Anda di halaman 1dari 8

Ini mas, Bab 2 tinjauan pustaka.

2.1 Gambaran penyakit itu isinya : Definisi penyakit, gejala, faktor risiko, patofisiologi
2.2 Diet : Tatalaksana diet, kebutuhan energi, protein, karbo, sama vitamin mineral

SLE (Systemic Lupus erythematosus)


2.1
DEFINISI
Systemic Lupus Erythematosus, atau biasa disingkat SLE adalah salah satu jenis penyakit
lupus yang menyebabkan peradangan di hampir seluruh organ tubuh, seperti sendi, kulit,
paru-paru, jantung, pembuluh darah, ginjal, sistem saraf, dan sel-sel darah. SLE adalah jenis
lupus yang paling sering dialami orang.
Kebanyakan orang dengan SLE dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa kendala dengan
melakukan pengobatan yang rutin. SLE dapat terjadi dalam tahap tingan hingga mengancam
nyawa. Penyakit tersebut harus dirawat oleh dokter atau tim dokter yang punya keahlian
khusus menangani pasien dengan kondisi tersebut.

SLE adalah salah satu jenis penyakit lupus yang paling sering terjadi. Penyakit ini bisa
dialami oleh siapa saja tanpa pandang bulu, baik anak-anak, orang dewasa, lansia, atau pria
maupun wanita. Meskipun begitu, berbagai penelitian menyebutkan bahwa wanita cenderung
lebih mungkin terkena SLE dibandingkan pria.

Wanita dengan lupus dapat hamil dengan selamat dan kebanyakan dari mereka akan melalui
masa kehamilan yang normal dan bayi yang sehat. Namun, semua wanita dengan lupus yang
hamil cenderung melewati kehamilan dengan risiko tinggi.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun multisistem kronik


dengan spektrum manifestasi yang luas dan mempengaruhi setiap organ atau sistem
di dalam tubuh (Isbagio dkk, 2009; Jakes dkk, 2012).
GEJALA
Pada dasarnya gejala penyakit lupus dapat berbeda-beda pada setiap orang tergantung usia,
keparahan penyakit, riwayat medis, serta kondisi pasien secara menyeluruh. Selain itu, gejala
penyakit lupus juga biasanya dapat berubah-ubah setiap waktu.

Namun, ada beberapa tanda dan gejala khas dari penyakit lupus yang mungkin bisa Anda
amati dan waspadai. Berikut beberapa tanda dan gejala khas SLE adalah:
 Lemas, lesu, dan tidak bertenaga
 Nyeri sendi dan bengkak atau kekakuan, biasanya di tangan, pergelangan tangan dan
lutut
 Memiliki bintil merah pada bagian tubuh yang sering terkena matahari, seperti wajah
(pipi dan hidung)
 Fenomena Raynaud membuat jari berubah warna dan menjadi terasa sakit ketika
terkena dingin
 Sakit kepala
 Rambut rontok
 Pleurisy (radang selaput paru-paru), yang dapat membuat bernapas terasa
menyakitkan, disertai sesak napas
 Bila ginjal terkena dapat menyebabkan tekanan darah tinggi dan gagal ginjal
Gejala SLE yang disebutkan di atas mungkin terlihat mirip dengan berbagai gejala dari
penyakit lain. Oleh karena itu, bila Anda memiliki kekhawatiran akan sebuah gejala tertentu,
konsultasikanlah dengan dokter Anda.

FAKTOR RESIKO

Faktor-faktor yang meningkatkan risiko Anda terkena penyakit SLE adalah:


 Jenis kelamin, karena lupus cenderung lebih sering terjadi pada wanita
 Sering berjemur atau terpapar sinar matahari dalam waktu yang lama
 Memiliki riwayat penyakit autoimun
 Minum obat-obatan tertentu. Penyakit ini dapat dipicu oleh beberapa jenis obat anti-
kejang, obat tekanan darah dan antibiotik. Orang yang memiliki lupus karena obat
biasanya gejalanya hilang ketika mereka berhenti minum obat
 Meskipun SLE dapat terjadi pada orang-orang dari segala usia, namun yang paling
sering didiagnosis antara usia 15 dan 40 tahun

Tidak memiliki faktor risiko tidak berarti Anda tidak bisa mendapatkan penyakit ini. Faktor-
faktor ini hanya untuk referensi saja. Anda harus berkonsultasi dengan dokter Anda untuk
lebih jelasnya.

TNGKAT KEPARAHAN (Tambahan) SAYANG …………

Penyakit SLE dapat dikategorikan berdasarkan tingkat keparahannya menjadi ringan, sedang,
atau berat sampai mengancam nyawa. Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia, tingkat
keparahan penyakit SLE dapat dikategorikan berdasarkan kriteria berikut:

Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:


1) Secara klinis tenang
2) Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3) Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf
pusat, sendi, hematologi dan kulit. Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.

Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang:


1) Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2) Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3) Serositis mayor

Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa:


1) Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,tamponade
jantung, hipertensi maligna.
2) Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru,
ibrosis interstisial, shrinking lung.
3) Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4) Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5) Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
6) Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
7) Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit < 20.000/mm3 , purpura trombotik
trombositopenia, thrombosis vena atau arteri.

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi merupakan gabungan dari kata patologi dan fisiologi, yang artinya adalah ilmu
yang mempelajari gangguan fungsi pada organisme yang sakit, meliputi asal penyakit,
permulaan perjalanan dan akibat.
Autoantibodi yang diproduksi oleh sel plasma akan beredar dalam darah dan mulai
menyerang antigen tubuh penderita. Autoantibodi yang menangkap antigen yang beredar
dalam darah, hasil apopotsis, juga akan membentuk kompleks antigen-antobodi. Autoantibodi
ini akan mengaktivasi sistem inflamasi sehingga kemudian akan menyebabkan kerusakan
organ yang ditagetkannya.

Kerusakan organ dan sel yang terjadi akan semakin menambah dilepaskannya antigen ke
dalam darah. Antigen yang beredar ini akan menginduksi sel B memori dan kemudian dengan
cepat membelah dan membentuk lebih banyak sel plasma. Sel plasma ini kemudian akan
memproduksi lebih banyak lagi autoantibodi sehingga reaksi peradangan dan gejala SLE
semakin berat.

Adakalanya ketika SLE sudah mereda, kerusakan yang dipicu misalkan terkena sinar
matahari atau terkena infeksi virus akan menyebabkan apoptosis baru. Apoptosis ini
kemudian membangunkan kembali sel B memori dan timbulah flare atau kekambuhan dari
penyakit lupus atau SLE.

Kesimpulan
Penyakit lupus atau SLE melibatkan proses dengan banyak faktor yang terlibat. Proses yang
paling utama adalah terbentuknya autoantibodi sebagai proses pematangan sel B. Proses ini
dimulai dengan faktor lingkungan yang menimbulkan kerusakan jaringan dan memulai proses
autoreaktivitas yang kemudian bermanifestasi sebagai penyakit lupus atau SLE. Adapun
gejala kerusakan pada SLE terjadi akibat reaksi peradangan yang diperantarai oleh
autoantibodi. Selain artikel ini, di bawah ini adalah video mengenai patogenesis dan
patofisiologi dari SLE:

2.2
Pengaturan Asupan Makanan dan
Zat Gizi pada Lupus
Pengobatan lupus belum memungkinkan, tetapi perawatan memungkinkan kehidupan yang lebih
normal. Penggunaan methotrexate dapat mengurangi ketergantungan pada steroid, yang
diinginkan. Intervensi berupa pengaturan zat gizi dan antioksidan dapat memperbaiki kondisi
pada pasien lupus. Suplementasi dengan minyak ikan dapat mengurangi aktivitas penyakit yang
bergejala.
5

Protein
Karena tingginya kejadian gangguan fungsi ginjal pada SLE, maka total asupan protein perlu
disesuaikan. Pembatasan asupan protein telah terbukti memiliki efek menguntungkan dalam
mengontrol perkembangan penyakit ginjal. Secara khusus, diet yang dibatasi protein (0,6 g /
kg per hari) memperbaiki status gizi dan laju filtrasi glomerulus pada pasien dengan SLE
dengan penyakit ginjal kronis. Selain itu, asupan protein yang berlebihan telah terbukti
menghasilkan kehilangan mineral tulang pada pasien dengan SLE remaja. Pembatasan diet
sumber phenylalanine dan asam amino tirosin juga telah terbukti bermanfaat pada penderita SLE.
Produk fenilalanin dan tirosin terdapat pada produk daging sapi, produk susu dan olahannya.6,7

Lemak
Lemak merupakan salah satu makronutrien yang juga penting karena menyediakan lemak tak
jenuh kembali ke jaringan dan limfosit dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Sebuah studi
menyebutkan konsumsi minyak ikan (180 mg EPA dan 120 mg DHA) mengamati pengurangan
asam aisadonat, keadaan peradangan dan agregasi trombosit, serta viskositas darah dan leukotrien
B4. Minyak ikan, yang dikenal sebagai salah satu sumber utama ω-3, memiliki efek anti-
inflamasi dan anti-autoimun (dengan penghambatan limfosit T dan B). Selain itu, ia
memiliki efek penekanan aktivitas makrofag dan produksi metabolit cyclooxygenase, terbukti
bermanfaat secara signifikan dalam status klinis, imunologis dan biokimia Odapus. Konsumsi
makanan kaya akan zat gizi mencakup kacang-kacangan, ikan, minyak ikan, minyak
zaitun, buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian kaya akan fitokimia, asam lemak omega-3,
dan antioksidan

Serat
Asupan serat yang memadai direkomendasikan pada SLE karena efek menguntungkan
dari serat dalam menurunkan risiko kardiovaskular, meningkatkan mobilitas usus,
mempromosikan rasa kenyang, mengurangi kadar serum penanda peradangan,
mengurangi glukosa darah dan lipid postprandial, serta memberikan densitas energi
rendah. Rekomendasi asupan serat sebesar 14 g serat /1000 kkal yang dikonsumsi (atau 38 g
untuk pria dan 25 g untuk wanita), dan asupan cairan yang memadai sangat penting. Penelitian
menunjukkan bahwa konsumsi serat berbanding terbalik dengan risiko keparahan SLE. 7

Vitamin
Beberapa studi epidemiologi telah mengeksplorasi peran potensial dari asupan zat gizi
antioksidan dan suplementasi pada pasien lupus. Pada SLE, stres oksidatif bertindak sebagai
pemicu autoimunitas yang berkontribusi terhadap disregulasi sistem kekebalan, kejadian
apoptosis abnormal dan produksi autoantibodi. Kondisi defisiensi vitamin A adalah salah satu
gejala lupus yang cukup serius. Padahal Vitamin A penting untuk berbagai fungsi, termasuk
pemeliharaan integritas sistem kekebalan.  7
Pada penderita SLE, kekurangan vitamin D berkaitan dengan kurangnya paparan sinar matahari
yang dapat meningkatkan risiko osteoporosis dan fotosensitivitas pada pasien. Penelitian
menunjukkan bahwa vitamin D yang cukup dapat mencegah penyakit autoimun dengan
meningkatkan jumlah atau fungsi sel T natural.  Asupan vitamin C dapat mencegah
8

terjadinya keaktifan penyakit SLE.  Vitamin C dapat memediasi respons stres oksidatif pada
5

SLE dan, memberikan efek menguntungkan pada perbaikan komponen kekebalan yang abnormal
dan peradangan. 7

Defisiensi vitamin D umum pada pasien dengan SLE dibandingkan pada populasi umum,
sebagian karena pasien dengan SLE dianjurkan untuk menghindari sinar matahari, untuk
mencegah disease flare. Vitamin D ditemukan dalam jumlah kecil dalam telur, ikan, susu, dan
produk olahannya. Pemberian vitamin E menyebabkan kemunduran serangan dari
autoimunitas yang dapat memperpanjang harapan hidup pada SLE. 7

Baca : Vitamin C

Mineral
Pasien lupus disarankan untuk mengikuti diet rendah natrium karena bukti menunjukkan bahwa
kandungan natrium klorida yang berlebihan dalam makanan mungkin menjadi faktor risiko
potensial untuk penyakit autoimun.  Terapi steroid dapat menyebabkan retensi natrium,
7

hiperglikemia, deplesi kalium dan kalsium, dan keseimbangan nitrogen negatif. Efek sampingnya
antara lain penambahan berat badan, wajah bulat, berjerawat, mudah memar, patah tulang atau
osteoporosis, hipertensi, katarak, hiperglikemia atau onset diabetes, peningkatan risiko infeksi,
dan sakit maag.

https://ahligizi.id/blog/2020/12/14/gizi-pada-orang-dengan-lupus/

Sidrom Nefrotik
2.1
DEFINISI
Sindrom nefrotik adalah kerusakan pada ginjal yang menyebabkan kadar protein di dalam
urine meningkat. Tingginya kadar protein tersebut disebabkan oleh kebocoran pada bagian
ginjal yang berfungsi menyaring darah (glomerulus).
Sindrom nefrotik merupakan salah satu jenis penyakit ginjal pada anak-anak maupun orang
dewasa. Kondisi yang menyerang sistem urinaria ini dapat diobati dengan mengonsumsi
obat-obatan yang diberikan oleh dokter. Jika sindrom nefrotik terjadi akibat penyakit lain,
seperti diabetes atau lupus, dokter juga akan mengobati kondisi penyebab sindrom nefrotik
tersebut.

https://www.alodokter.com/sindrom-nefrotik
Gejala Sindrom Nefrotik
Gejala utama sindrom nefrotik adalah penumpukan cairan dalam tubuh atau
edema. Edema terjadi akibat rendahnya protein dalam darah, sehingga menyebabkan cairan
dari dalam pembuluh darah bocor keluar dan menumpuk di jaringan tubuh.
Pada anak-anak, edema yang disebabkan sindrom nefrotik dapat diamati dari pembengkakan
di wajah. Sedangkan pada orang dewasa, edema dapat diamati dari pembengkakan di tumit,
yang diikuti pembengkakan di betis dan paha.
Gejala sindrom nefrotik lain yang dapat muncul adalah:

 Urine yang berbusa akibat adanya protein dalam urine.


 Diare.
 Mual.
 Letih, lesu, dan kehilangan nafsu makan.
 Bertambahnya berat badan akibat penumpukan cairan tubuh.

Sindrom nefrotik yang disebabkan oleh penyakit lain juga akan menimbulkan gejala penyakit
tersebut. Contohnya, sindrom nefrotik yang disebabkan oleh rheumatoid arthritis dapat
menimbulkan gejala nyeri sendi.

https://www.alodokter.com/sindrom-nefrotik

FAKTOR RESIKO

Apa faktor yang meningkatkan risiko terkena kondisi ini?


Sindrom nefrotik memang cenderung terjadi pada anak-anak, tetapi tidak
menutup kemungkinan orang dewasa juga dapat mengalaminya.
Selain itu, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang
terhadap penyakit ini, yaitu:
 mengalami penyakit yang merusak ginjal, seperti diabetes, lupus,
dan amiloidosis,
 menggunakan obat tertentu, seperti obat NSAID dan obat untuk
melawan infeksi, serta
 diserang penyakit infeksi tertentu, seperti HIV, hepatitis B, hepatitis C,
dan malaria.

https://hellosehat.com/urologi/ginjal/sindrom-nefrotik/

PATOFISIOLOGI SINDROM NEFROTIK


Patofisiologi sindrom nefrotik (SN) didasarkan pada kerusakan membran glomerulus ginjal,
sehingga meningkatkan permeabilitas glomerulus. [2,3]

Kapiler glomerulus dilapisi oleh fenestrated endothelium, dilapisi oleh epitel glomerulus atau
podosit, serta terdapat celah filtrasi di antara podosit. Ketiga struktur tersebut
membentuk glomerular filtration barrier. [1,3]
Kerusakan pada permukaan endotel, membran dasar glomerular, atau podosit akan
menyebabkan perubahan fungsi filtrasi glomerulus, sehingga terjadi proteinuria atau
albuminuria. Selain itu, hilangnya albumin menyebabkan penurunan tekanan koloid plasma,
yang berakibat muncul edema pada SN. Hipotesis lain penyebab edema adalah retensi
natrium primer pada tubulus renal. [4,5]

Mutasi pada beberapa protein podosit telah diidentifikasi pada SN bawaan. Faktor plasma
dapat mengubah permeabilitas glomerulus, terutama pada pasien sindrom nefrotik yang
resisten terhadap steroid. Sebuah studi in vitro, menunjukkan bahwa podosit
mengekspresikan reseptor untuk IL-4 dan IL-13. Aktivasi reseptor tersebut mengganggu
permeabilitas glomerulus, sehingga mengakibatkan proteinuria. [2,6]
SN juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme lipid dan dislipidemia, penurunan aktivitas
lipoprotein lipase di endotelium, otot, dan jaringan adiposa, serta penurunan aktivitas lipase
hati dan peningkatan kadar enzim PCSK9. [1,3]

https://www.alomedika.com/penyakit/nefrologi/sindrom-nefrotik/patofisiologi

2.2
Beberapa diet yang bisa diterapkan untuk mencegah sekaligus menghindari
komplikasi akibat sindrom nefrotik adalah:

1. Diet Protein

Gangguan ginjal akibat sindrom nefrotik menyebabkan kehilangan banyak protein


dalam tubuh. Risiko ini bisa dicegah dengan mengonsumsi makanan kaya protein
sesuai kondisi ginjal. Tanyakan pada dokter dan ahli diet untuk mengetahui
kebutuhan protein yang sesuai.

2. Diet Sodium

Diet rendah sodium disarankan untuk pengidap sindrom nefrotik. Pasalnya, terlalu
banyak natrium yang dikonsumsi dapat meningkatkan penimbunan cairan dan
garam lebih lanjut. Hal ini berpotensi sebabkan pembengkakan ginjal dan hipertensi
pada pengidap sindrom nefrotik.

3. Diet Lemak

Gangguan ginjal memengaruhi kadar lemak dalam aliran darah. Maka itu, pengidap
sindrom nefrotik perlu mengurangi asupan lemak untuk mencegah penyakit
kardiovaskular. Makanan rendah lemak yang bisa dikonsumsi antara lain daging
unggas, ikan, atau kerang.

Baca juga: Ketahui Tes Darah untuk Mendiagnosis Sindrom Nefrotik

Selain tiga diet tadi, terdapat berbagai jenis makanan yang bisa menunjang diet
sehat pengidap sindrom nefrotik, yaitu:

 Kacang kering yang tidak dibumbui asin atau selai kacang.

 Kedelai.

 Buah-buahan segar seperti apel, semangka, pir, jeruk, pisang.

 Sayuran segar seperti kacang hijau, selada, tomat.

 Sayuran kaleng rendah sodium.

 Kentang.

 Nasi.

 Biji-bijian.

 Tahu.

 Susu.

 Mentega atau margarin.

https://www.halodoc.com/artikel/cegah-sindrom-nefrotik-dengan-3-diet-sehat-ini

Anda mungkin juga menyukai