45
“Competition Policy: Introduction”, <www.iue.it/Personal/Motta/courses/Amato-
Motta/1- IntroductionCompetitionLaw.pdf>, 16 Desember 2008.
46
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2000), hal.35.
47
“Competition Law and Policy in the EC and UK”, < http://www.routledge.com/97804
15458474>, 16 Desember 2008.
48
Ibid.
14 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
akhirnya pada awal abad ke-20 kebijaksanaan mengenai hukum anti monopoli
yang ditujukan kepada persaingan pasar yang fair dan pencegahan eksploitasi
kekuatan pasar oleh kekuatan perusahaan tunggal secara monopoli ataupun oleh
kartel sudah ditinggalkan49. Saat ini Inggris sedang dalam proses mengadopsi
model baru dari sebuah hukum anti monopoli yang berdasarkan kepada sistem
hukum anti monopoli di European Community50.
Kebijakan persaingan usaha serta hukum persaingan usaha di Belanda
telah berkembang secara substansial dalam dekade yang lampau51. Pada tahun
1956 di Belanda dikenal suatu Undang-Undang yang bertujuan melarang
konspirasi bisnis yang membatasi persaingan dan merugikan kepentingan umum,
yaitu Undang-Undang tentang Kompetisi Ekonomi tahun 1956 (Wet Economische
Medediging)52. Dalam masyarakat Eropa pun pasal 85 dan 86 dari Traktat Roma
tahun 1957, yang merupakan dasar Masyarakat Ekonomi Eropa terbentuk, telah
pula mengatur tentang ketentuan anti monopoli sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Kompetisi Ekonomi tahun 1956 tersebut53.
Amerika mulai memberlakukan pengaturan tentang anti monopoli
menjelang akhir dari abad 19, yaitu pada tahun 1889 dan 189054. Berbagai
pengaturan antitrust dan anti monopoli di Amerika antara lain adalah Sherman
Act tahun 1890, Clayton Act dan Federal Commission Act tahun 1914, Robinson-
Patman Act tahun 1936, serta beberapa Undang-Undang Antitrust di tingkat
negara bagian Amerika55. Penyebab munculnya berbagai pengaturan tentang anti
monopoli tersebut di Amerika adalah terjadinya revolusi dalam bidang
49
Ibid.
50
Vincent Power, “E.C. Competition Law In The U.K.: Learning From The Irish
Experience”, (Europeran Competition Law Review, 2000), hal.64.
51
“Netherlands - The Role of Competition Policy in Regulatory Reform”, <www.oecd.org
/dataoecd/3/42/2497317.pdf>, 16 Desember 2008.
52
Munir Fuady, Op. Cit., hal.38.
53
Ibid.
54
R. Shyam Khemani, A Framework for the Design and Implementation of Competition
Law and Policy, (United States of America: Library of Congress Cataloging, 1999), hal. 2.
55
Munir Fuady, Op.Cit., hal.38.
15 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
transportasi dan komunikasi yang mengarahkan kepada monopoli pasar, berbagai
inovasi dalam bidang teknologi, bertambah besarnya perusahaan-perusahaan yang
juga dilakukan melalui merger, serta terjadinya ketidakstabilan pasar sebagai
akibat dari krisis makro ekonomi dan perang harga yang memberikan insentif
untuk terbentuknya kartel serta trust56.
Sedangkan dalam sejarah Indonesia tidak banyak yang dicatat seputar
kelahiran serta perkembangan hukum persaingan usaha di Indonesia karena yang
banyak dicatat dalam sejarah justru tindakan-tindakan atau perjanjian dalam bisnis
yang sebenarnya harus dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli57.
Sebelum adanya Undang-Undang yang secara formal serta komprehensif
mengatur mengenai persaingan usaha, di Indonesia telah terdapat beberapa upaya
konkret untuk membuat konsep hukum persaingan usaha58. Sebelum tahun 1999
pun, secara sektoral dan tidak terkodifikasi, aturan tentang persaingan usaha telah
dapat ditemukan tersebar di berbagai produk perundang-undangan59, seperti di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, dan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil60, namun pengaturan tersebut
sangatlah minim, tidak memadai, dan tidak populer dalam masyarakat sehingga
tidak pernah diterapkan dalam kenyataan61.
Hingga akhirnya pada tanggal 5 Maret 1999 untuk pertama kalinya dalam
sejarah Indonesia diundangkan suatu hukum persaingan usaha yang komprehensif,
yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
56
“Competition Policy: Introduction”, Op. Cit.
57
Munir Fuady, Op.Cit., hal.41.
58
Arie Siswanto, Op. Cit., hal.71.
59
Ibid., hal.72.
60
Arie Siswanto, Op.Cit., hal.72-73
61
Munir Fuady, Op.Cit., hal.42.
16 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang terdiri atas sebelas bab dan 53
pasal yang dipublikasikan melalui Lembaran Negara RI Nomor 33 Tahun 199962.
Beberapa faktor yang ikut mendorong diundangkannya hukum persaingan
usaha di Indonesia adalah adanya desakan dari IMF (International Monetary
Fund) agar Indonesia menyusun aturan persaingan usaha yang komprehensif, dan
adanya gagasan untuk memangkas segala jenis monopoli yang merugikan pasca
rezim Orde Baru63.
Asas dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagaimana tercantum
dalam pasal 2 undang-undang tersebut adalah demokrasi dalam bidang ekonomi
dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum.
Adapun pokok-pokok pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 ini yaitu:
1. Perjanjian yang Dilarang, yang terbagi lagi menjadi:
• Oligopoli
• Pembagian Wilayah
• Pemboikotan
• Kartel
• Trust
• Oligopsoni
• Integrasi Vertikal
• Perjanjian Tertutup
• Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
• Penetapan Harga
62
Arie Siswanto, Op.Cit., hal. 71-72.
63
Ibid., hal.71.
17 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
2. Kegiatan yang Dilarang, yang pembagian pengaturannya menjadi:
• Monopoli
• Monopsoni
• Penguasaan Pasar
• Persekongkolan
3. Posisi Dominan, yang dibagi lagi menjadi:
• Penyalahgunaan posisi dominan
• Jabatan rangkap (interlocking directorate)
• Pemilikan saham
• Penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan
Dalam skripsi ini yang akan lebih dibahas oleh penulis adalah mengenai
penetapan harga serta diskriminasi harga, berikut akan dijabarkan lebih luas
mengenai kedua poin pengaturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tersebut.
Penetapan harga menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 dapat terwujud dalam beberapa bentuk berikut64:
1) Penetapan harga antarpelaku usaha
Penetapan harga antarpelaku usaha dilarang oleh pasal 5 ayat (1) dari
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 karena penetapan harga secara bersama-
sama di kalangan pelaku usaha akan menyebabkan tidak berlakunya hukum pasar
tentang harga yang terbentuk dari adanya penawaran dan permintaan65.
Akan tetapi terhadap ketentuan tersebut terdapat pengecualian
sebagaimana ditentukan dalam pasal 5 ayat (2), yaitu apabila perjanjian penetapan
harga itu dibuat dalam suatu usaha patungan, atau didasarkan oleh undang-undang
yang berlaku66.
2) Penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan atau jasa yang sama
Yang dilarang berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
adalah membuat perjanjian yang memberlakukan diskriminasi terhadap
64
Arie Siswanto, Op.Cit., hal.82.
65
Munir Fuady, Op. Cit., hal.56.
66
Arie Siswanto, Op. Cit., hal.82, dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal.24.
18 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
kedudukan konsumen dan mengakibatkan konsumen yang satu harus membayar
dengan harga yang harus dibayar oleh konsumen lainnya67.
Meskipun demikian, bukan berarti semua pembedaan harga tersebut
dilarang oleh hukum persaingan usaha, karena apabila cost yang dikeluarkan oleh
penjual untuk satu konsumen dengan konsumen lainnya berbeda, maka tentunya
secara logis harganya pun tentunya akan berbeda pula68.
3) Penetapan harga di bawah harga pasar dengan pelaku usaha lain atau
pelaku usaha pesaingnya melalui perjanjian horizontal69
Larangan yang termuat dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 dimaksudkan agar pihak pesaing tidak dirugikan karena barang atau jasanya
tidak laku padahal harga barang atau jasanya sesuai dengan harga pasar. Larangan
ini baru berlaku apabila telah mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat70.
4) Penetapan harga jual kembali
Larangan ini termuat dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999. Maksudnya adalah agar pihak pembeli bebas menetapkan harga dari barang
atau jasa yang sudah dibelinya agar dapat dijualnya kembali sesuai dengan
permintaan dan penawaran yang ada di pasar71. Praktek semacam ini juga disebut
sebagai RPM (Resale Price Maintenance72).
Dalam teori ilmu hukum anti monopoli dikenal beberapa macam
diskriminasi harga yang dilarang, yaitu:
1. Diskriminasi harga primer
Yaitu suatu diskriminasi harga yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha
yang dapat mengakibatkan terjadinya kerugian bagi pelaku usaha pesaingnya.
2. Diskriminasi harga sekunder
67
Munir Fuady, Op. Cit., hal.56, dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal.24.
68
Munir Fuady, Ibid.
69
Arie Siswanto, Op. Cit., hal.83.
70
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 59-60.
71
Ibid., hal. 60.
72
Arie Siswanto, Op. Cit., hal. 83.
19 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Yaitu suatu diskriminasi harga yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha
yang dapat mempunyai akibat negatif terhadap para konsumen dari pelaku usaha
pesaingnya.
3. Diskriminasi harga umum
Yaitu suatu diskriminasi harga yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha
tanpa melihat kepada letak geografisnya.
4. Diskriminasi harga geografis
Yaitu suatu diskriminasi harga dimana harga dibeda-bedakan menurut
letak geografisnya.
5. Diskriminasi harga tingkat pertama
Ini disebut dengan diskriminasi harga sempurna, karena perbedaan harga
dari satu konsumen ke konsumen lainnya sangat jauh.
6. Diskriminasi harga tingkat kedua
Ini disebut juga dengan diskriminasi harga tidak sempurna, karena pihak
pembeli yang membeli pada tingkat harga yang lebih mahal memang membeli
dengan harga yang lebih mahal, akan tetapi bukan pada tingkat harga termahal
yang mungkin diberikan.
7. Diskriminasi harga secara langsung
Yaitu suatu diskriminasi harga yang diberikan oleh seorang penjual kepada
konsumen dimana terlihat dari harganya secara nominal memang berbeda antara
satu konsumen dengan konsumen lainnya.
8. Diskriminasi harga secara tidak langsung
Yaitu suatu diskriminasi harga dimana harga nominalnya tetap sama
namun ada kemudahan atau tambahan servis tertentu yang hanya diberikan
kepada pembeli tertentu secara diskriminatif73.
Dilarangnya diskriminasi harga oleh hukum persaingan usaha diakibatkan
oleh adanya faktor-faktor pertimbangan sebagaimana dibawah ini, yaitu74:
• Kesamaan Marginal Cost.
• Kesamaan kualitas dan kuantitas barang yang dijual.
73
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 57-59
74
Ibid., hal.57.
20 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
• Kesamaan cost untuk memproduksi, menjual, dan delivery.
• Tidak ada perubahan harga karena perubahan atau perbedaan waktu.
• Marketability dari barang tersebut harus sama.
• Komponen harga yang berbeda.
Dalam sejarah hukum anti monopoli terdapat berbagai macam teori hukum
anti monopoli, seperti teori keseimbangan (balancing), teori output analysis, teori
market power analysis, teori ancillary restraint, teori per se, serta teori rule of
reason75. Dari berbagai teori tersebut, dua teori yang bahkan pada U.S. Antitrust
sendiri masih seringkali diperdebatkan penerapannya pada kasus adalah teori per
se dan teori rule of reason. Perdebatan yang tak kunjung selesai ini disebabkan
oleh kurangnya pemahaman mengenai karakter asli dari kedua teori tersebut serta
hubungan diantara teori per se dengan teori rule of reason76. Dua teori ini pula lah
yang digunakan dalam hukum anti monopoli Indonesia.
Teori per se yaitu suatu teori yang titik beratnya terletak pada struktur
pasar tanpa terlalu memperhitungkan kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih
luas. Berdasarkan teori ini, pertukaran informasi harga antara pihak kompetitor
bagaimanapun juga dianggap bertentangan dengan hukum anti monopoli77.
Sedangkan yang dimaksud dengan teori rule of reason yaitu suatu teori
yang lebih berorientasi kepada prinsip efisiensi, dimana teori ini diterapkan
dengan melakukan pertimbangan antara akibat negatif dari tindakan tertentu
terhadap persaingan dengan keuntungan ekonomisnya. Berdasarkan teori ini,
haruslah dibuktikan terlebih dahulu apakah terdapat maksud atau pengetahuan
dari pihak pelaku terhadap konsekuensi dari tindakannya itu terhadap persaingan
pasar78.
75
Ibid., hal. 46-50.
76
Oliver Black, “Per Se Rules and Rules of Reason: What Are They”, (European
Competition Law Review, 1997), hal. 145.
77
Munir Fuady, Op. Cit,, hal.46-47.
78
Ibid., hal.47.
21 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Menurut Oliver Black dalam jurnalnya yang berjudul “Per Se Rule and
Rules of Reason: What are They”, untuk dapat melihat asal mula timbulnya rule
of reason ini dapat dilakukan dengan mengkaji bagian I dari the Sherman Act,
yaitu "Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or
conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several states, or with
foreign nations, is hereby declared to be illegal"79. Dari bagian I the Sherman Act
ini dapat dilihat bahwa apabila kata-kata “restraint of trade or commerce” dibaca
sebagai mengacu kepada setiap jenis pembatasan betapapun kecilnya dan terdapat
kemungkinan tidak akan berdampak pada penghilangan persaingan, maka hal ini
akan menjaring terlalu banyak tindakan yang sebenarnya tidak harus diperiksa
apakah tindakan tersebut melanggar persaingan, karena terdapat kemungkinan
pembatasan kecil yang timbul tersebut memang hal yang normal terjadi dalam
suatu perdagangan. Karenanya kemudian U.S. Courts melakukan adopsi terhadap
bagian I the Sherman Act ini dengan menggunakan pendekatan yang diambil dari
common law terhadap restrictive covenant, yaitu mereka menginterpretasikan
larangan tersebut hanya diaplikasikan terhadap pembatasan-pembatasan yang
tidak beralasan80. Karena adanya interpretasi inilah kemudian timbul teori rule of
reason.
79
Oliver Black, Op. Cit.
80
Ibid.
81
Ibid., hal. 101.
82
Arie Siswanto, Ibid., hal. 92.
22 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Usaha dan diatur secara khusus di dalam bab VI undang-undang tersebut serta di
dalam pasal-pasal lain di luar bab VI83.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah suatu lembaga
independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak
lainnya yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan khusus dibentuk
oleh dan berdasarkan undang-undang untuk mengawasi jalannya undang-
undang84.
Tugas dari KPPU sebagaimana terdapat dalam pasal 35 undang-undang
nomor 5 tahun 1999 yaitu:
• Melakukan penilaian terhadap tindakan-tindakan yang dilarang berdasarkan
tiga kategori yang ada.
• Mengambil tindakan sesuai kewenangan komisi.
• Memberi saran dan pertimbangan terhadap competition policy pemerintah.
• Menyusun pedoman dan publikasi berkaitan dengan undang-undang ini.
• Mengajukan laporan berkala atas hasil kerja KPPU kepada Presiden dan
DPR85.
Sedangkan kewenangan dari KPPU adalah:
• Menampung laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang
dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
• Melakukan penelitian akan adanya dugaan kegiatan usaha dan atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat;
• Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh
masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi sebagai
hasil dari penelitiannya;
83
Ibid., hal. 92-93.
84
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Ibid., hal. 53.
85
Arie Siswanto, Ibid., hal. 94, Munir Fuady, Ibid., hal. 101-102, dan Ahmad Yani, Ibid.,
hal. 55.
23 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
• Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini;
• Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
• Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku
usaha lain atau masyarakat;
• Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
• Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-undang ini86.
86
Indonesia, Ibid., ps. 36.
87
Syamsuni, Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, (Jakarta: EGC, 2006), hal.2.
88
“Pharmacy”, <http://medical.merriam-webster.com/medical/pharmacy>, 18 Desember
2008.
89
Syamsuni, Op. Cit..
24 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
II.2.1. Sejarah Industri Farmasi90
90
Ibid., hal.6-7, dan Amir Hamzah Pane (369604211Y), Strategi Industri Farmasi
Indonesia dalam Menghadapi Era Pasar Bebas, Program Pascasarjana Universitas Indonesia,
Program Studi Magister Manajemen, 1998, hal. 7 dan hal. 59.
25 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
tokoh Yunani lain yang bernama Galenus, seseorang yang ahli meracik obat dari
sari pati tumbuhan sehingga keterampilan meracik obat dari sari pati tumbuhan ini
kemudian dikenal dengan istilah Galenika. Dalam zaman keemasan Islam dikenal
sejumlah sarjana farmasi, yang salah satu tokoh paling terkenalnya adalah Abu
‘Ali al-Husayn bin ‘Abdullah bin Sina atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Sina,
atau Avicenna (panggilan dari orang Barat), yang lahir pada tahun 980 M di
Afsyahnah, daerah dekat Bukhara yang sekarang menjadi wilayah Uzbekistan91.
Melalui Al-Qanun fi At Tibb, buku kedokteran klasik paling populer, Ibnu Sina
disebut sebagai “Bapak Kedokteran Modern”, bahkan sejarawan sains, George
Sarton, menyebut Ibnu Sina sebagai ilmuwan paling terkenal dari Islam92.
Pada tahun 1240 Kaisar Jerman, Kaisar Frederick II mengeluarkan
maklumat untuk memisahkan ilmu farmasi dan kedokteran sehingga masing-
masing ahli mempunyai keinsyafan, standar etik, pengetahuan, serta keterampilan
sendiri. Dengan adanya maklumat ini, keahlian farmasi menjadi profesi resmi
yang terpisah dari profesi kedokteran, namun tetap mempunyai tujuan yang sama
yaitu menolong orang sakit dan meningkatkan kesehatan umat manusia.
Sejarah industri farmasi modern dimulai pada tahun 1897 saat Felix
Hoffman menemukan cara menambahkan dua atom ekstra karbon dan lima atom
ekstra hidrogen ke dalam ekstrak kulit kayu Willow sehingga menghasilkan
Acetylsalicylic acid yang selanjutnya dikenal sebagai Aspirin. Untuk
mengembangkan produk ini kemudian didirikan perusahaan farmasi modern
pertama di dunia, yaitu Bayer.
Di Indonesia sendiri, kelahiran industri farmasi dimulai dengan berdirinya
perusahaan perdagangan dan impor obat jadi serta menjadi distributor bagi produk
obat perusahaan farmasi luar negeri di tahun 1950-an. Dengan keluarnya Undang-
Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967 serta Undang-Undang Penanaman
Modal Dalam Negeri tahun 1968, kesempatan bagi perusahaan farmasi di
Indonesia untuk bekerja sama dengan pihak asing untuk mendirikan industri
farmasi semakin terbuka lebar.
91
“Ilmuwan Legendaris di Masa Kejayaan Buwaih”, Harian Republika, Selasa 23
Desember 2008, hal. 8.
92
Ibid.
26 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
II.2.2 Perkembangan Industri Farmasi93
93
Ibid., hal. 13, hal. 61, dan hal. 90.
27 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
oleh UNIDO dikelompokkan kedalam klasifikasi C1 yakni negara yang industri
farmasinya berkemampuan reproduktif dalam memformulasi bahan baku dan obat
jadi.
Sampai dengan tahun 1996 perkembangan industri farmasi dan PBF di
Indonesia sangat pesat meskipun lokasinya hanya terkonsentrasi di pula Jawa.
Perkembangan yang sangat pesat ini pun menyebabkan persaingan sesama
perusahaan farmasi menjadi sangat ketat, terlebih dengan adanya batas waktu
penerapan ketentuan hak paten bagi copy product dan copy process.
94
Ibid., hal. 71.
95
Ibid., hal.72.
96
Ibid.
28 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
Pemalsuan produk merupakan persoalan serius yang dihadapi oleh industri
farmasi Indonesia. Pemalsuan produk ini dapat berupa bahan baku yang tidak
sesuai dengan khasiat, pemalsuan merek, serta pemalsuan kemasan yang
dilakukan dengan cara pabrikasi yang sederhana97.
Aspek keterjangkauan harga merupakan hal yang penting bagi pengadaan
obat. Karenanya untuk mendukung tercapainya keterjangkauan harga, pemerintah
telah menerapkan kebijaksanaan obat generik yang harganya lebih murah 30% -
60% dibandingkan dengan obat non generik98.
Sebelum menjelaskan lebih jauh mengenai obat generik, penulis akan
sedikit menjabarkan mengenai pengertian serta penggolongan obat. Obat secara
umum diartikan sebagai semua bahan tunggal atau campuran yang dipergunakan
oleh semua makhluk untuk bagian dalam dan luar tubuh guna mencegah,
meringankan, dan menyembuhkan penyakit99. Menurut undang-undang, yang
dimaksud dengan obat adalah suatu bahan atau campuran bahan untuk
dipergunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka100.
Pengertian obat secara khusus dapat dibagi menjadi:
-Obat jadi. -Obat tradisional
-Obat paten. -Obat esensial.
-Obat baru. -Obat generik.
-Obat asli101.
Penggolongan obat dapat dilakukan berdasarkan beberapa kriteria:
• Menurut kegunaan obat.
• Menurut cara penggunaan obat.
• Menurut cara kerja obat
• Menurut undang-undang.
97
Ibid.
98
Ibid., hal. 79.
99
Syamsuni, Op. Cit., hal. 47.
100
Ibid.
101
Ibid., hal. 47-48.
29 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
• Menurut sumber obat.
• Menurut bentuk sediaan obat.
• Menurut proses fisiologis dan biokimia dalam tubuh102.
Lebih lanjut pemasyarakatan pemakaian obat generik di Indonesia sangat
lambat, sosialisasi (promosi) dan penegakan aturan tentang obat generik ini pun
masih lemah103. Hal ini diperkirakan karena pemahaman dan apresiasi masyarakat
terhadap obat generik sangat kurang, disamping pengertian obat paten yang selalu
dicampuradukkan dengan obat bermerek104.
Kata ”paten” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ”patent” yang
dalam bahasa Inggris artian bebasnya adalah suatu hak yang dilindungi hukum
untuk tidak bisa ditiru atau dipalsukan105. Obat paten itu sendiri adalah obat milik
suatu industri farmasi penemu formulasi obat (pabrik inovator), yang memiliki
merek terdaftar yang dipatenkan dan dilindungi hukum, sehingga untuk jangka
waktu tertentu industri farmasi tersebut menjadi pemilik sah dari pembuatan dan
merek obat. Setelah masa paten dari suatu obat habis, perusahaan yang semula
memonopoli hak untuk memproduksi obat paten tersebut tidak dapat lagi
melarang perusahaan lain untuk memproduksi serta menjual obat yang bio-
equivalent dengan obat paten tersebut yang sekarang telah berubah nama menjadi
obat generik106.
Obat paten yang diproduksi oleh pabrik inovator merupakan produk yang
beredar di pasar dan telah terbukti khasiat, keamanan, dan kualitasnya melalui
berbagai tahapan uji pra klinis dan klinis. Obat generik hanya meng-”copy” obat
paten yang sudah ada, dan sudah habis masa patennya. Sehingga, untuk menilai
khasiat, keamanan, dan kualitas obat generik tidak diperlukan lagi tahapan uji
102
Ibid., hal. 48-50.
103
“Problema di Seputar Obat Generik”, < http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?
newsid1110347915,99818>, 4 November 2008.
104
Amir Hamzah Pane, Op. Cit., hal. 79.
105
Ibid.
106
Jacques-Philippe Gunther dan Charlotte Breuvart, “Misuse of Patent and Drug
Regulatory Approval Systems in The Pharmaceutical Industry: an Analysis of US and EU
Converging Approaches”, (European Competition Law Review, 2005), hal. 669.
30 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
praklinis dan klinis. Faktor inilah yang antara lain mengurangi biaya yang sangat
signifikan di dalam pengembangan obat generik107.
Nama obat generik itu sendiri hanya didasarkan pada nama zat aktif yang
terkandung di dalam obat tersebut, misalnya Rifampisin sebagai obat anti-TBC,
Captopril sebagai obat antihipertensi, dan Levofloxacin sebagai obat antibiotik108.
Ciri-ciri dari obat generik adalah obat generik biasanya (dan memang
seharusnya) harganya lebih murah, seringkali hanya terdiri dari satu substansi,
memiliki kemasan yang lebih sederhana109, dan selalu ditandai dengan logo
lingkaran garis hijau yang menunjukkan tanda khusus dari produsen obat (contoh
logo terlampir)110.
Kualitas obat generik memiliki kualitas yang setara dengan obat paten jika
sudah melalui suatu tahap penelitian yang disebut uji bioekivalensi yang tujuan
utamanya mengetahui kesetaraan efek terapi antara obat generik dan obat
patennya111. Kini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan
aturan yang lebih ketat dalam pemberian izin edar beberapa jenis obat generik
karena obat generik tersebut baru akan mendapat nomor registrasi dari BPOM jika
sudah terbukti kesetaraannya dengan obat paten melalui uji bioekivalensi112.
Uji bioekivalensi adalah suatu pengujian untuk obat copy atau obat
generik dengan cara membandingkan bioavailabilitasnya atau ketersediaannya
dalam sirkulasi sistemik dengan obat pembandingnya yang biasanya merupakan
obat paten, dengan cara melihat jumlah dan kecepatan zat aktif dalam produk obat
yang mencapai peredaran darah. Cara pengujiannya adalah dengan memberikan
obat uji dan obat pembanding dalam periode pemberian yang terpisah kepada
107
“Menjamin Khasiat Obat Generik Lewat Uji Bioekivalensi”, <http://www.dexa-
medica.com/newsandmedia/news/detail.php?idc=2&id=353>, 4 November 2008.
108
Ibid.
109
“Tips&Trik: Tips Mencari Khasiat Obat”, <http://konservasipapua.blogspot.com/2006
/08/tips-mencari-khasiat-obat.html>, 4 November 2008.
110
“Mahasiswa Farmasi Kampanyekan Obat Generik”, <http://www.tempointeractive.com
/hg/nusa/jawamadura/2007/12/02/brk,20071202-112723,id.html>, 4 November 2008.
111
“Menjamin Khasiat Obat Generik Lewat Uji Bioekivalensi”, Op. Cit.
112
Ibid.
31 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008
sejumlah sukarelawan yang menjadi subjek dari uji bioekivalensi tersebut.
Kemudian untuk dapat melihat jumlah dan kecepatan zat aktif dalam produk obat
yang mencapai peredaran darah, dilakukan pengukuran kadar obat di dalam
spesimen biologis seperti darah atau urin milik para sukarelawan subjek uji
bioekivalensi tersebut. Untuk dapat dikatakan suatu obat uji bioekivalen dengan
obat pembandingnya, jumlah dan kecepatan zat aktif dalam obat uji yang terdapat
di dalam darah harus sama dengan obat pembandingnya.
Penerapan konsepsi nama generik untuk rasionalisasi harga obat sudah
mulai digiatkan oleh pemerintah melalui SK MENKES No.47 tahun 1983 tentang
Kebijaksanaan Obat Nasional. Pemerintah juga memiliki instrumen untuk
mengontrol rasionalisasi harga obat dengan ditetapkannya harga patokan tertinggi
obat generik yang dievaluasi setiap tahun113.
Nilai penjualan obat generik dunia pada tahun 1991 adalah sebesar US$ 15
miliar dari total penjualan obat sebesar US$ 187,5 miliar yang berarti 18% dari
penjualan obat dunia adalah untuk obat generik114. Di negara maju justru obat
generik lebih populer dibandingkan dengan di negara berkembang115. Tahun 1990
penjualan obat generik di Amerika Serikat sebesar 30% dari total penjualan obat,
Denmark 50%, Jerman 17%, Inggris 10%, dan Belanda 16%116. Hal ini
menunjukkan bahwa justru di negara maju anggapan bahwa obat generik tidak
berkualitas tidak berlaku di sana.
113
Ibid.
114
Amir Hamzah Pane, Op. Cit., hal. 80.
115
Menjamin Khasiat Obat Generik Lewat Uji Bioekivalensi”, Op. Cit.
116
Ibid.
32 Universitas Indonesia
Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008