Anda di halaman 1dari 24

Asuhan Keperawatan Pada Pasien PPOK

TINJAUAN TEORITIS

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK


2.1    Tinjauan Teoritis Penyakit Paru Obstruktif
2.1.1        Anatomi Fisiologi
Menurut Evelyn (2009: 215), paru-paru ada dua, merupakan alat pernafasan utama. Paru-paru
mengisi rongga dada, terletak disebelah kanan dan kiri dan ditengah dipisahkan oleh jantung
beserta pembuluh darah besarnya dan struktur lainnya yang terletak di mediastinum. Paru-
patu adalah organ yang berbentuk kerucut dengan apek (puncak) diatas dan muncul sedikit
lebih tinggi dari klavikula didalam dasar leher. Pangkal paru-patu duduk diatas landai thorax.,
diatas diafragma. Paru-paru mempunyaipermukaan luar yang menyentuh iga-iga, permukaan
dalam  yang memuat tampuk paru-paru, sisi belakang yang menyentuh tulang belakang dan
sisi depan yang menutupi sebagian sisi depan jantung.

Lobus paru-paru  (belahan paru-paru). Paru-paru dibagi menjadi beberapa belahan atau lobus
oleh fisura. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus dan paru-paru kiri dua lobus. Setiap lobus
tersusun atas lobula. Sebuah pipa bronchial kecil masuk kedalam setiap lobula dan semakin ia
bercabang, semakin menjadi tipis dan akhirnya berakhir menjadi kantong kecil-kecil.
Jaringan paru-paru bersifat elastis, berpori dan seperti spon. Didalam air paru-paru
mengapung karena udara yang ada didalamnya.

Bronkus pulmonaris. Trakea terbagi menjadi dua bronkus utama, bronkus ini bercabang lagi
sebelum masuk paru-paru. Didalam perjalanannya menjelajahi paru-paru, bronkus-bronkus
pulmonaris bercabang dan beranting lagi banyak sekali. Saluran yang besar mempertahankan
struktur serupa dengan yang dari trakea, mempunyai dinding fibrosa berotot yang
mengandung bahan tulang rawan dan dilapisi epithelium bersilia. Bronkus terminalis Masuk
kedalam saluran yang agak lain yang disebut vestibula. Dan disini membran pelapisnya mulai
berubah sifatnya, lapisan epithelium bersilia diganti dengan sel epithelium yang pipih. Dari
vestibula berjalan beberapa infudibula dan didalam dindingnya dijumpai kantong-kantong
udara itu. Kantong udara atau alveoli itu terdiri atas satu lapis tunggal sel epithelium pipih,
dan disinilah darah hampir langsung bersentuhan dengan udara, suatu jaringan pembuluh
darah kapiler mengitari alveoli dan pertukaran gas pun terjadi.

Kapiler paru-paru bersatu dan bersatu lagi sampai menjadi pembuluh darah lebih besar dan
akhirnya dua vena pulmonaris meninggalkan setiap paru-paru membawa darah berisi oksigen
ke atrium kiri jantung untuk di distriibusikan keseluruh tubuh melalui aorta.

Pembuluh darah yang dilukiskan sebagai arteri bronkhialis membawa darah berisi oksigen
langsung dari aorta torasika ke paru-paru mengantar oksigen kedalam jaringan paru-paru
sendiri. Cabang akhir arteri-arteri ini membentuk plexus kapiler yang tampak jelas dan
terpisah dari yang terbentuk oleh cabang akhir arteri pulmonalis, tetapi beberapa dari kapiler
ini akhirnya bersatu kedalam vena pulmonaris dan darah itu kemudian dibawa masuk
kedalam vena pulmonaris. Sisa darah itu diantarkan dari setiap paru-paru oleh vena
bronkialis dan ada yang dapat mencapai vena kava superior. Maka dengan demikian paru-
paru mempunyai persediaan darah ganda.

Hilus  (tampuk) paru-paru dibentuk oleh struktur berikut:


2.1.1.1  Arteri Pulmonaris, yang mengembalikan darah tanpa oksigen kedalam paru-paru untuk diisi
oksigen.
2.1.1.2  Vena pulmonalis, yang mengembalikan darah berisi oksigen dari paru-paru kejantung .
2.1.1.3  Bronchus yang bercabang dan beranting membentuk pohon bronchial merupakan jalan udara
utama.
2.1.1.4  Arteri bronchialis, keluar dari aorta dan mengantarkan darah arteri ke jaringan paru-paru.
2.1.1.5  Vena bronchialis, mengembalikan sebagian darah dari paru-paru ke vena cava superio.
2.1.1.6  Pembuluh limfe, yang masuk keluar paru-paru sangat banyak .
2.1.1.7  Kelenjar limfe, semua pembuluh limfe yang menjelajahi struktur paru-paru dapat
menyalurkan kedalam kelenjar yang ada ditampuk paru-paru.
2.1.1.8  Pleura. Setiap paru-paru dilapisi oleh membran serosa rangkap dua, yaitu pleura
viseralis erat melapisi paru-paru, masuk kedalam fisura dan dengan demikian memisahkan
dari lobus satu dengan yang lain. Membran ini kemudian dilipat kembali disebelah tampuk
paru-paru dan membentuk pleura parietalis, dan melapisi bagian dalam dinding dada. Pleura
yang melapisi iga-iga adalah pleura kostalis, bagian yang menutupi diafragma ialah pleura
diafragmatika, dan bagian yang terletak di leher adalah pleura servikalis. Pleura ini diperkuat
oleh membran yang kuat bernama membarn suprapleuralis(fasia sibson) dan diatas membran
ini terletak arteri subklavia.

Di antara kedua lapisan pleura itu terdapat eksudat untuk meminyaki permukaannya dan
menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada yang sewaktu bernafas bergerak.
Dalam keadaan sehat kedua lapisan itu satu dengan yang lain erat bersentuhan. Ruang atau
rongga pleura itu hanyalah ruang yang tidak nyata, tetapi dalam keadaan tidak normal, udara
atau cairan memisahkan kedua pleura itu dan ruang diantaranya menjadi jelas.

Paru-paru ada dua, merupakan alat pernafasan utama. Paru-paru mengisi rongga dada,
terletak disebelah kanan dan kiridan ditengah dipisahkan oleh jantung beserta pembuluh
darah besarnya dan struktur lainnya yang terletak di mediastinum.

Paru-paru adalah salah satu organ sistem pernafasan yang berada di dalam kantong yang
dibentuk oleh pleura parietalis dan viseralis. Kedua paru sangat lunak, elastis dan berada
dalam rongga thorax, sifatnya ringan dan terapung di air. Masing-masing paru memiliki
apeks yang tumpul dan menjorok ke atas mencapai bagian atas iga pertama.

Menurut potter dan perry (2010), fisiologi respirasi yaitu pertukaran gas-gas pernafasan
terjadi antara lingkungan dan darah. Paru-paru memindahkan oksigen dari atmosfir ke
alveoli, dimana oksigen ditukar menjadi karbon dioksida ke dan dari darah melalui membran
kapiler alveolar. Dan ada tiga langkah dan proses oksigenasi, yaitu: ventilasi, perfusi, dan
difusi.
2.1.2        Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan sejumlah gangguan yang
mempengaruhi pergerakan udara dari dan keluar paru. Gangguan yang penting adalah
bronchitis obstruktif, emfisema, dan asma bronchial.
(muttaqin, 2008: 156).

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah suatu sindroma yang ditandai dengan
abnormalitas uji aliran udara ekspirasi yang tidak menunjukkan perubahan bermakna selama
periode beberapa bulan observasi
(Valentina, 2007: 85).

Chronic Obstruktive Pulmonary Disease revers to several disorders that affect the movement
of air in and out of the lungs. COPD is a combination of chronic obstructive bronchitis,
emphysema, and asthma. (joyce and jane, 2009: 1577).

(Penyakit Paru Obstruktif Kronik mengacu pada beberapa gangguan yang mempengaruhi
pergerakan udara dan keluar dari paru-paru. PPOK adalah kombinasi dari bronkitis kronik 
obstruktif, emfisema, dan asma).

PPOK atau COPD adalah sekresi mukoid bronkial bertambah secara menetap disertai dengan
kecenderungan terjadinya infeksi yang berulang dan penyempitan saluran nafas. Biasanya
batuk produktif selama 3 bulan, dalam jangka waktu 2 tahun berturut-turut. (kapita selekta
kedokteran, 2009: 461)

PPOK adalah istilah sebuah keliru yang sering dikenakan pada pasien yang menderita
emfisema, bronkitis kronis, atau campuran dari keduanya. Ada banyak pasien yang mengeluh
bertambah sesak nafas dalam beberapa tahun dan ditemukan mengalami batuk kronis,
toleransi olahraga yang buruk, adanya obstruksi jalan nafas, paru yang terlalu mengembang,
dan gangguan pertukaran gas. (John B. West, 2010: 215).

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a disease state characterized by airflow


limitation that is not fully reversible. (Farrel, 2007).

(Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah keadaan penyakit karakteristik oleh keterbatasan
aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel).

PPOK adalah gangguan progresif lambat kronis yang ditandai oleh obstruksi saluran
pernafasan yang menetap atau sedikit reversibel, tidak seperti obstruksi saluran pernafasan
reversibel pada asma. (Patrick Davey, 2005:181).

PPOK adalah klasifikasi luas dari gangguan, yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis,
emfisema, dan asma. PPOK merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea
saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru. (Smeltzer dan Bare
2002: 595).

Dari semua pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Penyakit Paru Obstruktif Kronik
adalah penyakit yang bersifat irreversibel atau sedikit reversibel menyebabkan hambatan
pergerakan udara serta mengakibatkan obstruksi jalan nafas yang bukan hanya berupa adanya
bronchitis obstruktif, emfisema dan asma bronkial, melainkan karena toleransi olahraga yang
buruk, paru yang terlalu mengembang, dan gangguan pertukaran gas.

 2.1.3        Etiologi PPOK
Menurut jeniper P. Kowalak (2011) penyebab PPOK yang sering ditemukan meliputi:
2.1.3.1  Kebiasaan merokok
2.1.3.2  saluran nafas yang kambuhan
2.1.3.3  Polusi udara
2.1.3.4  Alergi
2.1.3.5  Faktor-fakto familiar atau herediter, seperti defisiensi antitrypsin alfa
2.1.3.6  Faktor lingkungan: merokok merupakan penyebab utama, disertai resiko tambahan akibat
polutan udara ditempat kerja atau didalam kota. Sebagian pasien memiliki asma kronis yang
tidak terdiagnosis dan tidak diobati.
2.1.3.7  defisiensi alfa antitripsin merupakan predisposisi untuk berkembangnya PPOK dini.

Berdasarkan jeniper P. Kowalak bahwa penyebab utama PPOK adalah kebiasaan merokok,
sedangkan didalam rokok mengandung zat-zat atau unsur-unsur.

Jika dilihat dari struktur fisiknya, rokok adalah sebuah benda yang terbuat dari tembakau,
campuran cengkeh, dibungkus dengan kertas rokok, dan ditambah dengan sebuah filter
rokok, yang digunakan untuk menghisapnya. Jika rokok dipakai oleh perokok, maka akan
menghasilkan asap rokok, yang dihisap oleh perokok kemudian dibuang, jika rokok diberikan
sudah habis, maka rokok itu akan dibuang oleh perokok. Jadi zat ampas itu sendiri dari asab,
abu, dan puntung rokok. Jauh dari itu, rokok mempunyai struktur zat kandungan yang lebih
penting dan berbahaya. Kandungan kandungan dan zat yang ada dalam rokok antara lain:
2.1.3.1            Kandungan Zat Kimia
Zat-zat kimia yang ada atau dihasilkan oleh rokok adalah karbon monoksida (CO), Asam
Hidrosianat, Nitrogen Oksida (NO), dan formadelhida. Partikel-partikel yang dihasilkan oleh
zat ini berupa tar, indol, nikotin, karborsal dan kresol. Zat-zat kimia ini dapat mengiritasi
saluran nafas dan paru sehingga dapat menyebabkan munculnya karsinogen (kanker).
2.1.3.2           Nikotin
Nikotin merupakan bagian dari zat kimia. Nikotin ini yang paling sering dibicarakan dan
mungkin semua orang tahu termasuk perokok, dampak dari nikotin. Nikotin berupa cairan
berminyak tidak berwarna. Zat ini bisa menghambat rasa lapar. Jadi menyebabkan seseorang
merasa tidak lapar karena menghisap rokok.
Nikotin bersifat racun bagi saraf, dan dapat membuat seseorang menjadi rileks dan tenang,
dapat menyebabkan kegemukan sehingga dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah.
Efeknya adalah ketagihan bagi perokok. Kadar nikotin 4 – 6 mg yang dihisap oleh orang
dewasa setiap hari sudah bisa membuat seseorang ketagihan. Di Amerika Serikat, rokok putih
yang beredar dipasaran memiliki kadar 8 – 10 mg nikotin per batang. Sementara di Indonesia
kadar nikotin 17 mg per batang.
2.1.3.3           Timah Hitam (Pb)
Kandungan timah hitam yang dihasilkan oleh sebatang rokok sebesar 0,5 ug per hari.
Sementara ambang batas bahaya timah hitam yang masuk kedalam tubuh adalah 20 ug per
hari. Jika seorang perokok aktif menghisap rokok rata-rata 10 batang per hari, berarti orang
tersebut sudah menghisap timah lebih diatas ambang batas, diluar kandungan timah lain
seperti udara yang dihisap setiap hari, makanan dan lain-lain.
2.1.3.4           Gas Karbon Monoksida (CO)
Gas Karbon Monoksida dihasilkan dari pembakaran yang tidak sempurna, yang tidak berbau,.
Karbon Monoksida memiliki kecenderungan yang kuat untuk berikatan dengan hemoglobin
dalam sel-sel darah merah. Seharusnya hemoglobin ini berikatan dengan oksigen dan sangat
penting untuk pernafasan sel-sel tubuh, tapi karena gas CO lebih kuat dari oksigen, maka gas
CO ini merebut tempatnya hemoglobin. Jadilah hemoglobin bergandengan dengan gas CO.
Kadar gas CO dalam darah bukan perokok kurang dari 1 persen, sementara dalam darah
perokok mencapai 4 – 15 persen.
2.1.3.5           Tar
Tar adalah zat yang bersifat karsinogen, sehingga dapat menyebabkan iritasi dan kanker pada
saluran pernafasan bagi seorang perokok. Pada saat rokok dihisap, tar masuk kedalam rongga
mulut sebagai uap padat. Setelah dingin, akan menjadi padat dan membentuk endapan
berwarna cokelat pada permukaan gigi, saluran pernafasan, dan paru-paru. Pengendapan ini
bervariasi antara 3 – 40 mg per batang rokok, sementara kadar tar dalam rokok berkisar 24 –
45 mg. Tar ini lebih dari 4000 bahan kimia yang mana 60 bahan kimia diantaranya bersifat
karsinogenik.

Menurut Valentina L. Brashers, 2007.Jika dijabarkan secara jauh, masih banyak zat lain yang
dikandung oleh rokok, yang semuanya adalah yang berbahaya bagi kesehatan.seorang
perokok seakan-akan menabung sumber penyakit kedalam dirinya. Efeknya adalah jangka
panjang, bukan berefek langsung saat ini. Karena kandungan zat yang ada dalam rokok,
biasanya seorang penghisap rokok menderita penyakit komplikasi yang kronis.

 2.1.4        Patofisiologi PPOK
Menurut Arif Muttaqin (2008), obstruksi jalan nafas menyebabkan reduksi aliran udara yang
bergantung pada penyakit. Pada bronkitis kronik dan bronkiolotis, terjadi penumpukan lendir
dan sekresi yang sangat banyak sehingga menyumbat jalan nafas. Pada emfisema, obstruksi
pada pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang
disebabkan oleh over ekstensi ruang udara dalam paru. Pada asma jalan nafas bronchial
menyempit membatasi jumlah udara yang mengalir kedalam paru. Protokol pengobatan
tertentu  digunakan dalam semua kelainan in, meski patofisiologi dari masing-masing
kelainan ini membutuhkan pendekatan spesifik.

PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi genetik dengan
lingkungan. Merokok, polusi udara, dan paparan ditempat kerja (terhadap batu bara, kapas,
dan padi-padian) merupakan faktor resiko penting  yang menunjang terjadinya resiko
penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20 – 30 tahun. PPOK juga
ditemukan pada individu yang tidak mempunyai enzim yang normal untuk mencegah
penghancuran jaringan paru oleh  enzim tertentu. PPOK merupakan kelainan dengan
kemajuan lambat yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menunjukkan awitan
(onset) gejala klinisnya seperti kerusakan jaringan paru.

PPOK sering menjadi simptomatik selama bertahun-tahun usia baya, tetapi insidennya
meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Meskipun fungsi aspek-aspek tertentu seperti
kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi paksa (FEV) menurun sejalan dengan peningkatan
usia, PPOK dapat memperburuk perubahan patofisiologi yang berkaitan dengan penuaan dan
mengakibatkan obstruksi jalan nafas misalnya pada bronchitis serta kehilangan daya
pengembangan (elastisitas) paru misalnya pada emfisema. Oleh karena itu terdapat perubahan
tambahan dalam rasio ventilasi-perfusi pada pasien lansia dengan PPOK.
Merokok salah satu penyebab utama PPOK, akan mengganggu kerja silia serta fungsi sel-sel
makrofag dan menyebabkan inflamasi pada jalan nafas, peningkatan produksi lendir (mucus),
destruksi sputum alveolar serta fibrosis peribronkial. Perubahan inflamatori yang dini dapat
dipulihkan jika pasien berhenti merokok sebelum penyakit paru meluas.

Sumbatan mucus dan penyempitan jalan nafas terperangkap, seperti pada bronchitis kronik
dan emfisema. Hiperinflasi terjadi pada alveoli paru ketika pasien menghembuskan nafas
keluar (ekspirasi). Pada inspirasi, jalan nafas akan melebar sehingga udara nafas akan
terhalang. Keadaan udara nafas yang terperangkap (yang juga dinamakan ball valving)
umumnya terjadi pada asma dan bronchitis kronis. (Muttaqin, 2008: 209)

Menurut Murwani (2009: 21), secara patologis ada 3 mekanisme terjadi pada obstruksi:
2.1.4.1           Intraluminer, yaitu akibat dari infeksi dan iritasi yang menahun lumen bronkus yang
sebagian tertutup oleh lendir yang berlebihan seperti pada bronkus.
2.1.4.2            Intramural, yaitu adanya penebalan pada dinding bronkus akibat dari adanya kontraksi otot-
otot polos bronkus, hipertropi kelenjar-kelenjar mucus, serta edema dan inflamasi.
2.1.4.3           Ekstramural (di luar saluran pernafasan), destruksi/kehancuran jaringan paru mengakibatkan
hilangnya tarikan melingkar dinding bronkus, ditambah dengan hiperinflasi jaringan paru
yang menyebabkan penyempitan saluran nafas seperti pada emfisema.
          

2.1.5        Manifestasi Kinis
2.1.5.1           Menurut sumber dari kapita selekta kedokteran (2009) tanda dan gejala PPOK yaitu:
a.          Mula timbulnya sakit pada usia 45 – 65 tahun atau lebih.
b.         Batuk yang menetap dengan sputum yang terutama kental dan mukoid kecuali selama
infeksi yang akan menjadi purulen; mendahului dispnea.
c.         Sukar bernafas yang progresif dengan “wheezing” bila terdapat obstruksi bronkus.
d.        Pada pemeriksaan fisik, dada mungkin hiperinflasi dengan bunyi nafas melemah dan ronkhi
yang dapat menghilang dengan batuk.
e.         Penyakit yang telah lanjut mungkin disertai dengan pletora atau sianosis, dengan retensi
karbondioksida dapat berkembang menjadi kor pulmonale.
f.         Hipoksemia/saturasi oksigen menurun secara intermitten atau kontinu.

2.1.5.2           Menurut Jeniper P. Kowalak (2011) tanda dan gejala PPOK mencakup:


a.         Penurunan kemampuan melakukan aktivitas fisik atau pekerjaan yang cukup berat dan
keadaan ini terjadi karena penurunan cadangan paru
b.        Batuk produktif akibat stimulasi reflek batuk oleh mucus dan dispnea pada aktivitas fisik
ringan
c.         Infeksi saluran napas yang sering terjadi
d.        Hipoksemia intermitten atau kontinu
e.         Hasil tes faal paru yang menunjukkan kelainan yang nyata
f.         Deformitas thoraks
2.1.6        Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Arif Muttaqin (2008) pemeriksaan diagnostik pada pasien PPOK yaitu:
2.1.6.1           Pemeriksaan laboratorium
a.      hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) meningkat pada polositemia sekunder
b.          jumlah darah merah meningkat
c.           eosinofil dan total IgE serum meningkat
d.        
  pulse oksimetri           SaO2 oksigenasi menurun
e.          elektrolit menurun karena pemakaian obat diuretik
f.        Analisa Gas Darah: PaO2 menurun (<50 mmHg), PCO2 meningkat (>45 mmHg), sering
menurun pada asma. Nilai pH normal (6,6 – 7,5), asidosis, alkalosis respiratorik ringan
sekunder.
g.   Pemeriksaan Sputum : Pemeriksaan gram kuman-kuman/kultur adanya infeksi campuran.
Kuman patogen yang biasa ditemukan adalah streptococcus pneumonia, hemophylus
influenza,dan moraxella catarhalis.
h.      Hematokrit: Pemeriksaan ht dilakukan untuk mengukur konsentrasi sel dara merah dalam
darah. Ht merupakan volume sel darah merah dalam 100 ml (dl) darah. Penurunan kadar ht
dapat ditemukan pada anemia, leukemia, gagal ginjal kronis, sirosis hepatis, malnutrisi,
defisiensi vitamin B dan C. Peningkatan kadar ht dapat ditemukan pada kasus dehidrasi,
asidosis, diabetikum, emfisema paru, trauma, pembedahan, dan luka bakar.
i.    Glukosa: Nilai labortorium glukosa dapat digunakan menilai adanya penyakit diabetes
mellitus.
j.   Hemoglobin Darah: Nilai Hb yang meningkat menunjukan adanya homokonsentrasi akibat
dehidrasi, sedangkan penurunan Hb menunjukan adanya anemia.
k.        CPK (creatinine fosfokinase). Pemeriksaan terhadap enzim ini digunakan untuk menilai
kadarnya yang terdapat pada otot rangka dan otot jantung. Peningkatan kadar enzim ini dapat
dijumpai pada infark miokard akut (IMA), penyalit otot rangka, cedera srebrovasculer, dll.
l.     Trombosit: Pemeriksaan terhadapnya digunakan untuk menilai kadarnya dlm darah. Trombosit
rendah dapat dijumpai pada kondisi adanya kanker, anemia aplastik, penyakit hepar,ginjal,
dll. Peningkatan kadar trombosit terjadi pada kehilangan darah akut, infeksi, dll
m.  Lebar distribusi sel darah merah (RDW). Rasio lebar kurva distribusi (histogram) terhadap
volume seldarah merah merata.
n.        Laju endap eritrosit. Pengukuran terhadapnya untuk menilai kecepatan sel darah merah untuk
mengendapkan darah yang tidak beku dalam satuan mm/jam. Penurunan nilai laju endap
darah eritrosit dijumpai pada kasus gagal jantung kongestif, angina pectoris, dll. Peningkatan
kadar ini dijumpai pada arthritis rheumatoid, demam, IMA, dan kanker lambung.
o.   Masa protrombin plasma. Pemeriksaan terhadapnya untuk mengukur kemampuan faktor
pembekuan I (fibrinogen, II (protrombin), faktor V, VI, dan X. Nilai masa protrombin
menurun bila terjadi trombo felbilitis, IMA, emboli pulmonal. Nilai PT meningkat terjadi
pada penyakit hepar, defisiensi faktor II, V, VII, sirosis hepatis, defisiensi vitamin, leukemia,
dll.
p.        Natrium. Pemeriksaan terhadapnya untuk menilai kadarnya dalam darah. Nilai rendah
dijumpai pada keadaan diare, muntah, luka bakar, dan penyakit ginjal. Nilai meningkat
ditemukan pada keadaan dehidrasi, gagal jantung kongestif, dll.
q.   Tes tooleransi glukosa (GTT). Untuk menilai kadar gula darah untuk mendeteksi adanya
diabetes mellitus. GTT menurun dijumpai pada kasus malnutrisi protein, insufisiensi, kelenjar
adrenal, dll. GTT meningkat terjadi pada diabetes mellitus, karsinoma pankreas, IMA, dll.
r.          Sel darah putih. Pemeriksaan terhadap sel darah putih untuk menilai kadar sel darah putih.
Nilai SDP rendah (lucopenia) didapatkan pada kasus anemia aplastik, infeksi virus malaria,
arthritis rheumatoid, dll. Peningkatan SDP dapat ditemukan pada infeksi akut, IMA, sirosis
hepatis, luka bakar, kanker, leukemia, anemia aplastik, dll.

2.1.6.2           Pemeriksaan Radiologi Thorax Foto (AP dan Lateral)


Menunjukkan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, bendungan area paru. Pada
emfisema paru didapatkan diafragma dengan letak yang rendah dan mendatar, ruang udara
retosternal > (Foto Lateral), jantung tampak bergantung, memanjang dan menyempit.
Pemeriksaan Bronkhogram menunjukan dilatasi bronkus, kolaps bronkial pada ekspirasi kuat.
2.1.6.3           EKG
Kelainan EKG yang paling awal terjadi adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat
kor pulmonal, terdapat devisiasi aksis kekanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III, dan Avf.
Voltase QRS rendah. Di V1 rasio R/S kurang dari 1 sering terdapat RBBB inkomplet.
2.1.6.4           Pemeriksaan Laboratorium menurut Aziz Alimul (2005) yaitu:
ALT (Alanin amino transfarase) atau SGPT (serum glutamic piruvictransaminase).
Pemeriksaan ini untuk menilai kerusakan pada hepatoseluler yang dapat dijumpai pada
kerusakan hati yang dapat menunjukkan adanya peningkatan kadar ALT/SGPT.
2.1.6.5           Albumin
Digunakan untuk menilai kadar albumin karena albumin disintesis oleh hepar yang dapat
meningkatkan tekanan osmotik/onkotik yang dibutuhkan untuk mempertahankan cairan
vasculer.
2.1.6.6           Aldosteron
Digunakan untuk menilai atau memantau adanya keseimbangan natrium, kalium, dan air
karena aldosteron dapat meningkatkan reabsorpsi natrium dari tubulus distal ginjal dan
ekskresi kalium.
2.1.6.7           Alkalin Fosfatase (ALP)
Digunakan untuk menilai berbagai penyakit yang ada pada hati dan tulang mengingat
sebagian besar enzim ini diproduksi dihati dan tulang
2.1.6.8           Asam folat
Merupakan salah satu vitamin B yang dibutuhkan untuk fungsi sel darah merah atau sel darah
putih yang normmal sehingga dapat digunakan untuk menilai adanya anemia atau defisiensi
vitamin B6 atau mal nutrisi.
2.1.6.9           SGOT (serum glutamic axalocetic transaminase atau AST (aspartat amino amino
transferase). Enzim ini sebagian besar terdapat pada otot jantung dan hati, yang digunakan
untuk mendiagnosis berbagai penyakit hati dan jantung.
2.1.6.10       LDH (laktat dehidrogenese)
Enzim intra seluler ini terdapat pada semua sel yang mengalami metabolisme, khususnya
pada jantung, otot rangka, hepar, ginjal, paru, dan sel darah merah sehingga peningkatan
LDH dapat dijumpai pada penyakit jantung, otot, hepar, ginjal, paru, dan sel darah merah.
2.1.6.11       GGT (gamma glutamil transgerase)
Digunakan untuk mendeteksi berbagai penyakit pada hati dan ginjal karena enzim ini banyak
pada organ hati dan ginjal.
2.1.6.12       G6PD (glukosa-6 fosfat dehodrogenase
Enzim ini ada dalam sel darah merah yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi penyakit
anemia hemolitik.

Menurut Caia Francis (2011: 71) melalui uji fungsi paru bisa menunjukkan adanya
keterbatasan aliran udara pada kasus PPOK merupakan hal yang penting secara diagnostik.
Hal ini biasanya dilakukan menggunakan spirometri dan laju aliran ekspirasi puncak (peak
expiratory flow, PEF). Terdapat perdebatan mengenai keuntungan menggunakan PEF
debagai panduan klinis pada pasien PPOK, dengan panduan NICE 2004 mendukung
penggunaan tunggal spirometri sebagai pengukur progresi penyakit PPOK. Pada perawatan
primer, sejumlah dokter umum mendukung penggunaan PEF rutin (untuk memantau progresi
penyakit PPOK), membuktikan bahwa ini merupakan uji yang lebih dapat dipercaya dan
akurat pada perawatan primer (Chavannes 2004). Walaupun demikian, perkembangan
spirometri digital yang dapat dibawa (portabel) disertai semakin banyaknya pelatihan yang
tersedia mengakibatkan penggunaan spirometri yang lebih luas diperawatan primer.

2.1.7        Penatalaksanaan Medis
2.1.7.1           Menurut Arif Muttaqin (2008) manajemen medis yang diberikan berupa:
a.         Pengobatan farmakologi
1)        Anti-inflamasi (kortikosteroid, natrium komolin, dll.
2)        Bronkodilator
a)         adrenergic: efedrin, epineprin, da beta adrenergic agonis selektif.
b)        Non adrenergic: aminofilin, teofilin.
3)        Antihistamin.
4)        steroid.
5)        antibiotik.
6)        ekspektoran: oksigen digunakan 3 Lpm dengan nasal kanul.
b.        Hygiene Paru
Cara ini bertujuan untuk membersihkan sekret dari paru, meningkatkan kerja silia, dan
menurunkan resiko infeksi. Dilaksanakan dengan nebulizer, fisioterapi dada, dan postural
drainase.

c.         Latihan
Bertujuan untuk mempertinggi kebugaran dan melatih fungsi otot skeletal agar lebih efektif.
Dilaksanakan dengan jalan sehat.
d.        Menghindari bahan iritan
Penyebab iritan jalan nafas yang harus dihindari diantaranya asap rokok dan perlu juga
mencegah adanya allergen yang masuk tubuh.
e.         Diet
Pasien sering mengalami kesulitan makan karena adanya dispnea. Pemberian porsi yang kecil
namun sering lebih baik daripada makan sekaligus banyak.

2.1.7.2           Menurut sumber dari kapita selekta kedokteran (2009) pengobatan secara medis yaitu:
a.         Hindari merokok dan hindari polusi
b.        Obat anti bakteri selama infeksi akut, segera dimulai bila terdapat kelainan pada sputum atau
bersifat mukopurulen
c.    Vaksin terhadap influenza, pneumokok, dan lainnya mungkin menolong sebagai profilaksis
d.     Bronkodilator untuk membuka jalan napas pada pasien yang mengalami wheezing dan untuk
memperbaiki ekspektorasi
e.         Drainase postural
f.         Ekspektoran dan obat mukolitik
g.    Oksigen dengan aliran lambat pada penderita hipoksia yang tidak dapat menahan CO2
h.        Gagal jantung diobati dengan pengobatan untuk memperbaiki hipoksemia dan diuretik

2.1.8        Komplikasi
2.1.8.1      Menurut Kowalak (2011) komplikasi yang mungkin terjadi pada PPOK meliputi:
a.         Kor pulmonale yaitu pembesaran ventrikel paru akibat penyakit paru
b.        Gagal nafas yang berat
c.         kematian

2.1.8.2           Menurut Arif Mansjoer dkk (2007)


Pada pasien PPOK yang dilakukan tindakan operasi maka kemungkinan komplikasi yang
akan terjadi adalah:
a.         Gagal nafas
b.        Pneumonia
c.         Atelektasis
d.        Penggunaan ventilasi mekanik
e.         PPOK dengan ekserbasi
f.         Bronkospasme
g.        Tromboemboli
2.1.9        Prognosis
Prognosis penyakit bervariasi. Bila pasien tidak berhenti merokok, penurunan fungsi paru
akan lebih cepat daripada pasien berhenti merokok. Tetapi oksigen jangka panjang
merupakan satu-satunya terapi yang terbukti memperbaiki angka harapan hidup. (Patrick
Davey, 2005: 183)
Bersifat kronik, rekuren, umumnya merupakan kelainan bersifat progresif. Dapat stabil
dengan pengobatan yg tepat. (Kapita selekta kedokteran, 2009:465)

2.2    Tinjauan keperawatan penyakit paru obstruktif


2.2.1        Pengkajian
Menurut Arif Muttaqin (2008) pengkajian keperawatan pada pasien PPOK yaitu:
Anamnesis
Dispnea adalah keluhan utama PPOK. Pasien biasanya mempunyai riwayat perokok dan
riwayat batuk kronis, bertempat tinggal atau bekerja diareadengan polusi udara yang berat,
adanya riwayat alergi pada keluarga, adanya riwayat asma pada saat anak-anak.

Perawat perlu mengkaji riwayat atau adanya faktor pencetus eksaserbasi yang meliputi
allergen, stress emosional, peningkatan aktivitas fisik yang berlebihan, terpapar dengan
polusi udara, serta infeksi saluran pernafasan. Perawat juga perlu mengkaji obbat-obat yang
bisa diminum pasien, memeriksa kembali setiap jenis obat apakah masih relevan untuk bisa
digunakan kembali.
Pengkajian pada tahap lanjut penyakit, didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia)
dan kadar karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea). Pasien rentan terhadap infeksi akibat
pengumpulan sekresi. Setelah infeksi terjadi, pasien mengalami mengi yang berkepanjangan
saat ekspirasi. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan adalah hal yang umum
terjadi. Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi. Pada pengkajian yang
dilakukan ditangan, sering didapatkan adanya jari tabuh (clubbing finger) sebagai dampak
dari hipoksemia yang berkepanjangan.

Sebagai pengkajian untuk menentukan predisposisi penyakit yang mendasarinya, Perawat


perlu merujuk kembali pada  penyakit yang  mendasari, yaitu asma bronchial, bronchitis
kronis, dan emfisema dan pembahasan selanjutnya.

Pemeriksaan fisik fokus


Inspeksi
Pada pasien dengan PPOK, terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan, serta
penggunaan otot bantu nafas. Pada saat inspeksi biasanya terlihat pasien mempunyai bentuk
dada barel chest akibat udara yang terperangkap, penipisan masa otot, bernafas dengan bibir
yang dirapatkan, dan pernafasan yang abnormal yang tidak efektif. Pada tahap lanjut, dispnea
terjadi pada saat beraktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan
mandi. Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulen disertai dengan demam
mengindikasikan dengan adanya tanda pertama infeksi pernafasan.

Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan tactil premitus biasanya menurun

Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma mendatar atau
menurun.

Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan
obstruktif pada bronkhiolus.

2.2.2        Diagnosis Keperawatan
Menurut Arif Muttaqin (2008) diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada pasien
Penyakit Paru Obstruktif Kronik yaitu:
2.2.2.1    Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan adanya bronco kontriksi, akumulasi
sekret jalan nafas, dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
2.2.2.2       Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan retensi CO2, peningkatan sekresi, peningkatan
pernafasan, dan proses penyakit.
2.2.2.3           Resiko tinggi infeksi pernafasan (pneumonia) berhubungan dengan akumulasi sekret jalan
nafas dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
2.2.2.4    gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan nafsu makan.
2.2.2.5           Gangguan ADL berhubungan dengan kelemahan fisik umum dan keletihan.
2.2.2.6           Defisit pengetahuan tentang prosedur perawatan diri yang akan dilakukan dirumah

2.2.3        Intervensi Keperawatan
Menurut Arif Muttaqin (2008) dan Doenges (2000) perencanaan asuhan keperawatan pada
pasien dengan pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah:
2.2.3.1           Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronco kontriksi, akumulasi
sekret jalan nafas, dan menurunnya batuk efektif.
a.         Kaji warna, kekentalan dan jumlah sputum.
Rasional: karakteristik sputum dapat menunjukkan berat ringannya obstruksi.
b.        Atur posisi semi fowler.
Rasional: meningkatkan ekspansi paru
c.         Ajarkan cara batuk efektif.
Rasional: batuk yang terkontrol dan efektif dapat memudahkan pengeluaran dari secret yang
melekat dijalan nafas.
d.        Bantu pasien latihan nafas dalam.
Rasional: ventilasi maksimal membuka lumen jalan nafas dan meningkatkan gerakan sekret
kedalam jalan nafas besar untuk dikeuarkan.
e.         Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak di indikasikan.
Rasional: hidrasi yang adekuat dapat membantu mengencerkan sekret dan mengefektifkan
jalan nafas.
f.         Lakukan fisioterapi dada dengan teknik postural drainage, perkusi, dan fibrasi dada.
Rasional: postural drainase dengan perkusi dan fibrasi menggunakan bantuan gaya gravitasi
untuk membantu menaikan sekresi sehingga dapat dikeluarkan atau dihisap dengan mudah.
g.        Kolaborasi pemberian obat bronkodilator
1)        Nebulizer (via inhalasi) dengan golongan tebutaline 0,25 mg.
Rasional: pemberian bronkodilator via inhalasi akan langsung menuju area bronkus yang
mengalami spasme sehingga lebih cepat berdilatasi.
2)        Agen mukolitik dan ekspektoran.
Rasional: agen mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengkatan sekret paru untuk
memudahkan pembersihan. Agen ekspektoran akan memudahkan sekret lepas dari
perlengketan dari jalan nafas.
3)        Kortikosteroid.
Rasional: kortikosteroid berguna dengan keterlibatan luas pada hipoksemia dan menurunkan
reaksi inflamasi akibat oedem mukosa dan dinding bronkus.
2.2.3.2           Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan retensi CO2, peningkatan sekresi,
peningkatan pernafasan, dan proses penyakit.
a.         Kaji ketidakefektifan jalan nafas.
Rasional: bronkospasme dideteksi ketika terdengar mengi saat diauskultasi dengan stetoskop.
Peningkatan pembentukan mucus sejalan dengan penurunan aksi mukosilaris menunjang
penurunan lebih lanjut diameter bronki dan mengakibatkan penurunan aliran udara serta
penurunan pertukaran gas, yang diperburuk oleh kehilangan daya elastisitas paru.
b.        Kolaborasi untuk pemberian bronkodilator secara aerosol.
Rasional: terapi aerosol membantu mengencerkan sekresi sehingga dapat dibuang.
c.         Lakukan fisioterapi dada.
Rasional: setelah inhalasi bronkodilator nebulizer, pasien disarankan minum air putih untuk
lebih mengencerkan sekresi. Kemudian batukan dengan ekspulsif atau postural drainase akan
membantu dalam mengeluarkan sekresi.
d.        Kolaborasi untuk pemantauan analisis gas arteri.
Rasional: sebagai bahan evaluasi setelah melakukan intervensi.
e.         Kolaborasi pemberian oksigen via nasal.
Rasional: oksigen diberikan ketika terjadi hipoksemia. Perawat harus memantau kemajuan
terapi oksigen dan memastikan bahwa pasien patuh dalam menggunakan alat pembberian
oksigen.

2.2.3.3           Resiko tinggi infeksi pernafasan (pneumonia) berhubungan dengan akumulasi sekret jalan
nafas dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
a.         Kaji kemampuan batuk pasien.
Rasional: batuk yang berkaitan dengan infeksi bronchial memulai siklus yang ganas dengan
trauma dan kerusakan pada paru lebih lanjut, kemajuan gejala, peningkatan bronkospasme,
dan peningkatan lebih lanjut terhadap kerentanan infeksi bronchial. Infeksi mengganggu
fungsi paru dan merupakan penyebab umum gagal nafas pada pasien  dengan PPOK.
b.        Monitor adanya perubahan yang mengarah pada tanda-tanda infeksi pernafasan.
Rasional: pasien diinstruksikan untuk melaporkan dengan segera jika sputum mengalami
perubahan warna, karena pengeluaran sputum purulen atau perubahan karakter, warna, atau
jumlah adalah tanda infeksi.
c.         Ajarkan latihan bernafas dan training pernafasan.
Rasional: sebagian besar individu dengan PPOK bernafas dalam dari dada bagian atas dengan
cara yang cepat dan tidak efisien.

2.2.3.4           Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan
nafsu makan.
a.         Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini.
Rasional: pasien distress pernafasan akut sering anoreksia karena dispnea, produksi sputum,
dan obat.
b.        Auskultasi bunyi nafas.
Rasional: penurunan/hipoaktif bising usus menunjukkan penurunan motalitas gaster dan
konstipasi yang berhubungan dengan pembatasan cairan, pilihan makanan yang buruk,
penurunan aktivitas, dan hipoksemia.
c.         Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai
ataupun tisu.
Rasional: rasa tidak enak, bau dan penampilan adalah pencegah utama terhadap nafsu makan
dan dapat membuat mual dan muntah dengan peningkatan kesulitan nafas.
d.        Dorong periode istirahat selama selama satu jam sebelum dan sesudah makan. Berikan porsi
makan sedikit tapi sering.
Rasional: membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan
kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total.
e.         Hindari makanan yang sangat panas atau sangat dingin.
Rasional: suhu ekstrim dapat mencetuskan/meningkatkan spasme batuk.
f.         Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional: berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujuan berat badan, dan
evaluasi keadekuatan rencana nutrisi. Catatan: penurunan berat badan dapat berlanjut,
meskipun masukan adekuat sesuai teratasinya.

2.2.3.5           Gangguan ADL berhubungan dengan kelemahan fisik umum dan keletihan.


a.         Kaji kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas.
Rasional: menjadi data dasar dalam melakukan intervensi selanjutnya.
b.        Atur cara beraktivitas pasien sesuai kemampuan.
Rasional: pasien dengan PPOK mengalami penurunan toleransi terhadap olahraga pada
periode yang pasti dalam satu hari.
c.         Ajarkan latihan otot-otot pernafasan.
Rasional: setelah pasien mempelajari pernafasan diafragmatik, suatu program pelatihan otot-
otot pernafasan dapat diberikan untuk membantu menguatkan otot-otot yang digunakan
dalam bernafas.
2.2.3.6           Defisit pengetahuan tentang prosedur perawatan diri yang akan dilakukan dirumah.
a.         Kaji pengetahuan pasien dan keluarga tentang perawatan rumah.
Rasional: menjadi data dasar perawat untuk menjelaskan sesuai tingkat pengetahuan yang
dimiliki.
b.        Tetapkan tujuan realistik.
Rasional: pasien dengan PPOK dapat memperbaiki kualitas hidupnya dengan mengetahui
tentang proses penyakit yang dialaminya.
c.         Hindari perubahan suhu yang ekstrim.
Rasional: pasien di instruksikan untuk menghhindari panas atau dingin yang ekstrim. Panas
dapat meningkatkan suhu tubuh, karenanya meningkatkan kebutuhan oksigen tubuh, dingin
cenderung meningkatkan bronkospasme.
d.        Berikan pengetahuan tentang bahaya merokok bagi pasien yang perokok.
Rasional: merokok menekan aktivitas sel-sel pemangsa (makrofag) dan mempengaruhi
mekanisme pembersihan siliaris dari saluran pernafasan, yaitu fungsi untuk menjaga saluran
pernafasan bebas dari iritan, bakteri, dan benda asing lainnya yang terhirup.

BAB 3

HASIL ASUHAN KEPERAWATAN


3.1    Gambaran Kasus
Pengkajian dilakukan pada tanggal 17 April 2014 pukul 17.00 wita, tempat ruang Paru
(Dahlia) Rumah Sakit Ulin Banjarmasin. Pengkajian dilakukan secara anamnesa dan
pemeriksaan fisik. Pengkajian juga dilakukan persistem, mulai dari biodata, riwayat
kesehatan, sistem pernafasan, sistem kardiovaskuler, sistem persarafan dan penginderaan,
sistem perkemihan, sistem pencernaan, sistem musculoskeletal dan integumen,sistem
endokrin, personal hygiene, psikososial, dan spiritual, serta dilengkapi dengan data penunjang
berupa hasil pemeriksaan diagnostik dan catatan terapi.

Nama pasien adalah Ny. J, dengan umur 78 tahun, berjenis kelamin perempuan,
berpendidikan SMP sebagai pensiunan Pegawai Negeri, beralamat dijalan Beruntung Jaya
Banjarmasin, status perkawinan sudah menikah, pasien beragama Kristen, suku Dayak
berkebangsaan Indonesia, pasien masuk RSUD Ulin Banjarmasin tanggal 14 April 2014 pada
pukul 15.02 wita, dengan diagnosa medis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), No.
RMK 0.54.78.96.
Identitas penanggung jawab pasien adalah Tn. D, umur 38 tahun, berjenis kelamin laki-laki,
pekerjaan Swasta, beralamat dijalan Beruntung Jaya Banjarmasin, Hubungan dengan pasien
adalah anak pasien.

Dari hasil pemeriksaan riwayat kesehatan ditemukan data, keluhan utama pasien saat masuk
RSUD Ulin Banjarmasin adalah sesak napas dan batuk berdahak. Dari pengkajian riwayat
penyakit sekarang, sebelum masuk rumah sakit pasien mengatakan mengalami sesak napas
dan batuk berdahak sekitar 4 bulan yang lalu, kemudian keluarga menyarankan untuk periksa
keklinik spesialis paru. Di klinik pasien saat itu dalam kondisi drop, akhirnya dokter klinik
menyarankan untuk segera dibawa ke RSUD Ulin Banjarmasin, pada saat itu juga pasien
dibawa ke RSUD ulin Banjarmasin pada jam 15.02 wita ditempatkan di IGD, dari hasil
pemeriksaan dokter IGD, pasien dianjurkan untuk rawat inap diruang Paru (Dahlia).
Kemudian pada pukul 18.00 wita pasien dipindah keruang Paru (Dahlia). Dari pengkajian
riwayat penyakit sebelumnya didapatkan hasil, pasien pernah masuk rumah sakit sebanyak
tiga kali dengan keluhan hipertensi dan untuk riwayat keluhan PPOK, pasien baru pertama
kali masuk rumah sakit, sebelum pensiun pasien bekerja sebagai Pegawai Negeri, ditempat
kerjanya pasien sering terpapar oleh asap rokok para rekan kerjanya atau sering disebut
perokok pasif, pasien juga memiliki riwayat batuk kronis. Selain itu pasien juga memiliki
riwayat penyakit seperti hipertensi. Dari pengkajian riwayat penyakit keluarga didapatkan
hasil, menurut keterangan keluarga pasien, didalam keluarga pasien tidak ada yang
mempunyai riwayat penyakit seperti Asma Bronkial dan juga tidak ada yang mempunyai
riwayat penyakit seperti Diabetes Mellitus, Jantung ataupun penyakit menular lainnya.

Pada pengkajian fisik tanggal 17 April 2014 pukul 17.20 wita, didapatkan keadaan umum
pasien tampak lemah dan dalam posisi semi fowler, tingkat kesadaran composmentis dengan
GCS yaitu E4, V5, M6 (E4: respon mata membuka spontan, V5: respon verbal terorientasi
terhadap waktu, tempat dan orang, M6: respon motorik mengikuti perintah). Saat ini
anamnesa pasien menjawab dengan baik dan jelas. Tanda-tanda vital didapatkan Tekanan
darah: 120/70 mmHg, Nadi: 76 x/menit, Respirasi: 28x/menit, Temperatur: 36,2 oC, dan
antropometrik: Berat badan: 42 kg, Tinggi badan157 cm, BBI: 51,3 – 62,7 kg.

Pada pemeriksaan keadaan kulit didapatkan hasil, keadaan kulit pasien cukup bersih, tidak
ada lesi, tidak terdapat edema, warna kulit pasien sawo matang, tidak terdapat adanya
sianosis, turgor kulit pasien baik dapat kembali < 2 detik, akral teraba hangat dan berkeringat,
temperatur pasien 36,2 oC,  kuku berwarna merah muda dengan bentuk 160o, CRT (Capilary
Reffil Time) dapat kembali dalam < 3 detik.

Pada pemeriksaan kepala dan leher didapatkan hasil, keadaan umum kepala baik, tidak ada
kelainan bentuk pada kepala, tidak terdapat adanya benjolan pada bagian kepala, kebersihan
kepala tampak bersih, tidak ada kotoran yang menempel pada kepala, rambut pasien
berwarna hitam dan tampak adanya uban, tidak ada luka dan lesi didaerah kepala, leher
tampak tidak kaku saat digerakkan, tidak terdapat perlebaran vena jugularis, tekanan arteri
kiri dan kanan seimbang, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar limfe, saat
inspirasi trakea tidak bergeser.

Pada pemeriksaan penglihatan dan mata didapatkan hasil, struktur mata kanan dan kiri
tampak simetris, kebersihan mata tampak bersih, tidak ada kotoran yang menempel pada
mata pasien, gerakan bola mata dapat digerakan kesegala arah, konjungtiva tampak anemis,
sklera tidak ikterik, kornea ulkus senilis (-), pupil isokor, eksoptamus (-), tidak terdapat
adanya ptosis pada kelopak mata maupun strabismus, tidak ada nyeri dan peradangan pada
bagian mata pasien, tampak ada lingkar hitam dibawah kelopak mata pasien, fungsi
penglihatan pasien kurang baik, pasien mengeluh kabur saat melihat papan nama perawat
dalam jarak 1 meter, pasien tidak menggunakan alat bantu penglihatan.
Pada pemeriksaan penciuman dan hidung didapatkan hasil, keadaan umum hidung baik
hidung pasien tampak bersih, tidak ada kelainan struktur hidung, tidak ada kotoran yang
menempel pada hidung, struktur hidung tampak simetris, tidak ada sumbatan pada hidung,
tidak ada polip dan tidak ada peradangan pada hidung, tidak ada kelainan bentuk dan
gangguan pada hidung, tidak terdapat adanya benjolan pada area sinus, fungsi penciuman
baik dapat membedakan bau minyak kayu putih dan bau minyak angin.

Pada pemeriksaan pendengaran dan telinga didapatkan hasil, struktur kedua telinga tampak
simetris keadaan umum telinga baik, telinga pasien tampak bersih, tidak tampak adanya
serumen yang keluar, tidak ada peradangan dan perdarahan pada telinga, fungsi pendengaran
baik, pasien mampu mendengarkan dan merespon setiap penjelasan maupun pertanyaan dari
perawat, pasien tidak menggunakan alat bantu dengar.

Pada pemeriksaan mulut dan gigi didapatkan hasil, mukosa bibir tampak kering, kebersihan
mulut dan gigi tampak bersih, tetapi ada beberapa gigi yang tanggal, tidak ada kotoran yang
menempel pada gigi pasien, tidak terdapat adanya peradangan pada tonsil maupun pada area
mulut, pasien tidak mengalami gangguan saat menelan, tidak ada kelainan bentuk dan
gangguan pada mulut.

Dada, Pernapasan, dan Sirkulasi: struktur dada simetris, bentuk dada tampak barrel chest atau
dada seperti tong, pasien tampak menggunakan otot bantu nafas, pergerakan dinding dada
tampak simetris antara kiri dan kanan, pasien tampak sesak nafas dan batuk berdahak dengan
sputum berwarna kekuningan, pasien mampu mengeluarkan dahak yang banyak,
pengembangan paru tampak tidak optimal, saat palpasi tactil premitus menurun pada dada
kanan pasien, pola pernapasan pasien tampak cepat dan dangkal, frekuensi pernafasan pasien
28x/menit, pasien tampak menggunakan alat bantu nafas yaitu oksigen dengan binasal canule
2 liter permenit, Saturasi oksigen pasien 91 %, saat diperkusi terdengar bunyi resonan pada
dada kiri dan kanan, saat auskultasi paru terdengar suara nafas tambahan ronkhi pada paru
bagian kanan,sedangkan pada lapang paru kiri terdengar suara nafas vesiculer, auskultasi
jantung S1 dan S2 tunggal, nadi perifer teraba dengan jelas.

Pada pemeriksaan abdomen didapatkan hasil, keadaan umum abdomen tampak simetris, tidak
terdapat benjolan, saat dipalpasi tidak teraba massa pada semua kuadran abdomen, tidak
terdapat lesi, tidak terdapat asites, tidak ada hepatomegali, saat diperkusi abdomen tympani,
peristaltik usus 6x/menit.

Genetalia dan reproduksi, pasien berjenis kelamin perempuan, tidak tampak terpasang alat
bantu kateter pada genetalia pasien, tidak terdapat kelainan pada genetalia pasien, tidak ada
keluhan nyeri saat pasien buang air kecil.
Ekstremitas atas dan bawah, struktur tampak simetris antara kiri dan kanan maupun atas
dan bawah, tidak terdapat keterbatasan gerak, tidak terdapat kekakuan dan peradangan pada
sendi, pergerakan sendi normal, tidak terdapat edema tungkai, tampak terpasang infus pada
tangan kanan dengan infus RL 7 tetes permenit, skala kekuatan otot
4444    4444
4444    4444
Keterangan 4: gerakan normal penuh, menantang gravitasi dengan sedikit tahanan, gerakan
normal penuh, menantang gravitasi dengan sedikit tahanan, skala aktivitas pasien 2
(memerlukan bantuan minimal).

Pada pengkajian pola istirahat dan tidur mengalami perubahan waktu malam hari, pasien
sering terjaga karena lingkungan yang ribut, pasien juga sering mengeluh batuk berdahak dan
sesak napas. Sebelum sakit pasien dapat istirahat dan tidur secara teratur. Pada siang hari
pasien jarang tidur. Dirumah sakit pasien hanya tidur selama 2 jam saja, pasien tidak tidur
siang.

Dari pengkajian mengenai personal hygiene pasien ditemukan hasil, pada saat dirumah pasien
mandi 2 kali sehari,  pasien sering menggosok gigi 2 kali sehari, pasien juga sering
memotong kuku ketika sudah dirasa panjang. Saat di rumah sakit pasien hanya diseka oleh
anaknya 2 kali sehari saat pagi dan sore hari.

Dari pengkajian pola nutrisi ditemukan hasil, sebelum sakit pasien mampu makan 3 kali
sehari dengan porsi selalu penuh, nafsu makan pasien baik, jenis makanan yang dikonsumsi
adalah nasi, lauk pauk, dan sayur bening. Sedangkan dirumah sakit pasien mendapatkan diet
tinggi kalori tinggi protein. Nafsu makan pasien kurang, pasien hanya mampu makan tiga
sampai empat sendok dari porsi yang disediakan oleh rumah sakit, dan hanya menyisakan
seperlima dari porsi yang ada.

Dari pengkajian fungsi eliminasi ditemukan hasil frekuensi buang air besar dan buang air
kecil pasien saat sakit yaitu BAK 4-5 kali sehari dan BAB hanya 1 kali sehari dengan
konsistensi feses lembek, jumlah output yaitu kurang lebih 450 cc perhari. Pasien tidak
mempunyai  keluhan maupun kesulitan saat buang air kecil maupun buang air besar.

Pada pengkajian psikososial dan spiritual ditemukan pasien sehari-hari menggunakan bahasa
Indonesia maupun bahasa Dayak. Orang yang paling dekat dengan pasien adalah anak-anak
pasien. Hubungan pasien dengan anak dan cucunya sangat harmonis terlihat bahwa anak dan
cucunya sering menjenguk pasien dirumah sakit, dan anaknya selalu bergantian menjaga
pasien dan mendampingi saat dilakukan tindakan keperawatan. Pasien tampak sangat
kooperatif dengan keluarga maupun saat perawat melakukan tindakan keperawatan serta
petugas kesehatan lainnya. Ekspresi afek dan emosi stabil. Konsep diri pasien baik, pasien
menganggap penyakit yang dideritanya adalah cobaan dari Tuhan, pasien tampak menerima
keadaan pasien sekarang dan berupaya berusaha untuk segera sembuh. Pasien menganut
agama kristen dan pasien mengatakan bahwa semua yang dialaminya adalah kehendak Tuhan
dan pasien terus berdoa agar diberi kesembuhan dan selalu berfikir positif agar tidak
membuat dirinya tambah menjadi sakit.

3.1.1        Data Fokus
3.1.1.1           Data subjektif
a.         Pasien mengeluh nafas terasa sesak
b.        Pasien juga mengeluh batuk berdahak dengan sputum berwarna kekuningan
c.         Pasien mengatakan hanya mampu makan tiga sampai empat sendok dari porsi yang
disediakan oleh rumah sakit dikarenakan nafsu makan berkurang
d.        pasien mengatakan sering terjaga karena lingkungan sekitarnya ribut pada malam hari,
dirumah sakit pasien hanya tidur selama dua jam saja.
3.1.1.2           Data objektif
a.         Inspeksi:
1)        keadaan umum pasien tampak lemah dan tampak dalam posisi semi fowler
2)        tampak batuk berdahak dengan karakteristik mukopurulen berwarna kekuningan
3)        Pasien tampak sesak nafas bentuk dada tampak barrel chest
4)        pasien tampak menggunakan otot bantu nafas
5)        pola pernapasan pasien tampak cepat dan dangkal
6)        pasien tampak menggunakan alat bantu nafas yaitu oksigen dengan binasal canule 2 liter
permenit
7)        Porsi makan yang disediakan RS tampak tidak dapat dihabiskan dan masih tersisa seperlima
saja
8)        pasien tampak mendapatkan diet tinggi kalori tinggi protein seperti bubur, lauk pauk dan
sayur
9)        mukosa bibir tampak kering
10)    data antropometrik: berat badan: 42 kg, tinggi badan: 157 cm, BBI: 51,3 – 62,7 kg
11)    tampak ada lingkar hitam dibawah kelopak mata pasien
12)    pasien tampak sering menguap
13)    konjungtiva tampak anemis.
b.        Auskultasi:
1)        terdengar suara nafas tambahan ronkhi pada paru bagian kanan, sedangkan pada lapang paru
kiri terdengar suara nafas vesiculer
2)        auskultasi jantung S1 dan S2 tunggal
3)        Peristaltik usus 6 x/menit

c.       Perkusi:
1)        terdengar bunyi resonan pada dada kiri dan kanan
2)        pada abdomen terdengar tympani pada semua kuadran
3)        perkusi jantung dullness atau redup
d.        Palpasi:
1)        akral teraba hangat
2)        arteri radialis teraba
3)        tactil premitus menurun pada dada kanan  pasien, sedangkan pada dada kiri teraba jelas
e.         tanda vital:
1)        Tekanan darah: 120/70 mmHg
2)        Nadi: 76 x/menit
3)        Respirasi: 28x/menit
4)        Temperatur: 36,2 oC
5)        saturasi oksigen pasien 91 % dengan menggunakan oksimetri

3.1.2        Data Penunjang

3.1.2.1           Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 14 April 2014


Tabel 3.1 Data penunjang
Pemeriksaan hasil Nilai rujukan Satuan
Hematologi
Hemoglobin 10.9 12.00 - 16.00 g/dl
Lekosit 11.5 4.0 – 10.5 ribu/ul
Eritrosit 4.05 3.90 – 5.50 juta/ul
Hematokrit 33.8 37.00 – 47.00 vol %
Trombosit 246 150 – 450 ribu/ul
RDW-CV 14.2 11.5 – 14.7 %

MCV, MCH, MCHC


MCV 83.6 80.0 – 97.0 fl
MCH 26.9 27.0 – 32.0 pg
MCHC 32.2 32.0 – 38.0 %
Hitung Jenis
Gran% 71.5 50.0 – 70.0 %
Limfosit% 15.7 25.0 – 40.0 %
MID% 12.8 4.0 – 11.0 %
Gran# 4.60 2.50 – 7.00 Ribu/ul
Limfosit# 1.0 1.25 – 4.0 Ribu/ul
MID# 0.8 Ribu/ul
Gula Darah
Gula Darah Sewaktu 198 <200 Mg/dl
Faal Hati
SGOT 45 0 – 46 u/l
SGPT 26 0 – 45 u/l
Faal Ginjal
Ureum 14 10 – 50 Mg/dl
Creatinine 1.0 0.6 – 1.2 Mg/dl
3.1.2.2           Hasil foto thorax pada tanggal 17 april 2014
Dari hasil pemeriksaan foto thorax AP didapatkan bahwa adanya hiperinflasi pada paru kanan
atau paru yang melorot yang ditandai dengan bagian paru kanan melebihi costae ke tujuh

3.1.3        Terapi Farmakologi
Tabel 3.2 Terapi farmakologi
NO 6 Benar Obat Keterangan
1 Benar pasien Ny. J/78 Tahun/PPOK
2 Benar obat         IVFD RL + Aminofilin

        Inj. Methylprednisolone

        Inj. Ceftriaxone

        Inj. Ranitidine

        Ambroxol

        Nebul: combivent

3 Benar dosis         IVFD RL 14 tpm + Aminofilin 48 mg

        Inj. Methylprednisolone 3x62,5 gr

        Inj. Ceftriaxone 2x1 gr

        Inj. Ranitidine 2x1 (25 ml)

        Ambroxol 3x1 tab (30 mg)

        Nebul: combivent (10 ml)/8 jam

4 Benar waktu         IVFD RL 14 tpm+Aminofilin pagi

        Inj. Methylprednisolone  3x62,5 gr pagi – sore

–  malam.
        Inj. Ceftriaxone pagi 2x1 gr pagi – sore

        Inj. Ranitidine 2x1 (25 ml) pagi – sore

        Ambroxol 3x1 tab (30 mg) pagi – siang – sore

        Combivent: (10 ml)/8 jam pagi – sore - malam

5 Benar cara         IVFD RL 14 tpm


pemberian         Methylprednisolone: Injeksi

        Ceftriaxone: Injeksi

        Ranitidine: Injeksi

        Ambroxol: Oral

        Combivent: Inhalasi

6 Benar         IVFD RL + Aminofilin: drip: 14 tpm

pendokumentasian         Methylprednisolone: Injeksi: 3x62,5 gr


        Ceftriaxone: Injeksi 2x1 gr

        Ranitidine: Injeksi: 2x25 ml

        Ambroxol: Oral: 3x30 mg

        Combivent: Inhalasi: 10 ml/8 jam

3.2    Analisa Data
Tabel 3.3 Analisa data
No Data Masalah Etiologi
1 Data Subjektif: Ketidakefektifan Akumulasi secret
1.     Pasien mengeluh sesak napas dan batuk bersihan jalan napas pada jalan napas
berdahak yang berwarna kekuningan. (Nanda, 2010:
Data Objektif: 20)
2.     Tanda-tanda vital didapatkan Tekanan darah:
120/70 mmHg, Nadi: 76 x/menit, Respirasi:
28x/menit, Temperatur: 36,2 oC.

3.     Pasien tampak kesulitan untuk mengeluarkan


dahak, dahak hanya mampu dikeluarkan
sedikit saja
4.     Saat palpasi tactil premitus menurun pada
dada kanan pasien.
5.     terdengar suara nafas tambahan ronkhi pada
paru bagian kanan
6.     dahak tampak masih sulit dikeluarkan walau
dengan batuk
7.     dari hasil pemeriksaan laboratorium pada
tanggal 14 april 2014 didapatkan hasil
pemeriksaan leukosit 11.5 g/dl
8.     pasien diberikan terapi ambroxol 3x30 mg via
oral
2 Data Subjektif: Ketidakefektifan Peningkatan kerja
1.     Pasien mengeluh nafas terasa sesak. pola napas napas (Nanda,
2012: 52)
Data Objektif:
2.      Tanda-tanda vital didapatkan Tekanan darah:
120/70 mmHg, Nadi: 76 x/menit, Respirasi:
28x/menit, Temperatur: 36,2 oC.
3.      Pasien tampak dalam posisi supinasi
4.      pasien tampak menggunakan otot bantu nafas.
5.      Pola pernapasan pasien tampak cepat dan
dangkal
6.      Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan:
      hasil saturasi oksigen pasien 91 %
7.      terapi obat yang diberikan kepada pasien
adalah nebulizer combivent 10 ml/8 jam via
inhalasi serta diberikan oksigen binasal kanul
2 liter permenit
3 Data Subjektif: Gangguan Penurunan nafsu
1.      pasien mengeluh nafsu makan berkurang. pemenuhan nutrisi makan (Nanda,
2.      pasien mengatakan hanya mampu makan tiga kurang dari 2010: 188)
sampai empat sendok dari porsi yang kebutuhan tubuh
disediakan oleh rumah sakit

Data Objektif:
3.      Tanda-tanda vital didapatkan Tekanan darah:
120/70 mmHg, Nadi: 76 x/menit, Respirasi:
28x/menit, Temperatur: 36,2 oC.
4.      mukosa bibir tampak kering.
5.      Porsi makan yang disediakan RS tampak
tidak dapat dihabiskan dan masih tersisa
seperlima saja
6.      Saat ditanya tentang masalah nutrisi pasien,
pasien tampak bingung ditandai dengan
ketidakmampuan menjawab pertanyaan
perawat tentang pentingnya nutrisi adekuat
7.      Pasien tampak hanya memakan makanan
yang disediakan RS saja
8.      pasien tampak mendapatkan diet tinggi kalori
tinggi protein seperti bubur, lauk pauk dan
sayur.
9.      data antropometrik: berat badan: 42 kg, tinggi
badan: 157 cm, BBI: 51,3 – 62,7 kg.

4 Data Subjektif: Gangguan pola Faktor ekstrinsik


1.     pasien mengatakan sering terjaga karena tidur (bising) (Nanda,
lingkungan sekitarnya ribut pada malam hari, 2013: 603)
dirumah sakit pasien hanya tidur selama dua
jam saja.

Data Objektif
2.     Tanda-tanda vital didapatkan Tekanan darah:
120/70 mmHg, Nadi: 76 x/menit, Respirasi:
28x/menit, Temperatur: 36,2 oC.
3.     tampak ada lingkar hitam dibawah kelopak
mata pasien.
4.     Pasien tampak lemas dan sering menguap
5.     Pasien tampak dalam posisi supinasi
6.     Keluarga pasien tampak banyak yang
berdatangan
7.     Keluarga pasien tampak berbicara dengan
nada tinggi pada saat malam hari

3.3    Prioritas Masalah Keperawatan


3.3.1        ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi secret pada jalan
napas.
3.3.2        Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan peningkatan kerja napas
3.3.3        Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan
nafsu makan
3.3.4        Gangguan pola tidur berhubungan dengan faktor ekstrensik (bising)

Anda mungkin juga menyukai