Anda di halaman 1dari 2

Interaksi Sains dan Tradisi Agama

Relasi sains dan agama telah menjadi topik yang cukup hangat di kalangan
ilmuwan sejak beberapa abad yang lalu. Pada mulanya, relasi sains dan agama
merupakan pembicaraan yang cukup kontroversial di dunia Barat. Akan tetapi,
kemajuan sains dan teknologi di dunia Barat telah memberikan dampak yang
cukup besar bagi masyarakat muslim. Akibatnya, kontroversi antara sains dan
agama juga menjadi salah satu isu yang banyak dibicarakan di kalangan sarjana
muslim.
Pada abad ke-20, interaksi antara sains dan agama mengambil beragam
bentuk. Interaksi ini muncul sebagai respons terhadap kemajuan-kemajuan yang
dicapai oleh para saintis. Respons yang diberikan antara lain adalah upaya
mempertahankan doktrin tradisional keagamaan, meninggalkan tradisi dan beralih
ke nuansa sekularisasi, dan ada juga yang mencoba merumuskan kembali wacana-
wacana keagamaan dengan menggunakan pendekatan ilmiah.
Secara sepintas, unifikasi antara sains modern dengan dogma-dogma agama
rasanya tidak mungkin dilakukan mengingat domain kedua bidang tersebut
berbeda secara diametral. Dari sudut pandang ontologis, sains memandang realitas
sebagai sesuatu yang bersifat empiris, kalkulatif, dan verifikatif. Sementara itu,
agama memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat metafisis, intuitif, dan
spekulatif. Mempertemukan kedua sudut pandang ini dalam satu bidang kajian
ilmiah berarti sekaligus memposisikan realitas konkrit dan abstrak pada satu
wilayah yang sama.
Sementara dari sudut pandang epistemologis, konvergensi antara sains dan
agama juga mengalami kendala yang cukup besar. Paradigma sains yang bersifat
positivistik, empiris, dan rasional tentu saja tidak sesuai dengan paradigama
agama yang bersifat spritual, metafisis, dan moral. Meskipun berbeda paradigma,
namun sebagian kalangan ada yang menilai bahwa ajaran agama yang bersumber
dari wahyu jauh lebih tinggi posisinya dibandingkan dengan ilmu pengetahuan
yang bersumber dari akal dan rasio manusia. Asumsi ini kemudian memberikan
kekuatan bagi agama untuk selalu mengontrol pencapaian-pencapain dalam
bidang sains dan teknologi. Penemuan-penemuan sains dan teknologi yang
dianggap bertentangan dengan ajaran agama harus dihentikan agar tidak merusak
nilai-nilai kesakralan agama yang benar secara taken for granted.
Penyalahgunaan kekuasaan agama untuk mengontrol laju perkembangan
sains dan teknologi dapat berdampak buruk. Wajah buram relasi sains dan agama
di abad pertengahan yang lalu selalu masih membayang-bayangi masyarakat
ilmuwan kontemporer saat ini. Penggunaan kuasa kontrol yang terlalu berlebihan
dari pihak agama dapat menyebabkan agama akan ditinggalkan oleh para
penganutnya. Sebaliknya, pengembangan sains dan teknologi yang tidak
menghiraukan ajaran-ajaran agama dapat menimbulkan krisis spritual di kalangan
para ilmuwan. Pada terminal inilah kita melihat adanya persinggungan akrab
antara sains dan agama.
Buku yang ada di tangan pembaca saat ini merupakan hasil penelitian
serius kami untuk melihat salah satu bentuk relasi antara sains dan agama.
Teknologi kloning yang belakangan ini menarik minat para ahli biologi molekular
berkembang cukup pesat. Banyak investor yang bersedia menginvestasikan
modalnya untuk menarik keuntungan dari pengembangan teknologi ini. Fenomena
ini tentu saja membuat pihak agamawan merasa terusik. Mereka mengajukan
protes keras terhadap penggunaan teknologi kloning bagi usaha reproduksi
manusia. Protes-protes tersebut tentu saja boleh dilakukan selama mereka mampu
mengemukakan argumentasi dalam menolak penerapan teknologi tersebut.
Relasi sains dan agama yang kami jabarkan dalam buku ini dimaksudkan
untuk menelusuri sebarapa jauh tingkat kemashlahatan dan kemudaratan kloning
bagi manusia. Melalui penelusuran tersebut akhirnya kami berlabuh di dalam
suatu kesimpulan untuk menolak penerapan kloning kepada manusia. Dengan
demikian, buku ini mencoba melihat salah satu bentuk relasi konflik antara sains
dan agama.

Anda mungkin juga menyukai