencari allergen inhalan, makanan dermatofit dan
kandida.
5. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai
untuk beberapa waktu, lalu mencoba kembali satu demi satu.
6. Pemeriksaan histopatologik, walaupun tidak selalu diperlukan, dapat membantu
diagnosis. Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapiler di papilla dermis,
geligi epidermis mendatar, dan serat kolagen membengkak. Pada tingkat
permulaan tidak tampak infiltrasi selular dan pada tingkat lanjut terdapat infiltrasi
leukosit, terutama di sekitar pembuluh darah.
7. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.
9
G. Diagnosis Banding
1. Eritema multiforme
2. Vaskulitis urticarial
3. Dermatitis Herpetiformis
H. Penatalaksanaan
1. Non Medikamentosa
1) Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor penyebab endogen
dan eksogen.
2) Apabila didapatkan sesak nafas, suara serak atau odinofagia
dikonsulkan ke spesialis THT untuk dilakukan
nasopharyngolaryngoscopi (NPL) dengan terlebih dahulu diatasi
keadaan darurat di Unit Gawat Darurat.
3) Apabila didapatkan edema laring berdasarkan hasil NPL
maka dirawat di ICU untuk monitor jalan nafas.
4) Pasien dengan edema terbatas pada kulit dapat diobservasi
di unit gawat darurat dalam 6 jam, dan diperbolehkan rawat jalan.
2. Medikamentosa
a. Prinsip:
Mengurangi pelepasan mediator oleh sel mast dan/atau efek
mediator tersebut pada organ target, serta menginduksi toleransi.
Pada angioedema akut pengobatan difokuskan untuk mengurangi
gejala
b. Topikal Tidak:
ada terapi khusus
13
c. Sistemik:
Apabila ada gangguan nafas: epinefrin atau adrenalin (1:1000) dosis
0,3 ml subkutan atau intramuskular, diulangi setiap 10 menit.
Pengobatan selanjutnya:
Lini pertama:
Antihistamin H-1 generasi ke-2 seperti loratadin, cetirizin,
desloratadin, atau feksofenadin, dapat diberikan pada pasien
rawat jalan .
Atau antihistamin H-1 generasi ke-1.
Apabila gejala menetap setelah 2 minggu pengobatan, maka
diberikan pengobatan lini kedua.
Lini kedua:
Dosis antihistamin H-1 generasi kedua ditingkatkan 2-4 kali
lipat.
Apabila gejala menetap setelah 1-4 minggu berikutnya diberikan
pengobatan lini ketiga.
Lini ketiga:
Kortikosteroid diindikasikan pada pasien dengan syok
anafilaksis, edema laring, dan gejala yang berat yang tidak
berespons dengan pemberian antihistamin. Dosis 0,5-1
mg/kgBB/hari dengan atau tanpa tapering.
Kortikosteroid jangka pendek (maksimal 10 hari) dapat juga
digunakan apabila terjadi eksaserbasi.
Dapat ditambahkan omalizumab atau siklosporin.
I. Komplikasi
Normalnya angioedema tidak menimbulkan komplikasi meskipun rasa gatal
yang ditimbulkan akan mempengaruhi aktivitas sehari-hari bahkan menyebabkan
depresi. Pada reaksi anafilaktif akut, edema pada laring merupakan komplikasi
paling serius, bisa menyebabkan asfiksia, dan edema pada trakeobronkial bisa
menyebabkan asma.
14
J. Prognosis
Prognosis angioedema tergantung pada penyebab dan klasifikasinya.
Angioedema yang diketahui faktor penyebab dan pencetusnya serta dapat dihindari
akan mudah dicegah.
Pasien dengan HAE sebagian besar tergantung pada fenotip penyakit
(frekuensi serangan laring), akses pasien untuk C1 INH konsentrat, dan seberapa
baik pasien mentolerir androgen dilemahkan. Bagi sebagian besar pasien, harapan
hidup harus normal. AAE biasanya sembuh dengan pengobatan dari kondisi yang
mendasari, tapi prognosis akhir tergantung pada sifat penyakit itu. Angioedema
terkait dengan penggunaan inhibitor ACE sembuh setelah obat dihapus
DAFTAR PUSTAKA
1. Dwi Murtiastutik. 2010. Urtikaria. In: Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 2.
Surabaya: Unair
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Panduan Praktik
Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit Dankelamin Di Indonesia. Jakarta:
PERDOSKI 2017.
3. Aisah S. 2011. Urtikaria. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: FKUI