Anda di halaman 1dari 24

ANALISIS SUB-PLOT DIANA DAN ANDIKHA DALAM

MEREPRESENTASIKAN DIFABEL PADA FILM “YANG TIDAK


DIBICARAKAN KETIKA MEMBICARAKAN CINTA”
(ANALISIS SEMIOTIKA ROLAND BARTHES)

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Seminar Televisi Dan Film

Dosen :
Dr. Henny Sri Mulyani, M. Si.

Disusun Oleh :
Ivany Hanifa Rahmi
210410160035

PROGRAM STUDI TELEVISI DAN FILM

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

SUMEDANG

2019
DAFTAR ISI

COVER

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang Penelitian ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah dan Identifikasi Masalah ..................................................... 4
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian .......................................................................... 4
1.4 Kegunaan Penelitian .......................................................................................... 5
1.4.1 Manfaat Praktis ......................................................................................... 5
1.4.2 Manfaat Akademis .................................................................................... 5
1.4.3 Manfaat Teoritis ........................................................................................ 5
1.5 Kerangka Pemikiran.......................................................................................... 6
1.5.1 Teori Komunikasi Massa ......................................................................... 6
1.5.2 Teori Representasi Stuart T. Hall............................................................. 7
1.5.3 Prinsip Representasi Penyandang Cacat di Media
Collin Barnes .............................................................................................. 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................................................... 8

2.1 Penelitian Sejenis Terdahulu ............................................................................ 8


2.1.1 Representasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tuna Runggu dalam
Film Silenced....................................................................................... 9
2.1.2 Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari............................ 10
2.1.3 Representasi Nasionalisme dalam Film Rudy Habibie..................... 10
2.1.4 Representasi Perempuan Metropolitan dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7
Wanita................................................................................................ 11

2.2 Landasan Teori................................................................................................ 12


2.2.1 Teori Semiotika Saussure ...................................................................... 12
2.2.2 Konsep Semiotika Rolland Barthes .......................................................12
2.2.3 Disabilitas dalam Media – Timothy R. Ellior dan Keith Byrd.............. 12
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .............................................................................. 13

3.1 Subjek Penelitian.............................................................................................13


3.2 Objek Penelitian..............................................................................................13
3.3 Metode Penelitian...........................................................................................13
3.4 Prosedur Pengumpulan Data..........................................................................14
3.5 Teknik Pengumpulan Data.............................................................................15
3.6 Teknik Pengolahan Data................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Menurut Palapah dan Syamsudin (1986:114) Film adalah salah satu media yang
berkarakteristik masal, yang merupakan kombinasi antara gambar-gambar bergerak
dan perkataan. Film kemudian juga didefinisikan oleh Pemerintah Republik Indonesia
melalui UU No. 33 th 2009 sebagai sebuah karya seni budaya yang merupakan suatu
pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasar atas kaidah
sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukan. Berdasarkan
fungsinya, film dibuat yaitu bertujuan untuk menyampaikan informasi kepada orang
lain/permisa. Pembuat film mencoba untuk melakukan proses komunikasi melalui
media film (Nugroho, 2014: 12). Film yang merupakan salah satu media dalam
komunikasi massa sering digunakan untuk merepresentasikan potret-potret realitas
kehidupan masyarakat sebagai makhluk sosial selalu hadir setiap saat, setiap tempat,
bahkan setiap waktu.

Represntasi sendiri menurut Stuart Hall “Representation connects meaning ang


language to culture... Representation is an essential part of the process by which
meaning and language to culture...Representation is an essential part of the process
by which meaning is produced and exchanged between member of culture” atau,
melalui representasi suatu makna diproduksi dan dipertukarkan antar anggota
masyarakat. Jadi secara singkat, representasi adalah salah satu cara untuk memproduksi
makna. Dapat dilihat, jika keberadaan suatu kelompok di kalangan publik berintensitas
tinggi kelompok tersebut akan lebih mudah memproduksi makna kelompoknya
dibandingkan kelompok yang termaginalkan. Salah satu kelompok yang kemunculan-
nya saat ini minim di tengah publik adalah kelompok penyandang disabilitas atau
“Cacat”.


 
“Cacat” didefinisikan oleh WHO sebagai istilah umum, yang meliputi gangguan,
keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan adalah masalah dalam
fungsi atau struktur tubuh; keterbatasan aktivitas adalah kesulitan yang dihadapi oleh
seseorang dalam melaksanakan tugas atau tindakan; sementara pembatasan partisipasi
adalah masalah yang dialami oleh individu yang terlibat dalam situasi kehidupan.
Karenanya, kecacatan bukan hanya masalah kesehatan. Ini adalah fenomena yang
kompleks, mencerminkan interaksi antara fitur tubuh seseorang dan fitur masyarakat
di mana ia tinggal1. Disabilitas itu kompleks, dinamis, multidimensi, dan
diperdebatkan. Selama beberapa dekade terakhir, Aksi sosial gerakan orang-orang
cacat bersama dengan banyaknya penelitian baik dari ilmu sosial dan dari ilmu
kesehatan kemudian mengidentifikasi peran hambatan sosial dan fisik dalam
disabilitas. Sudut pandang ini bergeser dari perspektif medis menjadi perspektif sosial
di mana orang dipandang sebagai orang cacat oleh masyarakat daripada oleh tubuh
mereka.

Perspektif publik terhadap suatu kelompok sangat dipengaruhi oleh bagaimana


media menggambarkan kelompok tersebut. Sayangnya, kemunculan penyandang
disabilitas di media massa Indonesia saat ini masih jarang ditemukan. Sehingga
Representasi terhadap kehadiran difabel saat ini dapat dikategorikan menjadi “sangat
sedikit” (underrepresented) sehingga hal tersebut menjauhkan kita dari realitas
kehidupan penyandang disabilitas. Dalam drama TV di Jepang, misalnya, karakter
difabel hanya berjumlah 1,7% (Saito dan Ishiyama, 2005). Dari persentase yang sedikit
itu, representasinya pun tidak beragam, karena kebanyakan anak muda. Modus
representasi yang monolitik tentu menjauhkan kita dari kompleksitas dunia disabilitas
yang lintas-usia, kelas, etnis, profesi, dan sebagainya. Representasi difabel yang minim
di media juga terjadi di negara-negara lain (Ross, 1997; Wilkinson dan McGill, 2009).
Sayangnya, tidak ada data yang saya temui bicara tentang persentase representasi
difabel di media Indonesia. Dan ini juga menggambarkan bahwa bukan cuma media
                                                            
1
 https://www.who.int/topics/disabilities/en/ 


 
yang minim perhatian pada isu difabel, tapi juga kalangan akademisi. Kemudian, selain
representasi yang sedikit, representasinya pun kerap keliru (misrepresented). Ada
penggambaran yang tidak tepat atau bahkan tidak adil pada penyandang disabilitas
yang berdampak pada posisi sosial mereka (Zhang dan Haller, 2013) dan kebijakan
publik terkait pemenuhan hak mereka.2

Dari sedikitnya media komunikasi di Indonesia yang menjadikan penyandang


disabilitas sebagai objek utama untuk direpresentasikan. Terdapat salah satu film
breakthrough yang bercerita tentang kehidupan penyandang disabilitas di sebuah panti
luar biasa, yang berjudul “Yang tidak dibicarakan saat membicarakan Cinta (2013)”
yang merupakan hasil karya dari sutradara film Mouly Surya. Film ini bercerita tentang
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi kepada penghuni Panti Rawinala
(Yayasan sosial yang menjadi rumah bagi para cacat fisik sekaligus latar utama dalam
pergerakan cerita film ini) jika mereka dilahirkan dengan kondisi yang berbeda.
Rangkaian-rangkaian adegan dalam film ini membahas tentang kemungkinan,
perspektif, dan sudut pandang lainnya dari seorang penyandang disabilitas.

Dengan gaya bercerita paralellism, film ini memposisikan karakternya berada di


kenyataan berbeda dengan keadaan sesungguhnya. Susunan adegan-pun dibuat acak
dengan memberikan tokoh- tokohnya situasi serta penampilan yang berbeda. Terdapat
beberapa sub kisah dalam film ini, diantaranya relasi cinta antara sesama tuna rungu,
tuna rungu dengan tuna netra, tuna netra dengan normal, dan seterusnya. Perbedaan
leveling antara impairment fisik setiap karakternya yang kompleks membuat saya akan
memfokuskan penelitian ini terhadap hubungan antara karakter Diana dan Andhika.
Sub- plot Diana dan Andhika dipilih karena kedua karakter tersebut merupakan tuna
netra sehingga, dalam penceritaan kedua karakter tersebut diposisikan berimbang tanpa
membahas konteks power of abuse yang juga diceritakan dalam film ini secara eksplisit
pada sub-plot lain.

                                                            
2
 Roy Thaniago : Remotivi “ Bolehkah Saya Menjumpai Difabel di Media dengan Layak?”  


 
Di saat karakter Diana yang berada dalam kondisi buta ia berpenampilan sederhana
dan cenderung pemalu, Diana-pun berhasil terbalaskan cintanya terhadap Andika,
salah seorang temannya di sekolah luar biasa tersebut. Padahal di situasi yang lain,
apabila mereka tidak mengalami cacat fisik Diana dapat menjadi seorang ballerina
yang cantik dan percaya diri serta Andhika, akan mengorbankan cintanya kepada
perempuan lain kemudian di saat mereka bertemu romansa di antara keduanya
mungkin tidak akan terpercik. Selain itu, Film ini juga berhasil memenangkan
NETPAC Award dalam International Film Festival Rotterdam (2013), Maya Awards
(2013) dalam Kategori Best Director, Supporting Role, dan Cinematography, serta
Indonesian Movie Awards (2014) dalam kategori Best Actor, Actress, and Newcomer.
Serta telah ditayangkan dalam berbagai pementasan film Internasional seperti
Sundance Film Festival, Busan International Film Festival, serta Créteil International
Women's Film Festival.

1.2 Rumusan Masalah dan Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis ingin meneliti “Bagaimanakah
Representasi Difabel dalam Film Yang tidak Dibicarakan Saat Membicarakan
Cinta” dengan identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Apa saja signifikasi difabel yang terdapat dalam sub-plot Diana- Andikha pada
film “Yang Tidak Dibicarakan Saat Membicarakan Cinta” ?
2. Bagaimana signifikasi tersebut menggambarkan makna denotasi dan konotasi
terhadap pengalaman difabel?
3. Bagaimana denotasi dan konotasi tersebut kemudian direpresentasikan dalam
makna mitos difabel di tengah masyarakat?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian


Adapun Maksud dan tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam penulisan ini adalah
untuk:


 
1. Mengetahui signifikansi difabel yang terdapat dalam film Yang Tidak
Dibicarakan Saat Membicarakan Cinta melalui sub-plot Diana dan Andhika.
2. Mengetahui makna denotasi dan konotasi pengalaman difabel dalam film Yang
Tidak Dibicarakan Saat Membicarakan Cinta.
3. Mengetahui bagaimana makna mitos terhadap karakterisasi yang terdapat
dalam film diterima oleh masyarakat.

1.4 Kegunaan Penelitian


Adapun kegunaan dari penelitian dalam penulisan ini adalah:

1.4.1 Manfaat Praktis


Manfaat Praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat di
gunakan sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu
komunikasi terutama mengenai representasi difabel dalam Film Yang
Tidak Dibicarakan Saat Membicarakan Cinta. Melalui penelitian ini,
peneliti berharap masyarakat dapat lebih memahami dan peka terhadap
keberadaan penyandang disabilitas di Indonesia.

1.4.2 Manfaat Akademis


Penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmiah di bidang
kajian ilmu komunikasi mengenai representasi film Yang Tidak
Dibicarakan Saat Membicarakan Cinta menggunakan analisis semiotika
Roland Barthes dalam kajian komunikasi massa.

1.4.3 Manfaat Teoritis


Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai penambah
wawasan dan pengetahuan bagi peneliti untuk mengetahui representasi
penyandang disabilitas pada film Indonesia. Hasil penelitian diharapkan
berguna bagi pengembangan kajian penelitian komunikasi. Kemudian,


 
Hasil penelitian diharapkan mampu memperkaya pustaka referensi
didunia komunikasi khususnya dalam keilmuan film.
1.5 Kerangka Pemikiran

1.5.1. Teori Komunikasi Massa


Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media
massa pada sejumlah besar orang (mass communication is message
communicated through a mass medium to large number of people), media
komunikasi yang termasuk dalam media massa diantaranya; radio, televisi,
surat kabar, majalah, internet, dan media film. Film yang menjadi media
komunikasi massa adalah film bioskop (Ardianto, Komala & Karlinah, 2009:3).
Sebagai salah satu media komunikasi massa, film bisa dimaknai sebagai pesan
yang disampaikan dalam komunikasi filmis atau mampu memindahkan ruang
dan waktu agar khalayak atau penontonnya bisa mudah memahami hakikat,
fungsi dan efek yang dihadirkan oleh film itu sendiri. Sedangkan dalam praktik
sosial, film dilihat tidak hanya sekedar ekspresi seni dari pembuatnya, tetapi


 
merupakan interaksi antar elemen-elemen pendukung, proses produksi,
distribusi maupun eksebisinya, bahkan lebih jauh dari itu, perspektif ini
mengasumsikan interaksi antara film dengan idelogi serta kebudayaan di mana
film diproduksi dan dikonsumsi.

1.5.2 Teori Representasi Stuart Hall


Teori representasi Stuart Hall memperlihatkan suatu proses di mana arti
(meaning) diproduksi dengan menggunakan bahasa (language) dan
dipertukarkan oleh antar anggota kelompok dalam sebuah kebudayaan
(culture). Representasi menghubungkan antara konsep (concept) dalam benak
kita dengan menggunakan bahasa yang memungkinkan kita untuk mengartikan
benda, orang, kejadian yang nyata (real), dan dunia imajinasi dari objek, orang,
benda, dan kejadian yang tidak nyata (fictional) (Hall, 2003). Representasi
adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya. Representasi
merupakan hubungan antara konsep-konsep pikiran dan bahasa yang
memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu
obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau
peristiwa. Jadi representasi merupakan proses di mana para anggota sebuah
budaya menggunakan bahasa untuk memproduksi makna

1.5.3 Prinsip Representasi Penyandang Cacat di Media – Colin Barnes

'Sejarah penggambaran orang cacat adalah sejarah representasi yang


menindas dan negatif. Ini berarti bahwa orang-orang cacat telah disajikan
sebagai orang yang cacat secara sosial, bukan sebagai orang cacat dengan
identitas mereka sendiri (David Hevey, 25 Maret 1992). Satu-satunya solusi
dengan harapan keberhasilan adalah semua organisasi media menyediakan
jenis itu. informasi dan citra yang; pertama, mengakui dan mengeksplorasi
kompleksitas pengalaman disabilitas dan identitas penyandang cacat dan;
kedua, memfasilitasi integrasi yang bermakna dari semua penyandang cacat ke


 
dalam kehidupan ekonomi dan sosial utama masyarakat. Terdapat 3 Prinsip
Representasi media terhadap penyandang disabilitas yaitu;

1. Terminologi Disabilitas
Pertama, 'orang dengan disabilitas' berasumsi bahwa disabilitas
adalah milik individu dan bukan milik masyarakat. Di sini istilah
'cacat' dan 'cacat' mengacu pada kondisi medis; Kedua, dengan
mengaitkan 'disabilitas' dengan 'penurunan nilai' frasa ini dengan
mudah memihak konsekuensi dari diskriminasi institusional
terhadap orang-orang cacat - kemiskinan, ketergantungan dan
isolasi sosial - dan, dengan implikasi, kebutuhan akan perubahan.
Ketiga, adalah penolakan eksplisit terhadap politik atau 'identitas
cacat'. Frasa seperti 'penyandang cacat' merusak identitas itu.
Penggunaan frasa seperti 'orang cacat', 'orang cacat', 'orang cacat',
'orang buta', 'orang tuli', 'orang tuli dan bisu', 'orang cacat' cenderung
tidak manusiawi dan merobohkan orang cacat dan harus dihindari.

2. Penggambaran Penyandang Cacat di Media yang Akurat


Penyandang cacat dan diskriminasi; Penyandang cacat dan
amal; Orang cacat dan individualitas; Orang cacat dan kejahatan;
Penyandang cacat dan voyeurisme disabilitas; Orang cacat dan
komedi; Penyandang cacat dan sensasionalisme; Orang cacat dan
orang cacat super; Penyandang cacat dan kemauan keras; Orang
cacat dan seksualitas; Penyandang cacat dan populasi penyandang
cacat

3. Penggambaran Penyandang Cacat di Media Iklan


Semua pengiklan yang terkait dengan kecacatan harus
menyertakan referensi tentang kurangnya hak asasi manusia dasar


 
bagi penyandang cacat dan ketergantungan pada amal untuk hal-hal
penting seperti pendidikan, pelatihan. adaptasi rumah, kursi roda dll
dalam kampanye iklan mereka. Pengiklan tidak boleh
menggambarkan orang cacat dalam iklan kecuali mereka adalah
bagian dari grup yang lebih besar yang mewakili populasi secara
keseluruhan.Semua pengiklan yang terkait dengan kecacatan harus
menunjukkan bagaimana mereka menggunakan sumber daya
mereka, lebih disukai dalam kampanye iklan mereka. Banyak iklan
amal menyiratkan bahwa bagian terbesar dari pendapatan amal
dihabiskan untuk penyediaan bagi orang-orang cacat ketika dalam
banyak kasus digunakan untuk mendanai penelitian medis - sesuatu
yang tidak ada hubungannya dengan orang cacat atau cacat.
Pengiklan seperti The Muscular Dystrophy Group, The Multiple
Sclerosis Society, The Spastics Society dll, yang namanya
menyiratkan bahwa mereka adalah organisasi penyandang cacat,
yaitu dikendalikan dan dijalankan oleh penyandang cacat, harus
menyatakan dengan jelas dalam iklan mereka bahwa mereka adalah
organisasi untuk orang cacat dikendalikan dan dijalankan oleh
orang-orang yang tidak cacat.


 
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Sejenis Terdahulu

Penulis menemukan empat penelitian terdahulu yang menjadi dasar


kajian kepustakaan. Ketiganya ditulis menggunakan metode kualitatif.
Diantaranya, membicarakan Representasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Tuna Runggu dalam Film Silenced, Representasi Perempuan dalam Film Sang
Penari, Representasi Nasionalisme dalam Film Rudy Habibie, dan Representasi
Perempuan Metropolitan dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita.

No Judul Nama Peneliti Tujuan Metode


Representasi Kekerasan Analisis
Seksual Terhadap Anak Fitriani Nur Semiotika
1 Skripsi
Tuna Runggu dalam Magfiroh Roland
Film Silenced Barthes
Penelitian
Deskriptif
Denny menggunakan
Representasi Perempuan
2 Briellian A. Skripsi Analisis
dalam Film Sang Penari
Christandi Semiotika
Roland
Barthes
Representasi Analisis
Nurma
3 Nasionalisme dalam Jurnal Semiotika
Yuwita
Film Rudy Habibie Charles


 
Sanders
Pierce
Teori
representasi
Stuart Hall
Representasi Perempuan Sigit dengan pisau
4 Metropolitan dalam Film Jurnal
Surahman bedah teori
7 Hati 7 Cinta 7 Wanita
Semiotika
Roland
Barthes

1. Representasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tuna Runggu dalam Film


Silenced

Film Silenced merupakan sebuah kisah nyata yang terjadi di Korea


Selatan dan film ini diadaptasi dari novel karya Gong Ji-young yang
menceritakan tentang kisah kekerasan seksual pada anak-anak di sekolah
Gwangju Inhwa. Dalam film ini ditemukan tanda yang dapat
merepresentasikan makna kekerasan seksual pada anak. Kemudian dari hal
tersebut peneliti menarik kesimpulan bahwa. Secara denotasi, tanda
kekerasan seksual yang direpresentasikan dalam film Silenced ini,
memperlihatkan bahwa kekerasan seksual pada anak tuna rungu seperti
merayu, meraba, mengancam, memberi imbalan, kekerasan fisik sampai
tindak pemerkosaan ditampilkan secara gamblang. Diiringi ekspresi
ketakutan dan tangisan pilu para korban yang tidak bisa melakukan
perlawanan. Secara konotasi, tanda kekerasan seksual yang
direpresentasikan dalam film Silenced ini meliputi beberapa hal. Dimulai
dari Power Abuse, Psychology Abuse dan Economy Abuse. Ketiganya


 
merupakan bentuk dari kekerasan terhadap anak. Secara mitos, makna
kekerasan seksual sendiri dibangun berdasarkan nilai nilai yang terkandung
dalam masyarakat itu sendiri. Dalam film Silenced ini kita dapat
menyimpulkan bahwa kekerasan seksual pada anak di Korea Selatan juga
tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Karena indikator kekerasan seksual
itu sendiri berkiblat pada UNICEF.

2. Representasi Perempuan dalam Film Sang Penari

Penelitian Denny Briellian ini merupakan penelitian deskriptif yang


menggunakan metode penelitan analisis semiotika Roland Barthes. Dengan
menggunakan teknik pengumpulan data dokumentasi, analisis kualitatif,
dan kepustakaan. Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan
representasi perempuan yang terkandung dalam film “Sang Penari” dengan
cara menganalisis simbol- simbol yang ada pada tiap adegan yang dapat
menggambarkan representasi perempuan secara verbal maupun non verbal.

Berdasarkan hasil analisa, dapat diketahui bahwa film Sang Penari


menggambarkan perempuan sebagai penari, ibu rumah tangga, pelacur,
bahkan perempuan sebagai pihak yang tertindas. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa perempuan sangat berperan dalam segala bidang
dimana penempatan perempuan masih menjadi objek utama di dalamnya.

3. Representasi Nasionalisme dalam Film Rudy Habibie


Representasi nasionalisme dalam film Rudy Habibie menggunakan
metode kualitatif dan analisis semiotik sebagai pendekatannya. Semiotika
Charles Sanders Pierce yang digunakan oleh periset adalah model triangle
meaning yang terdiri atas: Sign, Object, dan Interpretant. Riset representasi
nasionalisme dalam film Rudy Habibie (analisis semiotika Charles sanders
Pierce) menghasilkan: Representasi nasionalisme Rudy Habibie

10 
 
ditunjukkan dengan cara memperjuangkan Indonesia setelah kembali dari
studinya dalam bidang industri dirgantara; Representasi nasionalisme yang
kedua diinterpretasikan dengan rancangan akan kebutuhan potensi sumber
daya manusia yang dibutuhkan oleh Indonesia dalam bidang industri
dirgantara, perikanan, pertanian dan maritim; Representasi nasionalisme
Rudy Habibie yang ketiga diinterpretasikan dengan falsafah dari orang
tuanya untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi nusa dan bangsa
Indonesia; Representasi nasionalisme yang keempat diinterpretasikan
dengan puisi Habibie tentang sumpah terhadap ibu pertiwi untuk
mewujudkan mimpi dan cita-cita bangsa Indonesia.

4. Representasi Perempuan Metropolitan dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita


Dengan pendekatan analisis semiotika Roland Barthes terhadap film 7
Hati 7 Cinta 7 Wanita terlihat dalam penelitian ini ada sebuah usaha dari
sutradara untuk menggambarkan perempuan metropolitan saat ini. Bentuk
kekerasan fisik maupun mental tertuang dalam film ini melalui simbol-
simbol yang lekat dalam kehidupan masyarakat. Representasi Perempuan
metropolitan dikonstruksikan sebagai objek seks dan penyimpangan
seksual; Representasi keindahan bentuk tubuh perempuan sebagai daya
tarik fisik; Representasi seorang istri yang tidak baik yang ditujukan pada
perempuan yang arogan terhadap pasangan atau suaminya; Representasi
seorang perempuanyang memperjuangkan hak-hak kaumnya; Representasi
perempuan yang cenderung mau mengorbankan dirinya untuk orang lain ini
menunjukkan perempuan sebagi subordinat.
Kemudian pembentukan pemaknaan perempuan metropolitan dibangun
melalui sudut pengambilan gambar low angle, high level, dan eye level;
Pembentukan makna representasi dibangun melalui teknik pencahayaan;
Pembentukan makna perempuan juga dibangun melalui pengambilan
gambar long shoot, full shot, medium shot, medium close up, dan close up.

11 
 
2.2 Landasan Teori

1. Teori Semiotika Saussure

Dalam teori semiotik, suatu tanda adalah segala sesuatu yang mewakili sesuatu
yang lain — yaitu, suatu tanda berarti suatu objek atau konsep (Hoopes, 1991, hlm.
141; Eco, 1986, hlm. 15) yang mengindentifikasikan bahasa sebagai dua bagian dari
kesatuan psikologis. Ia menggunakan istilah “kendaraan tanda dan artinya” untuk
kendaraan tanda (pengalaman pendahulunya, atau kata, atau ekspresi, atau suara
ucapan) dan kata yang ditandakan untuk arti tanda (pengalaman konsekuen, atau hal,
atau konten, atau konten respon di pendengar).

2. Konsep Semiotika Roland Barthes

Berdasarkan definisi yang dirumuskan oleh Ferdinand de Saussure, Barthes


berpendapat bahwa signification dapat dibagi kedalam denotasi dan konotasi. Yang
dimaksud dengan denotasi tingkatan makna deskriptif dan literal yang dibagi oleh
sebagian besar anggota dalam sebuah kebudayaan. Sedangkan, yang dimaksud dengan
konotasi adalah makna yang diberikan oleh signifiers yang terhubung dengan
kebudayaan yang lebih luas seperti kepercayaan, sikap, kerangka kerja dan ideologi
bentukan sosial. Menurut Barthes, mitos adalah signification dalam tingkatan konotasi.
Jika sebuah tanda diadopsi secara berulang dalam dimensi syntagmatic maka bagian
adopsi akan terlihat lebih sesuai dibandingkan dengan penerapan lainnya dalam
paradigmatic. Kemudian konotasi tanda menjadi dinaturalisasi dan dinormalisasi.
Naturalisasi mitos adalah sebuah bentukan budaya.

3. Disabilitas dalam Media – Timothy R. Ellior dan Keith Byrd

Meskipun media mungkin terlalu luas dan umum untuk memberikan informasi
yang tepat yang diperlukan untuk berhasil mempengaruhi sikap, media memang
menumbuhkan dan memperkuat sikap negatif dengan penggambaran berdasarkan
informasi yang salah dan stereotip. Bernotavicz menyatakan bahwa perubahan sikap

12 
 
terdiri dari tiga tahap: perhatian, pemahaman, dan penerimaan. Dua yang pertama harus
diproses sebelum penerimaan akhir dapat terjadi. Media yang digunakan untuk
memperoleh perubahan sikap harus memasukkan berbagai argumen untuk
melakukannya, karena banyak variabel telah diproses untuk membangun sikap saat ini.
Mengacu pada konstruk sikap (Liebert;35) baik komponen kognitif dan afektif harus
tertarik oleh perpaduan daya tarik rasional dan emosional yang relevan dengan
kebutuhan penonton dan menggunakan urutan argumen yang tidak akan mengasingkan
atau mengancam audiens. Tingkat kecemasan audiens harus dipertimbangkan, karena
semakin besar kecemasan, semakin besar kemungkinan sikap negatif terhadap
rangsangan yang memunculkan kecemasan. Mengingat bahwa sebagian besar
penggambaran disabilitas berhubungan dengan penyakit mental dan terutama terjadi
pada drama dan program lain yang memanfaatkan ketegangan, maka tidak
mengherankan bahwa sikap langsung terhadap disabilitas dianggap sebagai hambatan
komunikasi negatif. Media, dengan perhatian penonton yang luas, telah memainkan
fungsi yang menentukan dalam memperkuat dan memperkuat sikap-sikap ini.
Meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan dalam bidang ini, waktu untuk memulai
penggambaran yang akurat dan non-stereotip mengenai orang-orang cacat dalam media
sudah lama tertunda.

13 
 
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Subjek Penelitian


Subjek penelitian menurut Suharsimi Arikonto tahun (2016: 26) memberi
batasan subjek penelitian sebagai benda, hal atau orang tempat data untuk variabel
penelitian melekat, dan yang di permasalahkan. Adapun subjek dalam penelitian
ini adalah informan kunci, yaitu Mouly Surya sebagai Sutradara Film Yang Tidak
Dibicarakan Saat Membicarakan Cinta. Kemudian, Dosen Ilmu Komunikasi Visual
Fikom Unpad yang dianggap sebagai informan ahli dalam analisis semiotika yaitu
Bapak Ipit Zulfan, S. Sos., M.I.Kom. dan penonton dari Film Yang Tidak
Dibicarakan Saat Membicarakan Cinta di kawasan Fikom Unpad.

3.2 Objek Penelitian


Objek dalam penelitian ini adalah tanda dan penanda yang dimunculkan dalam
film "Yang Tidak Dibicarakan Saat Membicarakan Cinta" yang menceritakan
tentang kemungkinan-kemungkinan paralel yang dapat terjadi kepada penghuni
Panti Rawinala jika mereka dilahirkan dengan kondisi yang berbeda. Panti
Rawinala yang merupakan yayasan sosial menjadi rumah bagi para cacat fisik
seperti Tuna Netra, Tuna Rungu, Tuna Wicara, dan lainnya. Adapun
parralelisme yang dipilih adalah sub- plot Diana dan Angga.

3.3 Metode penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam menganalisis representasi difabel


yang ditimbulkan oleh film "Yang Tidak Dibicarakan Saat Membicarakan Cinta"
ini menggunakan teori representasi sebagai teori utama. Teori representasi Stuart
Hall yang bermaksud untuk menemukan dan melihat bagaimana penggambaran

13 
 
difabel pada film ini. Ia kemudian dianalisis menggunakan analisis semiologis
Roland Barthes menggunakan indikator berikut :

1. Menawarkan kepada pembaca sebuah ulasan singkat sebuah pesan

2. Mengidentifikasi signifiers dan signifieds

3. Mengidentifikasi paradigma yang telah digali

4. Mengidentifikasi syntagms yang ada

5. Mengidentifikasi prinsip yang bekerja dalam pesan atau teks

Gagasan signifikansi Roland Barthes dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama
Signfikansi, merupakan hubungan antara penanda dan petanda dalam sebuah
realitas. Tahap kedua disebut Barthes sebagai makna denotasi yaitu makna yang
nyata dari sebuah tanda, dimana di tahapan ini Peneliti akan melihat visual dan
audio-visual berupa perkataan dan tindakan dari tokoh, selanjutnya dari makna
denotasi diperoleh makna konotasi atau signifikasi tahap kedua. Kemudian ditahap
ketiga akan digambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan
perasaan atau emosi dari penonton serta nilai-nilai kebudayaan yang dianut (Mitos).
Dalam tahap terakhir ini peneliti akan melihat keterkaitan antara tanda yang
terdapat dalam film dengan pengetahuan masyarakat mengenai penyandang
disabilitas.

3.4 Prosedur Pengumpulan Data


Menurut Barthes, analisis semiologis melibatkan tiga kegiatan yatu
signifikansi, diseksi dan artikulasi. Signifikansi yang dimaksud adalah deskripsi
penanda, kemudian Diseksi mencakup pencarian berbagai elemen yang ketika
diasosiasikan satu dengan yang lain menyarankan makna yang pasti. Makna yang
pasti tersebut, akan dicari dari beberapa paradigma seperti kelas, kelompok deri
elemen yang telah dipilih. Sedangkan, Artikulasi mencakup penentuan aturan-
aturan kombinasi dimana analis mengambil obyek, mengurainya, dan menyusun

14 
 
ulang. Penulis yang juga disini berperan sebagai analis kemudian membuat hasil
diseksi tersebut menjadi sesuatu yang muncul yang dapat dilihat.

3.5 Teknik Pengumpulan Data


1. Observasi
Observasi adalah usaha untuk memperoleh dan mengumpulkan data
dengan melakukan pengamatan terhadap suatu kegiatan secara akurat serta
mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar
aspek dalam fenomena tersebut.
Observasi dilakukan dengan cara menonton film Yang Tidak
Dibicarakan Saat Membicarakan Cinta Secara Utuh dan kemudian berdasarkan
konteks yang ada, peneliti akan berfokus pada obsevasi sub- plot Diana dan
Andika dalam merepresentasikan difabel.    

2. Wawancara atau Angket/ Kuisioner


Wawancara dilakukan kepada subjek penelitian. Sutradara dari objek
penelitian dipilih untuk memastikan pemaknaan awal dari tanda- dan penanda
yang dimunculkan dalam film ini (level pembuat makna). Kemudian, dalam
tahap kedua penonton dari film “Yang Dibicarakan Saat Membicarakan Cinta”
akan diwawancarai untuk mengetahui representasi difabel bagi mereka setelah
menonton film tersebut. Tahapan kedua tersebut kemudian akan diasosiaikan
dengan pendapat ahli komunikasi visual untuk menggambarkan tahapan myth
dari film ini.  

3. Studi Pustaka
Studi Pustaka dilakukan menggunakan literatur-literatur dari beberapa
buku pendukung yang berhubungan dengan ilmu komunikasi terutama
semiotika untuk mencari informasi yang penting. Selain itu data-data juga

15 
 
diperoleh dari kamus, internet dan lain-lain, yang dapat mendukung dan relevan
untuk dipergunakan dalam penelitian ini.

3.6 Teknik Pengolahan Data


1. Signifikansi akan diperoleh dari scene- scene yang terkait dengan karakter
Diana dan Andhika.
2. Ia kemudian akan dibedah (diseksi) melalui penanda dan petanda yang
terdapat dalam scene-scene pilihan tersebut menggunakan tabulasi denotasi-
konotasi.
3. Data yang telah diperoleh dari hasil observasi peneliti tersebut kemudian akan
dibandingkan dengan hasil wawancara terhadap subjek penelitian
4. Pada akhirnya data diartikulasikan terhadap representasi difabel dalam film
ini.

16 
 
DAFTAR PUSTAKA

Alex Sobur. 2009. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosda Karya

Ardianto, Elvinaro, Siti Karlinah & Lukiati Komala. (2015). Komunikasi Massa: Suatu
Pengantar Edisi Revisi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Barnes, Colin & BCODP. 1992. Disabling Imagery and The Media: An Exploration of
the Principles for Media Representations of Disabled People. Halifax: The British
Council of Disabled People and Ryburn Publishing Limited

Denny Briellian Christandi. 2013. Representasi Perempuan Dalam Film Sang Penari
(Analisis Semiotika Roland Barthes). Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Komunikasi. Universitas Kristen Satyawacana: Salatiga

Fitriani Nur Magfiroh. 2017. Representasi Kekerasan Seksual Pada Anak Tuna Rungu
Dalam Film Silenced (Analisis Semiotika Roland Barthes). Skripsi. Tidak Diterbitkan.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa: Serang

Elliott, Timothy & K Byrd, E. (1982). Media and disability. Rehabilitation literature.
43. 348-55.

Keith Kenney, dkk. 2005. Handbook of Visual Communication : Theory, Methods, and
Media. Mahwah, New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates,Inc.,Publishers

Nurma Yuwita. (2018). Representasi Nasionalisme Dalam Film Rudy Habibie (Studi
Analisis Semiotika Charles Sanders Pierce). Jurnal Heritage, Januari 2018: 1-9

Palapah dan Syamsudin. 1986. Studi Ilmu Komunikasi. Bandung: Universitas


Padjadjaran.

Pratista, Himawan. (2018). Memahami Film Edisi 2. Sleman: Montase Press

Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.


Lembaran Negara RI Tahun 2009, No. 33. Sekretariat Negara. Jakarta.

Sigit Surahman. (2014). Representasi Perempuan Metropolitan Dalam Film 7 Hati 7


Cinta 7 Wanita (Analisis Semiotika Roland Barthes). Jurnal Komunikasi, Volume 3
Nomor 1, Sept-Des 2014: 39-63. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Serang Raya: Serang

Stuart Hall. (2003). The Work of Representation: Cultural Representation and


Signifying Practices. Ed. London: Sage Publication

Hartley, Sally. (2011). World Report on Disability (WHO). 10.13140/


RG.2.1.4993.8644.

Anda mungkin juga menyukai