Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KEGIATAN

KAJIAN EFEKTIFITAS
INSEKTISIDA NABATI
TAHUN 2019

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN PENYAKIT
BALAI BESAR TEKNIK KESEHATAN LINGKUNGAN DAN
PENGENDALIAN PENYAKIT SURABAYA
Jl. Sidoluhur 12 Surabaya 60175
www.btklsby.go.id email : info@btklsby.go.id
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah dipanjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan


rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan kegatan yang
berjudul “KAJIAN EFEKTIFITAS INSEKTISIDA NABATI”. Kegiatan ini dapat
dilaksanakan atas kerjasama tim pelaksana dari BBBTKLPP Surabaya, Dinas Kesehatan
Kabupaten Gresik, dan Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik.
Kajian ini bertujuan untuk menemukan bahan insektisida nabati pengganti
insektisida kimiawi yang efektif terhadap pengendalian pinjal, dalam hal ini yang menjadi
objek penelitian kami adalah biji mimba.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan kajian ini, oleh
karena itu kami mengharap saran dan masukan untuk penyempurnaan hasil kajian ini ke
depan. Semoga hasil kajian ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak.

Surabaya, November 2019


Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 1
1.3 Penerima Manfaat 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1. Penyakit Pes 3
2.2. Agent (Penyebab) Penyakit Pes 3
2.3. Vektor Penyakit Pes 4
2.4. Inang Reservoir Kuman Pes 6
2.5. Mimba 6
BAB III METODOLOGI PENNELITIAN 8
3.1. Jenis Kajian 8
3.2. Lokasi dan Waktu Kajian 8
3.3. Cara Kerja 8
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 10
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 13
LAMPIRAN / DOKUMENTASI 14
ABSTRAK
Sebagai salah satu cara dalam mengatasi kurangnya air bersih dan
higiene sanitasi individu yang buruk adalah dengan menggunakan tisu basah
berantiseptik, sehingga dapat mengeliminasi tumbuhnya bakteri penyebab
penyakit. Kebersihan tangan sangat berpengaruh dalam penyebaran penyakit
infeksi melalui jalur fecal – oral. Tisu basah merupakan alternatif yang biasa
dipakai untuk menggantikan cuci tangan menggunakan sabun dan air dalam
menjaga kesehatan.
Tujuan umum kegiatan ini adalah Meningkatkan teknologi tepat guna
dalam pembuatan Tisu Basah Antiseptik sebagai pengganti cuci tangan dengan
sabun dan air dan tujuan khususnya adalah : mengetahui nilai dari hasil uji
sterilitas swab tangan tisu basah antiseptik di lapangan, mengetahui penilaian
masyarakat berkaitan dengan produk tisu basah antiseptik, mengetahui
kepuasan masyarakat berkaitan dengan pemakaian produk tisu basah antiseptik
dan mengumpulkan kritik dan saran dari masyarakat untuk peningkatan produk
tisu basah antiseptik.
Kesimpulan dari kajian ini adalah terdapat penurunan jumlah bakteri pada
usap tangan sebelum dan sesudah dilakukan pemakaian tisu basah antiseptik
sebesar 88,6 %, penilaian masyarakat berkaitan dengan produk tisu basah
antiseptik antara lain mengenai : Bentuk luar kemasan produk tisu basah
antiseptik, bahwa 98 % responden memilih puas terhadap bentuk luar kemasan
produk tisu basah antiseptik, Bentuk handglove tisu basah antiseptik, 98 %
responden merasa puas terhadap pemakaian tisu basah antiseptik berbentuk
handglove, ukuran kemasan produk tisu basah, 90 % responden menilai bentuk
ukuran kemasan produk tisu basah antiseptik telah sesuai, bentuk kemasan tisu
basah antiseptik yang dikemas satu persatu, 99 % responden setuju terhadap
bentuk ukuran kemasan produk tisu basah antiseptik, kepuasan masyarakat
berkaitan dengan pemakaian produk tisu basah antiseptik, pengunaan tisu basah
antiseptik sebelumnya, 93 % belum pernah menggunakan tisu basah antiseptik
berbentuk handglove, kelembaban tisu basah antiseptik di kulit, 93 % belum
pernah menggunakan tisu basah antiseptik berbentuk handglove, rasa lengket di
kulit setelah pemakaian tisu basah antiseptik, 74 % merasakan pemakaian tisu
basah antiseptik tidak lengket di kulit, aroma parfum pada tisu basah antiseptik,
76% menyukai aroma yang ditambahkan di dalam tisu basah antiseptik.
Responden juga sebagian besar juga menyukai aroma parfum segar dan lembut,

i
kandungan cairan pada tisu basah antiseptik, 90 % responden tidak merasakan
tisu basah yang mengandung banyak larutan, ritik dan saran dari responden
untuk peningkatan produk tisu basah antiseptik antara lain : penentuan stabilitas
dari kandungan lautan tisu basah antiseptik, penentuan batas kadaluarsa tisu
basah antiseptik, tisu basah antiseptik dapat disalurkan untuk kebutuhan
masyarakat yang memerlukan serta, dapat disalurkan pada kondisi KLB disaat
masyarakat kesulitan untuk mendapatkan air yang digunakan sebagai upaya
meningkatkan higiene sanitasi dasar.
Rencana Tindak Lanjut kegiatan ini adalah produksi massal tisu basah
antiseptik guna mendukung program pemerintah dibidang gerakan masyarakat
dalam penerapan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan program Sanitasi
Total Berbasis Masyarakat (STBM), penentuan stabilitas dari kandungan larutan
tisu basah antiseptik, penentuan batas kadaluarsa tisu basah antiseptik.
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Hingga saat ini Indonesia masih belum dinyatakan bebas dari penyakit
pes. Sebagai salah satu penyakit zoonosa penyakit ini masuk kriteria PHEIC
yaitu penyakit yang berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa dan
meresahkan dunia. Di Indonesia, penyakit Pes tercantum dalam UU No. 4 Tahun
1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan tercantum pula dalam Permenkes RI
No. 560/Menkes/Per/tirVII/1989 tentang penyakit yang menimbulkan wabah.
Sebagai penyakit yang disebarkan oleh serangga, penularan penyakit pes
sangat terkait dengan kondisi lingkungan dan kehidupan serangga vektor.
Penyakit pes atau plague menimbulkan kesakitan dan kematian pada penderita
yang tertular secara langsung dari rodent atau melalui gigitan pinjal. Tikus yang
terinfeksi akan menginfeksi pinjal, sedangkan pinjal yang sudah terinfeksi akan
menginfeksi tikus lain yang sehat atau bahkan manusia yang hidup berdekatan
melalui gigitannya.
Dalam upaya pencegahan penyakit pes, maka pengendalian pinjal sangat
mutlak dilakukan. Pengendalian pinjal dapat dilakukan dengan memberikan
insektisida yang tepat. Diharapkan dengan pemberian insektisida tersebut
populasi pinjal akan berkurang sehingga tidak berpotensi tinggi untuk
menyebarkan pes pada tikus dan manusia.

I.2. Tujuan
a. Tujuan Umum
Kajian ini bertujuan untuk menemukan bahan insektisida nabati pengganti
insektisida kimiawi yang efektif terhadap pengendalian pinjal
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui kemampuan biji mimba untuk membunuh pinjal
2. Untuk mengetahui dinamika interaksi antara mimba dan tikus
3. Untuk mengetahui keberhasilan aplikasi mimba pada dalpin

I.3. Penerima Manfaat


a. Kementerian Kesehatan :

1
Memberikan masukan / input untuk penyusunan kebijakan dalam
pengendalian penyakit dan faktor risiko (NSPK).
b. Propinsi :
Memberikan masukan / input untuk melaksanakan koordinasi
operasional dan penyusunan kebijakan teknis skala propinsi.
c. Kabupaten/Kota:
Memberikan masukan / input pelaksanaan operasional pengendalian
vektor pes.
d. BBTKL PP
Meningkatkan peran B/BTKL PP dalam rangka layanan pengendalian
vektor dan binatang pembawa penyakit melalui monev resistensi
insektisida vektor Pes secara khusus di wilayah kerja BBTKLPP
Surabaya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Penyakit Pes


Penyakit Pes (Plague) adalah salah satu dari 3 penyakit epidemi di
samping kholera dan demam kuning (Yellow fever) yang masih menjadi subjek
International Health Regulation sebagai re-emerging infectious diseases atau
penyakit yang ada kemungkinan timbul kembali serta berpotensi menimbulkan
wabah dan kejadian luar biasa (Tikhomirov,1999 ).
Serangan penyakit pes bersifat akut dengan tanda-tanda klinis demam
tinggi, tubuh dingin, menggigil, perasaan tidak enak, malas, nyeri otot, sakit
kepala hebat, pembengkakan kelenjar limfe dan pembengkakan kelenjar lipat
paha, ketiak dan leher (bubo sebesar buah duku, bentuk oval, lunak dan nyeri);
maka disebut pes bubo, dan pada pes pneumonik dengan gejala klinis batuk
hebat, berbuih, air liur berdarah, susah bernapas dan sesak napas. Masa
inkubasi pes bubo 2 - 6 hari, sedang masa inkubasi pes pneumonik 2-4 hari
( Tikhomirov, 1999; Sub Dit Zoonosis,1999).
Manusia bisa terinfeksi melalui gigitan pinjal atau ketika kontak dengan
binatang yang terinfeksi. Dalam 3-4 hari mulai sakit mendadak ditandai dengan
demam, malaise, lemah dan nyeri kepala. Demam sering tinggi dan tidak tenang.
Organisme bergerak dari tempat permulaan inokulasi ke limfonodi regional,
menyebabkan kelenjar lymfe sangat lunak dan sakit yaitu bubo. Limfonodi khas
membesar, melekat dan sangat lunak. Tempat yang paling sering adalah di lipat
paha, walaupun kelenjar aksila atau servikel mungkin terlibat. Biasanya hanya
satu kelompok kelenjar regional yang terlibat. Jika pertahanan lokal dalam
limfonodi regional tidak dapat menanggulangi, organisme cepat menyebar ke
seluruh tubuh. Banyak manifestasi penyakit fulminan seperti gangguan
koagulasi, shok, dan kematian, berhubungan dengan lepasnya endotoksin oleh
organisme (Davis, 1992).

II.2. Agent ( penyebab penyakit ) Pes


Penyakit pes disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis (Pasteurella pestis).
Bakteri berbentuk batang, berukuran 1,5–2 x 0,5–0,7 um, bersifat gram negatif,
tidak membentuk spora. Di antara 11 spesies bakteri anggota genus Yersinia,
hanya 3 spesies yang dinyatakan penting dan patogen pada manusia; yaitu

3
Yersinia pestis yang dikenal sebagai penyebab penyakit pes, Yersinia pseudo-
tuberculosis, dan Yersinia enterocolitica penyebab diare.
Bakteri Yersinia pestis bersifat fakultatif anaerob, non motil, dan tidak
membentuk spora. Bakteri ini mudah diwarnai dengan cat anilin. Dalam kondisi
pertumbuhan normal bakteri berupa sel tunggal, berbentuk cocco-bacillus
bipolar, bersifat gram negatif. Di dalam laboratorium, temperatur optimum Y.
pestis untuk mengadakan perbanyakan adalah antara 28oC – 30oC dan pH 7,2 –
7,6. Organisme ini memiliki kemampuan toleransi dalam temperatur 4oC – 40oC,
pH 5–9,0. Pada suhu 28C merupakan suhu optimum tetapi kapsul tidak
terbentuk. Suhu 37C merupakan suhu terbaik bagi pertumbuhan bakteri.
Yersinia pestis termasuk parasit yang mudah ditumbuhkan pada berbagai media
baik medium semi solid maupun medium cair (Chu et al,1991). Kemampuan
hidup Y. pestis sebagaimana agent penyakit tular vektor yang lain sangat
tergantung pada kemampuannya beradaptasi di dalam tubuh pinjal dan inang
mamalia. ( Straley dan Peggy dalam Chu,1991).

II.3. Vektor Penyakit Pes


Vektor penyakit pes adalah pinjal (flea) yang hidup sebagai ektoparasit
pada tikus. Pinjal adalah serangga kecil, ordo Siphonaptera, berukuran panjang
1,5-4 mm, pipih di bagian samping (dorso-lateral), kepala-thorax-abdomen
terpisah secara jelas, dilengkapi banyak bulu kaku yang mengarah ke belakang,
tidak bersayap, berkaki panjang terutama kaki belakang, bergerak aktif di antara
rambut inang, dapat meloncat, dan berwarna coklat muda atau coklat tua
(Ristiyanto dkk., 1999).
Siklus hidup pinjal terdiri dari 4 tahap yaitu telur – larva – pupa - dewasa.
Telur pinjal sangat kecil, berbentuk oval, berukuran 0,4 – 0,5 mm, berwarna
putih, dan apabila menjelang menetas berwarna kuning kecoklatan (James dan
Harwood,1966). Larva pinjal berukuran 2-6 mm, berwarna putih, seperti ulat,
tidak berkaki, tidak bermata, dan berbulu kasar. Mulut tipe menggigit,
makanannya terdiri dari bahan organik, sisa darah yang mengering yang
terdapat pada feses pinjal atau sisa darah inang. Stadium larva mengalami 2
kali ganti kulit. Larva tumbuh menjadi pupa setelah 6 hari pada suhu 18-24o C
dan kelembaban 60%. Pupa terbungkus oleh bahan seperti debu, pasir atau
partikel lain secara tidak teratur, berwarna kuning kecoklatan. Perkembangan
pupa menjadi pinjal dewasa memerlukan waktu 5-7 hari pada suhu 30oC, atau 7-
14 hari pada suhu 18-23oC bila kelembaban 90%. Setelah keluar dari pupa pinjal
aktif mencari makan atau mengisap darah inangnya (Borror et al (1992). Siklus
hidup pinjal dari telur sampai menjadi pinjal dewasa memerlukan waktu 63-77
hari. Pinjal dewasa bergerak meloncat, beberapa species mampu meloncat
setinggi 30 cm. Sebagian besar pinjal makan pada 1– 2 inang, tetapi dalam
keadaan tidak normal mencari inang lain termasuk manusia. Pinjal dewasa tahan
hidup beberapa bulan tanpa makan ( Gratz dan Brown, 1983 ).
Pinjal ditemukan hampir di seluruh tubuh inang yang ditumbuhi rambut.
Pinjal dewasa bersifat ektoparasit, pinjal pradewasa hidup di sarang, tempat
berlindung, atau tempat-tempat yang sering dikunjungi tikus. Pinjal
menggunakan bulu genal atau pronotal, serta bulu okularnya, sehingga pinjal
mudah bergerak lincah di antara rambut-rambut inangnya dan menjaga posisinya
agar tetap berdiri tegak. Karakter alat mulut mempunyai struktur dan susunan
sedemikian rupa sehingga mampu membuat luka tusukan pada bagian kulit tebal
dengan proteksi dan retraksi laesinya yang kuat, kemudian darah dihisap ke
dalam faring dengan aktifitas pompa faring atau cibarial ( Gratz, 1999 ).
Peran ektoparasit dalam siklus penularan penyakit bersumber tikus
adalah sebagai vektor biologis, yaitu hewan tempat patogen mengalami
perkembangan dan perbanyakan sebelum ditularkan (Nalim dan Triboewono,
1987 ). Menurut Gratz (1999) di Indonesia dikenal ada 4 species pinjal yang
mampu menjadi vektor perantara dan reservoir sementara penyakit pes. Species
tersebut adalah Xenopsylla cheopis, Pulex iritans, Neopsylla sondaica dan
Stivalius cognatus.
Pinjal Stivalius .cognatus dan Neopsylla. sondaica dikenal sebagai pinjal
tikus liar dataran tinggi (pegunungan), dan Xenopsylla cheopis lebih dikenal
sebagai pinjal tikus untuk habitat rumah. Umumnya X. cheopis ditemukan hanya
pada tikus R.rattus diardii dan Cecurut rumah ( Suncus murinus). Pinjal yang
berperan sebagai vektor utama penyakit pes adalah pinjal tikus Xenopsylla
cheopis, disamping pinjal Stivalius cognatus (Turner et al,1974).
Pinjal menjadi infektif apabila mengisap darah dari inang sakit atau telah
terinfeksi Y. pestis. Pinjal jantan dan betina keduanya mengisap darah inang
dan menyebarkan bakteri Pes. Rata-rata kapasitas X. cheopis untuk mengisap
darah kurang lebih 0,5 mm3, dan di dalamnya mampu mengandung 5000 bakteri
pes dari tikus terinfeksi. Di masa epidemi atau musim kering prosentase pinjal
infektif lebih tinggi. Interval antara saat mengisap darah dengan masa infektif
terjadi setelah 21 hari (5–31 hari) untuk X.cheopis, dan rata-rata masa infektif
berlangsung selama 17 hari atau maksimal sampai 44 hari ( Anonim, 1992 ).
Beberapa saat setelah pinjal mengisap darah, bakteri pes akan segera
memperbanyak diri di dalam proventriculus pinjal. Koloni bakteri terus bertambah
banyak sehingga membentuk massa gelatin yang melekat pada spina proventri-
culus pinjal. Massa gelatin semakin membesar, akhirnya membentuk sumbatan
yang menghambat saluran pencernaan. Karena saluran pencernaan tersumbat
massa bakteri, darah yang dihisap pinjal tidak sampai proventriculus, akibatnya
pinjal terus merasa lapar dan selalu ingin menghisap darah. Dalam kondisi
seperti ini apabila pinjal mengisap darah inang, bakteri akan dimuntahkan pada
jaringan inang. Akibatnya jaringan inang akan terkontaminasi bakteri pes (Chu et
al.,1996; Gage,1997 ). Selama suhu udara sekitar 28oC atau lebih rendah enzym
koagulase dari bakteri Y.pestis aktiv, me-nyebabkan penyumbatan pada saluran
pencernaan pinjal, sehingga peran pinjal sebagai vektor lebih efisien.
Pinjal terinfeksi mampu hidup selama 50 hari pada temperatur 10oC –
15oC, dan bila temperatur 27oC hanya bertahan selama 23 hari, kemudian pinjal
mati dalam keadaan infektif. Selain ektoparasit dapat mati karena gangguan
organisme yang ada di tubuhnya, ektoparasit ini biasanya berperan sebagai
penular ke organisme inang. Di antara beberapa ektoparasit golongan
Arthropoda nampaknya yang paling umum ditemukan adalah pada golongan
burung dan mamalia khususnya tikus / rodensia ( Ristiyanto, 1999 ).

II.4. Inang Reservoir Kuman Pes


Penyakit pes secara alamiah dapat bertahan dan terpelihara pada
rodensia. Kuman-kuman pes yang terdapat dalam tubuh tikus sakit dapat
ditularkan ke rodensia lain atau kepada manusia secara langsung atau melalui
gigitan pinjal (Gratz, 1999 ).
Hasil penelitian Turner (1974) dan Hadi dkk. (1991) di daerah enzootik
pes di kabupaten Boyolali, Jawa tengah menyimpulkan, bahwa jenis tikus yang
paling dominan sebagai inang bagi spesies pinjal adalah dari kelompok Rattus
rattus diardii untuk habitat rumah, Rattus exulans dan Rattus niviventer untuk
habitat ladang.
II.5. Mimba
Mimba (Azadirachta indica A. Juss; Mileaceae), merupakan salah satu
tumbuhan sumber bahan pestisida (pestisida nabati) yang dapat dimanfaatkan
untuk pengendalian hama. Penanaman dapat dilakukan melalui stek, cangkok,
dan biji. Bagian tanaman mimba yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati
adalah daun dan bijinya. Ekstrak daun dan biji mimba mengandung senyawa
aktif utama azadiraktin. mimba juga memiliki sifat sebagai fungisida, virusida,
nematisida, bakterisida, maupun akarisida (Backer dan Van der Brink, 1965).
Mimba memiliki efek anti serangga dengan azadirachtin sebagai
komponen yang paling potensi. Ekstrak daun dapat berefek sebagai fungisida
alami pada pengendalian penyakit antraknosa pada apel pasca panen, berefek
insektisida terhadap larva Aedes aegypti. Ekstrak biji berpengaruh sublethal
terhadap struktur mikroanatomi ventrikulus dan pengham batan pertumbuhan
Plasmodium berghei pada mencit. Toksisitas Dapat menyebabkan iritasi mata
dan jaringan lunak, serta kemungkinan sebagai penyebab konjugtivitas dan
inflamasi.
Kardinan (2008), mengatakan bahwa pestisida nabati merupakan kearifan
lokal di Indonesia yang sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam pengendalian
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), guna mendukung terciptanya sistem
pertanian organik. Secara umum pestisida nabati diartikan sebagai suatu
pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan
seperti akar, daun, batang atau buah. Pestisida nabati relatif mudah dibuat
dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas juga oleh karena terbuat
dari bahan alami /nabati,maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai
(biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman
bagi manusia dan ternak peliharaan karena residunya mudah hilang.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Jenis Kajian


Kajian ini dilakukan dengan metode eksperimental yaitu berupa pengujian
resistensi pinjal terhadap insektisida nabati. Layanan pengendalian vektor dan
binatang pembawa penyakit melalui monev resistensi insektisida nabati vektor
pes.

III.2. Lokasi dan Waktu Kajian


Kajian ini dilaksanakan di laboratorium Zoonosis BBTKLPP Surabaya di
Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan. Kajian ini dilaksanakan selama 8 bulan dari
bulan Januari hingga Agustus 2019. Kegiatan yang akan dilaksanakan terdiri dari
beberapa sub kegiatan yang terdiri dari :

III.3. Cara Kerja


a. Pembuatan Serbuk Mimba
Biji mimba yang didapatkan dari Balai Pemeliharaan Pertanian Situbondo
dikeringkan, kemudian digiling hingga halus oleh alat penggiling (grinder). Hasil
gilingan kemudian ditimbang sebanyak 2 gram dan dimasukkan ke dalam tabung
reaksi.

b. Pengambilan sampel Pinjal


Tikus dalam kantong kain dilemaskan dengan cara menarik ekornya.
Pinjal didapat dengan cara menyisir rambut tikus berlawanan dengan arah
pertumbuhan rambut tikus. Pinjal yang jatuh ditampung dalam baskom berwarna
putih. Pinjal yang terkumpul dalam baskom diambil dengan aspirator khusus
untuk pinjal dan ditampung dalam botol.

c. Pengujian Pinjal terhadap serbuk mimba


Uji kontak langsung dilakukan dengan cara meletakkan pinjal ke dalam
tabung reaksi yang sudah berisi serbuk biji mimba dan dilakukan pengamatan.
Sebagai kontrol diletakkan juga pinjal pada tabung reaksi yang kosong.
Sebanyak satu ekor pinjal diisikan ke masing-masing tabung uji yang sudah
berisi serbuk biji mimba. Kemudian pengamatan dilakukan terhadap pinjal
tersebut dan waktu diukur hingga pinjal tidak bergerak/mati.

d. Pengujian daya tarik tikus terhadap mimba


Untuk mengetahui daya tarik tikus terhadap mimba dilakukan uji sekala
laboratoris dengan menaruh tikus coba ke dalam labirin yang diberikan dua
pakan pada kedua sisinya kemudian pada salah satu sisi diletakkan serbuk
mimba di depan pakan tersebut. Kemudian pengamatan tingkah laku tikus coba
dilakukan dengan melihat ketertarikan tikus coba tersebut untuk memakan pakan
yang terdapat mimba pada sisi depannya atau tidak. Setiap pengamatan
dilakukan selama 5 jam dan sebanyak 5 ekor tikus coba diletakkan pada labirin
tersebut. Pengamatan dilakukan setiap 30 menit dan jumlah tikus pada masing-
masing tempat makan akan dihitung. Pengulangan dilakukan sebanyak 5 kali.

e. Pengujian aplikasi mimba di lapangan


Pengujian aplikasi penggunaan serbuk mimba dilakukan dengan cara
mengganti insektisida buatan pada alat pengendali pinjal (Dalpin) dengan serbuk
biji mimba. Kemudian Dalpin tersebut diletakkan pada 20 rumah yang masing-
masing rumah diletakkan sebanyak 2 Dalpin yang di taruh pada bagian bawah
dan atas rumah. Dalpin diperiksa setiap hari selama dua minggu.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah kematian pinjal (mortalitas) terhadap serbuk mimba dapat dilihat


dari tabel 1. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa sebagian besar pinjal tidak
mati dalam satu hari sehingga susah untuk ditentukan LT50 dan LT95 dari kajian
ini. Namun waktu kematian pinjal uji lebih cepat dibandingkan dengan pinjal
kontrol yang tidak mati dalam waktu 7 hari. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa
sebagian besar pinjal Xenopxylla cheopis mati dalam jangka waktu 2 hari
(60,3%) sedangkan sebagian besar pinjal Stivallius cognatus mati dalam waktu 3
hari (66,5%). Biji mimba memiliki zat azadirachtin yang memiliki kemampuan
sebagai insektisida secara sistemik.

Tabel. 1. Mortalitas pinjal Xenopsyilla cheopis dan Stivallius cognatus dengan uji
metode kontak langsung terhadap serbuk biji mimba
Jenis Pinjal Pinjal Jumlah kematian pinjal uji dalam ekor (%) per
Kontrol hari
Pinjal Uji
1 2 3 4 5 6 7

X. 0 35 12 7 4 0 0
58 10
cheopis
(0) (60,3) (20,6) (12,2) (6,9) (0) (0)

S. 0 5 22 4 2 0 0
cognatus 33 10
() (15,4) (66,5) (12,1) (6,0) (0) (0)

Menurut Intan Akhmad (1993), serangga dewasa yang terkena efek dari
zat aktif mimba akan teracuni dan mengakibatkan tidak mau makan dan menjadi
mandul. Bahkan dari beberapa serangga akan menyebabkan kecacatan tubuh
dan tubuh menjadi mengeluarkan cairan singga menimbulkan kematian. Pada
pinjal, kematian tidak dapat berlangsung cepat antara lain disebabkan karena
kerasnya bagian kulit luar dari pinjal tersebut sehingga penetrasi dari zat aktif
dari mimba ke dalam tubuh pinjal menjadi lambat.
Kajian penggunaan mimba pada pinjal kemungkinan dapat diteruskan
dengan melihat efek dari biji mimba terhadap pengendalian populasi pinjal
khususnya dengan kemungkinan efek mimba yang dapat menyebabkan
kemandulan. Mimba didapati dapat menyebabkan perkembangan larva dari ulat
Crocidolomia binotalis tidak dapat menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan
morfologi (Djoko P, dkk., 1993).
Untuk mengetahui dinamika interaksi antara mimba dan tikus maka telah
dilakukan suatu pengamatan tingkah laku tikus coba di dalam labirin yang
memiliki pakan pada kedua sisinya dan salah satu sisi diletakkan serbuk biji
mimba di depan tempat pakan tersebut. Setiap menit ke-30 maka dihitung jumlah
tikus yang berada di masing-masing tempat makan. Dilakukan sebanyak 5 kali
perlakuan dan setiap perlakuan diletakkan sebanyak 5 ekor tikus coba. Hasil dari
pengamatan ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kecenderungan tikus coba untuk makan pada tempat pakan yang terdapat
serbuk biji mimba di depannya dan tempat pakan tanpa serbuk mimba
Perlakuan Jumlah rata-rata tikus yang berada di tempat pakan per 30 menit Rata-
Rata
30 60 90 120 150 180 210 240 270 300

Pakan
Tanpa
4,4 5 4,4 4,2 5 4,6 4 5 4,6 4,4 4,56
serbuk
Mimba

Pakan
dengan
serbuk 0,2 0 0,4 0 0 0,2 0,6 0 0,2 0,2 0,36
mimba di
depannya

Dari tabel tersebut bisa dilihat dari kecenderungan tikus coba untuk
memilih makan di tempat pakan yang tidak terdapat serbuk biji mimba di depan
tempat makannya lebih tinggi (rata-rata 4,56 tikus per 30 menit) dibandingkan
dengan makan di tempat pakan yang terdapat serbuk biji mimba di depannya
(rata-rata 0,36 tikus per 30 menit). Biji mimba setelah digerus menjadi serbuk biji
mimba akan mengeluarkan minyak atsirinya. Minyak tersebut mengeluarkan
aroma yang menyengat dan ternyata tidak disukai oleh tikus coba. Dengan masih
adanya tikus coba yang makan di tempat pakan yang terdapat serbuk mimba di
depannya menunjukkan bahwa tikus coba masih memiliki toleransi terhadap bau
dari serbuk biji mimba.
Selama dua minggu dilakukan pengujian aplikasi penggunaan serbuk biji
mimba pada alat pengendali pinjal (Dalpin) dan dilakukan pengamatan setiap
hari. Tingkat kunjungan tikus ke dalam Dalpin (Contact rate) dilihat dari adanya
jejak dan pakan yang dimakan.

Tabel 3. Tingkat kunjungan tikus ke dalam Dalpin (Contact rate) dilihat dari adanya jejak
dan pakan yang dimakan

Jmh Hari Penempatan

Dalpin 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

CR Dalpin 20
0 0 0 5 0 0 10 0 5 0 0 0 5 0
atas (%)

CR Dalpin 20
0 10 5 0 15 0 0 5 0 5 0 5 10 0
bawah (%)

Dari tabel 3 di atas terlihat bahwa tingkat kunjungan tikus ke dalam Dalpin
sangat kecil hanya berkisar antara 1-3 Dalpin saja (5%-15%) dan sebagian besar
justru tidak dimasuki oleh tikus. Hasil ini sesuai dengan hasil kajian sebelumnya
bahwa tikus tidak menyukai bau dari serbuk biji mimba tersebut. Umpan kelapa
bakar yang berada di dalam Dalpin tidak mampu menarik kehadiran tikus untuk
memasuki Dalpin. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena bau dari serbuk biji
mimba yang begitu kuat menyebabkan tikus tidak tertarik untuk memakan umpan
yang ada.
BAB V
KESIMPULAN DAN RENCANA TINDAK LANJUT

V.1. Kesimpulan
Dari hasil kajian ini dapat disimpulkan bahwa serbuk biji mimba tidak
efektif dalam mengendalikan pinjal karena memiliki daya bunuh yang relatif lama.
Selain itu serbuk biji mimba memiliki bau yang tidak disukai oleh tikus yang
menyebabkan tikus enggan mendekat ke tempat yang terdapat serbuk biji
mimbanya sehingga tidak dapat diaplikasikan untuk menggantikan insektisida
kimiawi yang selama ini digunakan pada alat pengendali pinjal (Dalpin)

V.2. Rencana Tindak Lanjut


Karena kajian ini hanya dilakukan dengan sekala kecil maka dapat
dilakukan pengembangan kajian lebih lanjut seperti aplikasi penyemprotan
ekstrak mimba untuk melihat efek mimba terhadap perkembangan larva pinjal
termasuk efek reproduksi pinjal yang terpapar dari mimba.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. “Jenis antiseptic”. http://id.wikipedia.org. [5 April 2013].

Rizki Firmansyah. 2013. “manfaat tisu”


.http://www.academia.edu/9397859/Manfaat_Tisu [20 Oktober 2013].

Anonim. 2012. “ Komposisi dan Jenis Sabun ”. http://www.femina.co.id. [20


Oktober 2013].

Anonim. 2009. “Saponifikasi” http://chemicaluinbdg2006.blogspot.com. [20


Oktober 2013].

Rachmawati Farida dan Shofyatul Y., 2008, Perbandingan Angka Kuman pada
Cuci Tangan dengan Beberapa Bahan Sebagai Standarisasi Kerja di
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Isllam
Indonesia, In: Logika. Volume 5 No. 1. Yogyakarta

Sari Retno., Dewi I. dan Noorma R., 2004, Pemanfaatan Sirih sebagai Sediaan
Hand Gel Antiseptic : I. Studi Formulasi, Laporan Penelitian, Fakultas
Farmasi Universitas Airlangga

Blackburn, C. W. dan McClure, P. J. 2002. Foodborne Pathogens Hazard,

Risk Analysis and Control. CRC Press, New York

Catherine failor, 2000. "Making Natural Liquid Soaps" Storey Publishing,


Hongkong

Dwidjoseputro. 1990. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia, Jakarta

Sastroamidjojo S., 1988, Obat Asli Indonsia, PT. Dian Rakyat, Jakarta

Anonim,1981, Pemanfaatan Tanaman Obat, Direktorat Jenderal Pengawasan


Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Anonim, 1980, Materia Medika Indonesia. Jilid IV, Departemen Kesehatan


Republik Indonesia

29

Anda mungkin juga menyukai