Anda di halaman 1dari 3

76 Bab 8.

Regresi Linear

(yi − ȳ)2
P
JKT =

(yi − ŷi )2
P
JKR =

Koefisien determinasi mengukur proporsi variabilitas variabel respon yang dapat


dijelaskan oleh variabilitas variabel prediktor. Semakin besar koefisien determinasi,
semakin baik model tersebut. Karena variabel prediktor mampu dengan baik meng-
gambarkan variabilitas dari variabel respon.
Pada regresi linear sederhana, nilai dari koefisien determinasi sama dengan koefi-
sien korelasi antara variabel prediktor (X) dan variabel respon (Y) – ingat kembali
materi analisis korelasi Pearson Product Moment. Namun pada regresi linear gan-
da, koefisien determinasi menjadi lebih kompleks karena melibatkan lebih dari 1
variabel prediktor yang akan diukur kemampuan semua variabel prediktor secara
bersama-sama menggambarkan variabilitas dari variabel respon.

8.6 Kondisi Gauss Markov


Model regresi dibangun pada kondisi dan asumsi tertentu. Sehingga, saat melakukan
analisis regresi, pemenuhan terhadap kondisi ini perlu diperiksa juga. Asumsi yang
perlu dipenuhi dalam model regresi disebut sebagai kondisi Gauss Markov. Kondisi-
kondisi markov ini berhubungan dengan galat () dari model regresi yang diperoleh.
Sehingga, pengecekan terhadap kondisi Gauss-Markov dilakukan setelah memperoleh
model regresi dari data. Kondisi Gauss-Markov terdiri atas kondisi zero mean,
homoskedastisitas, dan autokorelasi.

Zero Mean
Perhatikan kembali model regresi yang telah dibahas sebelumnya:

Y = α + β.X +   ∼ N (0, 1)

Dalam model di atas, galat dari model () harus berdisitribusi normal dengan rata-
rata 0 dan varians 1 (dituliskan  ∼ N (0, 1)). Kondisi ini disebut sebagai kondisi zero
mean. Kondisi ini berpusat pada galat dari model. Sehingga, pengecekan terhadap
galat ini dilakukan dengan membangkitkan galat dari model, kemudian melakukan
pengecekan terhadap distribusi dari galat.
Pengecekan normalitas galat dari data dapat dilakukan dengan Uji Shapiro
Wilk, Uji Kolmogorov-Smirnov, serta menggunakan bantuan grafik tertentu di SPSS.
Hipotesis yang digunakan dalam uji normalitas adalah

H0 : Data berdistribusi normal


Ha : Data tidak berdistribusi normal

Pengujian atas hipotesis statistik di atas dilakukan dengan mengidentifikasi p-value


dari uji yang digunakan. Jika p-value nya bernilai kurang dari 0,05 maka H0 ditolak.
Sebaliknya, jika p − value > 0, 05 maka H0 tidak ditolak.

Wirawan Setialaksana, S.Pd., M.Sc.


8.6 Kondisi Gauss Markov 77

Homoskedastisitas
Homokedastisitas diartikan sebagai kesamaan variansi dari galat model. Uji heteros-
kedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi memiliki varian yang
konstan dari residual atau error satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Secara
matematis, keadaan ini dituliskan sebagai:

V ar(i ) = σ

Jika kondisi di atas tidak terpenuhi, maka kondisi tersebut disebut heteroskedastisitas,
yaitu ada perbedaan variansi antara galat atau

V ar(i ) = σi

Untuk melihat bagaimana perbedaan antara kedua kondisi (homoskedastisitas dan


heteroskedastisitas) ini, diagram pencar antara residual dan prediksi dari model
dapat digunakan.

Gambar 8.2. Gambar di sebelah kiri adalah kondisi homoskedastis, dengan sebaran
titik yang sama "ramping" nya dari awal hingga akhir. Sedangkan gambar kanan
menunjukkan kondisi heteroskedastis dengan sebaran titik yang punya "kerampingan"
yang berbeda

Salah satu uji yang digunakan untuk mendeteksi kondisi homoskedastisitas adalah
Uji Breusch Pagan. Uji ini dilakukan dengan meregresikan nilai residual kuadrat
dari model dengan variabel bebas yang ada pada model. Hipotesis statistik dari uji
ini adalah:
H0 : Residual bersifat Homoskedastis
Ha : Residual bersifat Heteroskedastis
Uji ini merupakan uji F. Kriteria penolakan H0 pada uji ini adalah saat p − value < 0
yang artinya residual kuadrat dapat diprediksi oleh variabel bebas yang ada pada
model.

Wirawan Setialaksana, S.Pd., M.Sc.


78 Bab 8. Regresi Linear

Autokorelasi
Autokorelasi merupakan kondisi dimana galat dalam model saling berkorelasi satu
sama lain. Kondisi ini merupakan kondisi yang normal pada analisis runtun waktu
seperti model autoregressive atau model moving average. Namun pada model dengan
data cross-sectional seperti regresi linear, kondisi ini merupakan kondisi yang tidak
diharapkan. Untuk mendeteksi kondisi autokorelasi, salah satu uji yang dapat
digunakan adalah uji Durbin Watson.
Uji Durbin-Watson menguji hipotesis statistik berikut:
H0 : ρ = 0
Ha : ρ 6= 0
Dengan nilai d dari uji Durbin Watson diperoleh dari formula
Pn
(i − i−1 )2
d = i−2Pn 2
i=1 i

Dengan i adalah hasil dari Yi − Ŷi . Y merupakan nilai asli dari variabel terikat,
sedangkan Ŷi merupakan prediksi dari Yi . d semakin kecil saat korelasi serial
meningkat. Nilai kritis bawah (dU) dan (dL) diperoleh dari tabel Durbin Watson
dengan nilai berbagai nilai k (jumlah variabel bebas) dan n.

Kondisi Kesimpulan
d < dL H0 ditolak
d > dU H0 tidak ditolak
dL < d < dU tidak ada kesimpulan

Uji Durbin Watson ini dapat dilakukan dengan bantuan SPSS yang menghasilkan
nilai d. Namun, penarikan kesimpulannya mengikuti prosedur manual diatas – dengan
membandingkan dengan hasil d tabel.

Wirawan Setialaksana, S.Pd., M.Sc.

Anda mungkin juga menyukai