Anda di halaman 1dari 13

Penanganan Medis Oleh Lawan Jenis

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi mata kuliah agama islam

Oleh

Meilinia Sumpena Putri A 181 071

Muhammad Rakan Naufal A 181 074

Reni Hardiyanti A 181 084

PROGRAM STUDI FARMASI

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA

YAYASAN HAZANAH

BANDUNG

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, nikmat serta karunia-Nya yang
tak ternilai dan tak dapat dihitung sehingga kami bisa menyusun dan menyelesaikan makalah ini.
Makalah yang berjudul “Penangangan medis oleh lawan jenis (pro)” ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Agama
Makalah ini berisikan mengenai hal-hal apa saja yang termasuk ke dalam hukum dari
penanganan medis oleh lawan jenis dalam pandangan islam. Masalah yang diangkat mulai dari
masalah penanganan medis dalam kehidupan sampai hukum-hukum yang ada dalam islam
Adapun, penyusunan makalah ini kiranya masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kami
menghaturkan permohonan maaf apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini. Kami berharap
pembaca makalah ini dapat mendapatkan manfaat dari apa yang kami tulis di dalam makalah ini
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada segala pihak yang tidak bisa disebutkan satu-
persatu atas bantuannya dalam penyusunan makalah ini.

Bandung, 27 Mei 2019


Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam sangat memperhatikan dunia kesehatan ,dengan tujuan untuk menolong orang yang sakit dan

meningkatkankesehatan. Anjuran islam untuk hidup bersih juga menunjukan obsesi islam untuk

mewujudkan kesehatan masyarakat, sebabkebersihan pangkal kesehatan, dan kebersihan

dipandang sebagai bagian dari iman. Jadi walaupun seseorang sudah

menjagakesehatannya sedemikian rupa,resiko kesakitan masih besar,disebabkan

faktor eksternal yang diluar kemampuaanyamenghindari.Mengingat kompleksnya faktor pemicu

penyakit,maka profesi petugas kesehatan tidak bisa dihindari karena petugaskesehatan sangat

dibutuhkan secara tradisional sampai pada yang semi modern dan super modern. Petugas kesehatan secaraumum

dapat dibagi dua, yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan medis. Pelayanan kesehatan adalah

kegiatan yangdilakukan oleh pranata sosial tau politik kepada keseluruhan masyarakat sebagai

tujuannya.Sedangkan pelayanan medisadalah suatu upaya dan kegiatan pencegahan,pengobatan dan

pemulihan kesehatan yang dilaksanakan atas dasar hubunganindividual antara para ahli pelayanan medis

dengan individu yang membutuhkannya.Sebagai petugas kesehatan harus bertindak profesional

sesuai fungsi dan tujuan dari pelayanan medis dengan demikiandapat tercapaipelaksanaan pelayanan

kesehatan yang bermutu dan sesuai dengan syriat islam

B. Rumusan masalah

1. bagaimana pandangan islam dan kesehatan tentang hubungan petugas kesehatan dan pasien

yang berbeda jenis kelamin?

2.Bagaimana hukum penanganan medis berbeda jenis kelamin menurut islam dan kesehatan?
C. Tujuan

1.Menjelaskan hukum penanganan medis dengan lawan jenis

2.Menjelaskan bagaimana pandangan islam tentang hubungan petugas kesehatan dan pasien

yang berbeda jenis kelamin


BAB II

PEMBAHASAN
Islam mensyariatkan, jika seseorang tertimpa penyakit maka ia diperintahkan untuk berusaha
mengobatinya. Al-Qur`ân dan as-Sunnah telah menetapkan syariat tersebut. Dan pada pelayanan
dokter memang terdapat faedah, yaitu memelihara jiwa. Satu hal yang termasuk ditekankan
dalam syariat Islam.
Pembahasan masalah di atas akan diulas melalui beberapa sub judul, dengan bercermin pada
fatwa-fatwa ulama kontemporer.

PANDANGAN ISLAM TERHADAP IKHTILAT


Pembahasan tentang ikhtilat sangat penting untuk menjawab persoalan di atas. Yakni untuk
menjaga kehormatan dan menghindarkan dari perbuatan yang mengarah dosa dan kekejian.

Yang dimaksud ikhtilat, yaitu berduanya seorang lelaki dengan seorang perempuan di tempat
sepi. Dalam hal ini menyangkut pergaulan antara sesama manusia, yang rambu-rambunya sangat
mendapat perhatian dalam Islam. Yaitu berkait dengan ajaran Islam yang sangat menjunjung
tinggi keselamatan bagi manusia dari segala gangguan. Terlebih lagi dalam masalah mu’amalah
(pergaulan) dengan lain jenis. Dalam Islam, hubungan antara pria dan wanita telah diatur dengan
batasan-batasan, untuk membentengi gejolak fitnah yang membahayakan dan mengacaukan
kehidupan. Karenanya, Islam telah melarang pergaulan yang dipenuhi dengan ikhtilat (campur
baur antara pria dan wanita).

Dalam hadits di bawah ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kaum
lelaki untuk lebih berhati-hati dalam masalah wanita.

ُ ْ‫ُول هَّللا ِ أَفَ َرأَيْتَ ْال َح ْم َو قَا َل ْال َح ْم ُو ْال َمو‬


‫ت‬ َ ‫ار يَا َرس‬
ِ ‫ص‬َ ‫ال َر ُج ٌل ِم ْن اأْل َ ْن‬ َ ‫إِيَّا ُك ْم َوال ُّد ُخ‬
َ َ‫ول َعلَى النِّ َسا ِء فَق‬

“Berhati-hatilah kalian dari menjumpai para wanita,” maka seorang sahabat dari Anshar
bertanya,”Bagaimana pendapat engkau tentang saudara ipar, wahai Rasulullah?” Rasulullah
menjawab,”Saudara ipar adalah maut (petaka).” [HR Bukhari dan Muslim].
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah memperingatkan bahaya ikhtilat ini dengan pernyataannya:
“Ikhtilat yang terjadi di antara lelaki dan wanita menjadi penyebab banyaknya perbuatan keji dan
zina”. Maka, sungguh kehatian-hatian Islam dalam banyak hal, ialah demi kemaslahatan
kehidupan manusia itu sendiri.

PERINTAH MENJAGA AURAT DAN MENAHAN PANDANGAN


Di antara keindahan syariat Islam, yaitu ditetapkannya larangan mengumbar aurat dan perintah
untuk menjaga pandangan mata kepada obyek yang tidak diperbolehkan, lantaran perbuatan itu
hanya akan mencelakakan diri dan agamanya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya): Katakanlah kepada orang laki-laki
yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-
budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita . . .” [an-Nûr/24: 30-
31].

Larangan melihat aurat, tidak hanya untuk yang berlawan jenis, akan tetapi Islam pun
menetapkan larangan melihat aurat sesama jenis, baik antara lelaki dengan lelaki lainnya,
maupun antara sesama wanita.

Disebutkan dalam sebuah hadits:


َ ِ ‫ي ع َْن أَبِي ِه أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل اَل يَ ْنظُ ُر ال َّر ُج ُل إِلَى عَوْ َر ِة ال َّر ُج ِل َواَل‬ ِّ ‫ع َْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ْب ِن أَبِي َس ِعي ٍ}د ْال ُخ ْد ِر‬
‫ْال َمرْ أَةُ ِإلَى عَوْ َر ِة ْال َمرْ أَ ِة‬

“Dari ‘Abdir-Rahman bin Abi Sa`id al-Khudri, dari ayahnya, bahwasanya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah seorang lelaki melihat kepada aurat lelaki (yang lain),
dan janganlah seorang wanita melihat kepada aurat wanita (yang lain)”. [HR Muslim]

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, di antara kandungan hadits ini, yaitu larangan bagi
seorang lelaki melihat aurat lelaki (lainnya) dan wanita melihat aurat wanita (lainnya). Di
kalangan ulama, larangan ini tidak diperselisihkan. Sedangkan lelaki melihat aurat wanita, atau
sebaliknya wanita melihat aurat lelaki, maka berdasarkan Ijma’, perbuatan seperti ini merupakan
perkara yang diharamkan. Rasulullah mengarahkan dengan penyebutan larangan seorang lelaki
melihat aurat lelaki lainnya, yang berarti lelaki yang melihat aurat wanita maka lebih tidak
dibolehkan.

Selain itu juga, guna mengantisipasi terjadinya perbuatan buruk, yang disebabkan karena
terjalinnya hubungan bebas antara lelaki perempuan, sehingga Islam benar-benar menutup akses
ke arah sana. Yaitu dengan mengharamkan terjadinya persentuhan antara kulit lelaki dan
perempuan. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

ُ‫س أَ َح ِد ُك ْم بِ ِم ْخيَ ٍط خَ ْي ٌر لَهُ ِم ْن أَ ْن يَ َمسَّ ا ْم َرأَ ٍة الَ ت َِحلُّ لَه‬ ْ ْ ‫أِل َ ْن ي‬


ِ ‫ُط َعنَ فِ ْي َرأ‬

“Tertusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan jarum besi, (itu) lebih baik daripada
ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya”.

Demikian sekilas prinsip pergaulan dengan lawan jenis yang telah ditetapkan Islam. Tujuannya,
ialah demi kebaikan yang sebesar-besarnya.

IDEALNYA MUSLIMAH BEROBAT KE DOKTER WANITA


Hukum asalnya, apabila ada dokter umum dan dokter spesialis dari kaum Muslimah, maka
menjadi kewajiban kaum Muslimah untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Meski hanya sekedar
keluhan yang paling ringan, flu batuk pilek sampai pada keadaan genting, semisal persalinan
ataupun jika harus melakukan pembedahan.

Berkaitan dengan masalah itu, Syaikh Bin Bâz rahimahullah mengatakan: “Seharusnya para
dokter wanita menangani kaum wanita secara khusus, dan dokter lelaki melayani kaum lelaki
secara khusus kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa. Bagian pelayanan lelaki dan bagian
pelayanan wanita masing-masing disendirikan, agar masyarakat terjauhkan dari fitnah dan
ikhtilat yang bisa mencelakakan. Inilah kewajiban semua orang”.

Lajnah Dâ-imah juga menfatwakan, bila seorang wanita mudah menemukan dokter wanita yang
cakap menangani penyakitnya, ia tidak boleh membuka aurat atau berobat ke seorang dokter
lelaki. Kalau tidak memungkinkan maka ia boleh melakukannya.

Bagaimana tidak? Karena seorang muslimah harus menjaga kehormatannya, sehingga ia harus
menjaga rasa malu yang telah menjadi fitrah wanita, menghindarkan diri dari tangan pria yang
bukan makhramnya, menjauhkan diri dari ikhtilath. Tatkala ia ingin mendapatkan penjelasan
mengenai penyakitnya secara lebih banyak, lebih leluasa bertanya, dan sebagainya, maka mau
tidak mau hal ini tidak akan bisa didapatkan dengan baik, melainkan jika seorang wanita berobat
atau memeriksakan dirinya kepada dokter atau ahli medis wanita. Bila tidak, maka hal itu sulit
dilakukan secara maksimal.

BAGAIMANA BILA TIDAK ADA DOKTER WANITA?


Kenyataan yang kita saksikan cukup langkanya dokter umum maupun spesialis dari kalangan
kaum hawa. Keadaan ini, sedikit banyak tentu menimbulkan pengaruh yang cukup membuat
risih kaum wanita, bila mereka mesti berhadapan dengan lawan jenis untuk berobat. Sehingga
banyak diantara kaum wanita yang terpaksa berobat kepada dokter pria.

Syaikh Bin Bâz rahimahullah memandang permasalahan ini sebagai persoalan penting untuk
diketahui dan sekaligus menyulitkan. Akan tetapi, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memberi karunia ketakwaan dan ilmu kepada seorang wanita, maka ia harus bersikap hati-hati
untuk dirinya, benar-benar memperhatikan masalah ini, dan tidak menyepelekan. Seorang wanita
memiliki kewajiban untuk mencari dokter wanita terlebih dahulu. Bila mendapatkannya,
alhamdulillah, dan ia pun tidak membutuhkan bantuan dokter lelaki.

Bila memang dalam keadaan darurat dan terpaksa, Islam memang membolehkan untuk
menggunakan cara yang mulanya tidak diperbolehkan. Selama mendatangkan maslahat, seperti
untuk pemeliharaan dan penyelamatan jiwa dan raganya. Seorang muslimah yang keadaannya
benar-benar dalam kondisi terhimpit dan tidak ada pilihan, (maka) ia boleh pergi ke dokter lelaki,
baik karena tidak ada ada seorang dokter muslimah yang mengetahui penyakitnya maupun
memang belum ada yang ahli.

Allah Ta`ala menyebutkan dalam firman-Nya surat al-An’âm/6 ayat 119:

‫ص َل لَ ُك ْم َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ْم إِال َما اضْ طُ ِررْ تُ ْم إِلَ ْي ِه‬


َّ َ‫َوقَ ْد ف‬

“(padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya)”.

Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus mengikuti rambu-
rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku secara mutlak. Keberadaan mahram adalah
keharusan, tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus bertemu
dan berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi mahram atau suaminya saat pemeriksaan.
Tidak berduaan dengan sang dokter di kamar praktek atau ruang periksa.

Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bâz rahimahullah untuk pengobatan pada bagian tubuh yang
nampak, seperti kepala, tangan, dan kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat wanita,
meskipun sudah ada perawat wanita –umpamanya- maka keberadaan suami atau wanita lain
(selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik untuk menjauhkan dari kecurigaan.

Ketika Syaikh Shalih al-Fauzan ditanya mengenai hukum berobat kepada dokter yang berbeda
jenisnya, beliau menjelaskan:
“Seorang wanita tidak dilarang berobat kepada dokter pria, terlebih lagi ia seorang spesialis yang
dikenal dengan kebaikan, akhlak dan keahliannya. Dengan syarat, bila memang tidak ada dokter
wanita yang setaraf dengan dokter pria tersebut. Atau karena keadaan si pasien yang mendesak
harus cepat ditolong, (karena) bila tidak segera, penyakit (itu) akan cepat menjalar dan
membahayakan nyawanya. Dalam masalah ini, perkara yang harus diperhatikan pula, dokter
tersebut tidak boleh membuka sembarang bagian tubuh (aurat) pasien wanita itu, kecuali sebatas
yang diperlukan dalam pemeriksaan. Dan juga, dokter tersebut adalah muslim yang dikenal
dengan ketakwaannya. Pada situasi bagaimanapun, seorang muslimah yang terpaksa harus
berobat kepada dokter pria, tidak dibolehkan memulai pemeriksaan terkecuali harus disertai oleh
salah satu mahramnya”.

Ketika Lajnah Dâ-imah menjawab sebuah pertanyaan tentang syarat-syarat yang harus terpenuhi
bagi dokter lelaki untuk menangani pasien perempuan, maka Lajnah Dâ-imah mengeluarkan
fatwa yang berbunyi: “(Syarat-syaratnya), yaitu tidak dijumpai adanya dokter wanita muslimah
yang sanggup menangani penyakitnya, dokter tersebut seorang muslim lagi bertakwa, dan pasien
wanita itu didampingi oleh mahramnya”.

Demikian pula menurut Syaikh Muhammmad bin Shalih al-‘Utsaimin. Hanya saja, untuk
menangani wanita muslimah, beliau rahimahullah lebih memilih seorang dokter wanita
beragama Nashrani yang dapat dipercaya, daripada memilih seorang dokter lelaki muslim. Kata
beliau: “Menyingkap aurat lelaki kepada wanita, atau aurat wanita kepada pria ketika dibutuhkan
tidak masalah, selama terpenuhi dua syarat, yaitu aman dari fitnah, dan tidak disertai khalwat
(berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya). Akan tetapi, berobat kepada dokter
wanita yang beragama Nasrani dan amanah, tetap lebih utama daripada ke doker muslim
meskipun lelaki, karena aspek persamaan”.

Penjelasan tambahan Syaikh al-‘Utsaimin di atas, juga dipilih oleh para ulama yang tergabung
dalam Lajnah Daimah. Dalam fatwanya yang bernomor 16748, Lajnah Dâ-imah memfatwakan,
wanitalah yang menangani (pasien) wanita, baik ia seorang muslimah maupun bukan. Seorang
lelaki yang bukan mahram, tidak boleh menangani wanita, kecuali dalam kondisi darurat. Yaitu
bila memang tidak ditemukan dokter wanita.
Begitu pula bagi wanita yang menghadapi persalinan.

Ada sebuah pertanyaan mengenai hukum wanita memasuki rumah sakit untuk menjalani
persalinan, sedangkan dokter-dokter di rumah sakit tersebut seluruhnya laki-laki. Lajnah Dâ-
imah memberi jawaban: “Dokter laki-laki tidak boleh menangani persalinan wanita, kecuali
dalam kondisi darurat, seperti mengkhawatirkan kondisi wanita (ibu bayi), sementara itu tidak
ada dokter wanita yang mampu mengambil alih pekerjaan itu”.

Orang hidup itu selalu membutuhkan pertolongan orang lain. Bagaimanapun kuat dan gagahnya
ia, tetaplah ia merupakan makhluk yang lemah. Sakit akan selalu menimpa siapa saja, tidak
peduli ia berkelamin laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, semua sama saja dan pasti akan
pernah merasakan sakit. Ini secara tidak langsung merupakan hikmah, mengapa seorang
muslimah itu tidak boleh hanya berhenti di rumah sehingga ia harus tetap belajar dan belajar.
Termasuk di antaranya mempelajari ilmu kedokteran. Kasihan kaumnya yang sakit bila tidak
menemukan dokter yang sesama jenis kelamin dengannya.

Adapun bagi orang yang sudah terlanjur sakit kemudian tidak menemukan dokter lain selain
dokter lawan jenis, maka ada tuntunan syariat yang harus diupayakan untuk diikuti antara lain
sebagai berikut:

1. Kondisinya terpaksa, sementara tidak ada dokter lain yang tunggal jenis kelamin di
wilayahnya atau wilayah terdekat dengannya

2. Ketika pasien lawan jenis diperiksa, maka ia harus ditemani perempuan lain atau orang yang
menjadi mahramnya, suami/istrinya, atau sayyid-nya (tuannya bila pasien adalah hamba
sahaya, red).

3. Aurat yang boleh dibuka dan dipegang adalah sekadar yang diperlukan untuk keperluan
pemeriksaan
4. Bila terpaksa harus ke dokter lain jenis, maka harus diupayakan terlebih dulu dokternya adalah
seorang yang muslim yang bisa dipercaya untuk pasien perempuan, dan dokter muslimah yang
bisa dipercaya untuk pasien kaum laki-laki. Dan bila tetap ia tidak menjumpai, maka boleh ke
kafir dzimmy dengan syarat bisa dipercaya juga aman dari fitnah. 

Ketentuan ini berangkat dari keterangan dari kitab Hâsyiyah al-Bâjury, antara lain sebagai
berikut:
“Hukumnya boleh, melihatnya dokter ke perempuan bukan mahram pada anggota badan yang
dibutuhkan untuk pengobatan, bahkan di area farji. Namun demikian itu (harus) disertai
kehadiran mahram, suami, atau sayid, [dengan catatan] jika tidak dijumpai adanya perempuan
yang bisa mengobatinya.” (Burhanuddin Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-
Bajuri, Hâsyiyah al Bâjury ‘alâ Sharhi al-Allaâmah Ibni Qâsiīm al-Ghâzi ‘alâ Matni Abī
Shujjâ’, Beirut, Dâru al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999, Juz 2, halaman 99)
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN

Sebagaimana hukum asalnya, bila ada dokter wanita yang ahli, maka dialah yang wajib
menjalankan pemeriksaan atas seorang pasien wantia. Bila tidak ada, dokter wanita non-muslim
yang dipilih. Jika masih belum ditemukan, maka dokter lelaki muslim yang melakukannya. Bila
keberadaan dokter muslim tidak tersedia, bisa saja seorang dokter non-muslim yang menangani.

Akan tetapi harus diperhatikan, dokter lelaki yang melakukan pemeriksaan hanya boleh melihat
tubuh pasien wanita itu sesuai dengan kebutuhannya saja, yaitu saat menganalisa penyakit dan
mengobatinya, serta harus menjaga pandangan. Dan juga, saat dokter lelaki menangani pasien
wanita, maka pasien wanita itu harus disertai mahram, atau suaminya, atau wanita yang dapat
dipercaya supaya tidak terjadi khalwat.

Dalam semua kondisi di atas, tidak boleh ada orang lain yang menyertai dokter lelaki kecuali
yang memang diperlukan perannya. Selanjutnya, para dokter lelaki itu harus menjaga
kerahasiaan si pasien wanita.

Bertolak dari keterangan di atas, bagaimanapun keadaannya, sangat diperlukan kejujuran kaum
wanita dan keluarganya tentang masalah ini. Hendaklah terlebih dulu beriktikad untuk mencari
dokter wanita. Tidak membuat bermacam alasan dikarenakan malas untuk berusaha. Semua
harus dilandasi dengan takwa dan rasa takut kepada Allah, kemudian berusaha untuk
mewujudkan tujuan-tujuan mulia di atas.

SARAN

Silahkan untuk berobat atau dilakukan penanganan medis dengan yang berbeda dengan lawan
jenis asalkan dokter dapat menjaga kerahasiaan pasien dan penanganan medis yang dilakukan,
dilakukan seperlunya saja.

Anda mungkin juga menyukai