Anda di halaman 1dari 5

A.

Ontologi Keilmuan
Pengantar inti memahami hakikat segala yang ada. Didunia filsafat, tafsiran pertama
mengenai hakikat realitas, hakikat dari segala sesuatu (being) adalah tafsiran yang bersifat
alam atau nature. Setelh itu kemudian beralih pada dunia sosial atau dunia manusia.
Sebagaimana para filsuf Yunani Kuno dalam mengonstruksi gagasan akan hal ini. Bagi Thales,
hakikat dari segala sesuatu adalah air, bagi Anaximandros adalah define metter,
boundoless,aperion atau sesuatu yang tak terbatas, sementara bagi Anaximene kodrat
segala sesuatu adalah udara. Sedari itu, ontologi disebut juga sebagai kajian tertua dalam
filsafat, yang menjadi titik tolak dimana filsafat itu muncul. Ontologi (ontos: keberadaan,
ada, dan logos: ilmu, pemikiran) dimaknai sebagai ilmu yang mengkaji tentang hakikat yang
ada, theory of being qua being.
Ilmu adalah pengetahuan yang mencoba untuk menafsirkan dunia ini sebagaimana
mestinya baik itu berkaitan dengan dunia alam maupun dunia sosial. Dalam menafsirkan
dunia alam dan sosial kita senantiasa terikat dan bahkan tidak bisa terlepas dari berbagai
masalah yang ada dilamnya, secara khusus masalah hakikat yang mendasari dunia alam dan
dunia sosial tersebut. Ontologi dalam istilah lain disebut dengan metafisika, yaitu ilmu yang
mempelajari mengenai hakikat yang ada.

Objek kajiannya

Formal
Filsafat
Material Yang ada dan yang mungkin ada

Objek kajiannya

Formal

Material Yang ada


Ilmu

Gambar 5.2 Objek Kajian dan Aspek Ontologis Filsafat

dan Aspek Ontologis Ilmu Pengetahuan

Persoalan hakikat “yang ada” dalam hal ini, perlu dibedakan antara ranah kajian filsafat dan ranah
kajian ilmu. Ranah kajian filsafat membahas hakikat yang “ada” pada kaitannya dunia universal
kosmologi, dan juga alam semesta. Kedudukanya berada pada tataran abstraksi dan bersifat abstrak
bukan pada ranah empiris. Sementara ranah kajian ilmu membahas hakikat yang “ada” pada dataran
yang diindrai atau yang bersifat empiris. Marilah memahami kembali objek kajian masing-masing
agar tidak terjadi tumpang tindih pemaknaan hakikat sebagaimana dikerangkakan pada gambar
dibawah (lihat Gambar 5.2).

Melalui gambar diatas apa yang menjadi objek kajian filsafat tidak berbeda dengan objek kajian ilmu
pengetahuan pada aspek objek formal dan material. Ini didasarkan atas suatu konsekuensi dimana
filsafat merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan sehingga apa yang menjadi unsur-unsur
filsafat didapati didalam tubuh ilmu pengetahuan. Pada tataran objek materi filsafat dan ilmu
pengetahuan, filsafat memuat aspek apa yang ada dan juga yangt mungkin ada. Ilmu pengetahan
hanya memuat aspek yang ada saja. “Yang mungkin ada” tidak lagi menjadi ruang lingkup ilmu
pengetahuan. Disinilah letak damarkasi antara keduanya lihat Gambar 5.3 dibawah.

Objek materi

Yang ada
Filsafat
Yang mungkin ada

Objek materi

Ilmu Yang ada

Gambar 5.3 Objek Materi Filsafat dan Obek Materi Ilmu Pengetahuan

Untuk saat ini, marilah memahami aspek ontologi filsafat dan aspek ontologi keilmuan (ilmu
pengetahuan). Jika objek kajian materiel dari filsafat sebagai sesuatu yang ada dan yang mungkin
ada, maka aspek ontologinya adalah mengulas hakikat dalam konteks “yang ada” dan “yang mungkin
ada” itu. Aspek alam misalnya, maka kajiannya berada seputar “apa yang menjadi hakikat alam
semesa ini”. Dengan itu muncullah pemaknaan bahwa hakikat alam adalah “air” sebagaimana
diungkap Thales, hakikat alam semesta ini adalah “udara” sebagaimana diungkap Anaximene, dan
seterusnya, sebagaimana diulas dibagian sejarah perkembangan filsafat dan ilmu dibagian bab
sebelumnya.

Ontologi keilmuan tidak lagi membahas persoalan yang dikaji oleh filsafat, melainkan mengkaji
tentang hakikat “yang ada” yang mendasari dimana ilmu pengetahuan itu muncul. Ilmu
pengetahuan menelaah hakikat yang ada dari “materi atau benda” yang bersifat empiris. Benda atau
materi yang bisa diindrai itu tiada lain adalah manusia dan alam. Alam disini bukan berkaitan dengan
alam barzah atau semacamnya, bukan juga pada tataran alam dalam pengertian alam semesta yang
telah ditelaah filsafat tetapi alam sebatad yang bisa diindrai sebagaimana yang telah menjadi objek
kajian ilmu-ilmu alam. Ontologi keilmuan, dengan demikian mendasarkan pada dua segi, ontologi
manusia dan ontologi alam. Hakikat manusia dan hakikat alam. Pada ranah inilah hakikat ilmu
berkelindan. Lihatlah Gambar 5.4 dibawah).
Yang dihasilkan setelah pengkajian
Ilmu pengetahuan hakikat, berada dalam eskalasi

Ilmu-ilmu alam
Alam
Ilmu-ilmu sosial
Manusia
Yang dikaji

Hakikat alam dan


hakikat manusia

Terbatas pada yang dapat diindrai/empiris

Gambar 5.4 Aspek Ontologis Keilmuan

Apa yang menjadi hakikat atau prinsip dasar dari materi atau beda itu? Dalam rangka menjawab
pertanyaan ini, penjelajahan hakikat masuk keruang yang berkelindan dalam dua warna hakikat;
benda itu hakikatnya adalah immateri, sementara yang lain hakikat benda adalah berada pada
materi itu sendiri, dalam arti zat fisiknya. Objek materi ilmu pengetahuan ialah sesuatu yang berada
didalam diri manusia dan yang berada diluar dirinya yang dinisbahkan sebagai apa yang disebut
dengan alam. Manusia juga memiliki unsur (materi) kealaman seperti kulit, kerangka, atau aspek
tubuh dan anatomi manusia.

Dalam pengkajian manusia sebagai objek, manusia hakikatnya dapat dilihat dari dua hal, yaitu
sebagai sesuatu yang immateri dan/atau bersifat material fisik. Penelaahan hakikat manusia berada
pada jiwa bertolak dari kesadaran akan seonggok tubuh manusia tidak bermakna dan tidak bernilai
guna sama sekali jika tubuh itu tidak diisi oleh jiwa. Bagaimana mungkin kita akan hidup jika tubuh
ini tidak memiliki jiwa. Sementara, tubuh kita terus berubah dan berkembang dalam proses
kemenjadian. Wujud fisik manusia mengalami fase perubahan dari kecil, muda, tua, dan bahkan
kemudian mati. Yang tetap dari diri kita adalah aspek jiwa. Jiwa yang akan kekal dan terus hidup.
Manusia itu tidak mati. Ia hanya berpindah dari suatu alam ke alam lain yang saat ini tidak bisa
diindrai secara empiris.

Sebagai dia yang kekal, penisbahan “hakikat” manusia terletak pada tataran aspek jiwanya
(immateri). Berpijak dari pemahaman akan hakikat ini, disitulah munculnya psikologi sebagai ilmu.
Ilmu psikologi lahir bertolak dari pemahaman bahwa hakikat manusia itu berada pada jiwa. Psikologi
berasal dari kata “psyche” yang berarti jiwa atau nafas hidup. Psikologi, ilmu yang mempelajari
tentang gejala kehidupan jiwa manusia. Ilmu tentang perilaku sebagai manifestasi dari kehidupan
kejiwaan baik itu sebagai aktivitas motorik, kognitif, maupun emosional.

Mengapa psikologi tidak disebut ilmu jiwa? Kita harus ingat kembali salah satu syarat ilmu adalah
bersifat empiris dan bisa diamati secara langsung. Apa yang dapat diamati secara empiris dari jiwa
manusia adalah gejala kejiwaan yang ditampilkan dalam bentuk perilaku dan sikap,termasuk
perkembangan manusia yang diulas secara spesifik dalam psikologi perkembangan, kepribadian, dan
seterusnya sebagai wujud kehidupan dunia mental. Hakikat manusia berada pada dimensi jiwa pada
kelanjutannya melahirkan ilmu-ilmu lain seperti sosiologi yang melihat manusia sebagai makhluk
sosial yang tidak bisa hidup sendiri, juga melahirkan ilmu antropologi yang secara implisit melihat
manusia dalam eskalasi budaya, dimana manusia merupakan makhluk yang senantiasa memproduksi
kebudayaan.
Secara sederhana, sosiologi berasal dari kata socius dan logos. Socius berarti teman dan logos berarti
ilmu. Sosiologi, ilmu yang mempelajari bagaimana manusia berteman dengan sesamanya.
Bagaimana relasi sosial terjalin yang dalam kelanjutannya menghasilkan sistem tata nilai bersama
dan menjadi sebuah fakta sosial. Antropologi (antro: manusia logos: ilmu) dapat didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari manusia, yakni manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka
warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.

Pada segi lain, pemusatan perhatian mengenai hakikat materi atau benda berada pada “zatnya”
melahirnya ilmu-ilmu alam seperti biologi, fisika, astronomi, dan seterusnya yang diklasifikasi ke
dalam ilmu-ilmu alam. Manusia sebagaimana disebut diatas memiliki aspek kealaman (aspek
tubuhnya dan anatominya). Hakikat tersebut melahirkan pula ilmu-ilmu seperti ilmu kedokteran,
ilmu anatomi, ilmu genetika, dan ilmu- ilmu lain yang membahas manusia dari sisi zat fisik.

Ontologi keilmuan menempatkan telaahnya pada hakikat dasar suatu disiplin ilmu, mengapa ilmu itu
lahir, apa yang hendak ditelaah suatu disiplin ilmu, apa aspek dasar yang mendasari adanya suatu
disiplin ilmu, atau apa yang menjadi prinsip dasar yang menjadikan adanya suatu disiplin ilmu.
Pertanyaan kunci dalam hal ini adalah “apa” sebagai jalan untuk masuk ke arah substansi dan
hakikat suatu bidang yang hendak dikaji dan ditelaah.

Perdebatan dalam kajian ontologi keilmuan melahirkan ragam pemikiran sebagaimana yang ada
dalam kajian filsafat. Kita harus mengingat bahwa filsafat dan ilmu secara substantif tidak dapat
dipisahkan. Dalam artian, aspek-aspek yang dibahas dalam arena ilmu juga didapati pembahasannya
dalam arena filsafat. Kajian ontologi, epistomologi, dan aksiologi lazimnya hanya ada disaat kita
membahas filsafat ilmu pengetahuan. Akan tetapi, pembahasan mengenai aspek ontologi juga akan
didapati dalam arena filsafat karena filsafat menempatkan perhatiannya pada arena “hakikat” secara
lebih luas. Ragam pemikiran aliran itu antara lain monoisme, dualisme, pluralisme, agnostisisme, dan
nihilisme.

Ragam pemikiran “monoisme, dualisme, pluralisme, agnostisisme, dan nihilisme” pada awalnya
berada dalam ranah filsafat. Sebagai induk dari segala ilmu, ragam pemikiran itu mewarnai aspek
dasar-dasar ilmu pengetahuan yakni aspek ontologi keilmuan, epistemologi keilmuan, dan aksiologi
keilmuan. Dalam arti, ketika kita mengkaji ontologi pemikiran monoisme, dualisme, dan seterusnya
turut andil sebagai bagian yang tidak bisa dihindarkan karena kita menggunakan unsur-unsur filsafat
dalam menelaah ilmu pengetahuan. Begitu juga nanti dalam bagian epistemologi dan aksiologi.
Disini akan kita pahami lebih lanjut.

Secara historis, kajian mengenai hakikat dari realitas yang muncul dari pemikiran filsafat tertumpu
pada aspek alam. Manusia dipandang sebagai bagian dari alam. Dengan mengkaji alam maka
manusia sudah termuat didalamnya. Pada era Socrates, Plato, dan Aristoteles pemusatan pemikiran
kepada manusia baru dimulai. Mulai mengkaji hakikat manusia secara spesifik yang terlepas dan
berbeda dari hakikat alam semesta meskipun manusia merupakan bagian yanga ada didalamnya.

Tafsiran mengenai hakikat dari segala sesuatu, hakikat realitas, dan serta hakikat apa yang ada, yang
eksis, yang mendasari segala hal di semesta ini pertama kali muncul adalah tafsiran yang bersifat
supernaturalisme. Supernaturalisme merupakan paham yang meyakini akan adanya sesuatu yang
lebih tinggi dan lebih berkuasa dari hal-hal yang nyata dan berwujud. Paham ini kemudian
melahirkan kepercayaan dan keyakinan yang disebut dengan animisme, yaitu suatu kepercayaan
bahwa setiap benda, setiap wujud didunia ini memiliki jiwa atau roh yang harus dihormati agar tidak
mengganggu dan serta dapat membantu manusia dalam menjalani kehidupannya. Hakikat dari
segala sesuatu yang ada, dalam pandangan ini, adalah bukan pada yang tampak dan terlihat seperti
pohon, bebatuan,gunung, dan sebagainya atau sesuatu yang bersifat materi, melainkan pada apa
yang ada dibalik yang terlihat, dibalik yang wujud, berupa jiwa atau roh halus, dan bersifat immateri.

Tafsiran yang bersifat supernaturalisme pada kelanjutannya mendapat penolakan dari kaum
naturalisme, yang beranggapan bawa “nature” sebagai keseluruhan dari realitas. Gejala alam tidak
disebabkan oleh pengaruh yang gaib, roh halus, dan semacamnya, melainkan sebuah kekuatan yang
terdapat di alam itu sendiri. salah satu bentuk dialiran ini adalah materialisme yang dikembangkan
Demokritus. Demokritus menekankan bahwa inti dari “segala sesuatu yang ada” dialam ini adalah
atom. Atom adalah dasar dan inti dari segala sesuatu. Dari itu, yang nyata di alam ini hanyalah atom
dan kehampaan. Begitupun juga dengan manusia. Segala apa yang dirasakan oleh manusia seperti
manis, panas, dingin, warna, pada dasarnya merupakan istilah yang diberikan atas sensor
pancaindra. Apa yang ditangkap oleh pancaindra, dikirim ke otak secara mekanis dan kemudian
menghasilkan berbagai macam gejala tersebut. Semua gejala alam, oleh karena itu kesimpulannya,
dapat didekati dengan penjelasan “kimia-fisika” bukan melalui pemaknaan supranatural.

Hakikat ataupun dasar dari kenyataan bagi materialisme ialah materi. Apa yang dapat dikatakan
dengan benar-benar ada adalah materi. Segala fenomena yang tampak oleh kita disemesta ini
merupakan interaksi antarmateri. Materi adalah satu-satunya substansi dimana materi dan
aktivitasnya senantiasa bersifat abadi. Dalam konteks waktu misalnya, dunia dan alam (materi)
sudah ada lebih dahulu jauh sebelum manusia yang mempunyai ide terlahir. Adapun menurut proses
materi (zat), manusia tidak bisa berpikir dan tidak akan bisa mempuyai ide tanpa adanya otak. Otak
adalah materi, materi yang berpikir. Pikiran hanyalah kontruksi kimiawi otak. Apa yang disebut
dengan mental, rohani adalah kondisi otak dalam keadaan tertentu.

Dengan menandaskan bahwa segala hal yang ada berasal dari satu sumber yaitu materi, maka
materialisme tidak mempercayai hal-hal yang bersifat gaib. Begitu juga dengan ilmu pengetahuan,
basis ukuran untuk memperoleh ilmu pengetahuan, basis ukuran untuk memperoleh ilmu
pengetahuan disandarkan pada pancaindra sebagai satu-satunya alat mencapai pengetahuan dan
ilmu. Ilmu diposisikan sebagai dasar tata hidup individu dan sosial, bukan agama atau tradisi- tradisi
yang dianggap tidak masuk akal. Cara pandang ini sangat berpengaruh pada sains atau ilmu
pengetahuan dimana budaya eksperimen dan observasi mendorong terwujudnya peradaban ilmiah,
oleh karena alam dipaksa membuka rahasianya melalui berbagai eksperimen sehingga dapat
diketahui bahwa tidak ada peristiwa yang bersifat gaib. Seperti peristiwa memiliki kausalitas yang
konkret jika benar-benar ditelaah secara serius.

Anda mungkin juga menyukai