Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN STUDI KASUS

Tn. I (35 th) DENGAN GANGUAN SENSORI PERSEPSI: HALUSINASI

DI RUANG MELATI RUMAH SAKIT KHUSUS JIWA DHARMA GRAHA

DISUSUN OLEH:

ABU SYAIRI
ANISAH KHAIRUL UMAMI
ARUM MUNAWARAH
DIAN ERIKA PURNAMA
EVA NOVIANI
FEBRIYANI PAMIKATSIH
GEISANDRA ASTAQVIANI PUTRI

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2013

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Sehat menurut WHO adalah keadaan keseimbangan yang sempurna baik fisik,
mental, dan sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit fisik dan kelemahan. Sedangkan
menurut Undang-Undang Kesehatan RI No.23 Tahun 1992 sehat adalah keadaan
sejahtera tubuh, jiwa, sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomi.
Pada masa globalisasi banyak tuntutan yang menjadikan stressor dalam
kehidupan. Stressor yang dihadapi seseorang harus diikuti dengan kemampuan koping
yang konstruktif, koping individu yang tidak konstruktif dapat membuat individu
tersebut mengalami gangguan mental. Stressor yang sering dijumpai saat ini yaitu
kondisi lingkungan sosial yang semakin keras dan diperberat dengan tingkat kemiskinan
yang menekan dapat menjadi penyebab meningkatnya jumlah masyarakat yang
mengalami gangguan kejiwaan (Yosep, 2007).
Menurut Townsend (2009) gangguan kesehatan jiwa adalah respon maladaptive
terhadap stressor dari lingkungan dalam/luar ditunjukkan dengan pikiran, perasaan, dan
tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma dan budaya yang mengganggu fungsi
sosial, kerja, dan fisik individu. Kartini Kartono (2006) menjelaskan pengertian
penyakit jiwa bahwa penyakit jiwa bukanlah penyakit keturunan semata, namun lebih
banyak disebabkan oleh tekanan-tekanan batin dan faktor-faktor sosial, penyakit jiwa
bukan tidak bisa disembuhkan, kemungkinan kesembuhannya masih bisa diusahakan,
penyakit mental tidaklah datang secara tiba-tiba, tapi bibit-bibitnya telah ada
sebelumnya, sebab-sebab yang bersifat kompleks dari kejadian-kejadian masa lalu.
Salah satu jenis gangguan jiwa adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah sekelompok
reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai individu termasuk berfikir dan
komunikasi, menerima dan menginterprestasikan realitas, merasakan dan memajukan
emosi serta perilaku dengan sikap yang tidak bisa diterima secara sosial (Isaacs, 2005).

2
Skizofrenia adalah penyakit dimana kepribadian mengalami keretakan, alam pikir,
perasaan, dan perbuatan individu terganggu. Pada orang normal, alam pikiran,
perbuatan, dan erasaan ada kaitannya atau searah, namun pada pasien skizofrenia ketiga
alam tersebut terputus, baik satu atau semuanya (Simanjuntak, 2008).
Halusinasi adalah salah satu jenis Sskizofrenia dimana seseorang merasakan
sesuatu tanpa adanya stimulus dari luar. Halusinasi adalah persepsi dalam ketiadaan
stimulus. Dalam arti luas, halusinasi didefinisikan sebagai persepsi dalam keadaan sadar
dan terjaga dalam ketiadaan rangsangan eksternal yang memiliki kualitas persepsi yang
nyata, jelas, dan terletak di luar ruang yang objektif. Halusinasi berbeda dari "persepsi
delusi", di mana persepsi asli yang benar merasakan dan diinterpretasikan diberikan
beberapa makna tambahan (dan biasanya aneh).Halusinasi dapat terjadi pada setiap
modalitas indra - visual, pendengaran, penciuman, gustatory, sentuhan, proprioceptive,
equilibrioceptive, nociceptive, thermoceptive dan chronoceptive. Bentuk ringan
halusinasi dikenal sebagai gangguan, dan dapat terjadi di salah satu indra di atas. Ini
mungkin hal-hal seperti melihat gerakan dalam visi periferal, atau mendengar suara
samar dan/atau suara.
Peran, fungsi dan tanggung jawab perawat psikiatri dalam meningkatkan
kesehatan jiwa, dalam kaitannya dengan Halusinasi adalah menyadarkan pasien akan
halusinasinya dengan cara menanyakan isi halusinasi, waktu, kondisi, serta perasaan
pasien saat halusinasi terjadi, agar pasien dapat membedakan antara halusinasi dan
kenyataan. Tindakan selanjtnya adalah meningkatkan kemampuan pasien untuk
mengontrol halusinasinya misalnya, mengajarkan pasien cara mengontrol halusinasi
dengan menghardik, bercakap-cakap, beraktivitas, minta ditegur, dan dengan meminum
obat. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik mengambil kasus Asuhan Keperawatan
Jiwa Dengan Masalah Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah :
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
masalah utama Halusinasi.
2. Tujuan Khusus

3
a. Mampu melaksanakan dan mengelompokkan hasil pengkajian pada pasien
dengan masalah utama Halusinasi.
b. Mampu menyusun diagnosa keperawatan pada pasien dengan Halusinasi.
c. Dapat menyusun perencanaan keperawatan dan menetukan kriteria hasil
dalam mengatasi masalah Halusinasi pada pasien
d. Dapat melakukan dokumentasi dari implementasi yang telah dilaksanakan
pada pasien dengan Halusinasi.
e. Dapat mengevaluasi tindakan keperawatan yang dilakukan.
f. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan
asuhan keperawatan pada pasien dengan Halusinasi.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Skizofrenia

Menurut Isaac (2005) schizophrenia merupakan sekelompok reaksi


psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu termasuk
berpikir dan berkomunikasi, menerima, menginterpretasikan realitas,
menunjukkan emosi, dan perilaku dengan sikap yang dapat diterima secara
sosial.     

 Menurut Harnawati (2008) schizophrenia adalah gangguan yang


umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan
khas, dan oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. 

Schizophrenia merupakan gangguan jiwa yang berlangsung menahun,


sering kambuh dan kondisi kejiwaan penderita semakin lama semakin
merosot, gangguan ini terdiri dari:

1. Schizophrenia Paranoid

Merupakan schizophrenia yang dikarakteristikkan dengan adanya


kecurigaan yang ekstrim terhadap orang lain dengan halusinasi dan waham
kejar atau waham kebesaran

2. Schizophrenia Katatonik

Merupakan salah satu jenis schizophrenia yang ditandai dengan


regiditas otot, negativisme, kegembiraan berlebih
atau posturing ( mematung). Ciri penyerta lain adalah
gerakan stereotypic, manerisme, dan fleksibilitas lilin ( waxy flexibility) dan
gejala yang sering dijumpai adalah mutisme

3. Schizophrenia Hebefrenik

 Merupakan jenis schizophrenia yang ditandai dengan adanya


percakapan dan perilaku yang kacau serta afek yang datar, gangguan
asosiasi, pasien mempunyai sikap yang aneh, menunjukkan perilaku

5
menarik diri secara sosial yang ekstrim, mengabaikan higiene dan
penampilan diri dan terjadi sebelum usia 25 tahun

4. Schizophrenia Tak Terinci

Merupakan sejenis schizophrenia dimana gejala-gejala yang muncul


sulit untuk digolongkan pada tipe schizophrenia tertentu. Schizophrenia tak
terinci ( undifferentiated) didiagnosis dengan memenuhi kriteria umum
untuk diagnosa schizophrenia, tidak memenuhi kriteria untuk schizophrenia
paranoid, hebefrenik, katatonik dan tidak memenuhi kriteria untuk
schizophrenia tidak terinci atau depresi pasca schizophrenia ( Liza, 2008)

5. Schizoaffective

Merupakan schizoaffective merujuk kepada perilaku yang


berkarakteristik schizophrenia, ada tembahan indikasi kelainan alam
perasaan, seperti depresi atau mania

6. Schizophrenia Residual

Merupakan eksentrik tetapi gejala-gejala psikosis saat perilaku


diperiksa/ dirawat tidak menonjol. Menarik diri dan afek yang serasi
merupakan karakteristik dari kelainan ini, pasien memiliki riwayat paling
sedikit satu episode schizophrenia dengan gejala-gejala yang menonjol
(Townsend, 1998).

B. Halusinasi
1. Pengertian

Halusinasi adalah persepsi yang salah yang diterima oleh panca


indera dan berasal dari stimulus eksternal yang biasanya tidak
diinterpretasikan ke dalam pengalaman (Brooker, 2009). Halusinasi
adalah kesan, respond an pengalaman sensori yang salah (Struart,
2007). Halusinasi adalah persepsi tanpa adanya ransang apapun pada
pancaindera seseorang, yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun,

6
dasarnya mungkin organic, fungsional,psikotik ataupun histerik
(Sunaryo, 2004).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan


bahwa halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dimana klien
mempersepsikan sesuatu melaui panca ideranya tanpa adanya stimulus
eksternal yang terjadi, stimulus internal dipersepsikan sebagai sesuatu
yang nyataada bagi klien.

2. Klasifikasi Halusinasi

Menurut (Menurut Stuart, 2007), jenis halusinasi antara lain :

a. Halusinasi pendengaran (auditorik)

Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara –


suara orang, biasanya klien mendengar suara orang yang sedang
membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan
untuk melakukan sesuatu.

b. Halusinasi penglihatan (Visual)

Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk


pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau
panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan
atau menakutkan.

c. Halusinasi penghidu (olfactory)

Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang
menjijikkan seperti : darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu
bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan
dementia.

d. Halusinasi peraba (tactile)

Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa
stimulus yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari
tanah, benda mati atau orang lain.

e. Halusinasi pengecap (gustatory)

7
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis
dan menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau
feses.

f. Halusinasi sinestetik

Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah


mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan
urine.

g. Halusinasi Kinesthetic

Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

3. Etiologi
a. Faktor Predisposisi

Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi


adalah:

 Biologis; abnormalitas perkembangan sistem saraf yang


berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif
 Psikologis; salah satu keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan
orientasi realita, antara lain, penolakan, ataupun tindakan kekerasan
selama kehidupan klien
 Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita
seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan,
bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
 Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan
yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah
penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.

b. Faktor Presipitasi

Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul


gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan,

8
isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.
Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).

4. Rentang Respon Halusinasi

Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada


dalam rentang respon neurobiologi. Jika klien yang sehat persepsinya akurat,
mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi
yang diterima melalui panca indera, maka klien dengan halusinasi
mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun sebenarnya stimulus itu
tidak ada.

Berikut ini rentang respon neurobiologis dimana halusinasi merupakan


salah satu respon maladaptif dari persepsi (Stuart & Sundeen, 2007)

5. Fase – Fase Halusinasi & Tanda dan Gejala (Stuart, 2007)

Fase Halusinasi Karakteristik Perilaku Pasien


Fase 1 : Klien mengalami keadaan Menyeringai atau
Comforting- emosi seperti tertawa yang
ansietas tingkat ansietas,kesepian, rasa tidak sesuai,
sedang, secara bersalah, dan takut serta menggerakkan bibir
umum, mencoba untuk  berfokus tanpa menimbulkan
halusinasi bersifat pada penenangan pikiran suara, pergerakan
menyenangkan untuk mengurangi ansietas. mata yang cepat,
Individu mengetahui bahwa respon verbal yang

9
pikiran dan pengalaman lambat, diam dan
sensori yang dialaminya dipenuhi oleh sesuatu
tersebut dapat dikendalikan yang mengasyikkan.
jika ansietasnya bias diatasi
(Non psikotik)
Fase Pengalaman sensori bersifat Peningkatan system
II:Condemning- menjijikkan dan syaraf otonom yang
ansietas menakutkan, klien mulai menunjukkan ansietas,
tingkat berat, lepas kendali dan mungkin seperti peningkatan
secara umum, mencoba untuk menjauhkan nadi, pernafasan, dan
halusinasi dirinya dengan sumber yang tekanan
menjadi dipersepsikan. Klien darah; penyempitan
menjijikkan mungkin merasa malu karena kemampuan
pengalaman sensorinya dan konsentrasi, dipenuhi
menarik diri dari orang lain. dengan pengalaman
(Psikotik ringan) sensori dan
kehilangan
kemampuan
membedakan antara
halusinasi dengan
realita.
Fase Klien berhenti Cenderung mengikuti
III:Controlling- menghentikan perlawanan petunjuk yang
ansietas tingkat terhadap halusinasi dan diberikan
berat, pengalama menyerah pada halusinasi halusinasinya
n sensori menjadi tersebut. Isi halusinasi daripada menolaknya,
berkuasa menjadi menarik, dapat kesukaran
berupa permohonan. Klien berhubungan dengan
mungkin mengalarni orang lain, rentang
kesepian jika pengalaman perhatian hanya
sensori tersebut berakhir. beberapa detik atau
(Psikotik) menit, adanya tanda-

10
tanda fisik ansietas
berat : berkeringat,
tremor, tidak mampu
mengikuti petunjuk
Fase IV: Pengalaman sensori menjadi Perilaku menyerang,
Conquering mengancam dan teror seperti panik,
Panik, umumnya menakutkan jika klien tidak berpotensi kuat
halusinasi mengikuti perintah. melakukan bunuh diri
menjadi lebih Halusinasi bisa berlangsung atau membunuh orang
rumit, melebur dalam beberapa jam atau hari lain, Aktivitas fisik
dalam jika tidak adaintervensi yang merefleksikan isi
halusinasinya terapeutik. (Psikotik Berat) halusinasi seperti
amuk, agitasi, menarik
diri, atau katatonia,
tidak mampu berespon
terhadap perintah
yang kompleks, tidak
mampu berespon
terhadap lebih dari
satu orang

6. Akibat

Adanya gangguang persepsi sensori halusinasi dapat beresiko mencederai


diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat, B.A, 2006). Menurut Townsend,
M.C suatu keadaan dimana seseorang melakukan sesuatu tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik pada diri sendiri maupuan orang lain.

Seseorang yang dapat beresiko melakukan tindakan kekerasan pada diri


sendiri dan orang lain dapat menunjukkan perilaku :

Data subjektif :
o Mengungkapkan mendengar atau melihat objek yang mengancam
o Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir

11
Data objektif :

o Wajah tegang, merah


o Mondar-mandir
o Mata melotot rahang mengatup
o Tangan mengepal
o Keluar keringat banyak
o Mata merah

C. Harga Diri Rendah : Kronis


1. Pengertian

Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah
diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri dan
kemampuan diri. Adanya perasaan hilang percaya diri , merasa gagal karena
karena tidak mampu mencapai keinginansesuai ideal diri (keliat. 2006). 

2. Etiologi

Penyebab terjadinya harga diri rendah antara lain :

a. Faktor predisposisi ( Stuard and Sudeen, 2007)


 Penolakan orang tua
 Harapan orang tua yang tidak realistis
 Kegagalan yang berulang kali
 Kurang mempunyai tanggung jawab personal
 Ketergantungan pada orang lain
 Ideal diri tidak realistis

b. Faktor presipitasi (Stuart, 2007)


 Faktor  presipitasi dapat disebabkan oleh faktor dari dalam atau faktor
dari luar individu ( eksternal or internal sources )
 Ketegangan peran adalah stress yang berhubungan dengan frustasi
yang dialami individu dalam peran atau posisi yang diharapkan.

12
Terdapat tiga jenis transisi peran yaitu perkembangan, situasi dan
sehat-sakit.
 Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan
kejadian yang mengancam kehidupan.

3. Tanda dan Gejala (Keliat, 2006)

Menurut Keliat (1999) tanda dan gejala yang dapat muncul pda pasien
harga diri rendah adalah :

 Perasaan malu terhadap diri sendiri, individu mempunyai perasaan


kurang percaya diri.
 Rasa bersalah terhadaap diri sendiri, individu yang selalu gagal
dalaam meraih sesuatu.
 Merendahkan martabat diri sendiri, menganggap dirinya berada
dibawah orang lain.
 Gangguan berhubungan social seperti menarik diri
 Sukar mengambil keputusan, cenderung bingung dan ragu-ragu
dalam memilih sesuatu.
 Menciderai diri sendiri sebagai akibat harga diri yang rendah disertai
harapan yang suram sehingga memungkinkan untuk mengakhiri
kehidupan.
 Mudah tersinggung atau marah yang berlebihan.
 Perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri.
 Ketegangan peran yang dirasakan.
 Pandangan hidup pesimis.
 Keluhan fisik
 Penolakan terhadap kemampuan personal
 Destruktif terhadap diri sendiri
 Menarik diri dari realitas
 Khawatir

13
4. Akibat

Individu dengan harga diri rendah akan merasa tidak mampu, tidak
berdaya, pesimis dalam menghadapi kehidupan dan tidak percaya pada diri
sendiri. Hal ini akan membuat klien banyak diam, menyendiri, tidak mau ataupun
tidak mampu bergaul dengan orang lain, dan terjadinya Isolasi Sosial. Dalam hal
ini, klien tampak apatis, kurang spontan ketoka diajak bicara, ekspresi wajah
kosong, datar, tidak adanya komunikasi verbal, bicara pelan dan tidak ada kontak
mata saat bicara.

D. Isolasi Sosial
1. Pengertian

Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang
karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Twondsend,
1998 dalam Nita Fitria, 2009).

Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan


orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Pawlin, 1993 dikutip Budi
Keliat, 2011).

Menurut Depkes RI tahun 2000 kerusakan interaksi sosial merupakan


suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian
yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptive dan mengganggu
fungsi seseorang dalam hubungan sosial.

Isolasi social adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi


akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku
maladaptive dan mengganggu fungsi seseorang dalam berhubungan.

2. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
o Faktor Perkembangan

Sistem keluarga yang terganggu dapat menunjang perkembangan respon


sosial maladaptif.

14
o Faktor Biologis

Faktor genetic dapat berperan dalam respon social maladaptif.

o Faktor Sosiokultural

Hal ini diakibatkan oleh norma yang tidak mendukung pendekatan


terhadap orang lain, tidak mempunyai anggota masyarakat yang kurang produktif.

o Faktor dalam Keluarga

Pada komunikasi dalam keluarga dapat mengantar seseorang dalam


gangguan berhubungan, bila keluarga hanya menginformasikan hal- hal yang
negative dan mendorong anak mengembangkan harga diri rendah.

b. Faktor Presipitasi
o Stress sosiokultural

Stres dapat ditimbulkan oleh karena menurunnya stabilitas unit keluarga


dan berpisah dari orang yang berarti, misalnya karena dirawat di rumah sakit.

o Stress psikologi

Ansietas berat yang berekepanjangan terjadi bersamaan dengan


keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan
orang dekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan
dapat menimbulkan ansietas tingkat tinggi. (Ernawati, dkk, 2009)

3. Tanda dan gejala (Farida, Yudi Hartono, 2010)


 Menyendiri di ruangan
 Tidak berkomunikasi, menarik diri, tidak melakukan kontak mata
 Sedih, efek datar
 Perhatian dan tindakan yang tidak sesuai dengan perkembangan
usianya
 Berpikir menurut pikirannyasendiri, tindakan berulang dan tidak
bermakna
 Mengekspresikan penolakan atau kesepian kepada orang lain
 Tidak ada asosiasi antara ide satu dengan lainnya
 Menggunakan kata- kata simbolik

15
 Menggunakan kata yang tidak berarti
 Kontak mata kurang/ tidak mau menatap lawan bicara
 Klien cenderung menarik diri dari lingkungan pergaulan, suka
melamun, berdiam diri
a. Akibat

Klien dengan perilaku menarik diri dapat berakibat pada terjadinya


ganggua sensori persepsi halusinasi, yaitu persepsi yang salah atau tidak sesuai
dengan realita.

16
BAB III

GAMBARAN KASUS

A. PENGKAJIAN
Klien berinisial Tn. I, usia klien 35 tahun. Klien masuk RS Dharma
Graha karena sering bicara, tertawa, senyum-senyum sendiri, dan sering
melamun. Klien adalah anak pertama dari 6 bersaudara. Klien belum
menikah dan tidak bekerja. Paman klien juga mengalami gangguan jiwa
dan dirawat di RS Dharma Graha. Menurut rekam medis, ibu klien
mengatakan klien mengalami perubahan perilaku sejak duduk di bangku
SMEA, awalnya klien ingin bersekolah di sekolah penerbangan namun
orang tua klien tidak mampu membiayai. Di SMEA, klien masuk dan
keluar sekolah melalui pintu belakang, sering bicara sendiri, menyendiri,
melamun, malas mandi dan beraktivitas, karena berperilaku aneh maka
klien dibawa ke RSJ Grogol 10 tahun yang lalu.
Penampilan klien nampak rapi dan sesuai. Pada saat interaksi, klien
terkadang bicara inkoheren dan selalu meminta rokok. Klien lebih sering
terlihat melamun dan senyum-senyum sendiri. Ketika sedang berbicara,
klien terkadang blocking lalu tersenyum. Saat ditanya mengenai
halusinasi, klien menyangkal dengan mengatakan tidak mendengar atau
melihat apa-apa. Klien nampak sadar penuh, namun mengalami
disorientasi tempat dan waktu. Klien juga tidak mudah berkonsentrasi dan
berhitung sederhana. Diagnosa medis klien adalah schizophrenia
hebefrenik.

B. ANALISA DATA

DATA MASALAH
DS : klien mengatakan Gangguan Sensori
 Tidak mendengar suara atau melihat Persepsi: Halusinasi
bayangan tertentu (menyangkal halusinasi)

17
DO :
 Klien tampak sering bicara, tertawa, dan
senyum-senyum sendiri
 Pembicaraan klien inkoheren dan terkadang
blocking lalu klien tersenyum
DS :
 Klien mengatakan tidak memiliki teman di
RS
 Klien mengatakan tidak mengenal pasien
lain di RS
DO : Isolasi Sosial
 Klien tampak selalu duduk dengan melipat
kedua kaki ke dada
 Klien tampak tidak bicara dengan orang
lain kecuali minta rokok
 Klien tampak sering duduk menyendiri
DS :
 Menurut rekam medis ibu klien mengatakan
klien ingin masuk sekolah penerbangan
namun orang tua tidak mampu membiayai
 Klien mengatakan tidak memiliki pekerjaan
 Klien mengatakan tidak memiliki kelebihan
Harga Diri Rendah
dan kemampuan apa-apa
Kronis
DO :
 Klien tampak lebih sering diam
 Tidak mampu memulai pembicaraan
 Raut wajah sedih saat membicarakan
pekerjaan dan status perkawinan

C. MASALAH KEPERAWATAN
1. Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi

18
2. Isolasi Sosial
3. Harga Diri Rendah Kronis
D. POHON MASALAH

Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi

Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah Kronis

E. DAFTAR PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi
2. Isolasi Sosial
3. Harga Diri Rendah Kronis
F. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
(terlampir)
G. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI
Pada hari pertama, perawat melakukan pengkajian dan ditemukan
masalah utama Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi dengan data hasil
observasi perawat yaitu klien tampak tersenyum-senyum sendiri dan lebih
banyak menyendiri sambil melamun. Perawat mencoba mengkaji isi
halusinasi klien (SP 1 Halusinasi) namun klien menyangkal halusinasi
yang dialaminya. Saat ditanya apakah klien sudah diajarkan cara
menghardik, klien mengatakan belum mengetahui. Saat akan diajarkan
cara menghardik, klien bersikeras tidak mendengar suara-suara atau
melihat bayangan.

Pada hari kedua, perawat kembali mencoba menanyakan tentang


halusinasi yang dialami klien (SP 1 Halusinasi) karena data objektif seperti
tersenyum sendiri dan melamun masih tampak pada klien, namun klien
masih menyangkal halusinasinya. Perawat mencoba menggali perasaan

19
klien terhadap dirinya dan ditemukan masalah harga diri rendah dengan
data klien lebih sering diam dan tidak mampu memulai pembicaraan, klien
juga mengatakan tidak bekerja dan belum menikah. Saat perawat mengkaji
aspek positif yang dimiliki klien (SP 1 Harga diri rendah), klien
mengatakan hanya bisa merokok dan nongkrong dengan teman-teman.
Klien juga mengatakan tidak memiliki hobi atau kegiatan yang disukai.
Klien mengatakan ingin pulang dan berkumpul bersama teman-temannya
lagi, namun saat ditanya mengenai teman-temannya klien terdiam cukup
lama. Lalu perawat menanyakan apakah di RS klien memiliki teman (SP 1
Isolasi sosial), klien menggelengkan kepala dan mengatakan tidak. Klien
juga tidak mau diajarkan cara berkenalan.

Pada hari ketiga, perawat kembali melakukan SP 1 Halusinasi


dengan mengkaji isi halusinasi klien dan klien masih menyangkal
halusinasinya, namun data objektif tersenyum-senyum sendiri masih
nampak pada klien. Pembicaraan klien juga masih inkoheren dan klien
tampak tidak kooperatif, sehingga interaksi hanya berlangsung sangat
singkat.

20
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pengkajian

Dalam melakukan pengkajian terhadap gangguan sensori persepsi :


halusinasi diperlukan mengkaji situasi kondisi munculnya halusinasi, kapan
halusinasi muncul, gaya pembicaraan saat sedang bercakap-cakap, frekuensi
munculnya halusinasi, isi halusinasi, dan ekspresi wajah saat sedang
berbicara. Selain itu, mengkaji risiko yang berkaitan dengan munculnya
halusinasi, seperti adanya menarik diri yang dilakukan oleh klien saat
sedang berkumpul, adanya gangguan konsep diri, penampilan klien saat
bercakap-cakap, adanya gangguan alam perasaan.

Kaji riwayat gangguan jiwa masa lalu. Kaji terhadap adanya aniaya
fisik, yaitu aniaya seksual, penolakan, kekerasan dan tindakan kriminal. Kaji
adanya pengalaman yang tidak menyenangkan Kaji terhadap adanya faktor-
faktor pencetus, kaji status hubungan sosial klien, seperti orang yang berarti
dalam hidup klien, hambatan dalam kegiatan kelompok, dan peran serta
klien dalam ikut serta kegiatan kelompok.

Tn. I berusia 35 tahun. Klien masuk RS Dharma Graha karena sering


bicara, tertawa, senyum-senyum sendiri, dan sering melamun. Klien adalah
anak pertama dari 6 bersaudara. Klien belum menikah dan tidak bekerja.
Paman klien juga mengalami gangguan jiwa dan dirawat di RS Dharma
Graha. Menurut ibu klien mengatakan, klien mengalami perubahan perilaku
sejak duduk di bangku SMEA, awalnya klien ingin bersekolah di sekolah
penerbangan namun orang tua klien tidak mampu membiayai. Di SMEA,
klien masuk dan keluar sekolah melalui pintu belakang, sering bicara
sendiri, menyendiri, melamun, malas mandi dan beraktivitas, karena
berperilaku aneh maka klien dibawa ke RSJ Grogol 10 tahun yang lalu.

21
Penampilan klien nampak rapi dan sesuai. Pada saat interaksi, klien
terkadang bicara inkoheren dan selalu meminta rokok. Klien lebih sering
terlihat melamun dan senyum-senyum sendiri. Ketika sedang berbicara,
klien terkadang blocking lalu tersenyum. Saat ditanya mengenai halusinasi,
klien menyangkal dengan mengatakan tidak mendengar atau melihat apa-
apa. Klien nampak sadar penuh, namun mengalami disorientasi tempat dan
waktu. Klien juga tidak mudah berkonsentrasi dan berhitung sederhana.
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa Tn. I memiliki masalah
keperawatan gangguan sensori persepsi : halusinasi dan diagnosa medis
klien adalah schizophrenia hebefrenik.

B. Diagnosa keperawatan

1. Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi

2. Isolasi Sosial

3. Harga Diri Rendah Kronis

C. Planning

Dari diagnosa di atas intervensi yang dilakukan sesuai teori yaitu :


Perencanaan keperawatan yang dapat diberikan pada klien sesuai diagnosa
keperawatannya meliputi:

1. Gangguan sensori persepsi: halusinasi

Latih cara mengontrol halusinasi dengan menghardik

2. Isolasi Sosial

Latih cara berkenalan dengan baik.

3. Harga diri rendah

Latih kemampuan klien menngenali kemampuan yang dimilikinya

22
D. Implementasi

Selama perawatan dirumah sakit, klien belum diajarkan teknik


menghardik, cara berkenalan yang baik, dan diarahkan untuk menemukan
salah satu kemampuan yang dimilikinya.

E. Evaluasi

Selama perawatan di rumah sakit, klien belum diajarkan menghardik


sehingga butuh motivasi lebih dari perawat agar klien mau melakukannya
karena meskipun klien sudah memahaminya, namun klien terkadang enggan
melakukannya dengan alasan walaupun sudah dihardik, suara itu tetap ada
sehingga klien merasa kurang yakin untuk menggunakan cara tersebut.
Klien mengatakan tidak memiliki teman di RS, Klien mengatakan tidak
mengenal pasien lain di RS Klien tampak selalu duduk dengan melipat
kedua kaki ke dada, Klien tampak tidak bicara dengan orang lain kecuali
minta rokok, Klien tampak sering duduk menyendiri. Klien belum diajarkan
cara berkenalan yang baik sehingga klien butuh motivasi karena klien masih
enggan untuk melakukan hal tersebut

23
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

 Faktor predisposisi Tn. I yaitu : faktor genetik, karena paman klien juga
mengalami gangguan jiwa seperti klien dan di rawat di RSKJ Dharma
Graha

 Faktor presipitasi Tn. I yaitiu : ingin bersekolah di sekolah Penerbangan,


tetapi tidak terpenuhi karena keluarga tidak mampu membiayai.

 Masalah keperawatan yang muncul pada Tn. I adalah gangguan sensori


persepsi: halusinasi pendengaran, isolasi sosial, dan harga diri rendah:
kronis, dengan core problem : gangguan sensori persepsi: halusinasi
pendengaran

 Tindakan keperawatan yang telah di laksanakan pada Tn. I yaitu melatih


cara menghardik pada diagnosa keperawatan gangguan sensorik persepsi:
halusinasi pendengaran , serta melatih berkenalan untuk diagnosa isolasi
sosial. Tetapi kllien menolak untuk berkenalan.

B. Saran
1. Bagi Mahasiswa

Bagi mahasiswa diharapkan dalam melakukan pengkajian pada klien


dengan gangguan sensori persepsi: halusinasi, mampu melakukan bina
hubungan saling percaya yang baik, memberikan sesekali sentuhan
yang tepat, memberikan empati pada klien, kontak hangat dan harus
sabar ketika menghadapi pasien dengan gangguan kejiwaan. Selain itu
mahasiswa harus mempersiapkan strategi pelaksanaan tindakan
keperawatan dulu sebelum berinteraksi dengan klien, supaya

24
pembicaraan antara perawat dengan klien tidak menyimpang dari SP
yang dibuat sebelumnya.

2. Bagi Perawat

Perawat diharapkan memberikan intervensi yang sesuai dengan


rencana tindakan asuhan keperawatan pada pasien gangguan sensori
persepsi: halusinasi pendengaran, sehingga klien mampu mengenal
dan mengontrol halusinasinya.

25
DAFTAR PUSTAKA

Carpenitto, Linda J. Buku Saku Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC, 2001.

Keliat, Budi Anna, dan Akemat. Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC,
2010.

Stuard & Sudden. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta: EGC, 1998.

Suliswati, dkk. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC, 2005.

Townsend, Mary C. Buku Saku pada Keperawatan Psikiatri: Pedoman untuk


Pembuatan Rencana Perawatan. Jakarta: EGC. 1998

Farida, Yudi Hartono. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
2010

Dalami, Ermawati dkk. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Jiwa.


Jakarta: CV. Trans Info Media. 2009

26

Anda mungkin juga menyukai