Anda di halaman 1dari 1

rumahtangga dikurangi sehingga mengalami Susiana (2009), rendahnya gaji atau upah yang diterima

pengalaman sensasi fisik berupa kelaparan yang oleh wanita tidak terlepas dari pandangan patriarkis
berulang. Pada sebagian besar rumahtangga tidak bahwa wanita kurang produktif jika dibandingkan
tahan pangan yang memiliki anak, tindakan dengan pria. Selanjutnya, disebutkan bahwa pria sebagai
mengurangi asupan makanan pada anak-anak tidak kepala rumahtangga dibayar dengan
terbukti. yaitu upah yang meliputi kebutuhan hidup bagi dirinya
sendiri, istri, dan anak-anaknya. Sebaliknya, wanita
d. tidak tahan pangan dengan kelaparan berat yaitu
yang melakukan kerja produktif hanyalah memberi
keadaan bagi semua rumahtangga yang memiliki
tambahan pendapatan keluarga dan oleh karenanya
anak melakukan pengurangan asupan makanan
dapat diberi upah yang kurang daripada pekerja pria,
untuk anak-anak sehingga anak-anak mengalami
bahkan untuk pekerjaan yang sama nilainya. Masih
kelaparan. Bagi beberapa rumahtangga lain yang
menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan (1995)
memiliki anak, hal ini telah terjadi pada saat awal
dalam Susiana (2009), pandangan patriarkis seperti itu
tahap keparahan yang berat. Adapun keadaan orang
sebenarnya bertentangan dengan kenyataan yang ada di
dewasa dalam rumahtangga yang memiliki anak
lapangan. Struktur rumahtangga juga berhubungan
maupun yang tidak memiliki anak mengalami
dengan ketahanan pangan rumahtangga. Struktur
pengalaman yang berulang dan lebih meluas dalam
rumahtangga yang dimaksud didefinisikan sebagai
hal pengurangan asupan makanannya.
komposisi rumahtangga yang terdiri dari anggota
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan rumahtangga. Jumlah anggota rumahtangga
Ketahanan Pangan berhubungan dengan pengeluaran untuk pangan.
Suhardjo (1989) dalam Tanziha (2005), mengemukakan
Ketahanan pangan rumahtangga dapat berhubungan
bahwa meningkatnya jumlah anggota keluarga tanpa
dengan berbagai macam faktor, antara lain tingkat
diimbangi dengan peningkatan pendapatan, maka
pendidikan pengelola pangan rumahtangga, tingkat pendistribusian konsumsi pangan akan semakin sedikit
pendapatan rumahtangga, dan struktur rumahtangga. sehingga konsumsi pangan keluarga tersebut tidak
Pengelola pangan di rumahtangga pada umumnya
cukup untuk mencegah kejadian kurang gizi. Tipe
adalah ibu. Alderman & Gracia (1994) dalam Antang
rumahtangga yang ada di Indonesia ada dua, yaitu
(2002), menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu
rumahtangga yang dikepalai pria dan rumahtangga yang
berhubungan dengan ketahanan pangan melalui
dikepalai wanita. BPS mendefinisikan wanita kepala
konsumsi pangan rumahtangga dan pendidikan kepala rumahtangga adalah wanita yang belum kawin, cerai,
rumahtangga turut mempengaruhi pula, akan tetapi atau janda dan tinggal sendiri atau bersama anak-anak
tidak sebesar pengaruh akibat tingkat pendidikan ibu.
atau anggota rumahtangga lainnya, serta mengurus
Menurut Tanziha (2005), tingkat pendidikan yang tinggi
rumahtangganya sendiri terpisah dari orang lain
juga berhubungan dengan pendapatan. Rumahtangga
(Surbakti, 1990). Wanita yang berstatus kawin terhitung
dengan ibu berpendidikan tinggi biasanya mempunyai
sebagai kepala rumahtangga bila suaminya tinggal di
lebih banyak uang yang dapat digunakan untuk tempat lain. Menurut Surbakti (1991), secara de jure
pembelian pangan. Penelitian lainnya mengenai wanita digambarkan sebagai kepala rumahtangga,
ketahanan pangan yang dilakukan oleh Khomsan
karena memang hidup berumahtangga sendiri, dalam
menemukan bahwa indikator ketahanan pangan di Jawa
arti tidak menikah atau karena bercerai, cerai-hidup atau
adalah konsumsi beras, tempe, tahu, serta pendidikan
cerai-mati. Secara de facto wanita digambarkan sebagai
ayah dan ibu. Khomsan juga menyatakan bahwa
kepala rumahtangga karena wanita merantau tanpa
semakin tinggi pendidikan ayah dan ibu maka suami atau sebaliknya dan berumahtangga sendiri. Pada
pendapatan rumahtangga juga akan semakin tinggi status sosial dalam masyarakat, wanita menjadi pencari
sehingga mereka memiliki daya beli pangan yang lebih
nafkah utama dan menjadi penanggung jawab untuk
besar (Khomsan, 1999 dalam Maisaroh, 2001).
rumahtangga. Hal ini berlaku pula untuk rumahtangga
Selain pendidikan, pendapatan juga berhubungan dengan kehadiran suami tetapi suami tidak mampu
dengan ketahanan pangan, dimana seperti yang secara fisik atau mental untuk mengelola
dinyatakan oleh Khomsan bahwa semakin tinggi rumahtangganya (Surbakti, 1991). Berdasarkan
pendidikan maka pendapatan akan semakin tinggi pula pengamatan makro terhadap lima jenis komunitas,
dan pada akhirnya daya beli pangan juga akan lebih Surbakti (1991) dalam Pusat Studi Wanita-Institut
besar. Menurut FAO (1997) dalam Tanziha (2005), Pertanian Bogor (1998) mengemukakan bahwa: (1)
bahwa determinan utama dari ketahanan Umumnya rumahtangga yang dikepalai wanita
pangan/ketidaktahanan pangan adalah pendapatan yang mempunyai status ekonomi yang lebih rendah dibanding
memadai atau daya beli untuk memenuhi biaya hidup. rumahtangga yang dikepalai pria, (2) Ada kesenjangan
Menurut Hunger Site (2003) dalam Tanziha (2005), status ekonomi yang nyata antara rumahtangga yang
peningkatan pendapatan keluarga dapat memperbaiki dikepalai wanita dan rumahtangga yang dikepalai pria
ketahanan pangan keluarga melalui peningkatan akses dan kesenjangan tersebut bersumber pada susunan
mereka terhadap pangan. Menurutnya, konsumsi pangan anggota rumahtangga pencari nafkah, pendidikan, dan
sangat berhubungan dengan tingkat pendapatan, kesempatan bekerja, dan (3) Status ekonomi
berdasarkan hasil penelitiannya baik di perkotaan rumahtangga yang dikepalai wanita sangat dipengaruhi
maupun di pedesaan menunjukkan bahwa pendapatan oleh komunitasnya.
berhubungan nyata dengan konsumsi kalori. Menurut
Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan (1995) dalam
200 | Fathonah, Tri Yuliyanti. et. al. Tingkat Ketahanan Pangan pada Rumahtangga

Anda mungkin juga menyukai