Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN PADA TN.

T DENGAN ASMA

DI ASRAMA PPSLU CEPIRING - KENDAL

Disusun Oleh :

1. Hanif Maulana (2018110 )


2. Laras Nur Riskha (2018110 )
3. Renny Setyarini (201811038)
4. Siti Nur Jannah (2018110)
5. Sri Wahyuni (2018110)

PROGAM STUDI D III KEPERAWATAN

STIKES MUHAMMADIYAH KENDAL

2020/2021
A. KONSEP LANSIA

1. Definisi

Lansia menurut World Health Organisation(WHO) adalah seseorang yang telah

memasuki usia 60 tahun ke atas. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang

telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya (WHO, 2016). Lansia

atau lanjut usia adalah suatu periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu

periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih

menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat (Sarwono, 2015).

Lanjut usia merupakan bagian dari proses tumbuh kembang, manusia tidak secara

tiba-tiba menjadi tua, perkembangan di mulai bayi, dewasa, dan menjadi tua. Lansia

adalah proses alami yang ditentukan tuhan. Semua orang akan mengalami menjadi tua

dan akan terjadi kemunduran fisik, sosial,metal secara bertahap (Azizah, 2011).

2. Batasan Usia Lansia

Menurut WHO dalam Azizah (2011), ada empat tahapan usia, yaitu:

a. Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun.

b. Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun.

c. Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun.

d. Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun.

Menurut Depkes RI (2013) batasan usia lansia dibagi menjadi tiga katagori, yaitu:

a. Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun,

b. Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas,

c. Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau atau lebih dengan masalah

kesehatan.
d. Lansia potensial, lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang

dapat menghasilkan barang atau jasa.

e. Lansia tidak potensial, merupakan lansia yang tidak berdaya untuk mencari mafkah

sendiri dn hidup tergantung dengan orang lain.

3. Tahapan Proses Penuaan

Menurut Pangkahila (2007) tahapan proses penuaan dibagi menjadi tiga tahapan

sebagai berikut:

a. Tahap Subklinik (usia 25-35 tahun)

Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu

hormon testosteron, growth hormon dan hormon estrogen. Pembentukan radikal bebas

dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak

tampak dari luar, karena itu pada usia ini dianggap usia muda dan normal.

b. Tahap Transisi (usia 35-45 tahun)

Pada tahap ini kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot berkurang

sebanyak satu kilogram tiap tahunnya. Pada tahap ini orang mulai merasa tidak muda

lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal bebas mulai merusak ekspresi

genetik yang dapat mengakibatkan penyakit seperti radang sendi, kanker,

berkurangnya memori, penyakit jantung koroner dan diabetes.

c. Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas)

Pada tahap ini penurunan kadar hormone terus berlanjut. Pada tahap ini

terjadi penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin


dan mineral. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai

mengalami kegagalan.

4. Karakteristik Lansia

Karakteristik lansia menurut Ratnawati (2017), Darmojo & Martono (2006) yaitu :

a. Usia

Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, lansia adalah

seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun(Ratnawati, 2017)

b. Jenis kelamin

Data Kemenkes RI (2015), lansia didominasi oleh jenis kelamin perempuan. Artinya,

ini menunjukkan bahwa harapan hidup yang paling tinggi adalah perempuan.

c. Status pernikahan

Berdasarkan Badan Pusat Statistik RI SUPAS 2015, penduduk lansia ditilik dari

status perkawinannya sebagian besar berstatus kawin (60 %) dan cerai mati (37 %).

Adapun perinciannya yaitu lansia perempuan yang berstatus cerai mati sekitar 56,04

%dari keseluruhan yang cerai mati, dan lansia laki-laki yang berstatus kawin ada

82,84 %. Hal ini disebabkan usia harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan

dengan usia harapan hidup laki-laki, sehingga presentase lansia perempuan

yangberstatus cerai mati lebih banyak dan lansia laki-laki yang bercerai umumnya

kawin lagi.

d. Pekerjaan

Mengacu pada konsep active ageing WHO, lanjut usiasehat berkualitas adalah proses

penuaan yang tetap sehat secara fisik, sosial dan mental sehingga dapat tetap sejahtera

sepanjang hidup dan tetap berpartisipasi dalam rangka meningkatkan kualitas hidup
sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan data Pusat Data dan Informasi Kemenkes

RI 2016 sumber dana lansia sebagian besar pekerjaan/usaha (46,7%), pensiun (8,5%)

dan (3,8%) adalah tabungan, saudara atau jaminan sosial.

e. Pendidikan terakhir

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Darmojo menunjukkan bahwa pekerjaan

lansia terbanyak sebagai tenaga terlatih dan sangat sedikit yang bekerja sebagai

tenaga professional. Dengan kemajuan pendidikan diharapkan akan menjadi lebih

baik (Darmojo & Martono, 2006)

f. Kondisi kesehatan

Angka kesakitan, menurut Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI (2016) merupakan

salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur derajat kesehatan penduduk.

Semakin rendah angka kesakitan menunjukkan derajat kesehatan penduduk yang

semakin baik.Angka kesehatan penduduk lansia tahun 2014 sebesar 25,05%, artinya

bahwa dari setiap 100 orang lansia terdapat 25 orang di antaranya mengalami sakit.

Penyakit terbanyak adalah penyakit tidak menular (PTM) antar lain hipertensi, artritis,

strok, diabetes mellitus.

5. Perubahan Psikososial Lansia

a. Kesepian

Menurut Septiningsih dan Na’imah (2012) menjelaskan dalam studinya

bahwa lansia rentan sekali mengalami kesepian. Kesepian yang dialami dapat berupa

kesepian emosional, situasional, kesepian sosial atau gabungan ketiga-tiganya.

Berdasarkan penelitian tersebut beberapa hal yang dapat memengaruhi perasaan

kesepian pada lansia diantaranya: merasa tidak adanya figur kasih sayang yang
diterima seperti dari suami atau istri, dan atau anaknya; kehilangan integrasi secara

sosial atau tidak terintegrasi dalam suatu komunikasi seperti yang dapat diberikan oleh

sekumpulan teman, atau masyarakat di lingkungan sekitar. Hal itu disebabkan karena

tidak mengikuti pertemuan-pertemuan yang dilakukan di kompleks hidupnya;

mengalami perubahan situasi, yaitu ditinggal wafat pasangan hidup (suami atau istri),

dan hidup sendirian karena anaknya tidak tinggal satu rumah.

b. Kecemasan Menghadapi Kematian

Terdapat 2 tipe lansia yang memandang kematian. Tipe pertama lansia yang

cemas ringan hingga sedang dalam menghadapi kematian ternyata memiliki tingkat

religiusitas yang cukup tinggi. Sementara tipe yang kedua adalah lansia yang cemas

berat menghadapi kematian dikarenakan takut akan kematian itu sendiri, takut mati

karena banyak tujuan hidup yang belum tercapai, juga merasa cemas karena sendirian

dan tidak akan ada yang menolong saat sekarat nantinya (Ermawati dan Sudarji,

2013).

c. Depresi

Lansia merupakan agregat yang cenderung depresi. Menurut Jayanti,

Sedyowinarso, dan Madyaningrum (2008) beberapa faktor yang menyebabkan

terjadinya depresi lansia adalah jenis kelamin, status perkawinan, dan rendahnya

dukungan sosial.
B. KONSEP ASMA

1. Definisi

Asma merupakan gangguan radang kronik pada saluran napas. Saluran napas

yang mengalami radang kronik bersifat peka terhadap rangsangan tertentu, sehingga

apabila terangsang oleh factor risiko tertentu, jalan napas menjadi tersumbat dan aliran

udara terhambat karena konstriksi bronkus,sumbatan mukus, dan meningkatnya proses

radang. Dari proses radang tersebut dapat timbul gejala sesak nafas dan mengi (Almazini,

2012). Sedangkan menurut Wahid dan Suprapto (2013) Asma adalah suatu penyakit

dimana saluran nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas pada rangsangan

tertentu, yang mengakibatkan peradangan, penyempitan ini bersifat sementara. Dari

beberapa pengertian tersebut penulis dapat menyimpulkan asma merupakan suatu

penyakit saluran pernafasan yang mengalami penyempitan karena hipereaktivitas oleh

faktor risiko tertentu. Penyempitan ini bersifat sementara serta menimbulkan gejala sesak

nafas dan mengi.

2. Etiologi Menurut Wijaya & Putri (2014)

etiologi asma dapat dibagi atas :

a. Asma ekstrinsik / alergi

Asma yang disebabkan oleh alergen yang diketahui masanya sudah terdapat semenjak

anak-anak seperti alergi terhadap protein, serbuk sari, bulu halus, binatang dan debu.

b. Asma instrinsik / idopatik Asma yang tidak ditemukan faktor pencetus yang jelas,

tetapi adanya faktor-faktor non spesifik seperti : flu, latihan fisik, kecemasan atau

emosi sering memicu serangan asma. Asma ini sering muncul sesudah usia 40tahun

setelah menderita infeksi sinus.


c. Asma campuran Asma yang timbul karena adanya komponen ekstrinsik dan intrinsik.

3. Klasifikasi Menurut Wijaya dan Putri (2014)

kasifikasi asma berdasarkan berat penyakit, antara lain :

a. Tahap I : Intermitten

Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :

1. Gejala inermitten < 1 kali dalam seminggu

2. Gejala eksaserbasi singkat (mulai beberapa jam sampai beberapa hari)

3. Gejala serangan asma malam hari < 2 kali dalam sebulan

4. Asimptomatis dan nilai fungsi paru normal diantara periode eksaserbasi

5. PEF atau FEV1 : ≥ 80% dari prediksi Variabilitas < 20%

6. Pemakaian obat untuk mempertahankan kontrol : Obat untuk mengurangi gejala

intermitten dipakai hanya kapan perlu inhalasi jangka pendek β2 agonis

7. Intensitas pengobatan tergantung pada derajat eksaserbasi kortikosteroid oral

mungkin dibutuhkan.

b. Tahap II : Persisten ringan

Penampilan klinik sebelum mendapatkan pengobatan :

1. Gejala ≥ 1 kali seminggu tetapi < 1 kali sehari

2. Gejala eksaserbasi dapat mengganggu aktivitas dan tidur

3. Gejala serangan asma malam hari > 2 kali dalam sebulan

4. PEF atau FEV1 : > 80 % dari prediksi Variabilitas 20-30%

5. Pemakaian obat harian untuk mempertahankan kontrol : Obat-obatan pengontrol

serangan harian mungkin perlu bronkodilator jangka panjang ditambah dengan

obat-obatan antiinflamasi (terutama untuk serangan asma malam hari).


c. Tahap III : Persisten sedang

Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :

1. Gejala harian

2. Gejala eksaserbasi mengganggu aktivitas dan tidur

3. Gejala serangan asma malam hari > 1 kali seminggu

4. Pemakaian inhalasi jangka pendek β2 agonis setiap hari

5. PEV atay FEV1 : > 60% - < 80% dari prediksi Variabilitas > 30%

6. Pemakaian obat-obatan harian untuk mempertahankan kontrol : Obat-obatan

pengontrol serangan harian inhalasi kortikosteroid bronkodilatorjangka panjang

(terutama untuk serangan asma malam hari)

d. Tahap IV : Persisten berat

Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :

1. Gejala terus-menerus

2. Gejala eksaserbasi sering

3. Gejala serangan asma malam hari sering

4. Aktivitas fisik sangat terbatas oleh asma

5. PEF atau FEV1 : ≤ 60% dari prediksi Variabilitas > 30%

4. Faktor Risiko

Obstruksi jalan napas pada asma disebabkan oleh :

a. Kontraksi otot sekitar bronkus sehingga terjadi penyempitan napas.

b. Pembengkakan membrane bronkus

c. Bronkus berisi mucus yang kental


Adapun faktor predisposisi pada asma yaitu:

a. Genetik Diturunkannya bakat alergi dari keluarga dekat, akibat adanya bakat alergi

ini penderita sangat mudah terkena asma apabila dia terpapar dengan faktor pencetus.

Adapun faktor pencetus dari asma adalah:

a. Alergen

Merupakan suatu bahan penyebab alergi. Dimana ini dibagi menjadi tiga, yaitu: 1)

Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu binatang, serbuk

bunga, bakteri, dan polusi. 2) Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan dan

obat-obatan tertentu seperti penisilin, salisilat, beta blocker, kodein, dan sebagainya.

3) Kontaktan, seperti perhiasan, logam, jam tangan, dan aksesoris lainnya yang

masuk melalui kontak dengan kulit.

b. Perubahan

cuaca Cuaca lembab dan hawa yang dingin sering mempengaruhi asma, perubahan

cuaca menjadi pemicu serangan asma.

c. Lingkungan kerja

Lingkungan kerja merupakan faktor pencetus yang menyumbang 2-15% klien asma.

Misalnya orang yang bekerja di pabrik kayu, polisi lalu lintas, penyapu jalanan.

d. Olahraga

Sebagian besar penderita asma akan mendapatkan serangan asma bila sedang bekerja

dengan berat/aktivitas berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan asma.

e. Stres

Gangguan emosi dapat menjadi pencetus terjadinya serangan asma, selain itu juga

dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma harus
segera diobati penderita asma yang mengalami stres harus diberi nasehat untuk

menyelesaikan masalahnya (Wahid & Suprapto, 2013).

5. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis yang dapat ditemui pada pasien asma menurut Halim Danokusumo

(2000) dalam Padila (2015) diantaranya ialah :

a. Stadium Dini

Faktor hipersekresi yang lebih menonjol

1. Batuk berdahak disertai atau tidak dengan pilek

2. Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang timbul

3. Wheezing belum ada

4. Belum ada kelainan bentuk thorak

5. Ada peningkatan eosinofil darah dan IgE

6. BGA belum patologis

Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan:

1. Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum

2. Wheezing

3. Ronchi basah bila terdapat hipersekresi

4. Penurunan tekanan parsial O2

b. Stadium lanjut/kronik

1. Batuk, ronchi

2. Sesak napas berat dan dada seolah-olah tertekan

3. Dahak lengket dan sulit dikeluarkan

4. Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest)


5. Thorak seperti barel chest

6. Tampak tarikan otot stenorkleidomastoideus

7. Sianosis

8. BGA Pa O2 kurang dari 80%

9. Terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kiri dan kanan pada Rongen

paru

10. Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik.

6. Patofisiologi

Asma adalah obstruksi jalan nafas difus reversibel. Obstruksi disebabkan oleh

satu atau lebih dari konstraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi, yang menyempitkan

jalan nafas, atau pembengkakan membran yang melapisi bronkhi, atau penghisap bronkhi

dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot bronkhial dan kelenjar mukosa

membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi,

dengan udara terperangkap di dalam jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan

ini belum diketahui, tetapi ada yang paling diketahui adalah keterlibatan sistem

imunologis dan sisitem otonom.

Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap

lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast

dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan

antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti

histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi

lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos
dan kelenjar jalan nafas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membaran mukosa

dan pembentukan mukus yang sangat banyak.

Sistem saraf otonom mempengaruhi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls

saraf vagal melalui sistem parasimpatis, Asma idiopatik atau nonalergik, ketika ujung

saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok,

emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin

ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan

mediator kimiawi yang dibahas di atas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi

rendah terhadap respon parasimpatis.

Selain itu, reseptor α- dan β- adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam

bronki. Ketika reseptor α- adrenergik dirangsang terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi

terjadi ketika reseptor β- adregenik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α-

dan β- adregenik dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP).

Stimulasi reseptor alfa mengakibatkan penurunan cAMP, mngarah pada peningkatan

mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor beta

adrenergik mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP yang menghambat pelepasan

mediator kimiawi dan menyababkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa

penyekatan βadrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya asmatik rentan

terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos (Wijaya dan

Putri, 2014).

7. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang menurut Padila (2015) yaitu :

a. Spirometri Untuk mengkaji jumlah udara yang dinspirasi


b. Uji provokasi bronkus

c. Pemeriksaan sputum

d. Pemeriksaan cosinofit total

e. Pemeriksaan tes kulit Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen

yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.

f. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum

g. Foto thorak untuk mengetahui adanya pembengkakan, adanya penyempitan bronkus

dan adanya sumbatan

h. Analisa gas darah Untuk mengetahui status kardiopulmoner yang berhubungan

dengan oksigenasi.

8. Komplikasi

Komplikasi menurut Wijaya & Putri (2014) yaitu :

1. Pneumothorak

2. Pneumomediastium dan emfisema sub kutis

3. Atelektasis

4. Aspirasi

5. Kegagalan jantung/ gangguan irama jantung

6. Sumbatan saluran nafas yang meluas / gagal nafas Asidosis

9. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan menurut Wijaya & Putri (2014) yaitu :

Non farmakologi, tujuan dari terapi asma :

1. Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma

2. Mencegah kekambuhan
3. Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta mempertahankannya

4. Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat normal termasuk melakukan exercise

5. Menghindari efek samping obat asma

6. Mencegah obstruksi jalan nafas yang ireversibel

Farmakologi, obat anti asma :

1. Bronchodilator Adrenalin, epedrin, terbutallin, fenotirol

2. Antikolinergin Iptropiem bromid (atrovont)

3. Kortikosteroid Predrison, hidrokortison, orodexon.

4. Mukolitin BPH, OBH, bisolvon, mucapoel dan banyak minum air putih.

C. KONSEP ASKEP LANSIA

1. Pengkajian Keperawatan

Langkah pertama dari proses keperawatan yaitu pengkajian, dimulai dari

mengumpulkan data tentang pasien. Pengkajian dan pendokumentasian yang lengkap

tentang kebutuhan pasien dapat meningkatkan efektivitas asuhan keperawatan yang

diberikan (Potter & Perry, 2010).

Asuhan keperawatan lanjut usia adalah suatu kegiatan proses keperawatan yang

ditujukan kepada lanjut usia, meliputi kegiatan pengkajian dengan memperhatikan

kebutuhan fisik, psikologis, sosial dan spiritual, menganalisis masalah yang muncul dan

merumuskan diagnosa keperawatan, membuat perencanaan atau intervensi,

melaksanakan implementasi keperawatan dan melakukan evaluasi (Azizah, 2011).

Data pengkajian yang diperlukan dalam asuhan keperawatan gerontik yaitu :


a. Data demografi berisi identitas pasien

b. Riwayat keluarga berisi genogram

c. Riwayat pekerjaan berisi pekerjaan sebelum dan saat ini

d. Riwayat lingkungan hidup berisi tipe tempat tinggal, kondisi tempat tinggal.

e. Riwayat rekreasi berisi hobi, liburan atau perjalanan.

f. Sistem pendukung berisi pelayanan kesehatan dirumah, perawatan sehari-hari yang

dilakukan keluarga.

g. Status kesehatan berisi keluhan utama, obat-obatan yang dikonsumsi, status

imunisasi, riwayat alergi, hasil vital sign, hasil cek GDS dan hasil cek asam urat.

h. Aktivitas hidup sehari-hari seperti mandi, berpakaian, makan, ke kamar kecil,

berpindah dan kontinen.

i. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari berisi tentang oksigenasi, cairan dan elektrolit,

nutrisi, eliminasi, aktivitas, istirahat dan tidur, personal hygiene,seksual, rekreasi,

psikologis.

j. Tinjauan sistem berisi tentang keadaan umum, tingkat kesadaran, tanda-tanda vital,

kepala, mata, telinga, hidung, leher, dada, punggung, abdomen, pinggang,

ekstremitas atas dan bawah, sistem imun, genetalia, reproduksi, persarafan dan

pengecapan.

k. Hasil pengkajian kognitif dan mental

l. Data penunjang berisi berisi hasil Laboratorim, radiologi, EKG, USG, CT-Scan, dan

lain-lain.
2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respon aktual atau

potensial pasien terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai izin dan

berkompeten untuk mengatasinya. Respon aktual dan potensial pasien didapatkan dari

data dasar pengkajian, tinjauan literatur yang berkaitan, catatan medis pasien masa lalu,

dan konsultasi dengan profesi lain, yang kesemuanya dikumpulkan selama pengkajian

(Potter & Perry, 2010).

Diagnosa keperawatan pada asam urat diantaranya adalah :

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.

2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan lingkungan tidak mendukung perawatan /

pengobatan.

3. Kesiapan peningkatan manajemen kesehatan berhubungan dengan klien selalu

menerapkan pola hidup sehat dan minum obat teratur untuk mencegah penyakit.

3. Intervensi Keperawatan

Intervensi atau perencanaan adalah kegiatan dalam keperawatan yang meliputi;

meletakkan pusat tujuan pada pasien, menetapkan hasil yang ingin dicapai, dan memilih

intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan (Potter & Perry, 2010).

4. Impelementasi

Implementasi yang merupakan komponen dari proses keperawatan adalah

kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai

tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan.

Dalam teori, implementasi dari rencana asuhan keperawatan mengikuti komponen

perencanaan dari proses keperawatan. Namun demikian, di banyak lingkungan perawatan


kesehatan, implementasi mungkin dimulai secara langsung setelah pengkajian (Potter &

Perry, 2010).

5. Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan perawat

untuk menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil meningkatkan kondisi

pasien.(Potter & Perry, 2010)


DAFTAR PUSTAKA

Azizah, Lilik Ma’rifatul. (2011). Keperawatan Lanjut Usia Edisi 1. Yogyakarta: Graha Ilmu

Naga, S. Sholeh. (2012). Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta: Diva Press

http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/2252/3/BAB%20II.pdf Akses tanggal 3 januari 2021

Jayanti, Sedyowinarso & Madyaningrum, (2008). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat


Depresi Lansia di Panti Werdha Wiloso Wredho Purworejo. Jurnal Ilmu
Keperawatan, 3(2), pp. 133-138.

Anda mungkin juga menyukai