Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Appendisitis
1. Definisi
Apendiks atau umbai cacing. Istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan
digunakan di masyarakat kurang tepat,karena yang di sebut usus buntu oleh
masyarakat selama ini kurang tepat, karena yang disebut usus buntu sebenarnya
adalah sekum. Sampai saat ini fungsi appendiks belum diketahui secara pasti
apa fungsi appendiks sebenarnya. Dan organ ini sering sekali menimbulkan
masalah kesehatan (Putri dan Wijaya, 2013).
Apendisitis merupakan radang yang terjadi pada usus buntu dalam Bahasa
latinnya appendiks vermivormis, yaitu organ yang berbentuk kerucut
memanjang dengan panjang 6-9 cm dengan pangkal yang terletak pada bagian
pangkal usus besar bernama sekum yang terletak pada perut kuadran kanan
bawah (Handoyo Y, 2017).
Apendisitis akut merupakan penyebab paling umum inflamasi akut pada
kuadran kanan bawah rongga abdomen, penyebab paling umum dalam
pembedahan abdomen darurat. Apendisitis aku meupakan nyeri atau rasa tidak
nyaman pada nyaman pada di sekitar umbilikus berlangsung antara 1 sampai 2
hari. dalam beberapa jam nyeri akan bergeser ke kuadran kanan bawah (titik
Mc Burney) dengan disertai rasa mual, anoreksia dan muntah (Putri dan
Wijaya, 2013).
Apendisitis kronik adalah nyeri perut pada kuadran kanan bawah yang
berlangsung lebih dari 2 minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik
dan mikrokopik, dan keluhan menghilang setelah dilakukan apendiktomi.
Kriteria mikroskopik appendiks kronik adalah fibrosis seluruh dinding
appendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dalam mukos dan infiltrasi sel
inflamasi kronik ( Putri dan Wijaya, 2013).

Apendiktomi adalah pengangkatan appendiks terinflamasi dapat dilakukan


pada pasien dengan pendekatan endoskopi, namun adanya perlengkapan
multiple posisi retroperitoneal dari appendiks atau robek perlu dilakukan
prosedur pembukaan. Apendiktomi adalah pengangkatan secara bedah apendiks
vermiformis (Putri dan Wijaya, 2013).

Apendisitis dapat menyebabkan komplikasi,komplikasi yang paling sering


terjadi adalah perforasi dan peritonitis. Angka kejadian perforasi 10% - 32% ,
paling sering terjadi pada usia muda sekali atau terlalau tua , perforasi timbul
93% pada anak- anak di bawah 2 tahun antara 40% - 75% kasus usia diatas 60
tahun ke atas, Perforasi terjadi 70% pada kasus dengan peningkatan suhu 39,5
C, Tampak toksik, nyeri tekan diseluruh perut dan leukositosis meningkat
akibat dari perforasi dan pembentukan abses. Dan peritonitis adalah
tromboflebitis septik pada system vena porta yang ditandai dengan panas tinggi
39 C-40 C, menggigil, dan ikterus merupakan penyakit yang jarang terjadi
(Putri dan Wijaya, 2013).

2. Anatomi Fisiologi

Shoney R dan Nileswar A (2014), mengemukakan bahwa appendiks


mempunyai panjang 8-9 cm, namun panjangnya juga bervariasi dari 3 cm
sampai 30 cm, appendiks terletak 2 cm di sebelah posteromedial dari
sambungan ileosekalis,pada titik pertemuan ketiga taenia koli, apendiks
merupakan penyebab nyeri di kuadran kanan bawah abdomen.

Fungsi appendiks tidak diketahui. Appendiks menghasilkan lendir 1-2


ml/hari. Lendir tesebut secara normal dicurahkan kedalam lumen dan
selanjutnya mengalir ke secum.Hambatan aliran lendir di muara appendiks
tampaknya berperan dalam pathogenesis apendisitis (Sjamsuhidayat, 2017).
Diperkirakan appendiks mempunyai peranan dalam mekanisme imunologik.
Immunoglobulin sekreatoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lympoid
Tissue (GOLT) yang terdapat di sepanjang disaluran cerna termasuk appendiks
ialah Ig A. Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi. Namun pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
sebab jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah
di saluran cerna dan seluruh tubuh (Putri dan Wijaya, 2013).
3. Klasifikasi Appendisitis

Hariyanto A dan Sulistyowati R, (2015), mengemukakan klasifikasi


appendistis adalah :

a. Appendisitis akut adalah peradangan pada apendiks atau umbai cacing


dengan tanda radang pada daerah sekitar yang bersifat terlokalisasi ,baik
disertai rangsangan peritoneum lokal ataupun tanpa penyerta.
b. Appendisitis rekrens merupakan peradangan pada appendiks karena adanya
fibrosis dari riwayat apendiktomi yang sembuh spontan memunculkan rasa
nyeri diperut kanan bawah yang mendorong perlu dilakukannya
apendiktomi.
c. Appendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah
lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan
mikroskopik (fibrosis menyeluruh di dinding appendiks, sumbatan parsial
atau lumen appendiks, adanya jaringan parut, dan ulkus lama di mukosa dan
infiltrasi sel inflamasi kronik) dan keluhan hilang setelah dilakukan
apendiktomi.
4. Etiologi
Shoney R dan Nileswar A (2014), mengemukakan bahwa penyebab
appendistis adalah :
a. Faktor ras dan diet
1) Apendisitis akut lebih sering terjadi pada ras kulit putih dibandingkan
dengan orang yang berkulit hitam. Pria muda lebih sering menderita
kelainan ini.
2) Apendiks akut mungkin berkaitan dengan pola makan kebarat- baratan,
diet yang kaya daging memicu apendisitis akut dan diet kaya serat
(selulosa) melindungi orang dari apendistis.
b. Kerentanan familial
Kerentanan familial berkaitan dengan memiliki apendiks retrosekal
yang panjang dimana pada kasus ini suplai darahnya menurun pada bagian
distal dan mungkin memicu apendisitis.
c. Status sosioekonomik
Apendisitis sering terjadi pada kelas sosioekonomik menengah dan
orang kaya, penyebab yang pasti masih belum diketahui.
d. Teori obstruktif
Obstruksi pada lumen apendiks akibat fekolit, cacing, ova, kista
Entamoeba menyebabkan apendisitis obstruktif.
e. Teori non obstruktif
Teori ini menyatakan bakteri seperti E.coli, Enterococci, Proteus,
Pseudomonas, Klebsiella dan anaerob menimbulkan peradangan apendiks
yang difus dan menyebabkan apendisitis.
5. Manifestasi klinis
Menurut Putri dan Wijaya (2013), mengemukakan manifestasi klinis pada
pasien penderita apendisitis adalah :Tanda awal nyeri mulai di epigastrium atau
region umbilikus disertai mual dan anoreksia.
a. Nyeri pindah ke kanan bawah (yang akan menetap dan diperberat bila
berjalan atau batuk) dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum local di
tiik Mc. Burney : nyeri tekan, nyeri lepas, defans muskuler.
b. Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung.
c. Nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran kiri bawah ditekan (Rovsing
Sign).
d. Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepas (Blumberg Sign).
e. Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan,
batuk, mengedan
f. Nafsu makan menurun.
g. Demam yang tidak terlalu tinggi
h. Biasanya terdapat konstipasi, tapi kerkadang-kadang terjadi diare.

Gejala-gejala permulaan pada penderita apendisitis adalah nyeri atau


perasaan tidak enak sekitar umbilikus diikuti oleh anoreksia, nausea dan
muntah, gejala ini umumnya berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari. Dalam
beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran kanan bawah dan mungkin terdapat
nyeri tekan sekitar titik Mc. Burney, kemudian dapat timbul spasme otot dan
nyeri lepas. Biasanya ditemukan demam ringan dan leukosit meningkat bila
rupture apendiks terjadi nyeri sering hilang secara dramatis untuk sementara.
6. Patofisiologi
Putri dan Wijaya (2013), mengemukakan bahwa apendisitis biasanya
disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid,
fekalit, benda asing, struktur karena fikosis akibat peradangan sebelumnya atau
neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
tekanan intralumen, tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran
limfe yang menyebabkan edema. Diaforesis bakteri dan ulserasi mukosa pada
saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di epigastrium.
Sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan
menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di abdomen kanan
bawah,keadaan ini disebut dengan apendisitis sukuratif akut. Aliran arteri
tergangggu dan akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangrene stsdium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bilan dinding yang
telah rapuh ini pecah akan terjadi apendisitis perforasi.
Semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut
infiltrate apendukularis, peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.
Anak-anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis, keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan
tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada
orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan dipembuluh darah.
7. Pathway

Hiperplasia folikel limfoid


Fekalit Benda asing

Obstruksi

Mukosa mengalami bendungan

Meningkatnya tekanan intralumen

Menghambat aliran limfe

Edema Diaforesis bakteri Ulserasi mukosa

Appendisitis akut

Pembedahan / Appendiktomi

Luka insisi Kerusakan integritas jaringan

Nyeri akut
Adanya luka terbuka

Resiko infeksi

Gambar 2.4 Pathway appendistis (LeMone, M Burke et al , 2016


8. Pemeriksaan diagnostik
Shoney R dan Nileswar A (2014), Mengemukakan bahwa untuk
menegakkan dingnosa pada penderita apendisitis dengan pemeriksaan
laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.
a. Hitung WBC
leukosit total hampir selalu meningkat di atas 10.000 sel/mm3 pada
sebagian besar pasien (95%), jumlah leukosit yang sangat tinggi
(>20.000/mm3) memberi kesan kearah apendisitis komplikata dengan
gangrenosa atau perforasi.
b. Foto polos abdomen
posisi tegak dilakukan untuk mengesampingkan adanya perforasi dan
obstruksi intestinalis. Pemeriksaan ini mungkin menunjukkan dilatasi
lengkung usus halus pada fosa iliaka dekstra.
c. Ultrasonografi abdomen
untuk mengesampingkan penyebab lain yang mencakup penyebab
ginekologik. Ultrasonografi dapat memperlihatkan organ tubular
aperistaltik dan tidak mengempis dengan dinding tabung yang tebal
Pemeriksaan ultrasonografi dapat digunakan untuk menunjukkan adanya
nyeri tekan oleh probe ultrasonografi (sensitivitas 85% spesifisitas 90%).
d. CT Scan merupakan pemeriksaan pilihan (sensitifitas 90% spesifitas 90%).
e. Protein C-reaktif meningkat pada setiap kelainan peradangan seperti
apendisitis.

Jitowiyono S dan Kristiyanasari W (2012), menyatakan untuk menegakkan


diangnosa pada penderita apendisitis didasarkan atas anamnese ditambah dengan
pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala apendisitis di tegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting


adalah : Nyeri mula- mula di apigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu
kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Muntah oleh karena nyeri viseral. Panas
(karena kuman yang menetap di dinding usus). Gejala lain adalah badan lemah dan
kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan, diperut
terasa nyeri.

a. Pemeriksaan yang lain lokalisasi


Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh perut, tetapi
paling terasa nyeri pada daerah titik Mc. Burney. Jika sudah infiltrate, lokal
infeksi juga terjadi jika orang dapat menahan sakit, dan kita akan merasakan
seperti ada tumor di titik Mc. Burney.
b. Test rektal
Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa
nyeri pada daerah prolitotomi.
Pemeriksaan laboratorium leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk
melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang.
Pada penderita apendisitis akut dan perforasi akan terjadi leukositosis yang
lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) Nampak normal. Laju endap darah (LED)
meningkat pada keadaan apendisitis infiltrate. Urine rutin penting untuk melihat
apa ada infeksi pada ginjal.
Pemeriksaann radiologi pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan
diangnosa apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala
dapat ditemukan gambaran sebagai berikut : Adanya sedikit fluid level
disebabkan karena adanya udara dan cairan. Kadang ada fekalit (sumbatan).
Pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma.
9. Penatalaksanaan Keperawatan dan Medis
Putri dan Wijaya 2013 menyatakan bahwa :
a. Sebelum operasi
1) Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala
apendisitis seringkali belum jelas, dalam keadaan ini observasi ketat
perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan.
Laktasif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis atau
peritonitis. Pemeriksaan abdomen, rectal dan pemeriksaan darah
(leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodic, foto abdomen dan
thoraks dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain.
Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di
daerah kuadran kanan bawah abdomen dalam 12 jam setelah muculnya
keluhan.
2) Antibiotik
Apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan
antibiotic, melainkan apendisitis ganggrenosa atau perforasi. Menunda
tindakan bedah sambal memberikan antibiotic dapat menyebabkan
munculnya abses dan perforasi.
b. Operasi
1) Apendiktomi
2) Apendiks di buang, jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka
abdomen dicuci menggunakan cairan antibiotika dan garam fisiologis.
3) Abses apendiks diobati dengan IV, massanya mungkin mengecil, atau
abses mungkin perlu drainase dalam waktu beberapa hari. Apendiktomi
dilakukan bila abses dilakukan operasi efektif sesudah 6 minggu sampai
3 bulan.
4) Pasca operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan didalam, syok, hipertermia atau gangguan pernapasan,
angkat sonde lambung bila pasien sudah sadar, sehingga aspirasi cairan
lambung dapat dicegah, baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien
dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama itu
pasien dipuasakan, bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada
perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus
kembali normal. Satu hari pasca operasi pasien dinjurkan untuk duduk
tegak di tempat tidur selama 2 × 30 menit. Hari kedua dianjurkan untuk
duduk diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien di
perbolehkan pulang.

Proses penyembuhan luka


a. Fase pertama
Berlangsung sampai hari ke tiga, batang leukosit banyak yang
rusak atau rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi
penyembuh dimana serabut- serabut bening digunakan sebagai
keragka.
b. Fase kedua
Dimulai hari ketiga sampai hari ke 14 pengisian dilakukan oleh
kolagen seluruh pinggiran epitel timbul sempurna dalam 1 minggu
jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan.
c. Fase ketiga
Berlangsung sekitar 2 sampai 10 minggu, kolagen terus menerus
ditimbun yang kemudian a
kan muncul jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan
kembali.
d. Fase keempat
Fase terahir penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.
10. Pembedahan
Terapi pilihan pada penaykit apendisitis akut adalah apendiktomi,yaitu
pengangkatan apendiks melalui pembedahan. Pendekatan laparaskopik (insersi
endoskop untuk melihat isi abdomen) atau laparatomi (membuka abdomen
secara bedah) dapat digunakam untuk apendiktomi. Apendiktomi Laparaskopik
hanya memerlukan insisi yang sangat kecil untuk memasukkan laparaskop.
Prosedur ini memiliki beberapa keuntungan :
a. Visualisasi langsung pada apendiks memungkinkan menegakkan
diangnosis secara pasti tanpa dengan laparatomi.
b. Hospitalisasi pasca bedah hanya sebentar.
c. Komplikasi pasca bedah jarang terjadi
d. Pemulihan dan pelanjutan aktifitas normal berlangsung cepat.
Apendiktomi terbuka dilakukan dengan laparatomi. Irisan melintang kecil
untuk insersi dibuat pada titik McBurney, apendiks diisolasi dan diligasi
(diikat) untuk mencegah kontaminasi area dengan isi usus, dan kemudian
diangkat.Secara umum laparatomi digunakan setelah apendiks mengalami
ruptur. Laparatomi memungkinkan pengambilan kontaminan dari rongga
peritoneal melalui irigasi yang digunakan salin normal steril. Kadang luka
dibiarkan tidak dijahit untuk memungkinkan irigasi secara periodik
(LeMone, M Burke et al, 2016).
Adapun perawatan modern pada pasien post appendiktomi adalah :
a. Buat kondisi balutan dalam keadaan bersih dan kering, dengan kondisi
bersih dan kering akan menghindari kontaminasi komensal dan akan
menyebabkan repons inflamasi lokal dan akan memperlambat
penyembuhan luka.
b. lakukan perawatan luka :
1) Lakukan perawatan luka steril pada hari ke 2 pasca bedah dan
diulang setiap 2 hari yaitu untuk menurunkan kontak tindakan
dengan luka yang dalam kondisi steril sehingga mencegah adanya
kontaminasi kuman atau bakteri ke luka bedah.
2) Bersihkan luka dan drainase dengan cairan antiseptik jenis iodine
providum dilakukan dengan cara swabbing dari arah dalam ke arah
luar dengan pembersihan debris (sisa fagositosis, jaringan mati) dan
kuman sekitar luka dengan mengoptimalkan kelebihan dari cairan
iodine providum sebagai antiseptic dan dengan cara pembersihan
luka dari arah dalam ke luar bertujuan untuk mencegah terjadinya
kontaminasi kuman atau bakteri ke jaringan luka.
3) Bersihkan cairan bekas iodine providum dengan alkohol 70% atau
normal salin dengan cara swabbing dimulai dari arah dala menuju
ke arah luar dengan antiseptik iodine providum mempunyai
kelemahan dalam menurunkan proses epitalisasi jaringan sehingga
membuat lambat pertumbuhan luka, maka harus dibersihkan dengan
alkohol atau normal salin.
4) Tutup luka dengan kassa steril dan tutup dengan plaster adhesif
yang meyeluruh menutupi kassa dengan penutupan secara
menyeluruh dapat menghindarkan terjadinya kontaminasi antara
benda atau udara yang bersentuhan dengan luka bedah.
5) Pemberian antibiotic injeksi selama satu hari pasca bedah yang
kemudian dilanjutkan dengan pemberian antbiotik oral sampai
jahitan dilepas. Peran perawat dalam mengkaji adanya reaksi dan
riwayat alergi antibiotic, serta memberikan antibiotic sesuai
instruksi yang diberikan dokter (Muttaqin dan sari, 2011).

11. Komplikasi
gambar 2.6 inflamed appendiks ( Muhlisin, 2015)

LeMone, M Burke dan Bauldoff (2016), mengemukakan bahwa :


Perforasi, peritonitis, dan abses merupakan kemungkinan komplikasi dari
apendisitis akut. Perforasi ditandai dengan nyeri yang semakin meningkat dan
demam tinggi. Kondisi ini bisa menyebabkan abses kecil yang terlokalisasi,
peritonitis lokal atau peritonitis generalisata yang signifikan.
Gangguan yang tidak begitu sering terjadi adalah apendisitis kronik, ditandai
dengan nyeri abdomen kronik dan serangan akut berulang dengan interval
bebarapa bulan atau lebih. Kondisi lain seperti Inflamatory Bowl Disease (IBD)
dan gangguan ginjal, seringkali menyebabkan manifestasi yang dikaitkan
dengan apendisitis kronik.
12. Proses Keperawatan
a. Pengkajian
Data yang dikumpulkan dari pasien dengan apendisitis meliputi :
Umur, jenis kelamin, riwayat pembedahan, dan riwayat medik lainnya,
pemberian barium baik lewat mulut atau rektal, riwayat diit terutama
makanan yang berserat

1) Data Subyektif :
Sebelum operasi
a) Nyeri di daerah pusar dan kemudian menjalar ke daerah perut kanan
bawah.
b) Mual, muntah dan kembung.
c) Tidak nafsu makan, demam.
d) Tungkai kanan tidak dapat diluruskan.
e) Diare atau konstipasi.
Sesudah operasi
a) Nyeri di daerah bekas operasi
b) Lemas
c) Haus
d) Mual, kembung
e) Pusing
2) Data obyektif :
Sebelum operasi
a) Nyeri tekan di titik Mc. Burney
b) Spasme otot
c) Takikardi, takipnea
d) Pucat dan gelisah
e) Bising usus berkurang atau tidak ada
f) Demam 38-38,5 C
Sesudah operasi
a) Terdapat luka bekas operasi di kuadran kanan bawah abdomen
b) Pasien terpasang infus
c) Terdapat drain atau pipa lambung
d) Bising usus berkurang
e) Selaput mukosa mulut kering
Pemeriksaan penunjang
a) Leukosit : 10.000- 18.000/mm3
b) Netrofil meningkat 75%
c) WBC yang meningkat sampai 20.000 mungkin indikasi terjadi
perforasi (jumlah sel darah merah)
d) Barium enema : apendiks terisi barium hanya sebagian
e) Radiologi : foto colon yang menggambarkan adanya fekalit pada
katup(Wijaya dan yessi,2013).
b. Diangosa Keperawatan
LeMone, M Burke dan Bauldoff (2016) mengungkapkan diagnosa
keperawatan yang dapat ditegakkan pada pasien appendicitis yaitu :
1) Nyeri akut berhubungan dengan intervensi pembedahan
2) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasif
3) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan insisi pembedahan
c. Rencana Keperawatan

Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional


Nyeri akut b.d NOC : Kontrol Nyeri, NIC : Manajemen Nyeri
intervensi pembedahan Level Nyeri, tanda-tanda vital

Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Monitor tingkat nyeri 1. Untuk mengetahui


keperawatan selama 3 × 24 jam dengan PQRST tingkat nyeri yang
diharapkan pasien dapat mengontrol dirasakan pasien untuk
nyeri dengan kriteria hasil : menentukan tindakan
1. Pasien mengenali kapan terjadinya selanjutnya
nyeri 2. Monitor tanda- tanda vital 2. Untuk mengetahui tanda
2. Pasien mengenali apa yang terkait tanda vital pasien
dengan gejala nyeri 3. Jelaskan kepada pasien 3. Untuk menurunkan
3. Pasien bisa melaporkan nyeri yang tentang pencetus nyeri tingkat kecemasan dan
terkontrol menambah pengetahuan
pasien tentang pencetus
nyeri
4. Ajarkan kepada pasien 4. teknik distraksi dapat
teknik non farmskologik : meningkatkan relaksasi
relaksasi dan distraksi dan meningkatkan
kemampuan koping.
Relaksasi nafas dalam
menghirup O2 yang
adekuat sehingga otot
menjadi relaksasi dan
dapat mengurangi nyeri
5. Ajarkan prinsip-prinsip 5. bertujuan supaya pasien
menejemen nyeri dapat mengontrol nyeri
secara mandiri
6. Kolaborasi dengan tenaga 6. untuk mengatasi rasa
kesehatan yang lain dalam nyeri
pemberian analgetik

Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional


Risiko infeksi b.d NOC : Penyembuhan luka NIC : Kontrol infeksi
prosedur invasif
Setelah dilakukan tindakan asuahan 1. Monitor tanda dan gejala 1. Untuk mengetahui ada
keperawatan selama 3 × 24 jam adanya infeksi atau tidaknya tanda dan
diharapkan pasien tidak terdapat tanda- gejala infeksi
tanda terjadinya infeksi dengan kriteria 2. Ajarkan pasien beserta 2. Untuk memandirikan
hasil : keluarga pasien untuk pasien dan kelurga
1. Pasien bebas dari tanda tanda melakukan perawatan melakukan perawatan
infeksi luka luka
2. terdapat pembentukan bekas 3. Bersihkan luka dengan 3. Untuk mencegah
luka dengan baik Nacl terjadinya infeksi
4. Kolaborasi dengan tenaga 4. Tujuan pemberian
medis lain tentang atibiotik untuk
pemberian antibiotik mencegah terjadinya
infeksi
Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional

Kerusakan integritas NOC : integritas jaringan : kulit dan NIC : Perawatan luka
jaringan b.d insisi
membrane mukosa
pembedahan

Setelah diakukan tindakan asuhan 1. Observasi karakteristik 1. Untuk mengeta


keperawatan selama 3 × 24 jam luka (warna, bau dan perkembangan
diharapkan pasien integritas jaringan ukuran) luka
terus membaik dengan kriteria hasil 2. Anjurkan istirahat
1. Tidak adanya lesi 2. Bertujuan untu
2. Tidak adanya tanda- tnda dan merelaksasikan
gejala infeksi 3. Berikan perawatan pada
3. Perfusi jaringan tidak luka insisi yang 3. Supaya luka ce
terganggu diperlukan mongering
4. Ganti balutan sesuai
dengan drainase dan 4. Bertujuan supa
jumlah eksudat tidak untuk
perkembangan
bakteri
5. Tingkatkan asupan
nutrisi yang cukup 5. Mempercepat
proses
penyembuhan l
6. Jaga kebersihan pada
daerah luka 6. Untuk mencega
terpaparnya bak

Anda mungkin juga menyukai